ismura

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 5 (Dunia Baru) trigger: nsfw 18+

Albedo pergi ke sebuah cafe di daerah Mondstadt bersama Klee, yang merupakan anak dari Jean dan Diluc, juga keponakan bagi Barbara. Albedo sangat disukai oleh Klee karena diam-diam bocah berumur 8 tahun itu suka ikut eksperimen bersamanya di laboratorium tempat Albedo magang dulu.

Kini Albedo mahasiswa kimia semester akhir di Universitas Teyvat. Ia memilih untuk pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarganya sebelum ia benar-benar disibukkan dengan pekerjaannya di Bio-Alchemy of Mondstadt.

Kamu fokus kuliah saja, Al., itu yang selalu dikatakan oleh Ningguang kepada Albedo, mengingat Itto yang tidak mau berkuliah, membuat Albedo merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk membanggakan nama keluarganya.

“Klee mau pesan kayak apa yang Kak Al pesan.” ujar Klee manja, anak itu sudah bermain bersama Albedo sejak ia masih bayi.

Dulu keluarga Jean dan Zhongli bisa dibilang dekat, Klee yang masih bayi sering dititipkan kepada Zhongli namun Zhongli malah meminta Albedo untuk membantunya, di situlah awal terbentuknya ikatan antara Albedo dan Klee.

“Ya sudah, Kak Al mau pesen es krim coklat aja. Klee suka, kan?” ujar Albedo manis.

“Klee SUKA! Kakak! Klee mau yang ini juga! Sweet Madame!” kata Klee sambil menunjuk gambar makanan khas paling laris di cafe itu.

“Baik! Ditunggu, ya!” ujar sang pelayan cafe.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Klee langsung mengambil tas yang ia letakkan di lantai lalu mengeluarkan sesuatu.

“Kak Al! Lihat nilai ujian Klee! Dapat 90!”

Albedo mengambil kertas ujian milik Klee dan melihat jawabannya dengan seksama.

Wah, anak jaman sekarang pelajarannya semakin sulit ternyata. pikirnya dalam hati.

“Kamu pintar sekali, Klee! Kak Al bangga sama kamu!” Albedo mengelus lembut kepala Klee penuh kasih sayang.

“Pasti kamu belajar sama Mama Jean terus, kan?” lanjut Albedo.

“Enggak! Mama sibuk di sekolah, jadi Klee harus belajar sendiri!” jawab Klee sambil melet. Senyumnya Klee benar-benar bisa membuat Albedo lupa dengan semua hal yang membebaninya, bocah itu layaknya lilin kecil yang menerangi kegelapan.

“Oh, ya! Papa gimana kabarnya?” tanya Albedo heran, Klee sudah jarang nampak bersama Diluc, kalaupun Albedo harus mengantarnya pulang dulu, ia selalu mengantarkannya ke rumah Jean.

“Papa...” gumam Klee pelan.

“Klee gak tahu Papa di mana!” lanjut Klee sambil tersenyum, tak ada yang disembunyikan olehnya karena memang ia tak tahu di mana sang ayah sekarang berada.

Jean dan Diluc sudah berpisah di saat Klee berusia 3 tahun, hanya Zhongli yang mengetahui alasan mereka berdua berpisah, selebihnya tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada keluarga mereka.

“Ya udah, sekarang Kak Al kan gak tinggal di asrama lagi, Klee bisa main sama Kak Al nanti, ya!”

Albedo kembali mengelus kepala Klee dengan penuh kasih sayang, senyum tulusnya Klee mulai terpancar karena ia sudah menganggap Albedo sebagai kakak kandungnya sendiri, berbeda dengan Itto yang selalu bertengkar dengan Klee setiap mereka berjumpa. Itto bahkan pernah diikat dengan petasan oleh Klee saat sedang tidur siang.

“ASIIIIK! Klee dan Kak Al bisa bareng-bareng lagiiii!” seru Klee penuh semangat, Albedo tentu tahu isi pikiran Klee saat ini, ia pasti sedang membayangkan apa saja yang akan ia lakukan bersama Albedo.

Klee pernah memberikan list tentang apa yang ingin dilakukan bersamanya, walaupun akhirnya terbakar karena Itto mengira itu sampah. Mungkin itulah kali pertama bertengkaran mereka sampai saat ini.

“Halo! Maaf menunggu! Ini pesanannya, ya!” sapa sang pelayan yang datang membawa 2 es krim coklat dan satu porsi Sweet Madame.

“Selamat makan, Klee!”

“Selamat makan, Kak Al!”

**

Albedo menghempaskan tubuhnya ke kasur, lagi-lagi ia menerima pesan yang sama dari Ningguang, ia merasa tertekan setiap kali mendapat pesan yang memuakkan itu.

Kamu fokus kuliah saja, Al.

“Gak ada lagi yang bisa ditulis sama Mamah, ya?” gumam Albedo dalam hati.

Pikirannya sedang kacau, penelitiannya sudah 4 kali ditolak oleh dosennya, padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi hasilnya tak selalu seperti yang ia bayangkan. Apa memang dunia sedang bercanda dengannya?

TING!

Dering ponsel Albedo berbunyi, ternyata dari Sucrose, rekan kuliahnya.

“Halo? Iya, kenapa, Sucrose?” sapa Albedo melalui telepon.

Kak Al, lagi sibuk gak?” tanya Sucrose dengan nada yang mengkhawatirkan.

Memang mahasiswa kimia selalu dipusingkan dengan tugas akhir di setiap semesternya, sama seperti Albedo, Sucrose juga sudah lebih dari 5 kali ditolak proposal penelitiannya oleh dosen.

“Kamu di mana? Biar aku ke sana aja.” jawab Albedo langsung bergegas mempersiapkan diri, ia menghidupkan loudspeaker di ponselnya sembari bersiap-siap.

Aku di depan pintu kamar Kak Al.

Karena bingung, bagaimana bisa perempuan masuk ke dalam asrama laki-laki di malam hari, Albedo langsung berlari menuju pintu asramanya dan mendapati Sucrose yang sedang berdiri ketakutan sambil memegang proposal penelitiannya dan sebotol wine yang tampak masih baru.

“Kamu kok bisa masuk ke asrama cowok?” tanya Albedo heran.

Sucrose langsung masuk tanpa disuruh, ia benar-benar tak bisa memikirkan apa-apa lagi.

Gadis berambut hijau itu melemparkan proposal penelitiannya ke tempat sampah dan terduduk sambil menangis.

“Kenapa ditolak mulu, sih?!” rengek Sucrose pasrah, ia benar-benar pusing bukan kepalang.

“Tenang, kita masih ada waktu untuk mencari topik baru, Sucrose.” bujuk Albedo sambil memegang pundak Sucrose dengan lembut.

Hanya rintihan Sucrose yang terdengar malam itu, Albedo pun bingung bagaimana cara menenangkan seorang perempuan, baru kali ini ia melihat Sucrose menangis. Di mata Albedo, gadis ini memiliki jiwa pekerja keras yang tinggi, lain daripada yang lain.

“Kak...”

“Iya?”

“Aku bawa wine, Kakak mau temenin aku minum?” tanya Sucrose pelan.

“Boleh, tapi kamu kuat minum?” tanya Albedo yang sudah memegang botol wine yang dibeli oleh Sucrose entah di mana.

“Aku mau lupain semuanya malam ini.” jawab Sucrose sambil menyenderkan badannya di dinding.

Albedo mengambil gelas dari box peralatan makan miliknya, isinya tak pernah dikeluarkan karena Albedo lebih sering masak dan makan di dapur bersama asrama putra. Ia kadang lupa kalau memiliki peralatan makan yang sudah disiapkan oleh Noelle dari semester pertama Albedo kuliah.

Albedo mengelap gelasnya dengan kain putih, setelah merasa bersih ia meletakkan kedua gelas itu di atas meja kecil di tengah ruangan.

Sucrose mengambil botol wine itu dan menuangkannya ke gelas miliknya dan Albedo.

Keduanya bersulang untuk melupakan semua yang mereka lalui selama kuliah. Semester ini memang semester yang berat bagi mereka berdua. Mahasiswa yang tergolong jenius bahkan belum bisa mengikuti seminar proposal karena topiknya selalu ditolak oleh dosen.

Wajah Sucrose memerah setelah meneguk wine itu, benar dugaan Albedo, Sucrose tidak bisa meminum alkohol.

“Punya Kak Al udah habis? Sini Sucrose tuangin lagi.” Sucrose mengambil botol wine dan menuangkan ke gelas Albedo.

“Udah, cukup, Sucrose.”

Sucrose tak menghiraukan kata-kata Albedo, ia terus menuangkan wine itu sampai tumpah ke meja dan celana Albedo.

“Aduh, basah semua.” gumam Albedo pelan, ia buru-buru berdiri dan mengambil kain lap untuk membersihkan bekas tumpahan wine yang dibuat oleh Sucrose.

Kaki Albedo ditahan oleh Sucrose, saat Albedo menoleh ke arah Sucrose, bisa dilihat bahwa Sucrose sudah mabuk berat. Namun karena Sucrose tiba-tiba menahan kaki Albedo, membuat lelaki itu tersandung dan jatuh.

“Maaf, Kak Al.” ujar Sucrose sambil cegukan.

Tubuh Sucrose mulai bergerak naik menyamai posisi Albedo yang sedang telentang.

“Sucrose?” ujar Albedo kebingungan.

Kini wajah Sucrose sudah tepat di depan wajah Albedo.

Sucrose menatap Albedo, namun tatapannya kosong, ia benar-benar sudah mabuk berat. Hidung mereka sudah bersentuhan, jaraknya sudah sedekat itu.

“Kak Al...” ujar Sucrose lembut, kini nafasnya menggebu-gebu.

“Aku suka—”

“Bukan, aku sayang sama kamu.”

Sucrose langsung mencium bibir Albedo, ia melepaskan kacamatanya dan membuangnya sembarangan.

Albedo kaget bukan main, namun tubuh Sucrose sudah menempel di badannya, pikirannya sudah kacau, ia pun sudah mulai kehilangan akal sehatnya.

Albedo bergerak menjatuhkan Sucrose, kali ini ia yang mendominasi, ia memandangi wajah manis Sucrose yang sudah bercampur nafsu.

It's my first time” ujar Sucrose.

And you'll be my last” balas Albedo.

**

Klee memegang perutnya karena kekenyangan, setelah satu porsi Sweet Madame, ia memesannya lagi karena masih merasa lapar, padahal setelah beberapa gigitan ia sudah tidak bisa melanjutkan lagi, terpaksa sisanya dihabiskan oleh Albedo.

“Terima kasih makanannya, Kak Al!” ujar Klee yang masih bersandar karena kekenyangan.

“Makan yang banyak! Biar cepat besar!” balas Albedo sambil tersenyum.

CRING bunyi pesan masuk di ponsel Albedo.

Albedo mengecek pesan yang masuk, ternyata dari Sucrose, kekasihnya.

Sayang, aku hamil.

. . . . . . . . . . . . . . . (NOTES)

Sebenarnya aku udah bikin versi NSFW-nya, tapi karena merasa tidak cocok karena ingin semuanya bisa membaca AU ini, terpaksa dipotong adegan panasnya Albedo dan Sucrose. Silakan berkhayal sendiri aja gimana ya readers. Aku minta maaf!

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 4 (The Harbringers)

Ajax masih terduduk lesu, menangis karena menyesal sudah meninggalkan Scaramouche seorang diri. Namun sebenarnya tak ada yang bisa disalahkan, sifat keras kepala Scara memang sulit untuk diobati, bisa-bisanya ia melawan 10 orang lebih seorang diri tanpa bekal ilmu bela diri.

“Kak Ajax, minum dulu. Lumi udah buatkan teh.” sapa Lumine yang baru saja kembali dari cafetaria rumah sakit sambil membawakan segelas teh hangat untuk menenangkan Ajax.

Ajax tak membalas ucapan Lumine, ia hanya mengambil teh yang ada di tangan Lumine dan meneguknya dengan cepat.

“Eh, masih pa—”

Walaupun agak panas, Ajax tak peduli, rasa sakit di tenggorokan dan lidahnya yang terbakar rasanya tak sebanding dengan luka yang dimiliki oleh Scaramouche.

“Terima kasih.” ujar Ajax pelan, ia masih memegang gelas kertas bekas teh yang dibuat oleh Lumine tadi.

“Kalau Kak Ajax udah tenang, boleh kok cerita sama Lumi. Lumi siap mendengarkan.”

Ajax tersenyum kecut, entah apa sebenarnya yang ada di pikiran lelaki itu.

“MANA SCARA?!” bentak seorang perempuan yang datang dari luar ruangan IGD.

Ajax sontak berdiri, kaget melihat perempuan itu, wajah Ajax jelas terlihat ketakutan. Mungkin perempuan ini adalah kakak dari Ajax dan Scaramouche.

“Signora...” gumam Ajax pelan, matanya kembali berair. Ia tak dapat berkata apa-apa lagi selain memanggil namanya.

Signora berjalan ke arah Ajax dan Lumine dengan cepat.

PLAK

“GUE UDAH BILANG SAMA LO, GLI! JAGA ADIK LO BAIK-BAIK!” bentak Signora tak peduli dengan orang-orang yang menoleh ke arah mereka.

Lagi-lagi Ajax terdiam, air matanya mulai mengalir kembali.

Tangan Signora sudah kembali naik ke atas, ia sudah bersiap untuk menampar Ajax sekali lagi namun ditahan oleh Lumine.

“Maaf, Kak! Kak Ajax jangan ditampar lagi!” kata Lumine sambil menahan lengan Signora.

“Lo siapa?! Pacar Ajax?!” ujar Signora kesal.

Signora melepaskan tangan Lumine lalu berlari ke arah resepsionis, bertanya tentang keadaan Scaramouche.

“KALAU LO PEDULI KENAPA LO TINGGALIN KAMI!” teriak Ajax sudah tak tahan lagi.

Signora menoleh ke arah Ajax, tak menyangka akan dibentak oleh adiknya sendiri.

“HARBRINGERS APANYA! YANG LO LAKUIN ITU CUMA KERJA, KERJA, DAN KERJA!”

Signora kembali berjalan ke arah Ajax, tak terima dengan perlawanan yang diberikan oleh Ajax.

“Gue kerja untuk kalian! Lo sadar gak, sih?! Apa perjuangan gue buat kalian?!” bentak Signora yang sudah naik pitam.

Lumine hanya memperhatikan mereka, tak bisa ikut campur karena ia memang tak tahu apa-apa tentang keluarga Ajax.

“Maaf, Bapak, Ibu. Mohon suaranya dikecilkan, pasien dan pengunjung di sini merasa tidak nyaman.” ucap seorang suster yang sebenarnya juga ketakutan melihat mereka berdua.

“Gue mau ke ruangan Scaramouche, gue gak ada urusan sama bocah tengil ini, bawa gue ke ruangan Scara, SEKARANG!” bentak Signora lagi, kalau saja tidak dipisahkan oleh suster, mungkin Ajax yang digebukin sama Signora sekarang.

Suster tadi pun mengarahkan Signora menuju ruangan Scaramouche, meninggalkan Ajax dan Lumine sendirian. Perempuan itu tak menoleh sama sekali ke arah Ajax saat itu.

“Kak Ajax, tenang aja, ya?” ujar Lumine menenangkan, mengusap lembut punggung Ajax.

“Gapapa, Lumine. Sekarang kami sudah aman, kamu kalau mau nyusul teman-teman kamu bilang aja, ya? Biar aku antar.” balas Ajax mengalihkan pembicaraan.

“Gapapa, Lumi temenin Kak Ajax aja di sini, boleh, kan?” tanya Lumine sambil tersenyum.

Kali ini jantung Ajax yang tersentak, bisa-bisanya gadis itu tersenyum di saat-saat seperti ini. Ajax menatap Lumine dalam-dalam, bola matanya yang berwarna coklat itu berbinar-binar namun menenangkan, saat itu juga, Ajax jatuh cinta.

**

“Harbringers? Apa itu?” tanya Ajax pada Signora sambil memakan es krimnya.

“Pertanda.” jawab Signora dengan senyum tulusnya, ia sedang membawa Ajax dan Scaramouche makan es krim di wilayah barat Snezhnaya yang terkenal dengan kulinernya.

“Namanya keren, Kak!” Scara ikut nimbrung dengan pembicaraan kedua kakaknya, walaupun sudah pasti ia tak tahu apa maksudnya.

“Pokoknya perusahaan yang Kakak buat ini sengaja diberi nama Harbringers supaya kita tahu, di sini lah titik bangkit keluarga kita.” lanjut Signora yang masih terbuai dengan es krim rasa blueberry yang ia pesan.

“Wah, keren! Kak Signora punya perusahaan!” ujar Scara dengan senyum manisnya.

“Kamu kalau makan jangan belepotan, Sayang.”

Signora mengambil sehelai tisu dan mengelapkannya ke bibir Scara yang sudah belepotan es krim.

“Nanti kalau kalian sudah besar, Kakak akan kasih kalian kerjaan! Enak, kan, kerja sama Kakak? Hehe~” Signora mengelus lembut kepala Scara dan Ajax yang duduk di depannya.

“Scaramouche gak sabar untuk beranjak dewasa! Supaya bisa meringankan pekerjaan Kak Signo!” sambil menggelengkan kepalanya dengan imut, Scara lanjut melahap es krim strawberrynya dengan cepat.

Ini adalah kali pertama Signora, Ajax dan Scaramouche pergi makan bersama, biasanya Signora selalu disibukkan dengan pekerjaannya sebagai akuntan di salah satu perusahan besar di Snezhnaya.

“Tapi, Kak?” sanggah Ajax.

“Ya, Sayang?”

“Kalau Kakak punya perusahaan, bakal makin sibuk, dong?” tanya Ajax pelan.

“Ya, enggak! Kan Kakak bosnya nanti, tinggal suruh-suruh aja!” canda Signora yang tak ingin mengkhawatirkan adik-adiknya.

“Beneran? Sekarang aja udah sibuk banget?” rengek Ajax ke Signora dengan manjanya.

“Tenang aja, Jax. Kakak akan selalu luangkan waktu untuk kalian berdua mulai sekarang, ya?” balas Signora lembut dan menyejukkan.

“Terus, kita mau jalan-jalan ke Semeru, kan? Terus ke Mondstadt, terus main ke Liyue, kan?! Iya, kan?!” seru Scaramouche semangat.

“Iya, Sayangku!” jawab Signora yang sama semangatnya dengan Scara, ia bahkan sudah terbayang bagaimana liburan keluarganya nanti akan seperti apa.

“Janji? Kita jalan-jalan keliling Teyvat?” ujar Ajax sambil memberikan kelingkingnya ke Signora.

Pinky promise!” Scara pun ikut mengaitkan kelingkingnya di kelingking Ajax.

“Janji!”

**

Signora keluar dari ruangan Scaramouche sambil mendorong kursi roda. Scaramouche sudah diobati, namun ia belum pulih sepenuhnya karena kakinya patah.

Ajax datang menghampiri mereka berdua namun tidak dihiraukan oleh Signora dan Scara, mereka pergi begitu saja menjauh dari Ajax.

“Jax.” kata Scara tanpa memalingkan wajahnya ke arah Ajax.

“Rasa percaya gue udah hilang sama lo.”

Ajax tak menjawabnya, ia pun tak tahu harus menjawab apa.

“Gue udah bilang, jangan pergi malam ini, tapi lo pergi juga sama cewek lo.”

“Harbringers tidak akan pernah mengkhianati keluarganya, Jax.” lanjut Scaramouche.

Kini hanya Signora yang menoleh ke arah Ajax, wajahnya masih terlihat penuh emosi.

Signora berjalan menuju Ajax, berdiri tepat di depannya.

“Mulai sekarang, lo bukan lagi Harbringers.”

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 4.3 (The Harbringers)

Ajax tak bisa lagi menahan amarahnya, ketika team muncak baru saja tiba, sudah disuguhi oleh pemandangan yang tak mengenakkan mata. Ya, Scaramouche, yang katanya adik dari Ajax Tartaglia sudah tergeletak tak berdaya di tanah.

Lumine yang sudah dari awal curiga dengan tatapan dari sisi Ajax yang lain, kali ini kembali ditunjukkan oleh Ajax lewat tatapannya yang cukup mengerikan. Ia mengepalkan tangan seerat-eratnya, bisa dilihat dari tangannya yang sudah mulai berdarah karena kukunya bergesekan dengan kulit telapak tangannya.

“Kak Ajax...” panggil Lumine sembari menyadarkan Ajax dari lamunan penuh emosinya.

Ajax tersadar, saat ia menatap Lumine, ia tak berubah menjadi seperti Ajax yang ia kenal. Ia masih memancarkan aura yang sangat gelap, penuh kebencian dan amarah.

“Gue balik duluan sama Scara, kalian have fun, ya, semuanya! Maaf gue gak bisa gabung kali ini.” dengan sigap Ajax mengangkat badan Scara, ia sudah tidak bisa bergerak apalagi berkata-kata.

“Lu-lumine juga ikut.” tanpa sadar, Lumine sontak bersuara seperti itu.

Bukan hanya Aether dan kawan-kawan yang kaget, Ajax juga kaget setelah mendengarkan kata-kata dari Lumine.

“Kamu liburan saja dengan teman-teman kamu, Lumine.” tolak Ajax secara halus, Lumine masih menyadari tatapan wajah Ajax masih berbeda, seakan-akan ia memalsukan raut wajahnya.

“Gapapa, Lumi ikut aja.”

“Lumi?” bisik Venti ke Barbara, pujaan hati Venti masih senyum-senyum melihat perkembangan Lumine yang tiba-tiba meningkat pesat.

“Tch.” Xiao langsung mengambil perlengkapan muncaknya dan jalan duluan memasuki kaki gunung Cape Oath.

“Lo beneran gapapa?” Aether menahan Lumine yang baru saja membuka pintu mobil Ajax.

“Lo sendiri, kan, yang mau gue punya teman? Ini cara gue berteman, Ther.” jawab Lumine tegas.

Aether tahu, walaupun Lumine orangnya pemalu, tapi ia sangat berpegang teguh pada prinsipnya dari dulu, ia tak bisa meninggalkan orang yang sedang terluka, baik itu luka kecil hingga luka yang sekarang sedang Scara alami.

“Oke. Gue percaya sama lo. Tolong kabarin gue kalau ada terjadi apa-apa.” Aether spontan memeluk Lumine, rasa khawatir bercampur dengan haru, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya sendiri.

Ajax dan Lumine membawa Scara menuju rumah sakit terdekat, sementara geng Aether melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak Cape Oath.

**

“Apa pun yang terjadi, kamu harus jaga adik kamu! APA PUN YANG TERJADI, GLI!” kata seorang wanita paruh baya yang sedang memegangi wajah Ajax Tartaglia.

Hari itu hujan sangat deras, dan dikabarkan akan ada badai yang akan mengguncang Snezhnaya.

Ajax berlari sambil memegang tangan Scaramouche kecil, ia masih berumur 5 tahun saat itu, usia mereka terpaut 2 tahun, Ajax sudah 7 tahun saat mengemban beban yang sangat berat itu.

“Kita ke mana, Jax?” tanya Scara dengan wajah polosnya, namun terlihat khawatirnya lebih besar.

“Kita harus pergi dari sini, karena akan ada badai.” jawab Ajax dengan tenang, ia tak boleh terlihat panik di depan Scaramouche, karena Scara adalah tipikal anak yang cengeng dan manja.

“Gimana kita bisa pergi kalau hujan deras begini?” tanya Scara lagi, ia semakin memegang erat lengan Ajax, ia tak mau pisah dengan kakaknya.

“Udah, kamu tutup mata aja. Masih ingat sulapnya Kakak, kan?” ujar Ajax menunduk sambil menutup mata Scara dengan sapu tangan yang tersimpan di saku celananya.

“Asik! Kita mau main teleportasi, ya, Kak?” tanya Scara antusias, ia bahkan tak tahu lagi di mana Ajax dan berdiri di arah yang salah.

“Pegang tangan, Kak Ajax. Terus ikutin, ya.”

“Oke, Kak!”

voz'mi menya, kuda by ni poshel etot veter

**

Ajax dan Lumine telah tiba di Rumah Sakit Unit Gawat Darurat Mondstadt, Scara langsung ditangani dengan cepat oleh petugas kesehatan di sana. Setelah Scara dilarikan ke IGD, Ajax langsung terduduk lemas. Kakinya tak lagi sanggup untuk berdiri.

Lumine hanya bisa duduk di samping Ajax sambil mengelus lembut pundaknya, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Mereka berdua, tanpa suara, di antara orang lain yang sedang lalu-lalang berjibaku dengan penderitaan mereka masing-masing.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 4.2 (The Harbringers) trigger: violence, blood, harsh words

Suara klakson mobil dari luar rumah si kembar sudah terdengar, Ajax benar-benar menjemput mereka untuk berangkat bareng menuju kaki gunung Cape Oath.

“Ini gara-gara lo, ya, Ther.” ujar Lumine kesal. Ia masih tak menyangka suatu kebetulan yang keluar dari mulut Aether.

**

Ajax datang entah dari mana dan duduk di samping Lumine, gadis itu belum sadar karena masih tenggelam dalam lamunannya sambil diiringi oleh musik randomnya.

Lelaki berambut oren itu hanya memandangi nikmat Tuhan yang tak boleh ia dustakan, ia meletakkan kepalanya di meja dan memandangi Lumine yang duduk di samping kirinya, dekat jendela.

“ASTAGA” Lumine kaget bukan kepalang. Benar-benar banyak hal aneh yang terjadi pada dirinya hari ini. Tadi Razor, sekarang Ajax?

“Hehehe~ dengerin apa, sih?” Ajax mendekatkan kursinya ke Lumine, mengambil earphone (wireless)-nya dengan lembut.

“Ehm... anu, Kak?”

“Gapapa, aku juga pengen dengerin apa yang kamu dengerin.” lanjut Ajax santai, ia memasangkan earphone sebelah kanan Lumine ke telinganya.

“Kamu juga suka lagu ini?”

Lumine kebetulan sedang memutar lagu milik Jarryd James yang berjudul 1000x, lagu ini sengaja ia putar untuk mengenang cinta pertamanya yang kadang masih terbayang olehnya.

“I-iya, Kak. Kebetulan aja, sih.” jawab Lumine pelan.

In another lifetime I would never change my mind I would do it again Ooh, a thousand times

Lumine terenyuh mendengarkan suara Ajax menggumamkan lagu favoritnya, lagi-lagi Lumine berdebar, sudah dua kali karena Ajax. Tak terasa senyumnya mulai terbentuk karena memandangi laki-laki yang baru saja ia kenal itu.

“Muncak, yuk?” tanya Ajax lembut, tersenyum, paket lengkap.

“Hah? Muncak di mana?”

“Cape Oath, kamu belum pernah, kan?”

Lumine menggelengkan kepalanya, wajar saja, ia masih baru di sini, belum tahu apa-apa tentang tempat wisata yang sebenarnya ingin ia kunjungi bersama Aether.

Ajax sudah curi start duluan, pikir Lumine.

“Mau?” tanya Ajax lagi, memastikan.

Lumine terdiam beberapa saat, bingung bagaimana menjawab pertanyaan Ajax.

Pucuk dicinta, Aether pun tiba, abangnya datang bak pahlawan di siang bolong, menyelamatkan Lumine dari situasi yang canggung ini, namun siapa yang dapat menyangka, ternyata Aether dan teman-temannya juga sudah berencana untuk pergi ke Cape Oath, yang membuat Ajax semakin bersemangat dan mau tak mau mereka berdua harus berangkat dengan Ajax, karena hanya Ajax yang merupakan kakak kelas di antara yang lain.

Ajax Tartaglia, kelas 12 IPA 1, lelaki tampan berambut oren ini adalah mantan kapten basket, futsal, sepakbola, voli, dan semua jenis olahraga lainnya, ia melepaskan semua jabatannya setelah naik kelas 12, entah kenapa. Keputusannya sangat disayangkan, karena SMA Teyvat belum mendapatkan pengganti si paket lengkap ini.

Setelah pamit pulang, Lumine tak sengaja melihat sisi lain dari Ajax, wajahnya berubah sesaat setelah memalingkan wajahnya dari si kembar, tatapannya dingin dan kosong.

Pasti ada yang ia sembunyikan pikir Lumine.

**

Scaramouche tersudut, badannya sudah tak bisa bergerak lagi, tubuhnya terasa remuk dan darah segar yang keluar dari bibir dan pelipisnya seperti mengalir deras.

“Makanya jangan macam-macam lo sama geng kami.” ujar salah seorang dari sekian banyak preman yang mengeroyoknya.

“Cih, gue belum ngeluarin kekuatan gue yang sebenarnya aja sama lo.” balas Scara tak mau kalah, tak tahu tempat, dan tak sadar dengan kondisinya.

Mendengar ucapannya, kawanan preman itu kembali memukul dan memijak tubuh Scara tanpa ampun, ia juga tak bisa menahan atau membalasnya lagi, jumlah mereka lebih dari 10 orang, melawan Scara seorang diri.

Scara dibuang di depan tempat masuk Cape Oath, di kaki gunungnya. Pakaiannya sudah lusuh dan penuh robekan, wajahnya bonyok tak terbentuk, ia benar-benar kalah telak, belum ada satu pun orang di sekitar sana.

“Ah... ternyata gini cara gue mati, ya.” gumam Scara pelan. Rasanya tak kuat lagi untuk bernafas dan membuka matanya.

Terdengar suara mobil dan motor yang baru saja tiba di parkiran Cape Oath, namun semuanya terlambat, Scaramouche sudah tak sadarkan diri.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 4.1 (The Harbringers)

Bel sekolah berbunyi untuk yang terakhir kalinya, tanda jam sekolah sudah berakhir, banyak yang sudah merencanakan liburan untuk hari minggu, khususnya anak-anak gengnya Aether.

“Jadi fix, ya! Kita muncak di Cape Oath.” ujar Xingqiu yang sudah tidak sabar untuk liburan bersama teman-temannya, ia bahkan sudah menyewa tenda untuk bermalam karena niatnya akan melihat sunset di puncak gunung itu.

“Eh, tapi kalau gue ajak Lumine gimana?” tanya Aether yang tak sadar kalau ia memiliki kembaran.

“Gapapa kali, Barbara juga ikut kok. Pasti Lumine udah diajak sama dia.” balas Venti sambil memainkan ukulele yang dibelikan oleh Barbara pada hari ulang tahunnya beberapa bulan lalu.

“Lagian lo, Ther! Punya otak tapi lupaan mulu!” sambar Amber yang sedang merapikan meja dan kursi karena ia dapat jadwal piket di hari sabtu. Anak itu tak akan bisa bolos di hari sabtu karena jadwal piketnya.

“Ya udah, gue ke kelas dia dulu nanyain.”

Aether berjalan ke kelas sebelah, menjemput Lumine yang pasti sudah menunggu dengan wajah kesalnya. Aether kadang merasa bersalah karena tidak bisa membantu Lumine mencari teman, ia berpikir bahwa Lumine bisa cepat beradaptasi dan mendapatkan teman.

Baru saja ia lewat kelas Lumine, Aether mendapati Lumine yang sedang ngobrol dengan Ajax, seperti biasa, raut wajah Lumine sudah tidak terkondisikan lagi karena kembarannya itu sudah tidak nyaman.

“Abaaannggg” sahut Lumine manyun, Aether sangat suka kalau Lumine memanggilnya dengan sebutan itu, ia jadi merasa dibutuhkan oleh sang adik.

“Abaaannggg” panggil Ajax dengan nada yang sama dengan Lumine, hanya saja lebih menjijikkan.

Wajah Aether berubah dengan cepat, ia sempat minder dengan wajah tampan Ajax, tapi kali ini ia bisa mengubah pandangannya ke Ajax dalam sekejap mata.

“Cepet bawa gue kabur dari sini!” bisik Lumine sambil mencubit perut Aether.

“Emang kenapa?” tanya Aether pelan.

“Soalnya gue mau izin ngajak Lumine kencan, Ther!”

Ternyata bisikan mereka masih terdengar oleh Ajax, ia langsung bergabung dalam pembicaraan si kembar tanpa izin, dan kurang ajar bagi Lumine.

“Sorry, Bang. Gue sama Lumine udah ada rencana hari ini.” sanggah Aether mencoba melepaskan Lumine dari kekangan Ajax.

“Oh, ya? Ke mana?” Ajax mengernyitkan alisnya.

Mata Lumine berkedip dengan cepat, berharap Aether bisa paham dengan maksudnya.

“Kami mau ke Cape Oath, mau hiking sekalian liat sunset.” jawab Aether dengan tegas.

Lumine langsung menutup wajahnya malu, bisa-bisanya Aether berkata seperti itu pada Ajax.

“Loh? Gue juga ngajak Lumine ke Cape Oath? Iya, kan?” Ajax menoleh ke arah Lumine.

Lumine hanya bisa mengangguk lesu, pasrah dengan keadaan.

“Ya udah, kalian pulang duluan aja. Nanti sore gue jemput, ya.” kata Ajax, lalu pergi meninggalkan si kembar begitu saja.

“I told you that I will see you, Lumine!”

Lumine langsung memukul kepala Aether karena geram.

“Kok bisa-bisanya, sih?!”

“YA MAAPPPPPP!!!!”

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 4 (The Harbringers) trigger: slight nsfw jokes

Suara grasah-grusuh terdengar di sudut kota Liyue, beberapa pemuda sedang mengais sisa makanan yang telah dibuang oleh Chef Mao dari Wanmin Restaurant.

“Ini masih enak!” seru salah seorang dari mereka.

Saat mendengar hal itu, mereka langsung menghampiri dan mengambil sisa makanan dari tempat sampah dan memakannya dengan lahap.

“Iya! Masih segar!”

“Habisin cepat, nanti ketahuan!”

Ketika sedang asik memakan makanan bekas itu, ada seseorang yang sedang berdiri di ujung lorong memperhatikan kawanan pemakan sampah itu.

“Bangsat.”

**

Hari sabtu, adalah hari di mana siswa SMA Teyvat melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler, seluruh siswa memiliki kebebasan untuk memilih kegiatan sesuai yang mereka inginkan, Aether salah satunya, ia memilih untuk mengikuti ekskul basket bersama teman-temannya, Xiao, Xingqiu, Bennett dan Venti.

Lumine hanya duduk di kelasnya, menunggu jam pulang sekolah selesai, ia memilih untuk tidak mengikuti seluruh kegiatan, ia menghabiskan waktunya untuk mendengarkan lagu, rasanya semua lagu dalam aplikasi musik itu sudah pernah didengar olehnya.

“Lumine?” sapa Razor yang baru saja tiba di kelas.

Lumine tak menghiraukannya, bukan karena ia tak ingin menghadapinya, tapi telinganya sedang disumbat oleh earphone lucu yang berwarna hampir sama dengan rambutnya, ditambah lagi earphonenya wireless, tentu Razor tidak akan tahu kalau Lumine sedang mendengarkan lagu.

Tak hilang akal, Razor menempatkan wajahnya di depan Lumine.

“ASTAGA! RAZOR!” teriak Lumine kaget.

Lelaki itu hanya tersenyum, mengambil kursi yang ada di depan meja Lumine dan duduk tepat di depan gadis itu.

“Maaf, aku lagi dengerin lagu. Jadi gak dengar, ada apa?” tanya Lumine lembut.

“Gapapa, Razor hanya ingin melihat wajah Lumine sebelum kegiatan pramuka.” jawab Razor polos.

Jantung Lumine berdegub kencang, baru kali ini ia mendengar kata-kata itu, ia baru bisa berbicara dengan Razor, namun ia rasa Razor terlalu cepat mengatakan hal itu.

“Apaan, sih? Alay deh.” balas Lumine salah tingkah, wajahnya sudah memerah saat melihat Razor yang hanya tersenyum melihat gelagatnya.

“Razor pergi dulu.” ujarnya sambil berdiri dari kursinya lalu meninggalkan Lumine begitu saja.

“Gila itu anak. Bikin jantungan.” gumam Lumine pelan, lalu kembali memasang earphone-nya.

**

Sara berjalan menuju ruang OSIS dengan wajah yang masam. Selain rapat OSIS yang tak pernah ada habisnya, pikirannya sedang kacau karena masih terus memikirkan cinta pertamanya, Itto, yang tak kunjung membalas pesannya.

Masa jabatan Sara akan selesai akhir bulan ini, namun belum ada kandidat OSIS yang mendaftar untuk pemilihan. Ia bingung harus bagaimana untuk mengajak anak-anak untuk menjadi anggota OSIS, karena dari yang ia dengar, mereka takut tidak bisa sebaik dan sedisiplin Sara.

“Gini amat hidup gue,” gumam Sara dalam hati, tak sampai di situ, ia melihat Thoma sedang berbicara dengan Ayaka di ujung lorong dekat ruangan OSIS.

“Ngapain lo ke sini, Thom?” tanya Sara basa-basi.

Thoma, yang dibilang-bilang sebagai cinta pertama siswi SMA Teyvat memang bukan orang yang sembarangan, ia adalah orang yang baik hati dan tidak segan-segan membuka suara di saat orang lain tidak berani melakukannya. Berbeda dengan Sara yang cenderung ditakuti walaupun melakukan hal yang sama dengan Thoma.

Selalu menjadi siswa yang mendapatkan peringkat pertama dan aktif dalam berorganisasi, Thoma sudah mendapatkan kursi khusus untuknya di Universitas Teyvat saat ia baru saja naik kelas 12 kemarin.

“Eh, Sara. Biasalah!” ujar Thoma dengan nada bercandanya.

Ayaka yang tampak malu di depan Sara hanya bisa menyapanya sembari menunduk.

“Kalau mau pacaran jangan di sini.” ucap gadis berambut ungu itu datar.

“Lah, gue bawa Ayaka ke sini karena dia mau daftar jadi kandidat ketua OSIS kali.” balas Thoma yang tak terima dituduh oleh sang gagak (sebutan Sara di sekolah).

“I-iya. Ayaka masih kelas 11, jadi ingin mencoba—”

“Mencoba lo bilang? OSIS bukan ajang untuk coba-coba, Dek.” potong Sara yang kesal mendengar alasan Ayaka.

Thoma yang kaget mendengar respon Sara langsung berdiri membelakangi Ayaka, menutupinya dari Sara.

“Santai aja bisa kali, Ra.” bisik Thoma ke Sara.

Dalam hati Sara tentu merasa bersalah, namun ia merasa menjadi OSIS itu bukan hanya untuk coba-coba, makanya ia bisa berkata seperti itu, walaupun mungkin cara yang ia pakai adalah cara yang salah.

“Lo ajarin dulu cewek lo gimana cara daftar jadi kandidat, gue mau masuk.”

Sara langsung berbalik arah dan masuk ke dalam ruangan OSIS, raut wajah Ayaka jelas terlihat ketakutan, ia adalah orang yang lembut, tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, ia terlalu masih terlalu polos, belum terbiasa dengan kerasnya watak Sara karena memang mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Sara duduk di kursi dalam ruangan OSIS seorang diri, belum ada yang datang sama sekali, padahal ia sudah tentukan jam untuk rapat dari jauh hari.

TING!

Dering ponsel Sara berbunyi, dengan cepat gadis itu mengecek ponselnya sambil berharap itu adalah pesan dari orang yang selama ini ia tunggu-tunggu.

“Kak Raiden...” ternyata dari Raiden, salah satu pembina panti asuhan di mana tempat Sara tinggal.

Sara bergegas menelepon Raiden, khawatir bila ada sesuatu yang terjadi di rumah.

“Halo, Kak.” sapa Sara sopan.

“Nanti balik sekolah langsung pulang, kita kedatangan tamu. Kamu balik jam berapa?”

“Jam 1 Sara pulang, Kak. Ada tamu? Siapa?”

“Zhongli dan Ningguang.”

“Oh, begitu. Baik, Kak.”

Setelah teleponnya ditutup, pikiran Sara semakin kacau, apa yang akan terjadi nanti? Kenapa Zhongli dan Ningguang bertamu ke panti asuhan mereka?

“Apa gue mau dijodohin sama Kak Itto?” khayal Sara sambil mengacak-acak rambutnya, wajahnya memerah karena berharap hal konyol itu terjadi. Namun kemungkinannya sangat kecil, bahkan bisa dibilang tidak ada kemungkinan sama sekali.

“Permisi, Kak? Kak Sara kenapa?” sapa salah satu anggota OSIS yang baru saja tiba dan mendapati Sara sedang mengacak-acak rambutnya,

“Ah... tidak ada apa-apa. Mana yang lain?”

“Sedang menuju ke sini, Kak.”

“Ya sudah, kita tunggu saja mereka.”

**

Lumine berjalan menuju kantin, ia lupa membeli air minum saat berangkat ke sekolah. Ia selalu menundukkan pandangannya agar tidak terjadi interaksi apa-apa dengan yang lain.

Tiba-tiba ada yang menyenggolnya dari kanan, lelaki jangkung dengan rambut oren serta seragam olahraga yang sengaja tidak ia masukkan.

“Sendirian aja?” sapa lelaki itu dengan senyum manisnya, setidaknya bagi Lumine begitu.

“I-iya.” jawab Lumine pelan, ia kembali menunduk, berharap kode yang ia berikan bisa ditangkap lelaki itu dengan mudah, seperti Razor contohnya.

“Mau ditemenin ke kantin?” tanya lelaki itu makin mendekatkan dirinya dengan Lumine.

“Se-sebenarnya gak usah, Kak.” jawab Lumine tak berdaya, ia benar-benar hilang akal jika berada di situasi seperti ini.

“Tapi aku mau nemenin? Gimana dong?”

“Ya udah, tapi jangan terlalu dekat, bukan muhrim.”

Mendengar respon Lumine, lelaki berambut oren itu tertawa terbahak-bahak. Ia langsung berjalan beberapa langkah lebih cepat dan menghadang Lumine yang juga berjalan dengan cepat karena ketakutan.

“Ajax.” ia mengulurkan tangannya, menunggu Lumine yang seharusnya menjabat tangannya.

“Lumi—”

“Lumine! Iya, aku udah tahu.” potong Ajax cepat, ia kembali tersenyum sehingga membuat pipi Lumine memerah karena malu.

“Gue gak gigit kok, kecuali lo yang pengen gue gigit.” goda Ajax yang sudah berjalan di samping Lumine, hebatnya nada kaki mereka saat berjalan pun sama, mereka seperti saling beriringan.

“Aku gak mau digigit.” jawab Lumine polos, ia sedikit menjauh dari Ajax karena takut benaran digigit.

“Gemesin banget, sih!” Ajax mencubit pipi Lumine lembut.

Lagi-lagi jantung Lumine berdegub kencang, tadi Razor, sekarang Ajax, siapa lagi yang akan membuatnya berdebar nanti? Padahal ia hanya ingin pergi ke kantin, membeli minum, dan kembali bersantai di kelas sampai jam sekolah usai.

“Titip salam sama Aether, ya!”

Ajax memutar arah jalannya dan pergi meninggalkan Lumine setelah ia mengatakan itu.

“Apaan, sih? Manusia-manusia di sekolah ini aneh-aneh semua!” geram Lumine sambil mempercepat langkahnya menuju kantin.

**

“Aku pulang!” sapa Albedo yang baru saja melepaskan alas kakinya di depan rumah.

Tidak ada siapa pun di sana, Albedo mengecek seluruh ruangan rumahnya, dan memang tidak ada siapa pun di rumah siang ini.

“KAKAK ALBEDO!” sapa seorang anak kecil yang sudah menungguinya sejak lama, ia langsung berlari masuk ke rumah dan memeluk Albedo.

“Klee! Kok kamu tahu kakak pulang hari ini?” tanya Albedo heran.

“HEHE!” hanya itu yang keluar dari mulut Klee.

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 3 (Hari Di Mana Sang Iblis Menangis) trigger: angst

Ningguang mempercepat langkahnya menuju makam Ei, mantan kekasih Itto. Sayang sekali, hubungan yang telah mereka bina selama 4 tahun harus kandas karena maut memisahkan mereka.

Selama perjalanan menuju makam Ei, Ningguang terus menghela nafas agar ia tak lepas kendali lagi seperti tadi. Sejak Itto dijemput Zhongli dan Gorou beberapa waktu lalu, Itto tidak memutuskan untuk pulang ke rumah. Itto hanya pulang ketika Ningguang sedang tidak di rumah, dan pergi di saat Ningguang tidak sadar.

“Itto...” gumam Ningguang pelan, ia sangat khawatir dengan kondisi anak sulungnya sekarang. Karena kerja yang harus selalu ia prioritaskan sejak Itto kecil, kini hubungan Itto dan Ningguang semakin renggang, jika Ningguang salah langkah lagi, mungkin Itto akan pergi selamanya.

Saat perjalanan mencari makam Ei yang terletak sedikit lebih jauh dari tempat masuk pemakaman khusus warga Inazuma. Ningguang bertemu dengan Raiden secara tidak sengaja.

“Raiden?” sapa Ningguang kaget, ia sudah lama tidak bertemu dengan kembaran Ei tersebut.

“Halo.” jawab Raiden singkat. Matanya terlihat merah seperti habis menangis. Raiden baru saja keluar dari area pemakaman Ei, karena jalan yang ia ambil berlawanan dengan arah jalan Ningguang.

Tak sempat menyelesaikan percakapan, Raiden pergi meninggalkan Ningguang begitu saja.

**

“MAMAH! ITTO SUDAH MENEMUKAN CALON MENANTU UNTUK MAMAH!” kata Itto antusias, ia tak lupa menarikan tarian aneh yang justru disukai oleh anak-anak kepada sang ibu.

“Oh, ya? Siapa?” tanya Ningguang terkejut. Ia sedang diurut oleh Zhongli karena kecapekan.

“Jangan bilang kamu mau menikahi ibumu!” potong Zhongli yang tak terima kalau istrinya diambil.

“Enak aja! Bukan, Yah!” sanggah Itto kesal. Ia kembali teringat masa kecilnya yang mengatakan bahwa Itto hanya ingin mencintai satu wanita, yaitu ibunya, Ningguang.

“Lah? Dulu kamu bilang hanya mau mencintai mamah!” ledek Ningguang pura-pura kesal, ikut dalam percakapan hangat keluarga Geo.

Hanya mereka bertiga saat itu, Albedo yang sibuk dengan kegiatan OSIS-nya di SMP, sementara Noelle dan Gorou sedang dititipkan di rumah Madame Ping.

“Yeee, itu sih cinta monyet, Mah.” balas Itto sambil menggoda ibunya.

“Enak saja! Mamah kamu bukan monyet! Mamah kamu bidadari!” kata Zhongli tak mau kalah.

Perdebatan yang tak berujung selalu menjadi cara mereka melepas rasa rindu, Ningguang merasa sangat bahagia saat itu, ia masih ingat hari itu, di mana Itto benar-benar menjadi pria yang dewasa.

Namun, siapa yang menyangka bahwa pembicaraan hangat itu adalah momen harmonis terakhir di keluarga Geo. Setelahnya, masalah demi masalah mulai muncul dan membuat hubungan keluarga itu retak.

“Jadi? Who's the lucky lady?” tanya Ningguang sambil menopang dagunya.

“Namanya Ei! Anak Inazuma! Hahaha!” jawab Itto sumringah.

“Wahhh! Namanya cantik, kenalin ke mamah, dong!” goda Ningguang ke Itto.

“Iya! Kenalin, dong, Boy!” timpal Zhongli yang ikut menopang dagunya mengikuti Ningguang.

“Nanti! Kami baru jadian, saat kami mau menikah, baru Itto kenalin!” jawab Itto penuh keyakinan.

“Nikah? Masih umur 18 tahun kamu, tuh!” ejek Ningguang sambil menoyor kepala Itto.

“Eh! Liat aja, Mah! Dia adalah jodoh Itto! Kalau tidak, Itto bakal jomlo seumur hidup!”

**

Tak terasa air mata Ningguang mengalir deras, melihat Itto yang sedang bercerita dengan penuh semangat di depan makam Ei. Rasa cinta Itto kepada Ei tak akan pernah berubah, ia telah meninggalkan Itto selama 6 tahun, namun ia benar-benar paham bahwa Itto tidak akan pernah bisa melepas kepergian Ei dan selalu menganggap bahwa Ei masih ada di sisinya.

“Itto...” panggil Ningguang pelan.

Itto menoleh ke arah Ningguang, menatapnya tajam dan penuh amarah, namun pandangannya berubah setelah ia kembali menatap ke arah makam Ei.

“Ei! Ada mamah!” ujar Itto penuh semangat.

“Sini, Mah!” panggil Itto sambil melambaikan tangannya ke arah Ningguang.

Ningguang berjalan menghampiri Itto dan Ei. Menunduk dan memberi penghormatan kepada kekasih anaknya.

“Apa kabar, Ei?” ujar Ningguang terisak. Ia juga benar-benar ingat hari di mana Ei meninggalkan Itto dan keluarga Geo untuk selamanya.

“Jadi, Ei! Aku kan ke ruangan OSIS, buat nyari si Xiao, terus aku teriak tapi gak ada yang jawab! Emang pada tuli kali anak-anak sekolah jaman sekarang, ya! Hahaha!”

“Itto...”

“Nah! Pas ketemu sama Xiao itu emosiku udah meledak-ledak banget gara-gara apa tahu gak? Mukanya itu, lho! Datar banget!”

“Itto...”

“Terus, aku juga lihat Sara! Kaget juga sebenarnya, tapi ya gimana? Orang kami udah lama gak kete—”

“ITTO! CUKUP!” bentak Ningguang karena tak dihiraukan sedikit pun oleh Itto.

“Itto... cukup... biarkan Ei tenang di surga.” lanjut Ningguang yang sudah menangis, tak kuat melihat anaknya pura-pura bahagia.

Itto menunduk pasrah, apa yang dikatakan ibunya benar, tapi bukan itu yang sebenarnya ia mau. Itto tetap ingin mendapat dukungan dari sang ibu.

Apa yang ada di pikiran Itto berbeda dengan apa yang keluar dari mulutnya.

“Mamah gak tahu apa-apa sama apa yang udah Itto alami selama ini.”

“Apa maksud kamu, Itto?” Ningguang mengernyitkan alisnya, heran.

“Mending mamah pergi.” ujar bocah raksasa itu pelan.

“Itto...”

“PERGI!!!” bentak Itto tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ningguang.

“ITTO! JANGAN KAMU BENTAK IBUMU!” teriak Zhongli dari kejauhan. Ternyata selama ini ia memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.

Zhongli berjalan dengan cepat menghampiri Ningguang dan Itto. Wajahnya sudah merah pekat karena menahan emosi, tak tahan melihat sang anak membentak ibunya seperti itu.

Zhongli menarik kerah baju Itto karena sudah terlampau emosi, namun Itto tak memberi perlawanan seperti biasanya, kini ia sedang rapuh, menghadapi kenyataan pahit di hari jadinya yang ke 10 tahun bersama Ei.

“Mas Zhongli...” gumam Ningguang pelan, ia sudah tak punya tenaga lagi setelah dibentak oleh anaknya.

Ningguang tak dapat meraih Zhongli yang berada beberapa inchi di depannya. Tubuhnya melemah, ia benar-benar sakit hati.

“Pukul saja aku, Yah. Sadarkan aku.” ujar Itto pelan, ia berusaha menatap netra sang ayah, tapi air mata yang keluar setelahnya.

Zhongli bukanlah orang yang benar-benar jenaka, hidup terlalu lama membuatnya merasa hidup pantas untuk dinikmati dan dibawa tertawa. Tapi berbeda kali ini, ia tak bisa menahan diri kalau istrinya diperlakukan semena-mena oleh orang lain, namun di satu sisi Itto adalah anaknya, sehingga ia tak bisa benar-benar memihak pada siapa pun.

Zhongli melepaskan cengkramannya. Mengambil tangan Itto dan membangunkan Ningguang dari duduknya lalu memeluk keduanya dengan erat.

“Padahal kita bisa sedekat ini, kenapa kalian harus mendorong satu sama lain?”

Air mata Itto mengalir deras dalam dekapan sang ayah, begitu juga Ningguang, yang merasa sudah berada di tempat yang tepat untuk menjadi lemah.

Kali ini mereka tahu, hari di mana sang iblis menangis.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 3 (Hari Di Mana Sang Iblis Menangis) trigger: violence, harsh words, nsfw jokes

Itto berjalan seorang diri di daerah Galesong Hill, menikmati suara alam di malam hari. Ia merasa sangat tenang setelah berhasil kabur dari kawanan preman yang mengejarnya dari Inazuma. Bagaimana tidak, ia dikejar oleh lebih dari 50 orang.

Iblis raksasa itu baru saja lulus sekolah, ia merasa kesal karena kalah dari Jean yang berhasil mendapatkan gelar siswa terbaik SMA Teyvat. Itto yang ingin melampiaskan kekesalannya langsung berangkat ke Inazuma dan mengacaukan pasar di pulau Narukami.

Keberadaannya jelas disambut dengan hangat oleh preman-preman yang sudah lama menunggu Itto kembali ke Inazuma. Ia memang sanggup menghadapi mereka semua seorang diri, tapi kali ini ia harus melindungi seorang gadis kecil yang terperangkap dalam kerumunan preman itu.

“Te..terima kasih, Kak.” ujar Sara pelan. Ia masih terus mengikuti Itto sejak tadi, padahal sudah berulang kali Itto mengusirnya.

“Santai aja kali, mending lo pulang. Orang tua lo nyariin ntar.” jawab Itto sambil tersenyum. Jujur, ia sangat menyukai anak-anak, dan mereka juga menyukai Itto.

Sara kembali terdiam dan terus mengekori Itto ke mana pun ia pergi, namun Itto tak merasa risih sama sekali. Karena pikiran Itto sedang kacau karena Jean.

“Nama lo Sara, bukan?” tanya Itto sambil menggaruk kulit kepalanya.

“I..iya, Kak” jawab Sara datar.

“Gue Itto, lo udah tau, kan?”

“Iya. Sudah.”

Itto terus memandangi Sara heran, bagaimana anak sekecil ini bisa sampai di Mondstadt bersamanya. Padahal dari Inazuma menuju Mondstadt harus disebrangi dengan kapal.

“Kak?” panggil Sara, namun suara perutnya lebih terdengar daripada panggilannya.

“Waduh! Lapar, ya?! HAHAHAHA!” tawa Itto sambil menampar paha kanannya dengan keras.

“Badan lo aja kecil, tapi suara perut lo itu keras banget!” ledek Itto yang masih tertawa terbahak-bahak dari tadi.

Pipi Sara merah pekat setelah diledek oleh Itto, namun bukan perasaan malu yang ia rasakan, melainkan kekagumannya kepada laki-laki yang tampak besar di matanya.

“Kak?” panggil Sara, lagi.

Sara terus menatapi lengan kiri Itto yang terluntang lantung karena patah, berusaha mendekatinya namun takut lebih memperparah lukanya.

“Ini lengan doang yang patah, lo gak usah khawatir.” balas Itto dengan suara beratnya, tatapan matanya berubah drastis setelahnya.

“Sara khawatir,” gumam Sara pelan, berharap suaranya tak didengar oleh Itto.

Tiba-tiba lelaki itu mengangkat tubuh mungilnya naik ke atas bahunya. Kini pandangan Sara terhadap dunia lebih luas lagi. Ia melihat crystal flies yang terbang menjauh saat mereka datang menghampiri, kupu-kupu yang tak bisa ia gapai karena gerakannya terbatas.

Sara sangat senang hari itu, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus mengagumi Itto sampai kapan pun. Itto telah mengajarkan banyak hal tanpa harus mengucapkan kata, bahkan dari tatapan matanya saja Sara bisa menyadari dan belajar sesuatu dari Itto. Ia memang sesempurna itu, walaupun tidak banyak yang setuju tapi setidaknya bagi Sara Itto itu berbeda.

**

Sara membaringkan tubuhnya di kasur putih khas UKS sekolah. Badannya masih panas, entah kenapa. Pikirannya terus terngiang-ngiang dengan wajah Arrataki Itto, lelaki yang sudah ia sukai selama 10 tahun lamanya. Awalnya memang hanya kekaguman seorang bocah kepada panutan, namun perasaan itu tetap ada dan terus tumbuh tanpa ia minta.

“Udah 3 hari gak bales pesan, berarti emang gue harus nyerah kali, ya?” runtuk Sara yang sudah menggila dari tadi, rambutnya sudah ia acak-acak karena stress.

Di saat ia sendiri, Sara adalah orang yang kikuk. Ia benar-benar tak bisa memantapkan hatinya. Namun sikapnya yang keras membuat sifat kikuknya bisa tertutupi.

**

“Ada dua jenis pemimpin di dunia ini, Ra.” kata Itto penuh semangat.

Sara terus memandangi raksasa itu penuh dengan kekaguman.

“Yang pertama, pemimpin sejati kalau kata gue, bahasa gaulnya itu natural born leader!” angguk Itto karena berhasil menggunakan kata-kata keren untuk membuat kagum anak didiknya.

Sara mengangkat tangannya antusias.

Itto celingak-celinguk melihat ke arah lain, padahal hanya Sara yang ada di depannya. Ia hanya sedang bermain dengan Sara di pesisir pantai Inazuma.

“Ya, Sara! Apa pertanyaanmu?”

“Jenis pemimpin yang kedua apa, Kak?” tanya Sara bersemangat, ia bahkan membawa buku untuk mencatat kata-kata bijak yang tiba-tiba keluar dari mulut Itto.

“Pertanyaan yang sangat baik! Tipe pemimpin yang kedua adalah menjadi pemimpin karena keadaan.”

“Maksudnya bagaimana?”

Itto mengerutkan dahinya, bingung menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Ia ketiduran saat ayahnya menjelaskan tipe pemimpin yang kedua itu, namun Itto tak hilang akal.

“Pemimpin yang ditunjuk, padahal dia gak mau jadi pemimpin! Hahaha! Pintar banget gue” jawab Itto. Ia berkacak pinggang setelah berhasil memengaruhi isi otak gadis berusia 7 tahun yang baru saja ia kenal beberapa minggu lalu.

Sara sibuk menulis apa yang Itto bicarakan, sambil memandangi wajah panutan hidupnya yang sedang merasa keren dengan tarian anehnya.

“Itto! Kamu jangan bawa kabur Sara terus!” sahut seorang perempuan dari ujung jalan.

“Ei! Ayo, Sara!”

Itto langsung menarik lengan Sara dan berlari menuju kekasihnya, Ei.

Dalam hati Sara, ia kurang menyukai sosok Ei karena fokus Itto selalu terpecah saat bersamanya. Namun ia tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Sara hanya merasa terganggu dengan kehadiran Ei.

“Sara? Kamu gak diapa-apain sama Itto, kan, Sayang?” Ei langsung mengecek seluruh tubuh Sara dengan penuh kasih sayang.

Walaupun agak risih dengan perlakuan Ei, di sisi lain Sara juga merasa nyaman dengan perlakuan perempuan berambut ungu itu.

“HEH! Enak aja! Aku masih doyan sama kamu!” elak Itto tak mau disalahkan.

“Doyan? Apa itu, Kak?” tanya Sara menoleh ke Itto.

Itto kaget mendengar pertanyaan Sara, bisa-bisanya ia keceplosan di depan anak kecil.

“Tuh, kan.” runtuk Ei kesal karena Itto kerap berbicara seenaknya.

“Doyan itu kalau suka sesuatu, rasanya pengen dimakan!” jelas Itto sambil menunjuk ke arah Ei.

“Berarti Kak Itto mau makan Kak Ei?”

GEPLAK!

“Udah gak usah dipikirin, Sayang. Kita pulang ke rumah, ya.” Ei langsung menjauhkan Sara dari Itto, mengantarkannya pulang ke rumah.

Itto masih memegangi kepalanya yang dijitak oleh Ei, ia merasa sangat bahagia karena telah dikunjungi oleh kekasihnya walaupun agenda kekasihnya itu hanya menjemput untuk Sara.

“HATI-HATI, EI, SARA!” teriak Itto lantang.

**

Itto tiba di depan makam Ei, duduk bersila sambil mendoakan sesuatu.

“Maafkan aku, Ei. Aku tak sanggup menatap wajah Sara lagi.”

Itto menunduk, berusaha menekan perasaannya.

“Bangsat, malah hujan.”

Tak ada seorang pun yang mengetahui hal ini, tapi hari ini adalah hari di mana sang iblis menangis.

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 2 (Ketua Kelas, Xiao) trigger: blood, violence, harsh words

Hentakan kaki bocah raksasa itu terasa dari ujung lorong menuju ruangan OSIS, ia tak bisa diam setelah tahu adiknya berkelahi dan melukai dirinya. Itto merupakan lulusan dari SMA Teyvat, 10 tahun yang lalu. Ia satu angkatan dengan Jean yang sekarang merupakan Waka Kesiswaan dan Pembina OSIS.

“MANA XIAO?!” teriak Itto, namun tak ada yang meresponnya.

Seluruh siswa yang berlari melihat Itto dari kejauhan juga tak berani bersuara, pria berbadan besar itu sangat ditakuti karena rata-rata mereka sudah tahu kalau Itto adalah pembuat onar legendaris seantero sekolah. Belum ada yang bisa menandinginya dalam hal ini, hanya hal ini.

Merasa tak ada yang menggubrisnya, Itto langsung mendobrak ruangan OSIS dan mendapati Sara, Xiao dan Gorou yang berada dalam ruangan itu.

“Kak—”

“XIAO ANJING!”

Itto langsung terbang dan menduduk Xiao yang sudah babak belur dan tak berdaya. Ia memukuli Xiao tanpa ampun, Xiao pun tak meminta ampun dan menerima pukulan bertubi-tubi dari Itto.

“CUKUP, KAK!” lerai Sara yang dari tadi berusaha menahan lengannya yang besar itu.

Jean yang baru saja tiba di ruangan OSIS langsung menarik baju Itto sekuat tenaga.

“LO GILA, TO? INI ANAK SMA!” bentak Jean tak peduli dengan sekitarnya lagi.

Jean dan Itto adalah rival semasa SMA, mereka selalu memperebutkan gelar siswa berprestasi walaupun di bidang yang berbeda, Jean di bidang akademik, sementara Itto di bidang olahraga.

“DIAM LO, JEAN! INI ADIK GUE YANG DIPUKULIN!” balas Itto tak mau kalah.

“Udah, Bang! Gorou duluan yang mukul Xiao,” bujuk Gorou yang sudah menangis dari tadi karena ketakutan.

“Tch.” Xiao membangunkan diri dari lantai, menyeka semua darah yang mengalir dari kulitnya yang sobek.

Sara yang terbilang ganas di depan anak-anak kini hanya bisa mematung ketakutan, ia juga tak berani mengeluarkan sepatah kata pun saat Itto sudah sampai di ruangan OSIS.

“Sara, kamu bawa Xiao dan Gorou ke UKS.” perintah Jean yang langsung disanggupi oleh Sara.

“Gak usah, biar gue yang urus Gorou. Jangan sampai muka datar lo itu muncul di hadapan gue dan Gorou lagi.”

Itto menarik Gorou keluar dari ruangan OSIS, meninggalkan Jean, Sara dan Xiao yang juga tak bisa berbuat apa-apa karena lelaki keras kepala itu.

Setelah keluar dari ruangan OSIS, Itto dan Gorou menjadi bahan tontonan, semua terlihat mengeluarkan ponselnya dan merekam kejadian bersejarah itu. Banyak juga yang masih tidak percaya kalau Gorou adalah adik dari iblis raksasa yang sekarang berubah panggilannya menjadi bocah raksasa.

Ningguang dan Zhongli yang baru saja tiba di sekolah langsung mencari keberadaan Gorou dan Itto, Noelle yang sudah menunggu di gerbang sekolah dari tadi bergegas menarik kedua orang tuanya dan berlari mencari saudaranya.

“Itto juga ada di sekolah, kan?” tanya Ningguang terengah-engah karena buru-buru datang ke sekolah dari kantornya.

“Kak Itto udah sampai di sekolah dari tadi, Noelle udah coba lerai tapi gak bisa.” jawab Noelle khawatir.

Gorou dan Itto kini tiba di hadapan Zhongli, Ningguang dan Noelle.

Ningguang yang sudah habis sabarnya langsung menghampiri Itto dan menamparnya dengan keras.

Gorou yang semakin ketakutan kembali menangis setelah melihat abangnya ditampar dengan keras oleh ibunya.

“Noelle, bawa Gorou ke ruang UKS.” suruh Ningguang dengan suara beratnya.

“Jangan,” sanggah Itto cepat.

Ningguang menoleh ke arah anak sulungnya. Bingung dengan kata-katanya.

“Ada Xiao di situ, jangan sampai mereka—”

Itto kembali ditampar oleh Ningguang untuk yang kedua kalinya. Mereka kembali menjadi tontonan warga sekolahan, namun tak ada yang berani melerai keluarga yang sedang panas-panasnya itu.

“Kamu bisa diam gak?” ujar Ningguang, badannya bergetar hebat karena merasa bersalah. Ia sebenarnya tak tega menampar anaknya, namun ia tak bisa berpikir jernih lagi karena rasa sabarnya yang sudah berada di ujung mulutnya.

“Sudah, Ning. Kita pamit dulu sama Jean. Gorou kita obati di rumah saja.” ujar Zhongli pelan. Ia tentu paham masalah ini seharusnya bisa diselesaikan baik-baik, tak perlu sampai menjadi tontonan seperti ini.

Ningguang mengangguk setuju, ia meraih lengan Gorou dan mengusap kepalanya selama perjalanan ke mobil. Zhongli dan Noelle pergi mencari Jean untuk meminta izin pulang, sementara Itto? Ditinggalkan saja berdiri sendiri di sana.

“Ah...” Itto menghela nafas lega sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca namun tak bisa ditebak apakah dia sedih atau bahagia.

**

Xiao duduk di hamparan batu di belakang sekolah. Mencoba menahan sakit yang ia dapatkan dari tangan besarnya Itto.

“Gila, ngilunya masih kerasa.”

Lagi-lagi yang menjadi pikiran Xiao adalah ego-nya yang tinggi. Bisa-bisanya ia membuang pemberian orang hanya karena dia sedang cemburu buta dengan Lumine.

Ia sudah mengabari Ganyu tentang keberadaannya, sang kakak jelas khawatir melihat seluruh kejadian di sekolah pagi tadi namun tidak bisa berbuat apa-apa.

“Lumine...” hanya itu yang keluar dari mulut Xiao sembari menutup matanya dan berharap luka yang ia rasakan ini bisa cepat menghilang.

“Xiao?” sapa seseorang dari kejauhan.

Xiao tak menghiraukannya, ia masih sibuk tenggelam dalam tidurnya.

“Xiao!”

Xiao membuka matanya, mendapati orang yang selama ini ia suka berada tepat di depan wajahnya. Raut wajah khawatir Lumine terpampang jelas sekarang, Xiao juga heran kenapa setelah ia menyebut nama Lumine, gadis itu bisa muncul di depan matanya.

“Kamu gapapa?” tanya Lumine khawatir.

“Gak.. gapapa.” jawab Xiao sok kuat.

“Jangan bohong,”

Belum sempat menjawabnya, Ganyu sudah sampai dan langsung membangunkan Xiao tanpa menghiraukan Lumine, keselamatan adiknya lebih penting dari orang yang tidak ia kenal. Ganyu yang terkenal ramah pada semua orang, kini sudah keluar dari karakternya setelah melihat wajah Xiao yang bisa dibilang tak terbentuk lagi, ia benar-benar bonyok karena Itto.

“Lumine...” gumam Xiao pelan.

Ganyu dan Xiao pergi meninggalkan Lumine seorang diri.

**

Sara duduk tertunduk di ruang OSIS bersama Zhongli, Noelle, dan Jean. Lagi-lagi ia tak berkutik setelah melihat anggota keluarga Itto di hadapannya.

“Kenapa kami disuruh duduk? Padahal kami cuma mau izin bawa Gorou pulang,” ujar Zhongli yang sedang berusaha meredam amarahnya.

Jean yang berusaha untuk profesional menyiapkan berkas kronologis yang harus diisi oleh Zhongli sebelum membawa Gorou pulang.

“Diisi dulu, Pak.” ujar Jean sopan.

“Pak? Kayak baru kenal saja kamu, Jean.” Zhongli sudah kembali menjadi dirinya yang jenaka.

“Karena kita ini sedang berada di lingkungan sekolah, Pak Zhongli.” balas Jean ketus. Ia menggigit bibirnya karena kesal menghadapi orang tua rivalnya yang tak tahu situasi.

“Sara? Kenapa diam saja?” Jean menyadarkan Sara dari lamunannya, ia pun terlihat berbeda hari ini. Seperti ada yang mengganggu pikirannya.

Gadis berambut ungu itu langsung bergegas menghampiri meja Zhongli dan mengarahkan apa saja yang harus diisi oleh sesepuh Teyvat itu.

Noelle juga membeku dari tadi, ia tak berani menatap mata Sara. Ia pernah bermasalah dengan anak OSIS, lebih tepatnya dengan Sara. Mungkin karena itu ia tak berani bermacam-macam lagi dengan Sara.

Setelah selesai mengisi berkas yang diperlukan, Zhongli dan Noelle pamit dari hadapan Jean dan Sara.

Sara menghela nafas panjang, bersyukur bahwa seluruh masalah ini bisa dibilang telah selesai.

“Sara, kamu kenapa hari ini?” tanya Jean lembut.

“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin saya sedang gak enak badan hari ini.” jawab Sara lemas. Tubuhnya sudah panas dari tadi, gugup melihat Itto membabi buta di depannya.

“Ya sudah. Kamu istirahat di UKS saja.”

Sara mengangguk pelan, ia berjalan keluar dari ruangan OSIS sambil membuka ponselnya dan mengecek pesannya.

“Cuma dibaca aja.” Sara terus menggerutu meratapi pesannya yang hanya dibaca oleh Itto.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 2 (Ketua Kelas, Xiao)

“Sampai jumpa besok, Geng!” seru Xingqiu dan teman-teman yang sudah selesai bertandang dari rumah si kembar.

Aether langsung menghempaskan badannya di sofa, meminta waktu pada Lumine untuk beristirahat sebentar.

“Jangan ketiduran, gue nyuci piring sendiri nih.” ujar Lumine kesal karena tak bisa menahan dirinya melihat seisi rumah berantakan dan kotor.

Kalau di rumah, sifat Lumine yang sebenarnya keluar tanpa izin. Ia sebenarnya orang yang cerewet, hanya saja ia harus menemukan zona nyamannya untuk berinteraksi dengan nyaman, contoh yang paling dekatnya adalah Aether. Mereka sudah bersama selama 17 tahun, sudah pasti mereka saling mengerti satu sama lain. Aether yang selalu ada untuk Lumine, begitu pun sebaliknya.

“AETHER! IH!” Lumine melempar lap kotor tepat di muka Aether yang sudah terdengar mendengkur dari dapur.

“IYA, IYA! GUE NYAPU DEH!”

Begitulah keseharian si kembar yang tak pernah damai, namun hanya itu satu-satunya cara mereka untuk saling mengekspresikan rasa sayang mereka.

**

Xiao turun dari motornya, ia menyesal telah menolak ajakan Aether untuk main ke rumahnya hanya karena ego dan gengsinya yang tinggi.

Hari sudah menunjukkan pukul 22.11 WT, ia terbenam dalam nafsunya mengendarai sepeda motor, hanya itu yang ia sukai selain basket. Xiao berhasil masuk ke SMA Teyvat jalur prestasi olahraga, ia merupakan kapten basket junior Teyvat. Banyak orang yang menyukai Xiao, ia pun tahu akan hal itu. Hanya saja matanya langsung terfokus pada satu orang, yaitu Lumine.

Xiao menjatuhkan tubuhnya ke kasur, membuka ponselnya yang langsung tertuju pada profil Lumine yang ia dapat dari grup kelasnya. Ia menekan foto Lumine dari profilnya, memandanginya tanpa henti.

“Bodoh banget lo, Xiao.”

Xiao langsung membuang ponsel itu dari hadapannya, membenamkan wajahnya ke kasur dan menikmati penyesalan yang ia rasakan sampai hari baru datang.

**

“Makasih banyak, Venti~” ujar Barbara lembut.

“Besok aku jemput lagi, kan?” tanya Venti, ia masih ingin memandangi wajah kekasihnya lebih lama.

“Ih, gak ngerepotin?” balas Barbara, pipinya memerah setelah sadar bahwa Venti terus memperhatikannya di setiap ada kesempatan.

“Gila, ya. Kita udah 4 tahun pacaran tapi aku gak ada bosennya sama kamu.” lanjut Venti santai.

“Masa? Jangan gombal, ih.” wajahnya memerah, tentu Barbara merasakan hal yang sama seperti Venti.

Hubungan Barbara dan Venti memang sudah diketahui oleh banyak orang, bagaimana tidak, mereka yang merupakan alumni dari SMP Teyvat, kembali masuk ke SMA Teyvat jalur prestasi di bidang seni. Mereka berdua kerap tampil atau mengikuti lomba musik mulai dari tingkat kota hingga nasional.

Barbara merupakan gadis yang baik hati, sementara Venti adalah laki-laki manis yang sangat setia pada pasangannya. Tak heran Barbara tidak bisa marah sama sekali kepada Venti.

“Inget gak, sih? Waktu awal kita ketemu?” tanya Barbara yang malah menyandarkan tubuhnya di motor Venti.

“Ingat, dong. Itu kan awal dari cerita kita.”

Sambil mengingat masa-masa itu, Venti menegakkan motornya dengan standar ganda agar Barbara bisa naik di atas motornya tanpa takut terjatuh. Bintang pun menghiasi malam mereka agar tidak kosong. Dua sejoli itu mengingat kembali masa-masa awal pertemuan mereka.

**

Bulan sudah cukup menerangi malam, kini ia turun digantikan oleh matahari. Hari yang baru tentu selalu ada cerita baru dari setiap sudut Teyvat.

“Xiao, bangun.” ketuk Ganyu dari luar kamarnya.

Ganyu adalah sepupu Xiao, usia mereka terpaut 2 tahun, Ganyu siswa kelas 12 IPA 1 dan merupakan mantan sekertaris OSIS selama 2 tahun berturut-turut, Ganyu dan Xiao hanya tinggal berdua, kedua orang tua mereka sudah meninggal sejak mereka masih kecil.

“Iya,” jawab Xiao datar. Ia sudah bangun dari tadi, setelah semalaman berseteru dengan pikirannya. Ia merasa kesal harus bangun pagi untuk bertemu dengan orang yang ingin ia hindari itu.

Ketika Xiao kesal dengan seseorang, ia bahkan sampai tak ingin melihat wajahnya, walaupun sekarang situasinya ia sedang kasmaran dengan Lumine.

“Kenapa gue harus kenal sama lo, sih?” gumam Xiao pelan.

Suara itu didengar oleh Ganyu yang sedang mengolesi roti tawarnya dengan selai cokelat.

“Kenapa, Xiao? Ada masalah?” tanya Ganyu lembut.

“Enggak, gue kesel sama seseorang.” jawab Xiao datar, seperti biasa.

“Kesel atau suka?” ledek Ganyu sambil meletakkan roti yang sudah dioles dengan selai itu di depan Xiao.

“Awalnya gue suka, terus kesel.” jawab Xiao tak peduli dengan godaan Ganyu yang tampak penasaran dengan cerita adiknya itu.

“Kamu itu selalu begitu, kalau suka sama orang, terus orang itu gak menunjukkan respon yang kamu mau, pasti kesel sendiri.” ujar Ganyu dengan nada jengkelnya.

Xiao sadar akan hal itu, ia paham betul bahwa itu memang dirinya yang sebenarnya, sampai Ganyu pun hafal dengan gerak-geriknya, makanya Xiao tak mungkin menyimpan rahasia dari Ganyu.

“Pikirkan lagi baik-baik, kamu beneran suka atau enggak sama dia? Kalau iya, turunin ego kamu itu, Dek.”

“Iya, bawel. Cepetan berangkat, ayo.”

Xiao dan Ganyu bergegas pergi ke sekolah dengan perdebatan yang selalu menjadi awal dari hari baru mereka.

**

“Pagi, Lumine.” sapa Razor yang baru saja datang dengan rambutnya yang masih basah pagi ini.

“I..iya, Razor.” jawab Lumine pelan, ia masih tak terbiasa dengan keberadaan Razor yang terasa seperti menekan dirinya.

Setelah itu Razor langsung menggeserkan mejanya sedikit lebih jauh dari Lumine, sepertinya ia paham bahwa Lumine tak ingin dekat-dekat dengannya sejak kemarin.

“Razor...” panggil Lumine.

“Ya?”

“Gak usah digeser mejanya. Maaf, aku memang agak susah untuk dekat sama orang.”

“Oh, oke.”

Razor kembali menggeser mejanya ke tempat semula.

“Sudah? Cukup?” tanya Razor polos.

Lumine tersentak mendengar pertanyaan polos laki-laki berambut abu-abu itu, ia terkekeh melihat tingkah teman sekelasnya itu, yang sangat peka namun polos.

Xiao yang baru saja melewati ke kelas Lumine mendapati Lumine sedang tertawa dengan Razor karena sesuatu. Ia berjalan ke kelasnya dengan cepat, meletakkan barang bawaannya dan langsung keluar dari kelasnya.

“Kapan gue bisa ngobrol gitu sama Lumine,” gumam Xiao dalam hati.

Xingqiu dan Bennett yang menyapa Xiao terheran karena tak dihiraukan oleh si ketua kelas. Walaupun mereka tahu kalau Xiao orang yang cuek, namun mereka bisa menyadari kalau ada sesuatu yang terjadi dengan temannya itu.

“Oh~ cemburu dia, Boy!” celetuk Bennett yang langsung paham dengan keadaan.

“Kenapa, sih? OOOHH” Xingqiu yang baru paham dengan keadaan langsung tertawa melihat tingkah Xiao yang terbilang kekanak-kanakan itu.

Xiao duduk di pinggiran lapangan olahraga SMA Teyvat, meratapi kebodohannya yang terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.

“Ehm.. Xiao?” sapa seseorang.

Xiao menoleh ke arah suara itu, seorang perempuan berambut hitam panjang dengan topi sekolah yang terlihat miring.

“Kenapa?” tanya Xiao datar.

“Ah... begini, namaku Hu Tao.”

“Terus?”

Hu Tao menggenggam kotak bekalnya dengan erat, takut salah bicara dengan laki-laki yang ia sukai itu.

“Ini, kebetulan aku masak banyak, jadi mau ngasih kamu ini.”

Hu Tao, kelas 10B, salah satu dari sekian banyak perempuan yang menyukai kapten basket SMA Teyvat. Walaupun tubuh Xiao tergolong rata-rata, kemampuannya dalam mengolah bola dan menembakkan bola dari tengah lapangan membuat Xiao pantas disegani oleh musuhnya.

“Terima kasih.” hanya itu yang keluar dari mulut Xiao saat itu.

Mereka berdiam diri selama beberapa saat, tak ada yang berani memulai pembicaraan lain. Hu Tao yang berdiri sejak tadi menunggu Xiao membuka kotak bekalnya dan berharap agar Xiao segera memakan masakannya. Sementara Xiao, masih memikirkan cara untuk memulai percakapan dengan Lumine.

Bel masuk sekolah berbunyi, Xiao langsung berdiri tanpa menghiraukan Hu Tao yang sedari tadi masih menunggunya makan masakan yang penuh perjuangan itu.

Mereka berpisah di lapangan olahraga, Xiao menuju kelasnya sementara Hu Tao masih mematung memperhatikan Xiao yang lambat laun menghilang dari pandangannya.

“Gue gak butuh ini,”

Xiao membuka tong sampah lalu membuang makanan pemberian Hu Tao tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Woy!” sahut seseorang dari belakang Xiao.

Xiao menoleh ke arahnya, melihat seorang lelaki berambut cokelat datang menghampirinya dengan cepat.

“Kenapa lo buang makanannya?!” bentak Gorou kesal. Ternyata ia menyaksikan semua kejadian pagi ini.

“Lo lapar? Ambil aja, belum lima menit.” balas Xiao datar, lalu pergi meninggalkan Gorou yang kaget mendengar responnya.

Gorou menarik kerah baju Xiao dari belakang dan langsung memukul jatuh Xiao dengan tangan kirinya.

Xiao yang tadinya lengah langsung berdiri dan membalas pukulan Gorou sehingga terjadilah perkelahian yang sengit. Mereka saling adu kekuatan tanpa ada yang melerai, karena memang semua siswa sudah di arahkan untuk apel pagi di lapangan, sementara mereka berkelahi di tengah perbatasan antara kelas 11 IPA dan 11 IPS.

“HEY! KENAPA KALIAN BERTENGKAR?!” teriak Jean dari depan majelis guru.

Jean berlari dengan sangat cepat dan langsung melerai pertikaian itu. Untung saja tidak ada yang melihat kejadian ini. Namun, tanpa basa-basi Jean langsung menggiring mereka ke lapangan dengan wajah bonyok dan darah yang masih segar yang keluar dari mulut dan pelipisnya.

Xiao dan Gorou berdiri di depan seluruh siswa-siswi SMA Teyvat yang sedang melakukan apel pagi.

Seluruh siswa tampak kaget melihat dua orang yang terbilang pendiam itu saling menyerang satu sama lain. Noelle yang menyadari bahwa Gorou terluka langsung lari dari barisannya menghampiri si bungsu.

“Kamu kenapa?!” ujar Noelle khawatir.

“Kamu PMR?” tanya Jean tegas.

Noelle mengangguk, dan menarik Gorou keluar dari lapangan.

“Jangan dulu!” tegas Jean yang masih sempat menahan lengan Gorou.

“Kalian dengarkan ini! Sekolah ini bukan tempat untuk adu jotos. Saya sangat kecewa mendapati kapten basket dan pradana pramuka sekolah kita malah saling memukul di lorong kelas 11!”

“SARA! SILAKAN DITINDAKLANJUTI MEREKA” teriak Jean dengan suara yang lebih keras dari biasanya.

Barbara yang melihat Jean (kakaknya) marah seperti ini langsung membuat kakinya lemas. Baru kali ini ia melihat Jean marah seperti itu.

“Kamu gapapa, Barb?” tanya Lumine pelan.

“Enggak, aku takut.” jawab Barbara lemas.

Sara langsung menampar Xiao dan Gorou di tempat mereka berdiri, mengusir Noelle yang dianggap bertindak seenaknya hanya karena Gorou adalah adiknya.

“Gila! Sakit tuh pasti.” kata Bennett ke Aether pelan.

Kawanan kelas 10D serempak mengangguk setuju, mereka juga tak habis pikir ketua kelasnya bisa ribut dengan anak dari kelas lain. Padahal mereka baru sekolah beberapa hari.

Xiao dan Gorou kembali digiring oleh anggota OSIS menuju ruangan yang disebut-sebut angker semenjak kepemimpinan Sara. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, hanya Xiao, Gorou, Sara, dan Tuhan yang tahu.