jejeuniverse

just my imagination ✨


Pukul 11.30 malam, Jonathan merenggangkan tubuhnya setelah duduk di meja kerjanya selama berjam-jam. Memijat pelipisnya yang terasa pening lalu beranjak dari tempat duduknya, ia tubuhnya sudah lelah dan ia harus beristirahat sekarang. Di hari libur begini ia masih harus mengerjakan beberapa dokumen, tak masalah sebenarnya toh ia juga bosan jika hanya berdiam diri saja dirumah. Maka dari itu selepas mengantar Lusy tadi pagi ia sempat berkunjung ke rumah Vanya, selain untuk bermain dengan keponakannya yang sangat menggemaskan ia juga ingin menghibur diri mengingat tahun baru ini meskipun ia sudah memiliki kekasih, ia tak bisa merayakan tahun baru bersamanya.

Jonathan kini duduk bersandar di ranjangnya, membuka ponsel lalu mengecek apakah ada pesan baru dari sang kekasih atau tidak. Namun tidak ada pesan masuk disana. Jonathan mulai mengetik pesan untuk Lusy, menanyakan apakah perempuan itu sudah sampai di rumahnya yang berada di Jogja atau belum.

Memejamkan matanya sejenak, ingatan ketika ia pertama kali bertemu Lusy kembali menyapa. Saat itu ia sedang bertemu dengan klien disebuah restoran, melihat gadis itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Tampak cantik dan lugas, sangat menarik perhatian Jonathan. Belum lagi saat perempuan itu berjalan keluar sembari membawa bungkus makanan dan memberikannya kepada pemulung cilik yang tengah lewat diluar. Karena hal itu, Jonathan semakin dibuat penasaran. Sering kali ia pergi ke restoran itu hanya untuk melihat Lusy bekerja, dari hari senin sampai kamis. Setelah itu Jonathan baru mengetahui kalau Lusy juga bekerja di cafe milik Stella sahabat dari adiknya Vanya.

Agak sulit mendekati Lusy, karena ia sendiri bingung harus mulai dengan cara apa? Sangat tidak mungkin saat ia berkunjung ke restoran dan saat memesan makanan ia langsung bertanya nomor telepon, yang ada perempuan itu langsung menghindarinya dan menganggap ia seorang playboy. Namun sepertinya semesta tengah berpihak pada Jonathan dengan membuat Jonathan membantu Lusy yang waktu itu tak sengaja bertemu. Lusy yang mengenal Jonathan karena menjadi pelanggan di restoran tempat ia berkerja, membuat keduanya semakin sering bertemu dan saling mengenal.

Ahh mengingat hal itu Jonathan merasa malu, agak menyesali keputusannya untuk mengikuti saran dari Vanya. Yup, berbohong soal pekerjaannya. Sebenarnya cukup membantu untuknya mengetahui tulus atau tidaknya seseorang padanya tanpa memandang statusnya tapi tetap saja memalukan.

Tok, tok, tok

Suara ketukan pintu membuat Jonathan kembali pada realita, sedikit terkejut mengingat saat ini suasana cukup hening. Melirik jam tangannya, Jonathan menyerit. Siapa gerangan yang mengetuk pintunya? Tidak mungkin hantu kan?

Tok, tok, tok

Jonathan beranjak menuju pintu setelah kembali mendengar ketukan, mencoba untuk tenang dan yakin bahwa yang mengetuk pintu mungkin saja sang Ibu atau sang Ayah.

Saat pintu terbuka betapa terkejutnya Jonathan saat melihat Lusy ada didepan pintu kamarnya. Mengerjap beberapa kali guna meyakinkan bahwa dirinya tak salah lihat.

“Lusy?”

Happy birthday mas Jo.” Ucap Lusy lalu datang Vanya dengan membawa kue, Wira yang membawa balon, sang Ibu tengah menggendong Bella serta Ayahnya yang ikut di belakang sembari menyanyikan lagu ulang tahun.

“Selamat ulangtahun kak Jo!! Yeay nambah tua.”

“Bang Jo selamat hari brojol, semoga tetap waras.”

Vanya dan Wira bergantian mengucapkan selamat pada Jonathan, sementara lelaki itu masih mencerna apa yang terjadi.

“Kamu....”

“Ntar dulu, coba make a wish dulu terus tiup lilinnya abis itu baru nanya.” Potong Vanya yang tau bahwa sang kakak penasaran bagaimana bisa Lusy ada dihadapannya saat ini.


“Jadi kamu gak pulang ke Jogja? Cuma jemput Ibu sama adik kamu yang mau tahun baru disini?” Ulang Jonathan setelah mendengar penjelasan Lusy.

“Hehehe maaf.”

“Kok minta maaf?”

“Takutnya kamu marah.”

Suara Lusy agak menciut, perempuan itu sedikit takut jika Jonathan benar-benar marah padanya karena berbohong.

“Enggak kok, aku gak marah.” Ucap Jonathan mengusap pelan kepala Lusy, “terus Ibu sama adik kamu ada di kosan?” Tanya Jonathan yang diangguki Lusy.

“Iya, mereka mau sambil liburan disini sekalian nengokin aku.”

“Mau kemana aja selama disini?”

“Hmm gak tau, paling nanti main ke ragunan atau gak Ancol. Ahh si Hanan pengen nginep di hotel, nanti aku cari kamar hotel yang masih kosong.” Jelas Lusy, keduanya kini tengah berada di dalam mobil Jonathan untuk mengantarnya pulang.

“Liburan sampe kapan?”

“Tanggal 6 mereka udah pulang.”

Jonathan hanya mengangguk, kembali fokus menyetir agar cepat sampai mengingat malam semakin larut.

“Nah udah sampe.”

Keduanya turun dari mobil, terlihat Hanan tengah menunggu di depan pagar kosan Lusy.

“Loh, ditungguin?” Tanya Jonathan.

“Hehehe iya, aku takut kalo sendiri.”

Lusy berjalan menuju pagar kosan yang ia tempati diikuti oleh Jonathan di belakang yang sibuk dengan ponselnya.

“Udah lama nunggu?” Tanya Lusy pada Hanan.

“Enggak, baru keluar.” Jawab Hanan, pandangannya beralih pada Jonathan yang berada dibelakang Lusy.

“Hanan, ini pacar mbak namanya Jonathan. Mas Jo, ini Hanan adik aku satu-satunya.” Ucap Lusy memperkenalkan keduanya.

“Halo Hanan, salam kenal. Maaf ya kakakmu jadi pulang malem.” Jonathan mengulurkan tangannya pada Hanan yang di sambut baik oleh Hanan.

“Hai mas, gakpapa. Mbak udah izin kok sama Ibu dan diizinin juga, asal dipulangin mas.” Ujar Hanan.

Jonathan mengangguk, lalu menoleh kearah Lusy sebentar sebelum kembali pada Hanan. “Besok beres-beres barang kamu sama Ibu ya, mas mau ngajak kalian jalan.”

“Hah, serius mas?”

“Iya.”

“Kok beresin barang sih mas? Emang mau kemana?” Tanya Lusy heran.

“Katanya mau nginep di hotel, ya udah ayo kita nginep di hotel. Aku udah booking tadi.”

“HAH?!”

Kedua kakak beradik dihadapan Jonathan nampak terkejut dengan ucapannya tadi.

“Heh kamu yang bener aja mas?” Lusy menggerutu.

“Beneran loh gak boong, kalo udah siap kasih tau aku biar langsung jemput kalian.”

“Wah makasih mas.” Ucap Hanan dengan wajah sumringah.

“Hanan mau kemana aja kasih tau mas ya, nanti langsung berangkat.” Jonathan tersenyum manis melihat Hanan yang langsung mengangguk mengiyakan ucapan Jonathan.

“Ya udah kalo gitu mas pamit pulang dulu, masuk gih udah mau pagi anginnya gak bagus buat badan. Salam ya buat Ibu.”

Jonathan tersenyum sebelum pergi menuju mobilnya yang terparkir di sebrang kost yang ditempati Lusy. Menyalakan mesin mobil lalu pergi menuju rumahnya, meninggalkan Lusy bersama sang adik.

“Wah pacar mbak keren banget, aku sih yes mbak.” Seru Hanan.

“Hadeuh mbak malah nyesel udah bilang ke dia rencana kita buat liburan.”

“Loh kenapa mbak?”

“Ya pasti dia bakal ikut dan bayar semua biaya liburan kita. Mbak sih gak masalah kalo dia mau ikut, tapi masalahnya bayarinnya itu loh.” Gerutu Lusy.

“Ya gakpapa lah mbak bukannya bagus, lagian diliat liat mas Jonathan udah mapan. Btw kerjanya apa mbak?”

Lusy membuka pintu kamar kosannya sebelum menjawab pertanyaan sang adik, “CEO Raymond grup.”

“Oohhh— APA?! ITU YANG PUNYA MEREK MIE INSTAN YANG SUKA KITA BELI ITU KAN? SERIUS???”



Pukul 11.30 malam, Jonathan merenggangkan tubuhnya setelah duduk di meja kerjanya selama berjam-jam. Memijat pelipisnya yang terasa pening lalu beranjak dari tempat duduknya, ia tubuhnya sudah lelah dan ia harus beristirahat sekarang. Di hari libur begini ia masih harus mengerjakan beberapa dokumen, tak masalah sebenarnya toh ia juga bosan jika hanya berdiam diri saja dirumah. Maka dari itu selepas mengantar Lusy tadi pagi ia sempat berkunjung ke rumah Vanya, selain untuk bermain dengan keponakannya yang sangat menggemaskan ia juga ingin menghibur diri mengingat tahun baru ini meskipun ia sudah memiliki kekasih, ia tak bisa merayakan tahun baru bersamanya.

Jonathan kini duduk bersandar di ranjangnya, membuka ponsel lalu mengecek apakah ada pesan baru dari sang kekasih atau tidak. Namun tidak ada pesan masuk disana. Jonathan mulai mengetik pesan untuk Lusy, menanyakan apakah perempuan itu sudah sampai di rumahnya yang berada di Jogja atau belum.

Memejamkan matanya sejenak, ingatan ketika ia pertama kali bertemu Lusy kembali menyapa. Saat itu ia sedang bertemu dengan klien disebuah restoran, melihat gadis itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Tampak cantik dan lugas, sangat menarik perhatian Jonathan. Belum lagi saat perempuan itu berjalan keluar sembari membawa bungkus makanan dan memberikannya kepada pemulung cilik yang tengah lewat diluar. Karena hal itu, Jonathan semakin dibuat penasaran. Sering kali ia pergi ke restoran itu hanya untuk melihat Lusy bekerja, dari hari senin sampai kamis. Setelah itu Jonathan baru mengetahui kalau Lusy juga bekerja di cafe milik Stella sahabat dari adiknya Vanya.

Agak sulit mendekati Lusy, karena ia sendiri bingung harus mulai dengan cara apa? Sangat tidak mungkin saat ia berkunjung ke restoran dan saat memesan makanan ia langsung bertanya nomor telepon, yang ada perempuan itu langsung menghindarinya dan menganggap ia seorang playboy. Namun sepertinya semesta tengah berpihak pada Jonathan dengan membuat Jonathan membantu Lusy yang waktu itu tak sengaja bertemu. Lusy yang mengenal Jonathan karena menjadi pelanggan di restoran tempat ia berkerja, membuat keduanya semakin sering bertemu dan saling mengenal.

Ahh mengingat hal itu Jonathan merasa malu, agak menyesali keputusannya untuk mengikuti saran dari Vanya. Yup, berbohong soal pekerjaannya. Sebenarnya cukup membantu untuknya mengetahui tulus atau tidaknya seseorang padanya tanpa memandang statusnya tapi tetap saja memalukan.

Tok, tok, tok

Suara ketukan pintu membuat Jonathan kembali pada realita, sedikit terkejut mengingat saat ini suasana cukup hening. Melirik jam tangannya, Jonathan menyerit. Siapa gerangan yang mengetuk pintunya? Tidak mungkin hantu kan?

Tok, tok, tok

Jonathan beranjak menuju pintu setelah kembali mendengar ketukan, mencoba untuk tenang dan yakin bahwa yang mengetuk pintu mungkin saja sang Ibu atau sang Ayah.

Saat pintu terbuka betapa terkejutnya Jonathan saat melihat Lusy ada didepan pintu kamarnya. Mengerjap beberapa kali guna meyakinkan bahwa dirinya tak salah lihat.

“Lusy?”

Happy birthday mas Jo.” Ucap Lusy lalu datang Vanya dengan membawa kue, Wira yang membawa balon, sang Ibu tengah menggendong Bella serta Ayahnya yang ikut di belakang sembari menyanyikan lagu ulang tahun.

“Selamat ulangtahun kak Jo!! Yeay nambah tua.”

“Bang Jo selamat hari brojol, semoga tetap waras.”

Vanya dan Wira bergantian mengucapkan selamat pada Jonathan, sementara lelaki itu masih mencerna apa yang terjadi.

“Kamu....”

“Ntar dulu, coba make a wish dulu terus tiup lilinnya abis itu baru nanya.” Potong Vanya yang tau bahwa sang kakak penasaran bagaimana bisa Lusy ada dihadapannya saat ini.


“Jadi kamu gak pulang ke Jogja? Cuma jemput Ibu sama adik kamu yang mau tahun baru disini?” Ulang Jonathan setelah mendengar penjelasan Lusy.

“Hehehe maaf.”

“Kok minta maaf?”

“Takutnya kamu marah.”

Suara Lusy agak menciut, perempuan itu sedikit takut jika Jonathan benar-benar marah padanya karena berbohong.

“Enggak kok, aku gak marah.” Ucap Jonathan mengusap pelan kepala Lusy, “terus Ibu sama adik kamu ada di kosan?” Tanya Jonathan yang diangguki Lusy.

“Iya, mereka mau sambil liburan disini sekalian nengokin aku.”

“Mau kemana aja selama disini?”

“Hmm gak tau, paling nanti main ke ragunan atau gak Ancol. Ahh si Hanan pengen nginep di hotel, nanti aku cari kamar hotel yang masih kosong.” Jelas Lusy, keduanya kini tengah berada di dalam mobil Jonathan untuk mengantarnya pulang.

“Liburan sampe kapan?”

“Tanggal 6 mereka udah pulang.”

Jonathan hanya mengangguk, kembali fokus menyetir agar cepat sampai mengingat malam semakin larut.

“Nah udah sampe.”

Keduanya turun dari mobil, terlihat Hanan tengah menunggu di depan pagar kosan Lusy.

“Loh, ditungguin?” Tanya Jonathan.

“Hehehe iya, aku takut kalo sendiri.”

Lusy berjalan menuju pagar kosan yang ia tempati diikuti oleh Jonathan di belakang yang sibuk dengan ponselnya.

“Udah lama nunggu?” Tanya Lusy pada Hanan.

“Enggak, baru keluar.” Jawab Hanan, pandangannya beralih pada Jonathan yang berada dibelakang Lusy.

“Hanan, ini pacar mbak namanya Jonathan. Mas Jo, ini Hanan adik aku satu-satunya.” Ucap Lusy memperkenalkan keduanya.

“Halo Hanan, salam kenal. Maaf ya kakakmu jadi pulang malem.” Jonathan mengulurkan tangannya pada Hanan yang di sambut baik oleh Hanan.

“Hai mas, gakpapa. Mbak udah izin kok sama Ibu dan diizinin juga, asal dipulangin mas.” Ujar Hanan.

Jonathan mengangguk, lalu menoleh kearah Lusy sebentar sebelum kembali pada Hanan. “Besok beres-beres barang kamu sama Ibu ya, mas mau ngajak kalian jalan.”

“Hah, serius mas?”

“Iya.”

“Kok beresin barang sih mas? Emang mau kemana?” Tanya Lusy heran.

“Katanya mau nginep di hotel, ya udah ayo kita nginep di hotel. Aku udah booking tadi.”

“HAH?!”

Kedua kakak beradik dihadapan Jonathan nampak terkejut dengan ucapannya tadi.

“Heh kamu yang bener aja mas?” Lusy menggerutu.

“Beneran loh gak boong, kalo udah siap kasih tau aku biar langsung jemput kalian.”

“Wah makasih mas.” Ucap Hanan dengan wajah sumringah.

“Hanan mau kemana aja kasih tau mas ya, nanti langsung berangkat.” Jonathan tersenyum manis melihat Hanan yang langsung mengangguk mengiyakan ucapan Jonathan.

“Ya udah kalo gitu mas pamit pulang dulu, masuk gih udah mau pagi anginnya gak bagus buat badan. Salam ya buat Ibu.”

Jonathan tersenyum sebelum pergi menuju mobilnya yang terparkir di sebrang kost yang ditempati Lusy. Menyalakan mesin mobil lalu pergi menuju rumahnya, meninggalkan Lusy bersama sang adik.

“Wah pacar mbak keren banget, aku sih yes mbak.” Seru Hanan.

“Hadeuh mbak malah nyesel udah bilang ke dia rencana kita buat liburan.”

“Loh kenapa mbak?”

“Ya pasti dia bakal ikut dan bayar semua biaya liburan kita. Mbak sih gak masalah kalo dia mau ikut, tapi masalahnya bayarinnya itu loh.” Gerutu Lusy.

“Ya gakpapa lah mbak bukannya bagus, lagian diliat liat mas Jonathan udah mapan. Btw kerjanya apa mbak?”

Lusy membuka pintu kamar kosannya sebelum menjawab pertanyaan sang adik, “CEO Raymond grup.”

“Oohhh— APA?! ITU YANG PUNYA MEREK MIE INSTAN YANG SUKA KITA BELI ITU KAN? SERIUS???”



Sebuah motor Honda CBR 250R berhenti di basement sebuah gedung, sang pengendara melepas helm serta jaket yang ia kenakan menampakkan wajah tampan nan tegas. Samudra turun dari motornya, berjalan menuju lift dan naik menuju lantai yang sudah di beri tahu Marcell padanya. Belum sampai di lantai yang ia tuju namun pintu lift tiba-tiba terbuka, memperlihatkan sosok perempuan cantik nan anggun.

Baik Samudra atau perempuan itu sama-sama terdiam, saling menatap satu sama lain. Keduanya kembali tersadar saat pintu lift hampir tertutup, Samudra refleks menahan pintu lift itu. Mempersilahkan perempuan cantik itu masuk dan pergi menuju lantai yang sama. Keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing, hening dan itu benar-benar sangat canggung.

“Hai.”

“Hey.”

Sapa keduanya berbarengan, membuat suasana canggung sedikit mencair karena keduanya sama-sama tertawa pelan.

“Bisa barengan gitu ya.”

Dunno,” Samudra mengangkat bahunya, menatap wajah perempuan yang sudah lama tak ia jumpai. “Apa kabar Cherry?” Tanya Samudra, dadanya berdegup kencang. Masih sama seperti dulu, saat pertama kali ia melihat perempuan itu di ospek penerimaan mahasiswa baru.

Sebelum perempuan bernama Cherry itu menjawab pertanyaan Samudra, pintu lift terbuka. Menandakan keduanya telah sampai di lantai yang mereka tuju, “baik, kamu sendiri apa kabar?”

“Kayak yang kamu liat, aku juga baik.” Balas Samudra, mereka kini sudah berada di sebuah studio dengan banyak lighting, kamera serta beberapa orang staff.

“Eh— udah dateng? Kok bisa bareng? Sengaja bareng?” Tanya Marcell bertubi-tubi pada keduanya.

“Enggak kok, tadi ketemu pas di lift.” Jawab Cherry yang diangguki Samudra.

“Oh ya udah kalo gitu, kalian berdua kesana aja nanti langsung di makeup sama di kasih wardrobe yang bakal kalian pake. Semangat!”


“Wah gila, ini beneran udah lama gak ketemu? Tapi kenapa chemistry nya bagus banget? Apa karena dulu sering photoshoot bareng?” Puji Marcell melihat hasil photoshoot Samudra dan Cherry.

“Lebay lo.” Cibir Samudra.

“Ini udah selesai kan?” Tanya Cherry pada Marcell

“Iya udah beres kok, mau pulang kak?”

Cherry mengangguk sebagai jawaban, lantas segera mengambil tasnya. Begitupun Samudra yang juga hendak pulang.

“Kak Cher pulang di jemput?” Tanya Marcell.

“No, aku naik taksi online.”

“Kenapa gak bareng bang Sam aja?”

“Eh— ngerepotin, gakpapa ini mau mesen taksi online kok.”

“Bang, anterin gih.”

Samudra menatap Marcell lalu berpindah menatap Cherry, “gak usah lo suruh juga bakal gue anter. Ayo Cher pulang.”

“Gak usah gakpapa, aku udah pesen taksi online sayang kalo di cancel.” Tolak Cherry, “gakpapa beneran deh, duluan ya.”

“Yaahhhh tertolak.”

Samudra mengangkat bahunya, pamit pulang pada Marcell lalu bergegas menuju motornya yang ada di basement, menghidupkan motornya dan pergi dari sana. Saat di depan gedung ia melihat Cherry, gadis itu masih berdiri di depan lobby dengan wajah yang masam. Samudra lantas menghampiri perempuan itu.

“Hey, kok belum pulang?” Tanya Samudra saat sampai dihadapan Cherry, sementara perempuan cantik itu terlonjak kaget melihat kedatangan Samudra.

“Ish ngagetin. Iya nih tadi di cancel sama taksinya, ini udah order lagi tapi belum ada yang ngambil.” Gerutu Cherry.

Samudra tersenyum samar, tidak ada yang berubah dari perempuan cantik disampingnya. Masih sama seperti dulu.

“Ya udah, ayo bareng.” Tawar Samudra.

“Gak deh ngerepotin.”

“Udah ayo naik, daripada nunggu lama.”

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Masa gak pake helm?”

Ah benar juga, Samudra hanya membawa satu helm saja. Ia juga tak mungkin membiarkan Cherry menaiki motornya tanpa helm. Tak kehilangan akal, Samudra melepas helmnya, memberikannya pada Cherry yang bingung dengan sikap Samudra.

“Kalo gitu kamu aja yang pake helmnya.” Titah Samudra.

Cherry menggeleng, “terus kamu gimana?”

“Gakpapa, santai aja. Nanti bawa motornya pelan-pelan kok. Udah pake aja.”

Cherry mencebik, mau tak mau memakai helm itu. Cukup kesulitan untuk mengaitkan penjepit helm hingga membuat Samudra harus membantunya, saat wajah keduanya berada di jarak yang cukup dekat, Cherry menahan nafas. Jantung perempuan itu berdegup cukup kencang, semoga Samudra tak mendengar suara gaduh yang disebabkan oleh dadanya yang bergemuruh.

“Nah udah, ayo naik. Pegangan ke bahu aku biar gampang naiknya.” Ucap Samudra lalu memberikan jaket yang sudah lelaki itu lepas sebelumnya, “pake, biar gak kedinginan. Baju kamu terlalu pendek, nanti masuk angin.”

Setelah berucap seperti itu, Samudra memacu motornya membelah jalanan. Cherry bahkan hampir terjungkal karena Samudra yang tiba-tiba menarik gas tanpa aba-aba, Samudra tertawa lalu meminta maaf dan menyuruh perempuan itu untuk berpegangan padanya. Sementara Cherry hanya bisa mendumal sepanjang perjalanan mereka.

Apanya yang pelan, ini ngebut namanya —batin Cherry.



“Hai.” Sapa Syl pada lelaki dihadapannya.

“Hai, ayo naik. Nih helm nya.” Balas Wildan sembari menyodorkan sebuah helm pada Syl.

Berpegangan pada bahu Wildan mencoba menaiki motor Yamaha R15 milik lelaki itu, “udah? Pegangan ya, biar gak jatoh.” Syl hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu motor gede itu melesat membelah jalanan yang ramai.

“Syl.”

“Iya apa?”

“Mau main dulu gak?”

“Hah? Apa?”

“Mau main dulu gak?” Ulang Wildan dengan suara yang lebih kencang, memang salahnya mengajak bicara Syl disaat seperti ini.

“Kemana?” Tanya Syl.

“Cafe punya kakak aku.”

“Hah— kak Wil punya kakak? Aku kira kakak anak satu-satunya.”

“No, aku punya kakak. Mau gak?”

“Boleh, dirumah juga bosen cuma sendiri.”

“Oke.”

Syl dan Wildan kini berhenti tepat di depan cafe yang mereka tuju, melepaskan helm lalu beranjak masuk kedalam cafe. Suasananya nyaman dan cukup ramai, Wildan mengajak Syl menuju kasir dimana seorang perempuan tengah sibuk dengan kegiatannya.

“Hai bu bos.” Sapa Wildan yang langsung mengalihkan atensi perempuan di belakang mesin kasir.

“Hai, udah pulang? Tumben mampir.” Balas perempuan cantik itu.

“Pengen aja sih, sekalian ngajak adiknya temen.” Wildan menggeser posisinya, memperlihatkan sosok Syl yang sedari tadi bersembunyi di belakang tubuh lelaki jangkung itu.

“Nah kak Sera, ini Syl adiknya Samudra. Syl, ini kak Sera— “

“Hai, aku Seraphina. Kakaknya Wildan.” Perempuan bernama Sera itu dengan cepat memotong ucapan Wildan dan menjabat tangan Syl.

“Hai kak, aku Sylvana. Panggil Syl aja.” Syl membalas jabatan tangan Sera, cantik sekali —pikir Syl.

“Ayo duduk, nanti aku siapin cake sama minumannya. Atau mau sekalian makan?”

Wildan melirik Syl, bertanya apakah ia ingin makan makanan berat atau tidak dengan ekspresi wajahnya. “Enggak usah kak, aku tadi udah makan sama temen-temen.” Ucap Syl yang paham dengan ekspresi Wildan.

“Kue aja kalo gitu, aku juga udah makan tadi.” Ujar Wildan.

“Gue gak nawarin lo sih.” Ledek Sera yang di hadiahi wajah sebal Wildan.

“Dih ambekan. Anyway, kamu suka apa? Coklat? Matcha atau taro?”

“Coklat.” Jawab Syl singkat.

“Okay noted. Tunggu ya.”

Setelah itu Sera pergi dari hadapan Syl dan Wildan, menyiapkan kue serta minuman yang tadi ia tawarkan untuk keduanya.

How's college?” Tanya Wildan memecah keheningan.

Syl yang sibuk memperhatikan suasana cafe itu menoleh, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ya gitu, bosen dikit dan lebih banyak stress nya.”

“Hmm kuat-kuatin aja ya, udah ada rencana nyusun skripsi?”

“Udah mulai cari banyak referensi sih, tapi ya mau fokus semester ini aja dulu.”

Wildan mengangguk lalu melihat sekeliling mencari sang kakak yang tak kunjung datang membawa makanan untuk mereka. Lalu matanya menangkap sosok sang kakak yang tengah sibuk mengurus para pelanggan.

Oh my gosh, sorry guys makannya telat datang. Kinda hectic right now.” Ucap Sera yang datang membawa nampan berisi tiga kue dan dua minuman untuk Wildan dan Syl.

It's okay kak, thank you.” Syl tersenyum sembari membantu menaruh kue dan minuman kemeja.

“Kurang pegawai ya kak?” Tanya Wildan.

“Iya, sebenernya ada yang part time tapi dia ada kelas malam. Terus satu pegawai tetap lagi sakit jadi dia izin hari ini.” Tutur Sera, menghembuskan nafasnya sedikit kasar.

Syl terdiam, apakah ini sebuah kebetulan?

“Masih butuh pekerja part time gak kak?” Tanya Syl penasaran.

“Iya, butuh banget.” Jawab Sera membuat mata Syl berbinar.

“Aku boleh gak kerja disini?”

“Emang kamu mau?”

Syl mengangguk antusias, Sera yang melihat itu terlihat bersemangat sementara Wildan terlihat tak setuju.

Wait— Syl bukannya Samudra gak ngizinin kamu kerja?” Wildan menatap Syl, begitu juga Sera yang wajahnya kembali tak bersemangat.

“Iya, tapi aku mau kerja. Kak Wildan bisa kan gak bilang ke kakak?” Syl mencoba membujuk Wildan, namun lelaki itu terlihat tak yakin.

“Plis, aku punya alasan kok kenapa aku ngeyel pengen kerja.” Ucap Syl penuh keyakinan, membuat kedua kakak beradik di depannya saling bertukar tatap.



“Hai.” Sapa Syl pada lelaki dihadapannya.

“Hai, ayo naik. Nih helm nya.” Balas Wildan sembari menyodorkan sebuah helm pada Syl.

Berpegangan pada bahu Wildan mencoba menaiki motor Yamaha R15 milik lelaki itu, “udah? Pegangan ya, biar gak jatoh.” Syl hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu motor gede itu melesat membelah jalanan yang ramai.

“Syl.”

“Iya apa?”

“Mau main dulu gak?”

“Hah? Apa?”

“Mau main dulu gak?” Ulang Wildan dengan suara yang lebih kencang, memang salahnya mengajak bicara Syl disaat seperti ini.

“Kemana?” Tanya Syl.

“Cafe punya kakak aku.”

“Hah— kak Wil punya kakak? Aku kira kakak anak satu-satunya.”

“No, aku punya kakak. Mau gak?”

“Boleh, dirumah juga bosen cuma sendiri.”

“Oke.”

Syl dan Wildan kini berhenti tepat di depan cafe yang mereka tuju, melepaskan helm lalu beranjak masuk kedalam cafe. Suasananya nyaman dan cukup ramai, Wildan mengajak Syl menuju kasir dimana seorang perempuan tengah sibuk dengan kegiatannya.

“Hai bu bos.” Sapa Wildan yang langsung mengalihkan atensi perempuan di belakang mesin kasir.

“Hai, udah pulang? Tumben mampir.” Balas perempuan cantik itu.

“Pengen aja sih, sekalian ngajak adiknya temen.” Wildan menggeser posisinya, memperlihatkan sosok Syl yang sedari tadi bersembunyi di belakang tubuh lelaki jangkung itu.

“Nah kak Sera, ini Syl adiknya Samudra. Syl, ini kak Sera— “

“Hai, aku Seraphina. Kakaknya Wildan.” Perempuan bernama Sera itu dengan cepat memotong ucapan Wildan dan menjabat tangan Syl.

“Hai kak, aku Sylvana. Panggil Syl aja.” Syl membalas jabatan tangan Sera, cantik sekali —pikir Syl.

“Ayo duduk, nanti aku siapin cake sama minumannya. Atau mau sekalian makan?”

Wildan melirik Syl, bertanya apakah ia ingin makan makanan berat atau tidak dengan ekspresi wajahnya. “Enggak usah kak, aku tadi udah makan sama temen-temen.” Ucap Syl yang paham dengan ekspresi Wildan.

“Kue aja kalo gitu, aku juga udah makan tadi.” Ujar Wildan.

“Gue gak nawarin lo sih.” Ledek Sera yang di hadiahi wajah sebal Wildan.

“Dih ambekan. Anyway, kamu suka apa? Coklat? Matcha atau taro?”

“Coklat.” Jawab Syl singkat.

“Okay noted. Tunggu ya.”

Setelah itu Sera pergi dari hadapan Syl dan Wildan, menyiapkan kue serta minuman yang tadi ia tawarkan untuk keduanya.

How's college?” Tanya Wildan memecah keheningan.

Syl yang sibuk memperhatikan suasana cafe itu menoleh, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ya gitu, bosen dikit dan lebih banyak stress nya.”

“Hmm kuat-kuatin aja ya, udah ada rencana nyusun skripsi?”

“Udah mulai cari banyak referensi sih, tapi ya mau fokus semester ini aja dulu.”

Wildan mengangguk lalu melihat sekeliling mencari sang kakak yang tak kunjung datang membawa makanan untuk mereka. Lalu matanya menangkap sosok sang kakak yang tengah sibuk mengurus para pelanggan.

“Oh my gosh, sorry* guys makannya telat datang. Kinda hectic right now.” Ucap Sera yang datang membawa nampan berisi tiga kue dan dua minuman untuk Wildan dan Syl.

It's okay kak, thank you.” Syl tersenyum sembari membantu menaruh kue dan minuman kemeja.

“Kurang pegawai ya kak?” Tanya Wildan.

“Iya, sebenernya ada yang part time tapi dia ada kelas malam. Terus satu pegawai tetap lagi sakit jadi dia izin hari ini.” Tutur Sera, menghembuskan nafasnya sedikit kasar.

Syl terdiam, apakah ini sebuah kebetulan?

“Masih butuh pekerja part time gak kak?” Tanya Syl penasaran.

“Iya, butuh banget.” Jawab Sera membuat mata Syl berbinar.

“Aku boleh gak kerja disini?”

“Emang kamu mau?”

Syl mengangguk antusias, Sera yang melihat itu terlihat bersemangat sementara Wildan terlihat tak setuju.

Wait— Syl bukannya Samudra gak ngizinin kamu kerja?” Wildan menatap Syl, begitu juga Sera yang wajahnya kembali tak bersemangat.

“Iya, tapi aku mau kerja. Kak Wildan bisa kan gak bilang ke kakak?” Syl mencoba membujuk Wildan, namun lelaki itu terlihat tak yakin.

“Plis, aku punya alasan kok kenapa aku ngeyel pengen kerja.” Ucap Syl penuh keyakinan, membuat kedua kakak beradik di depannya saling bertukar tatap.



“Arrghhh!!”

Erangan frustasi terdengar dari dalam kamar apartemen yang menjadi studio mini milik Jinan, lelaki berkulit seputih susu itu kini mencoba untuk mengalihkan pikiran negatifnya namun gagal.

Sedikit terheran-heran karena ia tak pernah se kacau ini hanya karena sebuah ucapan ulangtahun. Apa hebatnya ucapan ulangtahun? Hanya sebatas ucapan selamat atas bertambahnya usia yang artinya tanggung jawab mu juga semakin besar dalam hidup. Tapi kini ia benar-benar kacau hanya karena seseorang tak mengucapkan selamat ulangtahun dan orang itu adalah kekasihnya, Olivia.

Entah kemana perginya gadis itu, seharian ini bahkan tak ada satupun pesan yang masuk ke ponsel Jinan atas namanya. Pesan yang Jinan kirim untuknya pun tak gadis itu balas hingga kini, sesibuk itukah?

Menyerah, kini Jinan bangkit dari duduknya. Berjalan menuju lemari pendingin di dapur dan mengambil sekaleng cola tanpa gula favoritnya. Meneguknya hingga tersisa setengahnya. Kepalanya mulai dingin, rasa kesalnya juga sedikit mereda. Lihat, begitu berpengaruhnya seorang Olivia dalam hidup Jinan kini. Berani bertaruh jika Olivia pergi meninggalkan Jinan dengan laki-laki lain, ia pasti akan gila.

Tidak, cukup. Membayangkannya saja Jinan tak mampu.

Ting tong!

Suara bel pintu berbunyi menginterupsi Jinan, sempat terdiam karena takut salah dengar namun langsung beranjak ke depan pintu saat mendengar bel berbunyi untuk kedua kalinya. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mencoba mengintip di lubang kecil yang ada dipintu, ia tak menemukan siapapun diluar. Tidak mungkin orang iseng— pikirnya.

Jinan membuka pintu dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati seseorang yang seharian ini ada dalam pikirannya, dengan dress motif kotak-kotak, rambut panjang yang dibiarkan terurai, makeup yang semakin membuatnya cantik, jangan lupakan sebuah kue berbentuk kucing yang lucu di tangannya sambil tersenyum manis.

“Hai!” Sapa Olivia, senyumnya masih merekah saat Jinan masih saja bergeming di depan pintu. “Happy birthday Jinan.”

Tubuh Olivia oleng dan hampir terjatuh saat Jinan dengan tiba-tiba menarik gadis itu kedalam pelukannya, Olivia baru saja akan protes karena kue ditangannya hampir saja terjatuh jika saja ia tak mendengar deru nafas Jinan yang memburu.

“Ji....are you okay?” Tanya Olivia pelan. Gadis itu perlahan masuk kedalam unit apartemen Jinan dengan susah payah karena lelaki itu masih memeluk tubuhnya.

“Kamu tuh...kemana aja sih?” Jinan melepaskan pelukannya, menatap Olivia dengan wajah gusarnya.

“Sorry, aku tuh niatnya mau surprise in kamu. Makanya aku bilang aku lembur padahal enggak.”

“Jadi seharian ini kamu ngilang tuh sengaja?”

“Iya, hehehe maaf.”

Olivia berjalan menuju dapur, menyimpan kue yang tadi ia bawa ke meja serta mengeluarkan makanan yang ia masak sebelumnya di apartemennya untuk Jinan.

“Makan yuk, aku tau kamu belum makan kan.” Ujar Olivia sembari memindahkan makanan yang ia bawa ke piring.

“Aku mandi dulu deh kalo gitu.”

“Oke.”



Hi guys! It's me, Jeje!!❤️

First at all, AKHIRNYA WHAT IF TAMAT YEAYYY😭🎉

GIMANA? SUKA GAK????

Beneran gak nyangka bakal sejauh ini buat Wira Anya, yang tadinya cuma iseng bikin onetweet buat kakak online ku— kak Ucil, plus emang lagi kesemsem sama wonu akhirnya bisa jadi long au yang bener bener jalan ceritanya sangat-sangat melenceng dari jalan cerita yang udah disiapkan, tapi Alhamdulillah masih nyambung😭🙏🏻

Semoga kalian suka ya sama cerita tidak jelas dan membosankan ini huhuhu aku juga berharap semoga Wira Anya bisa kalian kenang sebagai pasutri gaje nan bucin kesayangan kalian. Meskipun udah tamat di long au ini tapi jangan sedih, aku pasti bakal kasih kalian onetweet atau few tweets mereka sebagai Papa dan Mama muda. Hehehe jadi ditunggu aja ya☺️

Aku juga mau bilang terimakasih banyak buat kalian yang udah baca cerita Wira Anya, entah baca dari awal mereka debut atau yang baru menemukan pasangan bucin ini. Terimakasih sebanyak-banyaknya buat dukungan kalian, aku gak akan bisa selesaiin cerita ini kalo bukan karena kalian🥰

Sekali lagi terimakasih, i love you guys so much❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Love, Jeje❤️


Back To Reality


Wira terbangun dengan peluh yang membasahi keningnya juga nafas yang terengah-engah. Melihat sekeliling kini ia berada di kamar Vanya seperti sebelum ia terlelap.

Wira are you okay?” Tanya Vanya yang ternyata berada di kursi dekat ranjang. Menatap Wira khawatir sembari menggendong Bella yang tengah tertidur.

Lelaki itu bergeming, mencoba mengingat apa yang ia lihat dalam mimpinya tadi. Hingga akhirnya ia menangis, tangis yang belum pernah Vanya lihat selama mengenal Wira. Dengan sigap Vanya menghampiri Wira, meletakkan Bella di sisi kasur yang masih kosong lalu memeluk suaminya. Menenangkannya sembari mengusap punggungnya pelan.

Pintu kamar Vanya terketuk lalu terbuka, menampakkan Jonathan yang khawatir ketika mendengar suara tangisan dari dalam kamarnya yang berada di sebelah kamar Vanya.

“Ada apa? Siapa yang nangis?” Tanya Jonathan.

Lelaki jangkung itu hampir marah jika saja ia melihat Vanya menangis namun yang ia lihat adalah adiknya tengah memeluk tubuh Wira yang bergetar karena menangis, tak paham situasi yang terjadi diantara mereka berdua, Jonathan memilih untuk masuk dan membawa Bella pergi dari sana.

“Bella sama gue dulu, take your time.” Ucap Jonathan lalu pergi dari sana.

Vanya mengangguk lalu kembali fokus pada Wira, lelaki itu masih menangis. Vanya benar-benar bingung, apa yang terjadi? Apa ia mengalami mimpi buruk?

“Wira, kenapa? Ada apa? Lo mimpi buruk?” Tanya Vanya pelan, masih setia mengusap pelan punggung suaminya itu.

Wira menggeleng, mencoba menenangkan diri di bahu sempit Vanya. Tangisannya sedikit mereda, mencoba mengatakan sesuatu tentang mimpinya tadi.

“Gue...gue mimpi Nya.” Wira membuka suara, ucapannya sesekali terhalang isakan yang sulit untuk ditahan. “Gue mimpi lagi di rumah Mbah Putri di Jogja, disana ada Mbah Kakung....”

Vanya mendengarkan dengan seksama, sedikit lega karena ternyata bukan mimpi buruk yang hinggap di dalam tidur Wira.

“Kai...disana juga ada Kai Nya.” Ujar Wira membuat pergerakan tangan Vanya di punggung suaminya terhenti.

Perempuan itu menatap suaminya lekat, memastikan bahwa ia tak salah dengar. Melihat Wira yang masih menangis tak percaya, Vanya kembali memeluk Wira. Mendekapnya erat dan berucap syukur serta terimakasih berkali-kali.

How does it feel to meet Kai?” Tanya Vanya yang kini ikut menangis terharu.

“Gue gak tau...rasanya campur aduk Nya. Lo bener, Kai mirip banget sama gue waktu kecil.” Ucap Wira.

Vanya paham betul perasaan Wira saat ini, ia juga sama seperti Wira saat bermimpi bertemu Kai setelah melahirkan Bella.

“Nah, sekarang beneran udahan yuk nyalahin diri sendirinya. Gue tau apa yang Kai atau Mbah Kakung sampein ke lo, jadi kita harus bisa jalanin semua ini tanpa ada rasa sesal lagi. Oke?” Tutur Vanya menatap Wira teduh.

“Nya gue janji bakal jagain lo sama Bella, gue gak akan biarin apapun atau siapapun nyakitin kalian berdua. Kalo gue salah atau lupa sama janji gue, lo bisa pukul gue.” Wira memegang kedua tangan Vanya, meyakinkan istrinya itu bahwa perkataannya tadi bukan hanya bualan belaka.

Sedangkan Vanya malah terkikik geli melihat Wira yang menurutnya sangat dangdut ini, Wira yang melihat Vanya malah tertawa mencebik sebal. “Gue serius tau Nya.”

“Iya Wira, iya. Gue tau lo serius. Sekarang kita jalan pelan-pelan ya, saling jaga, saling sayang, saling memahami, saling support dan saling saling lainnya.”

“Pasti Nya, pasti.”

Keduanya kembali berbagi dekapan hangat, saling menyalurkan perasaan yang tiba-tiba membuncah. Saling menyampaikan rasa yang tak pernah mereka katakan lewat pelukan hangat di sore menjelang malam ini.

“Eeee.....permisi, maaf mengganggu waktu berduaan pasutri tapi ini anaknya nangis kayaknya haus minta mimi lagi.” Ucap Jonathan yang tiba-tiba muncul di depan kamar Vanya bersama dengan Lusy yang tengah menggendong Bella sembari tersenyum malu.



Ephemeral


Sinar matahari sore hari ini masuk melalui sela-sela jendela sebuah kamar, mengusik seseorang yang tengah tertidur dengan nyenyak yang akhirnya terbangun dengan wajah yang masam. Lelaki itu bangkit dari tidurnya, terduduk di tepi kasur dan memandang sekitar. Kamar minimalis dengan segala sesuatu yang berada didalam kamar itu begitu kental dengan adat Jawa, serta beberapa foto dirinya bersama sang Ibu terpajang rapi disana.

Wira bangkit berjalan keluar dari kamar itu, hendak menuju kamar mandi namun urung saat mendengar suara anak kecil yang tengah asik bermain di halaman belakang rumah. Mengubah arah tujuan, Wira kini berjalan menuju halaman belakang. Halaman yang cukup luas untuk menghabiskan waktu bermain atau menanam tanaman hias seperti yang sering Ibu atau Mbah Putri lakukan.

Sesampainya disana, bisa ia lihat mentari sore yang tak terlalu panas, juga pepohonan rindang yang membuat halaman belakang ini terasa sangat asri. Dan juga seorang anak kecil yang tengah asik bermain bola seorang diri, persis sepertinya dulu. Sebentar, apakah anak kecil itu adalah dirinya dimasa lalu?

“Wira.”

Wira menoleh ketika mendengar suara memanggilnya, sebuah suara yang sangat familiar. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada seseorang yang sangat Wira rindukan tengah duduk santai di kursi tempat beliau biasa duduk santai sembari minum kopi dan menghisap cerutu.

“Sudah bangun to le? Sini duduk.” Titahnya pada Wira yang dengan cepat Wira turuti. Duduk di kursi sebelah yang masih kosong.

Tak ada obrolan setelah Wira duduk di sebelah sang Kakek, Wira yang masih mencerna keadaan ini sementara Kakeknya sibuk menghisap cerutu.

“Ini mimpi kalo kamu penasaran, masa Mbah Kakung ada disini padahal sudah lama mati to?” Gelak sang Kakek membuat Wira bergeming.

Benar, sang Kakek telah tiada saat ia masih berumur lima tahun. Kakeknya adalah satu-satunya lelaki yang sangat Wira hormati dan segani di keluarganya, meski begitu Wira menyayangi Kakeknya karena baginya sang Kakek adalah pengganti sosok Ayah untuknya. Maka dari itu Wira terlihat bingung saat melihat sang Kakek ada dihadapannya. Lalu, apakah bocah yang tengah bermain bola itu adalah dirinya?

Seolah tau isi kepala Wira— atau memang tau, Kakeknya memanggil bocah laki-laki yang sedari tadi memunggungi mereka berdua.

“Le! Sini dulu, ada yang mau ketemu sama kamu.” Ucap Kakek Wira lantang, sontak si bocah laki-laki itu menoleh dan bergegas berlari kearahnya.

Wira makin bergeming, matanya tak bisa lepas menatap bocah laki-laki yang kini berdiri di depan Kakeknya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, semuanya begitu persis seperti dirinya saat berusia lima tahun. Ah tidak, matanya. Matanya nampak seperti Vanya, tegas namun juga lembut.

Tunggu, jangan bilang—

“Iya, ini Kai. Anakmu.” Sahut Kakeknya, yang lagi-lagi tau isi kepalanya.

Wira mulai berkaca-kaca, air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Apa ini nyata? Ia benar-benar bertemu dengan Kai dalam mimpinya? Suatu hal yang sangat ingin ia lihat dalam mimpinya kini benar-benar ada di hadapannya.

Kini Wira benar-benar menangis, tangisannya pecah. Hanya itu yang bisa ia lakukan kini, mencoba untuk mengutarakan semua yang ingin ia sampaikan pada bocah laki-laki itu namun hanya satu kata yang terucap dari bibirnya.

“Maaf....”

Melihat Wira menangis, bocah laki-laki itu menghampiri Wira yang berlutut dan memeluknya. Sesekali menepuk bahunya pelan dengan lengan mungil itu, mencoba menenangkan sang Ayah yang masih menangis penuh sesal. Bukannya mereda, tangis Wira makin menjadi, lelaki itu lantas membalas pelukan hangat Kai.

Sepasang Ayah dan anak itu masih setia dengan posisi berpelukan, Wira benar-benar enggan melepaskan pelukan hangat anak sulungnya itu. Ia tak mau melewatkan hal yang mungkin tak akan pernah ia rasakan lagi.

“Maafin Papa, maaf. Harusnya Papa bisa jagain kamu sama Mama kamu waktu itu.”

Wira melepaskan pelukannya, mencoba melihat reaksi sang anak setelah ia mengatakan permintaan maafnya. Bukan tatapan benci atau marah, Wira justru mendapati sang anak tersenyum manis dan mengangguk. Menerima permintaan maaf sang Ayah lalu mengecup kedua pipi Wira bergantian.

Tak ada kata yang terlontar dari bibir mungil itu, tapi Wira tau bahwa Kai benar-benar bahagia dan bersyukur.

“Jangan ngerasa bersalah lagi le, ini sudah jalannya dari yang maha kuasa. Anakmu juga gak mau kamu terus-terusan nyalahin diri sendiri, dia selalu ngawasin kamu sama bojo mu. Dia juga seneng punya adik cantik dan lucu. Jadi jangan sedih lagi, sesekali jenguk anakmu— jenguk Mbah Kakung juga kalo sempet.” Tutur Kakek Wira. “Cucuku sudah besar. Ganteng, gagah. Jadi suami yang bisa diandalkan ya le, jangan sakiti istrimu.” Sambungnya.

Wira mengangguk, mengiyakan penuturan sang Kakek lalu kembali menatap anak laki-lakinya. Mencoba menghafal bentuk wajah sang anak agar saat terbangun nanti ia tak lupa akan rupa sang anak. Ternyata benar apa kata Vanya, Kai benar-benar mirip dirinya saat masih kecil. Jadi jika ia rindu pada Kai, ia bisa melihat fotonya saat masih kecil.

“Sudah yuk le, kita pulang. Wira, sampaikan salam Mbah Kakung buat Mbah Putri sama Ibumu ya. Kamu harus bangun, sebentar lagi Maghrib. Gak baik tidur pas Maghrib, Mbah Kakung pamit.” Ucap Kakeknya panjang lalu menuntun anaknya pergi dari halaman belakang.

Kai melambaikan tangan mungilnya pada Wira seolah mengucapkan salam perpisahan pada sang ayah sebelum pergi. Wira membalas lambaian tangan anaknya, tersenyum hangat dengan air mata yang masih mengalir. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Wira dan berganti menjadi gelap gulita, sebuah suara mengalun pelan masuk ke dalam pendengarannya.

“Bahagia selalu ya Papa. Kai sayang Papa, sayang Mama, sayang adik juga.”



What If?


Sore ini begitu ramai di kediaman keluarga Raymond, meski para tamu sudah pulang dan hanya menyisakan keluarga serta sanak saudara suasana disana tetap diselimuti canda tawa.

Para perempuan masih asik berbincang tentang mengurus anak dengan Vanya yang serius mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh Ibunya, Ibu Wira, bude Siska maupun Mbah Putri. Sementara itu Wira tengah menjaga Bella yang berada di gendongan Joko, disana juga ada Jonathan, Shaka, Miko, Daffa dan Deva.

“Gendong nya yang bener kak, nanti anak gue gak nyaman.” Ingat Wira pada Joko.

“Ya ampun, lo udah ngomong kayak gitu lebih dari sepuluh kali. Iya gue tau, bisa diem dulu gak sih? Gue kan gak tiap hari ketemu Bella.” Gerutu Joko, protes karena Wira selalu mengganggunya yang tengah asik bersama Bella.

“Posesif banget, agak creepy ya.” Ucap Miko sembari memakan cemilan di tangannya bersama Daffa.

“Wajar sih kalo posesif, sama kak Anya aja posesif nya minta ampun.” Celetuk Deva yang diangguki oleh semuanya.

“Kebayang ntar Bella kalo dah gede pasti dilarang pacaran.” Kini Daffa yang membuka suara.

Mendengar penuturan Daffa tadi, Wira menggeleng. “Gak, gue gak mau bayangin. Gak bisa gue bayangin, bisa bahas topik lain aja gak jangan topik 'gimana nanti kalo Bella udah gede' “.

Semuanya tertawa melihat Wira frustasi dengan topik tadi. Vanya datang menghampiri kumpulan lelaki yang masih asik tertawa.

“Kak Joko, Bella nya aku ambil dulu ya. Udah waktunya ngasih asi.” Ujar Vanya siap mengambil Bella dalam gendongan Joko, melirik Wira yang tengah bermuka masam membuat perempuan itu heran. “Kenapa pak? Asem amat mukanya?”

“Bete dia waktu kita bahas gimana nanti kalo Bella udah gede terus punya pacar.” Ucap Jonathan.

“Hadeuh, kenapa sih emang? Khawatir?” Tanya Vanya yang diangguki Wira.

“Jangan di khawatirin, masih terlalu dini. Dah ya gue mau ke kamar dulu.”

“Nah dengerin tuh bini lo.” Sahut Shaka lalu mereka kembali berdebat.

Vanya hanya menggeleng, berjalan meninggalkan para lelaki yang tengah ribut. Membawa Bella ke kamarnya dan memberikan bayi cantik itu asi. Karena hanya berdiam diri, Vanya jadi penasaran dengan topik yang Wira khawatirkan. Bagaimana jika nanti Bella sudah besar, apakah ia bisa mendidik Bella dengan benar? Bagaimana jika ia gagal menjadi ibu yang baik untuk anaknya?

Semua pertanyaan “bagaimana jika...” kini memenuhi isi kepalanya.

“Nya?”

“Eh— iya kenapa?”

Perempuan itu terkejut mendengar suara rendah Wira, tak mengetahui jika suaminya itu kini berada dikamar.

“Kok bengong? Bella tidur?” Tanya Wira sembari menghampiri Vanya lalu duduk di tepi ranjang.

“Enggak kok, cuma tadi bingung aja mau ngapain. Bella udah tidur kok, kenapa? Mau tidur?” Vanya membenarkan posisi, melepaskan Bella yang tadi masih menyusu padanya.

Wira mengangguk, merebahkan diri disamping Vanya lalu memeluknya erat.

“Kangen tau Nya.” Lirih Wira

“Apaan ketemu tiap hari masa kangen?”

“Maksudnya tuh kangen berduaan kayak gini.”

“Resiko punya buntut.” Vanya mengusap rambut Wira pelan, memberikan rasa nyaman dan aman untuk Wira.

“Kalo mau tidur, tidur aja. Nanti jam 5 dibangunin.” Ujar Vanya pelan.

Wira mengangguk, mengeratkan pelukannya dan mulai memejamkan mata. Berharap tidurnya kali ini bisa menghilangkan rasa lelahnya.