jejeuniverse

just my imagination ✨


Sore ini begitu ramai di kediaman keluarga Raymond, meski para tamu sudah pulang dan hanya menyisakan keluarga serta sanak saudara suasana disana tetap diselimuti canda tawa.

Para perempuan masih asik berbincang tentang mengurus anak dengan Vanya yang serius mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh Ibunya, Ibu Wira, bude Siska maupun Mbah Putri. Sementara itu Wira tengah menjaga Bella yang berada di gendongan Joko, disana juga ada Jonathan, Shaka, Miko, Daffa dan Deva.

“Gendong nya yang bener kak, nanti anak gue gak nyaman.” Ingat Wira pada Joko.

“Ya ampun, lo udah ngomong kayak gitu lebih dari sepuluh kali. Iya gue tau, bisa diem dulu gak sih? Gue kan gak tiap hari ketemu Bella.” Gerutu Joko, protes karena Wira selalu mengganggunya yang tengah asik bersama Bella.

“Posesif banget, agak creepy ya.” Ucap Miko sembari memakan cemilan di tangannya bersama Daffa.

“Wajar sih kalo posesif, sama kak Anya aja posesif nya minta ampun.” Celetuk Deva yang diangguki oleh semuanya.

“Kebayang ntar Bella kalo dah gede pasti dilarang pacaran.” Kini Daffa yang membuka suara.

Mendengar penuturan Daffa tadi, Wira menggeleng. “Gak, gue gak mau bayangin. Gak bisa gue bayangin, bisa bahas topik lain aja gak jangan topik 'gimana nanti kalo Bella udah gede' “.

Semuanya tertawa melihat Wira frustasi dengan topik tadi. Vanya datang menghampiri kumpulan lelaki yang masih asik tertawa.

“Kak Joko, Bella nya aku ambil dulu ya. Udah waktunya ngasih asi.” Ujar Vanya siap mengambil Bella dalam gendongan Joko, melirik Wira yang tengah bermuka masam membuat perempuan itu heran. “Kenapa pak? Asem amat mukanya?”

“Bete dia waktu kita bahas gimana nanti kalo Bella udah gede terus punya pacar.” Ucap Jonathan.

“Hadeuh, kenapa sih emang? Khawatir?” Tanya Vanya yang diangguki Wira.

“Jangan di khawatirin, masih terlalu dini. Dah ya gue mau ke kamar dulu.”

“Nah dengerin tuh bini lo.” Sahut Shaka lalu mereka kembali berdebat.

Vanya hanya menggeleng, berjalan meninggalkan para lelaki yang tengah ribut. Membawa Bella ke kamarnya dan memberikan bayi cantik itu asi. Karena hanya berdiam diri, Vanya jadi penasaran dengan topik yang Wira khawatirkan. Bagaimana jika nanti Bella sudah besar, apakah ia bisa mendidik Bella dengan benar? Bagaimana jika ia gagal menjadi ibu yang baik untuk anaknya?

Semua pertanyaan “bagaimana jika...” kini memenuhi isi kepalanya.

“Nya?”

“Eh— iya kenapa?”

Perempuan itu terkejut mendengar suara rendah Wira, tak mengetahui jika suaminya itu kini berada dikamar.

“Kok bengong? Bella tidur?” Tanya Wira sembari menghampiri Vanya lalu duduk di tepi ranjang.

“Enggak kok, cuma tadi bingung aja mau ngapain. Bella udah tidur kok, kenapa? Mau tidur?” Vanya membenarkan posisi, melepaskan Bella yang tadi masih menyusu padanya.

Wira mengangguk, merebahkan diri disamping Vanya lalu memeluknya erat.

“Kangen tau Nya.” Lirih Wira

“Apaan ketemu tiap hari masa kangen?”

“Maksudnya tuh kangen berduaan kayak gini.”

“Resiko punya buntut.” Vanya mengusap rambut Wira pelan, memberikan rasa nyaman dan aman untuk Wira.

“Kalo mau tidur, tidur aja. Nanti jam 5 dibangunin.” Ujar Vanya pelan.

Wira mengangguk, mengeratkan pelukannya dan mulai memejamkan mata. Berharap tidurnya kali ini bisa menghilangkan rasa lelahnya.



CW//kissing


Sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota, cukup kencang mengingat sang pengemudi telah di lahap amarah yang membakarnya hingga tak bersisa. Terlihat wajah rupawan Svarga yang sedikit lebam di pipi sebelah kiri, rambutnya berantakan, dasi yang melekat dilehernya sudah ia longgarkan sejak lelaki itu memasuki mobil.

“Aga, bisa pelan-pelan aja gak? Gue takut.” Ucap Selena lirih, takut-takut jika Svarga akan semakin murka dengan permintaannya itu.

Mendengar permintaan Selena, Svarga lantas memelankan laju mobilnya. Melirik sebentar ke arah Selena yang tengah duduk di kursi penumpang, wajah cantik Selena terlihat gusar dan ketakutan. Svarga mengusap wajahnya frustasi, seharusnya ia tak bertindak gegabah tadi. Karena ketidakmampuannya dalam menjaga emosi, ia hilang kendali.

Tapi lelaki mana yang terima jika wanita tercintanya di rendahkan? Svarga tentu saja akan membuat orang-orang yang menyakiti hati orang yang ia cintai merasakan kemurkaannya.

“Liat deh cewek yang tadi datang sama Svarga, sekarang malah nempel ke Djavior sama Matthew.”

“Paling dia cuma cewek sewaannya Svarga, gue deketin juga pasti dia mau.”

Sialan, percakapan dua orang tadi kembali terngiang dalam kepalanya.

“Aga....” Svarga menoleh, “bisa kita berhenti dulu gak?” Pinta Selena yang langsung diangguki Svarga. Mencari tempat yang tepat untuk berhenti. Mobil Mercedes Benz s-class itu berhenti hotel bintang lima terkenal di daerah Jakarta timur, Selena hendak protes mengapa ia dibawa kemari namun urung.

Begitu Svarga masuk seorang staff hotel menghampirinya dan menyapanya, bertanya apa yang ia butuhkan lalu membawa Svarga dan Selena menuju suatu tempat. Sampai di tempat tujuan, Selena akhirnya tau ia sekarang berada. Yup, restoran di dalam hotel mewah ini. Svarga mundurkan kursi dan mempersilahkan Selena duduk. Melihat ke sekeliling hanya ada mereka berdua sekarang, tak ada siapapun selain pelayan yang siap melayani mereka berdua.

“Ini cuma ada kita doang?” Tanya Selena membuka percakapan.

“Iya, gue emang berniat ngajak lo dinner pulang dari acara nikahan Jason. Tapi malah ada kejadian tadi— arrghhh sialan, emosi gue naik tiap inget itu.”

Selena terdiam melihat begitu kesalnya Svarga pada kejadian menghebohkan tadi, ia jadi penasaran mengapa Svarga bisa semarah ini. “Emang tadi tuh kenapa? Orang yang lo tonjok tadi bilang sesuatu?”

Sebelum menjawab pertanyaan Selena, Svarga meminum air putih yang ada pada gelas di depannya. “Yeah, dia bilang sesuatu yang bikin gue murka— gak perlu tau bajingan itu ngomong apa, cukup percaya sama gue kalo gue gak bakal marah kalo gak ada sebabnya.” Jelas Svarga, Selena kemudian mengangguk mengiyakan permintaan Svarga.

Seorang pelayan menghampiri mereka berdua ketika Selena memberi isyarat, Svarga kira perempuan dihadapannya itu akan memesan sesuatu namun ternyata bukan makanan yang ia pinta.

“Maaf, apa ada kotak p3k? Boleh saya pinjam sebentar?” Tanya Selena pada pelayan itu, si pelayan lantas mengangguk lalu pergi untuk mengambil benda yang di minta Selena. Setelah apa yang Selena pinta ada di hadapannya, perempuan itu menyuruh Svarga mendekat. Mau tak mau Svarga menurut, membiarkan Selena merawat luka lebam dan luka di sudut bibirnya akibat perkelahian tadi.

Dengan telaten Selena mengobati wajah tampan Svarga, beberapa kali bertanya apakah lelaki itu merasa sakit atau tidak. Sedangkan Svarga malah asik memperhatikan Selena lekat-lekat, cantik, satu kata yang terlintas dipikiran Svarga ketika melihat Selena.

“Sel....”

“Hmm?”

“Lo beneran gak mau jadi istri gue?”

Pertanyaan Svarga sontak membuat pergerakan tangan Selena diwajah lelaki itu terhenti, bibir ranum Selena terkatup rapat, bingung hendak menjawab apa dari pertanyaan yang di lontarkan Svarga.

“Gue gak tau.” Selena menunduk, membereskan obat serta kapas bekas yang tadi ia pakai untuk mengobati wajah Svarga. “Mungkin lo emang udah move on dari Marsya tapi gue takut lo memperlakukan gue kayak lo memperlakukan Marsya dulu. Lo gak ada waktu buat gue karena sibuk kerja, gak pernah perhatiin gue ataupun Zydny, seolah pernikahan kita nanti cuma status doang. Gue gak mau kayak gitu.” Sambungnya sembari menatap mata Svarga.

Menghembuskan nafas pelan, Svarga balas menatap Selena. Tatapannya teduh, berbeda dengan tatapan sehari-hari Svarga yang dingin dan tajam. Meraih tangan Selena dan menggenggamnya, Svarga mencoba meyakinkan perempuan itu.

“Selena, gue gak tau lo bakal percaya atau enggak setelah denger pembelaan gue ini tapi gue beneran serius sama lo. Gue emang punya banyak kesalahan di masa lalu gue tapi bukan berarti gue gak bisa berubah, gue tau yang dulu gue lakuin itu salah jadi gue bertekad buat memperbaiki diri supaya istri gue kelak gak bakal ninggalin gue....lagi.”

Setelah mengatakan itu, hanya hening yang melingkupi seluruh ruangan itu. Baik Selena maupun Svarga sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mata Selena mulai berkaca-kaca, haruskah ia percaya pada lelaki di depannya ini? Percaya pada teman lamanya yang sangat menyebalkan namun pengertian? Selena mulai menangis, Svarga dengan sigap memeluk tubuh ramping Selena. Mendekapnya erat, membiarkan Selena menangis diperlukannya.

Sorry...gue udah salah sangka sama lo—hiks.”

It's okay Selena, gue ngerti ketakutan lo. Biar itu jadi usaha gue buat yakinin lo, gue bakal nunggu kapanpun sampai lo percaya sama gue.”

Svarga melepaskan pelukannya, menatap wajah Selena yang basah karena air mata. Mata serta hidungnya memerah, bibirnya sesekali menahan isakan agar tak keluar begitu saja. Sungguh menggemaskan menurut Svarga. Ah sialan, kenapa ia tak menyadari sedari dulu kalau temannya ini begitu menarik.

Menyeka sisa air mata di pipi Selena, wajah Svarga makin mendekat menyisakan sedikit jarak antara wajahnya dengan wajah Selena. “Can i kiss you?” Tanya Svarga dengan suara rendahnya, membuat bulu kuduk Selena meremang. “If you don't mind with the kiss artinya lo nerima lamaran gue waktu itu.”

Wajah Svarga makin mendekat, Selena bahkan menahan nafasnya saking gugupnya ia. “Kalo enggak?” Tanya Selena sebelum Svarga mencium bibirnya.

“Emang lo bakal nolak gue lagi?”

Sebelum mendengar protes dari bibir Selena, Svarga lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibir ranum Selena. Bukan hanya menempelkan, lelaki itu menyesap, melumat bahkan sesekali memberi gigitan kecil pada bibir yang sepertinya akan menjadi candu baru untuk lelaki berumur 28 tahun itu.

Selena? Tentu saja ia membalasnya dengan senang hati, setelah semua penjelasan yang Svarga katakan tadi tak ada salahnya mencoba, bukan? Seperti yang pernah Svarga jelaskan padanya di pesan singkat keduanya seminggu yang lalu, jadi ia akan mencoba. Toh Selena juga tak mempermasalahkan status duda Svarga, status “duda” ataupun “janda” itu tak selamanya buruk. Kita tak pernah tau alasan sebenarnya mengapa sepasang suami istri memilih untuk berpisah, mungkin jalan itu lebih baik daripada terus bersama namun saling menyakiti.

Baiklah, sepertinya Selena harus mempersiapkan diri untuk menjadi nyonya Bhaskara mulai sekarang. Tentu saja itu bukan hal yang mudah dan ia harus bersiap dari sekarang.


Sorry for typo yaa bestie, maap kalo tidak sesuai ekspektasi 🙏🏻

267.


Rintik hujan turun membasahi kota Jakarta, deras dan seperti enggan untuk berhenti. Sore yang kelabu ini Nadia tengah berbaring di kasurnya, air hujan yang terjatuh mengenai kaca jendela kamarnya jadi lantunan suara yang menenangkan. Sudah dua minggu setelah kepergian Jihan— adik dari bosnya, Doni. Pikirannya terus tertuju pada bosnya itu, Nadia tau betul lelaki jangkung itu sangat terpukul dan perasaan bersalah pasti kembali menjeratnya.

Nadia menghela nafasnya, selama dua minggu ini ia membantu di rumah keluarga Sagara. Membantu sebisanya dan menemani Ibu Doni yang juga sama terpukulnya atas kepergian Jihan. Gadis yang malang —pikirnya.

Merasa bosan karena seharian ini hanya berbaring di dalam kamarnya, Nadia beranjak keluar menuju dapur. Perutnya kosong karena melewatkan makan siang, perempuan itu benar-benar sedang malas melakukan sesuatu. Sesampainya di dapur ia memeriksa isi kulkas untuk ia masak, kebetulan kemarin Lili baru saja belanja bulanan dan mungkin ada sesuatu yang bisa ia makan secara instan.

“Ya ampun, apa yang gue harapkan dari belanja bulanan Lili yang lagi diet? Isinya telor, kentang sama yogurt plus susu almond.” Gerutu Nadia melihat isi kulkas, ia menyesal karena dirinya kemarin tak ikut pergi belanja bersama.

Ting tong!!

Nadia menoleh ke arah pintu, dahinya mengernyit menerka-nerka siapa yang bertamu sore-sore begini. Tak ingin menambah rasa penasarannya Nadia berjalan menuju pintu, mengintip dari lubang kecil ditengah pintu guna mengetahui siapa yang menekan bel apartemen dan terkejut begitu melihat sosok di balik pintu. Secepat mungkin Nadia membuka pintu didepannya.

“Hai.” Sapanya pada Nadia.

Nadia menatap wajah lelaki dihadapannya, memastikan ia tak salah lihat. “Hai, mau ambil baju atau ada sesuatu yang mau diambil? Harusnya bilang aja, nanti gue anterin kerumah lo.” Ucap Nadia pada Doni.

“Gue mau pulang kesini.” Ujar Doni pelan, “tapi gue gak mau sendirian.”

Mendengar itu Nadia bergeming, Doni yang biasanya ia lihat sangat rapi kini sedikit berantakan. Mata sayu, kantung mata yang menghitam, rambut acak-acakan serta wajah tampannya yang murung. Nadia bahkan berani bertaruh berat badan lelaki dihadapannya ini juga pasti turun, terlihat dari tubuhnya yang sedikit kurus.

“Ayo, gue temenin. Apart lo baru kemaren gue bersihin kok, jadi lo bisa langsung tidur.” Nadia menggenggam tangan Doni sembari berjalan ke unit apartemen sebelah, menekan tombol password untuk membuka pintu dan masuk ke dalam bersama Doni.

“Mau gue suruh Tian atau Jerry kesini?” Tawar Nadia saat keduanya berada diruang tamu.

Doni menggeleng, Nadia akhirnya menyuruh lelaki itu untuk duduk atau membersihkan diri terlebih dahulu sementara dirinya memeriksakan isi kulkas untuk ia masak. Karena hanya menemukan telur, Nadia lantas buru-buru turun kebawah untuk pergi ke mini market terdekat.

Sementara Nadia pergi, Doni tengah membersihkan diri. Sempat termenung mencoba untuk meluruskan segala pikiran semerawut yang ada di pikirannya namun gagal, Doni bergegas setidaknya kalau ada yang menemaninya ia tak terlalu merasa sendiri.

Saat sampai di ruang tamu, Doni tak menemukan Nadia. Begitu juga saat dirinya mencari di dapur dan penjuru apartemen ini, Nadia tak ada di manapun. Dengan raut panik Doni mencari ponselnya guna menghubungi gadis itu, namun tak ada jawaban. Doni terus mencoba namun hasilnya tetap sama, perasaannya makin kalut ia tak mau ditinggalkan lagi.

Doni menoleh kearah pintu depan saat suara pin terdengar di tekan dari luar lalu pintu itu terbuka, Nadia tampak menjinjing tas belanja dengan baju dan rambutnya yang sedikit basah mengingat diluar masih hujan. Melihat itu Doni langsung menghampiri dan memeluk Nadia yang tengah berjalan menghampirinya.

Nadia melihat Doni berlari kearahnya dengan wajah serius, merengut bingung dan terkejut ketika Doni mendekapnya erat.

“Doni— hey, lo kenapa?” Tanya Nadia, agak panik karena perlakuan tiba-tiba Doni.

“Gue kira lo pergi dan gak bakal balik lagi. Gue takut, jangan tinggalin gue.” Ucap Doni dengan suara lirih.

Gadis itu bergeming, efek dari kejadian dua minggu lalu begitu membuat Doni terpukul dan ketakutan begitu jelas. Nadia refleks membalas pelukan Doni, mengusap punggung rapuhnya pelan. “Gue gak akan kemana-mana, gue ada disini.”

Doni masih enggan melepaskan pelukannya pada Nadia, tak memperdulikan keadaan Nadia yang sedikit basah karena hujan.

“Gakpapa, gue disini. Maaf ya tadi gue abis dari mini market karena dikulkas gak ada bahan makanan.” Ujar Nadia melepaskan pelukannya, menatap wajah Doni yang masih sedikit kalut.

“Duduk dulu ya disini, gue mau ganti baju sebentar oke.” Lanjut Nadia, sebelum gadis itu beranjak Doni kembali menahannya.

“Jangan kemana-mana.”

“Gue cuma mau ganti baju, sebentar— “

“Pake baju gue aja.”

Ucapan Doni membuat suasana menjadi hening, Nadia masih mencoba untuk meyakinkan Doni dengan ekspresi wajahnya. Tapi Doni juga melakukan hal yang sama, membujuk Nadia agar perempuan itu tak pergi barang sedetikpun. Merasa kalah, Nadia akhirnya mengangguk. Membiarkan Doni membawanya menuju kamarnya dan mengambil kaos serta hoodie untuk Nadia, setelahnya berjalan keluar membiarkan Nadia mengganti pakaiannya.


“Nah, udah jadi. Makan, abisin.”

Nadia menyodorkan mangkuk berisi cream sup instan yang tadi ia beli di mini market, tak ada pilihan lain selain cream sup. Ia harus berbelanja besok agar kulkas bosnya itu terisi oleh sayur dan buah.

Gadis itu duduk di hadapan Doni, mengisi perutnya dengan cream sup hangat bersama Doni mengingat dirinya juga belum makan sedari siang. Nadia merasa seperti diperhatikan lalu mendongak menatap Doni yang tengah menatapnya.

“Kenapa? Gak suka sama cream sup?” Tanya Nadia. Doni menggeleng lalu mulai memakan cream sup dihadapannya.

Suasana menjadi hening karena keduanya sibuk dengan makanan masing-masing, setelah selesai Nadia membereskan serta mencuci mangkuk kotor bekas makan tadi. Doni masih menunggu Nadia selesai mengerjakan tugasnya, lalu gadis itu membawa Doni untuk duduk di sofa ruang tengah dan menyalakan tv.

“Kita nonton tv aja ya, atau mau nonton film?” Usul Nadia antusias, gadis itu mencoba untuk tidak terlihat murung dan ingin membuat Doni tak merasa sedih.

“Apa aja, terserah.”

Akhirnya mereka memilih untuk menonton film Marvel, meskipun Nadia tak terlalu paham tapi ia mencoba untuk menontonnya. Ini film kesukaan Doni, ia tau karena pernah mendengar tentang ini dari mulut Doni sendiri. Setidaknya dengan ini Doni sibuk melihat film dari pada memikirkan hal yang membuatnya makin stress.

Saat tengah asik menonton, Nadia terkejut karena sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan milik Doni, lelaki itu memang sejak awal sudah bersandar di bahu sempit Nadia. Ah— ternyata lelaki itu tertidur, dengkuran halus terdengar bersamaan dengan nafas yang berhembus dengan teratur. Nadia hendak melepaskan pelukannya namun bukanya terlepas pelukan itu malah makin erat, seolah Doni tak membiarkan Nadia pergi bahkan saat lelaki itu tengah tertidur.

Baiklah sepertinya Nadia harus menunggu sampai Doni benar-benar tertidur pulas dan ia bisa pergi atau setidaknya berpindah ke single sofa di sebelahnya, namun nyatanya ia ikut tertidur bersama dengan Doni yang masih mendekapnya erat.


267.


Rintik hujan turun membasahi kota Jakarta, deras dan seperti enggan untuk berhenti. Sore yang kelabu ini Nadia tengah berbaring di kasurnya, air hujan yang terjatuh mengenai kaca jendela kamarnya jadi lantunan suara yang menenangkan. Sudah dua minggu setelah kepergian Jihan— adik dari bosnya, Doni. Pikirannya terus tertuju pada bosnya itu, Nadia tau betul lelaki jangkung itu sangat terpukul dan perasaan bersalah pasti kembali menjeratnya.

Nadia menghela nafasnya, selama dua minggu ini ia membantu di rumah keluarga Sagara. Membantu sebisanya dan menemani Ibu Doni yang juga sama terpukulnya atas kepergian Jihan. Gadis yang malang —pikirnya.

Merasa bosan karena seharian ini hanya berbaring di dalam kamarnya, Nadia beranjak keluar menuju dapur. Perutnya kosong karena melewatkan makan siang, perempuan itu benar-benar sedang malas melakukan sesuatu. Sesampainya di dapur ia memeriksa isi kulkas untuk ia masak, kebetulan kemarin Lili baru saja belanja bulanan dan mungkin ada sesuatu yang bisa ia makan secara instan.

“Ya ampun, apa yang gue harapkan dari belanja bulanan Lili yang lagi diet? Isinya telor, kentang sama yogurt plus susu almond.” Gerutu Nadia melihat isi kulkas, ia menyesal karena dirinya kemarin tak ikut pergi belanja bersama.

Ting tong!!

Nadia menoleh ke arah pintu, dahinya mengernyit menerka-nerka siapa yang bertamu sore-sore begini. Tak ingin menambah rasa penasarannya Nadia berjalan menuju pintu, mengintip dari lubang kecil ditengah pintu guna mengetahui siapa yang menekan bel apartemen dan terkejut begitu melihat sosok di balik pintu. Secepat mungkin Nadia membuka pintu didepannya.

“Hai.” Sapanya pada Nadia.

Nadia menatap wajah lelaki dihadapannya, memastikan ia tak salah lihat. “Hai, mau ambil baju atau ada sesuatu yang mau diambil? Harusnya bilang aja, nanti gue anterin kerumah lo.” Ucap Nadia pada Doni.

“Gue mau pulang kesini.” Ujar Doni pelan, “tapi gue gak mau sendirian.”

Mendengar itu Nadia bergeming, Doni yang biasanya ia lihat sangat rapi kini sedikit berantakan. Mata sayu, kantung mata yang menghitam, rambut acak-acakan serta wajah tampannya yang murung. Nadia bahkan berani bertaruh berat badan lelaki dihadapannya ini juga pasti turun, terlihat dari tubuhnya yang sedikit kurus.

“Ayo, gue temenin. Apart lo baru kemaren gue bersihin kok, jadi lo bisa langsung tidur.” Nadia menggenggam tangan Doni sembari berjalan ke unit apartemen sebelah, menekan tombol password untuk membuka pintu dan masuk ke dalam bersama Doni.

“Mau gue suruh Tian atau Jerry kesini?” Tawar Nadia saat keduanya berada diruang tamu.

Doni menggeleng, Nadia akhirnya menyuruh lelaki itu untuk duduk atau membersihkan diri terlebih dahulu sementara dirinya memeriksakan isi kulkas untuk ia masak. Karena hanya menemukan telur, Nadia lantas buru-buru turun kebawah untuk pergi ke mini market terdekat.

Sementara Nadia pergi, Doni tengah membersihkan diri. Sempat termenung mencoba untuk meluruskan segala pikiran semerawut yang ada di pikirannya namun gagal, Doni bergegas setidaknya kalau ada yang menemaninya ia tak terlalu merasa sendiri.

Saat sampai di ruang tamu, Doni tak menemukan Nadia. Begitu juga saat dirinya mencari di dapur dan penjuru apartemen ini, Nadia tak ada di manapun. Dengan raut panik Doni mencari ponselnya guna menghubungi gadis itu, namun tak ada jawaban. Doni terus mencoba namun hasilnya tetap sama, perasaannya makin kalut ia tak mau ditinggalkan lagi.

Doni menoleh kearah pintu depan saat suara pin terdengar di tekan dari luar lalu pintu itu terbuka, Nadia tampak menjinjing tas belanja dengan baju dan rambutnya yang sedikit basah mengingat diluar masih hujan. Melihat itu Doni langsung menghampiri dan memeluk Nadia yang tengah berjalan menghampirinya.

Nadia melihat Doni berlari kearahnya dengan wajah serius, merengut bingung dan terkejut ketika Doni mendekapnya erat.

“Doni— hey, lo kenapa?” Tanya Nadia, agak panik karena perlakuan tiba-tiba Doni.

“Gue kira lo pergi dan gak bakal balik lagi. Gue takut, jangan tinggalin gue.” Ucap Doni dengan suara lirih.

Gadis itu bergeming, efek dari kejadian dua minggu lalu begitu membuat Doni terpukul dan ketakutan begitu jelas. Nadia refleks membalas pelukan Doni, mengusap punggung rapuhnya pelan. “Gue gak akan kemana-mana, gue ada disini.”

Doni masih enggan melepaskan pelukannya pada Nadia, tak memperdulikan keadaan Nadia yang sedikit basah karena hujan.

“Gakpapa, gue disini. Maaf ya tadi gue abis dari mini market karena dikulkas gak ada bahan makanan.” Ujar Nadia melepaskan pelukannya, menatap wajah Doni yang masih sedikit kalut.

“Duduk dulu ya disini, gue mau ganti baju sebentar oke.” Lanjut Nadia, sebelum gadis itu beranjak Doni kembali menahannya.

“Jangan kemana-mana.”

“Gue cuma mau ganti baju, sebentar— “

“Pake baju gue aja.”

Ucapan Doni membuat suasana menjadi hening, Nadia masih mencoba untuk meyakinkan Doni dengan ekspresi wajahnya. Tapi Doni juga melakukan hal yang sama, membujuk Nadia agar perempuan itu tak pergi barang sedetikpun. Merasa kalah, Nadia akhirnya mengangguk. Membiarkan Doni membawanya menuju kamarnya dan mengambil kaos serta hoodie untuk Nadia, setelahnya berjalan keluar membiarkan Nadia mengganti pakaiannya.


“Nah, udah jadi. Makan, abisin.”

Nadia menyodorkan mangkuk berisi cream sup instan yang tadi ia beli di mini market, tak ada pilihan lain selain cream sup. Ia harus berbelanja besok agar kulkas bosnya itu terisi oleh sayur dan buah.

Gadis itu duduk di hadapan Doni, mengisi perutnya dengan cream sup hangat bersama Doni mengingat dirinya juga belum makan sedari siang. Nadia merasa seperti diperhatikan lalu mendongak menatap Doni yang tengah menatapnya.

“Kenapa? Gak suka sama cream sup?” Tanya Nadia. Doni menggeleng lalu mulai memakan cream sup dihadapannya.

Suasana menjadi hening karena keduanya sibuk dengan makanan masing-masing, setelah selesai Nadia membereskan serta mencuci mangkuk kotor bekas makan tadi. Doni masih menunggu Nadia selesai mengerjakan tugasnya, lalu gadis itu membawa Doni untuk duduk di sofa ruang tengah dan menyalakan tv.

“Kita nonton tv aja ya, atau mau nonton film?” Usul Nadia antusias, gadis itu mencoba untuk tidak terlihat murung dan ingin membuat Doni tak merasa sedih.

“Apa aja, terserah.”

Akhirnya mereka memilih untuk menonton film Marvel, meskipun Nadia tak terlalu paham tapi ia mencoba untuk menontonnya. Ini film kesukaan Doni, ia tau karena pernah mendengar tentang ini dari mulut Doni sendiri. Setidaknya dengan ini Doni sibuk melihat film dari pada memikirkan hal yang membuatnya makin stress.

Saat tengah asik menonton, Nadia terkejut karena sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan milik Doni, lelaki itu memang sejak awal sudah bersandar di bahu sempit Nadia. Ah— ternyata lelaki itu tertidur, dengkuran halus terdengar bersamaan dengan nafas yang berhembus dengan teratur. Nadia hendak melepaskan pelukannya namun bukanya terlepas pelukan itu malah makin erat, soalah Doni tak membiarkan Nadia pergi bahkan saat lelaki itu tengah tertidur.

Baiklah sepertinya Nadia harus menunggu sampai Doni benar-benar tertidur pulas dan ia bisa pergi atau setidaknya berpindah ke single sofa di sebelahnya, namun nyatanya ia ikut tertidur bersama dengan Doni yang masih mendekapnya erat.



Keempatnya kini duduk dimeja makan yang telah berisi makanan yang Jerry dan Nadia siapkan, sebelumnya Doni dan Tian telah membersihkan diri terlebih dahulu. Tian dan Jerry sedang asik meledek Nadia soal gadis itu yang mengira Tian adalah perempuan.

“Hahahaha anjir ngabrut, kalo Tian cewek si Doni udah di nikahin sama Tante Rena yang ada.” Ujar Jerry yang masih tertawa karena cerita Tian.

“Idih najis gue gak mau, meskipun dipaksa sama mamah gue.” Timpal Doni sembari bergidik ngeri.

“Lagian siapa juga yang mau anjir? Kalo gue cewek, lo adalah cowok yang paling gue hindari. Banyak maunya, nyusahin doang.” Balas Tian sewot.

Melihat perdebatan di depannya Jerry makin tertawa, sedangkan Nadia mulai pening mendengarnya.

“Guys udah dong jangan berantem, mending makan aja.” Lerai Nadia yang anehnya membuat ketiga lelaki itu menghentikan kehebohan yang mereka buat.

“Ya udah ayo kita makan, berdoa dulu tapi.” Ucap Doni yang diangguki oleh semua orang dimeja makan.

“Yuk berdoa, bismillahirrahmanirrahim bismika allahu— “

“Itu tuh doa tidur bego, lo pas kecil bolos ngaji mulu ya? Ketauan banget kagak pernah ngaji nya.” Potong Jerry menoyor kepala Tian di sebelahnya.

“Aduh— sakit anjir.”

“Udah-udah berdoa dalem hati aja dari pada ribut.” Ucap Nadia kembali melerai mereka bertiga.

Meja makan hening sejenak untuk berdoa sebelum menyantap makanan yang tersaji, keempatnya serentak berucap “selamat makan” yang berakhir jadi tertawaan karena menurut mereka itu hal yang lucu.

Emang dasar pada receh aja sih.

“Oh iya, gimana rasanya kerja sama Doni?” Tanya Tian pada Nadia, mendengar pertanyaan itu Jerry jadi ikut penasaran. Sedangkan Doni agak was-was menanti jawaban Nadia.

“Hmm seru kok, kerjanya gak terlalu banyak untuk gaji yang lumayan gede. Doni juga suka ngajak refreshing kalo weekend atau gak Tante Rena yang ngajak hangout.” Tutur Nadia setelah mengunyah makanan didalam mulutnya.

Doni merasa lega setelah mendengar jawaban Nadia, ia kira dirinya terlalu merepotkan gadis itu.

“Masa sih? Tapi kok pas sama gue nyusahin banget ni manusia.”

“Iya beneran, gue ngomong begitu bukan karena ada Doni di sebelah gue. Tapi emang itu yang gue rasain.”

Doni mengangguk lalu berucap, “soalnya nyusahin lo tugas tuh gue.”

Mendengar itu, Tian tak terima dan perdebatan pun kembali terjadi. Nadia sepertinya sudah mulai terbiasa dengan situasi itu jadi ia tak mencoba untuk melerai keduanya.

Sorry ya Nad, mereka emang gitu kalo ketemu.” Ujar Jerry yang fokus pada makanannya, menghiraukan perdebatan disebelahnya.

“Tapi mereka kan ketemu hampir tiap hari.”

Jerry terkekeh, “itu dia, jadi biasain aja kalo lo lagi diantara mereka berdua.”

Nadia mengangguk setelahnya perdebatan itu terhenti, keduanya kembali menyantap makanan seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Btw, lo tinggal disini sama siapa Nad?” Tanya Tian.

“Sama temen gue, Lili. Kita berdua nempatin apart punya temen namanya Xabilla.” Jelas Nadia yang diangguki oleh Tian dan Jerry.

“Sabilla?”

“Xabilla, bukan Sabilla. Pake X.” Ralat Nadia, ia teringat wajah garang Xabilla saat seseorang salah mengeja namanya.

“Pake X?” Heran Jerry.

Nadia mengangguk, “dia bilang, dulu yang bikin akta kelahirannya typo. Harusnya S jadi X, tapi Mamahnya bilang gakpapa jadi bagus.”

“Bisa ya typo begitu? Ada-ada aja. Eh tapi gue kayak pernah denger nama itu deh tapi dimana ya?”

“Itu klien kita anjir.” Timpal Doni

“Iya kah?”

“Iya, lo waktu itu kan gak ikut meeting gara-gara sakit.”

“Oh iya kali.” Tian mengangkat bahu acuh.

Nadia tersenyum melihat tingkah ketiga lelaki dihadapannya, persis dirinya dan kedua temannya. Ah, Nadia jadi rindu Lili dan Xabilla.

“Kalian temenan udah lama ya?” Tanya Nadia, keempat telah selesai makan. Terisa piring kosong di meja makan, masakan Jerry sangat enak persis seperti makan di restoran mahal.

“Iya, dari SMA.” Jawab Doni, lelaki itu beranjak dari duduknya menuju kulkas dan mengambil empat kaleng soda dari sana.

“Wow, lama juga ya.”

“Ya lumayan. Kita satu SMA, kuliah juga sama cuma beda jurusan aja. Doni sama Tian di ekonomi dan bisnis, gue kedokteran.” Jelas Jerry menjawab rasa penasaran gadis dihadapannya.

“Kuliah dimana?”

“UI.”

Mendengar jawaban Doni, Nadia bergeming. Ia tau Universitas terkenal itu, hanya orang berotak emas saja yang bisa masuk kesana. Oke Nadia minder sekarang.

“Gila keren banget.” Hanya itu yang keluar dari mulut Nadia.

Jerry kembali tersenyum manis begitu melihat reaksi Nadia dan itu tertangkap jelas oleh kedua mata Doni, entah mengapa lelaki itu tak suka melihatnya.

Obrolan mereka terhenti begitu mendengar ponsel Nadia bergetar, menandakan sebuah panggilan dari Lili. Nadia segera mengangkatnya dan berbicara pada Lili disebrang sana.

“Oke, *bye”.” Nadia menutup telponnya, beralih pada piring bekas makan mereka hendak ia bawa menuju wastafel di dapur.

“Lo pulang aja Nad, kasian temen lo di sebelah sendirian. Piring biar gue sama Tian yang bersihin.” Ucap Doni mencegah Nadia membereskan piring bekas makan.

Sedangkan Nadia menyerit tak setuju, “tugas gue kan bersih-bersih di apart ini, gakpapa gue aja.”

“Kok ngeyel? Lo kan udah masak tadi sama Jerry jadi gak usah bersih-bersih. Udah sana pulang.”

“Tapi— “

“Gak ada tapi Nadia, ayo pulang. Gue anter sampe depan pintu.”

Doni berdiri dibelakang Nadia, menyimpan piring yang berada ditangan gadis itu lalu mendorong pelan punggung Nadia agar berjalan menuju pintu depan apartemennya.

“Doni, gue gak enak sama lo bertiga.” Ucap Nadia pelan.

“Sstttt! Udah gak usah dipikirin, sekarang lo pulang, bersih-bersih badan abis itu istirahat, oke?” Elak Doni tak mau tau.

Nadia mencebik, dengan berat hati ia membuka pintu apartemen Doni. Keluar dari sana untuk pulang ke unit sebelah.

“Beneran nih gakpapa?” Tanya Nadia sanksi.

“Iya Nadia.”

Menyerah, Nadia akhirnya mengangguk dan melambaikan tangan pada Doni.

“Ya udah kalo gitu, bye. Makasih buat makanannya, bilang juga makasih buat Tian sama Jerry.” Nadia mulai melangkah menuju unitnya meninggalkan Doni yang masih setia menunggunya hingga masuk kedalam unit.

“Iya nanti gue sampein. Bye, have a nice dream.”

You too.”


Ekspresi Doni waktu mergokin Jerry yang diem-diem senyum ke Nadia


Tingtong!

Nadia yang baru saja membereskan dapur bergegas membukakan pintu apartemen milik Doni, setelah tadi bos nya itu berkata akan ada temannya yang datang kemari untuk makan bersama.

“Sebentar.”

Setelah pintu terbuka nampak seorang lelaki jangkung mengenakan sweater hitam serta topi berwarna senada berdiri didepan pintu, menatapnya sembari tersenyum.

“Hai, Nadia kan?” Sapanya pada Nadia yang terdiam ditempat mengagumi keindahan sosok didepannya namun dengan cepat tersadar dan mengangguk membalas pertanyaan si lelaki.

“Iya, ini Nadia. Ayo masuk.”

Keduanya berjalan beriringan memasuki apartemen milik Doni, si lelaki datang sembari membawa dua kantung plastik besar di kedua tangannya— sepertinya berisi bahan masakan yang hendak mereka masak.

“Jadi mau masak kapan?” Tanya lelaki itu pada Nadia.

“Hmm terserah kakak aja.”

“Sekarang mau? Lebih ke nyiapin bahan-bahan aja sih sebelum ke proses masaknya.”

“Boleh.” Nadia mengangguk lalu membawa satu kantung plastik menuju dapur.

By the way kita belum kenalan, gue Jerry temennya Doni.” Ucap Jerry mengikuti Nadia menuju dapur.

“Eh iya, aku Nadia. Salam kenal kak.” Balas Nadia sembari tersenyum manis.

“Ya ampun santai aja, kayak lo ke Doni. Gak usah kaku gitu.” Jerry yang sedari tadi memperhatikan Nadia dan teringat sesuatu, “kayaknya kita pernah ketemu deh.”

Nadia yang mendengar itu menatap Jerry bingung, apa iya keduanya pernah bertemu?

“Ah! Iya, waktu di supermarket. Waktu itu lo minta tolong buat ambilin mentega.” Ujar Jerry mengingat pertemuan mereka tempo hari. Nadia tampak mengingat kejadian itu, membuat dirinya memasang mimik wajah yang menggemaskan menurut Jerry.

“Oohh~ iya aku inget, waktu itu lo lagi telponan kan.”

“Iya bener.”

“Wahh keren banget bisa ketemu lagi, definisi dunia sempit gak sih?” Tanya Nadia sembari mengeluarkan belanjaan Jerry di meja dapur.

“Yeah, cara kerja semesta emang kadang gak terduga.”

Gadis cantik itu mengangguk setuju lalu melihat Jerry yang tengah mempersiapkan segala keperluan untuk masak.

“Jadi kita mau masak apa?” Pandangan Nadia beralih pada bahan makanan dihadapannya, banyak sekali— pikirnya.

Aglio olio pake udang, terus mau bikin salad juga. Doni sama Tian kebanyakan makan junk food gak bagus buat kesehatan makanya nya dikasih makan sayuran biar sehat.” Tutur Jerry.

“Wah keren, lo pasti sehat banget ya orangnya.” Ujar Nadia

“Gak juga sih, sebagai dokter gue termasuk jorok.”

“Dokter? Wow keren banget.” Puji Nadia sembari mengacungkan kedua jempolnya pada Jerry.

Jerry menggeleng sembari terkekeh, “bantuin potongin bawang putih ya, gue mau bersihin udangnya dulu.”

“Siap.”

Keduanya kini sibuk dengan kegiatan masing-masing, Jerry yang tengah mengupas kulit udang serta membuang kotorannya sedangkan Nadia tengah membuka kulit bawang lalu memotongnya seperti perintah Jerry.

“Bisa Nad?” Tanya Jerry setelah selesai dengan urusan mencuci udang.

“Bisa, meskipun gak rata sih hehehe.”

“Gakpapa, kalo udah selesai bantu cuci sayuran ya abis itu potongin. Terserah lo mau dipotong kayak gimana.”

“Lo kayaknya jago banget masak ya?” Tanya Nadia penasaran, karena sedari tadi Jerry melakukan pekerjaannya dengan cekatan dan bersih.

“Hmm gak juga sih, ini cuma karena udah terbiasa masak aja.” Jawab Jerry santai.

“Hobi masak?”

“Iya, dari dulu suka masak makanan sendiri.”

Mata Nadia berbinar mendengar jawaban Jerry, cowok langka nih— batin Nadia.

“Woahhh keren banget, gue aja yang cewek kalo masak masih suka liat tutorial di google atau tiktok.” Ucap Nadia sembari mengerucutkan bibirnya.

Jerry kembali tersenyum melihat ekspresi Nadia, membuat cacat dikedua pipinya terlihat begitu manis.

“Bagus loh, yang penting usaha.”

“Iya sih, tapi tetep aja lo keren banget sumpah.”

“Hadeuh udah ahh jangan muji lagi, gue malu tau.” Sanggah Jerry yang telinganya memerah sebab tersipu malu karena Nadia.

“Iya deh iya, terus ini gue ngapain lagi?” Tanya Nadia yang sudah selesai mengerjakan tugas dari Jerry.

Lantas Jerry dan Nadia kembali melanjutkan kegiatan memasak mereka sembari bercerita dan bersenda gurau, terasa seperti teman lama dibanding dua orang yang baru saja berkenalan. Hingga tak terasa keduanya telah selesai memasak bertepatan dengan Doni dan Tian yang baru saja sampai di apartemen.



Semua orang yang berada di dalam mobil turun setelah sampai di bandara internasional Juanda Surabaya, membantu seorang lelaki mengeluarkan beberapa koper dari dalam mobil. Setelah selesai, lima orang itu berkumpul guna memberi ucapan selamat tinggal pada lelaki jangkung yang mengenakan hoodie hitam serta jeans berwarna senada yang hendak kembali ke negara tempatnya menimba ilmu.

“Hati-hati ya Jon, semoga cepet di acc lah skripsi am lo biar bisa stay lagi disini.” Ujar Tara menepuk bahu sobatnya itu.

“Tiati ngab, jangan ganjen sama cewek-cewek disana. Inget ada ayang yang menunggu di sby.” Yogi menimpali sembari menatap Caca jahil.

“Hadeuhhhh, jauh-jauh dah sama Caca. Kasian lo kerdusin mulu, anaknya pengen gumoh bawaannya.”

Kalimanya kembali tertawa karena gurauan Tara, setelah berbasa-basi. Tara dan Yogi memilih kembali ke mobil lebih dulu.

“Hati-hati ya Jon, kalo udah sampe sana kabarin kita.” Ucap Jeffrian memeluk Joni sebentar lalu menatap Caca, “jangan khawatir soal Caca, kalo gak lo kabarin paling reog nya keluar. Dah ya, gue ke mobil duluan. Silahkan menikmati waktu berdua, jangan lama-lama tapi pesawat lo gak lama lagi take off.”

Setelah mengatakan itu, Jeffrian meninggalkan Caca dan Joni berdua. Saling berhadapan namun tak ada yang membuka suara, Joni memperhatikan Caca, wajah manisnya tak bisa menyembunyikan ekspresi murungnya. Joni tersenyum samar, tangan besarnya menyentuh wajah Caca, memintanya untuk mendongak membalas tatapannya.

“Ca, mas pergi ya.” Pamit Joni.

Tak ada jawaban, Caca hanya membalas dengan anggukan.

“Caca gak mau ngomong sesuatu gitu sama mas?” Tanya Joni, Caca terlihat hendak membuka mulutnya namun urung.

“Malu ya? Mau mas balik badan biar kamu gak malu?”

Caca mengangguk cepat, melihat itu Joni tak tahan untuk mencubit gemas pipi berisi Caca. Setelah itu Joni langsung membalikkan tubuhnya membelakangi kekasihnya itu.

“Bismillahirrahmanirrahim, semoga Caca gak nangis soalnya gak mau mas ngira Caca gak mau kalo mas pergi— ya emang gak mau sih, maksudnya biar gak drama.”

“Mas hati-hati ya dijalan, kalo udah sampe disan jangan lupa kabarin Caca. Harus pokoknya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, sama istirahat kalo udah capek jangan dipaksain. Kalo butuh tempat buat keluh kesah telpon Caca, nanti Caca dengerin. Jangan ganjen disana, Caca gak se cantik dan se aduhai cewek di Chicago tapi gak boleh ganjen pokoknya. Nanti di bogem sama Abang.”

Caca menarik nafasnya beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya.

“Oh iya, sama jangan kebanyakan minum kopi. Nanti mas sakit, Caca gak mau mas sakit. Kalo udah selesai segala urusan disana, harus cepet pulang biar bisa ketemu Caca lagi.”

“Udah?” Tanya Joni setelah tak lagi mendengar suara Caca.

“Iya udah.”

Joni berbalik dan mendapati mata memerah Caca, sepertinya gadis itu menahan air matanya untuk tidak keluar. Melihat itu, Joni langsung membawa Caca kedalam dekapannya. Mendekapnya erat sambil sesekali mengecup puncak kepala Caca.

“Katanya gak mau nangis, kok ini nangis?” Tanya Joni jahil, membuat Caca mendengus lalu memukul bisep Joni pelan.

“Enggak ihh, aku gak nangis.” Jawab Caca dengan suara bindeng dan bergetar karena menahan tangis.

“Mana sini coba liat.” Melepas pelukannya, Joni mengapit wajah Caca dengan kedua telapak tangannya. “Jangan nangis, gak boleh. Pokoknya abis ini mas gak mau denger kalo Caca nangis gara-gara mas, oke.” Caca mengangguk, mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

“Ya udah, mas pergi ya.”

“Iya hati-hati.”

Joni menggeret kopernya masuk kedalam bandara, sebelum benar-benar masuk Joni berbalik dan berucap tanpa suara namun dapat Caca tangkap dengan jelas.

“Mas sayang Caca.”



Semua orang yang berada di dalam mobil turun setelah sampai di bandara internasional Juanda Surabaya, membantu seorang lelaki mengeluarkan beberapa koper dari dalam mobil. Setelah selesai, lima orang itu berkumpul guna memberi ucapan selamat tinggal pada lelaki jangkung yang mengenakan hoodie hitam serta jeans berwarna senada yang hendak kembali ke negara tempatnya menimba ilmu.

“Hati-hati ya Jon, semoga cepet di acc lah skripsi am lo biar bisa stay lagi disini.” Ujar Tara menepuk bahu sobatnya itu.

“Tiati ngab, jangan ganjen sama cewek-cewek disana. Inget ada ayang yang menunggu di sby.” Yogi menimpali sembari menatap Caca jahil.

“Hadeuhhhh, jauh-jauh dah sama Caca. Kasian lo kerdusin mulu, anaknya pengen gumoh bawaannya.”

Kalimanya kembali tertawa karena gurauan Tara, setelah berbasa-basi. Tara dan Yogi memilih kembali ke mobil lebih dulu.

“Hati-hati ya Jon, kalo udah sampe sana kabarin kita.” Ucap Jeffrian memeluk Joni sebentar lalu menatap Caca, “jangan khawatir soal Caca, kalo gak lo kabarin paling reog nya keluar. Dah ya, gue ke mobil duluan. Silahkan menikmati waktu berdua, jangan lama-lama tapi pesawat lo gak lama lagi take off.”

Setelah mengatakan itu, Jeffrian meninggalkan Caca dan Joni berdua. Saling berhadapan namun tak ada yang membuka suara, Joni memperhatikan Caca, wajah manisnya tak bisa menyembunyikan ekspresi murungnya. Joni tersenyum samar, tangan besarnya menyentuh wajah Caca, memintanya untuk mendongak membalas tatapannya.

“Ca, mas pergi ya.” Pamit Joni.

Tak ada jawaban, Caca hanya membalas dengan anggukan.

“Caca gak mau ngomong sesuatu gitu sama mas?” Tanya Joni, Caca terlihat hendak membuka mulutnya namun urung.

“Malu ya? Mau mas balik badan biar kamu gak malu?”

Caca mengangguk cepat, melihat itu Joni tak tahan untuk mencubit gemas pipi berisi Caca. Setelah itu Joni langsung membalikkan tubuhnya membelakangi kekasihnya itu.

“Bismillahirrahmanirrahim, semoga Caca gak nangis soalnya gak mau mas ngira Caca gak mau kalo mas pergi— ya emang gak mau sih, maksudnya biar gak drama.”

“Mas hati-hati ya dijalan, kalo udah sampe disan jangan lupa kabarin Caca. Harus pokoknya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, sama istirahat kalo udah capek jangan dipaksain. Kalo butuh tempat buat keluh kesah telpon Caca, nanti Caca dengerin. Jangan ganjen disana, Caca gak se cantik dan se aduhai cewek di Chicago tapi gak boleh ganjen pokoknya. Nanti di bogem sama Abang.”

Caca menarik nafasnya beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya.

“Oh iya, sama jangan kebanyakan minum kopi. Nanti mas sakit, Caca gak mau mas sakit. Kalo udah selesai segala urusan disana, harus cepet pulang biar bisa ketemu Caca lagi.”

“Udah?” Tanya Joni setelah tak lagi mendengar suara Caca.

“Iya udah.”

Joni berbalik dan mendapati mata memerah Caca, sepertinya gadis itu menahan air matanya untuk tidak keluar. Melihat itu, Joni langsung membawa Caca kedalam dekapannya. Mendekapnya erat sambil sesekali mengecup puncak kepala Caca.

“Katanya gak mau nangis, kok ini nangis?” Tanya Joni jahil, membuat Caca mendengus lalu memukul bisep Joni pelan.

“Enggak ihh, aku gak nangis.” Jawab Caca dengan suara bindeng dan bergetar karena menahan tangis.

“Mana sini coba liat.” Melepas pelukannya, Joni mengapit wajah Caca dengan kedua telapak tangannya. “Jangan nangis, gak boleh. Pokoknya abis ini mas gak mau denger kalo Caca nangis gara-gara mas, oke.” Caca mengangguk, mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

“Ya udah, mas pergi ya.”

“Iya hati-hati.”

Joni menggeret kopernya masuk kedalam bandara, sebelum benar-benar masuk Joni berbalik dan berucap tanpa suara namun dapat Caca tangkap dengan jelas.

“Mas sayang Caca.”

ps: ini lumayan panjang jadi selamat membaca. Awas mleyot author tidak bertanggung jawab kalau kalian mleyot.


“Caca!! Bawa opor ayam nya kesini, keburu ada tamu nanti.”

“Iya bentar.”

Caca yang sedang berbaring setelah tadi tetangganya ramai-ramai mampir untuk bersilahturahmi beranjak menuju dapur, membawa opor ayam yang Ibunya suruh. Mendapati Ayah beserta Ibunya yang menata kembali ruang tamu yang penuh makanan, dibantu Asha yang ada disana sejak tadi.

“Kebiasaan banget anjir, bukannya bantuin malah asik push rank. Cancelled banget lo jadi calon suami kak Asha.” Cibir Caca melihat sang kakak yang asik bermain ponsel.

“Berisik ahh, tadi gue udah bantuin Papah cuci piring ya.”

“Hush! Udah jangan berantem, baru tadi maaf-maafan masa udah berantem lagi.” Lerai sang Ibu melihat kedua anaknya beradu mulut.

“Gak gelud gak asik Mah.” Celetukan sang Ayah mengundang gelak tawa penghuni ruang tamu rumah itu.

Assalamualaikum!! Cacaa!! Bang Jeff!! Hendrik yang ganteng dateng nih.”

Seruan dari luar membuat Caca menghampiri Hendrik yang sudah berdiri didepan pagar rumahnya.

“Gantengan juga gebetan gue, ayo masuk.” Cibir Caca yang di dengar oleh Hendrik.

“Wahh songong, baru juga gebetan belom jadian.”

“Bodo amat dih, daripada lo gak punya gebetan.”

“Sembarangan aja lo kalo ngomong, gini-gini gue punya pacar ye enak aja.”

“Boong pantat lo kelap-kelip kek Shinchan.”

“Anying beneran elahh, nih liat.”

Hendrik memberikan ponselnya pada Caca yang berisikan chatting Hendrik dengan seorang perempuan yang Caca kenal.

“LAHH ANYING SI NINGSIH?! DEMI APA??” Heboh Caca membuat sang Ibu terkejut.

“Apa sih ca, heboh amat.”

“Nih si Hendrik jadian sama si Ningsih kagak bilang-bilang, tau-tau jadian aja. Jahat banget lo.”

“Widihhhh udah gak jomblo lagi nih brother? Keren.” Jeffrian nimbrung setelah menyelesaikan push rank nya.

“Iya dong, jomblo in public bucin in private. Gak kayak Caca, gebetan mulu jadian kagak.” Ledek Hendrik mengundang gelak tawa jeffrian. Melihat Caca bermuka masam, Asha menyikut perut jeffrian pelan.

“Kok gebetan sih? Kenapa gak jadian aja? Gak mau ya dia sama kamu?” Tanya sang Ibu, jujur Caca ingin ngamuk tapi ya masa ngamuk sama Mamah tambah dosa nanti Caca.

“Loh Caca punya gebetan? Kenapa gak di bawa kesini? Kenalin sama Papah Mamah.” Ujar sang Ayah yang membuat Caca makin bete.

“Gak tau ahh, sebel.”

Caca merajuk, berjalan menuju kamarnya sembari menghentakkan kakinya sebal. Sementara semua yang berada di ruang tamu itu agak merasa bersalah pada gadis itu. Caca membaringkan kembali tubuhnya dikasur, mencoba untuk menghilangkan dongkolnya dengan memejamkan mata sejenak agar dirinya relax.

Baru sekejap memejamkan mata, ponselnya berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Begitu melihat nama yang tertera di ponselnya, Caca langsung bangkit dan mengangkat panghilan itu.

“Halo?”

“Halo Caca, assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam mas.”

“Caca lagi apa?”

“Lagi rebahan aja nih mas, mas lagi apa?”

“Loh? Emang gak ada tamu atau tetangga gitu yang main kerumah?”

“Udah tadi, sekarang cuma ada Mamah Papah, Abang, kak Asha sama Hendrik aja.”

“Kenapa gak nimbrung?”

“Males aku diledekin terus.”

“Diledek gimana hmm?”

Caca hampir menjerit beritu mendengar suara Joni yang serak dan dalam. Kalem Ca, jangan mleyot.

Tapi Caca udah mleyot dari tadi.

“Gara-gara Caca gak punya pacar.”

“Terus?”

“Ya diledek lah.”

“Kenapa gak bilang udah punya gebetan.”

“Hah, apaan aku gak punya gebetan.”

“Loh, terus mas apa? Bukannya mas gebetan kamu?”

“HAH.”

“Kata Abang kamu, kamu suka bilang kalo mas gebetan kamu.”

Caca menahan nafasnya, mulut abangnya ini memang ember. Ingin rasanya Caca menyumpal mulut sang Abang dengan sendal jepit buluk milik sang Abang.

“ABANG JEFF IIHHHH AWAS LO YA GUE PUKUL PALA LO, PUNYA MULUT LEMES BANGET KAYAK IBU-IBU LAGI BELANJA SAYUR!!” Caca berteriak keras dari dalam kamar membuat semua orang yang ada di ruang tamu terkejut, termasuk Joni.

Namun lelaki di sebrang telepon itu terkekeh, membayangkan wajah tersipu Caca yang menurutnya sangat menggemaskan.

“Jadi gimana ca? Gak mau jadian aja? Daripada cuma jadi gebetan doang kan?”

“DIEM, JANGAN NGOMONG.”

Sambungan diputus sepihak oleh Caca, gadis itu tidak bisa terus-terusan dalam situasi ini. Ia malu, sangat-sangat malu.

“Caca kamu kenapa hey teriak-teriak gitu?” Tanya sang Ibu dari depan pintu kamarnya.

Gadis itu bergegas keluar dari kamarnya menghampiri sang kakak yang sedang nge bucin.

“Abang lo rese banget anjir, ngomong apa aja lo ke mas Joni?” Tanya Caca sewot, Jeffrian yang sedang asik bersama Asha menatap Caca setengah meledek.

“Semuanya.” Jawan Jeffrian enteng.

“Anying ahh gue malu, Mamah mulut Abang lemes banget sumpah ish!”

“Lagian kamu kenapa sih ca? Abang ngomong apa, sama siapa?”

“Temen SMA Jeffrian yang sekarang kuliah di Chicago, inget kan?”

“Oh yang itu, iya Mamah inget. Kenapa dia?”

Sebelum Jeffrian menjawab, ponsel Caca kembali berdering. Kali ini sambungan video call yang membuat gadis itu uring-uringan, Caca akhirnya kembali masuk kedalam kamarnya. Menenangkan diri sebelum mengangkat video call itu.

“Halo ca? Kenapa dimatiin?”

“Aku abis labrak Abang.”

“Loh kenapa dilabrak?”

“Abis Abang nyebelin, mulutnya lemes.”

“Kalo Abang kamu gak lemes, mas gak bakal tau kalo Caca suka sama mas.”

“Ihh udah dong Caca malu.” Ucap Caca yang menyembunyikan wajahnya di bantal karena malu.

“Loh ngapain malu? Mas juga suka kok sama Caca.”

“HAH?!!”

“CACA YA ALLAH JANGAN BERISIK.”

Seruan sang Ibu tak diindahkan oleh Caca, yang jadi fokusnya saat ini adalah ucapan lelaki disebrang sana. Ini Caca gak halu kan?

“Mas lagi gak nge prank kan?”

“Ngapain mas nge prank?”

“Kirain gitu.”

“Serius Caca, gak boong. Tapi mas mau tanya sama Caca.”

“Apa mas?”

“Kalo Caca mau terima mas jadi pacar Caca, Caca siap gak kalo mas tinggal ke Chicago?”

“Eh— mas mesti balik ke Chicago lagi ya?”

“Iya, kuliah mas belum selesai disana.”

“Berapa lama mas?”

“Kurang lebih setahun lagi, kalo semua berjalan sesuai rencana.”

Gadis itu nampak berfikir, apa bisa ia ldr dengan jarak yang sangat jauh serta perbedaan waktu yang cukup besar.

“Gapapa semisal Caca gak ma— “

“Kalo Caca bilang mau, boleh gak?”

Hening.

Tak ada yang membuka suara setelah Caca berujar barusan. Hanya ada deru nafas keduanya yang terdengar saling bersahutan, serta ekspresi wajah yang tak terbaca.

“Ca.”

“Tapi nanti mas bakal jarang punya waktu buat Caca gapapa?”

“Kedengarannya naif sih tapi Caca gapapa, seminggu dua atau tiga kali kasih kabar udah cukup. Caca juga gak suka kalo harus kasih kabar tiap hari, ribet. Luangin waktu mas buat Caca kalo mas sempet, kan mas disana belajar bukan main.”

Joni terdiam disebrang sana, hendak menjerit senang namun tertahan gengsi. Tak sia-sia pulang ke Surabaya, pikirnya.

“Hmm, jadi Caca mau jadi pacar mas?”

“Jangan tanya lagi, kan mas udah tau jawabannya.”

“Emang kenapa?”

“Caca malu ihh.”

“Ya ampun gemes banget, jadi pengen ketemu.”

“Nanti kalo mas udah sembuh.”

“Mas sembuh mau langsung berangkat lagi.”

“Iya kah?”

“Huum.”

“Yaahhhhhh.”

“Mau ikut anter?”

“Boleh?”

“Boleh dong masa enggak, nanti bilang Abang kamu dulu.”

“Oke deh.”

“Ya udah, mas mau minum obat dulu ya. Nanti mas chat atau telpon lagi.”

“Iya mas, sok minum obat dulu.”

Setelah berpamitan, Caca menutup sambungannya. Keluar dari kamarnya dengan wajah berseri.

“Ciee yang jadian.” Celetuk jeffrian saat Caca duduk ditengah-tengah keluarganya.

“Pj dong pj, diem-diem bae.” Timbrung Hendrik.

“Dih u spa y?”

“Jadi adek punya pacar nih?” Tanya sang Ayah, Caca mengangguk.

“Ldr an dong dek?”

“Gakpapa, Caca stong.”

“Halahh ntar uring-uringan jangan lari ke gue awas aja.” Cibir Hendrik yang disetujui oleh Jeffrian.

Sementara Caca mencebik lucu, membuat semua tertawa melihat ekspresi Caca.


ps: ini lumayan panjang jadi selamat membaca. Awas mleyot author tidak bertanggung jawab kalau kalian mleyot.


“Caca!! Bawa opor ayam nya kesini, keburu ada tamu nanti.”

“Iya bentar.”

Caca yang sedang berbaring setelah tadi tetangganya ramai-ramai mampir untuk bersilahturahmi beranjak menuju dapur, membawa opor ayam yang Ibunya suruh. Mendapati Ayah beserta Ibunya yang menata kembali ruang tamu yang penuh makanan, dibantu Asha yang ada disana sejak tadi.

“Kebiasaan banget anjir, bukannya bantuin malah asik push rank. Cancelled banget lo jadi calon suami kak Asha.” Cibir Caca melihat sang kakak yang asik bermain ponsel.

“Berisik ahh, tadi gue udah bantuin Papah cuci piring ya.”

“Hush! Udah jangan berantem, baru tadi maaf-maafan masa udah berantem lagi.” Lerai sang Ibu melihat kedua anaknya beradu mulut.

“Gak gelud gak asik Mah.” Celetukan sang Ayah mengundang gelak tawa penghuni ruang tamu rumah itu.

“Assalamualaikum!! Cacaa!! Bang Jeff!! Hendrik yang ganteng dateng nih.”

Seruan dari luar membuat Caca menghampiri Hendrik yang sudah berdiri didepan pagar rumahnya.

“Gantengan juga gebetan gue, ayo masuk.” Cibir Caca yang di dengar oleh Hendrik.

“Wahh songong, baru juga gebetan belom jadian.”

“Bodo amat dih, daripada lo gak punya gebetan.”

“Sembarang aja lo kalo ngomong, gini-gini gue punya pacar ye enak aja.”

“Boong pantat lo kelap-kelip kek Shinchan.”

“Anying beneran elahh, nih liat.”

Hendrik memberikan ponselnya pada Caca yang berisikan chatting Hendrik dengan seorang perempuan yang Caca kenal.

“LAHH ANYING SI NINGSIH?! DEMI APA??” Heboh Caca membuat sang Ibu terkejut.

“Apa sih ca, heboh amat.”

“Nih si Hendrik jadian sama si Ningsih kagak bilang-bilang, tau-tau jadian aja. Jahat banget lo.”

“Widihhhh udah gak jomblo lagi nih brother? Keren.” Jeffrian nimbrung setelah menyelesaikan push rank nya.

“Iya dong, jomblo in public bucin in private. Gak kayak Caca, gebetan mulu jadian kagak.” Ledek Hendrik mengundang gelak tawa jeffrian. Melihat Caca bermuka masam, Asha menyikut perut jeffrian pelan.

“Kok gebetan sih? Kenapa gak jadian aja? Gak mau ya dia sama kamu?” Tanya sang Ibu, jujur Caca ingin ngamuk tapi ya masa ngamuk sama Mamah tambah dosa nanti Caca.

“Loh Caca punya gebetan? Kenapa gak di bawa kesini? Kenalin sama Papah Mamah.” Ujar sang Ayah yang membuat Caca makin bete.

“Gak tau ahh, sebel.”

Caca merajuk, berjalan menuju kamarnya sembari menghentakkan kakinya sebal. Sementara semua yang berada di ruang tamu itu agak merasa bersalah pada gadis itu. Caca membaringkan kembali tubuhnya dikasur, mencoba untuk menghilangkan dongkolnya dengan memejamkan mata sejenak agar dirinya relax.

Baru sekejap memejamkan mata, ponselnya berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Begitu melihat nama yang tertera di ponselnya, Caca langsung bangkit dan mengangkat panghilan itu.

“Halo?”

“Halo Caca, assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam mas.”

“Caca lagi apa?”

“Lagi rebahan aja nih mas, mas lagi apa?”

“Loh? Emang gakak ada tamu atau tetangga gitu yang main kerumah?”

“Udah tadi, sekarang cuma ada Mamah Papah, Abang, kak Asha sama Hendrik aja.”

“Kenapa gak nimbrung?”

“Males aku diledekin terus.”

“Diledek gimana hmm?”

Caca hampir menjerit beritu mendengar suara Joni yang serak dan dalam. Kalem Ca, jangan mleyot.

Tapi Caca udah mleyot dari tadi.

“Gara-gara Caca gak punya pacar.”

“Terus?”

“Ya diledek lah.”

“Kenapa gak bilang udah punya gebetan.”

“Hah, apaan aku gak gebetan.”

“Loh, terus mas apa? Bukannya mas gebetan kamu?”

“HAH.”

“Kata Abang kamu, kamu suka bilang kalo mas gebetan kamu.”

Caca menahan nafasnya, mulut abangnya ini memang ember. Ingin rasanya Caca menyumpal mulut sang Abang dengan sendal jepit buluk milik sang Abang.

“ABANG JEFF IIHHHH AWAS LO YA GUE PUKUL PALA LO, PUNYA MULUT LEMES BANGET KAYAK IBU-IBU LAGI BELANJA SAYUR!!” Caca berteriak keras dari dalam kamar membuat semua orang yang ada di ruang tamu terkejut, termasuk Joni.

Namun lelaki di sebrang telepon itu terkekeh, membayangkan wajah tersipu Caca yang menurutnya sangat menggemaskan.

“Jadi gimana ca? Gak mau jadian aja? Daripada cuma jadi gebetan doang kan?”

“DIEM, JANGAN NGOMONG.”

Sambungan diputus sepihak oleh Caca, gadis itu tidak bisa terus-terusan dalam situasi ini. Ia malu, sangat-sangat malu.

“Caca kamu kenapa hey teriak-teriak gitu?” Tanya sang Ibu dari depan pintu kamarnya.

Gadis itu bergegas keluar dari kamarnya menghampiri sang kakak yang sedang nge bucin.

“Abang lo rese banget anjir, ngomong apa aja lo ke mas Joni?” Tanya Caca sewot, Jeffrian yang sedang asik bersama Asha menatap Caca setengah meledek.

“Semuanya.” Jawan Jeffrian enteng.

“Anying ahh gue malu, Mamah mulut Abang lemes banget sumpah ish!”

“Lagian kamu kenapa sih ca? Abang ngomong apa, sama siapa?”

“Temen SMA Jeffrian yang sekarang kuliah di Chicago, inget kan?”

“Oh yang itu, iya Mamah inget. Kenapa dia?”

Sebelum Jeffrian menjawab, ponsel Caca kembali berdering. Kali ini sambungan video call yang membuat gadis itu uring-uringan, Caca akhirnya kembali masuk kedalam kamarnya. Menenangkan diri sebelum mengangkat video call itu.

“Halo ca? Kenapa dimatiin?”

“Aku abis labrak Abang.”

“Loh kenapa dilabrak?”

“Abis Abang nyebelin, mulutnya lemes.”

“Kalo Abang kamu gak lemes, mas gak bakal tau kalo Caca suka sama mas.”

“Ihh udah dong Caca malu.” Ucap Caca yang menyembunyikan wajahnya di bantal karena malu.

“Loh ngapain malu? Mas juga suka kok sama Caca.”

“HAH?!!”

“CACA YA ALLAH JANGAN BERISIK.”

Seruan sang Ibu tak diindahkan oleh Caca, yang jadi fokusnya saat ini adalah ucapan lelaki disebrang sana. Ini Caca gak halu kan?

“Mas lagi gak nge prank kan?”

“Ngapain mas nge prank?”

“Kirain gitu.”

*“Serius Caca, gak boong. Tapi mas mau tanya sama Caca.”

“Apa mas?”

“Kalo Caca mau terima mas jadi pacar Caca, Caca siap gak kalo mas tinggal ke Chicago?”

“Eh— mas mesti balik ke Chicago lagi ya?”

“Iya, kuliah mas belum selesai disana.”

“Berapa lama mas?”

“Kurang lebih setahun lagi, kalo semua berjalan sesuai rencana.”

Gadis itu nampak berfikir, apa bisa ia ldr dengan jarak yang sangat jauh serta perbedaan waktu yang cukup besar.

“Gapapa semisal Caca gak ma— “

“Kalo Caca bilang mau, boleh gak?”

Hening.

Tak ada yang membuka suara setelah Caca berujar barusan. Hanya ada deru nafas keduanya yang terdengar saling bersahutan, serta ekspresi wajah yang tak terbaca.

“Ca.”

“Tapi nanti mas bakal jarang punya waktu buat Caca gapapa?”

“Kedengarannya naif sih tapi Caca gapapa, seminggu dua atau tiga kali kasih kabar udah cukup. Caca juga gak suka kalo harus kasih kabar tiap hari, ribet. Luangin waktu mas buat Caca kalo mas sempet, kan mas disana belajar bukan main.”

Joni terdiam disebrang sana, hendak menjerit senang namun tertahan gengsi. Tak sia-sia pulang ke Surabaya, pikirnya.

“Hmm, jadi Caca mau jadi pacar mas?”

“Jangan tanya lagi, kan mas udah tau jawabannya.”

“Emang kenapa?”

“Caca malu ihh.”

“Ya ampun gemes banget, jadi pengen ketemu.”

“Nanti kalo mas udah sembuh.”

“Mas sembuh mau langsung berangkat lagi.”

“Iya kah?”

“Huum.”

“Yaahhhhhh.”

“Mau ikut anter?”

“Boleh?”

“Boleh dong masa enggak, nanti bilang Abang kamu dulu.”

“Oke deh.”

“Ya udah, mas mau minum obat dulu ya. Nanti mas chat atau telpon lagi.”

“Iya mas, sok minum obat dulu.”

Setelah berpamitan, Caca menutup sambungannya. Keluar dari kamarnya dengan wajah berseri.

“Ciee yang jadian.” Celetuk jeffrian saat Caca duduk ditengah-tengah keluarganya.

“Pj dong pj, diem-diem bae.” Timbrung Hendrik.

“Dih u spa y?”

“Jadi adek punya pacar nih?” Tanya sang Ayah, Caca mengangguk.

“Ldr an dong dek?”

“Gakpapa, Caca stong.”

“Halahh ntar uring-uringan jangan lari ke gue awas aja.” Cibir Hendrik yang disetujui oleh Jeffrian.

Sementara Caca mencebik lucu, membuat semua tertawa melihat ekspresi Caca.