Setelah keluar dari masjid, Jeno merapihkan rambutnya yang agak sedikit basah, dan kemudian tersenyum tipis di spion kaca. Ia menaruh peci yang di pakai ke dalam jok motor. Ponsel Jeno berdering, menampilkan pesan dari Renjun–kekasihnya– kalau acara kebaktian ibadahnya hampir selesai. Jeno pun bergegas, dan menghidupkan motor nya lalu menuju vihara dimana Renjun berada.
“Kamu ganteng banget habis sholat. Mukanya keliatan adem,” ucap Renjun. Ia mengusap kepala Jeno yang masih terasa basah karena air wudhu.
Sedangkan Jeno hanya tersenyum sambil mengusap pipi tembam Renjun dengan lembut.
“Gimana tadi kebaktian kamu?” tanya Jeno. Matanya tak lepas untuk memandang wajah Renjun dengan tatapan sendu.
“Ya seperti biasa. Penceramah nya sungguh membosankan. Aku sampai tergantuk-ngantuk tadi.”
Jeno tersenyum maklum, “Lain kali jangan gitu ya? Kamu harus bener-bener serius kalo ikut ibadah. Mau sengantuk apapun, kamu harus tetap mendengarkan nya, paham?”
“Iya-iya. Dasar ustadz Jeno.”
Renjun terkekeh, kemudian menaiki motor mio Jeno. Mereka ingin menghabiskan malam minggu bersama setelah ujian akhir sekolah menengah pertama mereka yang baru saja selesai.
“Oiya, sholat kamu gak pernah bolong kan?” tanya Renjun penuh selidikan. Jeno terkekeh dan melihat wajah raut kebingungan Renjun di spion kaca.
“Enggak kok, sayang. Lagian nih ya, kalo aku sampe bolong sholatnya bisa di babat habis sama ayah aku. Kamu tau sendiri kan kalo ayah ku itu patuh banget sama agama,” jelas Jeno dengan suara kencang. Karena jika ia berbicara pelan, Renjun tidak akan mendengar. Karena kondisinya jalanan sangat ramai
“Hihi, iya juga. Tapi Jen ... Selama ini hubungan kita–
“Kita bicarain ini nanti ya? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapan Jeno mampu membuat Renjun terdiam. Entah mengapa firasat nya mengatakan bahwa ini akan jadi malam terakhir mereka untuk bersama. Renjun berusaha menghapus pikiran buruknya. Semoga firasatnya ini tidak benar. Bagaimana pun juga, Renjun akan mempertahankan hubungan ini, walaupun takdir tidak berpihak pada mereka.
“Jadi kamu mau ngomong apa?” tanya Renjun gugup setelah Jeno memarkirkan motornya di pinggir sungai.
“Aku–” Jeno berusaha menahan tangisnya yang akan segera pecah. Jujur dalam lubuk hatinya, ia tidak ingin mengatakan ini tapi ia harus.
“Kenapa?” tanya Renjun takut. ia menghampiri Jeno yang sedang menunduk, perasaannya tidak menentu. Ia meraih rahang Jeno dan menyuruh pria itu menatap dirinya.
“Setelah lulus nanti ayah nyuruh aku pesantren dan aku mau memutuskan hubungan kita.” Setelah mengatakan itu mata air Jeno menetes tanpa ijin. Tangan Renjun yang ada di rahang Jeno tampak bergetar. Mata rubah itu berkaca-kaca, tampak tak percaya apa yang di katakan kekasihnya.
Renjun menggelengkan kepalanya pelan, “Enggak, aku gak mau putus please. Aku–”
“Renjun dengarkan aku.” Jeno menangkup wajah mungil Renjun.
“Kita berbeda, Renjun. Dan sampai kapanpun tidak akan pernah bisa bersama. Sebelum kita jatuh terlalu jauh, lebih baik akhiri sekarang. Aku juga gak mau ini terjadi tapi–tuhan kita berbeda.”
“Hiks, aku gak mau, Jeno. Aku cinta sama kamu. Gak mau pisah sama kamu.” Renjun menangis dalam pelukan Jeno dan memeluk erat pria itu.
“Sebelumnya kamu bilang kan kalo kita bakal sama-sama terus. Gak peduli kepercayaan kita kayak gimana, kita harus tetap bersama. Please, aku rela pindah ke agama kamu biar bisa sama kamu terus. Aku gak mau pisah sama kamu, hiks. Aku janji nanti belajar sholat, ngaji, puasa atau apapun itu asal kita gak putus.” Renjun semakin mengeratkan pelukannya pada leher Jeno. Ia sungguh tidak ingin berpisah dari Jeno.
Jeno adalah separuh hidupnya, dan ia tidak ingin kehilangan itu.
Jeno menggelengkan kepalanya kuat, “No! Kamu gak bakal bisa ngelakuin itu, Renjun! Itu gak segampang yang kamu pikirin.”
Renjun tetap menggelengkan kepalanya, “Gak mau, Hiks. Aku sayang kamu, Jeno. Ngerti gak sih? Aku rela lakuin apapun supaya bisa–”
Jeno berusaha melepaskan pelukan Renjun namun tidak bisa karena pelukan si mungil terlalu erat.
“Denger Renjun, dengerin aku!” Jeno berbicara tersendat karena lelah menangis, tapi tidak pada pria yang ada di pelukannya yang semakin mengencangkan tangis. Jeno merasa bersalah pada pria mungil di pelukannya.
“Jika tuhan mengijinkan kita bersama, pasti kita akan kembali. Percaya pada tuhan, hm? Untuk saat ini kita fokus pada kehidupan kita sebenarnya.”
“Bilang sama tuhan kamu kalo aku cuma mencintai umatnya, bukan niat merebutnya. Kadang Tuhan menguji manusia dengan cinta beda agama, hanya untuk memastikan apakah manusia lebih mencintai penciptanya atau ciptaannya. Jadi kamu jangan pernah ada niatan pindah agama atau keyakinan, Apalagi cuma karena aku yang hanya manusia biasa. Tetap lah jadi pengikut setia nya. Tuhan selalu bersama mu, tapi kalo aku belum tentu.”
“Hiks, Jeno~ Maafin aku yang sempet punya pemikiran kayak gitu, hiks. Tapi aku beneran gak mau pisah.”
Renjun menundukkan kepalanya, kedua tangannya terkepal dengan erat.
“Kenapa tuhan jahat banget sama kita, Jeno? Kenapa, hiks”
“Tuhan gak jahat sama kita. Tapi kita. Dari awal kita yang salah dan tidak akan bisa bersama tapi kita tetap menjalani hubungan ini dan berakhir kita yang jatuh terlalu dalam.” Jeno tersenyum pahit, lalu mengecup pelipis Renjun dengan sayang. Ia juga berat melepaskan Renjun. Tapi mau gimana lagi? Mereka bukan takdir tuhan yang pantas bersama. Ia dan Renjun berbeda.
“Oke, kalau kamu mau hubungan kita berakhir. Aku juga gak bisa maksa. Tapi kita tetep temenan kan?”
“Tentu,” Jeno mengusak kepala Renjun dengan gemas.
Mereka dipertemukan hanya untuk menjadi teman. Terkadang Tuhan hanya mempertemukan bukan mempersatukan. Ketika restu tidak kunjung ada, kita hanya ada dua pilihan. Menyerah atau berjuang dalam sebuah hubungan.