hyukies

Pertengahan.

Asahi duduk termenung sambil memandang ponselnya gusar. Harusnya 10 menit yang lalu Jaehyuk sudah berada di halaman rumahnya dengan motor honda beat kesayangannya. Tetapi, sampai menit ke-15 lelaki dengan mata seperti anak anjing itu belum juga tiba.

Jari-jemari Asahi masih terus berselancar di atas papan ketik, mengetikkan berbagai kata dan ditujukan pada sang kekasih. Asahi resah. Pikiran-pikiran buruk mulai hinggap di kepalanya. Bagaimana jika Jaehyuk diam-diam berkencan dengan pria lain dan mengabaikan janjinya pada Asahi?

Sialan. Pergi jauh-jauh kamu pikiran kotor!” Asahi mencoba mengusir mereka dengan menepuk-nepuk kepalanya sendiri.

Tepat pada menit ke-23 bunyi knalpot motor honda beat menyapu indra pendengarannya. Buru-buru Asahi menegakkan kepala dan berlari menuju seseorang yang membuatnya selama hampir setengah jam uring-uringan.

“Kamu kemana dulu sih??? Lama banget,” protes Asahi.

“Maaf. Tadi harus isi bensin dulu, terus di perempatan situ ada kecelakaan jadi macet. Maaf ya, bikin kamu nunggu..”

“Gak papa, ayo cepetan! Nanti keburu panas.”

“Iya.”

Jaehyuk kembali bergegas menaiki motornya. Eits, tentu saja sebelumnya ia memberikan helm khusus pada Asahi. Gini-gini mereka patuh peraturan dan mementingkan keselamatan. Walaupun pemasangan nya nggak romantis seperti yang ada di-film. Bagi mereka, saling mengerti satu sama lain sudah lebih dari cukup.

“Hyuk,”

“KAMU MANGGIL AKU?” Tanya Jaehyuk sambil berteriak. Maklum, lagi di jalan raya, bising.

“Iya, aku manggil kamu tad–”

“YANG KERAS SA, AKU GAK DENGER!”

Asahi menarik napas panjang. “KAMU TADI BENERAN ISI BENSIN?”

“YA IYA?? EMANGNYA KENAPA?”

“BENERAN BOHONG???”

“KOK KAMU MIKIRNYA GITU SIH?!” Jaehyuk sedikit menaikkan intonasinya. Kesal dengan pertanyaan dari sang jantung hati.

“YA KAN SIAPA TAU KAMU MAMPIR KE RUMAH 'COWOK' MU.”

“COWOK-KU KAN CUMA KAMU SA??!” Bantah Jaehyuk tak terima.

“SIAPA TAU ADA LAGI SELAIN AKU.” Asahi selalu begini dan Jaehyuk tidak suka itu. Setiap ia telat atau tidak menuruti keinginan Asahi, pasti akan disangka yang jelek-jelek.

“NANTI KITA BICARAIN LAGI. GAK ENAK RIBUT DI ATAS MOTOR!” Asahi menaikkan sebelah alisnya. Ini maksudnya Jaehyuk mengajaknya untuk bertengkar setelah sampai di tujuan nanti?


Alun-alun dengan berbagai pedagang kaki lima di sekitarnya menjadi tempat tujuan pasangan muda-mudi ini. Setiap hari Kamis alun-alun dekat rumah Asahi selalu ramai dengan pedagang jajanan keliling. Lebih ramai daripada hari-hari lainnya. Entah apa alasannya, mereka berdua pun tak tahu-menahu.

“Mau jajan apa dulu?” Tanya Jaehyuk setelah melepas helm dan merapikan rambut berantakannya.

“Jalan dulu aja yuk. Nanti kalo ada yang pas baru deh beli,” ajak Asahi.

“Yaudah, ayo!”

Jaehyuk menggandeng tangan Asahi dengan senyum manis terpatri di wajahnya. Sesekali ia beri usapan lembut dan mendapat balasan pipi bersemu dari si pemilik. Mereka bertingkah seakan tidak ada yang terjadi di jalanan tadi.

“Hyuk!!” Tiba-tiba Asahi berseru lantang dan menghentikan langkah. Membuat Jaehyuk–yang menggandengnya-nyaris jatuh tersungkur mencium aspal.

“Ada apa sih? Kok tiba-tiba gitu?”

“ROTI GORENG!”

Asahi melepas tautannya dengan Jaehyuk secepat. Lalu bergegas berlari menuju penjual jajanan favoritnya. Sedang Jaehyuk hanya menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah kasihnya.

“Udah beli?” Ucap Jaehyuk setelah sampai di sebelah si kesayangan.

“Udah. Beli 5 ribuu.”

“Yaudah, ayo cari tempat duduk,” ajak Jaehyuk.

Kelas 9 SMP.

Untuk Watanabe Haruto


#1

Namanya Avis. Dia adalah teman sekaligus sahabatku satu-satunya. Kami sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada saudara kandung. Orang-orang sering menyebut kami anak kembar. Bukan cuma dari perilaku, wajah kami pun semakin lama semakin mirip. Aku dan dia berkenalan saat kami masih menduduki bangku sekolah dasar. Avis sangatlah periang, memiliki teman dimana-mana. Sangat berbanding terbalik denganku. Waktu SD dulu aku pernah terkena bola yang ditendang Avis. Ia dimarahi oleh Ibu Guru. Aku berusaha membela, berkata bahwa itu semua salahku yang melamun di pinggir lapangan. Saat itulah kami mulai dekat dan berteman hingga kini duduk di bangku SMP kelas akhir.

Dulu, sebelum bertemu dengan sosoknya aku selalu berpikir bahwa aku tak butuh yang namanya teman. Aku memiliki diriku. Aku bisa berdebat, bertukar pikiran, serta mencurahkan isi hati dengan diriku yang lain. Lagipula, apa untungnya memiliki teman jika pada akhirnya akan ditinggalkan? Aku hidup selama 15 tahun dan sudah berkali-kali ditinggalkan orang terdekat. Ah, malang sekali hidupku.

“Ya! Berhenti melamun!” Avis menyenggol tubuhku dengan tubuh berkeringatnya. Dia baru selesai bermain sepak bola.

“Ayo main bersamaku! Jangan hanya duduk dan melamun, nanti bisa-bisa setan lewat menyukaimu.”

“Menjauh dari tubuhku, bau!” Kaki putihku menendang tepat di tulang kering miliknya. “Rasakan itu, haha.”

“YA! ANAK NAKAL, SINI KAU!!”

Aku berlari menjauhinya, sesekali menengok kebelakang lalu menjulurkan lidahku; bermaksud mengejek si putih ber-rambut lepek itu.

Tapi ya namanya juga aku, stamina tubuhku lemah. Berlari sedikit saja sudah membuat napasku tidak teratur, tubuhku banjir keringat dengan bau tak sedap. Uh, pasti aku akan ditegur guru yang akan mengisi kelasku.

“Kena kau anak nakal!” Avis berseru sambil memegang erat tanganku.

“Jangan memegang terlalu erat, sakit.” Ucapku dengan napas tersengal-sengal. Avis segera melepas genggamannya, lalu mengelus pergelangan tanganku pelan.

“Maaf. Habisnya aku terlanjur kesal dengan tingkahmu.”

Aku menggeleng. “Tidak apa. Memang aku yang tadi kurang ajar ke kamu.”

“Sudahlah, ayo ke kelas!” Avis kembali menggenggam tanganku, bedanya kali ini tidak se-erat tadi.

“Kenapa buru-buru sekali??”

“Sekarang sudah pukul 09.21, empat menit lagi bel akan berbunyi. Hilangkan dulu bulir-bulir keringatmu, agar nanti tidak mendapat sengap dari Ibu atau Bapak Guru.” Avis menjelaskan dengan nada sebal. Memang menghadapi manusia seperti diriku harus memiliki kesabaran yang ekstra. Kedua orangtuaku saja tidak kuat mengurusku, haha.

“Yasudah. Ayo.”

Kami berjalan beriringan. Peluh terus-menerus membasahi dahi kami. Matahari benar-benar terasa persis di atas kepalaku. Jika tau begini harusnya tadi aku memilih berjalan di pinggir lapangan saja daripada berlarian bersama si lepek ini.

“Sebentar lagi sampai. Tahan dirimu, Justin.” Avis menyemangati ku, walau ia tahu itu tak berguna sama sekali.

“Besok-besok jangan ajak aku lewat lapangan lagi.”

“Dasar lemah.”

“YAA!!! BERHENTI MENGEJEKKU!” Aku berteriak lengking sekali. Orang-orang yang berjalan di sekitar tangga menatapku geram. Tapi aku tidak peduli.

“Jangan berteriak begitu.. kamu bakalan malu.”

“Maka dari itu, kamu harus diam!” Perintahku sok garang.

“Yaa, baiklah. Ayo cepat naik. Nanti keburu Ibu Susan datang.” Lagi-lagi Avis menarik tanganku, kali ini agar aku lebih cepat naik menuju ruang kelas kami.


Teng teng teng

YES! AKHIRNYAAAA!!!” Seruan Avis memenuhi ruang kelas kami, tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi.

Hari ini hari Selasa. Dimana jam terakhir adalah mapel (mata pelajaran) IPA dengan bab kelistrikan dan teknologi listrik di lingkungan. Rumit, materi tersebut sangat rumit. Bahkan sekelas Avis—yang termasuk golongan siswa pintar—merasa kesusahan.

“Dasar anak-anak jaman sekarang.” Pak Indro, guru IPA sekolah kami berkomentar. Setelah selesai membersihkan barang-barang miliknya, Pak Indro segera menutup kelas hari ini; sebab ia sudah tahu raut lelah dan rindu berbaring dari anak-anak muridnya, begitu juga denganku.

”....sekian untuk hari ini. Sampai jumpa minggu depan. Tetap semangat anak-anak! Saya pamit dulu,” ucap Pak Indro mengakhiri.

“Justin, habis ini mau main di rumahku dulu tidak?” Tawar Avis yang tiba-tiba sudah berada di samping ku. Lengkap dengan tas biru dongker dikedua pundaknya.

“Boleh.”

“Memangnya mau apa? Hanya bermain?” Aku bertanya sembari membereskan barang-barang ku.

“Sambil mengerjakan tugas dari Ibu Susan. Aku nggak paham sama penjelasan beliau. Kamu kan ahli bidang seni,” Avis mengedipkan satu matanya genit.

Eww. Berhenti mengedipkan mata seperti itu jika tidak ingin aku merubah rencana ku.”

“Aish! Baiklah.”

“Cepat sedikit dong lelet! Aku mau membeli jajan dulu di depan.” Avis terus-menerus mengoceh kesana-kemari. Tentu saja dengan terus menyuruhku untuk cepat! Huh, dasar.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit demi menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” dengan heboh.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandra sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol gak..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerah begitu saja. Peluang sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit demi menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” dengan heboh.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandra sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol gak..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit demi menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” dengan heboh.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandra sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit demi menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” dengan heboh.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandea sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit demi menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” Serunya heboh bukan main.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandea sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandra kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit deni menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” Serunya heboh bukan main.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandea sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon samping kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandea kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit deni menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” Serunya heboh bukan main.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandea sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.

Jam Kosong Hari Itu.

Yoonbin as Abiel. Jihoon as Jenandra.

Berisik. Suasana kelas Jenandra pagi ini sangat tak kondusif. Rapat bulanan bapak-ibu guru menjadi penyebab utama terjadinya keributan di kelas. Entah apa yang mereka bahas Jenandra pun tak tahu menahu. Mungkin saja tentang rencana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) full dari Senin sampai Sabtu, atau hal lainnya.

Jenandra tidak suka suara berisik. Meskipun ia dikenal sebagai anak yang gampang berbaur, namun di beberapa waktu tertentu ia dapat berubah menjadi anak yang membenci keramaian. Daripada berbincang dengan teman kelasnya, Jenandra lebih memilih mengamati Burung Pipit yang sedang bertengger di ranting pohon depan kelasnya. Mungkin sedang mencari makan, pikirnya.

“Permisi..”

Jenandra menoleh saat suara lembut menyapu gendang telinganya. “Eh, iya? Ada apa?”

“Anu.. boleh pinjam bolpoin sebentar nggak? Bolpoin ku habis.. dan kebetulan hari ini cuma bawa satu aja,” curah teman sekelasnya yang kerap disapa Abi. Abiel lebih tepatnya.

“Boleh-boleh.” Jenandra segera mengeluarkan tempat pensil abu-abu miliknya, lalu mengobrak-abrik isinya guna mencari alat tulis bernama bolpoin.

“Ini,” bolpoin Zhixin Gel Pen hitam Jenandra sodorkan.

“Terimakasih. Boleh duduk di sini sebentar nggak? Ini tinggal sedikit kok, biar bisa langsung balikin bolpoin-nya gitu..” izin Abiel.

“Iya, silahkan, duduk aja.”

Setelah diberi izin, Abiel segera duduk di sampit Jenandra dengan wajah berseri-seri; entah apa yang membuatnya senang sekali.

“Omong-omong itu tugas apa?” Tanya seseorang di sebelahnya.

“Eh? Ini tugas Bahasa Indonesia pekan lalu. Aku belum selesai hehehehe,” jelas Abiel. Jenandra hanya menanggapi dengan ber-oh ria saja.

Keadaan sunyi kembali menyelimuti keduanya. Abiel fokus pada tugasnya, sedang Jenandea kembali memandang sekeliling. Detik demi detik berlalu, menit deni menit mereka lalui dengan keadaan senyap.

Hingga akhirnya pada menit ke-7 sosok putih tinggi bermata sipit itu menyerukan kata; “YES! SELESAIII!!!!” Serunya heboh bukan main.

Jenandra yang ada di sampingnya terkejut bukan main. Bagaimana tidak terkejut, jika suara seberat tumpukan 10 kardus itu tiba-tiba berteriak lengking tepat di sebelahnya?

Plak

“Duh, kok ditabok sih???” Protes Abiel sambil mengelus-elus tangannya.

“Kaget!” Balas Jenandea sewot.

“Hehehe maaf..”

“Lagi lihat apa sih? Kok fokus banget kayaknya,” tanya Abiel penasaran.

“Tuh,” Jenandra menunjuk ke arah samping kelas; tempat Burung Pipit yang diamatinya bertengger sejenak. Abiel ikut memfokuskan pandangannya pada si burung kecil, mengamati segala tindakannya.

“Burung liar itu termasuk burung ter-beruntung dan ter-sengsara,” celetuk Abiel.

“Iya. Beruntung dalam hal kebebasan. Sengsara dalam hal tempat tinggal, makanan, kesehatan sama keamanan.” Setuju Jenandra.

“Lebih banyak sedihnya haha.”

“Ya, namanya juga kehidupan.”

“Oh, kita belum kenalan secara resmi,” ucap Abiel yang tiba-tiba mengubah topik.

“Tapi, udah saling kenal nama?”

“Tetep aja. Belum jabat tangan, belum resmi.”

Huh, modus?

“Yaudah.” Jenandra menjulurkan tangannya, “Jenandra, panggil Nandra aja.”

Sang lawan bicara mengangkat satu alisnya, namun tetap menyambut uluran tangan dari Jenandra. “Kok boleh manggil Nandra? Bukannya anak lain biasanya disuruh manggil Jenan aja.”

“Kamu spesial.”

Jenandra.. jangan gini. Mulutmu bisa tolong dikontrol..

“Yaa. Kenalin, Abiel panggil Biel aja.”

“Oh? Oke.” Lalu tautan tangan antar mereka terlepas dengan Jenandra yang pertama melepas.

Tanpa disadari, Abiel berdesis pelan. Merasa sedih karena tautannya hanya sebentar. Tapi, ia tak akan menyerahkan. Peluangnya sudah di depan mata, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

“Nandra punya barang kesayangan nggak?”

“Punya.”

“Kalo boleh tau, apa barangnya?” Aju Abiel, lagi.

“Meja kecil yang warna biru. Gatau kenapa bisa jadi kesayangan,” yang berucap mengendikkan bahunya.

“Udah nemenin kamu dari kecil kali?”

“Mungkin.”

“Kalau Biel, sukanya apa?” Tanya Jenandra balik.

“Kamu.”

Hah?

Baru kenalan 5 menit lalu loh..

“Aneh-aneh aja bercandanya. Udah sana balik, habis ini guru-guru bubar. Keburu Bu Ima datang, hush hush!” Usir Jenandra.

“Jahat banget aku diusir.” Abiel berjalan terseok-seok dengan wajah dibuat semelas mungkin.

“Gak peduli, wlee.”

Abiel, jangan mengeluh jika malam nanti pipimu akan sakit karena kebanyakan tersenyum lebar.


“Aish, sialan.”

Hujan turun tanpa peringatan awan mendung. Membuat salah satu dari banyaknya murid sekolah ini mengumpat geram. Jenandra berdiri di depan parkiran dengan tangan menengadahkan air hujan. Harusnya ia sekarang sudah menaiki sepedanya, lalu melintasi aspal bergeronjal menuju rumahnya. Tapi alam berkata lain.

“Deres gini kapan redanya kira-kira, hhh,” gumamnya dengan helaan napas di akhir.

“Mau bareng?” Tawar Abiel yang entah sejak kapan sudah berada di samping Jenandra.

“Maaf, nggak usah. Aku bawa sepeda.”

“Oh...”

Yah, sekali-kali berbuat memalukan depan gebetan, tidak apa-apa, kan?

“Yaudah, kalo gitu ini jas hujan aku pinjemin ke kamu,” Abiel meletakkan jas hujan yang dibawanya ke tangan menengadah Jenandra.

“Terus kamu pakai apa pulangnya? Nanti kehujanan dong?”

“Tenang aja. Rumahku deket kok, jalan bentar juga nyampe. Itu buat kamu aja gapapa,” jawab Abiel sok keren.

“Oh.. oke.”

“Omong-omong, nomor WhatsApp ku udah kamu simpen, kan?” Tanya Abiel penasaran.

“Udah kok.”

“Eh, tapi kamu punya KakaoTalk nggak?” Jenandra mengajukan pertanyaan balik.

“Punya. Emangnya kenapa?”

“Tukeran id kakao aja yuk? Aku lebih aktif di kakao soalnya..” ajak Jenandra.

“Boleh.”

“Id ku: pjlings,” ujar Jenandra.

“Oke! See u besok Jenandra!” Pekik Abiel sebelum menerobos derasnya hujan.

“Dadah!” Dibalas lambaian tangan oleh Jenandra. “HATI-HATI!”

Di seberang jalan sana Abiel tiba-tiba berhenti. Memandang arah parkiran tempat Jenandra berdiri, yang ditatap mengangkat alis heran dan berusaha bertanya lewat gerak bibirnya.

“NANDRA!” Suara lengking Abiel kembali terdengar. Namun kini suara itu bersatu dengan rintik deras hujan.

“APA?” Balasnya tak kalah nyaring.

I BIRU YOU!” Lalu Abiel tersenyum dan mulai berlari meninggalkan sekolah.

Jenandra yang diberi ucapan begitu tentu saja tak paham. Apa maksudnya? I Biru You? IBY?

Tiba-tiba otaknya berputar, mengingat percakapan mereka pagi tadi tentang benda kesayangan. Dimana meja kecil warna biru menjadi barang kesayangannya. Oh.. apakah ini tanda bahwa ia akan menjadi kesayangan pemuda tinggi itu?

“Sialan.”

Membayangkan saja sudah membuat Jenandra terus-menerus tersenyum dan sesekali mengumpat, bagaimana jika benar-benar terjadi? Mungkin Jenandra akan gila.