hyukies

Dream.

Lagi-lagi Dia berada di tempat antah-berantah. Namun anehnya, dirinya tak merasa terancam ataupun tidak nyaman. Hal ini sudah terjadi berulang kali, tetapi dirinya masih tak mengerti dengan segala teka-teki ini.

Suasananya nyaman. Hatinya kembali tenang, segala rasa resah yang tadinya bersarang kini terbang ntah kemana. Rasanya seperti berada di rumah. Rumah yang benar-benar rumah, bukan hanya namanya saja yang rumah, namun suasananya juga seperti rumah baginya.

“Halo Kak? Kali ini tempatnya beda lagi ya, hehe.”

Suara siapa itu?

Rasanya tidak asing. Seperti sudah biasa mendengar. Namun, dimana wujudnya? Dimana batang hidungnya?

“Kak, di sini!” Seru orang itu, lagi.

Ia menoleh, dan gotcha! Itu dia sosok yang dicarinya!

Buru-buru Ia berlari menuju ke sana. Senyum manis terpatri di paras tampannya. Entah siapa namanya, yang terpenting auranya dahsyatnya luar biasa. Seperti sudah mengenal sejak lama, padahal tau namanya saja tidak.

“Aku denger, hari ini buruk ya?”

Anggukan sosok itu dapatkan. “Yaudah, sini peluk dulu biar cepat hilang yang buruk-buruk,” suruhnya dengan kekehan kecil.

Diberi instruksi seperti itu, Ia segera bergegas menubrukkan diri pada lawan bicara. “Kamu baik banget. Padahal aku nggak tau kamu siapa,” ucapnya disela pelukan.

“Kamu nggak perlu tau aku siapa. Yang terpenting aku bakal selalu ada buat kamu, kapanpun kamu butuh, aku bakal ada di samping kamu.” Ucapnya dengan tatapan mendalam.

“Kamu... Kenapa cuma ada di mimpi? Kenapa kita nggak ketemu di dunia nyata aja?”

Sosok itu tak menjawab. Ia hanya memberikan senyuman tipis penuh arti.


Yedam duduk termangu sambil memandang secarik kertas yang penuh coretan garis. Gambar itu, adalah gambar orang yang selalu ada dalam mimpinya. Orangnya selalu sama. Aneh, memang sangat aneh. Lebih anehnya lagi, Yedam selalu merasa nyaman di dekatnya.

“Kamu sebenernya siapa?” Monolog Yedam lirih.

“Pagi!” Seru seseorang yang baru saja menginjakkan kaki di kediaman Yedam.

“Eh, pagi kak,” jawab Yedam. Ia segera bergegas menemui sumber suara, lalu memberinya sambutan berupa pelukan hangat.

“Eits, masih pagi udah peluk-pekuk aja nih,” goda Junkyu. Iya, Junkyu, kekasihnya.

“Aku... Aku lagi bingung.” Suaranya sedikit terendam dalam kain, namun Junkyu masih dapat mendengarnya.

“Bingung kenapa ganteng?” Tanya Junkyu sambil menggoyang-goyangkan badan Yedam.

Yedam sedikit menaruh dagu di pundak Junkyu. Menghirup aroma parfum andalan si lelaki Kim. “Kakak pernah mimpi nggak? Tapi di dalam mimpi itu kakak berkali-kali ketemu sama orang yang sama tiap hari, setiap mimpi lah pokoknya.”

“Belum pernah. Emangnya kenapa?”

Pelukan tadi Yedam lepaskan perlahan. Kini Ia beranjak menuju tempat duduk ruang tamu, mengambil secarik kertas yang ditatapnya tadi.

“Orang ini,” Ia menunjuk bagian gambar wajah. “Selalu dateng ke mimpiku. Gak peduli dimana dan kapan waktunya, dia selalu ada. Aku nggak kenal dia, aku juga nggak tau dia siapa. Tapi anehnya, aku nggak merasa terancam dan asing di dekatnya. Malah aku ngerasa nyaman,” jelas Yedam.

Junkyu mengambil dan menatap lama kertas gambaran Yedam. Matanya terbuka lebar; terkejut dengan kenyataan ini. “Orang ini...”

“Kak Junkyu kenal?” Sambar Yedam segera. Junkyu mengangguk, “dia adik sepupuku.”

“Hah?”

Junkyu menghela napas panjang. “Ceritanya panjang, kamu yakin mau denger?”

“Yakin,” jawab Yedam mantap.

“Yaudah. Duduk dulu tapi, pegel berdiri.”

Dengan cekatan Yedam bergerak menuju sofa panjang ruang tamu. Tentu dengan Junkyu di sampingnya yang masih setia menatap gambar Yedam.

“Dia adik sepupuku. Namanya Kim Doyoung, biar singkat panggil aja Dobby. Semasa hidupnya dia memang pernah suka ke kamu. Suka banget malahan. Tapi ya gitu, cupu, gak berani langsung bilang. Waktu SMA kamu inget nggak, loker kamu tiap pagi selalu dipenuhi sticky note kalimat penyemangat? Iya, itu dia yang buat.”

“Semasa hidupnya? Dia udah.....?” Yedam tak berani melanjutkan kata-katanya.

“Iya. Dia udah pergi ke atas duluan. Karena kecelakaan yang, ah, aku nggak kuat jelasinnya. Parah pokoknya.”

“Oke-oke.. jangan dipaksa. Makasih ya kak, udah mau cerita,” ucap Yedam menenangkan.

“Sama-sama.” Junkyu diam sejenak, lalu lanjut mengucapkan beberapa kalimat, lagi. “Dia datang ke mimpimu karena pengen jaga kamu, mastiin kamu baik dan bahagia terus. Dari dulu juga begitu. Tapi dia beraninya cuma ngawasin dari jauh, atau nggak titip sesuatu sama ngingetin kamu lewat temen-temen mu,” jelas Junkyu.

“Kak,”

“Ha?”

“Anterin aku ke makan dia,” pinta Yedam.

“Oke. Tapi kamu mandi dulu sana, bauuuu,” suruh Junkyu.

“ENAK AJA! Aku masih wangi ya!!!” Kesal Yedam.

“Emang Kak Junkyu sendiri udah mandi?”

“Belum sih.”

“DASAR MANUSIA!”


“Halo Doyoung. Ini Yedam,” sapa Yedam sambil menebar potongan-potongan kelopak bunga mawar khas orang yang berpulang.

Seakan mendengar sapaan Yedam, pepohonan sekitar meliuk-liukkan tubuh mereka. Menyebabkan angin sepoi-sepoi menghias kegiatan berkunjung kali ini. Junkyu turut tersenyum tipis akan kejadian saat ini. Ia yakin, Doyoung melihat ini. Ia yakin, Doyoung sedang meloncat-loncat kegirangan saat ini. Dan ia yakin, Doyoung akan bertambah bahagia setelah kejadian ini.

“Hehe, maaf baru berkunjung ke sini. Soalnya aku baru tau tentang kamu hari ini.” Yedam mengelus pelan nisan bertuliskan nama adik sepupu dari kekasihnya.

“Kak Junkyu bilang kamu suka banget ke aku? Eh, atau sayang ya kira-kira? Hahaha.”

“Dam, aku tunggu di pinggir sana ya. Biar kegiatan kamu nggak terganggu,” pamit Junkyu. Yedam mengangguk. “Iya kak, paling sebentar doang kok,” jawab Yedam segera.

Lalu Ia kembali melanjutkan kegiatannya tadi. “Doyoung, kamu baik banget deh. Kenapa pergi duluan coba? Padahal belum sempat makan berdua sama aku huhu,” rengekan dibuatnya.

“Hah.”

“Takdir memang terkadang begini ya. Hus, gak boleh ngeluh, harus disyukuri,” tegurnya pada diri sendiri.

“Iya, aku bersyukur kok Doy. Bersyukur karena ada kamu yang selalu datang di mimpiku, kasih aku banyak rentetan kata semangat sama pelukan hangat. Coba kalau kamu masih ada, pasti kamu bakal terus-menerus diem gak bergerak. Ya kan? Memang setiap kejadian itu ada hikmahnya. Entah kecil atau besar pasti ada.”

“Tapi, di beberapa saat aku pengen kamu beneran ada di kehidupan ku Doy.” Manik bulatnya menatap sang cakrawala.

“Aku pengen ngerasain pelukan kamu setiap saat, nggak cuma waktu malam hari. Dipeluk kamu pagi-pagi enak kali ya, sambil diceritain gimana mimpimu malam itu, haha,” tawa miris mengalun dari bilah bibirnya.

“Kamu... Bahagia ya di sana? Maaf belum sempat ngasih kenangan paling indah buat kamu, selama kamu suka dan sayang ke aku. Jangan bosen buat terus datang ke mimpiku ya...”

”..karena kamu, perlahan mulai jadi tumpuanku.”

Yedam bergegas bangkit dari duduknya dan mengusap sebulir air mata yang menetes pada pipinya. Tak rela, namun kenyataan terus memaksa.

“Sampai jumpa dilain waktu, Doyoung.”

Setelahnya hanya terdengar suara sepatu yang bertolakan dengan tanah. Yedam berlari. Berlari meninggalkannya, Yedam pergi menjauh dari tempatnya.

Doyoung melihat semuanya. Benar-benar melihat bagaimana kesayangannya menumpahkan segala isi hatinya serta ucapan terimakasih pada dirinya. Dan juga ia mendengar dengan jelas saat Yedam mengatakan bahwa Ia perlahan menjadi tumpuan Yedam. Doyoung bahagia. Doyoung senang bukan main.

Akhirnya...

“Terimakasih kembali sudah datang kemari.”

“Maaf belum bisa memenuhi keinginan Kakak. Tapi, aku bakal terus mencoba buat jadi yang terbaik.

“Kak Yedam,”

“Doyoung sayang Kak Yedam.”

“Benar-benar sayang.”

“Semoga Kakak terus bahagia dan baik-baik sama Kak Junkyu, ya,” harapnya.

(Not Too) Late.

Mashiho terus-menerus mengecek jam kecil yang melingkar di pergelangannya. Pukul 10.05, ia hampir terlambat.

“Ah, lima menit lagi udah terbang. Ini gara-gara Haru yang pake nangis segala padahal cuma ditinggal seminggu,” gerutu Mashiho. Ia mempercepat langkahnya, mencoba mengejar detik demi detik yang ia lewatkan tadi.

Dengan perasaan cemas ia berlari menuju tempat untuk check-in. Namun sialnya sang petugas berkata bahwa maskapai penerbangan yang akan ditumpanginya telah lepas landas satu menit sebelumnya.

“Ada pesawat tujuan Malaysia yang bakal terbang hari ini juga nggak Mbak? Kalo ada, kira-kira jam berapa, ya?”

“Ada Kak, sekitar jam 14.00-an nanti. Tapi sudah penuh, dan tiketnya habis terjual,” jawab sang petugas.

“Aish. Kalo malem?” Ajunya lagi tak menyerah.

“Tidak ada penerbangan malam untuk tujuan Malaysia, Kak.”

Mashiho berdesis sebal. “Yaudah, makasih ya Mbak.” Sang petugas hanya menjawab dengan anggukan dan segera berpindah melayani yang lain.

Kakinya berjalan lunglai tanpa semangat. Pandangannya mulai berembun, penuh dengan bulir-bulir air mata. Ia mengambil duduk di tempat yang sepi dari kerumunan, agar dapat menangis tanpa rasa malu yang membendung.

Mashiho harus pergi ke Malaysia hari ini juga karena alasan pekerjaan. Jika ia tidak bisa pergi hari ini, maka entah bagaimana nasibnya nanti.

“Kalo dipecat gimana ya.. huft.” Ia berusaha menghapus air matanya.

“Nih,” seseorang menyodorkan sapu tangan padanya.

“Huh?” Ia menolehkan kepala, melihat siapa sosok di balik pemberi sapu tangan ini. “Buat apa?”

“Usap air mata sama ingus. Tuh, liat ingusnya mau jatuh,” gurau orang tersebut.

Mashiho buru-buru mengelap hidungnya menggunakan lengan baju. “Nggak ada bekas ingus.. BOHONG YA?!”

“HAHAHAHA, percayaan banget.” Lalu orang tersebut mengambil duduk disebelahnya. “Ambil aja, mungkin nanti butuh.” Tanpa banyak bicara lagi, Mashiho menurut saja.

“Omong-omong, nama gue Asahi,” orang tersebut memperkenalkan diri. “Mashiho,” jawabnya.

“Oke, Mashi. Kenapa nangis di bandara gini? Mana sendirian lagi. Kayak anak ayam ditinggal induknya,” korek Asahi pelan-pelan.

Ditanyai seperti itu kembali membuat air matanya berkumpul kembali. Detik selanjutnya, air terjun pun terbuat dengan mata Mashiho sebagai sumbernya.

“Loh kok malah nangis sih.” Buru-buru Asahi merebut sapu tangan di tangan Mashiho, ia usap pelan pipi Mashiho yang telah basah akan air mata.

“Ketinggalan pesawat.. hiks padahal harus terbang hari ini juga. Nanti kalo hiks dipecat gimana huhuhuuhu,” keluhnya ditengah tangis.

Asahi menarik kepala Mashiho perlahan; bermaksud menyenderkan pada bahunya. Ia elus rambut hitam legam Mashiho dengan harapan membuat sang pemilik sedikit tenang. “Mau terbang kemana emang?”

“Malaysia.”

“Ohhh. Kebetulan nih, gue ada tiket penerbangan ke sana jam 14.00 nanti. Mau?” Tawar Asahi.

Dengan cepat Mashiho menarik kepalanya dari pundak sang lawan bicara. “Seriusan ditawarin? Emangnya boleh?”

“Boleh,” jawab Asahi dengan senyum merekah.

“MAUUUU!! Tapi seriusan gapapa?”

“Nggak papa Mashihooo.” Asahi mengacak-acak rambutnya gemas.

“Hehehe, makasih banyak Asahi! Yaudah kalo gitu aku pamit dulu ya. Mau siap-siap biar nggak ketinggalan lagi. Sekali lagi terimakasih dan sampai jumpa!” Mashiho bergegas meninggalkan Asahi setelah selesai mengucapkan kalimatnya.

Asahi tersenyum dan melambaikan tangannya. “Mashiho, memang selalu manis,” gumamnya.

Ah, tugasnya selesai. Saatnya kembali ke keduanya lagi. Sayangnya saat Asahi sedang proses menghilang, Mashiho berbalik dan terkejut dengan apa yang dilihatnya tadi.

“ANJING, NGILANG! GUE TADI NGOBROL SAMA HANTU?? ADUH ANJING FENOMENA MACAM APA INI???!” Mashiho buru-buru bergegas meninggalkan tempat tadi, tak lupa dengan bibir yang tanpa henti merapalkan doa-doa.


“Gimana? Berhasil?” Tanya Jihoon pada Asahi. Omong-omong, Jihoon memiliki indra khusus yang dapat melihat dan bicara pada makhluk tak kasat mata.

“Berhasil lah. Untung aja gue punya insting yang bagus,” jawab Asahi sombong.

“Lo ngapain emangnya?”

“Gue kemarin beli tiket penerbangan ke Malaysia yang jam-nya sorean, eh berguna juga buat kejadian tadi. Dia ketinggalan pesawat haha.”

“Gimana ceritanya lo bisa beli tiket???” Heran Jihoon.

“Ada lah. Lo gak perlu tau.”

“Wah, tindak kejahatan ini pasti. Cepet tobat, ingat dosa.” Ucap Jihoon sambil menuding-nuding Asahi.

“Emangnya kalo udah mati masih bisa dapet dosa?” Tanya Asahi polos.

“Gatau sih.”

“Tapi gue kesel banget, kenapa gue mati duluan?? Padahal gue belom sempet nyium Mashiho...” Ujar Asahi bersedih.

“Pikiran lu anjir,” cerca Jihoon.

“Ya gimana ya, soalnya pipi dia kayaknya cium-able banget.”

“Pergi lu dari kamar gue, pergi sono jauh-jauh anjing,” usir Jihoon.

“Dih, gitu doang marah. Gitu doang ngambek. Dih dih dih,” ejek Asahi.

Dia Itu Apa?

Lagi-lagi Dia berada di tempat antah-berantah. Namun anehnya, dirinya tak merasa terancam ataupun tidak nyaman. Hal ini sudah terjadi berulang kali, tetapi dirinya masih tak mengerti dengan segala teka-teki ini.

Suasananya nyaman. Hatinya kembali tenang, segala rasa resah yang tadinya bersarang kini terbang ntah kemana. Rasanya seperti berada di rumah. Rumah yang benar-benar rumah, bukan hanya namanya saja yang rumah, namun suasananya juga seperti rumah baginya.

“Halo Kak? Kali ini tempatnya beda lagi ya, hehe.”

Suara siapa itu?

Rasanya tidak asing. Seperti sudah biasa mendengar. Namun, dimana wujudnya? Dimana batang hidungnya?

“Kak, di sini!” Seru orang itu, lagi.

Ia menoleh, dan gotcha! Itu dia sosok yang dicarinya!

Buru-buru Ia berlari menuju ke sana. Senyum manis terpatri di paras tampannya. Entah siapa namanya, yang terpenting auranya dahsyatnya luar biasa. Seperti sudah mengenal sejak lama, padahal tau namanya saja tidak.

“Aku denger, hari ini buruk ya?”

Anggukan sosok itu dapatkan. “Yaudah, sini peluk dulu biar cepat hilang yang buruk-buruk,” suruhnya dengan kekehan kecil.

Diberi instruksi seperti itu, Ia segera bergegas menubrukkan diri pada lawan bicara. “Kamu baik banget. Padahal aku nggak tau kamu siapa,” ucapnya disela pelukan.

“Kamu nggak perlu tau aku siapa. Yang terpenting aku bakal selalu ada buat kamu, kapanpun kamu butuh, aku bakal ada di samping kamu.” Ucapnya dengan tatapan mendalam.

“Kamu... Kenapa cuma ada di mimpi? Kenapa kita nggak ketemu di dunia nyata aja?”

Sosok itu tak menjawab. Ia hanya memberikan senyuman tipis penuh arti.


Yedam duduk termangu sambil memandang secarik kertas yang penuh coretan garis. Gambar itu, adalah gambar orang yang selalu ada dalam mimpinya. Orangnya selalu sama. Aneh, memang sangat aneh. Lebih anehnya lagi, Yedam selalu merasa nyaman di dekatnya.

“Kamu sebenernya siapa?” Monolog Yedam lirih.

“Pagi!” Seru seseorang yang baru saja menginjakkan kaki di kediaman Yedam.

“Eh, pagi kak,” jawab Yedam. Ia segera bergegas menemui sumber suara, lalu memberinya sambutan berupa pelukan hangat.

“Eits, masih pagi udah peluk-pekuk aja nih,” goda Junkyu. Iya, Junkyu, kekasihnya.

“Aku... Aku lagi bingung.” Suaranya sedikit terendam dalam kain, namun Junkyu masih dapat mendengarnya.

“Bingung kenapa ganteng?” Tanya Junkyu sambil menggoyang-goyangkan badan Yedam.

Yedam sedikit menaruh dagu di pundak Junkyu. Menghirup aroma parfum andalan si lelaki Kim. “Kakak pernah mimpi nggak? Tapi di dalam mimpi itu kakak berkali-kali ketemu sama orang yang sama tiap hari, setiap mimpi lah pokoknya.”

“Belum pernah. Emangnya kenapa?”

Pelukan tadi Yedam lepaskan perlahan. Kini Ia beranjak menuju tempat duduk ruang tamu, mengambil secarik kertas yang ditatapnya tadi.

“Orang ini,” Ia menunjuk bagian gambar wajah. “Selalu dateng ke mimpiku. Gak peduli dimana dan kapan waktunya, dia selalu ada. Aku nggak kenal dia, aku juga nggak tau dia siapa. Tapi anehnya, aku nggak merasa terancam dan asing di dekatnya. Malah aku ngerasa nyaman,” jelas Yedam.

Junkyu mengambil dan menatap lama kertas gambaran Yedam. Matanya terbuka lebar; terkejut dengan kenyataan ini. “Orang ini...”

“Kak Junkyu kenal?” Sambar Yedam segera. Junkyu mengangguk, “dia adik sepupuku.”

“Hah?”

Junkyu menghela napas panjang. “Ceritanya panjang, kamu yakin mau denger?”

“Yakin,” jawab Yedam mantap.

“Yaudah. Duduk dulu tapi, pegel berdiri.”

Dengan cekatan Yedam bergerak menuju sofa panjang ruang tamu. Tentu dengan Junkyu di sampingnya yang masih setia menatap gambar Yedam.

“Dia adik sepupuku. Namanya Kim Doyoung, biar singkat panggil aja Dobby. Semasa hidupnya dia memang pernah suka ke kamu. Suka banget malahan. Tapi ya gitu, cupu, gak berani langsung bilang. Waktu SMA kamu inget nggak, loker kamu tiap pagi selalu dipenuhi sticky note kalimat penyemangat? Iya, itu dia yang buat.”

“Semasa hidupnya? Dia udah.....?” Yedam tak berani melanjutkan kata-katanya.

“Iya. Dia udah pergi ke atas duluan. Karena kecelakaan yang, ah, aku nggak kuat jelasinnya. Parah pokoknya.”

“Oke-oke.. jangan dipaksa. Makasih ya kak, udah mau cerita,” ucap Yedam menenangkan.

“Sama-sama.” Junkyu diam sejenak, lalu lanjut mengucapkan beberapa kalimat, lagi. “Dia datang ke mimpimu karena pengen jaga kamu, mastiin kamu baik dan bahagia terus. Dari dulu juga begitu. Tapi dia beraninya cuma ngawasin dari jauh, atau nggak titip sesuatu sama ngingetin kamu lewat temen-temen mu,” jelas Junkyu.

“Kak,”

“Ha?”

“Anterin aku ke makan dia,” pinta Yedam.

“Oke. Tapi kamu mandi dulu sana, bauuuu,” suruh Junkyu.

“ENAK AJA! Aku masih wangi ya!!!” Kesal Yedam.

“Emang Kak Junkyu sendiri udah mandi?”

“Belum sih.”

“DASAR MANUSIA!”


“Halo Doyoung. Ini Yedam,” sapa Yedam sambil menebar potongan-potongan kelopak bunga mawar khas orang yang berpulang.

Seakan mendengar sapaan Yedam, pepohonan sekitar meliuk-liukkan tubuh mereka. Menyebabkan angin sepoi-sepoi menghias kegiatan berkunjung kali ini. Junkyu turut tersenyum tipis akan kejadian saat ini. Ia yakin, Doyoung melihat ini. Ia yakin, Doyoung sedang meloncat-loncat kegirangan saat ini. Dan ia yakin, Doyoung akan bertambah bahagia setelah kejadian ini.

“Hehe, maaf baru berkunjung ke sini. Soalnya aku baru tau tentang kamu hari ini.” Yedam mengelus pelan nisan bertuliskan nama adik sepupu dari kekasihnya.

“Kak Junkyu bilang kamu suka banget ke aku? Eh, atau sayang ya kira-kira? Hahaha.”

“Dam, aku tunggu di pinggir sana ya. Biar kegiatan kamu nggak terganggu,” pamit Junkyu. Yedam mengangguk. “Iya kak, paling sebentar doang kok,” jawab Yedam segera.

Lalu Ia kembali melanjutkan kegiatannya tadi. “Doyoung, kamu baik banget deh. Kenapa pergi duluan coba? Padahal belum sempat makan berdua sama aku huhu,” rengekan dibuatnya.

“Hah.”

“Takdir memang terkadang begini ya. Hus, gak boleh ngeluh, harus disyukuri,” tegurnya pada diri sendiri.

“Iya, aku bersyukur kok Doy. Bersyukur karena ada kamu yang selalu datang di mimpiku, kasih aku banyak rentetan kata semangat sama pelukan hangat. Coba kalau kamu masih ada, pasti kamu bakal terus-menerus diem gak bergerak. Ya kan? Memang setiap kejadian itu ada hikmahnya. Entah kecil atau besar pasti ada.”

“Tapi, di beberapa saat aku pengen kamu beneran ada di kehidupan ku Doy.” Manik bulatnya menatap sang cakrawala.

“Aku pengen ngerasain pelukan kamu setiap saat, nggak cuma waktu malam hari. Dipeluk kamu pagi-pagi enak kali ya, sambil diceritain gimana mimpimu malam itu, haha,” tawa miris mengalun dari bilah bibirnya.

“Kamu... Bahagia ya di sana? Maaf belum sempat ngasih kenangan paling indah buat kamu, selama kamu suka dan sayang ke aku. Jangan bosen buat terus datang ke mimpiku ya...”

”..karena kamu, perlahan mulai jadi tumpuanku.”

Yedam bergegas bangkit dari duduknya dan mengusap sebulir air mata yang menetes pada pipinya. Tak rela, namun kenyataan terus memaksa.

“Sampai jumpa dilain waktu, Doyoung.”

Setelahnya hanya terdengar suara sepatu yang bertolakan dengan tanah. Yedam berlari. Berlari meninggalkannya, Yedam pergi menjauh dari tempatnya.

Doyoung melihat semuanya. Benar-benar melihat bagaimana kesayangannya menumpahkan segala isi hatinya serta ucapan terimakasih pada dirinya. Dan juga ia mendengar dengan jelas saat Yedam mengatakan bahwa Ia perlahan menjadi tumpuan Yedam. Doyoung bahagia. Doyoung senang bukan main.

Akhirnya...

“Terimakasih kembali sudah datang kemari.”

“Maaf belum bisa memenuhi keinginan Kakak. Tapi, aku bakal terus mencoba buat jadi yang terbaik.

“Kak Yedam,”

“Doyoung sayang Kak Yedam.”

“Benar-benar sayang.”

“Semoga Kakak terus bahagia dan baik-baik sama Kak Junkyu, ya,” harapnya.

Bibit Kisah.

Kaki jenjangnya terus melangkah, berusaha mencari tempat ternyaman dan teduh. Walau begitu, tangannya tak tinggal diam. Ia terus menabur sesuatu dan sesekali melemparnya jauh. Satu bungkus pakan ikan—atau lebih tepatnya pelet ikan—ia hamburkan secara bertahap di sungai dekat tempatnya.

Star.


10 Juni 2021.

Gelap, tak ada penerangan. Jalannya abu-abu, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Penerangannya hilang. Bintangnya jauh dari sisinya. Sehingga hidupnya sedikit berantakan. Semua itu mendeskripsikan kehidupan Park Jeongwoo yang sedang berjarak dengan bintangnya, Haruto.

“Kak, pernah berantem hebat atau pisahan sementara nggak sama Kak Yoshi?” Tanyanya. Ia memang mengundang Jaehyuk kemari, di teras rumahnya. Katanya agar dapat memberi pencerahan pemikirannya.

“Sampai sekarang belom pernah nyampe pisahan sih. Kalo berantem ya pasti pernah, pasangan mana coba yang gak pernah ribut?”

“Terus lo atau Kak Yoshi ngelakuin apa waktu ribut gitu?” Tanya Jeongwoo lagi.

“Kita ngasih waktu buat masing-masing, biar bisa instropeksi diri. Kalo udah siap, baru deh ketemu dan omongin baik-baik.”

“Kenapa emang? Lagi jarakan sama Haru?” Lempar Jaehyuk balik.

“Ya.. gitu.”

“Dia dari kemarin nyinggung masalah nanti kedepannya gimana, dan lo tau sendiri lah kalo gue paling males mikir kejauhan. Yaudah ribut. Dia gak mau ngalah, gue juga,” sebagai pelengkap, Jeongwoo menghela napas panjang di akhir cerita.

“Batu ketemu batu,” komentar Jaehyuk.

“Udah denger penjelasan dia?”

Jeongwoo menggeleng, “belum.”

“Hadeh. Pikirin dulu sendiri, kenapa lo sampai marah gitu padahal dia juga lagi ngebahas masa depan lo nanti. Kalo udah nemu jawabannya, samperin, atau ajakin dia ketemu. Bahas dan tanya semua dengan jelas. Tapi inget, jangan pake gengsi apalagi amarah. Haru begitu juga pasti punya alasan sendiri.” Jelas Jaehyuk.

“Kadang nggak semua pemikiran lo bener. Lo juga butuh pendapat orang lain,” lanjut Jaehyuk.

“Iya. Makasih banyak kak.”

“Sama-sama.”


17 Juni 2021.

Setelah semingguan merenung seorang diri, Jeongwoo akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Haruto bertemu. Awalnya, ia kira Haruto akan dengan cepat menolak, namun ternyata tidak. Bintangnya itu justru menyetujui tak sampai 10 detik.

Dan di sinilah mereka berada, di ruang tamu milik keluarga Park. Dua gelas jus jeruk menghiasi suasana canggung antara keduanya. Jeongwoo ingin mengutarakan seluruh kalimat yang ia susun tadi, tapi entah mengapa kalimat tersebut menguap begitu saja. Mungkin karena ia terlampau rindu dengan Haruto-nya?

“Kamu ngajak ketemu buat apa kalo tetep diem terus gini?” Haruto membuka pembicaraan.

“Aku minta maaf.”

Haruto mengernyit heran. “Buat?”

“Ya.. buat semua? Aku yang nggak mau berpikir jauh dan nggak dengerin maksud kamu dulu..”

“Oh, bagus deh kalo nyadar,” jawab Haruto ketus.

Jeongwoo yang mendengar itu rasanya ingin melempar gelas di hadapannya pada Haruto, tapi nanti saja, situasinya tidak tepat.

“Iya.”

“Baikan, ya?” Pinta Jeongwoo.

“Enak aja langsung baikan.”

“Nggak sebelum kamu dengerin maksud aku dulu. Daripada kejadian yang sama keulang lagi,” tolak Haruto.

“Yaudah, jelasin, bakal aku dengerin.”

“Aku sengaja mau nyinggung masalah itu, biar kamu juga mikir kedepannya kita itu gimana. Aku tau kamu orangnya gak suka mikir kejauhan, tapi ya gini loh Je, kalo semisal kita nggak dibolehin bareng, nantinya kita bakal sama-sama patah hati, 'kan? Kamu kalo patah hati sembuhnya lama, aku juga. Maka dari itu aku pengen kamu nyoba bikin kamu mikir jalan kita bakal gimana nantinya,” jelas Haruto.

“Kita bersama atau enggak itu tinggal takdir. Semisal betulan gak boleh bareng, ya apa boleh buat? Kita cuma bisa nerima, 'kan?” Ujar Jeongwoo.

“Aku.. hhhh aku cuma mau kita sama-sama antisipasi,” jawab Haruto.

“Iya, aku ngerti.”

“Tapi kemarin aku nyinggung-nya kurang tepat, kamu lagi kacau malah aku bikin kacau. Maaf ya..” sesal Haruto.

“Nah, itu tau.”

“Kok omonganku dibalikin???” Haruto tak terima.

“Aku lagi pusing-pusing nya sama masalah lain, kamu malah ngobrolin itu, yaudah meledak jadinya.” Jeongwoo tak mempedulikan ocehan Haruto, ia terus mengucap isi kepalanya.

“Iya, maaf.”

“Jadi, baikan nih?” Tanya Jeongwoo (lagi) dengan alis naik turun.

“Iya lah.”

“Asikkk. Kamu jangan pergi-pergi lagi ya? Hidupku gelap tanpa kamu soalnya. Kamu kan bintangku, cahayaku, matahariku.”

Haruto mengendikkan bahunya; geli dengan ucapan kasih hatinya. “Kamu menggelikan banget. Diajarin siapa?”

“Diajarin kamu.”

“Enggak??? Aku akhir-akhir ini nggak bertingkah begitu tuh?”

“Kamu belakangan ini mah bertingkah menjadi menggemaskan,” sahut Jeongwoo.

“Sebelum bicara, alangkah baiknya buat berkaca. Yang gemes kamu, kok bilang aku yang gemes maksudnya gimana?”

“Udah, stop. Gak akan ada habisnya bahas ini, nanti ujungnya kelahi lagi,” henti Jeongwoo.

“Tapi inget ya, mikir lebih jauh itu penting juga biar kamu nggak salah ambil jalan dan menyesal dikemudian hari,” ingat Haruto.

“Iya, inget. Kamu juga jangan terlalu jauh kalo mikir. Belom tentu yang kamu pikirin jadi kenyataan soalnya.”

“Iya deh.”

“Peluk aku dong,” pinta Jeongwoo.

“Sini.” Haruto melebarkan tangannya.

Dengan senang hati Jeongwoo masuk dan mengusakkan kepalanya pada dada bidang bintang kesayangannya. Haruto pun menaruh kepalanya di bahu matahari favoritnya.

“Kamu hebat bisa ngelewatin ini,” ucap Jeongwoo tiba-tiba.

“Usap kepalaku dong kalo aku hebat.”

Jeongwoo melepas pelukannya, lalu mengangkat sedikit tubuh dan tangannya. Ia acak-acak rambut Haruto dan setelahnya diusap pelan. “Haruto hebat bisa ngelewatin masalah ini!”

“Jeongwoo juga hebat!” Haruto turut serta mengusap-usap kepala lawan bicaranya.

“Hahaha, makasih.”

“Eh, Je,” panggil Haruto.

“Apa?”

“Tadi ada video kelinci hand stand lewat tl ku.”

“Ya terus?”

“Keren ya dia. Kamu aja kalah sama kelinci,” ejek Haruto.

“Kita baru baikan beberapa menit lalu loh, kamu betulan pengen dimusuhi kah?” kesal Jeongwoo.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

Star.


10 Juni 2021.

Gelap, tak ada penerangan. Jalannya abu-abu, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Penerangannya hilang. Bintangnya jauh dari sisinya. Sehingga hidupnya sedikit berantakan. Semua itu mendeskripsikan kehidupan Park Jeongwoo yang sedang berjarak dengan bintangnya, Haruto.

“Kak, pernah berantem hebat atau pisahan sementara nggak sama Kak Yoshi?” Tanyanya. Ia memang mengundang Jaehyuk kemari, di teras rumahnya. Katanya agar dapat memberi pencerahan pemikirannya.

“Sampai sekarang belom pernah nyampe pisahan sih. Kalo berantem ya pasti pernah, pasangan mana coba yang gak pernah ribut?”

“Terus lo atau Kak Yoshi ngelakuin apa waktu ribut gitu?” Tanya Jeongwoo lagi.

“Kita ngasih waktu buat masing-masing, biar bisa instropeksi diri. Kalo udah siap, baru deh ketemu dan omongin baik-baik.”

“Kenapa emang? Lagi jarakan sama Haru?” Lempar Jaehyuk balik.

“Ya.. gitu.”

“Dia dari kemarin nyinggung masalah nanti kedepannya gimana, dan lo tau sendiri lah kalo gue paling males mikir kejauhan. Yaudah ribut. Dia gak mau ngalah, gue juga,” sebagai pelengkap, Jeongwoo menghela napas panjang di akhir cerita.

“Batu ketemu batu,” komentar Jaehyuk.

“Udah denger penjelasan dia?”

Jeongwoo menggeleng, “belum.”

“Hadeh. Pikirin dulu sendiri, kenapa lo sampai marah gitu padahal dia juga lagi ngebahas masa depan lo nanti. Kalo udah nemu jawabannya, samperin, atau ajakin dia ketemu. Bahas dan tanya semua dengan jelas. Tapi inget, jangan pake gengsi apalagi amarah. Haru begitu juga pasti punya alasan sendiri.” Jelas Jaehyuk.

“Kadang nggak semua pemikiran lo bener. Lo juga butuh pendapat orang lain,” lanjut Jaehyuk.

“Iya. Makasih banyak kak.”

“Sama-sama.”


17 Juni 2021.

Setelah semingguan merenung seorang diri, Jeongwoo akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Haruto bertemu. Awalnya, ia kira Haruto akan dengan cepat menolak, namun ternyata tidak. Bintangnya itu justru menyetujui tak sampai 10 detik.

Dan di sinilah mereka berada, di ruang tamu milik keluarga Park. Dua gelas jus jeruk menghiasi suasana canggung antara keduanya. Jeongwoo ingin mengutarakan seluruh kalimat yang ia susun tadi, tapi entah mengapa kalimat tersebut menguap begitu saja. Mungkin karena ia terlampau rindu dengan Haruto-nya?

“Kamu ngajak ketemu buat apa kalo tetep diem terus gini?” Haruto membuka pembicaraan.

“Aku minta maaf.”

Haruto mengernyit heran. “Buat?”

“Ya.. buat semua? Aku yang nggak mau berpikir jauh dan nggak dengerin maksud kamu dulu..”

“Oh, bagus deh kalo nyadar,” jawab Haruto ketus.

Jeongwoo yang mendengar itu rasanya ingin melempar gelas di hadapannya pada Haruto, tapi nanti saja, situasinya tidak tepat.

“Iya.”

“Baikan, ya?” Pinta Jeongwoo.

“Enak aja langsung baikan.”

“Nggak sebelum kamu dengerin maksud aku dulu. Daripada kejadian yang sama keulang lagi,” tolak Haruto.

“Yaudah, jelasin, bakal aku dengerin.”

“Aku sengaja mau nyinggung masalah itu, biar kamu juga mikir kedepannya kita itu gimana. Aku tau kamu orangnya gak suka mikir kejauhan, tapi ya gini loh Je, kalo semisal kita nggak dibolehin bareng, nantinya kita bakal sama-sama patah hati, 'kan? Kamu kalo patah hati sembuhnya lama, aku juga. Maka dari itu aku pengen kamu nyoba bikin kamu mikir jalan kita bakal gimana nantinya,” jelas Haruto.

“Kita bersama atau enggak itu tinggal takdir. Semisal betulan gak boleh bareng, ya apa boleh buat? Kita cuma bisa nerima, 'kan?” Ujar Jeongwoo.

“Aku.. hhhh aku cuma mau kita sama-sama antisipasi,” jawab Haruto.

“Iya, aku ngerti.”

“Tapi kemarin aku nyinggung-nya kurang tepat, kamu lagi kacau malah aku bikin kacau. Maaf ya..” sesal Haruto.

“Nah, itu tau.”

“Kok omonganku dibalikin???” Haruto tak terima.

“Aku lagi pusing-pusing nya sama masalah lain, kamu malah ngobrolin itu, yaudah meledak jadinya.” Jeongwoo tak mempedulikan ocehan Haruto, ia terus mengucap isi kepalanya.

“Iya, maaf.”

“Jadi, baikan nih?” Tanya Jeongwoo (lagi) dengan alis naik turun.

“Iya lah.”

“Asikkk. Kamu jangan pergi-pergi lagi ya? Hidupku gelap tanpa kamu soalnya. Kamu kan bintangku, cahayaku, matahariku.”

Haruto mengendikkan bahunya; geli dengan ucapan kasih hatinya. “Kamu menggelikan banget. Diajarin siapa?”

“Diajarin kamu.”

“Enggak??? Aku akhir-akhir ini nggak bertingkah begitu tuh?”

“Kamu belakangan ini mah bertingkah menjadi menggemaskan,” sahut Jeongwoo.

“Sebelum bicara, alangkah baiknya buat berkaca. Yang gemes kamu, kok bilang aku yang gemes maksudnya gimana?”

“Udah, stop. Gak akan ada habisnya bahas ini, nanti ujungnya kelahi lagi,” henti Jeongwoo.

“Tapi inget ya, mikir lebih jauh itu penting juga biar kamu nggak salah ambil jalan dan menyesal dikemudian hari,” ingat Haruto.

“Iya, inget. Kamu juga jangan terlalu jauh kalo mikir. Belom tentu yang kamu pikirin jadi kenyataan soalnya.”

“Iya deh.”

“Peluk aku dong,” pinta Jeongwoo.

“Sini.” Haruto melebarkan tangannya.

Dengan senang hati Jeongwoo masuk dan mengusakkan kepalanya pada dada bidang bintang kesayangannya. Haruto pun menaruh kepalanya di bahu matahari favoritnya.

“Kamu hebat bisa ngelewatin ini,” ucap Jeongwoo tiba-tiba.

“Usap kepalaku dong kalo aku hebat.”

Jeongwoo melepas pelukannya, lalu mengangkat sedikit tubuh dan tangannya. Ia acak-acak rambut Haruto dan setelahnya diusap pelan. “Haruto hebat bisa ngelewatin masalah ini!”

“Jeongwoo juga hebat!” Haruto turut serta mengusap-usap kepala lawan bicaranya.

“Hahaha, makasih.”

“Eh, Je,” panggil Haruto.

“Apa?”

“Tadi ada video kelinci hand stand lewat tl ku.”

“Ya terus?”

“Keren ya dia. Kamu aja kalah sama kelinci,” ejek Haruto.

“Kita baru baikan beberapa menit lalu loh, jangan bikin gue bakik musuhin lo lagi ye,” kesal Jeongwoo.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

Star.


10 Juni 2021.

Gelap, tak ada penerangan. Jalannya abu-abu, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Penerangannya hilang. Bintangnya jauh dari sisinya. Sehingga hidupnya sedikit berantakan. Semua itu mendeskripsikan kehidupan Park Jeongwoo yang sedang berjarak dengan bintangnya, Haruto.

“Kak, pernah berantem hebat atau pisahan sementara nggak sama Kak Yoshi?” Tanyanya. Ia memang mengundang Jaehyuk kemari, di teras rumahnya. Katanya agar dapat memberi pencerahan pemikirannya.

“Sampai sekarang belom pernah nyampe pisahan sih. Kalo berantem ya pasti pernah, pasangan mana coba yang gak pernah ribut?”

“Terus lo atau Kak Yoshi ngelakuin apa waktu ribut gitu?” Tanya Jeongwoo lagi.

“Kita ngasih waktu buat masing-masing, biar bisa instropeksi diri. Kalo udah siap, baru deh ketemu dan omongin baik-baik.”

“Kenapa emang? Lagi jarakan sama Haru?” Lempar Jaehyuk balik.

“Ya.. gitu.”

“Dia dari kemarin nyinggung masalah nanti kedepannya gimana, dan lo tau sendiri lah kalo gue paling males mikir kejauhan. Yaudah ribut. Dia gak mau ngalah, gue juga,” sebagai pelengkap, Jeongwoo menghela napas panjang di akhir cerita.

“Batu ketemu batu,” komentar Jaehyuk.

“Udah denger penjelasan dia?”

Jeongwoo menggeleng, “belum.”

“Hadeh. Pikirin dulu sendiri, kenapa lo sampai marah gitu padahal dia juga lagi ngebahas masa depan lo nanti. Kalo udah nemu jawabannya, samperin, atau ajakin dia ketemu. Bahas dan tanya semua dengan jelas. Tapi inget, jangan pake gengsi apalagi amarah. Haru begitu juga pasti punya alasan sendiri.” Jelas Jaehyuk.

“Kadang nggak semua pemikiran lo bener. Lo juga butuh pendapat orang lain,” lanjut Jaehyuk.

“Iya. Makasih banyak kak.”

“Sama-sama.”


17 Juni 2021.

Setelah semingguan merenung seorang diri, Jeongwoo akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Haruto bertemu. Awalnya, ia kira Haruto akan dengan cepat menolak, namun ternyata tidak. Bintangnya itu justru menyetujui tak sampai 10 detik.

Dan di sinilah mereka berada, di ruang tamu milik keluarga Park. Dua gelas jus jeruk menghiasi suasana canggung antara keduanya. Jeongwoo ingin mengutarakan seluruh kalimat yang ia susun tadi, tapi entah mengapa kalimat tersebut menguap begitu saja. Mungkin karena ia terlampau rindu dengan Haruto-nya?

“Kamu ngajak ketemu buat apa kalo tetep diem terus gini?” Haruto membuka pembicaraan.

“Aku minta maaf.”

Haruto mengernyit heran. “Buat?”

“Ya.. buat semua? Aku yang nggak mau berpikir jauh dan nggak dengerin maksud kamu dulu..”

“Oh, bagus deh kalo nyadar,” jawab Haruto ketus.

Jeongwoo yang mendengar itu rasanya ingin melempar gelas di hadapannya pada Haruto, tapi nanti saja, situasinya tidak tepat.

“Iya.”

“Baikan, ya?” Pinta Jeongwoo.

“Enak aja langsung baikan.”

“Nggak sebelum kamu dengerin maksud aku dulu. Daripada kejadian yang sama keulang lagi,” tolak Haruto.

“Yaudah, jelasin, bakal aku dengerin.”

“Aku sengaja mau nyinggung masalah itu, biar kamu juga mikir kedepannya kita itu gimana. Aku tau kamu orangnya gak suka mikir kejauhan, tapi ya gini loh Je, kalo semisal kita nggak dibolehin bareng, nantinya kita bakal sama-sama patah hati, 'kan? Kamu kalo patah hati sembuhnya lama, aku juga. Maka dari itu aku pengen kamu nyoba bikin kamu mikir jalan kita bakal gimana nantinya,” jelas Haruto.

“Kita bersama atau enggak itu tinggal takdir. Semisal betulan gak boleh bareng, ya apa boleh buat? Kita cuma bisa nerima, 'kan?” Ujar Jeongwoo.

“Aku.. hhhh aku cuma mau kita sama-sama antisipasi,” jawab Haruto.

“Iya, aku ngerti.”

“Tapi kemarin aku nyinggung-nya kurang tepat, kamu lagi kacau malah aku bikin kacau. Maaf ya..” sesal Haruto.

“Nah, itu tau.”

“Kok omonganku dibalikin???” Haruto tak terima.

“Aku lagi pusing-pusing nya sama masalah lain, kamu malah ngobrolin itu, yaudah meledak jadinya.” Jeongwoo tak mempedulikan ocehan Haruto, ia terus mengucap isi kepalanya.

“Iya, maaf.”

“Jadi, baikan nih?” Tanya Jeongwoo (lagi) dengan alis naik turun.

“Iya lah.”

“Asikkk. Kamu jangan pergi-pergi lagi ya? Hidupku gelap tanpa kamu soalnya. Kamu kan bintangku, cahayaku, matahariku.”

Haruto mengendikkan bahunya; geli dengan ucapan kasih hatinya. “Kamu menggelikan banget. Diajarin siapa?”

“Diajarin kamu.”

“Enggak??? Aku akhir-akhir ini nggak bertingkah begitu tuh?”

“Kamu belakangan ini mah bertingkah menjadi menggemaskan,” sahut Jeongwoo.

“Sebelum bicara, alangkah baiknya buat berkaca. Yang gemes kamu, kok bilang aku yang gemes maksudnya gimana?”

“Udah, stop. Gak akan ada habisnya bahas ini, nanti ujungnya kelahi lagi,” henti Jeongwoo.

“Peluk aku dong,” pinta Jeongwoo.

“Sini.” Haruto melebarkan tangannya.

Dengan senang hati Jeongwoo masuk dan mengusakkan kepalanya pada dada bidang bintang kesayangannya. Haruto pun menaruh kepalanya di bahu Jeongwoo, ia usap pelan punggungnya.

“Kamu hebat udah bertahan,” ucap Jeongwoo tiba-tiba.

“Usap kepalaku dong kalo aku hebat.”

Jeongwoo melepas pelukannya, lalu mengangkat sedikit tubuh dan tangannya. Ia acak-acak rambut Haruto dan setelahnya diusap pelan. “Haruto hebat bisa ngelewatin masalah ini!”

“Jeongwoo juga hebat!” Haruto turut serta mengusap-usap kepala lawan bicaranya.

“Hahaha, makasih.”

“Eh, Je,” panggil Haruto.

“Apa?”

“Tadi ada video kelinci hand stand lewat tl ku.”

“Ya terus?”

“Keren ya dia. Kamu aja kalah sama kelinci,” ejek Haruto.

“Kita baru baikan beberapa menit lalu loh, jangan bikin gue bakik musuhin lo lagi ye,” kesal Jeongwoo.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

Star.


10 Juni 2021.

Gelap, tak ada penerangan. Jalannya abu-abu, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Penerangannya hilang. Bintangnya jauh dari sisinya. Sehingga hidupnya sedikit berantakan. Semua itu mendeskripsikan kehidupan Park Jeongwoo yang sedang berjarak dengan bintangnya, Haruto.

“Kak, pernah berantem hebat atau pisahan sementara nggak sama Kak Yoshi?” Tanyanya. Ia memang mengundang Jaehyuk kemari, di teras rumahnya. Katanya agar dapat memberi pencerahan pemikirannya.

“Sampai sekarang belom pernah nyampe pisahan sih. Kalo berantem ya pasti pernah, pasangan mana coba yang gak pernah ribut?”

“Terus lo atau Kak Yoshi ngelakuin apa waktu ribut gitu?” Tanya Jeongwoo lagi.

“Kita ngasih waktu buat masing-masing, biar bisa instropeksi diri. Kalo udah siap, baru deh ketemu dan omongin baik-baik.”

“Kenapa emang? Lagi jarakan sama Haru?” Lempar Jaehyuk balik.

“Ya.. gitu.”

“Dia dari kemarin nyinggung masalah nanti kedepannya gimana, dan lo tau sendiri lah kalo gue paling males mikir kejauhan. Yaudah ribut. Dia gak mau ngalah, gue juga,” sebagai pelengkap, Jeongwoo menghela napas panjang di akhir cerita.

“Batu ketemu batu,” komentar Jaehyuk.

“Udah denger penjelasan dia?”

Jeongwoo menggeleng, “belum.”

“Hadeh. Pikirin dulu sendiri, kenapa lo sampai marah gitu padahal dia juga lagi ngebahas masa depan lo nanti. Kalo udah nemu jawabannya, samperin, atau ajakin dia ketemu. Bahas dan tanya semua dengan jelas. Tapi inget, jangan pake gengsi apalagi amarah. Haru begitu juga pasti punya alasan sendiri.” Jelas Jaehyuk.

“Kadang nggak semua pemikiran lo bener. Lo juga butuh pendapat orang lain,” lanjut Jaehyuk.

“Iya. Makasih banyak kak.”

“Sama-sama.”


17 Juni 2021.

Setelah semingguan merenung seorang diri, Jeongwoo akhirnya memberanikan diri untuk mengajak Haruto bertemu. Awalnya, ia kira Haruto akan dengan cepat menolak, namun ternyata tidak. Bintangnya itu justru menyetujui tak sampai 10 detik.

Dan di sinilah mereka berada, di ruang tamu milik keluarga Park. Dua gelas jus jeruk menghiasi suasana canggung antara keduanya. Jeongwoo ingin mengutarakan seluruh kalimat yang ia susun tadi, tapi entah mengapa kalimat tersebut menguap begitu saja. Mungkin karena ia terlampau rindu dengan Haruto-nya?

“Kamu ngajak ketemu buat apa kalo tetep diem terus gini?” Haruto membuka pembicaraan.

“Aku minta maaf.”

Haruto mengernyit heran. “Buat?”

“Ya.. buat semua? Aku yang nggak mau berpikir jauh dan nggak dengerin maksud kamu dulu..”

“Oh, bagus deh kalo nyadar,” jawab Haruto ketus.

Jeongwoo yang mendengar itu rasanya ingin melempar gelas di hadapannya pada Haruto, tapi nanti saja, situasinya tidak tepat.

“Iya.”

“Baikan, ya?” Pinta Jeongwoo.

“Nggak sebelum kamu dengerin maksud aku dulu. Daripada kejadian yang sama keulang lagi,” tolak Haruto.

“Yaudah, jelasin, bakal aku dengerin.”

“Aku sengaja mau nyinggung masalah itu, biar kamu juga mikir kedepannya kita mau gimana. Aku tau kamu orangnya gak suka mikir kejauhan, tapi ya gini loh Je, kalo semisal kita nggak dibolehin bareng, nantinya kita bakal patah hati, 'kan? Kamu kalo patah hati, sembuhnya lama. Aku juga. Maka dari itu aku nyoba buat kamu mikir, jalannya kita bakal gimana nanti,” jelas Haruto.

“Kita bersama atau enggak itu tinggal takdir. Semisal betulan gak boleh bareng, ya apa boleh buat? Kita cuma bisa nerima, 'kan?” Ujar Jeongwoo.

“Aku.. hhhh aku cuma mau kita sama-sama antisipasi,” jawab Haruto.

“Iya, aku ngerti.”

“Tapi kemarin aku nyinggung-nya kurang tepat, kamu lagi kacau malah ku tambah kacau. Maaf ya..” sesal Haruto.

“Nah, itu tau.”

“Kok omonganku dibalikin???” Haruto tak terima.

“Aku lagi pusing-pusing nya sama masalah lain, kamu malah ngobrolin itu, yaudah meledak jadinya.” Jeongwoo tak mempedulikan ocehan Haruto, ia terus mengucap isi kepalanya.

“Iya, maaf.”

“Jadi, baikan nih?” Tanya Jeongwoo (lagi) dengan alis naik turun.

“Iya lah.”

“Asikkk. Kamu jangan pergi-pergi lagi ya? Hidupku gelap kamu soalnya. Kamu kan bintangku, cahayaku, matahariku.”

Haruto mengangkat bahunya; geli dengan ucapan kasih hatinya. “Kamu menggelikan banget. Diajarin siapa?”

“Diajarin kamu.”

“Enggak??? Aku akhir-akhir ini nggak bertingkah begitu tuh?”

“Kamu belakangan ini mah bertingkah menjadi menggemaskan,” sahut Jeongwoo.

“Sebelum bicara, alangkah baiknya buat berkaca. Yang gemes kamu, kok bilang aku yang gemes maksudnya gimana?”

“Udah, stop. Gak akan ada habisnya bahas ini, nanti ujungnya kelahi lagi,” henti Jeongwoo.

“Peluk aku dong,” pinta Jeongwoo.

“Sini.” Haruto melebarkan tangannya.

Dengan senang hati Jeongwoo masuk dan mengusakkan kepalanya pada dada bidang bintang kesayangannya. Haruto pun menaruh kepalanya di bahu Jeongwoo, ia usap pelan punggungnya.

“Kamu hebat udah bertahan,” ucap Jeongwoo tiba-tiba.

“Usap kepalaku dong kalo aku hebat.”

Jeongwoo melepas pelukannya, lalu mengangkat sedikit tubuh dan tangannya. Ia acak-acak rambut Haruto dan setelahnya diusap pelan. “Haruto hebat bisa ngelewatin masalah ini!”

“Jeongwoo juga hebat!” Haruto turut serta mengusap-usap kepala lawan bicaranya.

“Hahaha, makasih.”

“Eh, Je,” panggil Haruto.

“Apa?”

“Tadi ada video kelinci hand stand lewat tl ku.”

“Ya terus?”

“Keren ya dia. Kamu aja kalah sama kelinci,” ejek Haruto.

“Kita baru baikan beberapa menit lalu loh, jangan bikin gue bakik musuhin lo lagi ye,” kesal Jeongwoo.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.”

Alun-alun.

Segara serta Kasa sudah duduk manis dekat air mancur alun-alun, dengan tangan masing-masing memegang kamera. Baik Kasa maupun Segara sama-sama suka memotret, bedanya, Segara memotret asal-asalan (hanya untuk bersenang-senang saja) jikalau Kasa memotret dengan serius (semuanya harus sempurna, kata Kasa).

“Mau ke sana nggak?” Kasa menunjukkan arah yang dimaksud.

“Ngapain? Deket lapangan basket, males ah, nanti kena bola.”

“Idih. Di sana banyak bunga-bunga bagus, gue mau ambil gambar di sana. Lo kalo gak mau yaudah, diem aja di sini, gue tinggal ya,” pamit Kasa.

“Ehh! Iya-iya, tungguin.”

Segara segera mengalungkan kameranya di leher, lalu bergegas menyusul Kasa yang sudah berada jauh di depan.

“Ada anak main basket, malu,” bisiknya pada Kasa.

“Ya gak usah liat mereka biar nggak malu. Lagian mereka gak ada tuh liatin kita, mereka fokus main.”

“Hhh iyaa,” geramnya.

Segara pun mulai mengambil beberapa gambar. Mulai dari gambar langit berserta awan putih, burung yang berterbangan, hingga bunga serta pohon di sekitaran. Senyumnya terbit setelah melihat hasil jepretannya sendiri. Bagus, Segara puas, puas sekali.

Tiba-tiba matanya menangkap lelaki yang sepertinya ia kenal.

“Ka, itu Kak Jileo bukan sih? Yang dulu pernah gue ceritain itu loh,” tanyanya.

“Ha? Baju item itu ta?”

“Iya.”

“Heem, itu kak Jile. Jago kan sekarang dia,” jawab Kasa.

Segara mengangguk, “jago banget. Padahal dulu dia dribble aja gak bener, sekarang bisa bagus gitu ya.”

“Namanya juga manusia. Dia kan belajar, Gar.”

“Haha iya. Aduh, sedih dah gue kalo bahas itu,” ucapnya dengan tangan menghapus air mata palsu.

Jadi, dulu Jileo pernah memintanya mengajari bermain basket dengan benar. Ia pun dengan senang hati mengajari kakak tingkatnya itu. Namun, sayang sekali itu hanya bertahan selama satu hari. Jileo memutuskan belajar dengan karibnya, Juniar, daripada dengan Segara.

“Dia jago gitu juga ajaran lo kali ah,” hibur Kasa dengan mata tetap fokus pada kamera.

“Ajaran Kak Juni.”

“Cocok banget gak sih, Kak Jile sama Kak Juni,” lanjutnya.

“Lebih cocok kalo namanya Juleo sih,” sahut Kasa.

“Iya. Tapi gue lebih suka manggil dia Kak Ojil.”

“Gak tanya sih ya.”

“KASAAA!”

“IYA BERCANDA.”

Lalu keduanya sama-sama diam, fokus dengan kegiatan masing-masing. Segara tak henti-hentinya mengucap kagum pada Jileo, hingga akhirnya memotret beberapa –ah, sebanyak-banyaknya lebih tepatnya– gambar Jileo saat sedang fokus bermain basket. Tampan, sangat tampan.

“Ka, menurut lo kenapa Kak Ojil tiba-tiba gak mau gue ajarin?”

“Gak suka sama lo. Galak.”

“KURANG AJAR!”


Segara masih tetap setia memandang orang-orang itu bermain basket, sendirian tanpa Kasa. Kasa sudah berpamitan beberapa menit lalu untuk mencari spot foto lainnya. Ia tatap sedih mereka. Bola basket, lapangan basket, teman bermain basket, Segara rindu, sangat rindu bermain bersama. Namun sepertinya mustahil ia akan kembali bermain seperti dulu. Sudah banyak kenangan buruk ia hasilkan bersama bola orange itu. Cukup sudah ia menyakiti banyak orang. Ia harus rela meninggalkan hobinya, daripada nantinya masalah besar datang lagi padanya.

“Hah, udahlah, mending nyusul Kasa aja. Gak baik lama-lama di sini, nanti kena hasutan setan.”

Alun-alun.

Segara serta Kasa sudah duduk manis dekat air mancur alun-alun, dengan tangan masing-masing memegang kamera. Baik Kasa maupun Segara sama-sama suka memotret, bedanya, Segara memotret asal-asalan (hanya untuk bersenang-senang saja) jikalau Kasa memotret dengan serius (semuanya harus sempurna, kata Kasa).

“Mau ke sana nggak?” Kasa menunjukkan arah yang dimaksud.

“Ngapain? Deket lapangan basket, males ah, nanti kena bola.”

“Idih. Di sana banyak bunga-bunga bagus, gue mau ambil gambar di sana. Lo kalo gak mau yaudah, diem aja di sini, gue tinggal ya,” pamit Kasa.

“Ehh! Iya-iya, tungguin.”

Segara segera mengalungkan kameranya di leher, lalu bergegas menyusul Kasa yang sudah berada jauh di depan.

“Ada anak main basket, malu,” bisiknya pada Kasa.

“Ya gak usah liat mereka biar nggak malu. Lagian mereka gak ada tuh liatin kita, mereka fokus main.”

“Hhh iyaa,” geramnya.

Segara pun mulai mengambil beberapa gambar. Mulai dari gambar langit berserta awan putih, burung yang berterbangan, hingga bunga serta pohon di sekitaran. Senyumnya terbit setelah melihat hasil jepretannya sendiri. Bagus, Segara puas, puas sekali.

Tiba-tiba matanya menangkap lelaki yang sepertinya ia kenal.

“Ka, itu Kak Jileo bukan sih? Yang dulu pernah gue ceritain itu loh,” tanyanya.

“Ha? Baju item itu ta?”

“Iya.”

“Heem, itu kak Jile. Jago kan sekarang dia,” jawab Kasa.

Segara mengangguk, “jago banget. Padahal dulu dia dribble aja gak bener, sekarang bisa bagus gitu ya.”

“Namanya juga manusia. Dia kan belajar, Gar.”

“Haha iya. Aduh, sedih dah gue kalo bahas itu,” ucapnya dengan tangan menghapus air mata palsu.

Jadi, dulu Jileo pernah memintanya mengajari bermain basket dengan benar. Ia pun dengan senang hati mengajari kakak tingkatnya itu. Namun, sayang sekali itu hanya bertahan selama satu hari. Jileo memutuskan belajar dengan karibnya, Juniar, daripada dengan Segara.

“Dia jago gitu juga ajaran lo kali ah,” hibur Kasa dengan mata tetap fokus pada kamera.

“Ajaran Kak Juni.”

“Cocok banget gak sih, Kak Jile sama Kak Juni,” lanjutnya.

“Lebih cocok kalo namanya Juleo sih,” sahut Kasa.

“Iya. Tapi gue lebih suka manggil dia Kak Ojil.”

“Gak tanya sih ya.”

“KASAAA!”

“IYA BERCANDA.”

Lalu keduanya sama-sama diam, fokus dengan kegiatan masing-masing. Segara tak henti-hentinya mengucap kagum pada Jileo, hingga akhirnya memotret beberapa–ah, sebanyak-banyaknya lebih tepatnya gambar saat Jileo sedang fokus bermain basket. Tampan, sangat.

“Ka, menurut lo kenapa Kak Ojil tiba-tiba gak mau gue ajarin?”

“Gak suka sama lo. Galak.”

“KURANG AJAR!”