write.as/jeongwooniverse/

  1. It's been a long time

Jeongwoo sampai dirumah sakit setelah mengalami kemacetan parah selama hampir 1 jam. Dia langsung memapah wanita disebelahnya ke dalam rumah sakit sembari menggendong seorang gadis kecil berusia 3 tahun.

Lelaki itu tampak tergesa-gesa, mengingat wanita yang tengah ia tangani saat ini sedang membawa masa depan keluarganya.

Jengwoo tergesa-gesa mengambil kursi roda yang dibawa oleh suster dan mendudukkan wanita itu disana.

“Woo sakiit.” Rintih wanita itu meremas tangan Jeongwoo. Pelipisnya dipenuhi keringat sebesar bulir jagung.

“Iyaa Na, sabar sebentar ya, bentar lagi kita sampe ke ruangannya kok.” Ucapnya lembut berusaha menenangkan.

Jeongwoo mendorong kursi roda dengan cepat dan membawa wanita itu ke ruangan operasi di iringi dengan tenaga medis lainnya.

“Papa..” panggil gadis kecil yang sedari tadi tidak lepas dalam gendongan Jeongwoo.

“Iyaa nak..”

“Bunda gapapa kan?” Mata gadis kecil itu berkaca-kaca.

Jeongwoo menggeleng. “Bunda lagi berjuang untuk dedenya Ruka, bentar lagi Ruka punya dede baru.”

Gadis kecil itu melingkarkan tangan mungilnya di leher Jeongwoo.

“Tapi tadi bunda nangis, luka sedih.” Ucap gadis kecil itu cadel, karena belum bisa mengucapkan huruf R dengan sempurna.

“Ruka gaboleh sedih, kalau Ruka sedih nanti bundanya Ruka juga sedih.” Ucap seseorang tiba-tiba, membuat Jeongwoo dan Ruka menoleh.

Seorang wanita cantik menggunakan jas dokter tersenyum lembut ke arah mereka.

Jeongwoo terkesiap melihat siapa yang kini berdiri didepannya.

Salsabila Veronica, dalam balutan jas dokter.

Wanita itu masih terlihat cantik sepeti dulu. Tidak ada yang berubah selama 10 tahun. Sasa masih menjadi Sasa yang cantik yang Jeongwoo kenal. Kini, wanita itu terlihat lebih berwibawa dengan jas dokter yang dikenakannya.

“Udah lama ya Woo.” Sapanya sembari tersenyum.

Seolah menular, Jeongwoo juga ikut tersenyum melihat Sasa.

“Lama banget Saa.” Ucapnya hampir seperti berbisik.

“Papa, katanya doktel itu selem, tapi doktel ini cantik ga selem.” Celetuk Ruka.

Baik Jeongwoo dan Sasa tertawa bersama.

“Ruka mau digendong sama bu dokter ini ga?” Tanya Sasa kemudian dengan senyum hangat.

Gadis itu mengeratkan lingkaran tangannya di leher Jeongwoo.

“Bu dokter ini temennya papa dulu. Ayo salim dulu Ruka.” Ucap Jeongwoo lembut.

Gadis itu mengulurkan tangan mungilnya ke arah Sasa. Sasa menyambut tangan mungil itu. Gadis kecil itu bahkan mencium tangan Sasa.

Sasa memperhatikan perlakuan Jeongwoo terhadap gadis kecil yang memanggil Jeongwoo dengan panggilan papa itu.

Ada sesak tertahan yang selama ini tidak bisa ia ungkapkan.

Ada rindu yang masih belum terobati.

Ada cerita yang belum usai.

Ada penantian yang belum berujung.

Namun semuanya terasa musnah dalam sekejap ketika melihat Jeongwoo dan keluarga kecilnya.

Ah, ternyata semuanya sia-sia.

Ternyata harapan yang diucapkan Yedam beberapa bulan lalu hanya akan menjadi angan yang tak tersampaikan.

Beberapa bulan yang lalu, Yedam mengatakan bahwa Jeongwoo akan kembali ke Indonesia dan berencana menetap lebih lama.

Sasa kira itu akan menjadi harapan baru untuknya. Sasa kira ia bisa mengungkapkan perasaan yang telah ia pendam selama 15 tahun ini.

Jujur, tidak mudah melupakan Jeongwoo. Mengingat perpisahan mereka masih meninggalkan cerita yang belum usai. Jeongwoo dari awal sudah mengatakan bahwa ia tidak berjanji akan kembali. Ia juga tidak berjanji bahwa jika memang ia kembali perasaannya terhadap Sasa masih sama. Tapi entah mengapa Sasa masih menunggu, ia belum bisa melepas bayangan Jeongwoo dalam pikirannya.

Semuanya terbukti saat ini, melihat Jeongwoo menggendong seorang gadis kecil nan lucu sedang menunggu istrinya membawa masa depan Jeongwoo disana.

Sasa menghela nafas, berusaha menahan sesak dan airmatanya didepan Jeongwoo. Tidak mungkin ia mengharapkan seseorang yang telah menjadi milik orang lain.

Karena tak kuat, Sasa pamit undur diri dari hadapan bapak dan anak itu.

“Kita udah lama ga ketemu, gue boleh minta kontak lo?” Ucap Jeongwoo sebelum Sasa pergi.

Sasa mengerutkan keningnya.

Kontak? Tiba-tiba? Disaat istrinya sedang berjuang untuk masa depan mereka?

Jeongwoo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis kecil yang tadi berada dalam gendongannya kini sudah duduk rapi di bangku pengunjung.

“Sebelum lo salah paham lebih jauh. Ini Haruka, putri pertamanya Haruto, dan didalam sana bundanya Haruka yang berarti istrinya Haruto yang lagi memperjuangkan putra pertama mereka.”

Sasa mematung. Waktunya yang tadi berhenti, kini kembali berputar disekelilingnya.

  1. Tomat dan Susu Beruang

Asahi masuk kedalam kantin. Ia melihat ke arah sekeliling, terlalu ramai orang disini. Ia juga tidak bisa mengenali Chiara diantara kerumunan.

Kemudian sebuah tangan melambai ke arahnya dari bangku paling pojok sebelah kiri. Asahi yang melihat langsung tahu bahwa itu Chiara.

“Asahi! Sini.!” Ucap gadis itu riang.

Asahi berjalan ke arahnya dan duduk di depan gadis itu.

“Gue udah ambilin makanan sekalian buat lo. Takutnya kehabisan. Tapi gue gatau lo suka apa, jadi moga lo suka ya.”

Asahi terdiam dengan muka datarnya. Ia menilik satu persatu lauk yang diambilkan oleh Chiara.

“Ada tomat.” Ujar Asahi.

“Eh kenapa Sa? Iya itu tomat.”

“Iya ada tomat.”

Chiara mengerutkan keningnya. Gadis itu tampak sedikit bingung.

“Lo gak suka tomat ya?” Tanya Chiara mencoba menerka.

Asahi mengangguk.

Chiara tertawa.

“Kenapa gak bilang langsung sih, hahaha.”

Chiara kemudian dengan telaten memindahkan tomat di piring Asahi kedalam piringnya.

“Kenapa gak suka tomat?” Tanya Chiara kemudian.

“Gak enak.”

“Jadi lo sukanya apa?”

“Semuanya, kecuali tomat.”

Chiara mengangguk paham. Lelaki ini benar-benar unik.

Asahi lalu makan dengan lahap hingga menyisakan piring yang bersih.

“Enak banget ya Sa?” Tanya Chiara lagi.

Asahi mengangguk. Lelaki itu kemudian mengeluarkan sapu tangan Chiara dari tas nya.

“Makasih.” Ujarnya.

Chiara menerima sapu tangan itu.

“Gue mau terima sapu tangan ini, tapi dengan satu syarat.”

Asahi masih diam.

“Besok sore dateng ke cafe Treasure jam 6 sore ya. Gue kerja disana. Gue mau traktir lo ngopi. “

Asahi mengangguk sebagai jawaban.

“Gue pamit. Ada kelas soalnya” ujar Asahi sembari berdiri.

“Jangan lupa besok sore jam 6 ya Sa.”

Lelaki itu mengangguk sekilas dan berlalu.

Namun tak lama kemudian Asahi berbalik ke arah Chiara.

“Di kafe lo ada susu beruang ga?”

“Hah? Susu beruang?” Asahi mengangguk.

“Soalnya kopi pahit.”

Tawa Chiara pecah seketika. Untung saja kantin sedang ramai, jadi tidak ada yang perduli dengan Chiara yang kini tertawa dengan ucapan Asahi. Tapi, seperti biasa lelaki itu masih menampakkan wajah datar tanpa ekspresi.

“Kalo lo gak suka kopi, ntar gue traktir susu beruang atau apalah itu. Yang penting lo harus datang. “

Asahi mengangguk sebagai jawaban. Kali ini laki-laki itu benar-benar pamit dan menghilang dari hadapan Chiara.

Sekali lagi, Chiara dibuat terkejut oleh sikap Asahi. Menghadapi orang seperti Asahi adalah hal baru bagi Chiara

  1. Lelaki berambut perak

Chiara baru saja menyelesaikan tugasnya di cafe. Ini adalah pekerjaan paruh waktu yang ia kerjakan untuk membantu financial keluarganya. Sebenarnya keluarga Chiara adalah keluarga yang cukup sederhana. Bisa berkuliah di kota adalah hal yang membanggakan bagi Chiara.

Namun ia tidak ingin terus-terusan meminta uang kepada Ayahnya. Oleh karena nya Chiara bekerja paruh waktu untuk menambah uang jajannya.

Suasana jalan cukup sepi malam itu. Jalanan cukup basah menandakan hujan baru saja menyirami bumi. Aroma petrikor masih samar tercium. Chiara berjalan santai menuju kosnya.

Tiba-tiba Chiara merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Chiara langsung mempercepat langkahnya. Namun orang yang mengikutinya juga mempercepat langkahnya.

Napas Chiara tertahan. Orang itu menarik tangannya membuat Chiara berhenti.

“Halo adek manis, yuk main sama abang.” Ucap lelaki itu.

Chiara menggeleng ngeri. Ia berusaha melepaskan cengkraman namun usahanya nihil.

“Ayolah, kamu pasti gabakal nyesal kalau kita senang-senang malam ini.” Lelaki itu kemudian mencolek dagu Chiara. Chiara memandang laki-laki itu dengan tatapan jijik.

Tiba-tiba datang seorang laki-laki berambut perak mencengkram lengan lelaki yang mengganggu Chiara.

“Beraninya sama Cewek, lo sehat?” Ucapnya datar dan tajam.

“Ikut campur aja anak kecil!” Ucap preman yang mengganggu Chiara. Preman itu kemudian mengeluarkan pisau dan menancapkannya di tangan lelaki berambut perak.

Chiara berteriak ngilu. Mengapa adegan ini terjadi didepan matanya.

Tapi lelaki berambut perak tidak berkutik. Ia masih mencengkram tangan preman yang menggengam tangan Chiara.

Lelaki berambut perak melayangkan pukulan hingga preman itu terjatuh. Kemudian dia menginjak tangan preman itu hingga preman itu mohon ampun.

Chiara menutup mata dan menangis. Adegan ini sangat mengerikan.

Setelah beberapa menit berlalu. Suasana menjadi lenggang. Chiara membuka matanya. Kini hanya tersisa si lelaki berambut perak disana.

“Rumah lo dimana?” Tanya lelaki itu.

Chiara menunjuk arah jalan ke rumahnya.

Lelaki itu kemudian memegang tangan Chiara dan menuntun Tiara untuk mengikutinya.

“T-tapi.. tangan lo masih berdarah. Lo ga kesakitan?”

Lelaki itu diam tak menanggapi.

Sesampainya di kos Chiara lelaki itu melenggang pergi, namun ditahan oleh Chiara.

Chiara mengeluarkan saputangan putih yang ia bawa dan membebat tangan lelaki itu.

“Ini gak membantu banyak, tapi setidaknya bisa menghentikan pendarahan. Gue minta tolong sama lo langsung ke rumah sakit biar lengannya di jahit. Dan terimakasih untuk bantuannya.”

Lelaki itu terdiam menatap Chiara datar. Lalu pergi meninggalkan Chiara begitu saja tanpa mengucap apapun.

Jeongwoo berhenti disebuah rumah sakit daerah yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Kalau bukan karena bang Ajun yang minta, mungkin dia gabakal rela jauh-jauh kesini.

Lelaki itu masuk dan duduk di perkarangan taman dengan bunga-bunga berwarna putih.

“Jeongwoo?” Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Jeongwoo memalingkan mukanya dan terkejut.

Sosok bang Ajun yang ia kenal dengan ramah kini terlihat pucat pasi. Kepalanya ditutupi kupluk berwarna putih, dan Jeongwoo tidak melihat sehelai rambutpun disana. Dan yang paling mengejutkan, bang Ajun bukan memakai jas dokter, melainkan memakai baju pasien.

“Bang, lo kenapa?”

Ajun duduk disebelah Jeongwoo yang masih berdiri. Lelaki itu lalu Menepuk-nepuk kursi disebelah nya mengisyaratkan Jeongwoo untuk duduk.

“Gue, gabisa pulang sekarang. Kalau Sasa liat, dia bisa syok. Dan gue gamau liat dia nangisin gue.”

Ajun mengalihkan tatapannya ke arah pasien dan petugas rumah sakit yang berlalu lalang.

“Banyak hal yang harus gue sampaikan ke elo. Karena gue tau waktu gue udah ga banyak. Kalau bukan gue, Sasa gak bakal pernah bilang ini semua ke elo. “

“Tunggu, lo harus jelasin dulu. Lo sakit apa bang?”

Ajun menghela nafas. “Kanker otak. Sekarang udah stadium akhir. Gue sering keluar kota bukan untuk tugas, tapi untuk kemo.”

Napas Jeongwoo tertahan. Dadanya sakit mendengar penuturan Ajun.

“Sekarang dengerin gue.” Ajun kini menatap langit, menerawang.

“Kelas 2 SMP, Sasa pertama kali cerita kalau dia suka sama cowok. Katanya dia suka pas cowok itu nyanyi di pentas sekolah. Orangnya ganteng, suaranya bener-bener bikin Sasa jatuh cinta. Sampe-sampe Sasa bikin surat cinta untuk bilang perasaannya sama cowok itu.”

“Selama setahun, dia selalu merhatiin cowok itu dari jauh. Sasa anak yang pemalu, jadi dia cuma dapet sedikit teman.”

“Lo pasti udah tau kalau mama papa kami cerai. Mereka selalu berantem bahkan ketika Sasa masih SD. Selalu setiap saat, ga peduli meskipun itu didepan kami berdua. Sasa selalu nangis kalau liat papa mama berantem. Tapi, semenjak kenal dengan cowok ini, Sasa berubah.”

“Setiap papa mama berantem, dia langsung masuk kamar. Pasang earphone dan denger suara cowok ini dengan volume maximum. Ibaratnya, suara cowok ini adalah healing bagi Sasa.”

“Sampe puncaknya kelas 3 SMP papa mama beneran cerai dan berebut hak asuh. Gue ajak Sasa kabur dari rumah. Dan lo pasti udah tau cerita setelahnya.”

Jeongwoo mengangguk paham.

“Cowok itu lo. Jeongwoo.”

“Dia jadi semangat pergi sekolah, padahal sebelumnya dia cuma homeschooling dan sekolah formal terlalu sulit untuk Sasa. Sasa kadang belajar piano, katanya suatu saat pingin denger lo nyanyi sambil diiringin piano sama dia.”

“Ada banyak hal yang bikin Sasa berubah, cuma karena denger lo nyanyi sekali. Istilahnya kaya kopi pahit, terus dikasih gula dan rasanya langsung berubah jadi manis.”

“Sampe sekarang, gue bisa liat kalau Sasa masih sayang banget sama lo. Apalagi pas tau dia satu sekolah sama lo pas SMA, dia lompat-lompat kegirangan. Memang terkesan childish, tapi gue bisa liat gimana bahagianya Sasa ketemu lo lagi setelah sekian lama.”

“Dia pernah nanya gini 'bang, kalau aku bilang suka sama Jeongwoo, dia bakalan illfeel ga ya? Apa dia bakal suka ke aku juga?'”

“Dan gue cuma bisa jawab 'ada hal-hal yang gabisa kita paksain didunia ini, salah satunya perasaan Sa.'”

Jeongwoo masih terdiam.

“Alasan gue selalu bilang jagain Sasa adalah karena Sasa udah mempercayakan lo di hatinya.”

Jeongwoo menggeleng. “Tapi, Yedam adalah orang yang paling disayang sama Sasa setelah lo.”

Ajun menggeleng. “ Sasa cuma ga sadar, kalau sayangnya dia ke Yedam itu karena rasa terimakasih dan balas budi, bukan sayang karena cinta. Tapi Yedam sadar, kalau hati Sasa dari awal bukan untuk dia.”

“Maksud lo gimana?”

“Yedam rela mendampingi Sasa, sampai nanti akhirnya Sasa sadar dengan perasaan nya sendiri. Nah, sampe saat itu Yedam bakal ambil langkah mundur.”

“It means, Yedam mengorbankan perasaanya sendiri?“tanya Jeongwoo kemudian. Ajun mengangguk.

“Gue sampein ini, berharap lo bisa jagain Sasa pas gue udah gaada nantinya. Gimana pun itu, setiap hubungan pasti ada baik dan buruknya Woo.”

Jeongwoo terdiam sesaat. Lelaki itu selanjutnya menghela nafas.

“Gue paham. Tapi gue minta maaf bang. Gue gabisa.”

“Ada hati yang harus gue jaga, dan gue udah terlanjur sayang sama dia.”

“Ah, lo udah punya cewek baru.” Ajun tertawa kecil. “Pantesan Kemarin Sasa nangis-nangis, kalian berantem kan?”

Jeongwoo diam, tak menjawab.

Ajun menepuk pundak Jeongwoo. “Itu pilihan lo. Gue gak maksa kok. Tapi tolong baikan sama Sasa ya, cukup jadi temen Sasa juga gapapa. Gue minta tolong banget Woo.”

“Dia itu dari kecil hidupnya ga bahagia. Gue pingin, sekali aja liat dia senyum terus-terusan. Even setelah gue gaada nanti. “

“Lo beneran gak bakal ngasih tau sama Sasa sampe akhir bang?”

Ajun menggeleng. “Dia bakal sedih banget Woo, gue ga tega.”

“Tapi dia bakalan lebih sedih kalau dia ga tau lo sebenarnya selama ini sakit. Dia akan merasa bersalah seumur hidup.”

“Lo egois bang.”

“Iya, lo bener. Tapi gue gak punya pilihan. Gue gamau liat dia histeris gara-gara keadaan gue sekarang. Yang gue yakinin, waktu itu ada untuk menyembuhkan luka. Woo, gue tau lo masih sayang sama Sasa.”

Jeongwoo terdiam. Bahkan Jeongwoo sendiri tidak yakin.

“Gue minta maaf bang.” Hanya itu yang dapat diucapkannya. Lelaki itu kemudian pamit dari hadapan Ajun.

Dalam perjalanan lelaki itu berkali-kali menghela nafas.

Jadi, Yedam mengorbankan perasaanya sendiri dengan menunggu sampai Sasa sadar kalau sebenarnya yang Sasa sayangi adalah Jeongwoo. Sedangkan Jeongwoo, dari awal ia memang tidak mau berjuang. Padahal kesempatan yang ia miliki sungguh besar.

Pengecut sekali. Batin Jeongwoo

Jeongwoo berlari ke arah kamar Yedam dengan tergesa-gesa. Lelaki itu bahkan hampir tersandung beberapa kali. Namun ia berhasil menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.

Jeongwoo membuka pintu kamar Yedam dengan nafas terengah-engah.

Dan akhirnya Jeongwoo terpukul untuk kesekian kalinya..

Penghuni ranjang tersebut kini telah duduk dan tersenyum lebar ke arah Jeongwoo.

Jeongwoo merasa dunianya berhenti sesaat. Lelaki itu masih berusaha menstabilkan deru nafasnya, namun kenapa rasanya makin sesak.

Sasa yang berdiri disebelah ranjangnya berjalan menghampiri Jeongwoo. Gadis itu merangkul lengan Jeongwoo dan membawanya kehadapan Yedam.

Lelaki bernama Yedam itu tersenyum sumringah menampakkan deretan gigi putihnya.

“Ini bang yang sering Sasa cerita. Ini Jeongwoo, yang jagain Sasa selama ini.“ujar Sasa memperkenalkan Jeongwoo ke hadapan Yedam.

“Salam kenal. Gue Yedam.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Jeongwoo sempat terpaku sepersekian detik hingga kemudian membalas uluran tangan Yedam. “Jeongwoo.”

“Gue senang ada yang nemenin Sasa selama gue ga ada. Makasih banyak ya Woo atas waktunya.” Ujarnya terdengar sangat tulus.

Jeongwoo mengangguk kikuk, ia menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal.

“Sasa manja banget kan Woo? pasti sering minta yang aneh aneh deh ke lo.”

“Ih apaan sih, ga, ya kan Woo? Gue ga aneh-aneh kan?” Sasa menuntut jawaban.

“Ga kok bang, Sasa anak baik.”

“Tuh dengerin. Sasa anak baik.”

Yedam kemudian menepuk bahu Jeongwoo. “Tenang aja, sekarang lo ga bakal dibikin susah lagi kok sama Sasa. Gue bakal balik ke pekerjaan gue dulu. Jadi Satpamnya Sasa.”

“Ih emangnya Sasa apaan pake ada satpam segala.”

“Kamu kan gabisa diem anaknya.”

Siapapun tolong bawa pergi Jeongwoo dari tempat ini.

” Yang paling penting makasih ya Woo. Gue hutang banyak sama lo.” Ujar Yedam mengakhiri.

“Oh ya Woo, besok dateng yah ke pesta penyambutan bang Yedam. Sekalian bang Ajun juga besok pulang, pasti bawa oleh-oleh yang banyak. Lo harus ikut yaa.”

“Kalau free deh.”

“Sok sibuk banget deh lu.”

“Saa,kok maksa sih? Kalau Jeongwoo ada urusan jangan diganggu. Maafin Sasa ya Woo.”

“Eh gapapa bang. Kalau gitu gue balik duluan yah, temen gue nunggu mau latihan drama.”

“Oh oke gapapa. Hati-hati ya woo. Plis jangan ngebut-ngebut.” Kali ini Yedam memberi nasehat.

Jeongwoo mengangguk kemudian pamit undur diri.

Lelaki itu berjalan lesu meninggalkan ruangan Yedam.

“Lo jahat banget kalau berharap Yedam gak selamat, tapi ngeliat dia bangun dan sadar kalau Sasa bakal ninggalin lo, juga bikin lo ga sanggup kan Woo?” Monolognya.

Hari itu dia sadar bahwa ucapan yang diucapkan Haruto tempo hari benar terjadi.

Nyari bengkel

Jeongwoo mengeluarkan Ilham dari parkiran sepeda. Lelaki itu mengayuh sepedanya dengan kecepatan lumayan hingga sampai ke tempat Woonyoung berada 10 menit kemudian.

“Sorry lama Woon”

Woonyoung menggeleng. “Lo kesini aja gue udah makasi banget.”

Jeongwoo turun dari sepedanya dan memeriksa ban motor milik Woonyoung.

“Ini kena paku Woon, harus dibawa ke bengkel.”

Woonyoung melihat sekeliling. “gaada bengkel masalah nya sekitar sini Woo.”

Jeongwoo akhirnya berinisiatif memindahkan motor Woonyoung ke pinggir jalan dekat trotoar.

“Ada bawa gembokan motornya ga?”

Woonyoung mengangguk dan mengambilnya di jok motor lalu memberikannya ke Jeongwoo. Jeongwoo mengaitkan gembok tersebut dengan cekatan. Kemudian lelaki itu naik keatas sepedanya.

“Nungguin apa? Ayo naik.” Ujarnya kepada Woonyoung

“Eh?” Woonyoung kebingungan. Jeongwoo kemudian menarik tangan Woonyoung dan menyuruhnya duduk diboncengan sepeda Jeongwoo.

“Kita cari bengkelnya dulu, ntar kalau ketemu kita bawa abang bengkelnya kesini.”

Jeongwoo mengayuh sepedanya dengan pelan. Sementara itu Woonyoung sudah salah tingkah dibelakang Jeongwoo. Ia takut jatuh kalau tidak berpegangan, tapi terlalu malu untuk berpegangan dipinggang Jeongwoo. Alhasil dia hanya berani menarik baju seragam Jeongwoo.

Tak lama Jeongwoo berhenti. Ia kemudian mengambil kedua tangan Woonyoung dan mengaitkan tangan tersebut kedepan. Woonyoung yang menyadari sikap tiba tiba Jeongwoo terkejut sesaat.

“Pegangan Woon, bahaya ntar jatuh.” Begitu ucapnya.

Tanpa Jeongwoo sadari, Woonyoung tersenyum kecil dibelakang.

Jeongwoo segera mengeluarkan sepeda dari garasi rumahnya. Haruto yang melihat kembarannya terburu-buru pun ikutan panik.

“Mau kemana lo malam-malam? Bentar lagi hujan Woo!” Ujarnya setengah berteriak.

“Ke rumah Sasa. Dia sendirian di rumah. Bilangin papa mama sama bang Ji ya To.”

Jeongwoo melajukan sepedanya dengan kecepatan tinggi. Kilat dan guntur menyambar-nyambar. Satu hal yang ada di pikiran Jeongwoo saat ini, Sasa pasti tengah meringkuk ketakutan sambil menangis di rumahnya.

Hujan mengguyur bumi dengan deras. Jeongwoo masih mengayunkan sepedanya dengan kencang berharap kendaraan itu bisa sampai secepat kilat ke rumah Sasa.

Usaha tidak menghianati hasil, Jeongwoo sampai di rumah Sasa dengan keadaan basah kuyup.

“Saa.. saa ini guee. Jeongwoo, buka pintunya Saa.”

Pintu itu segera terbuka menampilkan figur Sasa dengan mata sembab. Sasa langsung memeluk Jeongwoo tak peduli meski lelaki itu basah Kuyup.

“Gue takut bangeet.” Ucapnya sambil terisak.

Jeongwoo membalas pelukan Sasa dan mengusap rambutnya dengan lembut.

“Udah ya, ada gue disini. Jangan takut lagi.”

》》》》》》》》《《《《《《《《《

Jeongwoo kini telah mengeringkan tubuhnya. Sasa menyiapkan teh hangat untuk Jeongwoo.

Lelaki itu keluar dari kamar mandi dengan menggunakan baju Ajun. Bersyukur kepada tubuh Jeongwoo yang tinggi meskipun ia hanya murid kelas 3 SMA tetapi baju Ajun pas di tubuhnya.

“Minum dulu Woo.” Ujar Sasa sembari meletakkan cangkir teh diatas minibar dapurnya.

Jeongwoo duduk dan menyesap tehnya.

“Kurang manis Sa teh nya.”

Sasa membelalak “ serius Woo? Perasaan tadi gulanya udah pas deh.”

Jeongwoo tersenyum “soalnya manis nya udah di lo semua.”

Sasa menabok pelan pundak Jeongwoo. “Sempat-sempatnya sih Woo.”

“Lo takut hujan ya?”

Sasa menggeleng. “Gue takut petir.”

“Maaf ya Sa udah bikin lo nangis lagi hari ini. Gue padahal udah janji sama bang Ajun untuk jagain lo.”

“Lo disini sekarang, dan gue bersyukur untuk itu.”

“Sa, ada netflix ga? Nonton yuk?” Ajak Jeongwoo tiba-tiba.

Sasa mengangguk. “Mau nonton film apa?”

Sasa dan Jeongwoo duduk di ruang tv dan memilih film apa yang harus di tonton. Akhirnya pilihan mereka jatuh ke film bergenre komedi.

Agak unik memang, biasanya kalau nonton berdua dengan orang yang disuka, banyak orang memilih genre romantis atau horror. Tapi Jeongwoo dengan keunikannya memilih film bergenre komedi. Dan Sasa setuju akan hal itu.

Malam itu, dihabiskan dengan tawa Jeongwoo dan Sasa.

Malaikat pelindung Sasa

Pulang Sekolah Jeongwoo langsung ngacir ke kelas Sasa. Haruto hari ini bawa Sakinah Mawaddah warahmah karena dipaksa oleh Jeongwoo.

“Mana tau habis ngedate Sasa jadi ada piling gitu ke gue.” Ucapnya semalam.

Haruto hanya menggeleng-geleng kepalanya.

Sasa keluar kelas menghampiri Jeongwoo yang menunggunya disana.

“Gimana?” Tanya Sasa.

“Skuuuy.”

Mereka pun pergi ke parkiran dan mengendarai ilham sepeda kesayangan Jeongwoo.

“Woo mau tanya deh. “

“Jangan matematika ya, gue aja selalu nyontek sama wawan.”

Sasa menepuk pundak Jeongwoo. “Ih bukan. Mau nanya ini kenapa namanya Ilham?”

Jeongwoo tersenyum. “ Gatau, random aja sih. Atau lo mau kasih saran nama lain?” Tanya nya lagi.

Sasa menggeleng, namun tentu saja Jeongwoo tidak dapat melihatnya.

“Kenapa naik sepeda Woo? Kenapa ga naik motor atau mobil?” Tanya Sasa lagi.

“Wah, Sasa Kepoin gueee.” Ujarnya setengah berteriak sampai Orang-orang memperhatikan mereka.

Sasa menepuk punggung Jeongwoo lagi. “Ih malu-maluin.”

“Ih ngegemesin.” Gumam Jeongwoo. Tapi Sasa mendengarnya.

“Jadi kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa naik sepeda?”

“Ya, naik sepeda lebih segar gak sih Sa? Sekalian olahraga juga. Terus kalau pacaran naik sepeda itu lebih so sweet. Kalau lo gak percaya, coba aja deh pacaran sama gue.”

“Yee, malah nyari kesempatan.”

Kemudian mereka tertawa bersama. Tak terasa 15 menit perjalanan dihabiskan dengan obrolan seru antara Sasa dan Jeongwoo. Hingga mereka tiba di rumah sakit.

“Lo gak masuk Woo?” Tanya Sasa ketika mereka sampai didepan kamar Yedam. Jeongwoo menggeleng.

“Gue tunggu diluar aja.”

Sasa mengangguk dan akhirnya masuk ke kamar rawat Yedam. Ia mengembangkan senyumnya mendekati ranjang Yedam. Gadis itu mengusap kepala Yedam lembut, lalu menggenggam tangan Yedam yang tidak dipasang infus.

“Apakabar hari ini? Masih nyenyak ya tidurnya?” Tanya Sasa bermonolog.

“Hari ini jadwal kita belajar kan? Tapi hari ini aku ditemenin sama temenku. Dia nunggu diluar. Kamu harus kenalan sama dia. Namanya Jeongwoo, orangnya lucu. Random banget anaknya.”

Sasa mengusap kembali kepala Yedam. “Kasih tau aku alasan, kenapa kamu lebih memilih bermimpi lebih lama dibanding bertemu dengan aku di dunia nyata? Apakah disana sangat indah?.” Ucap Sasa sembari menatap mata Yedam yang tertutup dengan damai.

Tes.. Setetes air mata jatuh diatas tangan Yedam.

“Aku janji gabakal nangis lagi. Tapi kamu bangun ya? Aku kangen, kangeen banget.”

Setelah menghapus jejak airmata di pipi nya, Sasa kembali menampilkan senyumannya. “Hari ini aku bakal belajar lebih rajin biar aku bisa jumpa dengan kamu di fakultas kedokteran. Ingat janji kamu ya. Plis jangan ingkar janji.”

Dibalik pintu, Jeongwoo mendengar semuanya dengan hati terpukul. Tapi memangnya Jeongwoo bisa apa? Toh menjadi teman Sasa adalah yang terbaik saat ini.

》》》》》》《《《《《《《

Setelah mencari buku yang dibutuhkan, seperti janji Sasa dia akan mentraktir Jeongwoo makan kerak telor. Dan Jeongwoo merekomendasikan tempat kerak telor favoritnya dengan Haruto.

“Ih enak rupanya Woo.”

“Ya ampun Sa, lo bakalan rugi kalau ga pernah nyoba kerak telor seumur hidup lo.”

“Dan lo berhasil nyelamatin gue dari kerugian itu.” Sasa lalu tertawa.

Cantik. Banget.

“Woo gue mau tanya deh.”

“Kayanya hari ini lo jadi banyak tanya deh.”

“Ih ga boleh ya?” Sasa melipat mulutnya.

“Boleh kok, haha jangan gitu, ntar gue makin gemes.” Jawab Jeongwoo sambil mengacak-acak rambut Sasa.

“Sekarang Haruto ga trauma lagi naik sepeda?”

” lo kok tau Haruto jadi trauma?”

“Siapa sih yang ga trauma kalau udah kejadian kaya gitu?”

Jeongwoo berpikir sebentar, seperti mengingat sesuatu “Dulu dia pernah gamau naik sepeda sampe SMP. Tapi gue keukeuh dia harus naik, meskipun gue yang boncengin.”

“Awalnya kita pernah berantem karena gue maksa, terus bang Ji turun tangan. Ruto diterapi, dan sekarang alhamdulillah udah mendingan, dia udah ga takut naik sepeda sendiri atau diboncengin. Tapi dia masih gaberani boncengin orang.”

“Bang ji itu abang lo? Bisa terapi?”

“Iya bang Jihun, dia psikiatris.”

Sasa membuka mulutnya takjub.

“Sekarang gue deh yang tanya.”

Sasa mengangguk.

“Lo kok bisa deket sama Yedam?”

Sasa tersedak. Jeongwoo langsung menyodorkan air mineral kepada Sasa.

“Hati-hati Sa. Makannya pelan-pelan.”

Sasa meneguk air mineral hingga batuknya mereda. Gadis itu kemudian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali.

Sasa mulai bercerita.

“Dia itu, kaya malaikat pelindung yang diturunkan Tuhan buat gue.” Jawab sasa selanjutnya

Berat banget kalau saingan gue malaikat. Batin Jeongwoo.

“Kelas 3 SMP adalah waktu paling chaos dalam hidup gue. Papa mama pisah karena masalah kerjaan. Papa bisnis man hebat, mama wanita karir independent. Mereka gapernah bisa satu frekuensi. Tapi mereka berebut hak asuh antara gue dan kak Ajun.”

“Sampe akhirnya gue sama bang Ajun kabur dari rumah. Kita tinggal di Ruko sewaan dengan uang tabungan bang Ajun, itu tahun pertama kuliah bang Ajun dan dia gamau melepas gitu aja.”

“Pagi sampe sore dia kuliah, malamnya dia kerja untuk biaya hidup kami juga biar gue bisa ngelanjutin sekolah. Bang Ajun sering marah-marah dan melampiaskan ke gue, gue tau itu karena dia capek. Gue tau hatinya sebenarnya ga sekuat itu.”

Sasa menjeda sedikit ceritanya, gadis itu menghapus jejak airmata di pipinya sembari mengingat kenangan menyakitkan itu.

“Saat itu bang Yedam datang. Dia adalah sahabat yang udah dianggap kaya sodara sama bang Ajun. Dia bujuk papanya biar gue sama bang Ajun dikasih tempat tinggal yang layak untuk sementara. Papa bang Yedam ngasih bang Ajun kerjaan. Sampe sekarang hidup kami bisa begini, semua atas bantuan bang Yedam. Dia juga yang marahin bang Ajun kalau kedapatan bentak gue.”

Jeongwoo sekarang mengerti kenapa Ajun sangat menyayangi Sasa dan selalu bersikap lembut dengannya.

“Dia baik banget Woo. Baiiik bangeet.”

Jeongwoo mengusap rambut Sasa. “Sekarang gue tau alasan lo bisa se chaos itu waktu Yedam kecelakaan.” gumam Jeongwoo

Sasa masih terisak kecil. Jeongwoo mendekatkan dirinya ke Sasa sembari berbisik. “Sa, udahan nangisnya malu diliatin orang.”

“Ah lo maah.” Sasa menepuk lengan Jeongwo lalu cepat-cepat menghapus air matanya. Gadis itu malu.

“Ya kan gue bener.” Ucap Jeongwoo tertawa kecil.

“Tau ah, gue ngambek.”

Ngegemesin banget sih.

“Jadi gamau pulang naik Ilham nih? Mau pulang sama ojol aja?”

“Lo ngancem nih?yaudah gue telpon bang Ajun. “

Sasa mengeluarkan hapenya dari dalam tas.

Jeongwoo langsung merebut Hpnya.

” Gue becanda sa hahaha. Senyum dong.”

Sasa masih cemberut. Dia kemudian berdiri.

“Bang bungkus kerak telor nya 10.”

Jeongwoo terkejut dan ikutan berdiri. “Banyak banget Saa.”

“Hukuman buat lo. Pokoknya harus dihabisin malam ini. Kalau ga besok gue gamau ngomong sama lo.”

Mata Jeongwoo terbelalak. Hukumannya apa ga ada yang lebih ngegemesin gitu Sa?

Jeongwoo mempersiapkan hati dan jasmaninya sebelum pergi ke rumah sakit. Berdoa semoga dia gak ngegalau disana.

Kebetulan dia tahu ruangan yedam dari Jinni, Jinni bilang kalau Sasa selalu nunggu didepan ruangan Yedam. Dia gak berani masuk sama sekali.

Baru sampai di lantai 5, Jeongwoo berpapasan dengan seorang dokter bertubuh jangkung dan punya gummy smile yang membuatnya terlihat imut. Sekilas, Jeongwoo pernah melihat dokter ini. Tapi dia lupa dimana. Entah keberanian darimana Jeongwoo langsung menyapa.

“Bang Ajun kan ya?” Tanya Jeongwoo hati-hati.

Lelaki itu berhenti sesaat dan berbalik menghadap Jeongwoo.

“Iya, dengan siapa?”

Jeongwoo tersenyum senang. Tebakannya tidak salah.

“Jeongwoo bang, temennya Sasa.”

“Oh jadi lo yang namanya Jeongwoo, Sasa sering cerita. ” ungkapnya tersenyum lebar

Nah kan, telinga Jeongwoo melambung ke angkasa saat ini.

“Wah cerita baik atau buruk nih bang, hehehe.”

“Variasi sih, tapi banyak annoying nya.”

Mata Jeongwoo terbelalak.

“Hahaha becanda, Sasa sering cerita lu suka banget bercanda sama dia.”

Kini Jeongwoo menghela nafas. “Kirain bang. Udah ga baik nama gue sebagai calon adik ipar.” Gumam Jeongwoo.

“Gimana?”

“Eh ga bang, Sasa dimana sekarang bang?”

“Lagi nunggu Yedam siuman didepan ruangannya. Coba bujuk makan deh, terakhir dia makan bubur tapi cuma 3 sendok.”

“Bang yedam itu, emang separah itu ya bang kecelakaan nya?”

Raut wajah Ajun berubah menjadi murung. Dan Jeongwoo tau ini bukan kabar baik.

“Masa kritis nya udah lewat. Tapi sekarang Yedam dalam keadaan koma. Gue gabisa berharap banyak. Yang kita butuhin sekarang adalah Doa Woo.”

Jeongwoo mengangguk-angguk prihatin. Kalau dia berada di posisi Sasa pasti dia terpukul.

“Gue duluan yah, ada pasien di IGD. Tolong ya Woo bujuk Sasa. Gue percaya sama lo.” Ujarnya sambil menepuk pundak Jeongwoo

Dokter ganteng itu kemudian menghilang dibalik pintu lift.

Jeongwoo berhenti tepat 500 meter dari bangku pengunjung. Disana, dia melihat Sasa terdiam. Tatapannya kosong melihat kearah kamar Yedam. Melihat Sasa seperti itu membuat hati Jeongwoo sakit, entah mengapa.

Dia mulai berjalan mendekati Sasa dan duduk disebelah nya. Sasa yang baru menyadari figur Jeongwoo disebelah nya melirik sebentar, namun kembali menatap kamar Yedam.

“Sa, ini gue. Jeongwoo.” Ucapnya.

Sasa masih diam, tidak menggubris. Jeongwoo menghela nafas. Keduanya diam untuk beberapa saat.

“Sa gue mau cerita deh.” Pancing Jeongwoo setelah beberapa menit dalam keheningan.

“Dulu pas SD, gue seneng banget naik sepeda bareng Ruto. Gue selalu dibonceng sama Ruto kemanapun kita pergi. Waktu itu badan gue kecil banget, kurus, sampe kalau ada angin kencang nih, bisa jadi gue diterbangin angin.”

Jeongwoo menjeda ceritanya sesaat.

“Suatu hari Ruto ngajak gue ke taman, katanya ada mainan baru disana. Gue, seperti biasa dibonceng lagi sama Ruto. Kita nyanyi kesenengan di atas sepeda. Sampe Ruto ga nyadar kalau ada batu besar didepan kita. Jadi sepedanya nabrak batu itu.”

Masih belum ada respon.

“Ruto gapapa, dia cuma jatuh lecet gitu dibagian kaki sama sikunya. Nah gue yang parah, karena gue kecil, tubuh gue mental dan mendarat di aspal dengan posisi wajah duluan yang jatuh. Hidung gue patah.”

“Ruto nangis-nangis minta tolong. Beruntung itu dekat komplek rumah kita. Jadinya satpam komplek langsung hubungin mama dan papa. Gue diantar ke rumah sakit. Ruto masih nangis-nangis histeris, mama papa panik. Bang Ji apalagi. Pokoknya chaos banget waktu itu.”

Sasa masih belum memberi respon, tapi Jeongwoo yakin Sasa mendengarkan ceritanya.

“Gue gainget apa apa selain pusing, sama ngilu di hidung gue. Darah banyak banget, mana gue pake kaos putih waktu itu.”

“Pas gue sadar, Ruto jadi berubah. Dia jadi ngejauhin gue. Wajahnya lebih kurus dari yang gue lihat sebelum operasi. Kata mama dia merasa bersalah banget sama gue, dia nyalahin dirinya terus terusan. Dia gamau makan. Tiap hari kerjaannya nangisin gue.”

Kini Sasa melihat ke arah Jeongwoo, namun gadis itu masih hening tak ingin memotong ceritanya.

“Lo tau ga sih Sa apa yang gue rasain pas gue sadar? Pertama, gue bahagia karena masih dikasih kesempatan hidup. Tapi, setelah liat Ruto jadi berubah gara-gara gue, gue jadi nyesel bangun.”

“Lo tau ga sih, kalau lo ga bangun malah bikin Ruto makin stres?” Kali ini Sasa merespon.

Jeongwoo mengangguk. “Tapi, bukan perubahan itu yang gue harapkan. Gue pengin ketika gue bangun dia langsung meluk gue dengan bahagia. Bukan ngejauhin gue. Gue nyesel karena gara-gara gue Ruto jadi gak makan, dia ga tidur, dia nangis gak berenti-berenti. Gue akhirnya malah nyalahin diri gue sendiri.”

Sasa kembali terdiam.

“Lo ngerti kan sa maksud gue cerita begini?”

“Yedam gak bakalan senang liat lo nangisin dia tiap hari, liat lo ga makan. Bayangin kalau dia bangun dan liat lo kaya gini, dia makin nyalahin dirinya sendiri. Dia ga bakal senang Sa.”

Jeongwoo merengkuh jemari kecil Sasa. Lalu mengaitkan jemari mereka.

“Lo harus makan, lo harus punya energi. Biar kalau kapanpun Yedam bangun, lo bisa nyambut dia dengan tangis bahagia lo. Itu bakal bikin Yedam ngerasa kalau dia benar-benar dibutuhkan untuk kembali.”

Tes.. setetes air mata kembali jatuh, namun kali ini dibarengi dengan tetes lainnya. Sasa terisak kembali di hadapan Jeongwoo. Lelaki itu dengan sigap merangkul Sasa kedalaman pelukannya. Menepuk-nepuk punggung Sasa agar gadis itu menangis dengan nyaman.

Sakit, tapi ga berdarah