write.as/jeongwooniverse/

—Konflik Pertama

Dekor buat acara lomba fashion show besok udah jadi. Gue menghela nafas lelah. Bersyukur banget tadi kak Yoga dateng, soalnya dia yang bisa gue minta tolongin buat letakin ornamen-ornamen yang tinggi.

Tapi anehnya, dari tadi gue nge dekor nih, penanggung jawab lomba fashion show besok a.k.a kak Yena gak hadir sama sekali.

Maksud gue, ini tuh acara dia kan? Kok gak hadir untuk liat-liat gitu tempat acara nya? Atau mungkin dia bisa ngasih saran gitu mau yang gimana.

Gue sengaja milih dekorasi dengan tema pink pastel sama putih gading. Menurut gue lebih menggambarkan suasana feminin aja gitu.

Dari awal sampe akhir, semuanya masuk campur tangan gue. Sejujurnya disini kekurangan orang, tapi gue gak enak minta bantuan yang lain soalnya lagi pada sibuk.

Ada beberapa lomba yang lagi dilaksanain hari ini dan gue udah liat gimana temen-temen pantia kocar kacir dari pagi.

Gue duduk sebentar, menghela nafas sambil minum air. Perut gue keroncongan banget belum makan. Mana tadi gue kena marah sama Bu Citra karena ngumpul tugas telat.

Sumpah, gue capek fisik dan batin hari ini.

“Gini doang dekorasinya?” sebuah suara mengalihkan atensi gue yang lagi beres-beres.

“Lo pj dekorasi?” cewek itu datang ke arah gue sambil nunjuk-nunjuk.

Tanpa perkenalan diri, kayanya gue udah bisa nebak kalau orang yang berdiri dihadapan gue ini adalah Kak Yena.

“Iya kak, saya Nayra.” jawab gue kalem.

“Kok bisa sih jadi pj dekorasi? Lo gak liat dekorasi lo norak gini!?”

Suara dia mulai meninggi, beberapa orang di tempat ini mulai diam dan ngeliat ke arah gue semuanya. Kak Yena keliatan marah banget.

“MANA KEENAN? PANGGIL KEENAN KESINI,”

“Bisa ngomong baik-baik gak?!” tiba-tiba Kak ji dateng dengan muka yang gak kalah serem.

“Gue gaada urusan sama lo ya! Panggil Keenan kesini sekarang!!!”

Gue ngerasa tangan gue digenggam sama kak ji, dia kemudian membawa gue ke belakang tubuhnya.

Gak lama setelah itu, kak Keenan dateng dan langsung lihat ke arah gue. Raut wajahnya bener-bener merasa bersalah. Gue juga gabisa ngapa-ngapain.

Jujur gue shock banget tiba-tiba didatengin sampe di bentak-bentak gini didepan umum. Gue malu banget.

Belum lagi gue kelewatan makan siang, sumpah gue capek dan laper banget.

“Lo lain kali kalau milih panitia yang becus dong Nan! Liat nih! Acara gue terancam gagal gara-gara dekorasi norak begini!”

Gue nunduk, nahan malu, nahan tangis biar gak dikira lemah. Gue gak berani liat wajah kak Keenan.

“Bagus kok, mata lo aja kali ketutup belekan,” itu suara kak Devano. Gue gak tau kapan orang itu datang, yang pasti gue gak berani ngeliat sekeliling sangking malunya.

“Kalian apa-apaan? Kok pada ngebelain dia? Gue disini penanggung jawab! Gue berhak marah kalau gue gak puas dengan hasil kerja panitia gak becus kaya gini!”

Gue merasa tangan gue makin digenggam erat sama Kak Ji. Dia gak ngomong apa-apa, tapi hawa nya serem banget.

“Dibandingkan sama anak baru ini, lo lebih gak becus jadi penanggung jawab!”

Gue terkejut sesaat, itu suara kak Keenan. Kak Keenan gak ngomong pake suara tinggi, tapi ucapannya terasa tegas dan dalam. Mungkin, ini yang disebut sebagai aura. Sekali lagi, gue gak berani angkat kepala untuk melihat pertikaian yang terjadi. Mata gue masih tertuju ke sepatu gue sendiri.

“Dari awal kita udah sepakat kalau lomba ini gak bakal masuk daftar lomba di univest, tapi tiba-tiba H-2 lo marah-marah ke bawahan gue sambil bilang kalau peserta yang daftar hampir 100 orang, lo bahkan gak konfirmasi ke gue langsung sebagai ketua acara! Apa menurut lo gue cuma robot rektorat yang dipekerjakan tanpa digaji? Iya?!”

Kak Yena terdiam. Semua orang terdiam. Sumpah, gue berani sumpah kalau Kak Keenan ngomong gak pake oktaf yang tinggi tapi ucapannya terdengar menyeramkan.

“Lo pikir dengan jadi anak rektor lo bisa berlaku seenaknya Na? Kalau gue mau, gue bisa kerahin anak buah gue buat nurunin jabatan bapak lo saat ini juga!” sambung kak Keenan lagi.

Gue bisa ngerasain amarah dalam omongannya. Mungkin kak Keenan tipe orang yang keliatan humble dan friendly, tapi dia bakal terusik kalau kerjaannya diganggu. Dia bakal marah kalau ada orang yang gak menghargai kerja dirinya dan orang-orang nya.

Bener kata orang-orang, kalau jadi orangnya kak Keenan. Kita bakal dibela habis-habisan. Kita bakal dianggap setara dan diajak sama-sama ke puncak paling tinggi. Dia bukan tipe pemimpin yang sombong dan angkuh, dia lebih cocok disebut bijaksana dan tegas.

Sekarang gue tau alasan dia dijadiin ketua panitia dan merangkap ketua acara. Sekali lagi, gue kagum sama personality kak Keenan.

“Gue udah ngerepotin Nayra selama 2 harian ini. Dia bahkan ngerjain desain panggung sampe gak tidur. Gue udah coba toleransi sikap lo selama ini Na. Kalau lo gak suka sama hasil kerja orang-orang gue. Cari aja orang yang menurut lo lebih kompeten, atau lebih baik kerjain semuanya sendiri!”

“Keenan, lo–”

“Mulai hari ini, lomba fashion show dikecualikan dari kegiatan univest! Panitia univest gak punya tanggung jawab apapun terhadap jalannya lomba ini!”

Setelah ngomong begitu, kak Keenan langsung pergi ninggalin tempat acara disusul sama panitia yang lain.

Gue ngerasa tangan gue ditarik sama kak Ji. Tanpa membantah gue ikut, masih dengan kepala menunduk. Gue bahkan gak berani angkat kepala untuk melihat ekspresi kak Yena saat ini.

— Your Girlfriend Gita Gheandra

People Come and Go

Begitulah semboyan yang biasanya dipakai orang-orang ketika mereka tiba di bandara.

Bandara seolah memiliki dua peran yang bertolak belakang. Mengantar kepergian seseorang dengan airmata, atau menerima kepulangan seseorang dengan senyum bahagia.

Dan disinilah Agib berdiri saat ini, bersamaan dengan sebuah koper besar berwarna biru yang berdiri tegak disebelahnya ditemani oleh keluarga kecilnya.

Netra itu berulangkali menatap ke arah pintu masuk, berharap sosok yang sangat ingin ia jumpai saat ini datang dan mengantarkan kepergiannya. Tetapi nyatanya, sosok itu tak kunjung datang.

Matanya kembali menjadi sayu. Rasanya berat untuk beranjak, meski hanya selangkah. Bagaimanapun raga Agib belum siap meninggalkan tanah kelahirannya.

“Oma minta maaf Agib,” itu suara Oma yang sedari tadi juga terlihat khawatir.

Raut wajahnya tampak cemas dan tidak rela sang cucu kesayangan harus pergi meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama.

“Oma restui kamu menikah sama pacarmu itu, asalkan kamu tetap berada disamping oma,” wanita itu kini berujar parau.

Agib menarik bibirnya, “kalau tau dengan cara ini bisa bikin oma restuin Agib sama Gita, harusnya dari dulu Agib kabur dari rumah yang jauh, biar oma berubah pikiran,”

Oma menghapus jejak airmatanya, “sekarang belum terlambat kan? Yang penting Agib jangan pergi, tolong tetap disini sama oma,” pinta wanita itu.

Agib memeluk sang oma dengan sayang, lelaki itu mengusap punggung omanya dengan lembut.

“Sekarang beda cerita oma. Agib pergi untuk mimpi Agib oma, bahkan alasan bersama Gita aja gak bakal cukup untuk membuat Agib tetap tinggal,” jelas Agib.

Oma terdiam, ada penyesalan yang merayap dalam hatinya. Namun penyesalan itu harus ia telan bersamaan dengan kenyataan pahit bahwa cucu kesayangannya harus pergi meninggalkan dirinya untuk waktu yang begitu lama.

Agib dan keputusannya adalah hal mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Lelaki itu berprinsip dan punya pendirian yang teguh. Oleh karenanya ia tidak mudah goyang dengan bujukan-bujukan yang meminta dirinya untuk menetap.

Seperti yang diucapkannya, Bahkan Gita Gheandra pun tidak cukup untuk menjadi alasan agar lelaki itu tetap tinggal. Meskipun kini ia harus pergi tanpa melihat wajah wanita yang ia sayangi untuk kali terakhir.

Boarding Announcement telah menggema memenuhi lounge bandara menandakan waktu keberangkatan Agib semakin dekat.

Lagi-lagi, lelaki itu melihat ke arah pintu masuk. Berharap wanita yang ia tunggu sejak tadi muncul. Namun tetap nihil, tak ada tanda-tanda mantan kekasihnya hadir disini. Agib menghela nafas.

Mungkin memang benar, pada akhirnya perpisahan seperti ini adalah perpisahan yang terbaik bagi keduanya. Agar mereka bisa saling melepas dengan ikhlas.

Setelah berpamitan dengan mama, mbak Rena, Mas Danny, Oma dan Rahayu, Agib berbalik beranjak menuju gerbang keberangkatan dengan lesu.

Lelaki itu berjalan gontai, netranya menatap sekitar dengan sayu. Ah, sangat berat rasanya melangkah ketika ia belum bisa berpamitan langsung dengan kekasihnya.

hingga kemudian—

“CE IIN KITA HAMPIR TELAT!”

Langkah Agib langsung terhenti. Suara familiar itu membuat tubuhnya membeku. Lelaki itu langsung berbalik.

“Gita?” matanya membulat, lelaki itu terkejut setengah mati.

Bukan hanya karena kehadiran Gita yang membuat Agib terkejut, tetapi kenyataan bahwa gadis itu juga membawa koper yang sama besarnya dengan koper Agib disisinya.

Gita tersenyum lebar, “hai mantan,” sapanya jenaka.

“K–kamu ngapain?” Agib terbata karena tidak paham situasi yang dihadapinya saat ini.

“Menurut kamu? Ini bandara, terus aku bawa koper, menurut kamu aku mau ngapain? Jualan kolak dingin?” jawab gadis itu asal.

Agib menahan tawanya.

“Serius Git, kamu mau pergi juga? Kemana?”

“Ce IIn coba kasih liat mantan saya yang satu ini, kenapa dan tujuannya apa kita disini,”

Wanita yang dipanggil Ce IIn itu kemudian menampakkan lembaran tiket pesawat ke hadapan Agib.

Lelaki itu membaca dengan seksama hingga sebuah kalimat membuat bola matanya membulat sempurna.

From: Jakarta. To: Berlin.

Agib menatap Gita dengan wajah terkejut. Sementara gadis itu menikmati keterkejutan Agib dengan cengiran.

“Kamu, ikut aku ke jerman?”

Gita menarik bibir, “aku gak maksud mau ngintilin kamu ya, sebenarnya tuh aku ada project gede dan udah ditawarin dari lama buat bikin butik dan kerjasama sama salah satu klien aku di Jerman. Terus kebetulan aja nih ya, kebetulan aku bisa berangkat bareng kamu. Aku gak maksud mau ngawasin kamu loh ya biar ga caper sama bule-bule disana, soalnya aku tuh tujuan utamanya ke sana tu ya buat kerja, bukan ngikutin kamu loh ya, lagian aku gak punya waktu buat galau-galauin kamu disini, kerjaan aku tuh banyak, aku beneran—”

Ucapan Gita terhenti saat merasakan tubuhnya didekap kuat oleh Agib.

Rasanya masih hangat.

“Gak papa Git, gak papa kalau kamu mau ngintilin aku 24 jam penuh. Aku siap di mata-matain sama kamu. Aku mau kok diawasin biar gak caper ke bule bule yang ada disana. Aku mau Git, asalkan itu kamu aku mau,” lelaki itu tersenyum penuh haru, ia mendekap Gita dengan kuat.

Gita tersenyum lembut, gadis itu membalas dekapan Agib sama eratnya.

“Glad to Hear That.”

Boarding Announcement kembali menggema, kali ini mereka harus benar-benar pergi.

Agib menggenggam tangan Gita erat, seolah tak ingin melepaskan tangan itu untuk kedua kalinya. Mereka berjalan bersama ke gerbang masuk dengan senyum bahagia.

“Aku pikir kamu gak bakalan datang karena lagi sibuk nangis, ternyata yang terjadi malah hal yang sama sekali gak aku pikirin. Lucu banget, pacar siapa sih?” Agib mencubit hidung Gita gemas.

“As i said, aku gak punya waktu buat galauin kamu terus, kerjaan aku banyak. Gaada kamu di sisi aku bakal bikin semua kerjaan aku berantakan. So I'm looking for another way to be with you, and here i am. Your Girlfriend, Gita Gheandra,”

“or should i say “your ex girlfriend?”

Agib menggeleng.

“Yang bener tuh, your future wife Gita Gheandra,”

“Dih, Apaan sih! Cringe bangettt!”

Agib tertawa lepas. Ia mengacak rambut Gita lalu mencium puncak kepalanya dengan sayang. Lelaki itu kemudian mengenggam jemari gadis itu dengan erat. Keduanya tersenyum bahagia. Bersiap untuk mengukir kisah baru mereka dibawah langit biru kota Berlin.

Maybe He fell first, but she fell harder.

The End.

©️adorabeel_

Karaokean

Davian, Abdul dan Sam sudah bersiap berdiri didepan sebuah layar LCD 21 inci. Masing-masing dari mereka telah menggenggam satu mikrofon kabel. Sementara itu, Jenudin duduk di atas sofa melihat ketiga saudara nya yang tengah sibuk melihat-lihat pilihan lagu.

“Jeje jangan ikut dulu ya, kan giginya belum sembuh.” ujar Davian perhatian.

Jenudin mengangguk patuh. Ia juga tidak banyak berbicara sedari tadi.

“Lagu apalah judulnya? Lupa aku di pesantren sering temenku nyanyi²,” ujar Sam berpikir.

“Lagu yang bisa dinyanyiin sama semua dong,” sambung Abdul.

Davian kembali mengotak-atik remot untuk melihat-lihat daftar lagu.

“OH AKU INGAT!” tiba-tiba Sam berteriak.

“Pengang kuping gue!” kesal Abdul karena suara Sam yang sangat nyaring.

“Ini bang Dapi, judul nya Galih dan Fatma,”

Davian mengkerutkan keningnya, “hah? Ada lagu Galih dan Fatma?”

“Adaaa! Cobak abang ingat-ingat dulu. Itu anak kelas aku tiap hari nyanyi lah lagu itu,”

“Coba, gimana liriknya seingat lu?” tanya Abdul.

Sam mulai berpikir, keningnya mengerut berusaha mengingat lagu.

“Galih dan Fatma mengikat janji, janji setia, wohooo ayeaahh— Awwwww! Bang kok pukol-pukol aku???”,

Nyanyian Sam terhenti karena seseorang melemparkan bantal ke arah mukanya.

“Gigi gue ngilu denger lu nyanyi ga jelas,” ternyata pelakunya adalah Jenudin.

“Ah kau iri pasti pengen nyanyi juga kan bang,” ledek Sam.

Baru saja Jenudin ingin melempar bantal lagi ke arah Sam, tapi bocah itu langsung menjewer kupingnya sendiri.

“Ampunn becandaaa,”

“Udah-udahh, ribut mulu elah,” Abdul menengahi.

“Maksud Sam teh, Galih dan Ratna ya? Hahahaha Fatma teh saha?”

“Eh bukan Galih dan Fatma bang? Oh kayaknya si Fatma itu udah jadi mantannya,” ucap Sam asal.

“Lagu ini aja, Senyum semangat nya Smash.” saran Davian.

“Tau aku tu bang, nanti Sam yang bagian nyanyi ya bang,” jawab Sam semangat.

“Emangnya lo bisa?” tanya Abdul meragukan.

“Kau sepele kali lah sama aku. Gak tau kau, aku dulu pernah ikut audisi idola cilik?”

“Pasti gak menang,”

“Sembarangan bang Abdul,”

“Emangnya teh menang Sam?” tanya Davian penasaran.

“Enggak sih, jurinya bilang aku ganteng kali cocoknya jadi model,”

“Model majalah bobo?“sahut Jenudin.

“Jahat kali kelen sama aku, nanti aku nangis aku ngadu sama bapak aku biar diterbangin kalian ke sungai nil,”

Davian tertawa kalem. Baru kali ini studio nya terasa sangat ramai. Lelaki itu terlihat senang.

“Udah udah, ayo kita pilih lagu lagi,”

Akhirnya lagu senyum semangat pun dipilih oleh mereka. Abdul mengajukan diri untuk menyanyikan bagian Rapp. Sementara Sam dan Davian menyanyi.

Sam kemudian menyarankan agar tidak menampilkan lirik lagu. Ia ingin menikmati dance sembari ikut menari juga.

Davian pun mulai bernyanyi,

“Sempet ngerasa sedih~ karena sering dibully~ “ lantun Davian dengan suaranya yang merdu.

“Pernah jadinya malu~ Karena sering di bully~” lanjut Sam.

“Bukannya ku tak mendengar~”

“Karena sering di bully~”

“Stop dulu stop.” Abdul menjeda.

“Lo gatau lirik ya Sam?”

“Eh taulah. Kek gitu emang liriknya,”

“Ngarang.”

“Salah aja aku. Aku lagi kenak salah,” Sam akhirnya merajuk.

“Yah, ngambek, yaudah ayo ulang lagi.”

“Gak mau aku lagu tu, aku juga kena bully sama kelen jadinya.”

Davian tertawa, “yaudah Sam maunya gimana?”

“Coba bang Abdul nge rapp bisa gak? Dari tadi asik sepelein aku aja, coba kau coba. Awas kalo gak bagos,” Sam mengerucutkan bibirnya lucu.

“Siapa takut!” jawab Abdul jumawa.

Kemudian lagu dihidupkan kembali oleh Davian dan dipercepat ke bagian rapp.

“Yeah yeah~ tak perduli ku di bully omongan lo gue beli. Cacian lo gue cuci dengan sabun ekonomi. Tak pernah ku malu karena kupake baju, kujadikan motivasi untuk halu—”

“Kau juga salah lirik woooo,” potong Sam sambil menjulurkan lidah.

Abdul membalas menjulurkan lidah.

Sementara Davian dan Jenudin tertawa.

“Udah woy udah, berantem mulu. Gue sumpal bantal kalau ribut lagi,”

Sam akhirnya menjatuhkan dirinya diatas sofa. Bocah itu menyilangkan kedua tangannya didada sambil merengut. Alisnya bertaut menandakan dia sangat kesal.

“Aku gak mau nyanyi lagi,” ujarnya sebal.

“Yaudah, gausah ikut,” balas Abdul mengejek.

Sementara itu Davian dan Jenudin menghela nafas.

Si Dul mencari Si Sam

Abdul berjalan mengitari kawasan sekitaran rumah sakit. Hasilnya Nihil, Sam belum ditemukan.

Lelaki itu mulai sedikit panik. Takut si Sam hilang.

Lama lelaki itu menyusuri pinggiran jalan, mengitari kios-kios kecil di pinggir trotoar, lalu sampai di ujung sebuah pasar.

Sam masih belum diemukan.

Lelaki itu mengambil ponselnya dan mengubungin nomor Sam. Lalu operator telepon menjawab bahwa nomor tersebut berada diluar jangkauan.

Tiba-tiba pandangan Abdul teralihkan ke ujung pasar. Ada banyak orang berkumpul disana.

Deg.

Jantungnya semakin berdebar. Bukan jatuh cinta, Abdul sedang takut kepalang mengingat Sam itu bocah nakal yang sedikit nekat.

Setelah sampai di kerumunan ramai itu, Abdul menghela nafas kesal.

Ternyata itu kerumunan orang yang menonton topeng monyet.

“Loh bang Abdul?” Tiba-tiba sebuah suara dari belakang mengejutkan Abdul.

“Sam?” balas Abdul terkejut.

“Bang Abdul ngapain disini? Bang Jenudin ditinggal sendiri? Nanti kalo dia lompat dari ranjang rumah sakit gegara ada kecoa gimana bang? Kalo dia nangis tiba-tiba gara-gara giginya sakit gimana bang?” tanya Sam lagi.

Abdul menoyor kepala bocah nakal itu.

“Lo yang kalo ilang nanti gimana? Gue takut banget dimarahin sama tante Kirin,”

“Kok pukol pukol pala aku pulak abang ni? Kalo aku bodoh mau tanggong jawab?”

Abdul langsung menarik tangan Sam, “ayo balik, udah mau maghrib,”

“Bentar dulu bang, ini topeng monyetnya belom juga kelar, abang gatau aku rindu kali sama si ompong,”

Abdul menghela nafas jengah.

“Si ompong udah sampe ke rumah, lo gatau?”

Mata Sam membulat, “yang betol kau bang?” Bocah itu terlihat antusias.

Abdul mengangguk, “makanya ayo balik, Jeje besok juga udah boleh balik katanya,”

“Bang, abang balek lah teros ke sana ya. Aku ni mau beli makanan si ompong dulu. Tenang aku gak bakal hilang, tau nya aku jalan balek ke rumah putih tu,”

“Hah? Rumah putih yang mana?” Abdul terheran-heran.

“Rumah sakitnya warna apa?”

“Putih,”

“Naahh itu lah maksud aku,”

“Udah ayo balik, besok aja beli makanan nya,”

Sam menolak lagi, adegan tarik menarik pun terjadi.

“Gak bisa bang, aku gak tega si ompong kelaparan. Gak papa kalau aku yang kelaparan asalkan si ompong jangan, sedih hati aku bang. Gak tau kau kalau aku sayang kali sama si ompong,” Sam mulai berdrama.

Abdul merotasi bola matanya. Pantas saja tante Kirin selalu menabok pantat bocah nakal ini. Ternyata ini alasannya.

“Yaudah, ayo beli biar gue temenin,”

Sam tiba-tiba tersenyum jahil.

“Takot pulak nanti aku dikira bawa si ompong versi 2.0,”

Alis Abdul mengerut, “lo ngatain gue mirip monyet?”

Sam terbahak, “HAHAHAHA sedikit mirip,”

“BANG TOPENG MONYET, INI ADA PEGAWAI BARU MAU JOIN. DIA BISA JOGET INUL DARATISTA!” teriak Sam kearah si abang yang memandu topeng monyet.

Semua mata tertuju pada Abdul.

Sam langsung berlari terbirit-birit meninggalkan Abdul yang menjadi pusat perhatian.

Sialan, baru kali ini dia dikerjain balik sama bocil

Agib berjalan lunglai menuju rumahnya. Wajahnya membengkak setelah melampiaskan tangis yang begitu menyakitkan didalam mobilnya sebelum beranjak dari apartemen Gita.

Lelaki itu bahkan tidak menyangka bahwa hari ini, tepat setelah 6 bulan ia menjalani hubungan dengan Gita Gheandra, semuanya kandas begitu saja.

Agib menarik nafas. Dadanya masih tercekat, semuanya seolah seperti mimpi buruk yang datang bertubi-tubi.

“Sudah pulang Gib?” tanya sebuah suara menghentikan langkahnya menaiki anak tangga.

Agib berbalik, melihat figur omanya yang tengah duduk di ruang keluarga.

Lelaki itu berjalan ke arah oma nya yang terlihat tenang, bahkan setelah bersitegang dengan kekasihnya beberapa jam yang lalu. Koreksi, mantan kekasih.

“Kamu habis nangis nak?” tanya sang oma lembut sembari mengusap wajah Agib yang membengkak.

Agib menatap omanya datar. Tak ada ekspresi berarti yang ia tampakkan. Matanya terlihat sayu, lelaki itu terlihat lelah fisik dan batin.

“Aku dan Gita udah putus,” paparnya dengan suara lemah.

“Apa??” kali ini sang mama yang baru saja keluar dari kamar terkejut.

Mama Agib berjalan cepat menuju sang putra. Sementara itu di sisi lain, Rahayu mendengar percakapan mereka diam-diam.

“Dek, kamu gak serius kan?” tanya sang mama memastikan.

Wajah Agib terlihat sangat kuyu, lelaki itu benar-benar lelah.

“Aku putus sama Gita,” ulangnya lagi.

“Terus, kamu mau bilang ini gara-gara oma? Padahal—”

“Iya. Ini gara-gara oma. Aku gak mau lihat Gita di maki-maki terus dengan oma. Dia wanita baik-baik dan gak pantas diperlakukan sebagai wanita rendahan di mata oma,” balas Agib tajam.

“AGIB!” nada bicara oma mulai meninggi.

“Oma gak perlu khawatir, kami juga gak akan balikan lagi. Karena aku bakal pergi jauh dari sini,”

Agib menatap sang mama dengan lembut, “Ma, Agib belum bilang ya? Agib bakal ngelanjutin studi ke Jerman untuk waktu yang lama. Mama baik-baik dirumah ya,” lelaki itu kemudian memeluk mamanya dengan erat.

“Kenapa kamu gak pernah cerita?” tanya sang mama kemudian.

“Aku gamau menjadi beban pikiran semua orang. Agib udah dewasa, udah bisa mengatur semua hal tentang masa depan Agib sendiri. Agib bisa menentukan jalan mana yang harus Agib pilih, termasuk memilih teman hidup,” Agib kembali menatap Omanya dengan tatapan tak suka.

Oma hanya terdiam. Tidak membalas ucapan Agib.

“Agib ke kamar dulu, mau beres-beres,”

Lelaki itu meninggalkan sang oma dan mamanya di ruang tamu. Suasana rumah kini tampak tidak ramah bersamaan dengan Agib yang meninggalkan lantai satu menuju kamarnya.

Tears behind a Smile

Agib berlari kencang saat tiba di depan apartemen Gita. Wajah lelaki itu terlihat sangat khawatir. Berulangkali ia memencet bel, namun tak ada jawaban.

Puluhan panggilan ia lakukan untuk menghubungi Gita. Namun nihil, gadis itu tidak menjawab.

Tidak menyerah, lelaki itu berulang kali memencet bel. Sembari menelpon nomor sang kekasih.

10 menit kemudian, usahanya membuahkan hasil. Gadis itu membuka pintu.

Ketika melihat figur sang kekasih dihadapannya, Agib langsung membawa Gita dalam pelukannya. Ia memeluk gadis itu dengan erat. Mereka tidak berbicara selama satu menit. Hingga kemudian terdengar isakan dari Gita yang membuat Agib semakin mengeratkan pelukannya.

Lelaki itu merasa sangat bersalah. Gadisnya kembali menangis karena dirinya.

“Aku minta maaf,” ujar Agib parau.

Lelaki itu pun tidak bisa menahan airmatanya yang tiba-tiba mengalir tanpa bisa dicegah.

Kedua pasangan itu larut dalam tangisan masing-masing. Seolah airmata telah menceritakan kesedihan keduanya. Kesedihan yang tidak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata.

Airmata itu turun bersama dengan penyesalan yang mengakar dalam benak keduanya. Seolah tahu bahwa setelah ini, ada hal besar yang harus mereka relakan.


Agib dan Gita kini duduk di atas sofa. Mereka masih terdiam tanpa ingin memulai percakapan. Kedua mata pasangan itu membengkak karena menangis.

Bahkan untuk mengucapkan satu kata pun seolah lidah mereka kelu.

Gita menyodorkan segelas air mineral dihadapan Agib, membuat pandangan lelaki itu teralihkan. Gadis itu tersenyum, lalu mengisyaratkan Agib untuk minum agar perasaannya menjadi sedikit lega.

Agib pun menurut. Lelaki itu meneguk cairan bening itu, setelahnya ia menghela nafas kasar. Seolah mencoba membuat perasaannya yang tercekat melega.

“Kamu nangis karena aku lagi,” ujar Agib membuka pembicaraan.

Gita langsung menggeleng, namun tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Secara gak langsung, keberadaan aku udah bikin kamu nangis lagi. Kamu disakiti sama orang terdekat aku karena aku Git,”

Mata Gita mulai berkaca-kaca kembali.

“Dibandingkan dengan aku yang dulu, kedatangan kamu bikin hidup aku banyak berubah Gib. Aku bisa jadi seseorang yang lebih terbuka sekarang, bahkan dengan diri aku sendiri, apa yang terjadi sama kita sekarang itu bukan apa-apa bagi aku, aku udah pernah berada di titik yang lebih rendah dari ini,”

Gita mengambil tangan Agib dengan lembut, lalu menggenggam nya,

“Meeting you, made me realize that i have such a beautiful world to live in. Thankyou for coming to my life Gib, i am the happiest woman in this earth cause i have Arka Gibran Bumi beside me,”

Hati Agib kembali ditusuk begitu dalam. Kenyataannya, ucapan Gita membuat lelaki itu kembali mengingat akan pilihan yang akan dipilih olehnya.

Agib meletakkan tangannya diatas tangan Gita. Mengusap jemari itu lembut.

“Aku sayang kamu Git, tapi sayang aku bikin kamu sakit. Dibandingkan tertawa, aku pikir kedepannya kamu bakal lebih banyak sakit karena aku, dan aku gamau kamu menanggung semuanya sendiri,”

Alis Gita terpaut. Ia tidak mengerti arah pembicaraan Agib saat ini.

“Aku ditawarin untuk melanjutkan studi ke Jerman Git. Dan ini bakal memakan waktu 3 tahun atau lebih,” nafas lelaki itu tercekat.

“Mas. Sebenarnya kamu mau ngomongin apa?”

Agib menutup matanya, bulir bening kembali mengalir di sisi kedua pipinya. Ia menarik nafas kuat. Dadanya sesak, namun ia harus mengucapkan semuanya.

“Akhirnya, aku bakal nyakitin kamu lagi. Tapi aku janji ini yang terakhir Git..”

“Let's break up,” ucap Agib dengan menahan sesak.

Nyatanya hatinya sakit, dadanya tercekat seolah ada batu 100 ton yang menghantam tubuh lelaki itu.

Namun ekspresinya dibuat setenang mungkin, agar Gita tidak ragu dengan jawabannya.

“K—kamu serius ?”

“Git, after all this happen, aku sadar kalau we are not meant to be. Aku minta maaf,”

Air mata Gita mengalir kembali, dadanya terasa ngilu. Ia tak bisa mengungkapkan seberapa hancurnya perasaan dirinya saat ini.

Ia kembali menatap netra milik Agib, berharap ada kebohongan disana. Namun nihil, ia tidak bisa mendeskripsikan perasaan Agib saat ini.

Pada akhirnya, gadis itu tersenyum. Meski airmatanya terus mengalir.

“Fine”. ujarnya lemah. Bibirnya terus dipaksa untuk tersenyum.

“I love You and i let you go,

Agib mengangguk, kemudian mengembangkan senyumnya. Ia membawa Gita kedalam pelukannya, lalu mengecup lembut kepala gadis itu.

“Jangan tunggu aku Git, just go ahead and continue your life as well semoga kamu bertemu dengan orang yang tepat yang selalu bisa ada di samping kamu, aku selalu berharap agar kamu bahagia, i love you Gita Gheandra,

Gita Gheandra

Gita menghentikan kendaraan roda empat miliknya didepan rumah Agib. Gadis itu kemudian melirik ke arah Rahayu disebelahnya.

“Udah nyampe,” ujar gadis itu dengan senyuman mengembang.

Rahayu ikutan tersenyum, “makasih untuk hari ini Gita. Aku senang bisa berteman dengan kamu,”

Gita mengangguk.

Rahayu melepaskan seatbelt miliknya dan bersiap-siap untuk turun. Namun gadis itu terhenti sesaat.

“Gamau singgah dulu? Kamu udah lama kan ga ketemu sama tante bulan?” tawar gadis itu.

Gita menggeleng, “lain kali deh, udah malem banget gaenak,”

“Gapapa, ayo. Biasanya jam segini tante lagi nonton sama mbak Rena,”

“Loh, mbak Rena lagi disini?”

“Iya, kan mbak Rena hamil terus mas Danny lagi ada kerjaan diluar kota, jadi dititip disini,”

Tawaran Rahayu terlihat menarik, mengingat dirinya sudah lama tidak berkunjung. Akhirnya gadis itu pun ikut masuk untuk menyapa tante Bulan dan Mbak Rena sesaat.

Dua gadis muda itu berjalan ke arah pintu sembari bertukar cerita. Mereka terlihat semakin akrab akhir-akhir ini.

Ini semua berkat Gita yang mulai membuka jalan agar keduanya lebih mengenal. Sehingga semua yang terjadi di masa lalu kini hanyalah kenangan yang dianggap sebagai kesalahpahaman oleh Gita.

Pintu dibuka, menampilkan figur seorang wanita lanjut usia yang menunggu dengan raut wajah tidak bersahabat.

Gita menunduk, mencoba memberi salam namun wanita itu terlihat tak acuh.

“Oh jadi ini alasan Rahayu mulai menjadi gadis nakal? Karena bergaul sama kamu ya?” papar wanita tua itu tidak suka.

“Oma..” Rahayu mulai menjelaskan.

“Kamu diam Rahayu, ” oma memotong ucapan gadis itu.

“Karena tidak mendapat restu dari saya, kamu mau mencoba memanfaatkan Rahayu begitu? Mencoba berteman dengan Rahayu biar Rahayu merasa bersalah dan menolak menikah dengan Agib? Begitu? Licik juga ya wanita seperti kamu,”

Gita mengerutkan kening, merasa tidak senang dengan ucapan yang dilontarkan oleh oma.

“Maaf oma, tapi sepertinya oma agak keterlaluan,” sanggah Gita.

“Apanya yang keterlaluan?! Kamu wanita licik yang pintar memanipulasi orang dan keadaan. Kamu tau Rahayu itu gadis baik-baik? Bergaul dengan kamu membuat dia menjadi pulang telat dan tidak betah dirumah, persis wanita nakal seperti kamu,”

“Oma!” kali ini Rahayu tidak tahan untuk tidak berteriak.

“Berani kamu teriak dengan oma!!! Masuk kedalam Rahayu!” Oma semakin menaikkan nada suaranya.

“Git, jangan dengerin oma ya, semua itu gak bener,”

Gita hanya terdiam. Tidak ingin membantah. Bagaimanapun, apapun yang Gita katakan tidak akan mengubah kebencian oma terhadapnya.

“Rahayu masuk kedalam sekarang! Atau kamu oma kurung di paviliun”

Gita memegang tangan Rahayu lembut, “masuk aja Yu, gue gapapa kok,”

“Git—”

“Masuk aja plis, nurut sama Oma,” ujar Gita lembut.

Akhirnya gadis itu masuk kedalam rumah dengan keadaan kesal. Sementara itu, Oma dan Gita kini masih bersitatap.

Oma memandang Gita dengan penuh kebencian.

“Mungkin oma tidak butuh penjelasan dari Gita. Karena sekalinya oma sudah benci, pasti akan terus membenci gita juga,”

“Jauhi cucu saya, kamu tidak pantas untuk dia,”

Gita menghapus airmatanya yang mulai mengalir.

“Oma benci fakta bahwa Gita menjadi wanita yang bekerja diluar rumah. Gita gak tau kenapa, kenapa di mata oma wanita yang bekerja terlihat sangat buruk sehingga oma begitu skeptis dengan Gita. Tapi oma gak pernah tau bahwa gak semua wanita yang bekerja seburuk itu,—”

“Kodrat wanita itu hanya melahirkan dan menyusui oma, selain itu mereka berhak untuk meraih cita-cita mereka setinggi mungkin. Mereka berhak untuk punya karir yang bersinar. Dan untuk Gita sendiri, papa Gita sudah meninggal jauh sebelum Gita bisa mencari uang seperti saat ini. Gita adalah kepala keluarga bagi keluarga kecil Gita. Kalau Gita tidak bekerja, mama Gita, adik Gita gabisa makan bahkan sesuap nasi pun—” wanita itu kini terisak.

Ekspresi oma mulai berubah sedikit lunak. Tepat ketika Gita mengucapkan bahwa ia adalah kepala keluarga bagi keluarga kecilnya.

“Oma boleh menghina Gita serendah apapun. Gita akan terima karena setiap orang punya pandangan dan prinsip masing-masing. Tapi, semua omongan oma tidak akan menghentikan Gita dan karir yang sudah Gita bangun susah payah. Gita tidak selicik itu untuk berpikir bahwa Gita harus berteman dengan Rahayu untuk mencegah gadis itu menikah dengan Agib, sama sekali gak pernah terpikir dalam benak Gita. Gita mencoba merangkul Rahayu, karena Gita tau bahwa Rahayu juga punya impian yang ingin ia gapai, tapi terhalang dengan stereotip-stereotip yang membatasi gadis itu untuk bersinar dengan caranya sendiri.”

Gita menghapus airmatanya yang terlanjur mengalir deras. Tidak ada gunanya berlama-lama disini untuk mendengar hinaan oma bagi dirinya. Gadis itu memutuskan untuk meninggalkan kediaman sang kekasih karena tidak ingin masalah semakin panjang.

“Gita pamit, semoga oma sehat selalu,”

Gadis itu menundukkan kepalanya, lalu berjalan cepat menuju mobilnya.

Tangisnya pecah ketika gadis itu masuk kedalam mobil. Hal yang terlintas dalam benaknya adalah saat ini, ia sangat merindukan pelukan sang ayah di sisinya.

lunch

Semesta kayanya lagi berkonspirasi deh. Gimana ceritanya tiba-tiba si Paula cepirit dan ninggalin gue berdua doang sama kak Ji?

Tiba-tiba sebuah pop up notifikasi muncul di layar kunci hp gue. Itu dari Kak Ji, doi ngabarin kalau dia udah sampe di parkiran.

Gue menuju parkiran tempat dimana mobil Kak Ji di parkir. Mobil HRV hitam itu udah menunggu disana. Gue langsung berlari kecil dan membuka pintu mobil.

Aroma parfum menguar dari dalem mobil. Baunya lumayan kuat, kayanya ini gak disemprot di badan melainkan di semprot satu mobil deh gue rasa. Terus Kak Ji nyengir sambil ngeliatin gue. Doi make headband, baju kaos hitam lengan pendek dan celana training. Oke, gue bisa tebak dia baru selesai nge gym.

Gue ketawa kecil, “Kak ini parfum nya disemprot ke satu mobil gitu?”

Kak Ji terkekeh, “Soalnya gue baru siap ngegym, takut ntar lo ga nyaman,”

“Padahal mah bisa pulang dulu kak,”

“Katanya perut lo laper banget?”

“Nay kayanya gajadi pengen sushi deh kak, Nay mau mekdi aja.”

Mata Kak Ji membola, lucu banget.

“Bukan gara-gara lo malu gue begini kan Nay? Maaf banget, tadinya gue mau bersih-bersih dulu tapi katanya lo laper banget—”

“Wooow, ini omongan Kak Ji yang paling panjang yang pernah Nay denger,” potong gue.

Kak Ji diam. Dia tiba-tiba senyum dan mulai menstarter mobilnya.

“Jadinya mekdi aja?” tanya dia memastikan lagi.

Gue mengangguk yakin, “drive thru aja kak,” kasian dong dianya lagi begini masa gue maksain makan ditempat.

Kak Ji akhirnya mengangguk.

Aroma parfum yang kuat tadi perlahan memudar. Tapi jujur wangi banget sih, gue suka harumnya.

“Nay, boleh minta tolong?” tanya Kak Ji tiba-tiba.

Gue yang hampir setengah melamun terkejut, “iya kak?”

Kak Ji nyerahin ponselnya ke gue, gue nerima dengan wajah bingung. Ni orang kenapa selalu tiba-tiba dan gaada konteks gitu sih?

“Minta tolong sambungin spotify nya,”

Mulut gue ber “oh”, akhirnya gue paham maksud ni orang.

“Kak ini passwordnya?”

“boncel123.”

Gue terkikik seketika. Kok pake nama gue sih? Woy ini orang bener-bener ga ketebak.

“Kak tau darimana Nay dipanggil boncel?”

Kak Ji ngelirik gue sekilas, tapi doi ga langsung jawab. Dia senyum dulu sambil narik tuas mobil.

Perasaan gue, ni orang hari ini senyum mulu dari tadi.

“Boncel nama anjing gue Nay,” jawab Kak Ji kalem, tapi senyumnya ga pudar.

“Eh...”

MAMPUUUSSSS

MAMPUS KATA GUE MAMPUS.

Buru-buru gue langsung menyambungkan spotify dan memutar lagu Enchanted dari Taylor Swift tanpa melihat kiri kanan, bahkan tanpa minta persetujuan dari Kak Ji. Gue udah kagok banget. Tau banget nih muka kak Ji udah nahan ngakak gara-gara opini geer gue barusan.

Gue langsung duduk tegap, pura-pura ngikutin alunan lagu yang padahal gue lupa liriknya.

AH GUE MALU BANGET SEBENERNYA.

“I was enchanted to meet you” itu doang yang gue hafal.

Sementara itu Kak Ji masih fokus nyetir. Kayanya gue kebanyakan negative thingking deh, soalnya kak Ji ga ngelanjutin obrolan tadi lagi.

Btw, ini T.M.I paling gapenting tapi gue mau deskripsiin cara nyetir kak Ji yang berdamage parah. Doi nyetir pake satu tangan doang, satu tangan lagi disandarin di jendela.

Jangan dibayangin, ganteng soalnya.

“Mau pesen apa Nay?” lagi-lagi lamunan gue dikejutkan sama kak Ji. Ternyata kita udah sampe di antrian drive thru.

Cheese burger sama ice coffee jelly float aja kak,”

Gue langsung buka dompet dan nyerahin selembar uang seratus ribu. Tapi Kak Ji nolak dengan halus.

“Simpen aja,”

“Loh kok disimpen? Kan harus bayar kak?”

“My treat,”

“Eh jangan dong kak, Nay jadi gaenak. Kan yang kelaparan Nay,”

“Yaudah, kalau ga enak lain kali lo harus traktir gue juga,”

Gue menghela nafas, lalu memasukkan kembali uang kedalam dompet. Ni orang baik banget, gue jadi gaenak deh sebenarnya.

Gak lama setelah itu, pesanan gue dateng dan Kak Ji mulai menjalankan mobilnya kembali.

Gue membuka bungkus Cheese burger, aromanya bener-bener bikin level kelaparan gue meningkat.

“Kak, mau?” tanya gue basa-basi. Dalem hati gue berdoa biar doi menggeleng.

Kak Ji menggeleng. yeay xixixix

“Makan aja Nay, kalau kurang ntar kita beli lagi,”

Dijawab begitu gue jadi berasa lagi jalan sama bokap dah. Emang bocah kek gue tuh harusnya duduk dirumah aja kaga usah nyusahin makhluk bumi lainnya.

Waktu di lampu merah, tiba-tiba Kak Ji mendekat. Gue langsung shock dong, opini geer gue berpikir kalau gue bakal di peluk. Secara Kak Ji deket banget, tapi ternyata doi ngambil sekotak tisu di bangku belakang untuk gue. Katanya mulut gue belepotan.

Sumpah, gue bisa kena serangan jantung kalau lama-lama se mobil sama Kak Ji. Opini geer gue udah gabisa di limitasi.

Skip, akhirnya gue sampe ke kosan.

“Makasih ya kak, udah mau direpotin sama Nay,” ucap gue sebelum turun.

“Sama sama, di repotin setiap hari juga gapapa,” jawab doi kalem.

Gue nyengir sedikit, “yaudah Nay turun ya kak. Thankyou for tumpangan dan traktirannya.”

“Anytime, boncel.”

Mata gue membola, “Kak?”

“Gapapa kan gue manggil lo boncel juga?”

Gue meneguk ludah. Entah kenapa tiba-tiba gue malu dan gugup secara bersamaan.

“Tapi jangan deh, gue tau nama boncel itu imut. Tapi nama Nayra jauh lebih cantik kedengarannya,”

Gue cuma nyengir, gatau harus respon gimana.

Hal selanjutnya yang terjadi adalah gue turun dari HRV hitam itu dan masuk ke kost setelah melambaikan tangan ke Kak Ji.

Jangan tanya gimana rasanya.

Nano nano

“Implan gigi nya udah dipasang dengan baik. Nah selanjutnya tunggu 2 minggu untuk penyembuhan gusi biar mahkota giginya bisa dipasang. Nanti sering-sering konsul sama Farel kalau misalnya ada pendarahan ya Je,” ucap Farel menjelaskan keadaan Jenudin.

Sementara itu Abdul duduk mendengar dengan khidmat. Bahkan setelah Farel meninggalkan ruangan, Abdul tidak banyak berbicara.

“Sakit ya Je?” tanya Abdul basa-basi.

Jenudin mengangguk lemah. Baru kali ini Abdul melihat karibnya sediam ini. Rasanya tidak menyenangkan suasana sepi seperti ini.

Tiba-tiba Sam masuk membawa satu paket es kiko, 2 buah pop ice rasa taro dan air mineral dingin.

Melihat Jenudin yang sudah sadar, Sam langsung menghamburkan tubuhnya memeluk Jenudin.

“Abangggg huhuhu maapkan aku bangg, bang aku minta maap bang ya, hilang gigi kau gara-gara aku ya bang, jangan ambil gigi aku ya bang aku ga punya gigi lain bang. Tadi ku cari di sopi sapa tau dia jual gigi lele. Gak ada bang yang jual gigi lele. Kemana lah ku cari gigi lele biar abang maapin aku, hueee aku minta maap bang Jeje. Jangan kutuk aku jadi naga berbren ya bang, gak sanggop aku tinggal di awan. Nanti jaoh aku dari si ompong aku rindu, gak bisa bang aku LDR sama si ompong. Janji aku bang gak nakal lagi—”

Abdul langsung menepuk punggung Sam.

“Woy woy! Sesak napas Jenudin lo peluk begitu,”

“Gimana bang itu bang Jeje, gaada gigi lele dia,”

“Udah diganti sama Farel, Aman.” Abdul mengacungkan jempol.

Sam kemudian menghela nafas lega. Sementara Jenudin tersenyum melihat Samosir yang merengek seperti bocah. Nyatanya Samosir memang bocah.

Tiba-tiba timbul ide jahil Abdul untuk mengerjai Samosir.

Abdul mendekatkan bibirnya ke telinga Sam, kemudian berbisik.

“Katanya sih, Jeje mau ngadu ke abah Dadang,”

Mata Sam membulat.

“B-bang, jangan.. ” ujarnya memohon.

“Nah makanyaa!!” teriak Abdul tiba-tiba membuat Sam dan Jenudin terkejut secara bersamaan.

“Lo tau ga apa makanan kesukaan Jenudin?”

Samosir menggeleng.

“Jengkol saos keju,”

Sam menganga, “ada makanan begitu bang?”

“Ya ada lah! Hayoloh Jenudin ngidam banget makan jengkol saos keju. Lo harus cari sih karena udah bikin gigi Jenudin ilang,” ujar Abdul mengompori.

“Ih, dimana lah ada jual kek gitu?” Sam menggaruk kepalanya bingung.

Abdul mengangkat bahu, “lo harus cari sih, biar ga diaduin ke abah Dadang.”

Sam menegakkan badannya sembari menaruh tangannya di kening hormat, “siap! Lakasanakan!” ujarnya dengan tegas.

Samosir kemudian bergegas berlari keluar, meninggalkan Abdul yang terkekeh karena berhasil mengelabuinya. Sementara itu Jenudin hanya bisa mengacungkan jempol sambil tersenyum karena mulutnya masih nyeri.

Sebuah Pilihan

Agib meletakkan ponselnya diatas buffet. Matanya kemudian tertuju pada selembar kertas yang berada diatas meja kerjanya. Lelaki itu menghela nafas, sembari menatap kertas itu dengan lamat.

“Gimana cara kasih tau Gita?” monolognya pada diri sendiri.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya diatas kasur dengan lengan yang ia jadikan bantal. Matanya menutup, namun kilas balik tentang pertemuan dengan dokter Rey tadi siang menghantuinya.

“Kamu dokter berbakat Gibran. Saya tau kamu punya potensi yang sangat bagus untuk mengembangkan diri kamu. Jerman juga terkenal dengan ilmu medis yang mumpuni, saya pikir pilihan yang saya berikan sangat menggiurkan. Mengingat kamu adalah satu-satunya murid yang saya banggakan di Fakultas kedokteran.”

Agib membuka matanya kembali, menerawang langit-langit kamarnya.

Dokter Reynald Sinaga adalah salah satu dokter yang Agib kagumi dan Agib hormati. Beliau juga sudah bergabung dengan beberapa organisasi kedokteran dunia.

Sangat susah untuk mendapatkan rekomendasi dari beliau, mengingat beliau adalah orang yang pilih-pilih dan teliti. Banyak teman-teman Agib dulu takut dengan beliau karena beliau terkenal killer serta tegas.

Namun ilmu yang beliau berikan sangat bermanfaat dan sangat mudah untuk dipahami. Oleh karena nya, menjadi satu-satunya murid yang dipercaya oleh beliau adalah suatu kehormatan bagi Agib sendiri.

Siang tadi, dokter tersebut secara pribadi meminta Agib untuk bertemu. Tujuannya adalah ingin merekomendasikan Agib untuk melanjutkan studi dan penelitian ke Jerman selama 3 tahun dengan beasiswa penuh, ditambah dengan biaya penelitian yang ditanggung oleh beliau sendiri.

Agib tentu saja terkejut sekaligus bersyukur. Melanjutkan studi ke Jerman dibawah rekomendasi dokter Reynald merupakan tawaran yang tidak bisa ditolak siapapun.

Namun disisi lain, ia tidak sanggup meninggalkan Gita disini. Menjalani hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah.

Agib mengusak rambutnya. Lelaki itu kembali menghela nafas.

Ia kemudian mengambil ponselnya dan membuka galeri. Beberapa foto dirinya dan Gita tersimpan disana. Bahkan ada beberapa foto Gita yang Agib ambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Hanya satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan nya.

Cantik.

Gita selalu terlihat cantik dimata Agib. Bahkan senyuman Gita adalah candu yang selalu Agib rindukan. Namun bagaimana bisa ia meninggalkan gadis itu?

Bagaimana caranya ia bisa membiasakan diri tanpa kehadiran gadis itu di sisinya?

Persetan dengan ucapan budak cinta. Nyatanya, Agib benar-benar sudah jatuh terlalu dalam.

Ponselnya bergetar, sebuah pop up notifikasi muncul. Itu dari sang kekasih.

“Mas, selamat tidur.”

Agib tersenyum. Hatinya menghangat seketika.

“Aku sayang kamu Git.” balasnya.

Pesan itu terkirim.

Jarinya bergerak kembali ke aplikasi galeri. Agib membuka sebuah video yang sudah lama tersimpan disana.

Video itu adalah video Gita yang diambil secara random. Gadis itu memang suka merekam dirinya di ponsel Agib dan Agib tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

Jarinya tergerak menekan tombol start, video itu pun mulai terputar.

Halo. Nama gue Gita, gue pacarnya Agib. Buat lo yang nemuin hape ini, kalau lo bukan Agib tolong kembaliin ke Agib ya, jangan dijual soalnya Agib males beli hape baru.

Agib ituuuuuu apaaa yaaa??

Agib ganteng gausah diperdebatkan lagi. Eh, Agib tuh suka julid loh makanya gue sama Agib tuh pacarannya bisa sefrekuensi, soalnya selain pacar, profesi dia di hidup gue tuh sebagai temen gibah 24/7 juga.

Agib tertawa.

Agib kalau udah sakit kek bayi besar. Rasanya pingin di kasih popok aja. Makan gamau, minum obat gamau, maunya dipeluk doang. Dasar manjaa.

Agib juga dokter keren. Dia sering banget dapet jadwal operasi, itu berarti dia kompeten dan dipercaya. Walaupun waktu kita gak banyak untuk dihabiskan berdua. Gue tetep bangga sama Agib.

Kadang tuh, ada waktu gue kangennnn banget sama Agib tapi gabisa bilang secara terus terang, soalnya dia keliatan capek banget. Gue gabisa maksa soal waktu karena kita berdua sama-sama sibuk. Tapi sekalinya kita Quality time, kita gapernah pegang hape dan bener-bener menghabiskan waktu untuk berdua.

Bertemu dengan Agib membuat hidup gue banyak berubah. Agib bener-bener membuka mata gue untuk melihat dunia dan keindahannya. Dunia itu jahat, tapi Agib datang membawa dunia yang indah untuk gue.

kata-kata i love you kayanya gak cukup untuk mendefinisikan seberapa sayangnya gue sama Agib. Sama kaya rasa suka gue ke sushi. Jadi gue mau bikin ungkapan I Love You versi Gita Gheandra.

Aisushiteru Arka Gibran.

Video berakhir, layar yang menampilkan wajah Gita tersebut kembali menghitam.

Bulir airmata jatuh membasahi pipinya. Agib menangis. Menangis karena menyadari bahwa dirinya jatuh cinta pada wanita yang tepat. Namun disaat bersamaan dia harus meninggalkan wanita itu pula.

Lantas, opsi mana yang harusnya Agib pilih?