write.as/jeongwooniverse/

Duo Paper Doll

Motor Bit yang dikendarai oleh seorang remaja tanggung dan 2 orang remaja akhir itu jatuh menabrak semak-semak.

Sam, Jenudin dan Abdul terpelanting ke tanah.

Tidak terluka parah, Sam dan Abdul hanya lecet di bagian kaki dan siku. Sarung yang dikenakan Sam langsung terkoyak menampilkan celana pendek yang ia kenakan didalam sarungnya.

“Mampus ini sarung kesayangan bapak,” gumam Sam sembari meringis karena sikunya lecet.

Berbeda dengan Jenudin, lelaki itu jatuh terpental dan berciuman mesra dengan aspal, sehingga membuat dua gigi depannya tanggal. Lelaki itu meludahkan darah dan merengek kesakitan.

“Huee gigi guee,” teriak Jenudin histeris.

Tidak ada yang membantu karena mereka saat ini berada di kebun warga.

Abdul segera berlari ke arah Jenudin, begitupula dengan Sam.

“JE YA ALLAH, OMPONG JE ASTAGHFIRULLAH, ” Abdul panik.

Sam ikutan panik, “Bang, maapin aku bang,”

“Ini gimana ini Sam?” tanya Abdul masih panik.

“Coba hubungin abang-abang yang lain bang,”

“Oke oke,”

Abdul meorogoh sakunya dan mengambil hp. Sementara Sam mencoba menggendong Jenudin namun tubuhnya terlalu kurus. Alhasil Jenudin sama sekali tidak bisa digendong.

Gantian Abdul yang mencoba, masih sama. Dua manusia kecil nan moengil itu tidak mampu mengangkat tubuh Jenudin.

Abdul kemudian menelpon Pak Tarno.

“Bapak, Jenudin berdarah giginya ompong. Cepat kemari pak,” ucap Abdul via telepon.

Jenudin masih meringis kesakitan. Sementara itu Abdul dan Sam tidak tahu harus berbuat apa.

“Bang, jangan nangis dong bang. Nanti aku kasih jagoan neon,” ucap Sam mencoba menghibur.

“Pok ame ame, pok ame ame,” Abdul menyanyikan lagu pok ame ame berharap bisa meredakan tangisan Jenudin.

“Lihat kebunku penuh dengan sapi, ada yang merah dan ada yang putih,”

“Nyamuk nya nakal, nanti kita pukul ya Je,”

“Je jangan nangis, nanti giginya kita ganti sama gigi lain. Minta sama Farel,” ujar Abdul lagi.

“Pake gigi siapa bang? Si ompong aja sampe sekarang gabisa transfusi gigi?”

“Gigi kambing,”

“JELEK, GAMAU GIGI KAMBING HUEE,” Je kembali merintih.

“Enggak, bukan gigi kambing! Ini.. giginya Farel, atau giginya Sam,”

“Giginya bang Abdul aja kan lebih kuat,”

“Yaudah nanti pake gigi gue, kita belah dua biar adil. Udah jangan nangis lagi.”

“Sakit ege...” Jenudin masih meringis.

“Sam, hibur kek!”

“Ngapain aku bang?”

“Kayang,”

“Abang aja, aku gak pande,”

“Hssshh yaudah,”

“Je, liat nih,” panggil Abdul sudah berada di posisi kayang.

“Lo ngapain gundull!!!”

“Ini tuh cara jalan era modern,”

“Apaan era modern,”

“2060 nanti orang2 bakal bilang jalan model begini lebih keren,”

“Oiya?” Jenudin tampak hampir percaya. Lelaki itu menarik ingus. Tangisnya mereda.

Abduk kembali ke posisinya. “Hooh, orang-orang sekarang gabisa ngelakuin karena gak sekuat orang tahun 2060,”

“Wow,” Jenudin sepertinya sudah melupakan rasa sakit yang baru saja ia alami.

“Terus 2060 nanti kemana-mana kita gabakal naik motor bit lagi Je,” Abdul melanjutkan dongengnya.

“Terus naik apa dong?”

“Naik apa Sam?” tanya Abdul meminta bantuan melanjutkan dongengnya.

“Lele terbang,” jawab Sam.

Mata Jenudin membola, “serius? Lele bisa terbang?”

“Iya, katanya orang yang sering nangis gabisa liat lele terbang,” sambung Sam lagi.

Jenudin buru-buru menghapus airmatanya.

Sam tersenyum jumawa, begitupula Abdul.

“Ga sakit lagi kan Je? Nanti kita minta Farel beli gigi baru ya,” ujar Abdul.

“Gigi Lele ada dijual ga ya, ditempat Farel?”

Abdul dan Sam menghela nafas secara bersamaan.

Duo Paper Doll

Motor Bit Jenudin jatuh menabrak dinding. Sam, Jenudin dan Abdul terpelanting ke tanah.

Tidak terluka parah, Sam dan Abdul hanya lecet di bagian kaki dan siku. Namun Jenudin tiba-tiba merengek melihat mulutnya berdarah dengan dua gigi yang kini ia genggam di telapak tangannya.

“Huee gigi guee,” teriak Jenudin histeris.

Tidak ada yang membantu karena mereka saat ini berada di kebun warga.

Abdul segera berlari ke arah Jenudin begitupula dengan Sam.

“JE YA ALLAH, OMPONG JE ASTAGHFIRULLAH, ” Abdul panik.

Sam ikutan panik , “Bang, maapin aku bang,”

“Ini gimana ini Sam?” tanya Abdul masih panik.

“Coba hubungin abang-abang yang lain bang,”

“Oke oke,”

Abdul meorogoh sakunya dan mengambil hp. Sementara Sam mencoba menggendong Jenudin namun tubuhnya terlalu kurus. Alhasil Jenudin sama sekali tidak bisa digendong.

Gantian Abdul yang mencoba, masih sama. Dua manusia kertas itu tidak mampu mengangkat tubuh Jenudin.

Abdul kemudian menelpon Pak Tarno.

“Bapak, Jenudin berdarah giginya ompong. Cepat kemari pak,” ucap Abdul via telepon.

Jenudin masih meringis kesakitan. Sementara itu Abdul dan Sam tidak tahu harus berbuat apa.

“Bang, jangan nangis dong bang. Nanti aku kasih jagoan neon,” ucap Sam mencoba menghibur.

“Pok ame ame, pok ame ame,” Abdul menyanyikan lagu pok ame ame berharap bisa meredakan tangisan Jenudin.

“Lihat kebunku penuh dengan sapi, ada yang merah dan ada yang putih,”

“Nyamuk nya nakal, nanti kita pukul ya Je,”

“Je jangan nangis, nanti giginya kita ganti sama gigi lain. Minta sama Farel,” ujar Abdul lagi.

“Pake gigi siapa bang? Si ompong aja sampe sekarang gaada ngelakuin transfusi gigi?”

“Gigi kambing,”

“JELEK, GAMAU GIGI KAMBING HUEE,” Je kembali merintih.

“Enggak, bukan gigi kambing! Ini.. giginya Farel, atau giginya Sam,”

“Giginya bang Abdul aja kan lebih kuat,”

“Yaudah nanti pake gigi gue, kita belah dua biar adil. Udah jangan nangis lagi.”

“Sakit ege...” Jenudin meringis.

“Sam, hibur kek!”

“Ngapain aku bang?”

“Kayang,”

“Abang aja, aku gak pande,”

“Hssshh yaudah,”

“Je, liat nih,” panggil Abdul sudah berada di posisi kayang.

“Lo ngapain gundull,”

“Ini tuh cara jalan era modern,”

“Apaan era modern,”

“2060 nanti orang2 bakal bilang jalan model begini lebih keren,”

“Oiya?” Jenudin tampak hampir percaya.

Abduk kembali ke posisinya. “Hooh, orang-orang sekarang gabisa ngelakuin karena gak sekuat orang tahun 2060,”

“Kereen!” Jenudin tertawa.

“Terus 2060 nanti kemana-mana kita gabakal naik motor bit lagi Je,” Abdul melanjutkan dongengnya.

“Terus naik apa dong?”

“Naik apa Sam?”

“Lele terbang,” jawab Sam.

Mata Jenudin membola, “serius? Lele bisa terbang?”

“Iya, katanya orang yang sering nangis gabisa liat lele terbang,” sambung Sam lagi.

Jenudin buru-buru menghapus airmatanya.

Sam tersenyum jumawa, begitupula Abdul.

“Jadi, nanti mau rikues pake gigi siapa Je?” tanya Abdul.

“Gigi Lele ada dijual ga ya, ditempat Farel?”

Abdul dan Sam menghela nafas secara bersamaan.

Percaya sama aku

“Pelan-pelan makannya, itu mulutnya udah kepenuhan,” ujar Agib sembari menyapu ujung bibir Gita yang belepotan karena saus mentai.

Gita tidak menggubris, masih asik mengunyah.

Agib tertawa kecil, memperhatikan wajah Gita yang menurutnya sangat menggemaskan. Takoyaki miliknya bahkan belum ia sentuh sedari tadi.

“Mau nambah?” tanya Agib kemudian.

Gita menggeleng, “takoyakinya ga dimakan mas?” Gita mengerling ke arah takoyaki Agib yang belum disentuh.

Agib tertawa lagi, “untuk kamu aja,” lelaki itu menyodorkan sepiring takoyaki dihadapan kekasihnya.

“Beneran loh ya? Aku gak minta padahal,”

Agib mengangguk, “minumnya nambah ga?” tanya Agib lagi.

“Air mineral aja,” Gita melahap takoyaki dengan khidmat.

“Jangan bilang kalau kamu udah kenyang liat aku makan,” ujar Gita disela-sela kunyahannya.

“Ga juga sih, tapi kamu cocok deh jadi youtuber mukbang,”

“Yaudah, nanti aku jadi youtuber mukbang terus kamu yang jait baju buat butik aku ya,”

Agib tertawa, “lah kok gitu?”

“Iya dong, tapi nanti kalau aku jadi youtuber mukbang kamu jangan cemburu kalau banyak cowok yang suka sama aku,”

“Dih, kaya kamu mau aja sama mereka,”

“Eh, kalau ada yang lebih kaya why not?”

“Jadi aku belum cukup kaya?”

“Misal nih, ada anak crazy rich yang kepincut sama aku. Ya aku mana bisa nolak ya kan?”

“Nanti kamu kebagian crazy nya doang, soalnya biasa orang kaya banyak yang neko-neko,”

“Kata siapa?”

“Kata aku,”

Gita kini tertawa. Gadis itu kemudian menepuk-nepuk kepala Agib gemas.

“Lucu banget bayi besar,”

Gantian Agib mencubit pipi Gita yang penuh dengan makanan, “kamu lebih lucuu,”

“Mas, gabisa ngunyah ih!”

Agib kini tertawa lagi. Bertemu dengan Gita membuat lelaki itu banyak tertawa hari ini.

“Ih, udah fasih ya manggil mas nya,”

“Dipaksa teruss,”

“Kamu sok-sokan salah kirim, padahal emang mau manggil aku pakai panggilan itu dari dulu kan?”

“Ga ah,”

“Tau ga sih, dipanggil mas gini aku ngerasa jadi lebih dewasa dan ngerasa harus banget jagain kamu,”

“Iya, jagain aku terus ya. Nanti kalau kita gak jodoh juga kamu tetep harus jagain calon istri kamu,”

Raut wajah Agib tiba-tiba berubah. Ia merasa tidak senang dengan ucapan Gita barusan.

“Git, aku gasuka loh kamu ngomong gini,”

“Eh kenapa? Realistis aja sih mas, kita kan gatau kedepannya gimana,”

“Tapi aku gasuka, kedengerannya kamu nyerah dengan keadaan,”

“Takdir itu udah ditulis semuanya, kita tugasnya menjalani aja,”

Agib terdiam. Tidak ingin menimpali, ini akan menjadi pembicaraan panjang yang berujung pada hal yang tidak diinginkan nantinya.

“Tadi aku udah ngomong sama Rahayu,” Gita membelokkan topik.

“Oiya? Jadinya gimana?”

“Dia mau mencoba katanya, tapi dia gamau jadi model. Maunya bantu Ce Iin jadi asisten desain aku. Rupanya Rahayu dulu pernah jadi pengrajin batik dan tenun loh di desa,”

“Loh iya? Kereeen,” Agib terkejut sekaligus kagum.

“Cita-citanya mau jadi guru mas, katanya dia suka belajar karena kamu,” ujar Gita santai.

Agib tertegun sesaat, tidak menimpali ucapan Gita.

Gita kemudian meraih tangan Agib, mengenggam tangan itu sembari menatap manik tembaga milik kekasihnya itu. Kali ini gadis itu terlihat serius.

“Aku sama Rahayu itu sama-sama wanita. Yang paling tahu perasaan aku dan Rahayu ke kamu itu ya kami sendiri. Jujur, sekarang aku mau mencoba lebih terbuka sama diri aku sendiri. Aku gak ngerasa cemburu sama sekali dengan Rahayu yang suka sama kamu. Karena you deserve to be loved by anyone, karena kamu adalah Arka Gibran Bumi. Karena pacarku itu keren banget dan pantas mendapatkan kasih sayang dari siapapun. Aku gabisa melarang orang untuk jatuh cinta sama kamu. Karena nyatanya, aku pun udah jatuh cinta berulang kali sama kamu. Yang bisa bikin kamu tetap disisi aku ya perasaan kamu ke aku. Jadi, gimanapun nanti akhirnya semua pilihan itu ada di tangan kamu mas,” ujar Gita lembut.

“Kalau suatu saat nanti kamu ngelepas aku, aku gabakal memohon sama kamu untuk tinggal. Karena, the moment you tell me to leave, that means your feelings are gone

Agib menarik napas, dadanya terasa tercekat mendengar ucapan Gita. Lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya, lalu menatap netra Gita dengan lamat.

Believe me, that will never happen Git,

Gita dan Rahayu

Gita telah sampai didepan rumah Agib. Kali ini kedatangannya bukan untuk bertemu dengan sang kekasih, melainkan untuk menemui Rahayu yang akan diajak untuk menjadi model item terbaru yang akan di desain oleh Gita.

Gita tak tahu apakah Rahayu akan menerima tawaran ini atau justru menolak mentah-mentah. Tapi setidaknya gadis itu ingin mencoba.

Rahayu masuk kedalam mobil Mercedes-Benz berwarna hitam itu. Ia duduk dengan wajah gugup disebelah Gita. Gadis itu tak banyak bicara, hanya menatap jalan yang membentang didepan mereka.

“Mau beli cemilan dulu?” tanya Gita basa-basi.

Rahayu menggeleng, “tempat tujuannya masih jauh ya?” gadis itu malah menanyakan Gita balik.

“Sedikit lagi kok,” jawab Gita ramah.

15 menit kemudian mereka tiba di butik Gita. Rahayu melangkahkan kakinya kedalam butik dengan tatapan kagum.

Ia kemudian dipersilahkan untuk duduk di sofa tempat klien menunggu.

Gita membawakan secangkir teh hangat lalu meletakkannya didepan Rahayu.

Gadis itu kemudian menyodorkan sebuah katalog kepada Rahayu.

“Selamat datang di rumah kedua aku,” ujar Gita ramah.

“Mimpi aku dari kecil sih sebenarnya. Dengan segala pro dan kontra yang aku terima, akhirnya aku berada di titik ini. Punya usaha butik sendiri,” cerita Gita.

Rahayu tidak memberikan respon yang berarti. Gadis itu meneguk teh hangat yang disiapkan oleh Gita.

“Boleh tanya sesuatu?” ucap Gita hati-hati.

Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

“Sampai saat ini, ada gak impian kamu yang belum bisa kamu capai?”

Rahayu mengedarkan pandangannya. Masih dalam keadaan bingung, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Gita saat ini.

“Apa itu penting?”

“Kalau menurut kamu itu adalah privasi yang ga boleh diganggu, ga perlu dijawab gapapa juga kok,”

“Kamu disuruh Agib buat nemuin aku?” tanya Rahayu kembali curiga.

Gita menggeleng, “sama sekali gak ada hubungannya dengan Agib, aku mau ketemu sama kamu karena ada hal yang mau aku bicarain,”

“Guru,”

“Gimana?”

“Guru. Kamu tanya apa impian aku, aku mau jadi guru,”

Gita tersenyum, “Makasih udah mau jawab Rahayu,”

“Kamu tahu, orang kampung seperti aku gak boleh bekerja. Karena wanita harusnya duduk dirumah, menunggu kepulangan suami, memasak, nyetrika. Tapi sebenarnya didalam benak kami, kami juga punya impian yang ingin diwujudkan. Aku bahkan gak dibolehin kuliah karena bapak ku bilang itu adalah hal sia-sia.”

Gita mendengarkan dengan seksama. Gadis itu tidak mengalihkan tatapan matanya dari Rahayu yang sedang bercerita.

“Aku kesini, berharap bahwa kalau menikah dengan Agib bisa merubah hidup aku. Setidaknya, Agib bisa membantu aku mewujudkan keinginan aku untuk kuliah. Cuma ucapan Agib yang dipercaya sama bapakku. Bertemu dengan Agib membuat aku sadar kalau ternyata ada dunia yang luas diluar sana. Agib selalu bilang kalau perempuan tidak hanya dinilai dari tampilan luarnya, namun kecerdasan juga menjadi poin utama untuk meningkatkan harga diri dari perempuan. Agib selalu suka belajar, aku bahkan sangat senang ketika dulu kami menghabiskan waktu bersama untuk belajar dibawah saung yang dibuat oleh opa Agib di desa,”

“Agib seberharga itu dalam hidup aku Gita,”

Gita tersenyum. Gadis itu mengangguk mencoba memahami perasaan Rahayu.

“Aku mau berterimakasih lagi, karena kamu mau cerita sedetil ini sama aku,”

“Kamu gak marah?”

Gita menggeleng.

“Nyatanya, keberadaan Agib memang seberharga itu Rahayu. Bukan hanya untuk kamu, bahkan bagi kedua orang tuanya Agib datang sebagai penawar rasa sakit.”

Gita kemudian meletakkan tangannya diatas tangan Rahayu.

“Tapi, menggantungkan hidup kamu dengan orang lain juga gak bikin kamu bebas berekspresi seperti yang kamu inginkan Rahayu,”

“Kamu bilang kalau menikah dengan Agib akan mendapat kebebasan yang kamu inginkan. Tapi gimana kalau ternyata keadaan yang terjadi malah sebaliknya?”

Rahayu menatap Gita dengan lamat.

“Kenapa kamu tidak mencari kebebasan itu sendiri, dan menggantungkan hidup kamu kepada Tuhan dan dirimu sendiri?”

“Orang lain gak akan menjadi solusi terhadap masalah yang terjadi dalam hidup kita, solusi dari masalah kita adalah kita sendiri Rahayu,”

Rahayu terdiam, mencoba mencerna ucapan Gita.

Ternyata, persepsi nya tentang mencari kebebasan selama ini belum sepenuhnya benar. Ia terlalu naif, mengatakan bahwa jika dengan Agib gadis itu pasti akan bahagia dan hidup seperti yang selama ini ia inginkan.

Padahal nyatanya, mencari kebebasan dengan menggantungkan diri kepada hidup orang lain sama seperti hidup dalam penjara namun dengan jeruji yang berbeda.

“Aku gak sepinter kamu, aku gak se kaya kamu. Aku bahkan gak punya potensi yang bisa aku banggain dalam kehidupan aku sendiri, gimana caranya mengandalkan diri aku sendiri? Aku cuma orang desa Git, gapunya hal yang bisa dibanggakan, ga seperti kamu,”

Kali ini Gita menggeleng.

“Kamu punya, cuma kamu belum nyoba,”

Gita kemudian mengambil katalog yang ia serahkan barusan. Disana terpatri beberapa busana dengan desain berbeda-beda. Semuanya adalah desain dari Gita.

“Mumpung kamu lagi disini, kenapa gak mencoba hal-hal baru yang gak pernah dan gabisa kamu lakuin di desa?”

Mata Rahayu mengerling, ada ketertarikan di raut wajahnya.

“Caranya?”

Gita tersenyum lepas.

“Aku mau menawarkan kamu sesuatu,” ujar gadis itu.

Explode

Gita berlari seperti orang linglung. Ia langsung mengambil ponsel nya dan menelpon ke satu nomor. Dering pertama telpon itu langsung diangkat.

“Ge? Mama dimana?!” tanyanya dengan suara panik.

“Git, tenang dulu. Mama lagi diperiksa sama dokter. Kita lagi di ruang IGD, lo langsung kesini aja,” ujar suara di seberang

Gita menutup ponsel dan bergegas ke ruang IGD. Disana sudah ada Arjuna bersama Kalia dan Gerald yang menunggu Mama Gita diperiksa.

Ia menghela nafas lega ketika melihat mamanya sudah diperiksa oleh orang yang tepat.

Nathan terlihat fokus disana.

“Kok bisa sih?” tanya Gita setengah berbisik kepada Gerald disebelahnya.

“Semuanya tiba-tiba kak, emang dari tadi pagi habis lo balik ke apart mama ngeluh pusing-pusing terus. Kayanya anemianya kambuh.” jawab Gerald.

Tak lama setelah itu Nathan berjalan ke arah Gita.

“Boleh bicara sebentar Git?”

Gita mengangguk, kemudian keluar dari IGD bersama dengan Nathan. Sementara itu Gerald, Ajun dan Kalia tetap bersama mama Gita yang tertidur sesudah disuntikkan anti nyeri.

“Mama gue gapapa kan Nath?” tanya Gita tengan nada agat khawatir.

“Ada dislokasi tulang di bagian pinggulnya, jadi mama lo harus di MRI dulu baru bisa gue putusin apa harus dioperasi atau engga,” jelas Nathan dengan nada tenang.

Gadis itu terlihat ingin menangis. Namun Nathan langsung menepuk pundaknya.

“Mama lo bakal baik-baik aja kok Git, sebentar lagi gue pindahin ke kamar privat biar mama lo tenang dan ga shock lagi,”

“Terus jadwal MRI nya kapan?” tanya Gita lagi.

“Besok Git, jam 08.00 pagi ya. Oiya, mama lo jangan di tinggal sendiri, takutnya bisa stress karena shock. Untuk besok kelanjutannya bakal gue kabari lebih lanjut ya Git,”

Nathan kemudian berlalu meninggalkan Gita. Gadis itu menghela nafas, setidaknya ia bisa tenang sekarang karena Nathan mengatakan semua akan baik-baik saja.


Gita berjalan keluar rumah sakit untuk mencari udara segar. Mamanya kini tengah tertidur dengan Gerald yang menemani di ruang rawat inapnya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi berulang kali, menampilkan notifikasi instagram bertubi-tubi.

Gita mengerutkan keningnya melihat postingan instagram nya dipenuhi komentar-komentar buruk hingga ujaran kebencian.

@Ph678 Tutup aja butiknya! Masa gitu layanin klien? Ga becus!”

@nurani Oh butik ini? Udah rahasia umum sih kalau ga profesional. Katanya sih, yang punyanya suka mabok-mabokan

@tiarajintan dari dulu emang ga sreg sama desain²nya, masa yang kaya gini bisa tembus Paris Fashion Week? Pasti jalur kotor kata gue

Dan beberapa komentar lainnya yang membuat Gita tak sanggup membacanya satu persatu.

Gadis itu menghela nafas. Ia menyugar rambutnya kebelakang dengan wajah frustasi.

Notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Itu dari Ce Iin, asisten utamanya di butik.

'Bu, vendor yang dari Bandung, sama 3 Vendor lain yang mau kerja sama dengan kita tiba-tiba mengundurkan diri. Bunyi pesan itu.

Gita menutup matanya, mencoba bernafas dengan teratur. Semua kejadian buruk berhimpun menjadi satu membuat kepalanya seakan ingin meledak saat itu pula.

Airmata sudah memupuk di kelopak matanya seolah menunggu waktu untuk ditumpahkan.

Saat itu pula, muncul sosok pria yang ia hindari semingguan ini.

Benar, Agib berdiri tepat dihadapannya saat ini.

Lelaki itu masih mengenakan jas dokter kebanggaanya. Berdiri dihadapan Gita sembari menatap netranya dengan lamat.

Suara angin berhembus ketika Gita dengan cepat berlari dan jatuh kedalam pelukan lelaki itu. Menumpahkan emosinya yang sudah ia tahan seharian penuh.

Gadis itu terisak dalam dekapan Agib dengan lepas. Sementara Agib tidak berkata apapun. Ia hanya mendekap Gita-nya sembari mengusap surai kelam milik Gita, berharap hal itu bisa menenangkan gadis nya.

About Us

Agib meletakkan secangkir teh hangat dihadapan Gita. Kali ini mereka tengah berada di kamar piket tempat Agib biasanya beristirahat ketika tidak pulang ke rumah.

Keduanya saling diam untuk sesaat. Agib menghela nafas.

“Aku minta maaf ya—”

“Boleh aku bicara?” sela Gita tiba-tiba.

Agib mengangguk, menatap wajah kekasihnya.

“Boleh ga, untuk sekarang kita gak bahas yang kemarin?” tanya Gita pelan.

Agib bergeming, kemudian mengangguk.

“Kamu udah makan?” tanya Agib lagi.

Gita menggeleng, “aku gak selera,”

“Aku beliin sandwich di kantin rumah sakit ya? Keliatan banget kamu lemas karena belum makan,” ujar lelaki itu kemudian bangkit.

Gita menarik jemari Agib membuat lelaki itu menghentikan langkahnya.

“Disini ada indomie?” cicit Gita agak takut.

Belum sempat Agib menjawab Gita langsung menyela, “aku gak akan makan apapun selain indomie,”

Lelaki itu menghela nafas, “tapi Git–”

“Kalau ga, biar aku ke kantin rumah sakit dan buat indomie sendiri,”

Agib akhirnya mengangguk, ia mengalah.

“Tunggu disini jangan kemana-mana,”


Gita melebarkan senyumnya ketika Agib meletakkan semangkuk indomie rebus beserta telur dihadapannya.

Seolah lupa bahwa dirinya baru saja merasakan hari yang buruk, gadis itu malah menyantap indomie itu dengan lahap tanpa jeda.

Agib yang melihat tingkah kekasihnya tersenyum kecil. Gita terlihat sangat menggemaskan ketika sedang lapar.

“Kamu gamau?” ujar Gita menyodorkan satu sendok indomie kehadapan Agib.

Lelaki itu menggeleng, “aku gak makan indomie malem-malem, nanti gendut,”

Gita langsung mengerutkan alisnya, “kamu mau ngatain aku gendut?”

“Bukaan, bukaan gitu maksudnya—”

“Iya aku gendut, jelek, biar ajaa,”

“Enggak kok kamu cantik,”

“Enggak, aku gendut. Udah gendut juga bawel, terus nyebelin lagi, udah ah gamau makan lagi gak selera,”

Agib tertawa kecil, “kamu lagi dapet ya?” tanyanya.

Gita hanya memasang wajah datar, namun fikirannya tengah berkelana. Ia baru teringat bulan ini sang bulan belum bertamu.

“Gatau,” gadis itu kemudian menggembungkan pipinya lucu.

Agib tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Gita, gadis itu mengaduh kemudian.

“Apasi cubit-cubit? Udah cuci tangan belum? Kalau aku jerawatan gara-gara tangan kamu banyak kumannya gimana??” kesal gadis itu.

Agib tertawa, “Nanti cuci mukanya pake facial wash aku aja biar gak jerawatan.”

Gita masih dalam mode kesal, gadis itu kemudian bangkit dari duduknya.

“Kita belum baikan.” ujarnya final.

Gadis itu kemudian berjalan meninggalkan ruang piket, dengan Agib yang tertawa gemas melihat tingkah laku Gita.

Pulang bareng

Jam udah nunjukin pukul 09.00 malem. Baru kali ini gue di kampus sampe jam segini, biasanya kalau pulang malem gue nongki di kafe buat nugas sama Piyik, Chika, dan Pow.

Panggung udah selesai, gue puas banget sama hasilnya. Kaya literally ini adalah kerja keras gue dan gue bangga banget sama diri sendiri setelah ngelewatin masa insecure sebelumnya.

Piyik sama Pow di sekret BEM lagi ngerjain apa gitu buat mufest, sementara Chika udah pulang dari tadi.

Kali ini untuk menghibur kekosongan, beberapa kating nyanyiin lagu sambil naik ke atas panggung. Ada kak Yoga yang nunjukin beatbox nya, kak Theo yang nge dance dan kak Kiki yang nyanyi.

Ini apa cuma gue ya yang gak keren di kampus ini? Kok semua orang berbakat sih? Gue makin insecure.

“Dekorasi lo keren banget Nay,” tiba-tiba kak sasha muncul dibelakang gue.

Gue senyum, “eh makasih banyak loh kak,”

“Jujur nih ya, dibanding tahun-tahun sebelumnya menurut gue dekorasi lo lebih rapi dan lebih hidup dari warna-warna yang lo pilih,”

“Beneran kak?” tanya gue.

Kak Sasha mengangguk, terus nepuk pundak gue, “gue tau lo sempet anxiety atau bahkan insecure sama karya lo sendiri. Tapi dari pertama Keenan milih lo, gue yakin banget lo bakalan ngasih yang terbaik, dan terbukti. Pilihan Keenan itu ga pernah salah Nay,”

Mata gue berkaca-kaca, terharu banget di puji begini. Kaya gue beneran takut dan insecure pertamanya karena ini kali pertama gue, cuma gak nyangka aja sampai bisa di puji sama kak Sasha sampai tatapan dia keliatan kagum banget.

Gue ngerasa, kerja keras selama ini sampe begadang banget gara-gara harus bagi waktu antara tugas dan kepanitiaan jadi terbayar cuma karena satu kata yang dikasih sama kak Sasha.

“Eh, Nay kok nangis?” ucap kak Sasha berbisik takut yang lain denger.

Gue menghapus airmata gue yang terus-terusan turun.

“Seneng kak, akhirnya kerja keras Nay jadi. Akhirnya ada yang bilang Nay keren.” jawab gue.

Ah, malu banget harus nangis didepan kak Sasha. Tapi mau gimana lagi?? Airmatanya keluar sendiri gabisa gue tahan.

Kak Sasha kemudian nuntun gue ke pojok panggung, biar gaada yang liat gue nangis disana. Dia nepuk pundak gue nenangin gitu.

Terus tiba-tiba ada yang nyodorin tisu dihadapan gue, awalnya gue pikir itu kak Sasha, tapi setelah gue mendongak ternyata itu kak Ji.

Dia liat dong mata gue bengkak karena nangis. Malu banget mamaa..

Gue ambil tisunya dan menghapus jejak airmata di pipi gue, kak Sasha kemudian pamit katanya mau ambil air minum.

Tinggallah gue sama Kak Ji disana.

Duh, tapi gue ga sanggup deket-deket. Aroma parfum segarnya dia sekarang ketutup sama bau rokok. Kayanya dia habis nyebat deh.

Gue ngambil jarak, karena ga sanggup nyium bau rokoknya.

“Kenapa Nay?” tanya Kak Ji, kayanya dia ngerasa gue ambil langkah ngejauh.

“Maaf kak, maaf banget. Nay gak biasa sama bau rokok. Maaf banget bukan maksud apa-apa. Soalnya papa Nay berhenti ngerokok semenjak Nay SMP, jadi Nay gak biasa sama bau rokok. Maaf kak ya, Nay pergi aja deh,” jelas gue panjang lebar dan ngerasa bersalah banget.

Gue terus pamit sambil bilang makasih untuk tisunya. Dan kemudian ngacir ke sekret BEM.

Di sekret, Piyik sama Pow langsung khawatir liat mata gue yang bengkak gara-gara nangis.

“Pulang aja ya Nay,” ajak kak Keenan lembut.

“Dianter sama Ji aja,” sambung kak Sasha pas liat kak Ji masuk ke sekret.

“Gue gabisa, dianter Keenan aja.” jawab kak Ji langsung.

Aduh, ini gara-gara gue gak sih? Apa kak Ji tersinggung? Apa doi jadi marah gara-gara gue bilang gue gasuka bau rokok.

Akhirnya tanpa penjelasan lebih lanjut, gue dianter kak Keenan pulang.

Gue gatau apa yang kemudian terjadi di sekret BEM, tapi kalau ada teh semoga di spill sama Piyik sama Pow.

Pulang bareng

Jam udah nunjukin pukul 09.00 malem. Baru kali ini gue di kampus sampe jam segini, biasanya kalau pulang malem gue nongki di kafe buat nugas sama Piyik, Chika, dan Pow.

Panggung udah selesai, gue puas banget sama hasilnya. Kaya literally ini adalah kerja keras gue dan gue bangga banget sama diri sendiri setelah ngelewatin masa insecure sebelumnya.

Piyik sama Pow di sekret BEM lagi ngerjain apa gitu buat mufest, sementara Chika udah pulang daritadi.

Kali ini untuk menghibur kekosongan, beberapa kating nyanyiin lagu sambil naik ke atas panggung. Ada kak Yoga yang nunjukin beatbox nya, kak Theo yang nge dance dan kak Kiki yang nyanyi.

Ini apa cuma gue ya yang gak keren di kampus ini? Kok semua orang berbakat sih? Gue makin insecure.

“Dekorasi lo keren banget Nay,” tiba-tiba kak sasha muncul dibelakang gue.

Gue senyum, “eh makasih banyak loh kak,”

“Jujur nih ya, dibanding tahun-tahun sebelumnya menurut gue dekorasi lo lebih rapi dan lebih hidup dari warna-warna yang lo pilih,”

“Beneran kak?” tanya gue.

Kak Sasha mengangguk, terus nepuk pundak gue, “gue tau lo sempet anxiety atau bahkan insecure sama karya lo sendiri. Tapi dari pertama Keenan milih lo, gue yakin banget lo bakalan ngasih yang terbaik, dan terbukti. Pilihan Keenan itu ga pernah salah Nay,”

Mata gue berkaca-kaca, terharu banget di puji begini. Kaya gue beneran takut dan insecure pertamanya karena ini kali pertama gue, cuma gak nyangka aja sampai bisa di puji sama kak Sasha sampai tatapan dia keliatan kagum banget.

Gue ngerasa, kerja keras selama ini sampe begadang banget gara-gara harus bagi waktu antara tugas dan kepanitiaan jadi terbayar cuma karena satu kata yang dikasih sama kak Sasha.

“Eh, Nay kok nangis?” ucap kak Sasha berbisik takut yang lain denger.

Gue menghapus airmata gue yang terus-terusan turun.

“Seneng kak, akhirnya kerja keras Nay jadi. Akhirnya ada yang bilang Nay keren.” jawab gue.

Ah, malu banget harus nangis didepan kak Sasha. Tapi mau gimana lagi?? Airmatanya keluar sendiri gabisa gue tahan.

Kak Sasha kemudian nuntun gue ke pojok panggung, biar gaada yang liat gue nangis disana. Dia nepuk pundak gue nenangin gitu.

Terus tiba-tiba ada yang nyodorin tisu dihadapan gue, awalnya gue pikir itu kak Sasha, tapi setelah gue mendongak ternyata itu kak Ji.

Dia liat dong mata gue bengkak karena nangis. Malu banget mamaa..

Gue ambil tisunya dan menghapus jejak airmata di pipi gue, kak Sasha kemudian pamit katanya mau ambil air minum.

Tinggallah gue sama Kak Ji disana.

Duh, tapi gue ga sanggup deket-deket. Aroma parfum segarnya dia sekarang ketutup sama bau rokok. Kayanya dia habis nyebat deh.

Gue ngambil jarak, karena ga sanggup nyium bau rokoknya.

“Kenapa Nay?” tanya Kak Ji, kayanya dia ngerasa gue ambil langkah ngejauh.

“Maaf kak, maaf banget. Nay gak biasa sama bau rokok. Maaf banget bukan maksud apa-apa. Soalnya papa Nay berhenti ngerokok semenjak Nay SMP, jadi Nay gak biasa sama bau rokok. Maaf kak ya, Nay pergi aja deh,” jelas gue panjang lebar dan ngerasa bersalah banget.

Gue terus pamit sambil bilang makasih untuk tisunya. Dan kemudian ngacir ke sekret BEM.

Di sekret, Piyik sama Pow langsung khawatir liat mata gue yang bengkak gara-gara nangis.

“Pulang aja ya Nay,” ajak kak Keenan lembut.

“Dianter sama Ji aja,” sambung kak Sasha pas liat kak Ji masuk ke sekret.

“Gue gabisa, dianter Keenan aja.” jawab kak Ji langsung.

Aduh, ini gara-gara gue gak sih? Apa kak Ji tersinggung? Apa doi jadi marah gara-gara gue bilang gue gasuka bau rokok.

Akhirnya tanpa penjelasan lebih lanjut, gue dianter kak Keenan pulang.

Gue gatau apa yang kemudian terjadi di sekret BEM, tapi kalau ada teh semoga di spill sama Piyik sama Pow.

Gimana gak Baper?

Gue menghela nafas melihat panggung yang begitu luas dan megah dihadapan gue saat ini.

it's not gonna be easy but let's do the best

Ini pertama kali gue jadi bagian panitia, dan langsung ditunjuk untuk bertanggung jawab jadi pj dekorasi panggung.

Panggung dimana semua mata bakalan tertuju kesini, panggung yang jadi pusat utama dari kegiatan acara ini. Lo bisa bayangin se-krusial apa pekerjaan gue kali ini.

Sebenarnya khawatir kalau jadinya ntar ga sesuai, tapi disamping rasa insecure gue karena ini kali pertama bagi gue, gue percaya kalau orang yang gak berbakat bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa dengan kerja keras. Mama gue selalu bilang :

lakuin sesuatu dengan sepenuh hati, karena meskipun kamu gak menghasilkan karya yang paling baik dari yang lain, setidaknya proses kamu adalah hasil yang paling baik yang pernah kamu lalui

Apapun yang gue lakuin, mama minta gue mencintai pekerjaan itu dengan segenap hati. Karena kalau udah cinta, lahir ketulusan, dan ketika ada ketulusan lo gak bakal pernah kecewa sama hasil apapun yang lo dapet.

Dari kecil, jalan gue udah dituntun sama mama dan papa. Gue diatur masuk ke sekolah A, terus lanjut ke sekolah B, sampe sekarang gue kuliah di farmasi karena mama dan papa gue yang ngatur semuanya.

Bukan dipaksa, tapi mereka selalu ngasih pilihan. Dan gue tipe yang suka ngikut aja karena gue percaya apa yang di sarankan orang tua gue adalah yang terbaik.

tapi kan, passion lo gak disitu? Lo pasti punya cita-cita terpendam yang pengen lo raih

Bener. Itu bener, gue pengen jadi animator atau pelukis karena gue suka ngegambar. Tapi kalau dipikir-pikir, tanpa dijadikan sebagai passion utama pun gue masih bisa menggambar sekarang. Dan baiknya, mama dan papa ga pernah ngelarang gue sama sekali.

Ikut aja apapun kegiatan diluar kampus, asal gak mengganggu akademik Nay mama sama papa izinin dan dukung.

Itu kata nyokap gue pas gue bilang mau daftar jadi panitia Univest.

Kadang, kita gabisa baca masa depan. Tapi setidaknya orang tua kita udah melewati fase jadi anak umur 20-25 tahun yang ngambis cari kerja, terus nikah dan punya anak, mereka kan udah ngelewatin itu semua, apa salahnya kalau kita ngikut apa yang mereka sarankan selama itu dalam hal kebaikan.

Gue juga selalu keep in mind kaya gini 'Gue bakal lulus S1 dulu sesuai dengan keinginan orangtua gue, mungkin bakal nyambung profesi juga, but setelah itu gue bakal ngambis buat memenuhi impian gue jadi animator'.

Jadi apoteker sekaligus animator sounds cool, why not?.

Oiya balik lagi ke cerita dekorasi panggung.

Ada hal yang bikin gue kaget ketika sampai. Lo tau apa?

That man sitting on the stage while he settings his camera.

Yaps bro, kak Ji udah duduk diatas panggung (tepatnya di pojokan panggung) sambil kotak-katik kamera slr yang doi punya.

Tiba-tiba gue teringat kejadian di sekret tempo hari, seketika gue jadi panas dingin mau nyapa.

Pura-pura gak liat aja lah.

Gue langsung naik dari tangga depan dan membentang sketsa dekorasi yang gue gambar di kertas A3 di tengah-tengah panggung. Semua bahan dan perlengkapan udah di bawa kak Yoga dan tim ke belakang panggung, jadi kapan gue perlu tinggal di ambil.

Ada beberapa kating yang udah dateng, kak Keenan kayanya telat karena ngurus hal lain, sementara gue canggung banget sendirian diantara kating-kating ini.

“Nay, coba di cek ini udah kebawa semua bahannya?” panggil kak Yoga.

“Eh udah kak, udah lengkap. Makasih banyak kak,” sambut gue dengan ngacungi jempol.

“Kalau perlu buat naik-naik ntar panggil aja, jangan naik tangga sendiri bahaya.” Saran kak Yoga.

Gue ngangguk.

Backdrop hitam udah dipasang sebagai layar utama. Sekarang tinggal dilapisi sama warna utama silver dan hitam di beberapa bagian.

“Nay, mending lo bagi deh kerjaannya. Biar ga sendirian terus yang lain bisa gerak juga,” itu kak Theo ngomong dari bawah panggung.

Gue sebenernya mau begitu dari tadi tapi gaberani nyuruh-nyuruh kating :(.

“Gausah takut Nay, hari ini kita semua dibawah pimpinan lo,” sambung kak Kiki.

Gue langsung kek woww, am i dreaming? Dude gini ya rasanya jadi pemimpin?

Akhirnya gue bagi tugas, bagian bawah panggung dikerjain sama kak Theo, kak Kiki dan Bobi. Terus bagian pasang-pasang kayu itu tugas kak Yoga sama tim, dan lain sebagainya. Intinya semua orang seneng pas dapet kerjaan dan ngerjain dengan antusias.

Gue tanpa sadar tersenyum.

Jadi gini ya rasanya kerja sama buat wujudin suatu hal yang besar? Hangatnya kerasa.

“Gue belum dapet bagian tuh,” tiba-tiba sebuah suara ngejutin gue dari belakang.

“Astaga Kak ji,” gue ngucap.

Kak Ji ketawa kecil, sambil masukin tangannya ke dalam saku celana.

“Gue jadi asisten lo aja gimana? Lo urusan bagian tengah kan? Biar gue bantu,” ujarnya nawarin ke gue.

“Kak, sorry tapi lo gak masuk kelas? Ini masih pagi banget,” ucap gue ngalihin pembicaraan, tapi bener ini masih jam 8 banget dan doi udah stay disini.

“Mahasiswa akhir kaya gue mana ada kelas lagi,” dia ketawa kecil seolah pertanyaan gue terlalu jelas buat dijawab.

Gue garuk tengkuk yang sebenarnya gak gatal.

“Jadi, lo mau mulai darimana?” tanya kak ji kemudian.

Akhirnya gue izinin dia jadi asisten gue. Bener-bener sangat membantu apalagi dia kan tinggi banget. Kepala gue literally cuma sedagunya kak Ji.

Jadi kak Ji gue minta buat nempel-nempel ornamen di bagian atas.

Hari udah menjelang siang. Banyak yang udah istirahat sesaat, dan keluar dari aula, panggung juga udah didekor sekitar 40%. Gue menghela nafas. Anjir belum jadi aja gue udah merasa ni panggung kece banget.

siapa dulu, Nay gituu loh!

Tiba-tiba sebuah botol air mineral disodorkan di hadapan gue, itu dari kak Ji.

“Minum dulu, nanti kita lanjut habis makan siang.” Ucapnya.

Gue ngambil botol itu sambil ngucap makasih. Jujur cape banget, gue duduk di tengah panggung sambil ngeliat dekoran gue. Dan ternyata ada satu ornamen yang miring.

Gemes banget kalau gak diperbaiki, cuma masalahnya itu ornamen lebih tinggi dari gue. Jadinya tanpa ingin merepotkan siapapun, gue inisiatif benerin ornamen itu sendiri

Gue sampe lompat-lompat biar nyampe, tapi kemudian ada tangan lain yang meraih ornamen itu dari belakang gue, dan benerin posisinya.

Deg

Parfumnya wangi banget. Gue dongak dan ternyata Kak Ji lagi yang kali ini bantu gue.

TAPI INI DEKET BANGET WOOOYY

kaya gue bener-bener bisa denger detakan jantung dia meski tubuhnya dibelakang gue.

Sumpah muka gue pasti udah merah kaya kepiting rebus dan syukurnya semua orang di aula lagi pada keluar istirahat makan siang. Jadi gue berharap gaada yang liat dan gaada yang ceng-cengin kami setelah ini.

“Kalau butuh bantuan bilang Nay,” ujar Kak Ji setelah memperbaiki ornamennya.

“Hehehe iya kak,” jawab gue kek orang bodoh.

Terus Kak Ji tiba-tiba jongkok dan ternyata doi ngikatin tali sepatu gue yang— gue gak sadar ini kapan lepasnyaaa...

WOY JANGAN SAMPE GUE PIPIS BERDIRI SANGKING TREMORNYAA YAA

“Bayangin kalau lo lompat-lompat kek tadi, terus keinjek tali sepatu terus jatoh. Bisa gak jadi acara kita gara-gara pj dekor nya sakit,”

WOW ini literally kalimat terpanjang yang gue denger dari Kak Ji selama gue kenal doi sebulanan ini.

YA TUHAN NAYRA GABOLEH BAPER :'(

Terus Kak Ji nyodorin kotak makan.

“Makan siang tadi dianter Karin. Nanti kalau perlu bantuan panggil aja, gue diluar mau ngerokok sebentar,” terus Kak Ji langsung keluar dari Aula.

Kaki gue lemes kaya Jeli, jantung gue kayanya udah merosot ke kaki. Kewarasan gue kayanya udah terbang ke langit ke 7

Gimana bisa kalau gak baper kalau gini ceritanya?

The Guy Named Ji

Terhitung semenjak rapat perdana, sampai saat ini gue udah lumayan sering banget bolak-balik sekret BEM. Ya buat apa lagi selain buat rapat, ketemu kak Keenan, bahas dekor sama anak-anak acara lainnya dan kadang gue gabut aja pengen kesana sekalian nugas dan ngeliatin kak Devan gangguin Paula yang harus stay di BEM buat Mufest. Sumpah kak Devan sama kak Abel kalau udah disatuin mood banget.

Mereka sering banget ceng-cengin Pow pow sama Piyik kalau lagi kerja, like sampe di titik gue berpikir ni orang dua kayanya lagi nyoba caper ke temen-temen gue deh. Masalahnya mereka itu kadang ngegombal dan gombalannya dangdut banget anjiiir.

Contohnya, kemarin itu kak Devan baru aja masuk dari pintu depan. Terus ngeliat Pow lagi desain banner buat Mufest, terus ga ada angin gaada hujan dia datang sambil bilang, “Paula yang punya senyuman cantik yang gabisa diukir kaya batik, butuh bantuan ga?”

Dude, lo bakal ngakak kenceng kalau liat muka si Pow langsung, doi malu banget anjer, sama kek gue padahal gue bukan korbannya disini.

Dilain waktu kak Abel nyuri-nyuri kesempatan buat caper sama Piyik, gue gatau apa yang terjadi waktu mereka nganter proposal berdua ke agensi tempo hari, tapi misal Piyik lagi fokus banget aransemen lagu buat pembukaan, tiba-tiba kak Abel datang ngasih air mineral ke Piyik. Gue kalau jadi Piyik udah baper sampe ubun-ubun lah Gila.

Selain itu juga, gue juga jadi kenal beberapa temen baru dari fakultas lain dan bagusnya mereka semua baik-baik banget sama gue. And one thing that everyone should to know setiap gue ke sekretariat, di pojok ruangan, khususnya di atas sofa yang udah lusuh tapi masih empuk buat rebahan selalu ada dia disana.

The guy named Ji.

Sampe kadang gue ga habis pikir, ni orang ga ada kelas apa? Setiap harinya di Bem mulu rebahan sambil main hp. Bener kata kak Azka, Kak Ji orangnya nolep banget, aslian.

Kaya yang gue ceritain di chapter sebelumya, kayanya dia nafas aja orang gatau kalau dia ada disana. Dan sekarang ini nih, tepat jam 17.00 sore waktu Indonesia bagian barat, gue yang literally baru pulang lab dan kampus yang absolutely udah sepi banget, ngeliat doi lagi mainin komputer yang biasa dipakai kak Sasha.

Ini orang homeless apa gimana ya?

“Sore kak,” sapa gue sopan, diikuti Chika dibelakang.

Doi Cuma lihat sekilas terus lanjutin kerjaannya. Gue jalan ke pojok ruangan, kemudian jongkok liat tumpukan kain dan papan dekorasi yang diletakkin dibawah meja konsul. Chika keliatan canggung soalnya dia paling jarang ke Bem, jadi gue minta dia tunggu di sofa kebanggan Kak Ji.

Setelah menghitung jumlah kain untuk dekorasi panggung dan beberapa bahan lainnya, gue bergegas bangkit, tapi tiba-tiba gue ngerasa ada sesuatu diatas kepala gue sampe akhirnya gue denger bunyi ‘jeduk’ kaya sesuatu terbentur.

Gue dongak dan berbalik, ternyata ada Kak Ji di belakang gue dan diatas kepala gue ada tangannya doi yang ternyata abis halangin kepala gue biar enggak kepentok meja.

Gue kek spicles, diam di tempat terus nge freez. Ngerti ga sih lo kaya kaget tapi deg-degan juga disaat bersamaan.

Disitu gue bisa liat dengan jelas mata Kak Ji bulat banget kaya boba yang sering gue pesen di chatime tapi ini versi bulat sempurna dan gemesin banget. Terus ternyata Kak Ji punya mata monolid dan satu tahi lalat kecil berbentuk hati bertengger dibawah matanya. Boleh ga sih kalau gue bilang ni orang ganteng?

“Lain kali hati-hati,” ujarnya singkat setelah memberikan satu tepukan di kepala gue.

Gue melotot, masih spicles. Terus Chika cuman diam cengo diujung ruangan. Gue langsung neguk ludah dan kesadaran gue langsung balik.

“Ma-makasih kak,” ujar gue singkat.

Kak Ji kemudian balik lagi ke meja sekum dan ngotak-atik laptop tanpa ngomong apapun.

Setelah ngucapin pamit, gue dan Chika langsung keluar dari BEM. Gue sakit pipis bgst gara-gara deg degaaan…

“Nay, itu Kak Ji?” Tanya Chika mastiin.

Gue ngangguk,

“Chika gimanaaa gue takut bapeeeerrr…” Rengek gue dengan volume suara yang mungkin kedengaran sampe ke gerbang kampus.

Habis itu gue malu banget karena teringat Kak Ji masih didalem, sumpah gue habis itu ngibrit ke parkiran disusul sama Chika yang misuh-misuh ngejar gue di belakang.