“Newwiee astaga!” Salah satu teman kantornya, Gun berjalan menuju dirinya dengan tergesa-gesa sembari membawa banyak dokumen.
New menahan berkas-berkas yang hampir berjatuhan ketika Gun oleng.
“Kenapa sih?” tanya nya sembari mengambil sebagian dokumen itu.
“Pak Tawan. Pak Tawan mau kesini!” Ucapnya dengan panik. Hal ini tentu saja menimbulkan kerutan bingung di dahi New. Tawan siapa? Namanya sangat familiar.
“Pak Tawan siapa?” Tanya nya. Gun menatapnya heran.
“Dia yang punya perusahaan ini New, bisa-bisanya Lo nggak tau.” ujar Gun. Ia menarik tangan New untuk segera mengikutinya.
“Kita ditunggu pak Arm diruangan nya.” New hanya mengangguk membiarkan Gun membawanya kemana saja.
“Dan—Oh akhirnya kalian berdua disini!” ujar pak Arm ketika mereka baru saja masuk ke dalam ruangan Pak Arm dan melihat ada beberapa orang lain di dalamnya.
“Nah New karena kamu baru di sini, jadi kamu harus ingat CEO kita namanya Tay Tawan Vihokratana. Dan dia benar-benar tidak mentolerir kesalahan sedikit pun jadi jangan sampai buat kesalahan di hadapan dia. Sebisa mungkin usahakan sapa dia karena bagi pak Tawan hubungan baik karyawan dan pemimpin itu sangat penting dan sapa menyapa adalah hal yang paling utama.” New hanya mengangguk paham mendengar penjelasan Pak Arm. Ia juga mengingat dengan jelas penjelasan Pak Arm.
New ingat nama CEO itu Tay Tawan Vihok— Eh apa?
New seketika terdiam, pikirannya langsung buyar. Rasanya New ingin menangis saat ini juga. Harusnya ia sudah menaruh rasa curiga sejak mendengar nama Tawan, tapi entahlah tadi dia berusaha berpikir positif tapi tak ada gunanya.
“—New? Ngerti gak?” Senggolan Gun membuatnya kembali tersadar bahwa saat ini Pak Arm sedang melayangkan pertanyaan padanya.
“Ngerti Pak,” Jawabnya meski ia tidak tau apa yang diucapkan Pak Arm tadi. Tapi ia bisa bertanya hal itu kepada Gun nanti.
“Nah yaudah kalian balik kerja dulu nanti saya bunyiin bel kalau Pak Tawan datang dan semuanya wajib baris ya. Tunjukkan sikap yang baik biar Pak Tawan nggak bosan ke sini.” Semuanya mengangguk mengerti dan pamit untuk kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
New benar-benar tidak fokus melanjutkan pekerjaannya, pikirannya saat ini berkecamuk memikirkan satu orang yang setelah 7 tahun akan kembali ia temui. Tapi sungguh New sangat bangga akan pencapaian lelaki itu. New bahkan tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja ada milik lelaki yang ia jauhi selama ini.
“Kenapa sih?” Tanya Gun mendekat, New menggelengkan kepalanya. Ia tentu tidak mungkin bilang kepada Gun kalau saat ini ia sedang memikirkan bagaimana sikap yang harus ia tunjukkan saat bertemu dengan CEO mereka.
“Takut ketemu bos ya? Tenang aja bos gak galak kok. Dia juga belum tua-tua banget kira kira seumuran Pak Arm deh. Jadi dia gak bakal kaku, percaya sama gue deh,”
New hanya mengangguk, tentu saja ia tau bagaimana Tawan. Sangat tau bahkan.
“Eh bel nya bunyi Pak Tawan datang, cepat baris!” Salah seorang pekerja disana berteriak dan tentunya yang lain mengikuti instruksi nya.
New berdiri di samping Gun, posisinya saat ini adalah ditengah barisan. Barisan yang dimaksud adalah barisan terbuka seperti ingin menyambut orang.
New berusaha memutar otaknya, ia harus mencari cara tentang bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus pura-pura tidak kenal? Atau menyapa dan menanyakan kabarnya?
“Astaga!” Suara kaget seseorang membuat New kembali sadar dengan dunia nyata yang harus ia hadapi.
“Newwiee? Astaga beneran Newwiee?” Lelaki itu berteriak heboh, New hanya tersenyum canggung sebagai respon. Para karyawan lain tentu saja menatap New heran, entah bagaimana New bisa kenal dengan sekretaris dari Pak Tawan itu.
“Berisik banget.” Ujar lelaki lain yang sekarang berdiri tepat di samping sekretaris itu, yang artinya ia berada sangat dekat dengan New saat ini.
“Ada New, Tay.” Ujarnya sembari menunjuk New. Lelaki yang disapa Tay menolehkan wajahnya ke arah New dan tersenyum manis. Ia bahkan sedikit tertawa.
“Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Terlebih lagi jadi karyawan di perusahaan cabang.” Ujarnya. New berusaha menahan dirinya. Sedangkan orang lain yang ada di sana memandang kejadian itu bingung.
“Selamat siang Pak.” Ujar New sambil sedikit membungkukkan dirinya. Lelakk dihadapannya tertawa begitu nyaring sampai yang melihatnya merasa takut.
“Kemana aja selama ini?” Tanya nya, New tidak menjawab dan memilih menutup mulutnya rapat-rapat.
“Hm yaudah deh gak jadi nanya itu. Kamu apa kabar?” Tanya nya lagi, New tetap diam.
Lagi-lagi lelaki itu tertawa keras, “Kalau itu gak mau jawab juga, yang ini harus dijawab karena gimanapun juga aku wajib tau. Frank apa kabar?” Tanya nya.
Pertahanan New hampir runtuh, air matanya hampir saja turun kalau tidak segera ia seka.
Kenapa harus begini, kenapa mereka harus dipertemukan kembali. Kenapa sejauh apapun New pergi, takdir akan tetap mempertemukan nya dengan lelaki ini. Lelaki tampan yang merupakan mantan suami nya.
“Nggak mau jawab juga? Yaudah deh. Pluem sama Nanon baik tapi mereka kangen kamu.” Kemudian Tawan pergi dari hadapannya meninggalkan tatapan bingung orang-orang dan tatapan kecewa dari Off, sekretaris Tawan.
“Tawan kangen Lo sama Frank.” Ujarnya kemudian berjalan mengikuti Tawan.
Ketika Tawan sudah benar-benar tak terlihat, seperti nya sudah masuk ke dalam ruangan Pak Arm. Pertahanan New benar-benar runtuh. Ia jatuh sembari menyeka air matanya yang terus turun.
Para karyawan lain yang tadinya ingin bertanya mengurungkan niatnya melihat New menjadi sehancur itu. Mereka tau pasti ada sesuatu yang salah antara New dengan CEO mereka.
“Newwiee, jangan nangis.” Gun mengusap punggung New untuk menenangkan nya. Meski ia tidak tau apa yang terjadi tapi pastilah ini merupakan sesuatu yang sulit baik bagi New maupun Pak Tawan.
“Pak Tawan itu mantan suami gue.” Ucap New pelan, tapi ucapan nya masih mampu di dengar oleh Gun.
“Ha?!” kekagetan Gun sukses membuat pekerja lain yang tadinya sudah kembali ke tempat masing-masing mengalihkan pandangannya pada mereka.
“Eh nggak ada, udah sana lanjut!” suruh Gun. Ia mengajak New berdiri untuk kembali ke meja mereka.
Yang New lakukan selama itu hanya menangis, Gun berusaha menenangkan nya tanpa bertanya lebih lanjut. Ia tahu ini bukan urusannya.
“New Thitipoom kamu dipanggil Pak Tawan ke ruangannya.” Ujar salah satu karyawan kepada nya. New sedikit terkejut tapi tentu saja ia sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Ssmangat!” ujar Gun ketika New bangkit.
“Gue masih kelihatan baru nangis?” Tanya New, Gun menggeleng.
“Bohong kan?” tanya New, Gun hanya tertawa pelan. Bagaimana mungkin New tidak terlihat seperti baru saja menangis jika tadi ia menangis tersedu-sedu.
New mencuci wajahnya sebentar dan berjalan menuju ruangan CEO yang letaknya tepat di sebelah ruangan Pak Arm.
Langkahnya terhenti karena ditabrak oleh seseorang. Sebenarnya sangat sakit, tapi ia berusaha tetap tersenyum karena ia tidak tau siapa yang menabraknya bisa saja itu orang yang memiliki kuasa lebih tinggi dari dirinya.
“Maaf paman, ruangannya pak Tawan dimana ya? Hp nya ketinggalan dirumah.” tanya anak itu.
“Duh ayah ini bikin aku repot aja.” Gumamnya tapi masih bisa New dengar.
Mata New membola ketika anak itu mengangkat wajahnya. Ia mengenali wajah ini, sangat mengenalinya.
“Loh kok paman mirip papa Newwiee sih?” Ujarnya kemudian.
“Ah nggak mungkin papa kan ninggalin aku. Aduh sedih banget hidup aku, ditinggalin sama kesayangan aku.” ujarnya sambil tertawa, persis seperti tawa Tay tadi.
“M-maafin papa, Nanon.” Ujar New pelan, ia hendak mengusap rambut Nanon tetapi tangannya terhenti ketika seseorang menubruk badannya.
“Aku kira papa bakalan pura-pura lupa sama aku. Kangen banget tau.” New masih sangat kaget dengan perlakuan Nanon, sekarang ia semakin dibuat bingung dengan perkataan Nanon.
“Lihat, Nanon sekarang udah 12 tahun loh. Kak Pluem Uda 15 tahun. Wow udah gede banget kan? Pasti papa nggak nyangka kita bakalan sebesar sekarang?”
“Yaudah sekarang ayok tunjukin ruangan ayah.”
“Oh iya, papa harus lihat ini. Nih lockscreen ayah masih foto kalian waktu ke Jepang. Lucu ya wkwk padahal kalian udah pisah. Bahkan papa udah nggak ngingat kami lagi disaat kami selalu dihantui bayang-bayang papa.”
“Setelah kalian pisah, ayah jadi gila kerja. Ayah sama om Off milih buat usaha karena ternyata kerja di orang itu gak cukup buat ngebuktiin ayah bisa sukses tanpa nikah sama orang kaya dan juga ngebuktiin kalau papa itu udah lebih dari cukup bagi ayah dan keluarga bahagia kita. Tapi ya udahlah ya.”
New terdiam mendengarkan celotehan anaknya. Ia jadi merasa sangat bersalah.
“Frank baik kan? Dia udah dapat mama atau papa baru ya?” Tanya Nanon dengan suaranya yang mulai bergetar.
“Pasti Frank sekarang udah bahagia. Tapi gak papa kami bahagia juga kok.” Nanon tetap melanjutkan celotehannya tanpa membiarkan New menjawab.
“Makasih udah dianterin. Papa mau masuk juga kan? Ayok.” Ujar Nanon sambil sedikit menarik New agar ikut masuk.
“Hai ayah, lihat aku ketemu siapa?” Ujarnya sambil tertawa, Tay tersenyum kemudian menyuruh Off keluar dari ruangannya.
“Aku manggil kamu kesini nggak mau ganggu kok, cuma mau ngasih ini.” Ia memberikan bungkusan besar kepada New.
“Buat Frank. Dan yang ini buat kamu.” ujarnya sambil memberikan bungkusan yang lebih kecil untuk New.
“Aku tau kok kamu kerja disini, jadi aku nggak kaget kayak Off waktu ngeliat kamu. Semoga kamu sekarang udah lebih bahagia ya.” Ujar Tay sambil membawa Nanon ke dekatnya. Ia tidak ingin Nanon berkata macam-macam lagi.
“T-Tay... Maafin aku.” Ujar New pelan, sangat pelan.
“Gak papa. btw aku kangen kamu.” Ujar Tay dengan tawanya.
“Nanon juga!” Ujar Nanon.
“Ya udah, kamu boleh keluar lagi kok sekarang.”
“Aku juga kangen kalian, kangen banget.” Ujar New akhirnya bersamaan dengan air matanya yang tumpah.
“Mau peluk?” Tanya Tay dan New segera menerjang Tay dengan pelukan. Ia sangat merindukan pelukan Tay.
“Asal kamu tau, hati ini akan tetap milik kamu meskipun aku tau hati kamu nggak akan jadi milik aku terus.” Lirih Tay.
“Maaf waktu itu kita nggak bisa ngusahain kebahagian keluarga kita. Bodohnya aku, aku kira bahagia kita cukup bareng-bareng waktu itu, gak mikir kalau kamu merasa nggak pantas dan minta aku sama yang lain aja.”
“Tapi ya udahlah ya udah masa lalu.”
“Mumpung kita bisa ketemu hari ini, aku cuma mau bilang itu. Oh iya si Tutu udah mati, aku kelupaan ngasih dia makan waktu itu. Maaf ya.”
“T-tay...” Lirih New.
“Kenapa?”
“Maaf karena dengan nggak tau dirinya hati ini masih suka nginget kamu, masih yakin kalau kamu itu pemilik hati ini.”