jinkyujin

Phuwin membuka pintu untuk mengecek apakah benar ada kakak kelas kesayangannya diluar sana atau tidak. Ada, lelaki itu sedang berdiri di samping motor dan melambaikan tangannya ketika melihat Phuwin.

Phuwin menutup pintu kembali untuk menetralkan jantungnya, hal itu benar-benar nyata. Ia benar-benar akan menghabiskan weekend dengan kakak kelas yang telah menjadi pujaan hatinya selama 2 tahun.

Suara ketukan pintu menyadarkan Phuwin kembali.

“Kenapa ditutup lagi?” Tanya Pond begitu Phuwin membuka pintu.

“Gak mau jalan?” Tanyanya lagi.

“MAU KAK!” Refleks Phuwin. Lelaki dihadapannya itu hanya tertawa.

“Ayuk,” Phuwin mengikuti Pond menuju motornya.

“Mau kemana?” Tanya Pond.

“Kemana aja kak, asal sama kakak.” Ucap Phuwin sambil terkekeh.

“Cubit aku dong kak!” Suruh Phuwin tiba-tiba. Pond yang tadinya akan memberikan helm pada Phuwin menyempatkan dirinya untuk mencubit lengan Phuwin.

“SAKIT!” keluh Phuwin, Pond tertawa.

“Lagian kenapa minta dicubit sih?” Herannya kemudian memberikan helm untuk dipakai oleh Phuwin.

“Mastiin aja ini mimpi atau nyata.”

“Sekali lagi kayak gini beneran gue tinggal.”

“JANGAN KAK!” Phuwin segera naik ke atas motor Pond.

“Lo udah sarapan?” Tanya Pond saat motor nya sudah jalan.

“Udah sih kak tapi kalau kakak belum ayok aja mah sarapan lagi.” Balas Phuwin

“Gue juga udah.” Balas Pond dari depan.

“Ke taman aja?” Tanya Pond, Phuwin menjawab iya dengan setengah berteriak agar Pond dengar.

“Phuwin kenapa gak mau?” Phuwin saat ini sedang berada di ruang ruang guru, lebih tepatnya didalam kantor Waka kesiswaan, pak Arm.

“Kalau cuma olimpiade aku mau pak, tapi kalau ini kayaknya nggak usah aku deh pak.” Ujarnya berusaha sesopan mungkin.

“Tapi menurut bapak kamu itu kandidat terkuat, kalau kamu sama Pond yang ikut dengan kemampuan otak kalian bapak yakin sekolah kita bakalan menang.” Mendengar nama kakak kelas yang ia sukai membuat Phuwin mau tak mau sedikit tergoda.

“Maaf ya pak, tapi aku gak mau ngecewain sekolah dengan bawa kegagalan. Prim atau kak Bimbeam aja pak.”

“Sebenarnya bapak butuhnya anak fisika, tapi kalau kamu memang gak mau bapak gak akan maksa kok.”

“Tapi kalau olimpiade gak masalah kan?”

“Iya pak. Kalau gitu saya permisi dulu pak.”

Sebenarnya Phuwin sangat tergoda dengan lomba itu, apalagi ketika mendengar nama pujaan hatinya tetapi ia benar-benar tidak ingin mengacaukan nantinya. Ia tidak seganteng itu untuk diikutkan acara yang diadakan oleh salah satu produk kecantikan.

“Nih,” Lelaki dengan senyum menawan itu menyodorkan buket bunga aster kepada lelaki berkacamata yang baru saja turun dari podium.

“Dalam rangka apa nih?” Tanya lelaki berkacamata itu sembari tertawa pelan. Lelaki dihadapannya kembali menyodorkan bunga itu agar segera diambil oleh lelaki lainnya.

“Dalam rangka selamat buat lo.” Balasnya. Lelaki bernama Phuwin mengambil bunga itu dan mengucap terima kasih. Pandangannya terarah ke belakang lelaki dihadapannya ini. Sangat banyak wanita berada dibelakang sana.

“Seperti biasa, tuan superstar selalu bawa pasukan.” Ujarnya sambil tertawa. Lelaki bernama Pond, yang berdiri dihadapannya hanya tersenyum kikuk sambil membawa lengan Phuwin untuk mengikutinya.

Pandangan Phuwin teralih pada tangannya yang sedang digandeng oleh fanboy kesayangan satu kampus. Phuwin terkadang iri melihat betapa populer temannya ini, tetapi kadang ia juga merasa kasihan karna tampaknya lelaki ini tak akan pernah bebas dari para penggemarnya. Sungguh menyedihkan.

Pond membawanya menuju studio dance yang ada di kampus mereka. Ia mengambilkan satu botol minuman untuk Phuwin dan kemudian duduk di sebelahnya.

“Gue bangga banget sama Lo!” Ujar Pond sambil membukakan botol minuman Phuwin.

Phuwin menerima minuman itu dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Sembari tertawa ia berkata, “Gue juga bangga banget sama Lo. famous banget sampai gue heran lihatnya.”

Pond tertawa mendengar itu kemudian membalas, “Percuma famous kalau gak disukain balik sama orang yang gue suka,”

Mulut Phuwin terbuka lebar, ia tidak menyangka kalau Pond tidak disukai oleh orang yang dia suka. Phuwin menganggap Pond adalah orang yang akan selalu berhasil dalam hubungan percintaannya, apalagi dengan wajah dan sikapnya yang mendukung.

“Seriusan ada orang yang nggak suka sama lo?” Tanya Phuwin, Pond hanya mengangguk sambil meluruskan kakinya.

“Kalau lo gimana?” Tanya Pond.

“Gue kenapa?” Tanya Phuwin bingung.

“Lo ada suka sama orang nggak?” Tanya nya.

Phuwin tertawa, ia ikut meluruskan kaki dan berkata, “Ada dong, tapi gue cukup tau diri untuk nggak berharap lebih.”

Pond terdiam sejenak, kemudian ia mengangkat bunga yang tadi diberinya pada Phuwin dan berkata, “Lo tau gak kalau bunga aster ini banyak juga dipakai orang untuk melambangkan harapan?”

“Hah seriusan? Gak pernah denger tuh.”

“Iya , karna bentuknya yang mirip sama bintang. Dan Lo tau sendiri kan bintang banyak dipakai orang untuk simbol harapan.” Phuwin mengangguk untuk merespon.

“Dan Lo tau gak kenapa Inggris nya bunga aster itu Daisy?” Tanya Pond, lagi-lagi Phuwin hanya menggeleng.

Pond memberikan bunga itu lagi pada Phuwin dan berkata, “Karena aslinya dari bahasa Inggris kuno yang susah buat dieja. day's eye. Tau gak kenapa namanya gitu?”

“Itu karna bunga aster cuma kebuka waktu ada matahari, malemnya dia kuncup lagi.” lanjutnya.

“Dua yang gue sebutin berkebalikan kan?” Phuwin yang bingung hanya bisa mengangguk ragu.

“Gue suka aster karena menurut gue di satu sisi gue diajarkan untuk terus berharap, tapi disisi lain aster juga ngajarin ke gue kalau suatu saat gue harus berhenti berharap. Dan Lo tau phu, mungkin sekarang saatnya gue berhenti berharap. Dan mungkin sekarang juga saat nya Lo berjuang buat orang yang Lo suka, nggak ada batasan untuk berharap lebih sampai lo tau dia memang nggak akan bisa Lo gapai. Lo harus terus berjuang dapatin dia sampai dia sendiri yang minta lo buat berhenti.”

“Emang Lo udah di suruh berhenti sama orang yang Lo suka?” Tanya Phuwin. Sebenarnya Phuwin tidak menyangka Pond akan berbicara tentang cinta kepada dirinya, selama ini persahabatan mereka benar-benar tidak pernah menyinggung cinta, hanya berputar kehidupan perkuliahan atau keluarga.

“Secara tidak langsung sih,” Ucap Pond sambil tertawa.

Phuwin diam sambil memainkan bunga aster itu, ia mencabut satu dari tangkainya dan memberikannya pada Pond. Pond heran melihat kelakuan sahabatnya ini, tetapi tangannya tetap mengambil bunga yang disodorkan Phuwin.

“Gue nggak pernah berjuang karna gue tau memang gak akan pernah ada harapan.”

“Kalau kata Acha di film mariposa sih orang yang gue suka itu kayak kupu-kupu, terkejar tetapi tidak tergapai” Phuwin tertawa begitupun dengan Pond. Mereka melampiaskan kesedihan mereka dengan tertawa keras.

“Phuwin,” Panggil Pond setelah terjadi hening selama beberapa saat di antara mereka.

“Sebenarnya gue sukanya sama lo, maaf ya.” Ucapan Pond sukses membuat Phuwin yang sedang minum tersedak. Ia menatap horor ke arah Pond.

“Apa lo bilang?” Tanya nya.

“Gue sukanya sama lo, tapi bener deh gue gak akan berharap lebih karna seperti yang gue bilang tadi sekarang saatnya gue berhenti. Dan gue bakalan bantu Lo berjuang buat orang yang Lo suka itu.” Ucap Pond. Phuwin masih menatap Pond tajam, ia benar-benar tidak mengira akan mendengar hal seperti itu keluar dari mulut Pond.

“Jadi lo bisa bilang sekarang ke gue siapa orang yang terkejar tapi nggak tergapai itu, dan gue bakalan pastiin lo bisa gapai tu orang.” Phuwin berusaha mencari kebohongan di dalam perkataan Pond, tetapi wajahnya yang sangat serius tidak menunjukkan adanya kebohongan.

“Lo,” Jawab Phuwin sambil melempar bunga aster itu pada Pond.

“Gue kenapa?” Tanya Pond. Bukannya menjawab Phuwin malah membuang mukanya dari Pond.

“Apa?” Tanya Pond lagi.

“Gue sukanya sama lo.” Ucap Phuwin.

“HAH!” Pond memaksa wajah Phuwin agar menatapnya.

“Lo beneran suka gue?” Tanya Pond, Phuwin mengangguk sambil tertawa.

“Beneran?” Tanya Pond lagi, Phuwin kembali mengangguk.

“Kenapa Lo nganggap gue gak tergapai?” Tanyanya.

“Fans Lo banyak, Lo ganteng, boyfie able.” Jawabnya kemudian tertawa.

“Harusnya gue tau yang berkali-kali mastiin apa bener Lo suka sama gue,” Ucapnya.

“Beneran, makanya di buketnya banyak aster merah. Artinya menyukai dalam diam.” Jawab Pond.

“Bodoh banget ya kita,” Lanjutnya lagi.

“Jadi, Lo mau gak jadi pacar gue?” Tanya Phuwin.

“Mau banget, gue udah lama nungguin ini.”

“Jadi mulai hari ini kita pacaran, Lo gak boleh tebar pesona lagi.” Ucap Phuwin sambil tertawa.

“Gue kasih cap boleh gak?” Tanya Pond.

“Hah cap ap—” Omongan Phuwin terpotong karena ada benda kenyal yang menempel di bibirnya.

first kiss kita,” Ucap Pond, Phuwin hanya tertawa kemudian memeluk lelaki disampingnya itu.


Perkataan Pond tentang alasan mengapa ia suka bunga aster adalah sebuah cocoklogi dari dua pernyataan yang ada, jadi itu merupakan pendapat pribadi author yang mana di dalam cerita disampaikan sebagai pendapat Pond.

please correct me, if i'm wrong🙏

“Newwiee astaga!” Salah satu teman kantornya, Gun berjalan menuju dirinya dengan tergesa-gesa sembari membawa banyak dokumen.

New menahan berkas-berkas yang hampir berjatuhan ketika Gun oleng.

“Kenapa sih?” tanya nya sembari mengambil sebagian dokumen itu.

“Pak Tawan. Pak Tawan mau kesini!” Ucapnya dengan panik. Hal ini tentu saja menimbulkan kerutan bingung di dahi New. Tawan siapa? Namanya sangat familiar.

“Pak Tawan siapa?” Tanya nya. Gun menatapnya heran.

“Dia yang punya perusahaan ini New, bisa-bisanya Lo nggak tau.” ujar Gun. Ia menarik tangan New untuk segera mengikutinya.

“Kita ditunggu pak Arm diruangan nya.” New hanya mengangguk membiarkan Gun membawanya kemana saja.

“Dan—Oh akhirnya kalian berdua disini!” ujar pak Arm ketika mereka baru saja masuk ke dalam ruangan Pak Arm dan melihat ada beberapa orang lain di dalamnya.

“Nah New karena kamu baru di sini, jadi kamu harus ingat CEO kita namanya Tay Tawan Vihokratana. Dan dia benar-benar tidak mentolerir kesalahan sedikit pun jadi jangan sampai buat kesalahan di hadapan dia. Sebisa mungkin usahakan sapa dia karena bagi pak Tawan hubungan baik karyawan dan pemimpin itu sangat penting dan sapa menyapa adalah hal yang paling utama.” New hanya mengangguk paham mendengar penjelasan Pak Arm. Ia juga mengingat dengan jelas penjelasan Pak Arm.

New ingat nama CEO itu Tay Tawan Vihok— Eh apa?

New seketika terdiam, pikirannya langsung buyar. Rasanya New ingin menangis saat ini juga. Harusnya ia sudah menaruh rasa curiga sejak mendengar nama Tawan, tapi entahlah tadi dia berusaha berpikir positif tapi tak ada gunanya.

“—New? Ngerti gak?” Senggolan Gun membuatnya kembali tersadar bahwa saat ini Pak Arm sedang melayangkan pertanyaan padanya.

“Ngerti Pak,” Jawabnya meski ia tidak tau apa yang diucapkan Pak Arm tadi. Tapi ia bisa bertanya hal itu kepada Gun nanti.

“Nah yaudah kalian balik kerja dulu nanti saya bunyiin bel kalau Pak Tawan datang dan semuanya wajib baris ya. Tunjukkan sikap yang baik biar Pak Tawan nggak bosan ke sini.” Semuanya mengangguk mengerti dan pamit untuk kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.

New benar-benar tidak fokus melanjutkan pekerjaannya, pikirannya saat ini berkecamuk memikirkan satu orang yang setelah 7 tahun akan kembali ia temui. Tapi sungguh New sangat bangga akan pencapaian lelaki itu. New bahkan tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja ada milik lelaki yang ia jauhi selama ini.

“Kenapa sih?” Tanya Gun mendekat, New menggelengkan kepalanya. Ia tentu tidak mungkin bilang kepada Gun kalau saat ini ia sedang memikirkan bagaimana sikap yang harus ia tunjukkan saat bertemu dengan CEO mereka.

“Takut ketemu bos ya? Tenang aja bos gak galak kok. Dia juga belum tua-tua banget kira kira seumuran Pak Arm deh. Jadi dia gak bakal kaku, percaya sama gue deh,”

New hanya mengangguk, tentu saja ia tau bagaimana Tawan. Sangat tau bahkan.

“Eh bel nya bunyi Pak Tawan datang, cepat baris!” Salah seorang pekerja disana berteriak dan tentunya yang lain mengikuti instruksi nya.

New berdiri di samping Gun, posisinya saat ini adalah ditengah barisan. Barisan yang dimaksud adalah barisan terbuka seperti ingin menyambut orang.

New berusaha memutar otaknya, ia harus mencari cara tentang bagaimana ia harus bersikap. Apakah ia harus pura-pura tidak kenal? Atau menyapa dan menanyakan kabarnya?

“Astaga!” Suara kaget seseorang membuat New kembali sadar dengan dunia nyata yang harus ia hadapi.

“Newwiee? Astaga beneran Newwiee?” Lelaki itu berteriak heboh, New hanya tersenyum canggung sebagai respon. Para karyawan lain tentu saja menatap New heran, entah bagaimana New bisa kenal dengan sekretaris dari Pak Tawan itu.

“Berisik banget.” Ujar lelaki lain yang sekarang berdiri tepat di samping sekretaris itu, yang artinya ia berada sangat dekat dengan New saat ini.

“Ada New, Tay.” Ujarnya sembari menunjuk New. Lelaki yang disapa Tay menolehkan wajahnya ke arah New dan tersenyum manis. Ia bahkan sedikit tertawa.

“Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Terlebih lagi jadi karyawan di perusahaan cabang.” Ujarnya. New berusaha menahan dirinya. Sedangkan orang lain yang ada di sana memandang kejadian itu bingung.

“Selamat siang Pak.” Ujar New sambil sedikit membungkukkan dirinya. Lelakk dihadapannya tertawa begitu nyaring sampai yang melihatnya merasa takut.

“Kemana aja selama ini?” Tanya nya, New tidak menjawab dan memilih menutup mulutnya rapat-rapat.

“Hm yaudah deh gak jadi nanya itu. Kamu apa kabar?” Tanya nya lagi, New tetap diam.

Lagi-lagi lelaki itu tertawa keras, “Kalau itu gak mau jawab juga, yang ini harus dijawab karena gimanapun juga aku wajib tau. Frank apa kabar?” Tanya nya.

Pertahanan New hampir runtuh, air matanya hampir saja turun kalau tidak segera ia seka.

Kenapa harus begini, kenapa mereka harus dipertemukan kembali. Kenapa sejauh apapun New pergi, takdir akan tetap mempertemukan nya dengan lelaki ini. Lelaki tampan yang merupakan mantan suami nya.

“Nggak mau jawab juga? Yaudah deh. Pluem sama Nanon baik tapi mereka kangen kamu.” Kemudian Tawan pergi dari hadapannya meninggalkan tatapan bingung orang-orang dan tatapan kecewa dari Off, sekretaris Tawan.

“Tawan kangen Lo sama Frank.” Ujarnya kemudian berjalan mengikuti Tawan.

Ketika Tawan sudah benar-benar tak terlihat, seperti nya sudah masuk ke dalam ruangan Pak Arm. Pertahanan New benar-benar runtuh. Ia jatuh sembari menyeka air matanya yang terus turun.

Para karyawan lain yang tadinya ingin bertanya mengurungkan niatnya melihat New menjadi sehancur itu. Mereka tau pasti ada sesuatu yang salah antara New dengan CEO mereka.

“Newwiee, jangan nangis.” Gun mengusap punggung New untuk menenangkan nya. Meski ia tidak tau apa yang terjadi tapi pastilah ini merupakan sesuatu yang sulit baik bagi New maupun Pak Tawan.

“Pak Tawan itu mantan suami gue.” Ucap New pelan, tapi ucapan nya masih mampu di dengar oleh Gun.

“Ha?!” kekagetan Gun sukses membuat pekerja lain yang tadinya sudah kembali ke tempat masing-masing mengalihkan pandangannya pada mereka.

“Eh nggak ada, udah sana lanjut!” suruh Gun. Ia mengajak New berdiri untuk kembali ke meja mereka.

Yang New lakukan selama itu hanya menangis, Gun berusaha menenangkan nya tanpa bertanya lebih lanjut. Ia tahu ini bukan urusannya.

“New Thitipoom kamu dipanggil Pak Tawan ke ruangannya.” Ujar salah satu karyawan kepada nya. New sedikit terkejut tapi tentu saja ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

“Ssmangat!” ujar Gun ketika New bangkit.

“Gue masih kelihatan baru nangis?” Tanya New, Gun menggeleng.

“Bohong kan?” tanya New, Gun hanya tertawa pelan. Bagaimana mungkin New tidak terlihat seperti baru saja menangis jika tadi ia menangis tersedu-sedu.

New mencuci wajahnya sebentar dan berjalan menuju ruangan CEO yang letaknya tepat di sebelah ruangan Pak Arm.

Langkahnya terhenti karena ditabrak oleh seseorang. Sebenarnya sangat sakit, tapi ia berusaha tetap tersenyum karena ia tidak tau siapa yang menabraknya bisa saja itu orang yang memiliki kuasa lebih tinggi dari dirinya.

“Maaf paman, ruangannya pak Tawan dimana ya? Hp nya ketinggalan dirumah.” tanya anak itu.

“Duh ayah ini bikin aku repot aja.” Gumamnya tapi masih bisa New dengar.

Mata New membola ketika anak itu mengangkat wajahnya. Ia mengenali wajah ini, sangat mengenalinya.

“Loh kok paman mirip papa Newwiee sih?” Ujarnya kemudian.

“Ah nggak mungkin papa kan ninggalin aku. Aduh sedih banget hidup aku, ditinggalin sama kesayangan aku.” ujarnya sambil tertawa, persis seperti tawa Tay tadi.

“M-maafin papa, Nanon.” Ujar New pelan, ia hendak mengusap rambut Nanon tetapi tangannya terhenti ketika seseorang menubruk badannya.

“Aku kira papa bakalan pura-pura lupa sama aku. Kangen banget tau.” New masih sangat kaget dengan perlakuan Nanon, sekarang ia semakin dibuat bingung dengan perkataan Nanon.

“Lihat, Nanon sekarang udah 12 tahun loh. Kak Pluem Uda 15 tahun. Wow udah gede banget kan? Pasti papa nggak nyangka kita bakalan sebesar sekarang?”

“Yaudah sekarang ayok tunjukin ruangan ayah.”

“Oh iya, papa harus lihat ini. Nih lockscreen ayah masih foto kalian waktu ke Jepang. Lucu ya wkwk padahal kalian udah pisah. Bahkan papa udah nggak ngingat kami lagi disaat kami selalu dihantui bayang-bayang papa.”

“Setelah kalian pisah, ayah jadi gila kerja. Ayah sama om Off milih buat usaha karena ternyata kerja di orang itu gak cukup buat ngebuktiin ayah bisa sukses tanpa nikah sama orang kaya dan juga ngebuktiin kalau papa itu udah lebih dari cukup bagi ayah dan keluarga bahagia kita. Tapi ya udahlah ya.”

New terdiam mendengarkan celotehan anaknya. Ia jadi merasa sangat bersalah.

“Frank baik kan? Dia udah dapat mama atau papa baru ya?” Tanya Nanon dengan suaranya yang mulai bergetar.

“Pasti Frank sekarang udah bahagia. Tapi gak papa kami bahagia juga kok.” Nanon tetap melanjutkan celotehannya tanpa membiarkan New menjawab.

“Makasih udah dianterin. Papa mau masuk juga kan? Ayok.” Ujar Nanon sambil sedikit menarik New agar ikut masuk.

“Hai ayah, lihat aku ketemu siapa?” Ujarnya sambil tertawa, Tay tersenyum kemudian menyuruh Off keluar dari ruangannya.

“Aku manggil kamu kesini nggak mau ganggu kok, cuma mau ngasih ini.” Ia memberikan bungkusan besar kepada New.

“Buat Frank. Dan yang ini buat kamu.” ujarnya sambil memberikan bungkusan yang lebih kecil untuk New.

“Aku tau kok kamu kerja disini, jadi aku nggak kaget kayak Off waktu ngeliat kamu. Semoga kamu sekarang udah lebih bahagia ya.” Ujar Tay sambil membawa Nanon ke dekatnya. Ia tidak ingin Nanon berkata macam-macam lagi.

“T-Tay... Maafin aku.” Ujar New pelan, sangat pelan.

“Gak papa. btw aku kangen kamu.” Ujar Tay dengan tawanya.

“Nanon juga!” Ujar Nanon.

“Ya udah, kamu boleh keluar lagi kok sekarang.”

“Aku juga kangen kalian, kangen banget.” Ujar New akhirnya bersamaan dengan air matanya yang tumpah.

“Mau peluk?” Tanya Tay dan New segera menerjang Tay dengan pelukan. Ia sangat merindukan pelukan Tay.

“Asal kamu tau, hati ini akan tetap milik kamu meskipun aku tau hati kamu nggak akan jadi milik aku terus.” Lirih Tay.

“Maaf waktu itu kita nggak bisa ngusahain kebahagian keluarga kita. Bodohnya aku, aku kira bahagia kita cukup bareng-bareng waktu itu, gak mikir kalau kamu merasa nggak pantas dan minta aku sama yang lain aja.”

“Tapi ya udahlah ya udah masa lalu.”

“Mumpung kita bisa ketemu hari ini, aku cuma mau bilang itu. Oh iya si Tutu udah mati, aku kelupaan ngasih dia makan waktu itu. Maaf ya.”

“T-tay...” Lirih New.

“Kenapa?”

“Maaf karena dengan nggak tau dirinya hati ini masih suka nginget kamu, masih yakin kalau kamu itu pemilik hati ini.”

Lelaki itu mengetukkan tangannya ke atas meja, sesekali mengecek jam yang terlingkar di tangannya. Ia lelah menunggu. Baru saja ia memasukkan tangannya ke dalam tas berniat mengambil ponsel, lelaki lain sudah lebih dulu duduk di hadapannya dengan cengiran khasnya yang tampak bodoh.

“Hehe maaf lama, macet.”

Ia hanya mendengus malas mendengar alasan tak masuk akal itu. Hidup di sebuah kecamatan tentunya tidak akan terjadi macet sampai membuat telat selama 15 menit bukan? Tapi ya sudahlah ia hanya ingin mengerjakan tugas dengan cepat lalu pulang untuk menikmati hari menempel dikasur sampai hari berikutnya.

“Ini aku beliin kamu.” Kata lelaki yang duduk di depannya sambil memberikan sebuah kotak yang isinya terlihat seperti kue.

“Sebagai permintaan maaf.” Lanjutnya.

“Nggak perlu.”

“Ambil aja Thi, aku beliin khusus buat kamu.” Ujar lelaki itu memaksa, yang dipanggil Thi hanya memutar bola matanya malas dan kemudian mengambil kotak itu.

“Makasih, lain kali gak perlu.” Jawabnya, lelaki di depannya hanya tersenyum senang. Khas anak kecil sekali.

Namanya New Thitipoom Techaapaikhun, akrab dipanggil Thi. Sedangkan lelaki di depannya bernama Tay Tawan Vihokratana, biasanya ia dipanggil dengan nama Tawan. Tetapi Tawan memperkenalkan dirinya sebagai Tay kepada Thi, karena itu saat ini hanya Thi lah yang memanggilnya dengan sebutan Tay. Sebenarnya Thi tidak mempedulikan hal itu, tapi terkadang tentu saja ia penasaran akan hal itu.

“Jadi kita bahas apa dulu?” Tanya Tawan.

Tujuan mereka berada di kafe saat ini adalah mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen mereka dan akan dikumpul pekan depan. Sebenarnya partner kerja kelompok ini tidak dipilihkan oleh dosen melainkan mereka sendiri yang memilih. Alasan Thi mengajak Tawan untuk bergabung dengannya adalah karena mereka sudah kenal sejak SMA dan kebetulan mereka tinggal ditempat yang tidak terlalu sejauh sehingga tugas ini bisa dikerjakan saat weekend.

“Eh bentar deh aku mau pesan minuman dulu ya. Kamu mau apa?” Tanya Tawan, Thi hanya menatap Tawan malas. Bisa-bisanya lelaki ini sudah telat sekarang malah mau memesan minuman dulu. Tapi anehnya Thi hanya bisa mengangguk mengizinkan Tawan.

“Kamu nggak mau? Atau aku beliin sembarang aja ya?” Tanyanya, dan lagi-lagi Thi hanya mengangguk.

Setelah lima menit, Tawan akhirnya kembali dengan dua minuman di tangannya.

“Tadinya aku mau beliin kamu milkshake stroberi tapi gak ada, jadi ini aja ya? Gak papa kan?” Thi hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia sebenarnya tidak masalah apa saja, kan dia ditraktir.

New sedang mengecek bahan-bahan yang ada di dapur bersama dengan Bright, sekarang jam sudah menunjuk angka tujuh dan angka dua belas yang artinya sudah pukul tujuh tepat. Malam ini, lagi-lagi New izin pulang lebih dulu pada karyawannya karena Gun mengajaknya bertemu dengan Off, soulmate Gun.

“Kak New, ini kayaknya udah lengkap deh,” Ujar Bright setelah mengecek barang yang ada di daftar dengan yang ada di dapur.

“Makasih Bright, kakak beli telur empat papan aja ya buat jaga-jaga,” Balasnya

“Tiga kayaknya cukup deh kak,”

“Yaudah tiga aja ya,” Ucap New sambil menambahkan hal itu ke dalam catatannya.

“Eh kak New, itu apaan yang nyembul di kantong kakak?” Tanya Bright kepo karena melihat sesuatu yang sepertinya akan jatuh dari kantong New.

“Ya ampun, makasih Bright. Kalau gak kamu bilang bisa-bisa ini jatuh nanti,” Kata New sambil mengeluarkan sesuatu yang berkilau dari kantong nya.

“Ini punya soulmate aku,” Lanjut New sambil mengangkat kalung itu agar Bright dapat melihat dengan jelas.

“Kayak pernah lihat deh kalungnya, tapi di mana ya?” Bingung Bright.

“Seriusan pernah lihat Bright?” Tanya New excited, bisa saja ia mendapatkan info tentang belahan jiwanya dari Bright yang dekat dengannya selama ini.

“Iya kak, aku inget banget. Tapi lupa dimana…” Ujar Bright sedih, New juga menjadi murung karena tidak jadi mendapatkan informasi tentang sang belahan jiwa.

“Kalau inget kabarin ya bri, pusing banget aku mikirinnya,” Kata New sedih.

“Kenapa kak?” Tanya Bright.

“Udah empat hari aku posting di sosial media tapi sampai sekarang belum ada kabar itu punya siapa, makanya aku tuh tadi berharap banget kamu tau punya siapa,” Kata New, Bright jadi merasa tidak enak hati.

“Maaf kak, nanti aku coba inget-inget deh.”

“Gak usah minta maaf Bright, lagian kamu tuh gak salah,” Kata New sambil mengelus rambut karyawannya itu.

“New!” Suara seseorang yang familiar itu membuat New mengalihkan wajahnya ke arah pintu dapur. Di sana ada Gun, yang sudah pasti datang untuk menjemputnya untuk bertemu dengan Off yang katanya hari ini akan manggung di salah satu kafe.

“Ayok pergi!” Ujar Gun sambil menarik tangan New keluar.

“Bentar, aku pamit ke anak-anak dulu,” Ucap New, lalu ia pamit ke Bright dan pergi menemui anak-anak nya yang lain.

“Udah kan, Yok!” Kata Gun sambil menarik tangannya semangat ketika ia keluar dari kafe.

“Kok bisa-bisanya sih soulmate mu itu manggung?” Tanya New ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

New benar-benar penasaran karena Off itu adalah seorang dokter gigi, tetapi dia memiliki sebuah band dengan penggemar yang cukup banyak. Bahkan kata Gun ia dan teman-temannya rutin manggung tiap dua kali dalam satu minggu.

“Hobi New. Mereka tuh tiga orang, niat awal sama-sama pengen jadi artis eh gak kesampaian karena mereka ngerasa artis tu nggak menjamin kelancaran hidup. Disaat tenar ya tenar, kalau udah habis masa gak kepake lagi, jadinya ngerugiin diri sendiri deh. Jadi mereka bertiga milih profesi lain dan tetap ngejalanin hobi mereka,” Jelas Gun.

“Eh ada kak Arm juga loh, aku baru sadar kemarin waktu aku bilang kamu lagi jalan sama kak Alice sama kak Arm juga.” Lanjut Gun.

Kemarin, Gun memang sudah mengajaknya bertemu dengan Off karena kebetulan Off dan Gun sedang tidak ada jadwal saat itu, tapi New tidak bisa ikut.

“Kak Arm bisa nyanyi?” Tanya New bingung karena kakak iparnya itu tidak pernah bernyanyi di hadapannya.

“Bisa sih kayaknya, aku jarang nonton dia manggung jadi nggak merhatiin banget siapa aja isinya,” Kata Gun sambil tertawa malu-malu.

“Trus katanya satu lagi penulis sih, tapi aku kurang tau juga deh,” Kata Gun melanjutkan perbincangan mereka tadi.

Setelah kurang lebih dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di kafe yang dimaksud oleh Gun sebagai tempat soulmate nya manggung. Kafe itu terlihat sangat ramai oleh pengunjung, parkirannya saja sampai penuh dan membuat mereka kewalawan mencari tempat parkir.

“Ayok,” Lagi-lagi Gun menarik dirinya dengan sangat bersemangat.

New jadi berpikir, apakah jika ia memiliki soulmate ia akan selalu bersemangat seperti Gun ketika bertemu dengannya. Ataukah New biasa saja. Atau New tidak akan pernah bertemu dengan soulmatenya selamanya.

“Heh kok ngelamun terus sih?” Tanya Gun sambil mencolek lengan New.

“Eh New?” Seseorang menyapanya ketika ia baru saja menginjakkan kaki di dalam kafe dan berniat untuk mencari tempat duduk.

“Lah Singto,” Kaget New saat tau siapa yang menyapanya.

“Sumpah kaget banget ngeliat kamu di sini,” Kata Singto.

“Lah kamu kenal sama Singto, New?” Tanya Gun heran.

“Loh ada pacarnya Off juga,” Kata Singto yang membuat senyuman Gun mengembang.

“Teman kuliah aku Gun,” Jawab New.

“Eh ayok duduk di sini aja, mejanya Off yang pesan tadi,” Kata Singto sambil menuntun mereka untuk duduk di salah satu meja yang cukup besar.

“Ini kafe kamu Sing?” Tanya New, Singto tersenyum bangga sebagai jawaban.

“Wah rame banget,” Kagum New.

“Masih ramean kafemu, ini mah rame karna band nya Off mau tampil,” Jelas Singto.

“Eh aku ke sana dulu ya?” Pamit Singto sambil menunjuk salah satu karyawan yang memanggilnya.

“Iya, makasih Singto,” Ucap Gun.

Setelah memesan makanan, Gun dan New menikmati makanan sembari menunggu Off manggung. Mereka membicarakan beberapa hal yang tidak penting. Pembahasan New dan Gun emang tidak akan ada habisnya. Meski sudah memulai pembicaraan sejak kecil, mereka selalu punya hal-hal baru untuk dibicarakan.

“Astaga Tay Tawan bikin aku repot aja, kesel. Sekarang dia dimana lagi, bikin pusing,” Suara seseorang yang sedang mengeluh mengganggu pembicaraan New dan Gun. Lelaki yang mengeluh kesal itu berdiri tepat di samping New.

“Hai,” Sapa New pada orang yang berdiri di sampingnya itu.

“Eh, kak matahari ya?” Tanyanya.

“Lah kok jadi kak matahari?” Bingung Gun, pasalnya temannya ini tidak pernah mendapat julukan matahari atau sesuatu yang berhubungan dengan matahari.

“Soalnya soulmatenya matahari,” Jawab Krist sambil terkekeh.

“Oh ya, kenalin aku Krist Perawat Sangtiporat, editor nya kak Tay yang kemarin,” Kata Krist mengenalkan dirinya.

“Krist?” Singto tiba-tiba muncul di samping Krist dan membuat mereka bingung.

“ Aku Singto,” Kata Singto memperkenalkan dirinya tanpa ada yang meminta.

“Oke?” Jawab Krist ragu, ia sendiri bingung kenapa orang ini tiba-tiba memperkenalkan dirinya.

“Kamu soulmate aku,” Kata Singto sambil menunjuk leher Krist yang memuat tulisan yang bacaannya Singto.

“Dan aku soulmate kamu,” Kata Singto sambil menunjukkan telapak tangannya yang bertuliskan Krist.

Krist membuat wajah terkejut sekaligus haru, sementara Singto di sampingnya menarik nya ke dalam sebuah pelukan dan itu membuat tanda soulmate mereka sama-sama bersinar menandakan mereka adalah soulmate untuk satu sama lain. Ya, akhirnya Krist menemukan soulmate nya, sementara New masih belum mendapatkan nya sampai sekarang. Lagi-lagi muncul rasa iri di dalam dirinya.

“Ah, itu papii!” Gun bersorak heboh, membuat semua mata menatap ke arah panggung.

“Ya ampun, ternyata Pete emang seganteng itu,” Gun lagi-lagi heboh, dan itu cukup menimbulkan tanda Tanya di kepala New pasalnya yang ia lihat di atas panggung saat ini hanyalah Tay, Arm, dan satu lagi berarti Off, soulmate Gun.

“Pete yang itu ya?” Tanya Krist sambil menunjuk Arm.

“Bukan, dia Arm. Kakak ipar mu kan New?” Tanya Gun, New mengangguk.

“Pete itu yang di tengah,” Kata Singto sembari menunjuk Tay yang saat ini sedang bernyanyi.

“Lah itu kan kak Tay?” Tanya Krist.

“Tay siapa? Itu Pete,” Ujar Singto.

New hanyut di dalam pikirannya sendiri. Ia tengah memikirkan, apakah Tay punya kembaran, ataukah itu memang Tay yang ia kenal. Tetapi, New yakin itu adalah Tay yang ia kenal karena di sana ada Arm juga, dan Arm adalah teman Tay. Tetapi, kenapa ia bisa menjadi Pete.

“New, gimana?” Tanya Alice pada New yang sedang memainkan ponselnya.

“Bagus kak, kesempitan gak?” Tanya New pada Alice, kakak tirinya.

Hari ini New meminta izin pada anak-anaknya di café untuk datang hanya pada malam hari, karena hari ini dia pergi menemani kakak tirinya, Alice untuk mengecek baju pernikahannya. Alice dan tunangannya, Arm akan menikah kurang lebih satu bulan lagi.

“Enggak kok, agak gede malah.” Jawab Alice, New tersenyum senang mendengarnya jawaban kakaknya itu.

“Eh, kak Arm kemana ya kak? Perasaan tadi masih ada di sini deh?” Tanya New, Alice tertawa mendengarnya.

“Ih kok malah ketawa, bukannya jawab pertanyaan aku?” Kesal New, Alice masih tertawa sambil memperhatikan penampilannya di kaca.

“Kakak ipar mu itu lagi jemput temannya. Temannya gak bawa uang, dan nggak bawa duit. Aduh emang suka teledor dah teman kakak ipar mu yang satu itu,” Jelas Alice setengah tertawa, New hanya mengangguk sambil memikirkan bagaimana ada orang yang tidak membawa duit ketika keluar dari rumah.

“Nih minum dulu kak,” Ujar New sembari menyerahkan satu botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya kepada Alice. Alice menerima botol itu dengan senyuman, tidak lupa ia mengusak rambut adik tirinya itu.

Meskipun hanya saudara tiri, tetapi rasa sayang antara Alice dan New kadang melebihi saudara kandung. New akan sangat marah apabila ada orang yang menyakiti perasaan kakaknya, apalagi sampai membuatnya menangis. Begitupun dengan Alice, ia juga akan selalu menjaga New apapun yang terjadi.

Pernah suatu waktu, Alice dibuat menangis karena perkataan salah satu teman lelakinya di sekolah yang bilang kalau ia tidak cantik dan besoknya Alice mendengar kabar bahwa orang itu sudah masuk rumah sakit, Alice tentu tau itu perbuatan adik tirinya yang sangat ia sayangi. Setelah kejadian itu, Alice mulai menyayangi New lebih dari dirinya sendiri. Mungkin, Alice bisa saja merelakan soulmate nya jika New bilang ia menyukai Arm, untunya hal seperti itu tidak akan terjadi karena New selalu terpaku untuk mencari keberadaan soulmate nya yang entah dimana.

“Ya Ampun, calon istri aku cantik banget,” Perkataan itu membuat Alice berlari memeluk soulmatenya.

New memperhatikan seorang lelaki yang ada dibelakang Arm, ia rasa ia pernah melihat lelaki itu sebelumnya.

“Hai Alice,” Sapa lelaki itu.

“Hai tuan-“ Perkataan Alice terpotong karena New dan Tay yang tiba-tiba bersorak.

“Matahari?!!!” Ya, Tay dan New sama-sama mengucapkan kata matahari da itu sukses menimbulkan tanda Tanya besar bagi Arm dan Alice.

“Kamu kenal dia?” Tanya Alice pada New, New mengangguk.

“Dan, ngapain lo manggil adik ipar gue matahari?” Tanya Arm pada Tay.

“Eh, soalnya dia punya tanda matahari,” Jawab Tay, Arm menatap Tay dengan pandangan curiga.

“Astaga, seriusan Arm.” Kata Tay dan membuat New tertawa.

Kakak iparnya memang selalu begitu. New selalu menjadi anak bayi bagi Arm dan Alice. Jika mereka mengajak New jalan, New bukan menjadi nyamuk atau apapun ia malah terlihat seperti anak mereka karena mereka yang terlalu berlebihan pada New. Tapi, New menyukai itu karena saat kecil ia tidak mendapat banyak perhatian karena mamanya tekah tiada, dan papanya sangat sibuk. Karena itu New sangat bersyukur memiliki mama baru dan Alice sebagai pelengkap keluarganya.

“Lo tuh kenapa sih kebiasaan banget teledor kayak gitu. Pusing soulmate lo nanti,” Ujar Alice pada Tay.

“Eh astaga, Maafin gue Tay,” Sesal Alice, Tay tertawa mendengarnya.

“Santai aja kali, lagian beberapa hari yang lalu gue udah dapat.” Jelas Tay.

“Hah? Seriusan?” Tanya Arm dan Alice kaget, Tay tersenyum sombong.

“Haha iya lah, nanti deh gue ceritain waktu kita makan. Lanjutin aja ngecek bajunya.” Kata Tay sambil tertawa, Alice dan Arm yang masih kaget melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda sedangkan Tay, ia memilih duduk di samping New.

“Hai ketemu lagi, gak nyangka kalau kamu itu adeknya Alice yang sering dia ceritain,” Kata Tay memulai pembicaraan. New tersenyum.

“Hehe iya, gak nyangka juga kalau kamu temen nya kak Arm. Lagian kok bisa sih ada orang yang nggak bawa duit kalau keluar rumah?” Ujar New, Tay tertawa keras mendengarnya.

“Ya, mau gimana lagi. Udah kebiasaan. Aku emang suka gitu orangnya,” Jelas Tay masih dengan tawanya yang tak berhenti.

Setelah itu Tay dan New berbincang-bincang tentang pekerjaan mereka. Hanya perbincangan singkat dan tidak berat. Tetapi, perbincangan itu sukses membuat New merasa jika dia dan Tay cocok. Bukan cocok dalam arti sebagai pasangan, maksudnya adalah tentang pembicaraan dan kepribadian mereka.

“Udah nih, mau makan kemana?” Tanya Alice sambil menggandeng tangan New.

“Terserah kakak aja, aku ngikut,” Jawan New.

“Kebiasaan kamu mah dek, gak baik ngikut-ngikut terus. Setidaknya harus punya pendirian lah.” Kata Arm, New melihat Arm sebal.

“Dih tapi kalau jalan tuh aku terus yang milih sampai-sampai aku bingung, kalau aku bilang terserah pasti gitu terus katanya cih,” Komentar New yang membuat Tay dan Alice tertawa.

“Setidaknya aku ngasih pelajaran yang baik kan, dek?” Kata Arm, New hanya mendecih.

“Yaudah kita ke Mcdonald aja kali ya? Kemarin kamu bilang mau mcflurry kan?” Tanya Alice pada New, New hanya mengangguk. Ya, pada akhirnya mengikuti kemauan dia juga.

“Gak papa kan, Tay?” Tanya New pada Tay, tapi yang menjawab malah Arm.

“Alah, harus mau lah. Adek gue yang mau nih,” Kata Arm.

“Ih, diem gak?” Suruh New, dan Arm hanya tertawa.

Ketika sampai di Mcdonald, Arm pergi memesan sedangkan Alice, Tay, dan New langsung ke tempat duduk. Ketika Arm telah kembali ke tempat duduk dengan membawa pesanan, ia menyuruh Tay ke sana lagi untuk mengambil sisahnya.

“Jadi gimana Tay? Kok lo tiba-tiba dapat nama?” Tanya Arm begitu Tay kembali.

“Ya nggak tau juga, kayaknya gue ketemu soulmate gue dan pas bangun pagi gue lagi ngaca trus gue ngeliat ada yang baru di leher gue.” Jelas Tay.

“Mana coba, gue mau lihat,” Kata Alice, Tay menunjukkan lehernya. Di sana tertulis TT.

“Yah gue kirain bakalan ada nama New di sana,” Kata Arm dengan nada kecewa.

“Sama, aku kira juga gitu tadi,” Kata Alice.

“Dih kok?” Kata New sambil bingung kenapa dua orang yang akan menikah ini tiba-tiba membawa dirinya.

“Kamu kan dapat matahari, dan Tay ini adalah matahari,” Jelas Arm.

“Ya elah, itu kan penggilan gue dari orang-orang doang. Kemarin Krist juga bilang gitu wkwk,”

“Eh tapi TT itu bukan kayak nama orang deh,” Kata Alice.

“Gatau juga sih juga, yang pasti gue bersyukur banget ternyata gue punya soulmate kayak lo semua. Ternyata gue nggak bakalan berakhir kayak novel alone gue,” Kata Tay setengah tertawa meski sebenarnya ia sangat sedih.

“Kok kamu dapat matahari, bukan nama New?” Tanya Tay penasaran, New menggeleng tak tahu. Jika tahu alasannya, mungkin akan jadi mudah baginya selama ini. Ya, tapi setidaknya New masih lebih beruntung daripada Tay.

Suasana kafe hari ini sangat ramai, hal ini membuat New sangat kewalahan ditambah lagi ketidakdatangan salah satu pegawainya karena sedang sakit. Kafe New, SIFY mempunyai tujuh orang pegawai. Dengan dua tiga orang membantunya di dapur, tiga orang mencatat dan mengantarkan pesanan, dan satu orang berjaga di kasir.

Kata Bright, salah satu pegawainya yang bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan, hari ini mereka kedatangan tamu istimewa, yaitu Sang Matahari. New tidak mengenal siapa itu, tetapi katanya ia adalah seorang penulis buku terkenal. Karenanya, banyak pelanggan-pelanggan yang datang ke kafenya hanya untuk bertemu si penulis itu.

“Kak New, itu dia datang,” Ucap Bright sembari menunjuk pintu masuk yang baru saja menunjukkan seorang lelaki berkulit tan dengan kacamata yang bertengger dihidungnya, diikuti oleh lelaki manis tembem yang lebih pendek di belakangnya. New hanya bisa mengangguk mengerti, karena jujur ia tidak peduli dengan orang itu. Pikiran New masih dibayang-bayangi pertemuannya dengan soulmatenya kemarin.

“Kak New, aku yang samperin ya?” Tanya Bright, New mengangguk dan membiarkan pegawainya itu melakukan apa yang ia inginkan. Melihat respon yang diberikan New membuat senyum Bright merekah, ia segera berjalan menuju meja sang matahari.

New kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan tamu yang datang. Hari ini, ia sedikit tidak fokus. Pertemuannya dengan soulmatenya kemarin sangat mempengaruhi New. Sejak pulang dari Gramedia, New tidak henti-henti memikirkan bagaimana rupa soulmatenya, siapakah nama soulmatenya, dan segala hal yang berhubungan dengan soulmatenya. Tapi jujur, meskipun bingung New sangat bahagia karena ia memiliki soulmate.

“Kak, ini pesanan nya,” Ucap Bright sembari memberikan kertas yang berisi pesanan.

“Ha, es kosong?” Bingung New ketika melihat nama menu yang tidak ada di meu kafenya.

“Iya kak, air putih kasih es batu gitu. Katanya dia udah biasa pakai itu, jadi susah kalau gak ada,” Jelas Bright.

New mengangguk mengerti dan mulai menginfokan pesanan itu kepada pegawainya yang lain. New heran, Bright masih betah berada di dapur dan tidak kembali ke depan. Bright juga terlihat aneh, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi ia ragu.

“Kenapa?” Tanya New, Bright terlihat kaget dan salah tingkah.

“Aku jadi kepikiran,” Kata Bright, ia menjeda perkataannya cukup lama.

“Apa mungkin kak Shin itu soulmatenya Kak New, ya,” Lanjutnya. New melihat Bright dengan penuh tanda tanya. Bright terlihat malu-malu, mungkin ia takut dimarahi.

“Shin siapa?” Tanya New

“Eh, itu yang tadi kak. Sang Matahari. Nama penanya Shin” Jelas Bright, New mengangguk paham.

“Kenapa kamu mikir gitu?” Tanya New.

“Soalnya matahari” Jawab Bright, New tertawa.

“Udah ah, ngaco. Kayaknya tanda matahari ini gak sesimpel itu Bright. Lagian, kemarin aku udah ketemu soulmate aku,” Kata New

“Hah, serius?” Tanya Bright heboh, New mengangguk.

“Gimana?” Tanyanya

“Gak tau sih, belum lihat wajahnya. Keburu pergi orangnya, ramai di sana,” Ujar New

“Udah ah, sana balik lagi. Biar aku yang nganterin nanti, kamu pergi ke lantai atas sana” Suruh New, Bright pamit dan segera pergi ke lantai atas.

Sebenarnya, New memikirkan ucapan Bright. Apa mungkin penulis buku itu adalah soulmatenya? Tapi sepertinya bukan. New yakin lelaki yang berjalan dengannya tadi adalah soulmatenya. Dan, tidak mungkin semudah ini, ia sudah mencari selama tujuh tahun tidak pernah ketemu.

Tentang kalung, New sudah menyebarkannya di media sosial, tetapi belum ada info yang masuk. Kali ini, New benar-benar tidak akan lelah mencari, ia yakin soulmatenya juga sedang mencarinya.

“Eh itu untuk si penulis buku kan?” Tanya nya, Jane, salah satu pegawainya mengangguk.

“Taruh situ aja, gak usah panggil Khao. Ini aku yang nganterin,” Ucap New, Jane hanya mengangguk paham.

“Apa mungkin itu soulmate kak New?” Gumam Jane yang masih bisa didengar oleh New.

“Gak tau deh, aku mau mastiin,” Balas New, Jane kaget karena mendapat balasan dari New.

“Eh, maaf kak,” New tersenyum maklum.

Setelah mengecek semua pesanan lengkap, New segera menuju meja nomor 19. Meja itu berada di pojok, didekat pohon kecil yang New letakkan. Meja itu berisi dua orang lelaki yang sepertinya sedang berdebat.

“Aku udah bilang, aku gak ada inspirasi Kit,”

“Tapi kak-“

“Maaf menganggu, ini pesanan kalian.” Ujar New sembari menyusun pesanannya di meja.

“Makasih,” ujar lelaki yang disebut Bright sebagai Sang Matahari, atau Shin.

“Eh, fansnya kak Tay ya?” Tanya lelaki lain yang ada di sana.

“Tay, siapa?” Tanya New bingung.

“Kakak ini!” Ujarnya sambil menunjuk lelaki di depannya. Lelaki yang ditunjuk hanya tersenyum malu.

“Bukan,”Jawab New pelan.

“Loh tapi kok sampai bikin tato matahari?” Tanya lelaki itu lagi sambil menunjuk leher New. Tay atau Shin berusaha menghentikan lelaki itu.

New tersenyum sambil menyentuh gambar di lehernya. Gambar itu memang tidak terlalu kelihatan, tetapi jika dari jarak sedekat ini tentu akan sangat terlihat.

“Ini tanda soulmate aku,” Jawab New yang membuat wajah kebingungan lelaki itu.

“Kok bukan nama?” Herannya, New hanya menggeleng karena ia sendiri juga tidak tahu kenapa.

“Atau mungkin dia soulmate kakak?” Hebohnya pada lelaki di depannya. Tidak ada respon.

“Maaf kak Tay, aku lupa kalau kakak gak punya soulmate,” Ujarnya pelan dengan nada penuh penyesalan. New pamit mengundurkan diri karena tidak ingin terlibat lebih dalam, dan masih banyak hal yang harus ia kerjakan.

Sebenarnya, ia sedikit penasaran dengan ucapan lelaki itu. Tidak punya soulmate itu maksudnya seperti apa. Tapi, karena ucapan itu juga New tahu kalau lelaki tadi bukan soulmatenya.

New tak henti-henti menghela nafas. Jam yang terpasang di tangannya sudah menunjuk angka satu, tetapi orang yang ia nanti masih belum datang. New membuat janji dengan Gun, sahabatnya. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama di weekend ini, karena weekend depan Gun mempunyai banyak jadwal sehingga untuk menghubungi New saja tidak ada waktu. Sedangkan New, ia masih sedikit luang karena ia mengelola sebuah café dan ia memiliki pegawai yang bisa membantunya.

“New, maaf,” ucap lelaki mungil yang baru saja sampai di depannya.

New mengalihkan pandangannya, ia bertingkah seakan-akan ia sedang marah pada sahabatnya itu.

“Jangan marah dong beb, tadi aku mampir dulu ke rumah Off,” Ucapnya sambil menoel-noel pipi berisi New.

“Sempat-sempatnya kamu ngapel dulu ya? Nggak mikirin aku yang udah setengah jam nunggu di sini,”

“Maaf, aku traktir deh!”

“Dih emangnya aku semurah itu?”

“Aku beliin alat yang kemarin kata kamu lucu”

“Oke, bagus,” Tanyanya sambil terkekeh, yang membuat temannya hanya memutar bola matanya malas.

“Oh iya, kapan kenalin aku sama Off?” Tanya New sambil menarik tangan sahabatnya untuk segera berjalan.

“Oh iya, lupa. Kalau Off manggung aku ajak kamu deh,” Katanya.

“Lah kok dia manggung? Bukannya dokter gigi?” Tanya New kebingungan, seingatnya Gun pernah bilang kalau soulmatenya itu adalah dokter gigi.

“Dia emang suka manggung gitu sama teman-temannya. Katanya sih, buat ngusir stress,” New hanya mangut-mangut denger penjelasan Gun tentang soulmatenya.

Sebenarnya New iri, Gun sudah menemukan soulmatenya. Gun dan Off bertemu satu bulan yang lalu, saat sedang menghadiri pelatihan. Dan sekarang Gun dan Off sudah berpacaran, mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk menikah. Sedangkan New, diumurnya yang ke-27, ia masih belum menemukan soulmatenya. Bahkan, ia masih belum mendapatkan info lebih lanjut tentang soulmatenya. Petunjuknya masih satu, yaitu gambar matahari di lehernya.

Jika kalian berpikir New tidak mencari, kalian salah besar. Karena nyatanya New sudah mulai mencari sejak tujuh tahun yang lalu. Tapi, hasilnya nihil. New tidak mendapatkan info tentang apa arti tanda matahari di lehernya. New juga tidak mendapatkan info tentang orang bernama matahari. Sekarang New mulai lelah mencari, sepertinya ia memang tidak mempunyai soulmate.

“New, jadi ke gramedia gak?” Tanya Gun dan membuyarkan semua pikiran New.

“Oh iya jadi, ayok” Katanya.

“Kenapa?” Tanya Gun, New sedikit terkejut mendapat pertanyaan seperti itu.

“Kamu mikirin apa?” Tanya Gun lagi.

“Kenapa aku harus punya teman yang super peka sih?” Pertanyaan tanpa butuh jawaban itu diucapkannya.

“Mikirin kamu nggak punya soulmate lagi ya?” Tuding Gun, New memilih untuk tidak menjawab. New tahu, Gun tahu jawabannya.

“Kamu itu kenapa sih? Kan aku udah bilang, kamu itu punya soulmate. Jangan pesimis gitu. Nggak mungkin ada orang yang bakalan ngehabisin waktu tuanya sendirian kan?”

“Bisa aja ada, aku contohnya.”

“Ih New, kamu itu cuma belum ketemu dia bukan berarti kamu nggak punya,” New memilih mengacuhkan perkataan sahabatnya. Ia memilih untuk segera memasuki gramedia, meski Gun memanggilnya.

“Cepetan sini, gak usah ngoceh!” Kata New sambil melihat ke arah Gun yang ada di belakangnya.

Tanpa New sadari, ia telah menabrak seseorang di depannya. Waktu terasa berhenti, jantungnya berdegub kencang. Ada perasaan nyaman yang menyelimuti tubuhnya. New merasakan gambar matahari di lehernya bersinar. Ia tersenyum dalam diam. New yakin, ia telah bertemu dengan soulmatenya.

Ketika New tersadar, Gun sudah berdiri di sampingnya dengan memasang wajah bingung. New melihat kebelakang, seorang lelaki sedang ditarik oleh sosok lelaki kecil disampingnya. New ingin berlari menyusulnya, tetapi mereka sudah memasuki kerumunan. Sepertinya, di sana ada acara.

“Hei, kenapa?” Tanya Gun, New tidak menjawab.

New berbalik dan berjalan menuju kerumunan itu. Langkahnya terhenti karena merasa ia sedang menginjak sesuatu.

“Kalung? Punya siapa?” Tanya Gun, New menggeleng.

“Punya soulmate kamu, New!” Ucap Gun heboh karena melihat kalung matahari itu sama persis dengan gambar matahari di leher New yang masih bersinar.

“Nah kan, aku yakin kamu punya soulmate

“Gun, aku harus cari soulmate aku,” Ucapnya kemudian menarik tangan Gun menuju kerumunan itu.

“Aku gak sempat lihat wajahnya, dan ini terlalu ramai. Aku cuma tau dia pakai baju warna kuning. ” Ucap New frustasi karena ternyata ada acara jumpa temu penulis, dan semua orang menggunakan baju warna kuning.

Gun menggenggam tangan sahabatnya, ia berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang frustasi.

“Setidaknya kamu udah punya kalungnya, New.”

“Setelah sekian lama, aku akhirnya bisa ketemu soulmate aku. Tapi, kenapa keadaan nggak mendukung.” Ucap New sedih.

“Tapi kalau sekarang kamu bisa apa? Tanyain satu-satu ke orang yang pakai baju warna kuning alias ke semua orang siapa yang punya kalung nya?” Tanya Gun, New menggeleng. Itu tidak mungkin.

“Kenapa tanda ketemu soulmate itu cuma satu kali datangnya?” Ujar New, Gun menarik sahabatnya menuju bangku. Mereka harus duduk.

“Kita pulang dulu ya? Kita bisa foto kalungnya dan umumin di media sosial” Kata Gun.

“Atau kamu tetap mau nyari sekarang?” Tawarnya, New terlihat ragu.

“Ya udah, kita lanjutin kegiatan kita yang tertunda aja. Aku nggak yakin bisa ketemu sekarang. Yang ada, aku malah capek.” Sebenarnya New tidak rela juga, tapi mau bagaimana lagi. Semua orang benar-benar menggunakan baju warna kuning, dan ini sangat ramai.

“Nanti kita pikirin lagi caranya, ya.”

Suasana cafe SIFY milik New siang ini sangat ramai, dan ia menjadi sangat sibuk karena pegawainya yang bisa datang hari ini lebih sedikit daripada sebelumnya. New bahkan beberapa kali hafus bolak-balik c