jinyeokissm

The Long Nightweishin 🔞

⚠️ Strictly nsfw ⚠️ Dirty words, slight degrading ⚠️ Blowjob, handjob, rough sex ⚠️ Unbeta-ed, typo harap dimaklumi

A/n: Lama ga nulis beginian, maaf kalau ga enak, hehehe. Kritik saran curiouscat.qa/iniabiels

enjoy?

Jikalau Eropa memiliki Pangeran William, dan Charles. Maka yang kita fokuskan sekarang ada di sebuah negara bagian di Asia. Korea. Memiliki sejuta rahasia yang tersebar di seluruh penjurunya. Hanya sedikit yang kalian tahu, entah sengaja ataupun tidak sengaja.

Denting sumpit dengan tabrakannya di piring menginvasi seluruh penjuru ruang makan. Mata sang pangeran sedikitpun tak melemah. Sedangkan yang menjadi objek tatapan hanya bisa menunduk dalam. Takut akan apa yang sedang ia alami, menjadi target sang pangeran. Dehaman rendah terdengar jelas. Kalut. Segera menatap paras tinggi yang kini mengelap sudut bibirnya. Tersenyum miring seolah mengatakan bahwa, dia sudah siap.

“Kau! Ikuti aku.” Telunjuknya menetap pas ke arah Wooseok yang kini gelagapan. Otaknya malfungsi. Oksigennya seolah direnggut dan tidak ada penyisaan untuknya.

“S-saya?”

“Ya. Siapa lagi manusia tercantik di sini? Cepat.” Bangun dari duduknya, Lee Jinhyuk, pangeran dari keturunan Raja Lee Seonggye Dinasti Joseon, berjalan menuju pintu yang langsung dibukakan oleh pelayan lainnya. Wooseok, pelayan baru tersebut mengikuti dengan langkah kecilnya, sedikit menunduk kala melewati pelayan-pelayan yang lebih senior darinya.

Bulan purnama menyebarkan cahaya malamnya. Dengan tergesa Wooseok mengejar langkah Sang Tuan Pangeran. Batinnya menjerit antara gelisah dan pujian banyak-banyak dilafalkan di hatinya. Tampan. Lee Jinhyuk memiliki paras yang tak bisa diragukan. Semua pangeran maupun putri seolah mengejarnya. Tubuhnya tinggi menjulang, ketika merengkuh seseorang pasti akan terasa nyaman dan serasa begitu dilindungi.

Jinhyuk berhenti di satu ruangan yang cukup jauh dari bangunan utama kerajaan. Berbalik spontan menyebabkan Wooseok sedikit berjengit kaget. Tatapannya lurus ke arah mata sang pangeran. Cahaya bulan menyinari wajah rupawan Jinhyuk. Sedikit seringai godaan muncul dari wajahnya.

“Nama?”

“Wooseok, Tuan. Kim Wooseok.” Cicit Wooseok pelan. Sedikit malu-malu. Jinhyuk mendekat. Tangannya mendekat ke wajah Wooseok. Diusapnya rahang sosok mungil di hadapannya. Matanya sebening kristal, berkaca-kaca, bibirnya merah menggoda, pun pipinya yang berubah warna.

“Cantik. Cantik sekali, Wooseok.” Sambutan dari Jinhyuk kemudian datang. Bibir tebalnya membelai nyaman bibir si pelayan. Tangannya menekan tengkuk Wooseok, menariknya semakin dalam. Lenguhan sedikit bernada keluar. Tangan Wooseok lancang meremat hanbok sang pangeran. Mengeluarkan desahan manis dari bilah bibirnya.

Jinhyuk menggigiti bibir bawah Wooseok, memang manis. Seperti si empunya. Jinhyuk tersenyum miring di sela-sela ciuman basahnya. Matanya tak salah pilih. Selama ini dia sudah cukup dengan pelacur sewaannya. Tak ada yang membuatnya merasa puas. Entah kenapa, mulai dari satu bulan lalu semenjak kedatangan Wooseok ke sini, dia seolah tak punya nafsu menggagahi orang lain. Pikirannya hanya tertuju pada si pelayan baru.

“Mmhn. T-tuan.” Wooseok menepuk-nepuk dada bidang Jinhyuk memintanya untuk melepaskan tautannya.

“Layani.” Satu kata perintah keluar dari mulut sang pangeran. Wajahnya sudah kepalang ingin. Jinhyuk menangkup wajah Wooseok dan mencumbu bibirnya kembali. Wooseok mengangguk lemah. Tangannya meraba dada yang masih dilapisi kain hanbok secara tak beraturan.

“T-tapi, T-tuan-hhh. Di sini? Hhhh..” Jinhyuk melepas tali yang membantu pakaian Wooseok menutup. Bibirnya masih membombardir dengan tak berakhlak. Dilucutinya pakaian Wooseok, di pinggir taman itu. Jari Jinhyuk menemukan titik di dada Wooseok. Menggulir pelan, mencubit, memelintir kencang secara tiba-tiba.

“AH! TUAN-HHH jangan...” Wooseok berteriak memutus tautan bibir. Matanya sayu, bibirnya membengkak, peluhnya keluar. Telanjang. Berantakan. Lengannya mengusap bibirnya yang basah.

Jinhyuk terkekeh. Yang di bawah sana sudah begitu tegang. Aneh. Dia tak pernah setegang ini pada siapapun. Dengan melihat pemuda di depannya seperti ini saja Jinhyuk bisa gila.

“Sial. Bagaimana bisa ada manusia sesempurna kamu?” Jinhyuk menarik Wooseok ke pelukannya. Tangannya turun ke pantat bulat Wooseok. Tangan besarnya menangkup bongkahan tersebut. Meremasnya kencang.

“Ah!! Ah tangan-hh tuan, besar...” Wooseok mendesah di pelukan Jinhyuk. Jinhyuk meremas lagi dengan semangat membara. Racauan Wooseok semakin tak terkontrol.

“Tangan saja sudah begini kacaunya,” Jinhyuk menampar pantat Wooseok, meninggalkan jejak. Ia kini menggigiti telinga Wooseok. Menggelinjang. Meraung menginginkan lebih.

“Iya, Tuan... Hancurkan saya Tuan...” Wooseok menubrukkan tubuhnya di dada Jinhyuk.

Wooseok melingkarkan tangannya di leher Jinhyuk. Jinhyuk menggendong Wooseok ke salah satu ruangan. Setelahnya pintu ditutup rapat, mendorong tubuhnya ke arah tembok. Kaki Wooseok dipaksa berpijak di lantai kayu. Tangan Wooseok ditarik ke atas. Dikunci. Dirinya kemudian menggerayangi puting kanan Wooseok.

“P-pangeran...” Wooseok menggeleng kencang, “Jangan... Aahhh...”

“Pelayan sepertimu tidak cocok pekerjaan pembantu seperti mereka.” Jinhyuk melucuti cepat hanboknya. Kembali mengunci gerakan tangan Wooseok.

“Kamu cocoknya jadi pelayan seksku. Bagaimana? Kamu bersedia, manis?” Tangannya yang lain mengocok penis Wooseok. Wooseok melenguh tinggi. Mengangguk abstrak.

“Jawab!”

“Mmmh Tuan-hh anghh. Nyaaah. Mau, Tuan. Mau.” Jinhyuk lalu menyusu di puting Wooseok. Giginya menggigit kecil puting tegang milik seseorang yang kini tak berdaya dalam kungkungannya.

“Aku tak pernah merasa sepanas ini sebelumnya, Wooseok. Tangan yang mengocok penis Wooseok memaksa masuk ke dalam mulut Wooseok. Diterima dengan baik, digigit pelan, kemudian disesap, disedot kencang.

“Angghh, hhnghh.” Tak bisa berbicara secara jelas, hanya dapat menutup-membuka mata. Keenakan.

Jinhyuk yang merasa tangannya telah basah sekali karena saliva Wooseok langsung mengeluarkannya dari mulut hebat Wooseok.

“Hhh hhh Tuan Jinhyuk-hh. Saya ingin lancang meremas rambut tuan. Apa diperkenankan?” Belum sempat dijawab, jari Jinhyuk dengan tiba-tiba menerobos lubang Wooseok. Membuat tubuh si empunya bergetar karena kaget.

“AGHH TUAN-HH. Ampun.. OH!” Menjerit kencang, dan kakinya ia lebarkan. Liurnya menetes tak karuan. Seringai Jinhyuk semakin terjelaskan.

“Hm? Begini saja kamu sudah ampun-ampun. Gimana kalau penisku yang besar ini hm?” Jinhyuk membalik badan Wooseok. Dilebarkannya pintu masuk untuk ke dalam Wooseok. Menggeram rendah kemudian menjebloskannya dalam.

“Ahkk, p-penuh...” Wooseok sampai menangis karena merasa penuh dan nikmat. Jinhyuk mulai bergerak. Tangannya dia bawa ke pinggang Wooseok. Dieratkan pegangannya, menarik tubuh si mungil berlawanan arah.

“Ssh, Wooseok.” Jinhyuk bergerak cepat, akurat menumbuk titik ternikmat Wooseok. Desah putus-putus memasuki indra pendengaran Wooseok, membuatnya merinding. Antara percaya tidak percaya, dia sedang melakukan seks dengan seorang pangeran! Tersedak akan informasi itu, Wooseok menumpukan tangannya di dinding. Mencakar dinding kayu tersebut ketika Jinhyuk menggenjotnya kencang, sangat kencang.

Ia yakin besok tak bisa berjalan. Karena sang pangeran seolah tuli dan menumbuk tubuhnya yang terhentak-hentak tak manusiawi.

“Ahhh saya dekat Tuan-hhh.” Jinhyuk mempercepat tempo, ingin sampai bersamaan dengan Wooseok.

Lima menit kemudian, cairan Wooseok muncrat begitu indahnya ke dinding. Lenguhan mencapai tempat teratas terdengar nyaring. Jinhyuk menusuk begitu dalam, menahannya, dan menembakkan sperma terbaiknya di dalam.

“Ahhh Wooseok...”

“P-pangeran... Hhh.”

bukan salah kamu.Weishin

Happy anniversary, teman-teman seperjuangan, weishinist.

19 Juli, tahun sebelumnya.

Wooseok dan Jinhyuk. Dua insan yang setidaknya telah mengenal cukup lama. Berawal ketika tahun kedua perkuliahan, di sebuah lapangan luas.

Pertemuan mereka tak se-spesial itu. Biasa. Tapi setidaknya terasa berharga. Dimulai dari percakapan biasa di bawah pohon rindang yang teduh, menunggu selesainya pertandingan tahunan antar fakultas mereka.

“Anak FIB?”

“FIA.”

“Oh, gue anak FIB. Pantesan ga pernah lihat.”

“Ya, gue juga ga pernah main-main ke fakultas orang, sih.” Nada meroket sedikit tercium dari kalimatnya barusan. Sedangkan yang lebih tinggi hampir 10 cm darinya tersenyum maklum.

FIA terkenal dengan mahasiswanya yang terlihat edgy. Sedangkan FIB seperti kebalikannya. 180 derajat.

“Kapan-kapan main, lah. Kantinnya FIB paling juara loh di kampus. Lo nyesel kalo ga pernah nyoba makan di sana.” Berbeda dengan sebelumnya, pemuda kecil di sebelahnya menoleh ragu, tapi antusias. Ingin tahu, tapi dirundung malu.

“Oh ya?” Jinhyuk mengangguk meyakinkan. Matanya tertutup dengan sempurna. Lengkungan abnormal bibirnya memberikan rasa hangat itu sendiri.

“Iya! Gue temenin deh, err?”

“Wooseok.” Entah kenapa hati Jinhyuk berdebar. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Geli, tapi meminta lebih.

“Oke, Wooseok. Gue Jinhyuk, btw.” Seulas senyum terulas. Menyambut baik orang yang memiliki senyum secerah matahari terik siang ini.

“Iya, salam kenal Jinhyuk.”

“Salam kenal, Wooseok.”


Tak pernah sekalipun terpikir oleh Wooseok dia akan menginjakkan kaki di fakultas lain. Dia cukup malas, karena baginya FIA telah memiliki segalanya. Dari atm centre, kantin berpendingin ruangan, cafe, semua bagai ada di sana. Maka tak perlu sedikitpun pergi sejengkalpun ke fakultas lain yang jelas-jelas tak selengkap FIA.

Mata kucingnya berpendar ke segala arah. Mencari eksistensi seseorang yang berjanji menemaninya mencoba makanan di kantin FIB. Sedikit memicing karena kontak lensanya yang berukuran lebih kecil dari mata minusnya.

Sampai pucuk kepalanya ditepuk sederhana. Sedikit membuatnya berjengit kaget. Menoleh ke belakang, dan menemukannya. Lee Jinhyuk di sana, dengan senyuman khasnya.

“Wooseok! Maaf ponsel gue mati, hasn't been charged since yesterday, so…” Wooseok mengangguk, matanya sedikit meneliti rupa Jinhyuk siang ini. Sedikit peluh mampir di dahinya, menciptakan anggapan bahwa dia sehabis berlari.

“Lo kenapa lari-larian?” Anehnya, tangan mulus yang sebelumnya terlalu rentang dengan apapun itu yang jauh dari kata bersih itu menyentuh bulir keringat Jinhyuk. Mengusapnya lembut. Menciptakan gemuruh aneh di dada keduanya.

“Eh, Seok, gapapa, ini keringet gue loh, nanti tangan lo kotor.” Jinhyuk menyentuh punggung tangan Wooseok, menghentikan pergerakannya. Mata keduanya bertemu pandang, menjelajah betapa dalam dan hangatnya satu sama lain. Sepersekon detik mereka tersadar. Bertingkah salah tingkah yang paling aneh sedunia.

“Eh!! Maaf, Jinhyuk!” Mata Wooseok terlihat bergerak ke sana kemari. Wajahnya memanas. Bahkan telinganya seperti terbakar.

“Iya, gapapa. Cuman takutnya nanti tangan lo kotor.” Jinhyuk mengusap tengkuknya. Tak berani pula memandang pemuda manis di depannya.

“Gapapa…” Wooseok tertegun kala tangan besar Jinhyuk mengusak rambutnya gemas.

“Yaudah, yuk? Laper 'kan?” Setelah anggukan Wooseok terlihat, keduanya langsung berjalan menuju area kantin FIB.

Tak pernah sedikitpun dia berpikir akan memakan bakso granat dengan es teh di hadapannya, ketika biasanya dia memakan setidaknya croisssant dengan coklat hangat di tangannya.

Tapi, disinilah dia, memakan baksonya lahap, sambil mendengarkan ocehan Jinhyuk yang seolah memiliki sejuta cerita di dalamnya.

Bagaimana Jinhyuk mengenalkan dirinya secara blak-blakan, bercerita sistematika jurusannya, bahkan nominal kucing yang ia miliki di rumah.

Wooseok tak pernah merasa seperti ini. Asing. Tapi hangat. Asing. Tapi menyenangkan. Asing. Tapi tak ingin ia akhiri.

“Gue seneng ketemu sama lo, Jinhyuk. I think my life will be better with you in it. Let's be friend?

Bulatan sempurna terbentuk di bibir Jinhyuk, kemudian lengkungan manisnya muncul. Mengangguk semangat, mengiyakan.


“Gue minta maaf, Seok.” Teralih dari tumpukan buku di depannya, Wooseok melepas kacamatanya bingung. Matanya menelisik. Mencari ada maksud apa dari kalimat yang Jinhyuk lontarkan barusan.

“Apa? Lo abis ngelakuin kesalahan apa?” Jinhyuk meringis. Ini bodoh. Bahkan mereka sudah sama-sama tahu perasaan masing-masing. Tapi masih saja mereka merasa bingung.

Ikatan? Pertanyaan macam apa itu? Semuanya bahkan sudah tahu, ikatan antara mereka begitu kuat.

Tapi status? Jangan tanya. Semuanya bahkan sudah lelah mendengar “Kami hanya teman.” dari mulut keduanya. Muak. Ketika tahu, perasaan mereka bukan hanya sekedar sahabat.

“Gue tau ini aneh, dan ga pas banget timingnya. Ini udah h-7 UAS, kita lagi di perpus. Lo dengan segala buku ekonomi lo, dan gue dengan segala buku sejarah yang ga ada abisnya. Tapi gue gabisa nahan ini lagi, Seok.” Matanya menatap tajam ke lawannya, tidak ada jalan kembali. Ini sekarang atau tidak selamanya.

“Sebelum ketakutan, terus kecupuan gue ilang, i just want to tell you this.” Wooseok menahan napasnya, ini yang ia tunggu, atau bukan? Ini yang menjadi imaji fananya, atau bukan?

“Gue suka lo. Kim Wooseok, gue suka ㅡnggak, gue sayang sama lo. Cheesier, i love you. Will you be mine?” Dan napas lega Wooseok keluar.

Imaji fananya menjadi kenyataan.


20 Februari, lima tahun selanjutnya.

“Bukan salah kamu, Seok.” Masih sama. Senyum indah di wajah Jinhyuk masih sama. Seolah bukan teh pahit yang disesap Wooseok. Seolah bukan kudapan yang terlalu manis hingga membuat Wooseok pening. Bukan itu semua. Darahnya mengalir ke ulu hati, dan kemudian jantungnya.

“Jangan kayak gini, Jinhyuk. Bahkan monyet alaskapun tau kalo semua ini salahku.” Wooseok mendongak, menancap pandangannya ke dalam obsidian gelap yang menatapnya sendu.

Alaska has monkeys?

“Perumpamaan.” Tangannya dibawa ke arah pinggang Jinhyuk. Menarik pria itu ke dalam pelukan. Yang dipeluk hanya mengusap punggungnya lembut.

This is my fault. Kalo aja aku dari awal bilang nggak. Semua ini ga akan kejadian, 'kan, Jinhyuk?” Kaus deux Jinhyuk mulai basah. Wooseok selalu seperti ini. Terlalu baik, terlalu banyak pengorbanan di hidupnya.

“Nyesel ga akan ngerubah segalanya, Seok.” Jinhyuk melepas pelukannya, namun masih memegang bahu Wooseok dengan lengan Wooseok yang melingkar lemah di pinggangnya.

“*I just… so obsessed with being a good son for them. But they seems don't care about my happiness.” Nada putus asa terdengar begitu jelas darinya. Meminta pertolongan bahwa segalanya terlalu rumit untuk dilakukan.

I'm so proud of you. You are a good child, Bee. You deserves the world. Orangtua tau mana yang baik, mana yang nggak buat anak mereka. Parents comes first. In case you forget. Aku bakal marah kalo misalnya kamu ngebantah mereka,” Jinhyuk memeluk erat Wooseok. Jantungnya sakit. Seolah ada ribuan anak panah yang hinggap mampir ke sana. Seolah jarum teruncing yang pernah ada menusuknya.

“Walau itu ngerenggut kebahagiaanku?” Wooseok tersenyum getir. Tubuhnya lemas. Kemungkinan yang dulu sempat ia pikirkan, setidaknya akan kejadian.

“Kebahagiaanmu bakal pulih lagi. I'm sure of it.” Ingin rasanya ia berteriak bahwa semua ini menyakitkan. Berteriak bahwa semua ini tak adil. Bahkan ia ingin berteriak pada angin yang berlalu, mengapa hidupnya harus seperti ini.

“*Things come and go, and we surely can not deny it. You've seen my loss. I've seen yours, too. We knew how it feels. And never dream of this. But, life must go on, hon. You have to live. And that's how you keeping me alive. And sane.” Jinhyuk mengecup puncak kepala Wooseok lembut. Menciptakan fraksi yang tak ingin Wooseok ganti dengan apapun.

“*Can I have a kiss?” Jinhyuk menunduk, tersenyum. Mengangguk dan mendekat. Wooseok menutuo matanya. Menikmati dan mengingat rasa dari bibir dan sisa-sisa emosi. Ciuman hangat, tapi sesak. Ciuman penuh cinta, tapi dibarengi air asin yang turun entah milik siapa.

Keduanya hanya ingin memagut, bahkan jika ini yang terakhir kali.


19 Juli, 5 bulan setelahnya.

You have one message!

Teruntuk, Kim Wooseok. Manusia paling hebat, paling sempurna, paling aku damba.

It was such a blessing that i know you. You have plenty of secrets, ideas, and how much I adore your preference on life.

I'm sorry. Aku pikir aku bakal kuat, ketika hari ini kamu mengucap janji sakral sehidup semati dengannya. Tapi, nyatanya nggak. Maaf aku gabisa ngelihat kamu di altar. Hatiku banyak hancur ketika yang ada di sampingmu bukan aku.

I'm sorry for everything. These memories will be kept forever in mine. Maaf buat malam-malam randomku yang tiba-tiba nelpon kamu just to make sure you were there, and mine. Maaf buat malam-malam aku ngeracau because of lots things happened, and you were there. Maaf pernah bikin kamu nangis seharian gara-gara aku usus buntu, but you were there. The sad truth, you always been there. And this time, I have no 'you.' It's my time to get a grip of my own self right?

I loved you, I loves you. You are my everything, Wooseok. Aku masih belum tau setelah ini aku harus apa. Karena tiap hal kecil, they reminds me of you.

Thus, i do look pathetic, i don't care. As long as it is for you. I wish you a longlife happiness afterwards. Please, stay alive. Stay happy. It keeps me sane, and alive. I will gladly meet you, after this heartbreak reduced.

See you in another life, Kang Wooseok.

With love, ljh.

playground.weishin

⚠️ raw sex, on public ⚠️ blowjob, handjob ⚠️ fluff-sex ⚠️ Top! Wei, bott! Wooseok

A collab with Kak Ila, i'll share her username after she reactivated her account 🙏

enjoy!

It feels nice.” Wooseok menoleh ke arah pemuda di sebelahnya. Menatapnya dengan pandangan bertanya, bahwa secercah senyuman Wei membuat hatinya hangat.

“Apa?” Bukannya jawaban yang keluar dari Wei, genggaman erat di tangan Wooseok mengerat, seolah memberikan pernyataan bahwa yang ia genggam saat ini nyata. Senyumnya melebar merasakan hangatnya genggaman mereka. Matanya menyipit.

“Jalan-jalan sore bareng kakak.” Wei menatap hangat rembulan di hadapannya. Wooseok menaikkan alisnya bingung.

“Tumben?”

“Ga tumben kak, beneran. Wei loves every second that i spend with you, wholeheartedly.” Wei berdecak kemudia mengusak pelan rambut Wooseok.

“Rambutnya berantakan nih ih!” Wooseok merengut dan mencebik. Wei tersenyum tipis. Tangannya ia bawa untuk merapikan kembali rambut Wooseok.

“Cantik.”

“Memang.”

“Idih pede.” Keduanya tertawa, entah karena apa, tapi tak mengapa. They like the tension of it.

“Mau jajan ga? Abis itu kita makannya di playgroud deket apart aku.” Wooseok melepas genggamannya dari Wei. Menatap harap sambil berjalan mundur, tak lupa dengan binar terang di matanya yang membuat siapapun terkesima.

“Ayok. Kakak traktir?!”

“Dih, bocaah. Yaudah, it's on me. Tapi ayo balapan, yang nyampe minimarket duluan yang dibayarin!” Wooseok berbalik dan mulai berlari.

“KAKAK CURANG!”


Selepas membeli kudapan di minimarket, keduanya sekarang sedang duduk-duduk santai di rumah pohon yang berjarak tidak lebih dari satu jengkal di atas tanah, sambil menikmati jajanan yang tadi sudah dibeli. Rumah pohon ini lumayan besar, jika dilihat lagi, ini lebih pantas disebut gazebo. Hanya bedanya lebih tertutup. Ada beberapa lubang mirip pintu dan jendela namun tanpa daun di bagian depan dan sisinya. Karena disengaja didesain untuk anak-anak agar bisa berlari-lari dengan bebas.

Di samping rumah-rumahan kayu ini, ada taman bermain pada umumnya. Satu pasang ayunan rantai, jungkat-jungkit, perosotan, dan gelas putar. Suasananya nyaman dan sejuk, banyak pohon rindang di sekitarnya. Tapi anehnya, meski tempatnya nyaman, di sini jarang terlihat pengunjung anak-anak mampir. Mungkin karena terletak di blok yang sepi, serta belum banyak penghuninya. Jika pun ada, hanya satu atau dua anak yang ditemani sang ibu bermain sehabis mandi sore sembari disuapi makan.

“Kakak jail banget, sih!” Seruan Wei terdengar jelas daei dalam. Tangannya konstan mendaratkan kelitikan di bagian tubuh Wooseok, hingga terlihat Wooseok memerah dari leher ke telinga.

“Weeeei! Udah, ih! HAHAHA.” Wooseok tidak tahan. Napasnya mulai sesak, kehabisan oksigen karena terlalu banyak tertawa. Kalau terus-terusan seperti ini, energinya bisa-bisa habis. Es krim yang baru dihabiskan separuh, sekarang ditaruh di samping kepalanya. Punggungnya kini berbaring, menyatu dengan lantai kayu.

“Kakak minta maaf dulu sama aku!” Wei masih gencar menggerayangi tubuh wooseok. Wei fokus sampai tidak sadar kalau Wooseok sedang merencanakan perlawanan. Tiba-tiba Wooseok mencengkram kedua bahu Wei, dan membalikkan posisi dalam satu manuver. Wei mengerjap, masih berusaha memproses keadaan yang membuatnya berganti posisi menjadi telentang di bawah kungkungan Wooseok. Kaki Wooseok menghimpit dua kaki Wei di sisinya. Mengunci pergerakan Wei.

“Yaudah, kakak minta maaf. Kalo gitu sebagai permintaan maaf, kakak suapin kamu beneran, ya.” Wooseok berkata di depan wajah Wei. Tubuh atasnya berbalik meraih tempat eskrim di belakangnya. Bukannya langsung menyuapkan eskrim ke mulut Wei, Wooseok malah menyuapkan eskrim ke mulutnya sendiri dengan gerakan sensual lalu merunduk meraih bibir Wei yang ada di bawahnya.

Wooseok menerabas mulut Wei dengan lidahnya, memasukkan eskrim dari mulutnya sambil menjelajah seisi mulut Wei yang manis. Dari mulai membelit lidah sampai mengabsen gigi Wei. Sesekali menggigit dan mengulum bibir Wei yang rasanya makin manis dan ditambah sensasi dingin karena sisa-sisa lelehan eskrim yang berceceran.

“Hng, k-kak.” Samar-samar geraman Wei di tengah pagutan bibir mereka. Wooseok benar-benar mengunci pergerakan Wei, karena sekarang pergelangan tangan Wei digenggam Wooseok.

“Ya, sayang?”

“Di sini… banget?????” Wei memegang wajah sayu Wooseok. Menatapnya ragu.

“*It's one of your kinks, right? Having sex in public?” Wooseok memeluk Wei sambil bergoyang di atasnya.

“K-kak…”

“Wei, mau main 'kan?” bisik Wooseok erotis di telinga Wei. Usaha Wei menormalkan detak jantungnya yang berantakan malah gagal. Aliran darah rasanya semakin deras mengalir ke bagian selatannya.

“A-ah, k-kak...“ Belum sempat Wei menjawab, Wooseok malah memainkan gundukan celana Wei yang semakin keras. Membuat Wei menggeram.

“Mau, ya? Liat dia juga mau.” Wooseok masih mengelus dan menekan milik Wei.

“Nghh, m-mau kak.” Tangan Wei meraih pergelangan Wooseok meminta agar Wooseok melakukan lebih.

Wooseok membuka zipper dan pengait celana Wei yang semakin ketat, meremas gundukan yang semakin terlihat lebih besar dan keras, membuat Wei mendesah tertahan. Detik kemudian, Wooseok mengeluarkan milik Wei yang benar-benar tegang ke atas. Benar-benar pas digenggaman Wooseok.

“Wei, kenapa makin besar?” wooseok mengocok pelan sambil meremas milik Wei.

“Biar kakak pu- Aduh, k-kak.” Wei hanya bisa mendesah, tak bisa menyelesaikan jawaban dari pertanyaan kakak manisnya.

Tiba-tiba rasa basah menyelimuti milik Wei, punggungnya menegang dan napasnya memburu. Wooseok rupanya mengganti tangan dengan mulutnya. Mengemut milik wei, penuh di mulutnya yang mungil. Lidahnya handal memainkan seluruh bagian, sesekali menggeram dan menggesekkan giginya pelan mengirimkan aliran listrik yang membuat Wei menggigit bibirnya afirmatif.

Satu-satunya hal yang bisa Wei lakukan hanya menggenggam rambut Wooseok sambil menjeritkan ‘jago banget, kak!’ yang hanya berhasil keluar satu kali dalam banyak percobaan. Apresiasi lainnya ia gumamkan dalam kepala sambil mengusap rahang Wooseok, karena sisanya yang terdengar hanya desahan atau jeritan tertahan. Namun saat Wei akan sampai, Wooseok malah berhenti dan melepas kulumannya. Dia bangkit menatap Wei.

“Wei, mau coba main di atas?” Wooseok menawarkan posisi baru dalam permainan mereka, selama ini, meski Wei menjadi pihak yang masuk, tapi selalu wooseok yang memimpin permainan. Wei belum pernah mencobanya, dia selalu menunggu apa yang Wooseok lakukan selanjutnya. Dia merasa jika dia yang melakukan, ia takut Wooseok akan merasa tidak puas.

“Hah? Beneran?” Wei yang terpejam langsung membuka matanya, terkejut dengan pertanyaan Wooseok barusan. Ia belum bisa membayangkan.

“iya, sayang. Coba, ya?” Wooseok mengelus pipi dan rambut Wei lembut.

“Ya? Hm?” Wooseok bertanya sambil menciumi wajah Wei. Mencoba meyakinkan adiknya yang terlihat mulai resah.

“B-boleh. Wei boleh coba?” Keringat di pelipisnya menetes ke bawah. Nafasnya masih tersengal, tapi tangannya mengelus punggung Wooseok yang masih dibalut kaos putihnya.

“Boleh.” Diberi dorongan seperti itu, Wei langsung mengganti posisinya. Ditatapnya mata cantik Wooseok lagi, dipujanya seolah sekian juta bintang di atas tak ada artinya.

Tungkai Wooseok melingkar di pinggang Wei, menariknya lebih dekat saat Wei sudah memposisikan diri di atasnya. Membuat Wei terkejut lalu terjatuh di atas Wooseok, untung saja telapak tangannya gesit menahan berat tubuh agar tidak menindih Wooseok.

“Kakak!” Wei protes dengan gerakan Wooseok yang tiba-tiba. Wooseok hanya terkekeh.

“Kamu lama!” Lanjut Wooseok sambil menarik tengkuk Wei agar jarak mereka semakin minim. Wei bisa merasakan napas Wooseok di permukaan wajahnya. Hangat. Wei memperhatikan bibir wooseok yang bengkak akibat kegiatan blowjobnya tadi.

“Kak... Cium, boleh?” Bisikan Wei terdengar berat, kalau sudah begini mana bisa Wooseok menolak pesona Wei yang polos namun aura dominannya terlihat begitu jelas di hadapannya. Wooseok pun mengangguk cepat.

Wei perlahan mengecup bibir Wooseok, beberapa kali. Hingga Wei menghisap bibir atas Wooseok kencang, yang dihadiahi cengkraman Wooseok di lengannya.

Hah hah.” Wooseok berusaha menghirup napas sebanyak-banyaknya saat Wei akhirnya melepas hisapan di bibirnya.

Tapi Wei tidak membiarkan Wooseok beristirahat. Ia kembali melahap bibir ranum di hadapannya menjelajah rasa yang lebih nikmat dari yang selalu ia cicip. Wooseok melenguh tertahan, menarik tengkuk dan rambut Wei.

“Hhh, Wei. Kamu gila!” ucap Wooseok putus-putus disela tarikan napas pasca pergumulan bibir mereka. Tangannya terus mengusap kepala Wei yang mulai berpindah ke leher Wooseok setelah meminta izin terlebih dahulu. Wei menghisap leher Wooseok lalu terus turun ke dada Wooseok. Ia mendongak sebentar untuk mendapat anggukan persetujuan dari Wooseok. Setelah diizinkan, Wei melahap dua titik di dada Wooseok yang masih terbalut kaos. Bergantian dan pelan.

Desahan Wooseok berganti menjadi jeritan saat Wei mulai menghisap dan menggigitinya kecil.

“A-ah Wei!” Jambakan Wooseok di rambut Wei semakin mengencang. Tungkainya semakin mengerat di pinggang Wei mencoba menghilangkan hawa sore yang dingin.

Puas dengan bagian atas, Wei mulai turun ke bagian bawah perut Wooseok yang mulai mengeras mengenai perutnya sejak tadi. Wooseok perlahan membuka kakinya.

“Aku.. Buka ya, kak?” Wei kembali meminta ijin wooseok, yang lalu dibalas anggukan cepat.

“Kakak udah pengen banget, ya?” Wei membuka kaitan dan zipper celana Wooseok, tangannya sesekali menekan zipper di tengah perjalanan.

“Wei... Cepet... Aku... Gak tahan...” Wooseok tidak tahan dengan godaan Wei yang berkedok kepolosan. Tangannya membantu Wei menurunkan celananya sendiri dengan tergesa-gesa.

Saat bagian bawah Wooseok sudah sepenuhnya telanjang, Wei menahan paha dalam Wooseok agar tetap terbuka lebar. Wooseok mengangguk mengizinkan Wei yang menatapnya sebelum Kepalanya turun menciumi milik Wooseok yang terus mengeluarkan precum. Wei ingat satu hal. Es krim!

Wei meraih kotak es krim yang sempat dilupakan. Kemudian ia melumuri penis Wooseok dengan es krim itu. Tak lama, ia langsung melahap penis Wooseok sambil bergumam.

“Kak, jari aku masuk ya?” Wei bertanya menunggu jawaban Wooseok.

“I-iy akh!” Wooseok menjerit kaget, jari wei yang panjang dan kurus terasa kasar di dalamnya. Bergerak keluar masuk mencari spot nikmat yang akan berwujud menjadi jeritan namanya.

“A-ah Wei!” Wooseok kembali menjerit saat dua jari lagi ikut menginvasi, tangannya mencengkram pergelangan wei agar tusukannya semakin dalam.

“Sssh, kak, jangan berisik.”

“Ah! Ah Wei!” punggung Wooseok melengkung. Akhirnya jari Wei menemukan titik yang ia cari.

“Kenapa, kak? Hm? Di sini ya?” Wei terus mengenai titik nikmat Wooseok dengan tempo yang tak menentu. Cepat, kemudian tiba-tiba melambat. Membuat Wooseok mesti bersiap-siap kapanpun agar tidak terkejut.

“Ah! Ah wei! A-ak-u ah k-el- ah!” Wooseok menjerit karena pelepasan pertamanya hanya karena jari Wei.

Dada Wooseok naik turun masih menikmati pelepasannya. Lalu menarik Wei untuk menciumi wajah polos Wei.

“Kamu hebat banget, sayang.” Ciuman terakhir di bibir Wei agak lama. Jempolnya mengusap pipi Wei, Wei melakukan hal yang sama. Mereka saling menatap, menyatakan rasa lewat pandangan mata.

“Aku masuk boleh ya, kak?” Wei benar-benar memperhatikan konsen Wooseok, ia tidak mau Wooseok tidak merasa nyaman karenanya.

“Boleh, sayang. Do it, please.” Wooseok mengecup bibir Wei sekilas.

Wei menurunkan celana denimnya hingga lutut. Mengarahkan miliknya tepat di depan lubang wooseok yang sudah merah.

“Aku masuk, kak.” Bisik Wei seiring gerakannya menembus Wooseok.

Wooseok menggigit bibirnya merasakan sensasi lubangnya ditembus perlahan, ini bukan pertama kalinya tapi tetap saja tubuhnya bereaksi seperti pertama kali.

“Akh, kak sempit banget.” Wei menggeram sambil masih berusaha memasuki Wooseok.

“W-wei a-ah.” Wooseok meracau, milik Wei terasa semakin membesar di dalamnya.

“Aku gerak ya, kak. Hngggh..” Wei mulai mengeluarkan miliknya perlahan untuk kemudian masuk kembali.

“A-ah, Wei, lebih keras sayang..” Wooseok memohon sambil mengusap pipi Wei. Jika perlahan begini, ia tidak tahan merasakan gesekan urat-urat Wei yang membuatnya pening.

Harder gimana, kak?” Tanya Wei dengan wajah polosnya, di bawah sana ia mengeluarkan setengah miliknya, hanya menyisakan bagian ujung di dalam Wooseok.

“Kaya gini?” Tiba-tiba Wei menusuk Wooseok dalam sekali hentak lalu menekannya sangat dalam.

“Aah! Wei!” Wooseok belum siap. Matanya terpejam sambil mencengkram bahu Wei kencang. Punggungnya tegang hingga naik.

“Atau gini kak?” Belum selesai dengan kenikmatannya barusan, Wei malah mengganti tempo geraknya menjadi lebih cepat. Dan benar-benar cepat. Menubruk Wooseok dengan brutal. Rumah pohon yang mereka tempati bergoyang. Desahan keduanya berusaha diminimalisir. Wei menggigit bibirnya, mendesah pelan, berbeda dengan Wooseok yang bergetar dan begitu vokal.

“Penisnya Wei makin enak… Makin besar. Kakak penuh banget.”

“G-goyangnya gini, kak?”

“Bener sayang. Kenceng gini, pinter, ngh.

Suara tubuh bertubrukan dan erangan panas terdengar samar jika di dengar dari luar. Wooseok mengocok penisnya sendiri, mencari dan mengejar putihnya.

“Wei! Ah! I-i'm ah!” Wooseok benar-benar dibuat pusing oleh Wei. Punggungnya semakin jauh dengan pernukaan lantai, kepalanya menengadah dan matanya berputar. Didukung lubang Wooseok yang ketat, Wei semakin cepat.

“Ah! Weeeeiii!” Wooseok berteriak tertahan bersamaan dengan Wei yang semakin dalam menusuknya.

Mereka keluar.

Milik Wooseok sangat banyak mengotori perut Wei dan miliknya. Sedangkan Wei keluar di dalam Wooseok, Wei menggeram dan tetap menekan penyatuan mereka agar cairannya tidak ada yang keluar.

“Hngggh, Wei.” Wooseok benar-benar butuh udara. Dadanya naik turun mencoba menormalkan napas.

“Gimana, kak?” wei bertanya setelah dirasa cairannya tidak akan keluar lagi. Tapi dibalas pukulan oleh wooseok di lengannya.

“Ah! Sakit, kak!” Wei protes, mengusap lengannya.

“Kamu! bandel banget, ya! Bisa-bisanya sok polos, ternyata bikin gila!” Oceh Wooseok sambil mencubit pelan hidung Wei.

“Hehe tapi enak, kan kak?” Wei mengecup bibir Wooseok sekilas.

“Gatau, ah! Aku marah!” Wooseok menyilangkan tangan di dadanya, Wei tertawa karena gemas lalu memeluk tubuh Wooseok yang berkeringat di bawahnya.

Mama, aku mau main di lumah ini!” Saat mereka sedang berpelukan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil mendekat.

Mereka bertatapan saling melempar ekspresi bingung.

Saat Wei akan melepas penyatuan mereka, Wooseok malah menahan Wei. Menggeleng, tidak mau penyatuan mereka lepas begitu saja.

“Aku masih mau main di sini, Wei.” Wooseok cemberut. Wei sudah hapal, kalau Wooseok sudah begini maka keinginannya harus dituruti.

“Ish kakak! Yaudah kalo gitu!” Wei menyerah, akhirnya ia berdiri sambil mengambil celana Wooseok yang tergeletak dengan membawa Wooseok dipangkuannya. Wooseok memeluk Wei erat agar penyatuan mereka tidak lepas.

“Ah ah Wei...i” Wooseok mendesah ketika Wei berlari. Penisnya terdorong semakin dalam.

“Adek! Sebentar!” Kali ini terdengar suara seorang ibu yang mengejar anaknya semakin dekat.

“Ah Wei, cepet!” Mereka sudah di pintu belakang rumah pohon ini.

“Kak ke mana ini?” Wei melihat ke arah sekitar taman, namun tidak menemukan tempat untuk bersembunyi kecuali semak-semak di hadapannya.

“Ah, ke-se-mak se-mak a-ja Wei.” Wooseok masih mendesah akibat milik Wei terasa kembali mengeras.

Bodohnya Wei menurut dan berlari ke balik semak semak dan bersembunyi bersamaan dengan suara anak kecil yang berlarian di dalam rumah pohon. Wei menjatuhkan dirinya dengan Wooseok di atasnya.

“A-ah Wei, dalem banget...” Bisik Wooseok yang di pangkuan wei tiba-tiba bersuara.

“Kakak! Aku lagi deg-degan ini!” Wei protes kepada Wooseok yang malah menikmati perjalanan mereka yang menegangkan. Tapi setelahnya, dengan cekatan membalikkan tubuh Wooseok agar menungging.

“Ah! Ah! Wei ah!” Wei bergerak sangat kencang, dan Wooseok menjerit kecil. Mereka sudah tidak peduli jika pun ibu dan anak tadi mendekat ke arah mereka. Yang mereka pedulikan bagaimana sensasi melakukan seks di tempat umum,

Dengan semak yang terlihat bergoyang hebat.

Ada bintang, di matamu. [Wei x Wooseok]

are you tired? come here, let me erase those sadness.

enjoy.

Kalau ditanya, apa yang sebenarnya Wei cari di dunia ini, apa yang Wei kejar di dunia ini, dan apa yang Wei ingin di dunia ini, mungkin secara impulsif dia akan langsung menyatakan satu nama, satu impiannya, satu ambisinya. Kim Wooseok.

Pemuda 24 tahun itu masih selalu menjadi tujuannya. Adakalanya dia merasa rendah, karena manusia berparas rupawan dengan jarak usia yang cukup jauh, membuatnya lebih tak percaya diri. Hatinya mengatakan bahwa sampai kapanpun ia tak akan pantas.

Apa dunia masih bisa memberi kebahagiaan? Tidak, pikir Wei, untuknya.

Wei masih ingat bagaimana sebuah mimpi absurdnya terjadi begitu saja. Semenjak Wei bekerja paruh waktu di sebuah minimarket, hatinya sudah tertambat di Wooseok. Dulunya, ia hanya bisa menunggu jam setengah lima, melongok ke arah pintu masuk, selang lima sampai sepuluh menit, sosok Wooseok datang. Membeli satu minuman dingin, lalu selesainya kadangkali duduk di kursi depan yang disediakan. Atau mungkin ketika barang pokok di kediamannya habis, lalu si mungil menghabiskan lima belas menit lamanya untuk mencari yang dibutuhkannya.

Hanya percakapan, “Selamat datang, selamat berbelanja,” dan “Terima kasih, silahkan datang kembali,” disertai senyuman manis di bibir Wei.

Tak apa, melihatnya saja sudah cukup.

Maka tak menyangka, ketika pertama kalinya Wooseok tidak datang pukul setengah lima sore, namun datang pada pukul sepuluh lebih malam itu, dan pertama kali, Wooseok mengajaknya berbincang, yang anehnya keduanya terbuai pada dinginnya malam, dan segelas coklat di masing-masing tangannya.

Sejak saat itu, mereka terikat. Secara emosional. Saling membutuhkan.

Wei duduk di sofa yang ada di dalam apartemen Wooseok. Matanya mengelilingi setiap sudut ruangan. Tersenyum akan pigura-pigura berisi momen kehidupan Wooseok. Lucu. Lucu halnya dia terpikat jauh begitu dalam. Ketika yang dia pahami, bahwa Wooseok, sang penerus dewi Aphrodite, tak berminat melabuhkan dirinya seutuhnya pada satu manusia.

Dia mengerti, dan dia tak apa.

“Wei!” Pintu apartemen terbuka setelah beberapa tombol dibuka.

Di sana.

Keinginannya berdiri di sana. Dengan senyuman tulus, lebar, penuh afeksi, serta lengan yang terbuka lebar.

“Sini, katanya mau peluk? Kangen juga 'kan?” Wei ingin menangis.

“Kak Wooseok.”

I'm home, baby boy. I'm home.” Barangkali repetisi aku pulang yang Wei butuhkan.

Barangkali, eksistensi Wooseok yang ia pertahankan.

Dan barangkali, setelah ini, semesta bisa sedikit berbaik hati padanya.

The Real Deal, Chill. [Jerry x Wooseok]

⚠️ Praise kink, celana gemes kink ⚠️ sub!wooseok, dom!jerry ⚠️ dirty words ⚠️ handjob, fingering, blowjob ⚠️ age gap!!! ⚠️ not so good but bear with it

enjoy!

“Om! Tadi katanya kamu ada sesuatu buat aku?” Wooseok dan Jerry baru saja menginjakkan kaki ke dalam unit apartemen Wooseok. Masing-masing membawa sekantong besar belanjaan yang baru saja dibeli.

“Oh iya. Sebentar Wooseok, taruh belanjaannya disini dulu. Saya tadi sudah masukin ke sini.” Jerry meletakkan kantong olastik yang dibawanya dan mengeluarkan satu bungkusan kertas dari dalamnya.

Wooseok mendekat secara cepat. Dia penasaran. Jerry menyodorkan bingkisan tersebut ke depan Wooseok.

“Apa ini?”

“Buka saja, Wooseok. Saya pengen kamu ganti pakai ini. Ini sudah bersih. Asisten saya sudah saya suruh cuci sekalian.” Wooseok cepat-cepat membukanya. Mulutnya menganga, celana gemes. Dia harus pakai ini?

“Sekarang banget, nih, om?” Wooseok menatap Jerry yang kini tersenyum miring. Mengangguk.

“Kamu mau pake sendiri, atau... dipakein?”

“Om, iiiihhhh.” Jerry terbahak melihat respon Wooseok yang masih saja malu-malu. Dia mengusak rambut halus Wooseok dan mendoringnya pelan ke arah kamar.

“Saya siapin laptopnya. Katanya mau nonton?” Wooseok mengangguk setuju. Dia berpikir, oh Om Jerry hanya ingin melihatnya mengenakan celana gemes ini.

Dengan menyegerakan langkahnya, Wooseok berganti baju.

Setelah beberapa saat, Wooseok menghampiri Jerry yang telah duduk di sofanyam Sofa Wooseok menyerupai kasur, jadi mereka bisa tiduran di atasnya sambil menonton. Dia langsung duduk di sebelah Jerry.

“Hey. Astaga, Uciiiin. Gemesin banget. Boleh saya abadikan dalam bentuk foto?” Consent. Jerry always asking for his consent. Never been doing anything without Wooseok's permission.

“Mm.. Boleh..” Jerry langsung menggapai ponsel pintarnya dan mengambil sekitar tiga foto. Gaya Wooseok juga bervariasi. Ada yang terlihat malu-malu, ada yang seduktif, dan yang terakhir menyerupai kucing.

“Astaga Ucin.. Saya bisa jantungan kalau lihat ini terus.” Wooseok tertawa. Matanya menyipit dan memberikan gestur agar Jerry segera merapat ke arahnya.

Jerry membuka jaket dan melucuti celana panjangnya, agar nyaman katanya. Wooseok tak mempermasalahkan. Toh dia sudah sering melihat Jerry tanpa penutup sedikitpun.

Wooseok mengambil posisi. Jerry duduk, dan Wooseok berpindah menjadi di depannya. Mencari posisi paling nyaman dan menyenderkan kepalanya di dada bidang Jerry.

Keduanya larut dalam kehidupan di film. Sampai ketika pemeran utamanya saling menciumi satu sama lain dan menggerayangi tubuh lawannya.

Paha Wooseok dielus lembut. Ringan. Tapi cukup membuat bulu kuduk Wooseok meremang. “A-ah Om.”

Wooseok menggeliat. Tangannya masuk ke dalam celana gemasnya. Jerry membiarkan Wooseok. Tangannya ia bawa ke atas kepala Wooseok. Seolah menenangkan.

“Aahh kenapa mereka otw nge seks sih. Kan Ucin jadi naik...” Wooseok masih menggerayangi penisnya sendiri. Meremas-remasnya geregetan.

“Om-hhhh. Ucin mau nge-seks juga.”

“Hm? Masa gini aja kamu sudah naik sih.” Jerry mengusap lengan Wooseok pelan. Semakin membawa Wooseok meremas miliknya.

“Ya soalnya nontonnya bareng om... Ssssh jangan dielus deh. Aku gakuat om.” Badan Wooseok melengkung menabrak dada Jerry. Jari tengah Jerry dimasukkan ke mulut Wooseok. Dimintanya untuk mengulumnya.

“Mmhhh jari Om Jerry panjanghh. Apa lagi penisnya... I miss your penis so much, om.” Jerry terkekeh dengan suara rendahnya.

You look cute in this pants. I want you to keep using this but we know it can't.” Jerry menutup laptop yang ada di pangkuan Wooseok dan menyingkirkannya cepat.

Setelah itu, tangannya ikut-ikut masuk ke dalam celana Wooseok. Memijat penis yang mulai tegak itu. Memujanya karena ukurannya yang begitu imut.

“Lucu sekali, Ucin. Pakai satu tangan aja cukup, nih, sayang.” Jerry meloloskan sedikit erangan menggoda dengan decapan liur menandakan dia begitu tertarik. Jantung Wooseok berdegup begitu jelas.

“Deg-degan...”

“Kenapa deg-degan sayang? Kan udah sering main sama om?” Wooseok melenguh kencang ketika Jerry menggigit leher jenjang Wooseok.

“AAAHGGHH OM! Jangan digigit. Aku gemeter.” Benar. Tubuh Wooseok setelahnya bergetar. Menginginkan lebih.

Jerry membalik Wooseok, mengungkungnya di dalam dekapannya. Menatap mata bulat yang penuh damba, bibirnya digigiti menahan gejolak nafsunya yang begitu tinggi.

“Kondom sama lubenya, dimana?” Jerry mencium dahi Wooseok pelan. Menggumamkan ribuan kata manis sebagai tambahannya.

“D-di laci. Please aku gakuat. Ayo cepetan om...” Jerrypun tak ingin berlama-lama. Dibawanya tubuh kekarnya menuju laci yang sempat ditunjuk Wooseok. Memakai kondomnya dan membawa lube ke dekat Wooseok.

Jerry tanpa babibu langsung melucuti seluruh kain yang menempel di tubuh mulus Kim Wooseok.

God.. You are perfect. There isn't a stain at all, you are really demigod, Wooseok.” Jerry menyentuh inchi-inchi tubuh Wooseok tanpa terkecuali. Yang disentuh meraung tak jelas karena sensasinya. Tangan Jerry begitu hangat dan seolah melindunginya.

“O-om... Ayo..” Wooseok merengek. Jerry tersenyum miring.

Baby needs his daddy?

Y-YES... PLEASE DADDY... NGHHH. I want you to fulfilled my desire.” Wooseok menarik Jerry dan memeluknya posesif. Mengaduh ketika selatannya bersentuhan dengan a really big cock over there.

“Ouhh...” Wooseok menarik celana Jerry turun. Mendorong lelaki 36 tahun tersebut untuk telentang.

“Baby mau makan ini, daddy...” Tangannya menyentuh pucuk penis Jerry membuat sang pemilik menjambak pelan rambut Wooseok.

“Ya, baby. Ambil saja. Itu punya kamu, eat well.” Wooseok tak berpikir dua kali. Mulut kecilnya yang terlatih menjelajah penis itu mulai memasukkan Jerry. Dia yang telah menghafal 4 penis berbeda itu bekerja tak terlalu kewalahan.

Jerry suka disedot kencang lalu kemudian ditarik lepas. Jerry suka ketika twinsballnya ikut dilecehkan. Jerry suka ketika Wooseok menutup lubang penisnya dengan lidahnya. Dan Jerry sangat suka ketika Wooseok berbicara ketika dia berada di mulutnya.

“Hmm suukaaa bangeet sama penis kamu, Daddy.”

“Ya ampun sayang. Kamu kenapa makin jago gini.” Wooseok melayang. Apa yang dipelajari dari banyak platform bokep kini berguna. Dia dipuji dan membuatnya semakin semangat. Pinggul Jerry naik turun. Mencari nikmat. Sedikit tersedak ketika Wooseok menjebloskan penisnya dalam.

“Anggghh Om!!

“Uciin... Uhhhgg... Saya mau masukin kamu sekarang please.” Wooseok melepas kulumannya. Mengangkang untuk Jerry langsung. Mukanya yang merah padam membuatnya semakin terlihat seksual.

Jerry memberi lubang Wooseok lube banyak-banyak agar ketika kebanggaannya masuk, tidak akan terlalu sakit.

“*Aaahnggg! Nyahhhh.” Wooseok digenjot Jerry kencang. Peluh keduanya bercampur. Mata mereka menutup saking tak sanggupnya.

“Wooseokkk! Saya mau keluar.”

“*Nyahhh. O-ommmmhhh.”

“Wooseok enak banget. Cantik banget. Pinter banget. Om keluar, sayangggg.”

Crottt. Crot.

“Hhhhh om...”

“Ya, sayang?”

“Mau lagi...”

supermarket date [Jerry x Wooseok]

A/N: Hai! Jangan lupa feedback-nya ya!

Ting! Satu pesan masuk ke dalam notifikasi handphone Wooseok. Tadinya ia sedang bersiap, mengecek barang yang akan dibawanya setelah ini.

Saya sudah di lobby, turun ya Ucin...

Tak menunggu semenit, Wooseok bergegas keluar dari unit apartemennya. Matanya memancarkan sedikit excitement yang cukup jelas.

Siang di hari Minggu ini terasa cukup menyenangkan. Bahwasanya dia telah merindukan lelaki yang kerap mengisi saldo atm-nya itu. Bukan, bukan untuk memanfaatkannya. Wooseok hanya senang dengan presensi lelaki dewasa yang selalu memanjakannya.

“Om! Aku kangeeen.” Sesampainya di dalam mobil mewah yang dikendarai sendiri oleh Jerry, Wooseok langsung menghambur ke dalam pelukannya.

“Ucin, kangen juga. Kamu udah makan siang?” Jerry mengecup pipi si manis. Memberikannya sedikit sentuhan tanda menyapa.

“Udah! Om?”

“Udah juga sih. Ini kita langsung ke supermarketnya?” Jerry memasangkan sabuk pengaman di Wooseok. Tangannya menepuk-nepuk pelan kepala Wooseok setelahnya.

“Iyaa, abis itu kita nonton di apart aku ya? Kangen nonton sama Om Jerry...” Wooseok membuat Jerry tersenyum lebar, mengangguk dan mencuri kecupan di pipi Wooseok lagi.

“Siap, tuan putra.”

“Kok tuan putra????”

“Kan Wooseok cowok. Mau dipanggil tuan putri??”

“Huenggg. Ya nggak sih...”

“Nah kalau begitu benar kan?”

“Ihhh iya deh iyaaa. Salah nih aku debat sama pengacara kondang.” Wooseok mencebik lucu. Jerry hanya bisa terkekeh dan mulai membawa mobilnya melaju.


“Setelah ini kamu mau cari apa lagi, Ucin?” Jerry mendorong troli mengikuti langkah kaki Wooseok yang riang. Menyusuri rak-rak makanan ringan, dan terkadang memasukkan beberapa snacks ke dalamnya.

“Mau ke bagian minuman om. Kopi, teh, gitu-gitu.” Wooseok berhenti di salah satu wilayah. Melihat ke atas lalu ke arah Jerry.

“Ga nyampai ya, Ucin?” Jerry mendekat dan mengusap punggung Wooseok halus. Wooseok mengangguk.

“Mau ituu yang ada di atas. Tapi aku ga sampee.” Wooseok menggoyangkan lengan Jerry, meminta bantuan.

“Saya ambilin. Tapi cium dulu.” Jerry mendekat dan sedikit menunduk. Meminta cium dari Wooseok. Wajah lelaki mungil di depannya memerah. Tapi dilakukan juga. Bibirnya menyentuh permukaan bibir Jerry.

“Udah! Ambiliin.”

“Itu bukan cium. Tapi kecup.” Jerry memutar badan Wooseok, menyuruhnya menghadap dirinya. Tanpa aba-aba dia menyosor bibir pink Wooseok dengan brutal. Melupakan fakta bahwa mereka sedang di tempat umum. Yang syukurnya sepi di bagian situ.

“Ughhh Om.. Jerry... Eunggg.” Wooseok ingin melepasnya. Tapi Jerry malah menyedotnya kuat-kuat. Mengabsen seluruh komponen mulut Wooseok. Sedikit melenguh ketika Wooseok mendesah pelan.

Jarinya membelai punggung Wooseok seduktif. Wooseok menepuk keras bahu Jerry.

“Oommmm. Jangan di sini. Kamu gila??” Wooseok terengah ketika Jerry melepaskan kulumannya. Bibirnya membengkak, matanya sayu. Jerry menatap keindahan di hadapannya. Menatapnya lesu. Cepat-cepat diganti dengan senyum lebar.

“Maaf Ucin. Yuk? Lanjut belanja lagi.” Bibir Wooseok diusap pelan menghilangkan jejak ciumannya.

“Andai, andai saja kamu punyaku.”

rise and shine [Jinhyuk x Wooseok]

A/N: sedikit 🔞

🍁

Kalau dibilang kicau burung di pagi hari cukup untuk membuat kita terbangun, lain lagi halnya dengan satu pasang anak adam yang bergelung tak mempedulikan suasana paginya. Tak berniat untuk berdiri menyambut hari. Yang mereka lakukan hanya saling mendekap satu sama lain.

Fiksi yang ada di hadapan Jinhyuk ia gapai. Dielus sayang kepalanya. Membuat yang dibelai semakin mendekat ke pelukan Jinhyuk. Senyum secerah terbit mentari terlukis di wajahnya.

Tak menyangka, dia sedang merengkuh dunia. Setidaknya dunianya. Dikecupi pelan mata yang tertutup rapat dengan bibir plum merah muda yang terbuka sedikit. Membuat imaji di depannya ini menjadi begitu menggemaskan.

Rise and shine, Seok. Mau bangun ga?” Jinhyuk yakin jawaban Wooseok akan sama dengannya. Nanti saja. Sejam lagi.

Wooseok memeluk leher Jinhyuk, bergumam bahwa dia masih ingin di atas kasur. Menikmati sentuhan tak berpola Jinhyuk di punggung telanjangnya. Jinhyuk menarik selimut tebal yang mereka gunakan semakin ke atas. Berharap dinginnya pendingin ruangan berkurang secara berkala.

“Dingin...”

“Iya. Makanya sini gue peluk.” Tak ada nafsu ketika mereka berdua menempel erat tanpa adanya penghalang kain. Nyaman. Dan aman dirasa Wooseok.

Jinhyuk lagi-lagi tersenyum lebar.

“Cantik banget, Wooseok. Anjir gila gue dulunya nyelamatin negara kali ya jadi bisa liat morning view seindah ini.” Wooseok tertawa kecil. Tangannya ia bawa mengusap dada bidang sang atlet.

“Lebay lo.”

“Beneran sayang. You are prettiest in this world. Kalo bisa gue pacarin mah ya gue pacarin.” Wooseok berhenti mengusap dada Jinhyuk. Menatap dalam ke netra abu milik pemuda itu.

“Apa?” Jinhyuk mengernyit kala Wooseok menatapnya.

“Jangan bahas itu. Lo tau gue gimana.” Wooseok menunduk dalam. Jinhyuk mengangkat dagu Wooseok untuk melihatnya.

“Apa? Yang mana? Gue taunya lo cakep, baik, pinter, dan bikin gue bahagia,” Jinhyuk mengecup pipi Wooseok lembut. “Gue ga pernah nyesel ketemu lo, Seok. Apapun yang bakal lo pilih buat ke depannya,

gue bakal selalu ada buat lo. Anytime, anywhere. Jadi Seok, lo ga perlu ngerasa ga enak. All of my loves are for you. Even when you are not. It's okay as long as you are happy and safe.

“Jangan gini, Jinhyuk.” Hangat. Hati Wooseok terasa hangat. Jinhyuk tersenyum miring dan menaikkan alisnya.

“Kenapa? Suka ya sama gue?”

“APASIH GAK GITUUUU.”

“Hahahaha, Wooseok. Gue sayang banget sama lo anjir. Gemes banget dah lo!” Jinhyuk membombardir wajah Wooseok dengan ciuman kecil.

“Ih Jinhyukkkk jangan gitu. Penis lo ngegodain gue nih...”

Morning sex yuk?”

His MessWooseok – Jinhyuk

⚠️ dirty talks ⚠️ dom!jinhyuk ⚠️ blowjob, handjob ⚠️ using sex toy ⚠️ praise kink!wooseok

– A/N: it might disappointing you dan ga seberapa enak but i tried my best. Please kindly drop reaction at my cc♡

enjoy!

ㅡ “he is a God in a court, but he played me well, everytime.

Malam ini berkabut. Pelukan dari musik klasik mengudara bebas di ruangan tak seberapa luas milik Wooseok. Pandangannya sedikit mengabur. Menantikan kejutan yang akam diberikan satu dari empat favoritnya. Jelas, Wooseok is super duper greedy. Tapi siapa pula yang akan menolak jika keempatnya begitu membuatnya merasa paling dicintai di bumi ini.

Suara bel yang ditekan membuatnya berjengit. Jinhyuknya datang. Kebiasaan Jinhyuk ketika mendatangi tempatnya adalah membunyikan belnya karena menurutnya ini adalah area privasi Wooseok yang tak bisa ia ganggu gugat. Mau sepenting apapun tapi jika bukan pemiliknya yang membuka pintunya, Jinhyuk rasa tidak sopan.

Wooseok tertatih bangun, ada vibrasi yang terasa cukup menekan mentalnya. Membuatnya sedikit bergerak tak nyaman. Dibukanya pintu apartemen itu sedikit. Baru Jinhyuk masuk dengan senyum lebarnya.

“Hai, Wooseok cantik.” Sapanya. Kemudian netranya turun pada apa yang dikenakan Wooseok saat ini. Sebuah kemeja ketat, serta rok mini yang bahkan tidak menyembunyikan bongkah kecil di bawah sana.

Wow, Kecil. Just, wow. Look at you. You are so beautiful.” Jinhyuk berdecak kagum. Penisnya mulai melesak mendesak ingin dikeluarkan. Ditariknya Wooseok ke pelukannya. Tangannya mengusap punggung si kecil yang kini menempelkan tubuhnya seduktif ke arah teman seperusianya tersebut.

“J-jinhyuk. Welcome. Which one do you prefer to do first?” Wooseok bergelayut manja, “Eat me or play me?” Kini suara Wooseok empat puluh persen lebih serak.

Ah.” Wooseok merintih ketika benda yang menancap jauh di lubangnya menyentuh sedikit titik nikmatnya. Jinhyuk mengernyit.

“Gue belom ngapa-ngapain lo?” Wooseok melepas pelukan yang lebih tinggi dua belas cm darinya. Mundur sedikit dan berbalik, lalu menungging dan menyingkap rok mininya.

A-ahhh, Jinhyukㅡ” Di mata Jinhyuk kini penuh dengan fantasi yang akhirnya menjadi kenyataan. G-string yang digunakan Wooseok merah kontras dengan warna kulitnya yang begitu putih. Jinhyuk meneguk ludahnya. What a view. Dia menginginkan tangannya menjamah pantat Wooseok. Memberinya sedikit tanda bahwa Jinhyuk has been there. Fucking him until he can't talk.

“Lo pinter banget. Vibrator yang kemarin gue beliin ya?” Jinhyuk mendekat, sedangkan Wooseok mengangguk tak sabar.

Where's the remote? Give it to me.” Lelaki kucing di hadapannya memberikan sebuah pengendali mesin yang ada di genggamannya sejak tadi.

“Wooseok pinter.” Jinhyuk mengelus paha Wooseok pelan. Mengambil remote itu dan mematikannya. Wooseok berhenti bergetar. Pandangannya sedikit kesal ke arah Jinhyuk yang tertawa pelan.

“Lo lari, nanti gue kejar. Kalo lo ga lari, i will stop praising you.” Wooseok menatapnya tak setuju. Jinhyuk mengedikkan kepalanya.

I'm an athlete. A bit working out won't hurt.

“Tapi kita nge-sex juga bakal running out our calories, Jinhyuk!” Wooseok mencebikkan bibirnya. Jinhyuk merengkuh tubuh Wooseok. Membisikinya sesuatu yang membuat Wooseok meremang.

Aphrodite. I'll fuck you hard and sound after this. Just do it.” Bisik rendah dari pemuda di belakangnya, penis yang terasa padat menusuk belahannya membuatnya mengangguk secara instan. Jinhyuk mencium sisi bibirnya.

Good.” Wooseok dilepas. Dia kini mulai berlari mengelilingi apartemennya. Sialnya, Jinhyuk tiba-tiba mengaktifkan vibrator yang Wooseok lupa masih tertanam jelas di lubangnya. Jinhyuk memberinya getaran paling penuh membuatnya tertatih ketika berlari. Derap langkah yang didengarnya menandakan Jinhyuk kini berlari mengejarnya.

Speed up, kecil!” Titah Jinhyuk. Wooseok melenguh tak sabaran. Belum ada setengah menit tapi dia sudah menggila.

You turned the vibrator on maximum, Hyuk! Aaahh, help.”

“Ya itu asiknya, ngeliat lo lari ketatih sambil moaning. That's turned me on well, Cil.” Jinhyuk terkekeh di sela larinya. Melihat Wooseok yang bermandi peluh, seiring keluh desahnya keluar dari bibir mungilnya.

Come and get me now, Hyuuukhh. Hyuk ahh.” Jinhyuk finally speed up. He catched Wooseok and hugged him tight.

“Kena. Anak kecil pinter. Pinter banget. Nurutin Jinhyuk banget.” Jinhyuk menciumi bibir Wooseok yang sedikit meneteskan liurnya. Keduanya berpelukan dan menggeluti bibir lawannya. Jinhyuk menarik rok Wooseok turun. Meremasnya pelan, menikmati sensasi ketika bibirnya yang menyicip bibir Wooseok digigit sedikit ketika ia menggoda pantat Wooseok.

“Unnngggh. Kamar, Jinhyuk.” Wooseok menarik Jinhyuk mengikutinya ke arah kamar.

“Gamau main disini aja? I'll stick you to the wall while i fuck you.” Wooseok meneguk ludahnya. Seems fun, but dia malas kalau besok bangun dan having cramps in his back. So he refused and took Jinhyuk to his bedroom.

“Jinhyuk...” Wooseok moans louder. Jinhyuk mengocok penisnya tak sabar. Meninggikan kaki Wooseok menyampir di pundaknya.

“Ya, cil?” Tangannya yang lain memilin pelan puting susu Wooseok. Wooseok triggered. His hole was crashed by the vibrator, Jinhyuk's hands tide him to the highest level of horny.

“V-vibratornya matiin please... Gue ga kuat.” Wooseok hampir menangis akan kenikmatan yang begitu bertubi-tubi.

“Kalo gamau?” Jinhyuk menarik-mendorong vibrator itu pelan. Wooseok bisa gila beneran. Gila GILA.

“AHHH JINHYUK!”

“Anak kecil merdu banget pas desah gini.” Jinhyuk mencium lagi bibir Wooseok. Yang dicium balik menggarap bibir Jinhyuk.

“Masukin sekarang.” Wooseok memutus ciuman mereka lalu merengek.

“Belum preparasi. Lube belum kepake juga, manis.” Wooseok melucuti pakaiannya setelah itu. Lagi-lagi Jinhyuk gemas dengan ketidaksabaran Wooseok.

“Bukain punya gue juga. Cepet.” Tanpa disuruh dua kali, gerakan lihai Wooseok membuka dan melepaskan pakaian Jinhyuk seolah terjadi begitu singkat.

“Preparasinya gue aja. Tiduran Hyuk.” Jinhyuk langsung tiduran, berganti posisi dengan Wooseok. Wooseok langsung turun dan mengemut penis Jinhyuk, melumat, menggigit, menabrakkannya ke pangkal tenggorokan tanpa tersedak. Wooseok hafal betul bentuk penis Jinhyuk sehingga dia tak melakukan kesalahan yang tak berarti. Yang diberikan layanan langsung menggeram.

“Ahh Wooseok. Anak kecil. Anjiiing, pinter banget. Enak parah anjinggghhh.” Jinhyuk meremas rambut Wooseok. PLOP. Wooseok bangun dari posisinya. Matanya menatap Jinhyuk memohon.

“Udah basah. Udah tegang paling maksimal. Kontolin gue. Sekarang.” Wooseok ambruk di dada Jinhyuk. Jinhyuk memutarnya dan menumpu tubuhnya.

“Liat gue, Wooseok. Lo paling cakep. Paling enak. Paling nurut. Paling pinter entot kontol. Gue masukin ya?” Bibir Wooseok sekali lagi diberi afeksi. Dikecup pelan meminta izin. Wooseok buru-buru mengangguk.

Nikmatnya akan triple sebentar lagi.

“OOOHHHH JINHYUUKK.” Pemuda di atasnya menikam lubangnya tajam. Benar-benar menyentuh titik manisnya. Membuatnya mendesah sungguh kencang. Bulir kristalnya keluar. Ini terlalu gila. Jinhyuk gila.

“WOOSEOK. ANJING. LO NGETATIN, ANJINGGG. AHH PINTERR. Sempit banget, cil.” Jinhyuk menghujam Wooseok pelan tapi telak. Terkadang lebih cepat.

“Jinhyuk. Gue m-mau keluar...” Wooseok mencengkram spreinya. Jinhyuk mengangguk. Mengocok pelan penis Wooseok membantunya meraih pelepasan.

“Sama, cil.” Beberapa saat kemudian keduanya sampai dengan selang waktu sedikit.

“Hhhh.. Jinhyuk~” Jinhyuk mengelus rambut Wooseok lembut menantikan pelepasannya selesai. Disumpalnya lubang Wooseok dalam dengan penisnya.

“Penuh, Hyuk. Daritadi vibratornya belum dilepas.” Jinhyuk menepuk jidatnya.

“Lupa banget gue. Abisnya kebiasaan lo gamau make mainan apa-apasih. Bentar.” Si jangkung melepas utasannya dengan lubang Wooseok, turun dan tangannya mengubek lubang becek Wooseok dan menarik keluar vibrator yang menemani pergulatannya.

Kemudian dilempar ke sembarang arah dan menancapkan lagi penisnya.

“Capek..”

“Yaudah tidur. Gue main pelan.” Jinhyuk menggerakkan pinggulnya. Dia tak akan bisa bosan menumbuk Wooseok.

“Aahh.. Emang lo ga capek?”

I'm an athlete Wooseok. I did 100 pushups and still work over 2 hours playing tennis everyday. Capek? Ngewe lo ga akan pernah gue capek, Seok.”

“Nggghhh Jin-hyukk.”

“Tidur.”

“Nghhh lo diem dulu lah. (Do me after i sleep*.”

“Oke, cantik. Nighty night.”

Have a good night goyangin gue, Hyuk.”

Their Firstweishin

⚠️ consent from both characters ⚠️ nasty words ⚠️ blowjob, handjob ⚠️ rough sex

Jinhyuk tergesa. Celananya terasa sesak. Hidupnya seolah dikejar waktu yang tersisa tak banyak. Frekuens jantung punyanya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dia akan segera bertemu idolanya.

Seseorang yang begitu ia puja dan puji.

Seseorang yang begitu ia pikir tak nyata ada di dunia.

Seseorang yang membuatnya resah.

Seseorang yang dijadikannya objek fantasi gilanya.

Seolah tak cukup, ia menepuk pipinya kencang, berharap bukan mimpi.

Dan bukan. Memang.

Jinhyuk membawa kaki jenjangnya menyusuri lorong di apartemen dekat kampusnya itu. Tak menyangka bahwa Wooseok tinggal tak jauh dari tempatnya menimba ilmu. Which is near from his place too.

Unit 707. Tak lupa ia rapalkan doa agar semuanya berjalan lancar ketika dia menginjakkan kakinya masuk. Password tempat yang dia hafal luar kepala ditutupnya tak sabaran, terkesan membanting. Tangannya berkeringat dingin. Begini juga Wooseok adalah seseorang yang ia anggap tak sedetikpun akan menyentuh seujung jari saja. Tapi kini ia berada di tempatnya. Tempat Wooseok tinggal.

“Jinhyuk?” Suara yang aslinya lebih merdu dari rekaman kini menguasai indra pendengarannya. Kakinya serasa lemas.

“Kak Wooseok?” Bidadara di hadapannya tersenyum. Seolah menyapa bahwa, ya, ini nyata.

“Hai, masuk yuk?” Kepalanya hanya menyembul sedikit dari balik pintu kamarnya membuat Jinhyuk tertegun.

“Kak Wooseok...? Ga ke sini dulu? Apa gak takut kalo aku orang jahat?” Kalimat Jinhyuk seolah memberikan suntikan dopamin ke aliran tubuh Wooseok. Membuatnya tertawa pelan dan membuka sedikit pintunya. Jinhyuk terbelalak.

Mama, di depannya berdiri seorang malaikat yang sepertinya tak memakai satu helai benangpun di tubuhnya, hanya disampirkan selimut putih yang sialnya dibuat menutupi area bawahnya saja.

“Mana ada orang jahat yang nanya perihal kayak gitu? Yang ada kamu daritadi bukannya diem, udah ngerampok rumahku kali.” Wooseok tersenyum lagi. Jinhyuk melongo. Dia melihatnya secara langsung! Bukan hanya dari layar ponsel atau photobook! Wooseok tersenyum... Jinhyuk bisa gila.

“Lagian...” Jinhyuk dibuat menganga kembali. Selimut putih itu turun. Jatuh tam berdaya di lantai. Meninggalkan tubuh lelaki kecil yang tadi memakainya.

“Come to me now, Jinhyuk.” Wooseok merentangkan tangannya. Menyambut Jinhyuk yang menubruk tubuhnya, memeluk hangat.

“I'm yours to use.”

***

“Kak Wooseok...” Jinhyuk mendesah pelan. Penisnya diliputi rongga panas nan basah dengan mata yang menatapnya nafsu.

Plop. Suara yang terdengar nyaring ketika Wooseok melepaskan kulumannya membuat Jinhyuk menunduk. Memberikan tatapan bertanya, mengapa berhenti.

“Ini gede banget, Jinhyuk. Mulut kakak keram rasanya.” Wooseok cemberut. Betul, pipinya terasa mati rasa karena bekerja selama 10 menit lamanya. Jinhyuk memasukkan jari telunjuknya masuk ke mulut Wooseok.

“Yaudah ganti jari aku yang kamu emut.” Wooseok mengerang. Mulutnya kembali bekerja namun lebih santai. Tangannya ia bawa ke penis Jinhyuk dan meremasnya pelan.

“Ahh, Kak Wooseok pinter.” Afeksi yang diberikan Wooseok membuat Jinhyuk mendesah lagi. Tangannya yang lain mengusak rambut basah Wooseok yang terkena keringat. Membuatnya terasa semakin panas.

“Ummh.. Jari Jinhyuk panjang bangweethh.” Wooseok menjilat kecil jari Jinhyuk sambil tangannya mengocok penis besar Jinhyuk.

“No wonder... Kontolnya ikut gede, panjang, berurat, gagah banget, Jinhyuk.” Wooseok menggigit kecil jari Jinhyuk. Yang punya telah terlena. Mendesah rendah akibat rangsangan Wooseok. Jinhyuk mengangkat Wooseok ke pangkuannya. Menciumi seluruh permukaan wajah si kucing ganas. Sedikit meninggalkan liur yang membasahi wajah tanpa cela Wooseok.

Keduanya bertatapan sejenak dan saling melempar senyum. Jinhyuk semakin jatuh cinta pada sosok yang sekarang menatapnya sayu.

“Kak. Mau kasar apa lembut?” Jinhyuk mengusap punggung Wooseok pelan. Meniupi daun telinga Wooseok seduktif.

“Kasar juga gapapa. Lembut juga ayo. Terserah kamu. Ahhh Jinhyuuuk.” Belum selesai Wooseok menjawab putingnya dipelintir kencang. Kemudian Jinhyuk meremasnya tak berpola. Wooseok menjambak pelan rambut Jinhyuk. Keduanya sudah tak sabar.

Jinhyuk tak sabar untuk mencicipi lubang Wooseok, sedangkan Wooseok tak sabar untuk menikmati Jinhyuk yang membobolnya.

“Lube?” Wooseok mengedikkan dahunya ke arah laci sebelah ranjang. Dengan cekatan, lelaki jangkung yang diberi kode langsung menarik laci dan menemukan yang diinginkan.

Wooseok direbahkan di ranjang begitu hati-hati. Dioleskannya cairan pembantu pelesakan ke lubang Wooseok.

“A-hhh, Jinh-hyuk.... aAh.. Disitu..” Wooseok mengerang penuh intimasi menginginkan titik nikmatnya disentuh terus menerus.

“Disini?”

“Iya, iya-hhhh Jinhyuk!” Jinhyuk mempercepat tempo kocokannya pada lubang Wooseok. Pada menit kelima, Wooseok keluar dengan tiga jari Jinhyuk masih mengeksplorasi lubangnya.

“Keluar, kak? Already?”

“You are totally good. Your fingers are godly nice. Please fuck me now. Hard and sound.” Jinhyuk tersenyum miring. Disiapkannya penis kebanggaan yang telah dilumuri lube ke pintu masuk lubang Wooseok.

JLEB. Dalam sekali sentakan, Jinhyuk masuk. Begitu dalam, begitu menyiksa Wooseok.

“Ah!! Sakiiiit.” Wooseok tak pernah punya pengalaman dengan penis sebesar milik Jinhyuk.

“Maaf...”

“You are too big!!” Geram Wooseok. Antara kesal dan puas.

“You haven't seen a thing like this yet?”

“Not yet.. You are the first a really big cock that came into mine.” Wooseok bergerak pelan memberikan tanda bahwa dia sudah terbiasa dengan adanya Jinhyuk di dalamnya.

“K-kim Wooseok. Cantik banget.. Di ewe berondong enak?” Jinhyuk menampar pantat mulus Wooseok hingga menimbulkan tatakan tangan Jinhyuk.

“AHHH! Enak... Kamu beda banget sama yang dulu-dulu.” Jinhyuk menggeram ketika mendengar tuturan Wooseok. Marah dan bangga jadi satu. Marah karena Wooseok telah dicicipi orang lain, tetapi bangga bisa membuat Wooseok memujinya lain dari yang sebelumnya.

“Kak Wooseok, cantik banget kamu di stage. Sering banget bikin aku sange pas dance mu kayak ngundang minta dientot.” Jinhyuk menambah kecepatan menusuknya.

Bunyi antara kulit manusia bertabrakan terdengar jelas.

Engahan dan desahan meliputi ruangan tak terlalu besar ini. Wooseoknya menikmati genjotan Jinhyuk wholeheartedly.

Jinhyuk yang berbeda 5 tahun darinya itu tak kenal kata berhenti mengobrak abrik lubang Wooseok.

Wooseok memperhatikan wajah Jinhyuk yang sedang melaju kencang di hadapannya. Wajah berpeluh dengan alis mengkerut, matanya yang terpejam menikmati, serta bibirnya yang terus mengucap “Kak Wooseok, Kak Wooseok. Lubangnya diketatin terus aku kecepit.”

Tampan. Begitu tampan. Dia tak salah pilih. Pemuda perkasa di atasnya yang kini bergerak kasar sambil melebarkan pahanya itu terlalu seksi. Wooseok hanya bisa mengaduh pasrah sambil merabai tubuh Jinhyuk yang lumayan terbentuk.

“Hhh, enak bang...et... Hhhhh Jinhyuk...” Wooseok mencium bibir Jinhyuk setelahnya. Dibalas tak kalah agresif.

“Kak Wooseok anjingffgghhh. Pen ngewein terus.”

“Iya Jinhyukhh. Boleh... You can fuck me anytime anywhere.” Wooseok meraung. Titik manisnya lagi-lagi tertumbuk penis gila Jinhyuk.

“Aku mau keluar kak.” Jinhyuk menggeram. Menghentakkan pinggulnya lebih kencang mengejar pelepasannya.

“Keluar di dalem aja, Hyuk.”

“AAHHH.”

“Jinhyuk!!!!!”

Jinhyuk, kamu jangan jadi atlet dong, aku pusing liat badan kamu gede banget.

An entry for #100WaysWeishin on June.

⚠️ contains 🔞 scene ⚠️ sugar sex ⚠️ couple thingy, might be cringey ⚠️ a lot of mention nasty words

enjoy!

Apalah kata yang bisa diucapkan jika orangnya saja susah dihubungi. Tiga hari yang dijanjikan pemuda tinggi tak tertepati. Kalimat manis pengganti seolah tak bisa memberi sebuah arti.

Wooseok kepalang kesal dengan kekasihnya. Dikatakan egois dia tak peduli. Sudah berapa kali Jinhyuk mengingkari. Dan sudah berapa puluh kali Wooseok memaklumi.

“Capek banget, Chan. Sumpah deh. Dia itu mikir ga sih kalau jadwalnya dia tuh terlalu penuh? Bukan gue mau egois ya anjir.” Byungchan meringis mendengar caci maki yang keluar dari mulut Wooseok, mengetukkan jari tanda berpikir bagaimana ia harus menanggapi.

“Yaiya, kak. Tapi mau gimana lagi? Dia tuh kerjaannya emang begitu. Harus kesana kemari buat cari duit 'kan. Toh ini juga buat kalian ke depannya. Katanya mau tinggalndi rumah gede biar bisa lari-lari sama anak-anak lo kelak?” Menimpali dengan ekspresinya seolah meyakinkan Wooseok bahwa Jinhyuk begini juga beralasan.

“Emang lo mau tinggal di gubuk?”

“Ya nggak!” Bibirnya mengerucut tanda tak setuju.

“Nah. Kalo gitu lo harus sanggup-sanggupin kangen. Besok balik kan dia?” Byungchan terkekeh kala Wooseok menyeruput minumannya tak sabaran.

“Iya sih.. Tapi janjinya tiga hari Chan! Dianya pergi seminggu????! Kesel ga sih kalo lo jadi gue??!” Mata bulatnya membesar semakin ketika intonasinya ikut naik beberapa oktaf.

“Diem kek, malu kali diliatin orang-orang,” Byungchan membekap mulut Wooseok, dan sepertinya it's safest to say yes, to agreeing with this anger for a little bit.

“Iya, kesel sih. Tapi nih saran gue, dia besok dateng jangan lo ambekin deh kak.” Byungchan mendekat ke arah lelaki manis dua puluh enam tahun itu, berbisik agar sekitarnya tak mengerti apa yang dia akan utarakan.

“Angetin aja.”

“Brengseeeeek Byungchaaaan!” Wooseok paham ke arah mana kalimat Byungchan tertuju,

dan sebenarnya dia juga rindu akan keberadaan Jinhyuk di dekatnya.

Suara tombol kunci apartemen ditekan berbunyi, tak begitu lama geretan koper terdengar menggema, diikuti teriakan kecil dari yang datang.

“Wooseok! Aku udah pulang.” Jinhyuk melepas sepatu ketsnya dan menyenderkan koper kecil miliknya di dinding dekat sekat awal.

Jinhyuk disambut dengan bau harum yang menyergap indra pembauannya. Melangkah masuk ke arah dapur dan melihat Wooseok-nya berkutat di sana. Jinhyuk tersenyum. Bebannya seolah hilang begitu saja melihat sosok mungil yang berjarak dua meter darinya. Kaki panjangnya ia bawa mendekat, meraih pinggang si mungil dan menyusruk ke perpotongan leher kekasihnya tersebut.

“Hmm. Abis ini makanannya selesai. Mandi dulu sana, udah aku siapin air angetnya.” Wooseok berkata dengan tangannya yang masih mengaduk sup jagung yang ia buat.

“Kangen banget sama kamu.” Jinhyuk berbisik di telinga Wooseok. Mengecup pipinya sekilas dan mengusap perut Wooseok yang rata. Memberikan reaksi geli di perutnya.

“Jangan ganggu dulu kek, orang lagi masak.” Wooseok memukul ringan tangan Jinhyuk menyuruhnya berhenti.

“Aku ga diliat nih? Ini pacar kamu paling ganteng baru balik loh?” Wooseok mendengus mendengarnya, berbalik dan menatap wajah Jinhyuk intens.

“Iya, aku tau. Tapi ayo cepet mandi dulu trus makan. Aku kangen sama kamu.” Wooseok memberi sinyal rindu apa yang ia maksud. Jinhyuk mengerti dan mengangguk semangat. Langkahnya langsung dibawa memenuhi perintah Wooseok yang kini tertawa kecil. Betapa lucunya Jinhyuk yang seperti ini.

Selesai mandi, Jinhyuk telah siap di bar mini milik mereka menunggu Wooseok menyiapkan segalanya. Lahapnya Jinhyuk membuat Wooseok tersenyum senang dan begitu lebar.

“Enaaak banget ih ini. Kamu pinter banget, Seok, bikinnya.” Jinhyuk menyuap sendok terakhir dari sup dan nasinya. Meminum segelas air putih dan yogurt yang Wooseok siapkan.

“Makasih, Hyuk.” Wooseok berjalan memutari bar dan naik ke atas pangkuan Jinhyuk. Mengelus rahang si lelaki dengan gerakan pelan. Menikmati raga dan rupa lelakinya. Jinhyuk memejamkan mata.

“Tapi, enakan aku ga sih?” Wooseok mencium bilah bibir yang menjadi kesukaannya 2 tahun terakhir ini. Jinhyuk membalasnya dengan lumatan-lumatan lembut. Menikmati rasa bibir yang ketika merajuk menrengut lucu. Atau ketika senang tak bisa berhenti tersenyum. Dan ketika Jinhyuk memasuki bergetar sambil menyebut namanya.

“Kangen banget. Kangen kontol Jinhyuk...” Wooseok mengalungkan lengannya di leher panjang Jinhyuk. Mengirimkan keinginannya vokal.

“Ambil sayang. Ini emang punya kamu. Mmh.” Tangan Jinhyuk menuntun Wooseok ke bawah. Ke arah hal yang diinginkan kekasih cantiknya tersebut.

“Aaa, akhirnya aku megang kontol kamu lagi.” Wooseok berbinar ketika tangannya meremas penis Jinhyuk dari luar celana kainnya.

“Ah Jinhyuk ga pake celana dalem.” Wooseok mencium bibir lelaki tinggi yang kini membiarkan Wooseok melakukan eksplorasi pada tubuhnya.

“Pinter.” Lanjut Wooseok. Dia turun dan melepaskan celana kain Jinhyuk pelan. Jinhyuk mengelus kepala Wooseok sayang. Menantikan si mungil melahap jagoannya.

“Jinhyuk.”

“Apa sayang?”

“Boleh?” Wooseok meminta izin. Jinhyuk gemas dan mencubit pipi Wooseok pelan, memasukkan jarinya ke dalam mulut Wooseok dan membukanya lebar. Jinhyuk mengarahkan penisnya dan memasukkannya ke dalam mulut Wooseok yang kini bergumam senang.

“Ahshsyik. Wooseokh mauh minum pejuh Jimhyullkk.” Karena mulutnya telah disumpal oleh penis Jinhyuk, kalimat yang keluar darinya tak begitu jelas. Mulutnya bekerja keras menyedot dan menghisap kencang seolah dia menyusu dari dot. Jinhyuk menggeram rendah, menikmati permainan mulut Wooseok.

“Wooseok pinter... Wooseok hebat... Pinter nyepongin kontol. Uhh.” Jinhyuk mendorong pelan kepala Wooseok semakin maju. Wooseok mencengkram pinggul Jinhyuk mencari pegangan. Lututnya yang menumpu tubuhnya mulai sakit. Tapi tak masalah selama Jinhyuk merem melek keenakan di atasnya.

“Kamu udah lama ga nyepongin aku, ahh, enak banget. Yang, boleh ga sambil pijitin yang gabisa masuk mulut?” Jinhyuk meremas rambut sehalus sutra milik Wooseok.

“Bolehhhh. Nggghhh bentarhh yanghh.” Wooseok sedikit kewalahan karena tubuh kecilnya agak tidak seimbang dengan tubuh Jinhyuk yang kekar. Dia memijit bagian yang tak bisa masuk ke dalam mulutnya.

Jinhyuk keluar. Di dalam mulut Wooseok. Banyak dan menyenangkan. Jinhyuk mencium bibir Wooseok yang masih meninggalkan sedikit bekas spermanya. Setelahnya, dia membuka seluruh fabrik yang masih menempel di tubuh mereka. Wooseok kembali memeluk Jinhyuk di atas pangkuan sang dominan.

“Kamar ya?” Jinhyuk takut badan Wooseok sakit nantinya karena bercinta di tempat yang tak seharusnya. Wooseok terengah dan mengangguk. Jinhyuk langsung menggendong Wooseok ala koala, jarinya tak tinggal diam, mencubiti bongkahan bulat yang menggoda seluruh iman manusia. Menyentuh lubangnya sedikit dengan dijawab lenguhan manja dari Wooseok.

“Jangan godain aku.” Wooseok menghisap leher Jinhyuk hingga meninggalkan tanda cinta di sana.

“Kamu enak sih digodain, nih lubangnya udah kedut-kedut. Gemes.”

“Cepet kek ke kasur.” Jinhyuk mempercepat langkahnya. Mendaratkan Wooseok di atas kasur dan mengecupi tubuh polos Wooseok. Dari atas hingga pinggulnya. Dibaliknya tubuh mungil itu dan melebarkan pantat putih tanpa cela si manis. Dikecupinya pipi pantat Wooseok dengan penuh pendambaan dan gemas.

“Gemes banget sumpah.” Jinhyuk mencupang pipi pantat Wooseok. Wooseoknya menggelinjang keenakan. Diangkatnya tinggi pinggulnya memberikan akses mudah bagi Jinhyuk untuk mengeksploitasi tubuh telanjangnya.

Puas bermain dengan itu, Jinhyuk memulai preparasi lubangnya. Ditungkan lube ke sekitar lubang Wooseok dan penisnya.

“Aku masukin sekarang yang.” Jinhyuk memberi aba-aba. Penisnya mulai masuk, Wooseok mencengkram sprei kencang. Menikmati prosesnya.

“JINHYUUUUK.” Wooseok menjerit ketika penis Jinhyuk tertanam drngan sempurna di miliknya. Jinhyuk bergerak pelan dan mendesah berat.

“Hmmm Wooseok. Ketatin lubangmu.” Tanpa disuruh dua kali, Wooseok melakukan apa yang Jinhyuk pinta. Keduanya bergerak dengan tempo yang tak terburu-buru, cenderung pelan untuk merasakan tiap inchi dari milik pasangannya.

“Jinh-yuk... Remes titit aku.” Jinhyuk bergerak maju menyebabkan tabrakan antar penis dan prostat Wooseok. Hanya desahan kasar yang terdengar di dalam ruangan tak terlalu besar itu.

“Wooseok... Kecil banget.” Jinhyuk meremas milik Wooseok kencang dan berirama.

Tusukannya semakin cepat mengejar putih. Wooseok terhentak sambil bergumam.

“Enak, Jinhyuk... Enak banget... Di ewe Jinhyuk...” Jinhyuk yang mendengarnya tak kuasa menghujam lubang Wooseok seperti mengendarai kuda.

“Enak? Kuda-kudaan sama aku enak, sayang?” Jinhyuk memilin puting Wooseok kencang.

“AH! ENAK BANGET. Aku mau jadi kudanya Jinhyuk.” Keduanya meracau tak jelas dan akhirnya putih menjemput.

“Wooseok!!”

“Jinhyuk!” Keduanya terengah ketika cairannya keluar. Jinhyuk roboh dengan penis yang masih tertanam lekat dengan sperma yang mengalir dari belahan pantat Wooseok. Jinhyuk mengelus lengan Wooseok pelan.

“Kamu harus tau kalo kamu itu mendekati sempurna Wooseok. Karena yang sempurna cuma Tuhan.” Jinhyuk mengecupi seluruh permukaan wajah Wooseok. Wooseok tersenyum senang dalam untaian manis Jinhyuk.

“Aku beruntung dapetin kamu.” Dua-duanya berkata dengan jelas, tertawa dan menikmati aftertaste yang ada.

Jinhyuk, kamu jangan jadi atlet dong,” Wooseok berbalik melepas tautan bawah mereka. Meraba tubuh Jinhyuk yang berbentuk, “aku pusing liat badan kamu gede banget.

Jinhyuk tertawa. Aneh dengan kalimat kacau Wooseok.

“Kalau aku ga jadi atlet terus jadi apa? Tukang becak?” Jinhyuk mengecup mata Wooseok.

“Kamu ini, lucu banget sih.”

-fin.