playground. ㅡ weishin
⚠️ raw sex, on public
⚠️ blowjob, handjob
⚠️ fluff-sex
⚠️ Top! Wei, bott! Wooseok
A collab with Kak Ila, i'll share her username after she reactivated her account 🙏
enjoy!
“It feels nice.” Wooseok menoleh ke arah pemuda di sebelahnya. Menatapnya dengan pandangan bertanya, bahwa secercah senyuman Wei membuat hatinya hangat.
“Apa?” Bukannya jawaban yang keluar dari Wei, genggaman erat di tangan Wooseok mengerat, seolah memberikan pernyataan bahwa yang ia genggam saat ini nyata. Senyumnya melebar merasakan hangatnya genggaman mereka. Matanya menyipit.
“Jalan-jalan sore bareng kakak.” Wei menatap hangat rembulan di hadapannya. Wooseok menaikkan alisnya bingung.
“Tumben?”
“Ga tumben kak, beneran. Wei loves every second that i spend with you, wholeheartedly.” Wei berdecak kemudia mengusak pelan rambut Wooseok.
“Rambutnya berantakan nih ih!” Wooseok merengut dan mencebik. Wei tersenyum tipis. Tangannya ia bawa untuk merapikan kembali rambut Wooseok.
“Cantik.”
“Memang.”
“Idih pede.” Keduanya tertawa, entah karena apa, tapi tak mengapa. They like the tension of it.
“Mau jajan ga? Abis itu kita makannya di playgroud deket apart aku.” Wooseok melepas genggamannya dari Wei. Menatap harap sambil berjalan mundur, tak lupa dengan binar terang di matanya yang membuat siapapun terkesima.
“Ayok. Kakak traktir?!”
“Dih, bocaah. Yaudah, it's on me. Tapi ayo balapan, yang nyampe minimarket duluan yang dibayarin!” Wooseok berbalik dan mulai berlari.
“KAKAK CURANG!”
Selepas membeli kudapan di minimarket, keduanya sekarang sedang duduk-duduk santai di rumah pohon yang berjarak tidak lebih dari satu jengkal di atas tanah, sambil menikmati jajanan yang tadi sudah dibeli. Rumah pohon ini lumayan besar, jika dilihat lagi, ini lebih pantas disebut gazebo. Hanya bedanya lebih tertutup. Ada beberapa lubang mirip pintu dan jendela namun tanpa daun di bagian depan dan sisinya. Karena disengaja didesain untuk anak-anak agar bisa berlari-lari dengan bebas.
Di samping rumah-rumahan kayu ini, ada taman bermain pada umumnya. Satu pasang ayunan rantai, jungkat-jungkit, perosotan, dan gelas putar. Suasananya nyaman dan sejuk, banyak pohon rindang di sekitarnya. Tapi anehnya, meski tempatnya nyaman, di sini jarang terlihat pengunjung anak-anak mampir. Mungkin karena terletak di blok yang sepi, serta belum banyak penghuninya. Jika pun ada, hanya satu atau dua anak yang ditemani sang ibu bermain sehabis mandi sore sembari disuapi makan.
“Kakak jail banget, sih!” Seruan Wei terdengar jelas daei dalam. Tangannya konstan mendaratkan kelitikan di bagian tubuh Wooseok, hingga terlihat Wooseok memerah dari leher ke telinga.
“Weeeei! Udah, ih! HAHAHA.” Wooseok tidak tahan. Napasnya mulai sesak, kehabisan oksigen karena terlalu banyak tertawa. Kalau terus-terusan seperti ini, energinya bisa-bisa habis. Es krim yang baru dihabiskan separuh, sekarang ditaruh di samping kepalanya. Punggungnya kini berbaring, menyatu dengan lantai kayu.
“Kakak minta maaf dulu sama aku!” Wei masih gencar menggerayangi tubuh wooseok. Wei fokus sampai tidak sadar kalau Wooseok sedang merencanakan perlawanan. Tiba-tiba Wooseok mencengkram kedua bahu Wei, dan membalikkan posisi dalam satu manuver. Wei mengerjap, masih berusaha memproses keadaan yang membuatnya berganti posisi menjadi telentang di bawah kungkungan Wooseok. Kaki Wooseok menghimpit dua kaki Wei di sisinya. Mengunci pergerakan Wei.
“Yaudah, kakak minta maaf. Kalo gitu sebagai permintaan maaf, kakak suapin kamu beneran, ya.” Wooseok berkata di depan wajah Wei. Tubuh atasnya berbalik meraih tempat eskrim di belakangnya. Bukannya langsung menyuapkan eskrim ke mulut Wei, Wooseok malah menyuapkan eskrim ke mulutnya sendiri dengan gerakan sensual lalu merunduk meraih bibir Wei yang ada di bawahnya.
Wooseok menerabas mulut Wei dengan lidahnya, memasukkan eskrim dari mulutnya sambil menjelajah seisi mulut Wei yang manis. Dari mulai membelit lidah sampai mengabsen gigi Wei. Sesekali menggigit dan mengulum bibir Wei yang rasanya makin manis dan ditambah sensasi dingin karena sisa-sisa lelehan eskrim yang berceceran.
“Hng, k-kak.” Samar-samar geraman Wei di tengah pagutan bibir mereka. Wooseok benar-benar mengunci pergerakan Wei, karena sekarang pergelangan tangan Wei digenggam Wooseok.
“Ya, sayang?”
“Di sini… banget?????” Wei memegang wajah sayu Wooseok. Menatapnya ragu.
“*It's one of your kinks, right? Having sex in public?” Wooseok memeluk Wei sambil bergoyang di atasnya.
“K-kak…”
“Wei, mau main 'kan?” bisik Wooseok erotis di telinga Wei. Usaha Wei menormalkan detak jantungnya yang berantakan malah gagal. Aliran darah rasanya semakin deras mengalir ke bagian selatannya.
“A-ah, k-kak...“ Belum sempat Wei menjawab, Wooseok malah memainkan gundukan celana Wei yang semakin keras. Membuat Wei menggeram.
“Mau, ya? Liat dia juga mau.” Wooseok masih mengelus dan menekan milik Wei.
“Nghh, m-mau kak.” Tangan Wei meraih pergelangan Wooseok meminta agar Wooseok melakukan lebih.
Wooseok membuka zipper dan pengait celana Wei yang semakin ketat, meremas gundukan yang semakin terlihat lebih besar dan keras, membuat Wei mendesah tertahan. Detik kemudian, Wooseok mengeluarkan milik Wei yang benar-benar tegang ke atas. Benar-benar pas digenggaman Wooseok.
“Wei, kenapa makin besar?” wooseok mengocok pelan sambil meremas milik Wei.
“Biar kakak pu- Aduh, k-kak.” Wei hanya bisa mendesah, tak bisa menyelesaikan jawaban dari pertanyaan kakak manisnya.
Tiba-tiba rasa basah menyelimuti milik Wei, punggungnya menegang dan napasnya memburu. Wooseok rupanya mengganti tangan dengan mulutnya. Mengemut milik wei, penuh di mulutnya yang mungil. Lidahnya handal memainkan seluruh bagian, sesekali menggeram dan menggesekkan giginya pelan mengirimkan aliran listrik yang membuat Wei menggigit bibirnya afirmatif.
Satu-satunya hal yang bisa Wei lakukan hanya menggenggam rambut Wooseok sambil menjeritkan ‘jago banget, kak!’ yang hanya berhasil keluar satu kali dalam banyak percobaan. Apresiasi lainnya ia gumamkan dalam kepala sambil mengusap rahang Wooseok, karena sisanya yang terdengar hanya desahan atau jeritan tertahan. Namun saat Wei akan sampai, Wooseok malah berhenti dan melepas kulumannya. Dia bangkit menatap Wei.
“Wei, mau coba main di atas?” Wooseok menawarkan posisi baru dalam permainan mereka, selama ini, meski Wei menjadi pihak yang masuk, tapi selalu wooseok yang memimpin permainan. Wei belum pernah mencobanya, dia selalu menunggu apa yang Wooseok lakukan selanjutnya. Dia merasa jika dia yang melakukan, ia takut Wooseok akan merasa tidak puas.
“Hah? Beneran?” Wei yang terpejam langsung membuka matanya, terkejut dengan pertanyaan Wooseok barusan. Ia belum bisa membayangkan.
“iya, sayang. Coba, ya?” Wooseok mengelus pipi dan rambut Wei lembut.
“Ya? Hm?” Wooseok bertanya sambil menciumi wajah Wei. Mencoba meyakinkan adiknya yang terlihat mulai resah.
“B-boleh. Wei boleh coba?” Keringat di pelipisnya menetes ke bawah. Nafasnya masih tersengal, tapi tangannya mengelus punggung Wooseok yang masih dibalut kaos putihnya.
“Boleh.” Diberi dorongan seperti itu, Wei langsung mengganti posisinya. Ditatapnya mata cantik Wooseok lagi, dipujanya seolah sekian juta bintang di atas tak ada artinya.
Tungkai Wooseok melingkar di pinggang Wei, menariknya lebih dekat saat Wei sudah memposisikan diri di atasnya. Membuat Wei terkejut lalu terjatuh di atas Wooseok, untung saja telapak tangannya gesit menahan berat tubuh agar tidak menindih Wooseok.
“Kakak!” Wei protes dengan gerakan Wooseok yang tiba-tiba. Wooseok hanya terkekeh.
“Kamu lama!” Lanjut Wooseok sambil menarik tengkuk Wei agar jarak mereka semakin minim. Wei bisa merasakan napas Wooseok di permukaan wajahnya. Hangat. Wei memperhatikan bibir wooseok yang bengkak akibat kegiatan blowjobnya tadi.
“Kak... Cium, boleh?” Bisikan Wei terdengar berat, kalau sudah begini mana bisa Wooseok menolak pesona Wei yang polos namun aura dominannya terlihat begitu jelas di hadapannya. Wooseok pun mengangguk cepat.
Wei perlahan mengecup bibir Wooseok, beberapa kali. Hingga Wei menghisap bibir atas Wooseok kencang, yang dihadiahi cengkraman Wooseok di lengannya.
“Hah hah.” Wooseok berusaha menghirup napas sebanyak-banyaknya saat Wei akhirnya melepas hisapan di bibirnya.
Tapi Wei tidak membiarkan Wooseok beristirahat. Ia kembali melahap bibir ranum di hadapannya menjelajah rasa yang lebih nikmat dari yang selalu ia cicip. Wooseok melenguh tertahan, menarik tengkuk dan rambut Wei.
“Hhh, Wei. Kamu gila!” ucap Wooseok putus-putus disela tarikan napas pasca pergumulan bibir mereka. Tangannya terus mengusap kepala Wei yang mulai berpindah ke leher Wooseok setelah meminta izin terlebih dahulu. Wei menghisap leher Wooseok lalu terus turun ke dada Wooseok. Ia mendongak sebentar untuk mendapat anggukan persetujuan dari Wooseok. Setelah diizinkan, Wei melahap dua titik di dada Wooseok yang masih terbalut kaos. Bergantian dan pelan.
Desahan Wooseok berganti menjadi jeritan saat Wei mulai menghisap dan menggigitinya kecil.
“A-ah Wei!” Jambakan Wooseok di rambut Wei semakin mengencang. Tungkainya semakin mengerat di pinggang Wei mencoba menghilangkan hawa sore yang dingin.
Puas dengan bagian atas, Wei mulai turun ke bagian bawah perut Wooseok yang mulai mengeras mengenai perutnya sejak tadi. Wooseok perlahan membuka kakinya.
“Aku.. Buka ya, kak?” Wei kembali meminta ijin wooseok, yang lalu dibalas anggukan cepat.
“Kakak udah pengen banget, ya?” Wei membuka kaitan dan zipper celana Wooseok, tangannya sesekali menekan zipper di tengah perjalanan.
“Wei... Cepet... Aku... Gak tahan...” Wooseok tidak tahan dengan godaan Wei yang berkedok kepolosan. Tangannya membantu Wei menurunkan celananya sendiri dengan tergesa-gesa.
Saat bagian bawah Wooseok sudah sepenuhnya telanjang, Wei menahan paha dalam Wooseok agar tetap terbuka lebar. Wooseok mengangguk mengizinkan Wei yang menatapnya sebelum Kepalanya turun menciumi milik Wooseok yang terus mengeluarkan precum. Wei ingat satu hal. Es krim!
Wei meraih kotak es krim yang sempat dilupakan. Kemudian ia melumuri penis Wooseok dengan es krim itu. Tak lama, ia langsung melahap penis Wooseok sambil bergumam.
“Kak, jari aku masuk ya?” Wei bertanya menunggu jawaban Wooseok.
“I-iy akh!” Wooseok menjerit kaget, jari wei yang panjang dan kurus terasa kasar di dalamnya. Bergerak keluar masuk mencari spot nikmat yang akan berwujud menjadi jeritan namanya.
“A-ah Wei!” Wooseok kembali menjerit saat dua jari lagi ikut menginvasi, tangannya mencengkram pergelangan wei agar tusukannya semakin dalam.
“Sssh, kak, jangan berisik.”
“Ah! Ah Wei!” punggung Wooseok melengkung. Akhirnya jari Wei menemukan titik yang ia cari.
“Kenapa, kak? Hm? Di sini ya?” Wei terus mengenai titik nikmat Wooseok dengan tempo yang tak menentu. Cepat, kemudian tiba-tiba melambat. Membuat Wooseok mesti bersiap-siap kapanpun agar tidak terkejut.
“Ah! Ah wei! A-ak-u ah k-el- ah!” Wooseok menjerit karena pelepasan pertamanya hanya karena jari Wei.
Dada Wooseok naik turun masih menikmati pelepasannya. Lalu menarik Wei untuk menciumi wajah polos Wei.
“Kamu hebat banget, sayang.” Ciuman terakhir di bibir Wei agak lama. Jempolnya mengusap pipi Wei, Wei melakukan hal yang sama. Mereka saling menatap, menyatakan rasa lewat pandangan mata.
“Aku masuk boleh ya, kak?” Wei benar-benar memperhatikan konsen Wooseok, ia tidak mau Wooseok tidak merasa nyaman karenanya.
“Boleh, sayang. Do it, please.” Wooseok mengecup bibir Wei sekilas.
Wei menurunkan celana denimnya hingga lutut. Mengarahkan miliknya tepat di depan lubang wooseok yang sudah merah.
“Aku masuk, kak.” Bisik Wei seiring gerakannya menembus Wooseok.
Wooseok menggigit bibirnya merasakan sensasi lubangnya ditembus perlahan, ini bukan pertama kalinya tapi tetap saja tubuhnya bereaksi seperti pertama kali.
“Akh, kak sempit banget.” Wei menggeram sambil masih berusaha memasuki Wooseok.
“W-wei a-ah.” Wooseok meracau, milik Wei terasa semakin membesar di dalamnya.
“Aku gerak ya, kak. Hngggh..” Wei mulai mengeluarkan miliknya perlahan untuk kemudian masuk kembali.
“A-ah, Wei, lebih keras sayang..” Wooseok memohon sambil mengusap pipi Wei. Jika perlahan begini, ia tidak tahan merasakan gesekan urat-urat Wei yang membuatnya pening.
“Harder gimana, kak?” Tanya Wei dengan wajah polosnya, di bawah sana ia mengeluarkan setengah miliknya, hanya menyisakan bagian ujung di dalam Wooseok.
“Kaya gini?” Tiba-tiba Wei menusuk Wooseok dalam sekali hentak lalu menekannya sangat dalam.
“Aah! Wei!” Wooseok belum siap. Matanya terpejam sambil mencengkram bahu Wei kencang. Punggungnya tegang hingga naik.
“Atau gini kak?” Belum selesai dengan kenikmatannya barusan, Wei malah mengganti tempo geraknya menjadi lebih cepat. Dan benar-benar cepat. Menubruk Wooseok dengan brutal. Rumah pohon yang mereka tempati bergoyang. Desahan keduanya berusaha diminimalisir. Wei menggigit bibirnya, mendesah pelan, berbeda dengan Wooseok yang bergetar dan begitu vokal.
“Penisnya Wei makin enak… Makin besar. Kakak penuh banget.”
“G-goyangnya gini, kak?”
“Bener sayang. Kenceng gini, pinter, ngh.“
Suara tubuh bertubrukan dan erangan panas terdengar samar jika di dengar dari luar. Wooseok mengocok penisnya sendiri, mencari dan mengejar putihnya.
“Wei! Ah! I-i'm ah!” Wooseok benar-benar dibuat pusing oleh Wei. Punggungnya semakin jauh dengan pernukaan lantai, kepalanya menengadah dan matanya berputar. Didukung lubang Wooseok yang ketat, Wei semakin cepat.
“Ah! Weeeeiii!” Wooseok berteriak tertahan bersamaan dengan Wei yang semakin dalam menusuknya.
Mereka keluar.
Milik Wooseok sangat banyak mengotori perut Wei dan miliknya. Sedangkan Wei keluar di dalam Wooseok, Wei menggeram dan tetap menekan penyatuan mereka agar cairannya tidak ada yang keluar.
“Hngggh, Wei.” Wooseok benar-benar butuh udara. Dadanya naik turun mencoba menormalkan napas.
“Gimana, kak?” wei bertanya setelah dirasa cairannya tidak akan keluar lagi. Tapi dibalas pukulan oleh wooseok di lengannya.
“Ah! Sakit, kak!” Wei protes, mengusap lengannya.
“Kamu! bandel banget, ya! Bisa-bisanya sok polos, ternyata bikin gila!” Oceh Wooseok sambil mencubit pelan hidung Wei.
“Hehe tapi enak, kan kak?” Wei mengecup bibir Wooseok sekilas.
“Gatau, ah! Aku marah!” Wooseok menyilangkan tangan di dadanya, Wei tertawa karena gemas lalu memeluk tubuh Wooseok yang berkeringat di bawahnya.
“Mama, aku mau main di lumah ini!” Saat mereka sedang berpelukan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil mendekat.
Mereka bertatapan saling melempar ekspresi bingung.
Saat Wei akan melepas penyatuan mereka, Wooseok malah menahan Wei. Menggeleng, tidak mau penyatuan mereka lepas begitu saja.
“Aku masih mau main di sini, Wei.” Wooseok cemberut. Wei sudah hapal, kalau Wooseok sudah begini maka keinginannya harus dituruti.
“Ish kakak! Yaudah kalo gitu!” Wei menyerah, akhirnya ia berdiri sambil mengambil celana Wooseok yang tergeletak dengan membawa Wooseok dipangkuannya. Wooseok memeluk Wei erat agar penyatuan mereka tidak lepas.
“Ah ah Wei...i” Wooseok mendesah ketika Wei berlari. Penisnya terdorong semakin dalam.
“Adek! Sebentar!” Kali ini terdengar suara seorang ibu yang mengejar anaknya semakin dekat.
“Ah Wei, cepet!” Mereka sudah di pintu belakang rumah pohon ini.
“Kak ke mana ini?” Wei melihat ke arah sekitar taman, namun tidak menemukan tempat untuk bersembunyi kecuali semak-semak di hadapannya.
“Ah, ke-se-mak se-mak a-ja Wei.” Wooseok masih mendesah akibat milik Wei terasa kembali mengeras.
Bodohnya Wei menurut dan berlari ke balik semak semak dan bersembunyi bersamaan dengan suara anak kecil yang berlarian di dalam rumah pohon. Wei menjatuhkan dirinya dengan Wooseok di atasnya.
“A-ah Wei, dalem banget...” Bisik Wooseok yang di pangkuan wei tiba-tiba bersuara.
“Kakak! Aku lagi deg-degan ini!” Wei protes kepada Wooseok yang malah menikmati perjalanan mereka yang menegangkan. Tapi setelahnya, dengan cekatan membalikkan tubuh Wooseok agar menungging.
“Ah! Ah! Wei ah!” Wei bergerak sangat kencang, dan Wooseok menjerit kecil. Mereka sudah tidak peduli jika pun ibu dan anak tadi mendekat ke arah mereka. Yang mereka pedulikan bagaimana sensasi melakukan seks di tempat umum,
Dengan semak yang terlihat bergoyang hebat.