NASA

Amerta

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah, lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah, lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”*

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Amerta | 6.

Yoshida, benar-benar tak menyangka jika tak berselang lama setelah ia mengirim pesan kepada Denji, dering ponselnya berbunyi dan yang menghubunginya adalah Denji itu sendiri.

Dengan telinga yang memerah dan kegugupan kecil yang menghampiri, Yoshida segera mengangkatnya.

Suara tawa halus Denji, segera menyapa gendang telinganya.

“Aneh. Rindu berat darimananya sih lo? Baru ketemu kemarin juga.” Senyum Yoshida, mengembang saat itu juga pada sudut bibirnya.

“Gue gak bisa ngatur persoalan hati dan rindu, Den,” sahut Yoshida.

Terdengar helaan nafas dari speaker ponsel.

“Besok kan ketemu di sekolah?”

Yoshida menggeleng, meskipun ia tahu jika Denji tak mungkin melihatnya.

“Di sekolah lo dimonopoli penuh sama Yoru.”

Kembali terdengar alunan tawa halus dari Denji.

“Yaudah, gue temenin telponan sampai lo ketiduran.”

Yoshida, tersenyum lebar mendengarnya. Ia melangkah tergesa menuju balkon kamarnya, duduk di sana seraya menatap langit malam yang sedang cerah-cerahnya, seolah sedang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

“Ji?”

“Hm?”

“Lagi dimana? Bener udah pulang ke Kos?”

“Lagi di halte deket kos, langitnya cantik. Sia-sia banget kalo gue pulang sekarang.”

“Ji?”

“Apaaaa?”

Entah Yoshida yang terlalu perasa, atau memang saat ini Denji terdengar lebih lembut dari biasanya? Jantungnya berdebar-debar karena hal ini.

“Are you sure you're not tired?”

Suara Denji, terdengar bingung di seberang sana. “Uh— I don't know? Why?”

Yoshida, tersenyum tipis. “You've been running through my mind all day.”*

Hening. Hanya terdengar hembusan nafas halus dari Denji, sehingga Yoshida, hanya bisa terkekeh di tempatnya. “Ji?”

“... Bi...”

“Hah ngomong apa?”

“APAAN SIH BABIIIIIIII!”

Setelah itu, hanya terdengar suara tawa dari Yoshida, dan jeritan salah tingkah dari Denji yang masih menetap di posisinya.

Tanpa sadar, ada sepasang mata menatapnya dengan ekspresi sendu yang nampak memilukan.

#Amerta | 5.

Membosankan.

Denji, kembali menguap untuk yang kesekian kalinya. Sudut matanya sudah berair, pertanda ia sudah diambang pertahanannya.

Suasana sepi di perpustakaan sekolah memanglah mendukung untuk tidur saat ini, belum lagi AC dengan suhu sedang menambah nilai plus dari ruangan ini, Denji pikir, mulai saat ini ia akan memilih membolos di sini ketimbang di rooftop tanpa alas untuk tiduran tersebut.

Yup. Sesuai janji, Yoshida mengajarkan materi matematika yang akan dikerjakan Denji besok dalam bentuk ulangan harian.

Tidak ada yang salah. Yoshida, mampu menjelaskan dengan cara sederhana dan Denji bisa mencernanya, hanya saja, matanya tak bisa diajak bekerja sama. Ia justru diserang kantuk yang semakin menjadi seiring berjalannya waktu.

Yoshida, yang tengah duduk di sampingnya hanya tersenyum tipis, ia menopang sebelah wajahnya dengan tangan kiri yang bertumpu di atas meja, menatap penuh minat pada wajah lucu yang selalu berhasil memporak-porandakan hatinya.

“Kenapa liat-liat?” Denji, bertanya dengan sewot. Sedikit salah tingkah sebenarnya, namun ia tutupi sebisa mungkin.

“Lah? Gak boleh? Lagi ngeliatin keajaiban dunia ini.” Sahut Yoshida, dengan tenang.

Denji, justru bingung dengan sahutannya. “Maksudnya?”

Yoshida tertawa kecil, mengangkat sedikit kursinya untuk didekatkan ke arah Denji, tangannya lalu bergerak, mengusak surai pirang itu dengan lembut. “Lo, lo itu keajaiban dunianya. Coba jelasin ke gue, surga lagi bermasalah apa gimana sampai-sampai salah satu malaikatnya turun kesini?”

Blush.

“Apasih anjing.”

“Salting?”

“Enggak!”

“Masa?”

“Ck. Jangan gitu bangsatttttt, kalo gue jatuh ke elo gimana?”

“Ya gapapa, bagus malah. Santai aja kali, jatuh mah tinggal gue tangkep, toh mendaratnya juga nanti bakal di altar.”

Wow. Yoshida dan mulut manis sialannya.

#Amerta | 4.

Yoshida terkekeh. Amat terhibur dengan wajah lucu Denji, yang sedari tadi menjadi korban cubitan dari Makima mau pun Reze. Bahkan, Quanxi yang jarang menunjukkan ketertarikannya pun sesekali mengusak surai pirangnya.

Sedangkan Denji, benar-benar mati kutu. Setengah perasaannya saat ini adalah takut dan gugup menjadi satu, dan setengahnya lagi adalah rasa malu dan tersipu. Dikelilingi 3 perempuan dengan wajah rupawan semua, siapa yang tidak senang?

Denji, tak habis pikir. Ia kira di rumah Yoshida hanya akan ada ia dan dirinya saja sama seperti kemarin, ternyata di tengah acara makannya yang nikmat, ia dikejutkan oleh kedatangan sang kepala keluarga, disusul oleh yang lainnya.

Ia benar-benar malu, gugup, dan canggung di saat yang bersamaan. Ia hanya mampu menjawab pertanyaan yang dilayangkan ayah Yoshida padanya dengan seadanya.

“Dek, kok lo mau sama tuh anak? Dia manja, ntar nyusahin lo.” Itu suara dari si sulung, ia menusuk-nusuk pipi gembil Denji dengan garpu di tangannya.

Yoshida, mengernyitkan alisnya tak terima. “Jaga cocot lo ya.”

Quanxi hanya menjulurkan lidahnya tak peduli.

Kedatangan Denji, membuat isi rumah itu ramai dan meriah.


“Anak baik.”

Yoshida, tersentak kaget. Hampir menjatuhkan piring kotor di tangannya saat mendapati ayahnya sudah berada di sampingnya, menyeduh sebuah kopi tanpa gula.

“Siapa?” Tanya Yoshida, ia kembali berfokus ke arah tumpukan piring kotor di depannya.

Denji ada di ruang tengah. Sedang bermain PS dengan kakak-kakaknya, terbukti dengan suara ribut yang di dominasi oleh perempuan di sana.

“Denji. Anak baik ya dia.” Kishibe, sang kepala keluarga, kembali mengulang ucapannya.

Yoshida mengangguk, senyum tulusnya tercipta seketika, membuat Kishibe, menghela nafas karenanya.

“Boleh suka. Boleh cinta. Tapi jangan dijadikan rumah, ya?”

Yoshida, bingung. Menghentikan sesaat kegiatannya lalu menatap lekat ke arah ayahnya. “Kenapa?”

Kishibe, menghisap pelan kopi panas di tangannya. Matanya nampak menerawang ke arah depan sebelum berkata.

“Manusia itu bukan benda mati, Hiro. Mereka akan terus bergerak dan tabu bagi mereka untuk menetap.”

#Amerta | 4.

Yoshida terkekeh. Amat terhibur dengan wajah lucu Denji, yang sedari tadi menjadi korban cubitan dari Makima mau pun Reze. Bahkan, Quanxi yang jarang menunjukkan ketertarikannya pun sesekali mengusak surai pirangnya.

Sedangkan Denji, benar-benar mati kutu. Setengah perasaannya saat ini adalah takut dan gugup menjadi satu, dan setengahnya lagi adalah rasa malu dan tersipu. Dikelilingi 3 perempuan dengan wajah rupawan semua, siapa yang tidak senang?

Denji, tak habis pikir. Ia kira di rumah Yoshida hanya akan ada ia dan dirinya saja sama seperti kemarin, ternyata di tengah acara makannya yang nikmat, ia dikejutkan oleh kedatangan sang kepala keluarga, disusul oleh yang lainnya.

Ia benar-benar malu, gugup, dan canggung di saat yang bersamaan. Ia hanya mampu menjawab pertanyaan yang dilayangkan ayah Yoshida padanya dengan seadanya.

“Dek, kok lo mau sama tuh anak? Dia manja, ntar nyusahin lo.” Itu suara dari si sulung, ia menusuk-nusuk pipi gembil Denji dengan garpu di tangannya.

Yoshida, mengernyitkan alisnya tak terima. “Jaga cocot lo ya.”

Quanxi hanya menjulurkan lidahnya tak peduli.

Kedatangan Denji, membuat isi rumah itu ramai dan meriah.


“Anak baik.”

Yoshida, tersentak kaget. Hampir menjatuhkan piring kotor di tangannya saat mendapati ayahnya sudah berada di sampingnya, menyeduh sebuah kopi tanpa gula.

“Siapa?” Tanya Yoshida, ia kembali berfokus ke arah tumpukan piring kotor di depannya.

Denji ada di ruang tengah. Sedang bermain PS dengan kakak-kakaknya, terbukti dengan suara ribut yang di dominasi oleh perempuan di sana.

“Denji. Anak baik ya dia.” Kishibe, sang kepala keluarga, kembali mengulang ucapannya.

Yoshida mengangguk, senyum tulusnya tercipta seketika, membuat Kishibe, menghela nafas karenanya.

“Boleh suka. Boleh cinta. Tapi jangan dijadikan rumah, ya?”

Yoshida, bingung. Menghentikan sesaat kegiatannya ia lantas menatap lekat ke arah ayahnya. “Kenapa?”

Kishibe, menghisap pelan kopi panas di tangannya. Matanya nampak menerawang ke arah depan sebelum berkata.

“Manusia itu bukan benda mati, Hiro. Mereka akan terus bergerak dan tabu bagi mereka untuk menetap.”

#Amerta | 4.

Yoshida terkekeh. Amat terhibur dengan wajah lucu Denji, yang sedari tadi menjadi korban cubitan dari Makima mau pun Reze. Bahkan, Quanxi yang jarang menunjukkan ketertarikannya pun sesekali mengusak surai pirangnya.

Sedangkan Denji, benar-benar mati kutu. Setengah perasaannya saat ini adalah takut dan gugup menjadi satu, dan setengahnya lagi adalah rasa malu dan tersipu. Dikelilingi 3 perempuan dengan wajah rupawan semua, siapa yang tidak senang?

Denji, tak habis pikir. Ia kira di rumah Yoshida hanya akan ada ia dan dirinya sama seperti kemarin, ternyata di tengah acara makannya yang nikmat, ia dikejutkan oleh kedatangan sang kepala keluarga, disusul oleh yang lainnya.

Ia benar-benar malu, gugup, dan canggung di saat yang bersamaan. Ia hanya mampu menjawab pertanyaan yang dilayangkan ayah Yoshida padanya dengan seadanya.

“Dek, kok lo mau sama tuh anak? Dia manja, ntar nyusahin lo.” Itu suara dari si sulung, ia menusuk-nusuk pipi gembil Denji dengan garpu di tangannya.

Yoshida, mengernyitkan alisnya tak terima. “Jaga cocot lo ya.”

Quanxi hanya menjulurkan lidahnya tak peduli.

Kedatangan Denji, membuat isi rumah itu ramai dan meriah.


“Anak baik.”

Yoshida, tersentak kaget. Hampir menjatuhkan piring kotor di tangannya saat mendapati ayahnya sudah berada di sampingnya, menyeduh sebuah kopi tanpa gula.

“Siapa?” Tanya Yoshida, ia kembali berfokus ke arah tumpukan piring kotor di depannya.

Denji ada di ruang tengah. Sedang bermain PS dengan kakak-kakaknya, terbukti dengan suara ribut yang di dominasi oleh perempuan di sana.

“Denji. Anak baik ya dia.” Kishibe, sang kepala keluarga, kembali mengulang ucapannya.

Yoshida mengangguk, senyum tulusnya tercipta seketika, membuat Kishibe, menghela nafas karenanya.

“Boleh suka. Boleh cinta. Tapi jangan dijadikan rumah, ya?”

Yoshida, bingung. Menghentikan sesaat kegiatannya ia lantas menatap lekat ke arah ayahnya. “Kenapa?”

Kishibe, menghisap pelan kopi panas di tangannya. Matanya nampak menerawang ke arah depan sebelum berkata.

“Manusia itu bukan benda mati, Hiro. Mereka akan terus bergerak dan tabu bagi mereka untuk menetap.”

#Amerta | 3.

“Nanti gue transfer ya.”

Yoshida, menggeleng. Ia murni ingin mentraktir Aki, yang saat ini secara kebetulan juga sedang mencari bahan makanan.

Keduanya terdiam cukup lama karena canggung. Duduk di bangku yang disediakan di area minimarket dengan kedua pasang mata yang saling melirik.

“Bang, gue izin bu—

“Gue udah tau.” Potong Aki, cepat. Sosoknya memantikkan api ke arah batang rokok yang terjepit di antara bilah dua bibirnya.

Yoshida hanya diam, memperhatikan bagaimana Aki, menyelesaikan hisapan pertamanya pada batang nikotin tersebut.

“Gue gak masalah, selama niat lo bener kenapa gue harus ngelarang?”

Senyum Yoshida, segera tercipta di wajah tampannya saat mendengar itu.

“Tapi, gue mau tau satu hal.” Aki, menjentikkan sedikit ujung rokoknya pada sudut meja, lalu kembali menghisapnya. Ia melirik Yoshida, meneliti dengan seksama ekspresi yang ditampilkan pemuda di depannya tersebut.

Datar. Tapi penuh keseriusan di sana.

“Tanya apa aja bang, bakal gue jawab,” Sahut Yoshida mantap.


“Seperti ucapan gue sebelumnya, gue cuma pengen tau satu hal.” Aki berdeham, ia segera melanjutkan ucapannya.

“Apa yang lo suka dari Denji?”

Yoshida tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah ribuan kali Yoru ajukan padanya. Dan jawabannya tetap sama.

“Bang, gue suka sama dia karena itu dia. Hati gue bisa menyesuaikan ritmenya juga karena itu dia, bukan orang lain.”

“Terus, dengerin baik-baik ya bang. Gue cuma ngomong ini sama lo, bahkan Denji pun belum pernah denger ini langsung dari mulut gue.”

“Gue sayang sama dia tanpa alasan, gue menerima dia apa adanya tanpa memandang kelebihan, gue menjadikan dia prioritas murni tanpa paksaan, gue bahkan cinta dia tuh tanpa embel kebohongan. Gak ada satu hari pun terlewat tanpa gue berdoa dan berharap. Suatu hari bahwa Denji, bakal menoleh ke arah gue. Dan di saat itu terkabul, kenapa gue harus berhenti, bang? Perasaan bukan mainan dan tercipta bukan untuk dipermainkan.”

Yoshida, menarik nafasnya pelan. Lalu menatap tepat ke arah Aki, menunjukkan betapa tulusnya ia pada pemilik surai pirang yang bernama Denji.

“Bang, orang yang punya tempat spesial di hati gue kaya Denji itu, harusnya dia mendapatkan cinta seluas buih di Samudra. Karena itu, gue hadir dan ingin mewujudkannya.”

Aki, terdiam mendengarnya.

#Amerta | 2

Denji menopang dagunya dengan manik bonekanya yang sesekali mengerjap pelan tanda mengantuk.

Tadi, saat memasuki daerah kawasan rumah besar Yoshida, Denji nyaris dibuat mati kutu saat tahu ia harus berhadapan dengan sang kepala keluarga Hirofumi.

Ia diberikan beberapa pertanyaan yang benar-benar membuatnya terdiam bak orang bodoh, karena menjawab bisa salah, diam tak menjawab pun juga salah.

Untungnya, panggilan dan tuntutan kerja yang nampaknya sedang menunggu pria berusia kepala 5 itu segera bergegas pergi, tanpa sempat bertanya lebih banyak lagi.

Sedangkan kakak perempuan yang dikatakan Yoshida, nampaknya sedang ada urusan mendadak. Denji hanya sempat melihat sekilas, sosok dengan surai ungu itu berlarian keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu pergi dari halaman rumah.

“Ngantuk?”

Yoshida, membuka suara.

Denji mengangguk, menatap Yoshida tanpa berkedip sama sekali, melihat bagaimana sosok itu dengan cekatan mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia masak.

Yah.

Saat ini posisi keduanya berada di dapur besar rumah keluarga Hirofumi, dengan Denji sebagai tamu spesial dan Yoshida sebagai koki bintang 5 yang akan menjamunya.

“Tidur dulu gapapa, kamar gue ada di lantai 3.” Yoshida terkekeh, ia harus menahan kuat dorongan di dalam hatinya kala melihat bagaimana wajah rupawan Denji yang berkerut lucu kala ia mengusap matanya perlahan.

Denji menggeleng. “Gue mau liat lo masak.”

Yoshida mengangguk saja. Ia meletakkan semua bahan makanan di depan Denji, membuat Denji, yang tengah mengantuk langsung membuka matanya secara lebar.

“Lo mau masak seafood? Sebanyak ini? Mahal banget bodoh! Gue bilang kan jangan terlalu boros!”

Yoshida justru tersenyum mendengarnya, ia mengusak surai pirang Denji dengan lembut. “Boros buat lo mah gapapa. Udah tunggu aja gih, di ruang tamu ada sofa kasur kok, sekalian ada PS, siapa tau lo mau main selagi nunggu gue.”

Dan Denji, mengikutinya tanpa banyak suara.


“ENAK BANGET WOY!”

Teriakan riang Denji, memenuhi ruang tamu rumah keluarga Hirofumi. Sosok itu nampak begitu termanjakan oleh masakan Yoshida yang terasa sangat cocok untuk indra pengecapnya.

Yoshida tersenyum lebar mendengar pujian itu.

“Udah jadi idaman kamu belum?” Yoshida bertanya dengan jahil, berniat bercanda.

Tetapi nampaknya Denji, menanggapi serius hal itu.

“Idaman banget, tapi jadi kebanting kalo lo sama gue. Diibaratkan lo langit gue cuma tanah yang ada di bawah.”

Yoshida berucap dengan santai, “Tanah itu juga tempat gue bisa berpijak selama menjadi penghuni Bumi. Jadi gak masalah, gue tetap suka sama lo.”

Denji nampak salah tingkah mendengarnya. Ia berusaha membuat topik debat yang baru.

“Gue jelek.”

“Kata siapa? Lo tercantik dari yang paling cantik.”

“Gue gak pinter loh di mata pelajaran. Alias goblok banget.”

“Gak masalah, lo pinter kok, cuma gak bisa bagi waktu buat belajar aja pasti.”

“Gue gak bisa masak.”

“Terus apa fungsinya gue?”

Denji bingung, ingin membalas apa. Fungsi apa maksudnya?

Melihat ekspresi lucu itu, Yoshida mengalunkan tawa kecilnya.

“Gue tanya sekali lagi Den. Apa fungsinya gue kalau orang yang gue sayang justru mati-matian mencoba sempurna di mata gue? Padahal gak perlu berbuat sesuatu, cukup jadi dirinya sendiri aja itu udah pas, porsi yang sesuai untuk sempurnanya dia.”

“Jadi kalau lo gak bisa masak, gak masalah Den. Gue yang bisa. Gue masakin lo apa aja yang lo mau. Gak perlu repot-repot lo yang turun tangan langsung ke dapur.”

Yoshida mencubit pelan pipi gembil Denji, seraya berkata.

“Karena memastikan lo makan dan istirahat dengan bener itu tugas gue, Denji.”

#Amerta | 2

Denji menopang dagunya dengan manik bonekanya yang sesekali mengerjap pelan tanda mengantuk.

Tadi, saat memasuki daerah kawasan rumah besar Yoshida, Denji nyaris dibuat mati kutu saat tahu ia harus berhadapan dengan sang kepala keluarga Hirofumi.

Ia diberikan beberapa pertanyaan yang benar-benar membuatnya terdiam bak orang bodoh, karena menjawab bisa salah, diam tak menjawab pun juga salah.

Untungnya, panggilan dan tuntutan kerja yang nampaknya sedang menunggu pria berusia kepala 5 itu segera bergegas pergi, tanpa sempat bertanya lebih banyak lagi.

Sedangkan kakak perempuan yang dikatakan Yoshida, nampaknya sedang ada urusan mendadak. Denji hanya sempat melihat sekilas, sosok dengan surai ungu itu berlarian keluar menuju mobilnya yang terparkir lalu pergi dari halaman rumah.

“Ngantuk?”

Yoshida, membuka suara.

Denji mengangguk, menatap Yoshida tanpa berkedip sama sekali, melihat bagaimana sosok itu dengan cekatan mengeluarkan semua bahan makanan yang akan ia masak.

Yah.

Saat ini posisi keduanya berada di dapur besar rumah keluarga Hirofumi, dengan Denji sebagai tamu spesial dan Yoshida sebagai koki bintang 5 yang akan menjamunya.

“Tidur dulu gapapa, kamar gue ada di lantai 3.” Yoshida terkekeh, ia harus menahan kuat dorongan di dalam hatinya kala melihat bagaimana wajah rupawan Denji yang berkerut lucu kala ia mengusap matanya perlahan.

Denji menggeleng. “Gue mau liat lo masak.”

Yoshida mengangguk saja. Ia meletakkan semua bahan makanan di depan Denji, membuat Denji, yang tengah mengantuk langsung membuka matanya secara lebar.

“Lo mau masak seafood? Sebanyak ini? Mahal banget bodoh! Gue bilang kan jangan terlalu boros!”

Yoshida justru tersenyum mendengarnya, ia mengusak surai pirang Denji dengan lembut. “Boros buat lo mah gapapa. Udah tunggu aja gih, di ruang tamu ada sofa kasur kok, sekalian ada PS, siapa tau lo mau main selagi nunggu gue.”

Dan Denji, mengikutinya tanpa banyak suara.

___

“ENAK BANGET WOY!”

Teriakan riang Denji, memenuhi ruang tamu rumah keluarga Hirofumi. Sosok itu nampak begitu termanjakan oleh masakan Yoshida yang terasa sangat cocok untuk indra pengecapnya.

Yoshida tersenyum lebar mendengar pujian itu.

“Udah jadi idaman kamu belum?” Yoshida bertanya dengan jahil, berniat bercanda.

Tetapi nampaknya Denji, menanggapi serius hal itu.

“Idaman banget, tapi jadi kebanting kalo lo sama gue. Diibaratkan lo langit gue cuma tanah yang ada di bawah.”

Yoshida berucap dengan santai, “Tanah itu juga tempat gue bisa berpijak selama menjadi penghuni Bumi. Jadi gak masalah, gue tetap suka sama lo.”

Denji nampak salah tingkah mendengarnya. Ia berusaha membuat topik debat yang baru.

“Gue jelek.”

“Kata siapa? Lo tercantik dari yang paling cantik.”

“Gue gak pinter loh di mata pelajaran. Alias goblok banget.”

“Gak masalah, lo pinter kok, cuma gak bisa bagi waktu buat belajar aja pasti.”

“Gue gak bisa masak.”

“Terus apa fungsinya gue?”

Denji bingung, ingin membalas apa. Fungsi apa maksudnya?

Melihat ekspresi lucu itu, Yoshida mengalunkan tawa kecilnya.

“Gue tanya sekali lagi Den. Apa fungsinya gue kalau orang yang gue sayang justru mati-matian mencoba sempurna di mata gue? Padahal gak perlu berbuat sesuatu, cukup jadi dirinya sendiri aja itu udah pas, porsi yang sesuai untuk sempurnanya dia.”

“Jadi kalau lo gak bisa masak, gak masalah Den. Gue yang bisa. Gue masakin lo apa aja yang lo mau. Gak perlu repot-repot lo yang turun tangan langsung ke dapur.”

Yoshida mencubit pelan pipi gembil Denji, seraya berkata.

“Karena memastikan lo makan dan istirahat dengan bener itu tugas gue, Denji.”