Archery
;
menurut saya, biar anak panahnya nggak meleset, kamu harus bayangin kalo target kamu di depan itu adalah hal yang paling kamu benci, luka-luka di hati kamu misalnya.
___
“Lo perlu sewa cowok buat jadi gandengan di tunangannya Aksa!”
Gadis itu─Shera─mendengus kesal ketika suara sahabatnya terdengar begitu nyaring di telinga. “Sorry, tapi nggak ada gunanya juga.”
Melihat Shera yang sudah siap dengan peralatan panahnya, Riri beringsut mengikuti gadis itu ke sisi lapangan. “Ya lo harus lah, She! Emang dia siapa sih tega-teganya ninggalin lo demi cewek yang bahkan nggak sebanding sama lo itu!”
Well, sepertinya yang dikatakan Riri benar──Sheraline gadis yang luar biasa.
Sheraline Mahadevan─seorang arsitek muda yang sukses mencapai puncak karirnya pada usia dua puluh empat tahun. Hal itu tidak luput dari gelar magister yang berhasil ia peroleh di Southern California Institute of Architecture, USA. Shera bahkan sudah menandatangani kontrak kerja dengan beberapa perusahaan untuk lima bulan ke depan.
Shera cantik─tidak─bahkan terlampau cantik. Perpaduan wajahnya yang ayu khas wanita Jawa ditambah sedikit sentuhan British─dari sang ayah. Tingginya juga ideal─173cm. Poin plusnya adalah gadis itu sangat pandai memasak, mulai dari masakan rumahan, western, aneka dessert bahkan ia bisa meracik kopi sesuai takarannya sendiri.
Perfect, calon mantu idaman.
Itulah julukan yang sering Shera dapat. Di zaman seperti ini, wanita karir yang mampu mengelola dapur seperti dirinya adalah idaman semua calon mertua.
Uhm, dibandingkan dengan Syatila─calon istri Aksa─Lula jelas lebih unggul. Tetapi jika dilihat dari statusnya yang sekarang, dirinya bukanlah apa-apa selain masa lalu yang harus dibuang jauh-jauh dari hidup Raksara Antawijaya.
Sedikit cerita, Aksa dan Sheraline sebenarnya tidak pernah menjalin hubungan. Selama tiga tahun mengenal satu sama lain, mereka hanya dekat, tanpa status yang pasti. Entah apa alasannya, Shera juga tidak tau pasti. Yang ia tau, satu bulan lalu setelah perjalanan dinasnya ke Singapura tiba-tiba Aksara memberikannya sebuah undangan pertunangan─meninggalkan Lula yang tercenung menatap kertas berwarna white gold yang ada di tangannya.
Miris, bukan.
Shera memang perfect. Tetapi semua itu bukanlah alasan yang tepat untuk seseorang tetap tinggal. Bisa jadi yang cantik akan kalah dengan yang selalu ada.
Kalau bukan jodoh, ya mau gimana lagi, kan?
Tepat setelah Shera mengerjapkan mata─yang membuat air matanya jatuh begitu saja─Riri tiba-tiba mengusap pundaknya. “Nah gimana, udah lo merenungnya? Baru sadar kalo lo itu cantik dan terlalu berharga untuk disia-siain?”
“Udah, cantik. Mendingan sana lo main aja, jam dua nanti kita bakal ke The Atmadja's buat bahas next project.”
Shera mengangguk, ia segera bersiap di posisinya. Tidak lama, terlihat seorang lelaki menggunakan kemeja hitam digulung yang berjalan ke arahnya. Gadis itu mengernyit karena orang itu bukanlah tentornya. Oh, mungkin tentornya sedang tidak ada di tempat dan menunjuk penggantinya.
“Hi, Shera right?”
Shera mengerjap ketika lelaki itu sudah berdiri di depannya. Astaga, haruskah ia bilang kalau lelaki ini...perfect?
Belum sempat Shera menjawab, pekikan Riri membuatnya tidak jadi bersuara.
“Oh my god, Pak Aldri kok bisa disini?”
Lelaki yang diketahui bernama Aldri itu tersenyum lembut sembari mengambil busur dan arrow-nya. “Uhm, hari ini Shera jadwalnya Irawan kan?”
Shera hanya bisa mengangguk ragu. Pak Irawan memang tentornya, tetapi tumben sekali beliau berhalangan hadir hari ini. “Bapak penggantinya Pak Irawan?”
“Oh, bukan. Kebetulan tadi Irawan di undang ke rumah sama papa saya, jadi yaudah saya aja yang gantiin dia.”
“Terus kok lo kenal dia, Ri?” tanya Lula pada Riri yang masih terang-terangan menatap Aldri dengan tatapan memuja.
Riri melirik Shera, “Ra, makanya lo jangan stuk sama Aksara terus. Ini Pak Aldri, bos The Atmadja's yang next project-nya lo handle nanti siang.”
Sedangkan gadis bersurai hitam itu melongo keheranan. Bagaimana bisa bos perusahaan besar seperti itu sampai di lapangan ini untuk menjadi tentornya?
Tunggu, ini bukan Shera yang kudet kan? Tapi ini siapa, sih? Bos kok nyasar ke lapangan panahan.
“Kok Bapak-
“Just call me Aldri. Kamu pasti bingung kan kenapa saya disini? Ini kan lapangan punya saya, jadi boleh dong saya ajarin kamu juga.”
“Hah?!” seru Shera dan Riri bersamaan. Gila, mereka bahkan tidak sadar bahwa lapangan yang mereka gunakan merupakan milik Keluarga Atmadja.
Fix, Shera yang kudet minta ampun ternyata. Hampir satu tahun ia menekuni olahraga panahan disini tanpa tahu seluk beluk pemilik lapangan besar ini.
Aldrian terkekeh mendapati respon kedua gadis di depannya itu. Memang apa salahnya? Pak Irawan diminta oleh sang papa untuk melatihnya dirumah─yang padahal sudah ada janji dengan Shera. Karena merasa tidak enak akhirnya Aldrian bersedia menggantikan pria itu di lapangan.
“Yaudah deh, Pak. Nggak papa sekalian aja siapa tau mau mbahas proyek baru itu juga.” celetuk Riri sebelum berlalu ke pinggir lapangan dan duduk disalah satu saung di sana.
Sedangkan Shera masih dengan ekspresi terkejutnya. Ia diam sembari menatap Aldri yang masih lengkap dengan setelan kemeja kantornya.
“Earth is calling, Shera!”
Gadis itu tersenyum kikuk. Setelah itu ia mulai fokus dengan busurnya. Aldrian memperhatikannya dari samping, sesekali ia membetulkan letak jemari Shera yang memegang busur.
“Sudut celahnya jangan sampe salah, fokus!”
Dalam seni teknik panahan, agar bisa mengenai dengan akurat sasaran yang telah ditentukan, para pemanah harus bisa memperkirakan berapa sudut arah antar celah pemanah dan objek. Belum lagi memperkirakan darimana sinar matahari datang dan kecepatan anginnya.
Tujuannya adalah agar para pemanah harus berusaha sesanggup mungkin untuk menembak target sasaran lingkaran. Yang mana setiap dari lingkarannya sudah memuat sejumlah angka dan juga jarak yang telah disetujui sebelumnya.
Setelah dirasa cukup, Aldrian mulai mengintrusikan agar Lula bersiap menembakkan arrow-nya.
“Back tension-
Mata Lula menyipit tajam.
-release now!”
Dan Shera langsung melepaskan kaitan jarinya pada busur panah. Arrow miliknya bergerak melesat ke arah target yang sayangnya tidak tepat sasaran─menancap di nomor lima.
Shera mendesah kecewa. Dirinya benar-benar tidak bisa fokus kali ini. Bayang-bayang Aksara selalu muncul dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Shera memejamkan matanya─berusaha untuk fokus. Tetapi pada percobaan kelima ini meleset juga.
“Wow.” ucap Aldrian ketika melihat arrow milik Shera jauh dari target. “Sudah berapa lama di lapangan?”
“Baru satu tahun, Pak.”
Aldrian yang mendengar itu pun terkejut. Satu tahun seharusnya sudah mahir dalam jarak 40 meter seperti ini. Tetapi sedari tadi, Shera nampak tidak bisa mengendalikan dirinya untuk fokus.
“Kok meleset terus, kenapa nggak fokus?”
Shera menunduk sembari menggigit bibir bawahnya. Mana mungkin dirinya mau terus terang bahwa ia sedang patah hati. Memalukan!
Melihat itu Aldrian menghela napas, mungkin saja Shera sedang dalam masalah, pikirnya. Akhirnya ia mengambil busurnya dan bersiap melakukan release. Tidak butuh waktu lama akhirnya arrow yang dilepaskan olehnya menancap persis di tengah target.
“Menurut saya, biar anak panahnya nggak meleset, kamu harus bayangin kalo target kamu di depan itu adalah hal yang paling kamu benci, luka-luka di hati kamu misalnya.” Aldri menoleh mendapati wajah Shera yang pias. “Tidak usah memperhatikan tata caranya, kalau kamu hanya berniat untuk melampiaskan emosi kamu cukup bayangkan hal itu saja.”
“Jangan mau kalah sama masalah-masalah yang kamu hadapin. Anggap saja arrow ini seakan-akan memecahkan semua masalah di depan sana.” tunjuk Aldrian ke arah lingkaran target yang berdiri tepat 40 meter di depan mereka.
“Sok tau deh, Bapak. Kaya udah pernah aja.”
Lelaki itu terkekeh sembari meletakkan busurnya. Ia menatap lurus ke depan─pikirannya menerawang mengingat kejadian yang menimpa dirinya.
“Kamu pikir tadi saya tidak melakukan itu? Saya bahkan tidak mengukur celah sama sekali, Shera. Saya hanya mengandalkan insting dan memusatkan emosi saya disana.”
___
kalo ada kesalahan, let me know ya, tentang archery ini aku browsing sendiri di internet:)