Sorry
___
“Sus, minta tolong ini di cek ya, kalo masih belum stabil juga kita hubungi Prof. Adnan. Harusnya nggak gini kok karna tadi langsung ditangani di UGD.”
“Noted, Dok.”
“Ya sudah, saya hubungi keluarga pasien dulu ya. Kalian tetep stand by, jangan ke mana-mana, jangan di tinggal pokoknya, ini darurat.”
Sedangkan ia yang terbaring lemah di brankar ICU hanya bisa mendengar suara-suara itu tanpa bisa membuka kedua matanya. Tangan dan kakinya pun rasanya tidak bisa di gerakkan.
Lima menit setelahnya, ia merasakan seseorang yang lain berjalan mendekatinya. Suara-suara yang ia dengar tadi lambat laun menghilang, digantikan oleh suara seseorang yang terdengar sedikit serak dan lirih.
“Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin ini coba? Aku udah bilang, kamu nggak perlu kayagini.”
“Nggak, maaf. Aku nggak lagi nyalahin kamu. Aku tau kamu cuman mau ngelindungin aku. Tapi nggak dengan cara ini, sayang.”
“Udah tiga jam dan kamu belum sadar. Bahkan nggak ada tanda-tanda kamu mau bangun. Ayo, bangun ya?”
“Ya Tuhan, aku bingung harus gimana lagi. Bener-bener nggak bisa ngomong apa-apa lagi liat kamu dengan keadaan kaya gini pake mata kepalaku sendiri. Nggak bisa, jujur aku nggak bisa.”
Tiba-tiba dadanya sesak, serasa ingin menangis, tetapi ia tidak bisa.
“Sayang? Kenapa? Kok nafasnya gitu? Jangan bercanda ya?! Ayo bangun, nggak kamu nggak boleh kenapa-kenapa.”
“Nggak lucu, sumpah. Aku tau kamu denger, kan? Ayo bangun. Jangan kaya gini please.”
Tepat setelah ia merasa lengannya diguncang berkali-kali, dirinya benar-benar kehilangan kesadaran. Suara-suara yang tadi ia dengar hilang, semuanya gelap.
“Dok-
Suara nyaring yang panjang tiba-tiba terdengar begitu nyaring di telinga. Suara yang tidak seorang pun berharap untuk mendengarnya.
“Sorry, we can't save him.”