kalriesa

Gema


Jaemin dengan suka cita membantu Renjun mengumpulkan beberapa botol sampah bekas minuman yang berserakan di tepi pantai. Senja itu harusnya mereka habiskan berdua dengan syahdu untuk saling bertukar isi pikiran masing-masing tentang apa yang dialami hari ini.

“Coba kamu renungin Jaem. Jika botol-botol ini peka dan memiliki rasa, pastinya mereka akan sedih ketika sudah kosong, lalu dibuang dan tercerai berai dengan sesamanya” Renjun bersuara, memancing sang kekasih yang fokusnya tak berada padanya.

“Hm. Jangan sebut jika motifmu mengajakku mengumpulkan botol ini adalah agar mereka bersatu kembali dengan kawanannya?” selidik Jaemin beratensi curiga.

“Hehehe” kekehan lepas terdengar dari mulut kekasihnya yang mungil, Huang Renjun namanya.

“Bagaimana jika kupisahkan lagi botol-botol ini, Ren?” nada Jaemin berubah sedikit mengancam si mungilnya.

“Jangan!!! Sudah bertemu lalu dipisahkan lagi dengan sengaja. Tingkahmu semakin mirip dengan aktor makjang populer yang sedang heboh di TV” bibir Renjun mengerucut kecil.

Salah satu hal yang paling disukai Jaemin adalah melihat Renjunnya manyun. Jaemin dengan senang hati akan mencapit bibir itu menggunakan jari-jari panjangnya, lalu mengelusnya selembut mungkin.

“Kalau mereka sudah ditakdirkan bersama, walau bertemu-dipisahkan-ada yang pergi jauh-pasti akan kembali lagi untuk saling mencari dan mengisi.”

Renjun termenung mendengar kalimat sang kekasih. Pupil matanya membulat indah.

“Jaem?” panggilnya perlahan.

“Di moment ini, kita memang berdua-bersama, bagaimana jika nantinya kita harus berpisah baik secara sengaja atau pun tak sengaja? Apa kita masih tetap bisa bertemu lagi?” tanya Renjun menerawang jauh.

Jaemin mendudukkan dirinya di atas pasir pantai setelah beberapa lama berjongkok di samping Renjun. Ia menarik Renjun pelan ke arahnya. Tangannya dibersihkan dari debu-debu yang sekiranya menempel. Setelah yakin, dibelainya surai halus sang kekasih yang tertiup kecil angin sepoi-sepoi.

“Awal-akhir, pertemuan-perpisahan, yin-yang, baik-buruk, putih-hitam, semuanya berdampingan. Sekarang aku tanya, apa kamu takut dengan perpisahan, Ren?” jemari Jaemin masih menyugar pelan-pelan poni Renjun yang berwarna kecoklatan.

Lagi-lagi Renjun termenung. Siapa yang tak takut dengan perpisahan. Bahkan seumur hidupnya jika diberi satu permintaan yang paling ingin untuk dikabulkan, Renjun akan memilih untuk menghapuskan kata pisah-perpisahan-dan sejenisnya yang bermakna sama.

“Coba liat aku.” Jaemin mengarahkan kepalanya untuk saling beradu dengan kepala Renjun, kekasih hatinya.

“Jangan menung sendirian, aku tau banyak banget yang kamu pikirin. Sampai-sampai suara di kepala kamu bergema di telinga aku”

Renjun memberikan senyuman manisnya. Jaemin, ia adalah salah satu alasan mengapa dirinya membenci segala hal bertemakan perpisahan. Bertemu dengan Jaemin bagaikan mukjizat terindah yang pernah diterimanya. Maka, berpisah dari Jaemin sudah tentu pasti menjadi guncangan besar dalam hidupnya yang tak akan pernah bisa ia terima.

“Tuh kan, masih ada gema di telingaku. Pasti mikirin aku? Ngaku deh”

“Iya. Aku mikirin kamu. Gimana kalau kamu pergi, kita pisah...Aku bahkan...nggak-” kalimat Renjun terhenti. Ia mengambil nafas dalam. Walau sedang berhadapan dengan pujaan hatinya, tetap saja segala kemungkinan terbaik dan terburuk ada dalam skenario Semesta.

Jaemin memberikan Renjun waktu untuk bernafas dengan tenang. Jemarinya yang tadi digunakan untuk membelai rambut halus Renjun, kini beralih mulai menggenggam erat kedua tangan sang kekasih. Ditangkupnya dua tangan yang lebih kecil itu dengan kepunyaannya, lalu diciuminya dengan lembut, tenang, lama.

Sepasang insan manusia yang penuh kasih itu masih tetap dalam posisi yang sama. Saling mengalirkan ketenangan pada diri masing-masing, walau berjuta gema riuh ribut di pikiran.

“Ren, sebagai manusia, kita nggak bisa menolak takdir Semesta yang udah seimbang dan beriringan. Begitu juga antara aku dan kamu yang udah berjalan bersama sampai saat ini seizin garis takdir Semesta. Kalau nanti kita harus berpisah karena sesuatu dan lain hal, aku berharapnya, kamu akan tetap jadi memori terindah yang aku punya. Bahkan jika reinkarnasi memang ada, aku juga mau ketemu kamu lagi dan berbagi kasih yang sama walau dalam bentuk cerita berbeda. Asalkan itu kamu, aku mau. Jadi, jangan takut dengan perpisahan ya Renjun. Kalau yin udah berpasangan dengan yang, aku juga maunya pasangan sama kamu aja. Selamanya, bahkan tanpa batas waktu. Karena, gema yang selama ini hadir di hidupku cuma punyamu, dari kamu. Nggak akan ada gema yang lain, Ren.”

🦋🦋🦋

Kalriesa

15.50

20 September 2021

~Gema~


Jaemin dengan suka cita membantu Renjun mengumpulkan beberapa botol sampah bekas minuman yang berserakan di tepi pantai. Senja itu harusnya mereka habiskan berdua dengan syahdu untuk saling bertukar pikiran masing-masing tentang apa yang dialami hari ini.

“Coba renungkan Jaem. Jika botol-botol ini peka dan memiliki rasa, pastinya mereka akan sedih ketika sudah kosong, lalu dibuang dan tercerai berai dengan sesamanya” Renjun bersuara, memancing sang kekasih yang fokusnya tak berada padanya.

“Hm. Jangan sebut jika motifmu mengajakku mengumpulkan botol ini adalah agar mereka bersatu kembali dengan kawanannya?” selidik Jaemin beratensi curiga.

“Hehehe” kekehan lepas terdengar dari mulut kekasihnya yang mungil, Huang Renjun namanya.

“Bagaimana jika kupisahkan lagi botol-botol ini, Ren?” nada Jaemin berubah sedikit mengancam si mungilnya.

“Jangan!!! Sudah bertemu lalu dipisahkan lagi dengan sengaja. Tingkahmu semakin mirip dengan aktor makjang populer yang sedang heboh di TV” bibir Renjun mengerucut kecil.

Salah satu hal yang paling disukai Jaemin adalah melihat Renjunnya manyun. Jaemin dengan senang hati akan mencapit bibir itu menggunakan jari-jari panjangnya, lalu mengelusnya selembut mungkin.

“Kalau mereka sudah ditakdirkan bersama, walau bertemu-dipisahkan-ada yang pergi jauh-pasti akan kembali lagi untuk saling mencari dan mengisi.”

Renjun termenung mendengar kalimat sang kekasih. Pupil matanya membulat perlahan.

“Jaem?” panggilnya kecil.

“Di moment ini, kita memang berdua-bersama. Bagaimana jika nantinya kita harus berpisah baik secara sengaja atau pun tak sengaja? Apa kita masih tetap bisa bertemu lagi” tanya Renjun menerawang jauh.

Jaemin mendudukkan dirinya di atas pasir pantai setelah beberapa lama berjongkok di samping Renjun. Ia menarik Renjun pelan ke arahnya. Tangannya dibersihkan dari debu-debu yang sekiranya menempel. Setelah yakin, dibelainya surai halus sang kekasih yang tertiup kecil angin sepoi-sepoi.

“Awal-akhir, pertemuan-perpisahan, yin-yang, baik-buruk, putih-hitam, semuanya berdampingan. Sekarang aku tanya, apa kamu takut dengan perpisahan, Ren?” jemari Jaemin masih menyugar pelan-pelan poni Renjun yang berwarna kecoklatan.

Lagi-lagi Renjun termenung. Siapa yang tak takut dengan perpisahan. Bahkan seumur hidupnya jika diberi satu permintaan yang paling ingin untuk dikabulkan, Renjun akan memilih untuk menghapuskan kata pisah-perpisahan-dan sejenisnya yang bermakna sama.

“Coba sini” Jaemin mengarahkan kepalanya untuk saling beradu dengan kepala Renjun, kekasih hatinya.

“Jangan menung sendirian, aku tau banyak banget yang kamu pikirin. Sampai-sampai suara di kepala kamu bergema di telinga aku”

Renjun memberikan senyuman manisnya. Jaemin, ia adalah salah satu alasan mengapa dirinya membenci segala hal bertemakan perpisahan. Bertemu dengan Jaemin bagaikan salah satu mukjizat terindah yang pernah diterimanya. Maka, berpisah dari Jaemin sudah tentu pasti menjadi guncangan besar dalam hidupnya yang tak akan pernah bisa ia terima.

“Tuh kan, masih ada gema di telingaku. Pasti mikirin aku? Ngaku deh”

“Iya. Aku mikirin kamu. Gimana kalau kamu pergi, kita pisah...Aku bahkan...nggak-” kalimat Renjun terhenti. Ia mengambil nafas dalam. Walau sedang berhadapan dengan pujaan hatinya, tetap saja segala kemungkinan terbaik dan terburuk ada dalam skenario Semesta.

Jaemin memberikan Renjun waktu untuk bernafas dengan tenang. Jemarinya yang tadi digunakan untuk membelai rambut halus Renjun, kini beralih mulai menggenggam erat kedua tangan sang kekasih. Ditangkupnya dua tangan itu dengan kepunyaannya, lalu diciuminya dengan lembut, tenang, lama.

Sepasang insan manusia yang penuh kasih itu masih tetap dalam posisi yang sama. Saling mengalirkan ketenangan pada diri masing-masing, walau berjuta gema riuh ribut di pikiran mereka.

“Ren, sebagai manusia, kita nggak bisa menolak takdir Semesta yang udah seimbang dan beriringan. Begitu juga antara aku dan kamu yang udah berjalan sampai sejauh ini seizin garis takdir Semesta. Kalau nanti kita harus berpisah karena sesuatu dan lain hal, aku berharapnya, kamu akan tetap jadi memori terindah yang aku punya. Bahkan jika reinkarnasi memang ada, aku juga mau ketemu kamu lagi dan berbagi kasih yang sama walau dalam bentuk cerita berbeda. Asalkan itu kamu, aku mau. Jadi, jangan takut dengan perpisahan ya Renjun. Kalau yin udah berpasangan dengan yang, aku juga maunya pasangan sama kamu aja. Selamanya, bahkan tanpa batas waktu, karena siapa pun di luar sana, nggak ada yang punya gema yang sama dengan kamu. Cuma nama kamu yang bergema selama ini di hidupku Ren.”

Kalriesa🦋

15.40

20 September 2021

~Permintaan~


Malam itu Rendean datang ke lokasi yang sudah ditentukan oleh Jero. Mereka berdua sepakat bertemu walau Rendean tak tau apa tujuan Jero yang sebenarnya. Sesampainya di lokasi pertemuan, Rendean menatap kosong lelaki yang sedang duduk menyeruput minumannya tersebut.

“Waktu gw gak lama. Sebenarnya lo mau ngomong apa?”

“Cepat amat langsung ke inti. Siaran aja butuh opening”

Rendean mendengus kasar. “Gw pergi kalau tujuan lo gak jelas”

“Setelah Suncoff jadi radio favorit pilihan Pemkot Neo, apa lo masih akan terus bertahan di Suncoff?” Jero langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Kenapa lo mau tau?”

“Karena jawaban yang lo keluarkan akan berpengaruh pada tindakan gw selanjutnya”

“Jer. Enough. Suncoff udah menderita karena perbuatan lo dan kak Rasya dari dulu, bahkan mereka gak pernah update program lagi selama 5 tahun ini”

Jero tertawa. “Lagi-lagi lo membahas hal kecil yang dibesar-besarkan Ren.”

“Lo manggil gw cuma mau bahas hal gak penting kayak gini? Ok gw balik. Salah gw buang-buang waktu disini buat ketemu lo.” Rendean membalikkan tubuhnya.

“Gw akan kasih tau Nando, Haikal, Lijen, kalau lo kenal sama gw, dan kakak lo yang ngide buat nyuruh gw jadi penyiar di Suncoff sekaligus ngebajak programnya. Gw yakin lo tau seterpuruk apa mereka kalau tau, terutama Nando” Jero terkekeh tanpa dosa dan membuat Rendean terdiam membeku di tempat setelah mendengarkan ucapannya. Tangannya mengepal kuat sampai terlihat memucat tanpa disadari.

“Mau lo apa?”

“Keluar dari Suncoff dan menghilanglah untuk selamanya seperti yang lo lakukan dulu.”

“Apa salah gw sampai lo segitunya Jer?”

“Gw selalu keingat Rasya tiap liat lo, Rendean”

Rendean mengernyit bingung mendapat jawaban seperti itu. Apakah semua kesalahan harus bertumpu padanya? Dimulai dari kematian kak Rasya yang dianggap semua orang karena dirinya, Jero yang mengingat Rasya setiap melihatnya, juga perasaan bersalah yang masih menghantuinya karena belum bisa jujur kepada Haikal, Nando dan Lijen tentang kejadian pembajakan program di Suncoff dahulu kala.

“Harusnya lo bisa move on Jer. Lo mulai kehidupan yang baru tanpa kakak gw” saran Rendean tulus.

“Gw bisa tenang waktu lo gak ada, gak kepikiran Rasya lagi. Pas lo muncul, Rasya langsung membayangi gw. Kesimpulannya, lo emang harus enyah Ren. Tinggal pilih aja, lo pergi, atau gw kasih tau yang sebenarnya ke teman-teman penyiar lo itu.”

Selesai berkata seperti itu Jero langsung pergi meninggalkan Rendean dengan segudang kekalutan di benaknya.

“Kak-adek lo ini udah menyimpan sakit sedari dulu....tapi kenapa-sekeliling gw bertindak seolah-olah semuanya karena gw? Gw yang salah dan gw penyebab semuanya. Gw diminta jadi pihak yang harus paham dan peduli tentang kondisi semua orang. Dulu lo minta gw ngebiarin semua tindakan kalian berdua, sekarang Jero minta gw keluar dari Suncoff dan menghilang. Kenapa jadi gw yang nanggung semuanya kak???” monolognya tak mampu lagi dilanjutkan karena yang tersisa hanyalah isak tangis tanpa suara yang sudah tak kuasa lagi dibendungnya.

“Apa gw beneran harus menghilang selamanya ya”

🦋🦋🦋

~Delusional?~


Nando dan Rendean yang mendengar lamat-lamat suara Haikal dari luar pintu dapur langsung beringsut sembunyi dibalik meja makan.

Untungnya kehadiran mereka berdua tak terdeteksi oleh Haikal, sang sumber suara.

Begitu langkah Haikal menghilang disertai monolog ketakutan, barulah Nando dan Rendean merasa tenang.

Selanjutnya, hanya ada suara detak jantung masing-masing dari dua lelaki yang saling bertatap muka. Nando menyipitkan matanya, menunggu jawaban sosok yang ditanyainya tadi.

“Kenapa—harus nyium gw?”

“I just want you to know if i love you so much”

“Wait...WH—” Rendean hampir berteriak, namun berhasil digagalkan oleh Nando.

“Kalau gak boleh, juga gapapa” Nando memelankan suaranya yang dibalas dengan salah satu alis mata yang terangkat naik dari lawan bicaranya.

“Gw gak berhak nerima ciuman dan cinta dari elo Nan” akhirnya pemilik suara lembut itu menjawab.

“Kenapa?”

“Lo nggak tau apa-apa tentang gw”

“Gw mau belajar untuk tau semua tentang hidup Lo. Itupun jika Lo mengizinkan”

“Gimana kalau ternyata Lo mencintai orang yang salah?”

“Am i? Atau mungkin gw yang delusi dengan semua perhatian Lo ke gw selama ini Ren?” pertanyaan Nando itu membuat Rendean terpaku. Ia masih meraba dengan samar di bilik hatinya terdalam.

“Gw takut Lo kecewa nantinya Nan” Rendean mencoba tersenyum, dan senyuman itu dihadiahi elusan lembut ibu jari Nando.

“Lubang kecewa memang udah ada dalam diri gw, jauh sebelum ketemu elo, tapi hadirnya Lo disini bisa pelan-pelan bikin gw lupa dengan kekecewaan yang udah gw alamin. Dan sekarang, gw mau jadi bagian yang bisa Lo percaya untuk dicurahkan segala hal apapun tentang diri Lo”

“Rahasia gw terlalu banyak-” Rendean menghentikan kalimatnya, “dan buruk”.

“I'll deal with it”

“Nanti lo tersakiti”

Nando memandang tajam Rendean dengan emosi mendalam. Bertanya-tanya, mengapa dirinya malah semakin ingin memeluk lelaki di depannya ini erat-erat sampai tak ingin melepasnya.

“I'll be with you. Gw gak bakal maksa lo untuk balas perasaan gw. I won't rush you” Nando masih mengelus pipi Rendean dengan tulus, “Yang penting, Lo udah tau isi hati gw”

Rendean menghela nafas panjang. Nando memberikam waktu pada lelaki Aries yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“You can kiss me, tapi di dahi aja” Rendean akhirnya memberikan jawaban yang sedari tadi ditunggu oleh Nando.

“Are you sure?” Nando tertegun sejenak.

“Hm-mm”

Anggukan kecil dari Rendean berhasil membuat sudut bibir Nando terangkat, menciptakan eye smile tulus darinya.

Nando mendekatkan wajahnya perlahan, berhenti di depan dahi Rendean, sebelum akhirnya mulai mencium pelan tanpa suara. Bibirnya menempel lama, tanpa tergesa-gesa ingin lepas, membiarkan segenap rasa yang hadir bisa turut tercurahkan melalui ciuman kecil di dahi yang dilakukannya. Tangannya mengurut leher bagian belakang milik Rendean, tak ada urgensi nafsu di sana, sebatas afeksi yang diharapkannya bisa membuat Rendean selalu tenang.

Rendean menerima ciuman manis di dahinya dengan memejamkan mata. Berusaha menetralisir euphoria aneh yang muncul, yang ada malah hormon norepinefrin dalam dirinya meningkat tajam. Namun Rendean masih bisa mengontrol dirinya sendiri.

“Kalau lo nantinya tau gw punya tujuan lain di Suncoff, apa lo masih bisa cinta sama gw, Nan?”

🦋🦋🦋