kalriesa

🦊🐰

Aries harus menarik kembali statement pertamanya tentang Jaema, salah satu anggota baru komunitas berbagi nasi yang dikenalnya hari ini. Jaema bukanlah tipikal manusia yang absurd. Atraktif, sopan, dan clingy adalah satu paket lengkap yang cocok disematkan siapa pun kepada Jaema.

Selama kegiatan berbagi nasi yang mereka lakukan berdua di sore hari ini, Jaema terlihat sangat aktif dan banyak bertanya. Tak hanya bertanya pada dirinya, Jaema juga banyak melakukan konversasi dengan sosok-sosok yang menerima pemberian nasi kotak darinya.

“Adeeek, ini nasi kotaknya dihabisin yaa, jangan dibuang. Kalau nasi kotaknya habis, nanti abang kasih coklat yang banyak” ujar Jaema dengan salah satu anak yang sedang beristirahat menjual koran di lampu merah.

Tak hanya sampai disitu, Jaema juga mengajak high five semua yang ditemuinya. Senyumnya full merekah dan terlihat tulus. Saat harus beranjak pergi melanjutkan berbagi nasi ke wilayah yang lain pun, Jaema tak lupa pamit dengan sopan dan mengatakan, “Sampai jumpa lagi untuk selanjutnya yaa, Bu. Hati-hati nanti pulangnya. Daaah.”

“Jaema, kita pindah ke lokasi yang lain ya, sekalian habisin stok nasinya. Udah senja juga nih” Aries mengingatkan Jaema perlahan.

“Siap bang.” Jaema berposisi tegap dan hormat kepada Aries diiringi dengan kekehan khas miliknya.

“Lu gak capek?” tanya Aries tiba-tiba.

“Nggak bang. Justru gw lagi menyesal” Jaema memunculkan wajah sedihnya dengan bibir melengkung ke bawah.

“Lho kenapa?”

“Harusnya dari dulu gw ikutnya. Malah baru sekarang taunya” jelasnya dengan raut menyesal sambil menendang-nendang pasir di bawahnya.

Aries hanya bisa menggeleng kecil melihat tingkah Jaema, “Mungkin takdirnya emang baru bisa join sekarang Jaem. Syukuri aja.”

Jaema mendongak dengan mata mengerjap, “Iya juga sih. Kalau gitu, gw bakal semangat terus bang. Pokoknya infoin gw selalu ya banggggg. Jangan lupa sama Jaema lho. Awas aja!” tangan Jaema menyentuh bahu Aries sebagai pertanda untuk selalu mengingatkannya tentang kegiatan berbagi nasi ini.

“Iya, gw ingatin. Tenang aja deh.”

“Yeayyyyy bang Aries cakep. Gitu dooong” Jaema mengerlingkan matanya ke arah Aries dan ditatap horor seketika oleh sosok yang lebih tua darinya.

🦋

🦊🐰

Tepat jam 3 sore lebih 10 menit, Jaema datang tergopoh-gopoh ke arah Aries dan membawa satu tenteng plastik yang berisi coklat.

“Heee-maaff-bangg-gueh-telatt” ujar Jaema dengan nafas tersengal-sengal.

Aries dengan sigap langsung menyodorkan botol minum miliknya kepada Jaema yang langsung diambil dengan semangat dan diminum setengahnya.

“Wahhhh, makasih banyak ya bang” ujar Jaema tersenyum dengan gigi putihnya yang kelihatan.

Mereka berdua memang baru pertama kali bertemu, tapi rasanya seperti sudah lama saling kenal satu sama lain. Jaema yang tipikalnya memang gampang beradaptasi dengan orang baru dan Aries yang cuek tapi perhatian merupakan kombinasi yang cocok di awal pertemuan perdana mereka berdua.

“Lu bawa apa Jaema?” tanya Aries penasaran dengan tentengan Jaema.

“Coklat bang. Boleh kan ya gw kasih coklat pas berbagi nasi ntar?” Jaema balik bertanya dengan mata semakin membulat.

Terlihat dahi Aries mengerut sedikit, “Kenapa harus coklat?” tanyanya penasaran.

Jaema tersenyum lebar, “Iya, biar mereka bisa ngerasain manisnya coklat di sore hari bang. Makan coklat bisa bikin hormon bahagia kita meningkat. Gw mau semua yang dapat coklat ini bisa ngerasain bahagia. Hehehe.”

Cengiran kecil dari Jaema itu ntah kenapa menelusup ke dalam pikiran Aries dalam tempo yang singkat, cepat dan bermakna. Tersimpan di celah otaknya dan hatinya.

“Yaudah yuk kita mulai aja. Kita telusurin simpang lampu merah dulu. Biasanya banyak yang jualan koran, tissue sama pedagang asongan keliling. Nasinya dibagi ke mereka. Nih.” Aries memberikan satu plastik besar kepada Jaema yang berisi nasi kotak berjumlah 50. “Nasi yang lain ada dalam mobil, kita habisin dulu di kawasan ini, setelahnya baru ke tempat yang lain. Air lu jangan lupa dibawa. Buat jaga-jaga kalau capek” lanjutnya.

Jaema mengangguk paham. “Siap bang Aries. Berangkat kita!!! Go-go-go” ujarnya semangat.

🦋

~Isi Hati~


Rendean sibuk bolak-balik di rumahnya. Setelah tadi sempat meletakkan bantal di bawah kaki Nando yang terkilir, kini dirinya datang membawa perban elastis untuk stok dan ibuprofen yang diletakkan persis di nakas sebelah tempat tidurnya.

Nando sendiri, merasa bosan tiduran di kamar kekasihnya karena sedari tadi Rendean mendiamkannya saja. Bahkan dipanggil berkali-kali juga tak direspon.

Ujung-ujungnya, Nando menelepon Haikal dan mendapatkan ceramah panjang akibat curhatan dirinya tentang diamnya Rendean sampai sekarang.

“Si Batu bego. Rendean itu panik tadi. Masa lo gak bisa liat!!!”

“Apanya yang dipanikin sih Kal? Lo juga aneh, ngelarang gw ngabarin Rendean langsung tadi, malah lo yang bawa dia ke rumah sakit.”

“Ck. Bocah batu sinting kapan sadarnya sih! Rende bakal kena panick attack kalau lo langsung ngabarin lagi di rumah sakit karena jatuh di jalan. Pikiran dia kemana-mana ntar jadinya. Mau lo?????” Haikal berteriak emosi.

Nando terdiam seketika. Ia lupa akan fakta bahwa kekasihnya itu memiliki banyak trauma; “Iya—iya maaf.”

“Dahlah gw ada kerjaan. Cepat sembuh tuh kaki. Bye.”

Klik.

Telpon pun dimatikan sepihak oleh Haikal. Nando semakin tak tau harus berbuat apa. Berhubung Rendean sedang tak berada di dekatnya, ia pun mencoba turun dari kasur dengan posisi kaki sedang dibalut perban. Ia perlahan-lahan menyusuri sisi dinding untuk mencapai pintu ke luar kamar Rendean.

“Kok malah turun? Ya ampun. Kenapa nggak panggil aku aja? Kamu mau ngapain?” suara Rendean terdengar penuh kepanikan melihat lelakinya itu sudah sampai di depan pintu kamar.

“Aku bosan di kamar. Mau liatin kamu lagi ngapain” jawab Nando mendengus.

“Ckckck. Kenapa sih bandel amat dibilangin? Kan kakinya lagi susah jalan. Biar aku aja yang ambil apa-apa kalau kamu butuh” Rendean memapah Nandonya ke sofa di ruang tamu.

“Aku butuh dipeluk sama kamu biar cepat sembuh” Nando mulai menguselkan pipinya di bahu Rendean.

“Kamu daritadi diemin aku. Aku ajak ngomong gak ditanggapin. Kan akunya kesepian” ujar Nando lagi-lagi mengeluarkan uneg-unegnya tanpa henti.

Rendean masih fokus memapah Nando dan mendudukkan kekasihnya itu pelan-pelan di sofa. Kaki Nando yang terkilir, dinaikkannya ke bagian sofa yang lebih tinggi untuk meringankan sakitnya.

“Duduk sini, Ren. Ada yang penting” Nando menepuk-nepuk sofa di sampingnya yang masih kosong agar kekasihnya itu segera duduk di dekatnya.

Mendengar kata 'penting', Rendean tanpa berpikir panjang langsung menempatkan dirinya persis di sebelah Nando.

Tak berapa lama kemudian, lelaki berzodiak Leo itu langsung memeluk Rendean dengan erat. Ia lagi-lagi menempatkan wajahnya di bahu Rendean yang mungil.

“Aku mau cerita sama kamu. Kamu mau kan dengerin?”

“Iya. Cerita aja.”

“Jero itu dulu di Suncoff call namenya Marki. Dia termasuk penyiar baru yang cekatan dan telaten. Anaknya juga ringan tangan, bahkan dia mau dikasih jadwal siaran sampai pagi. Waktu itu, aku, Haikal, sama Lijen memang lagi nyiapin banyak program buat persiapan lomba Radio Favorit Neo periode 2016. Aku sempat survey dan ngedata program apa aja yang kira-kira belum ada di radio lain, tapi memungkinkan untuk dijadikan program baru yang booming di Suncoff-” Nando menghentikan sejenak kalimatnya untuk melihat ekspresi kekasihnya yang ternyata sedang fokus mendengarkan, tanpa menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan lekat-lekat.

“Aku sama sekali nggak kepikiran kalau adanya Jero di Suncoff ternyata punya tujuan lain. Bahkan aku udah percaya banget sama dia. Sempat juga kita semua diskusi tentang program baru yang mau dilaunching. Yang paling bikin aku shock adalah ketika tau program-program yang udah diprepare baik-baik, ternyata malah muncul duluan di radio lain dengan format yang menurutku sama 100%. Awalnya aku pikir cuma kebetulan, tapi makin aku dengarin, malah semakin yakin kalau itu memang program Suncoff yang dibajak. Aku taunya dari nama program yang sama persis Ren. Mau gimanapun juga ide program di tiap-tiap radio, walaupun ada kemungkinan sama, nggak akan mungkin nama program dan durasi nya bisa sama persis” Nando tersenyum di ujung kalimatnya.

Rendean yang mendengarnya merasakan pedih karena dirinya sudah tau ceritanya dari awal, harus mendengar lagi cerita yang sama namun dari versi Nando sebagai pihak yang dibajak programnya oleh Jero dan kak Rasya.

“Setelahnya, aku gak semangat lagi. Terpukul iya, marah juga iya, campur aduk semua. Makannya aku mulai gak percaya lagi sama siapapun saat itu. Bawaannya curiga. Apalagi berhubungan dengan urusan radio. Waktu aku liat laman yang kamu buka dulu, dan kamunya—bohong—aku jadi nethink sama kamu—takut hal yang sama keulang lagi—” Nando membenamkan wajahnya ke arah sofa dan tangannya melingkar di pinggang Rendean dengan erat.

“Aku sempat dengar dari Jero waktu dia mampir ke Suncoff, kalau dia harusnya nanya ke kamu dulu sebelum datang, itu berarti kamu masih komunikasi sama dia, Nan?” tanya Rendean hati-hati.

“Dia ngechat aku duluan. Akunya juga lupa ngeblok nomornya. Aku pikir nggak bakal ada urusan lagi sama dia ke depannya. Ternyata dia malah berani komunikasi duluan.”

Rendean berbalik ke arah kanan dan wajahnya kini berhadapan langsung dengan Nando. Bahkan mereka juga saling merasakan hembusan pelan nafas masing-masing dalam posisi seperti itu.

“Aku udah tau kamu, jauh sebelum kamu tau aku, Nan” Rendean menyampingkan poni kekasihnya, “Haikal sering cerita tentang kamu. Aku udah berniat balas dendam ke kak Rasya dengan diamin dia biar dia sadar, bahkan aku juga sempat minta ke Jero untuk take down programnya atau bakalan aku sebarin kalau dia nyamar di Suncoff padahal dia udah jadi Kaprod di radio lain, tapi sebelum rencana aku berjalan lancar—kak Rasya malah 'pergi' duluan. Dia sempat nelpon aku tengah malam waktu selesai live report, dia on air sendiri, dan aku nggak angkat telponnya. Ternyata setelahnya aku dapat info kak Rasya—pergi—dan Jero—ngejar-ngejar aku terus karena dia—gak terima kalau kak Rasya udah meninggal—”

Keduanya terdiam cukup lama.

“Waktu aku tau kak Rasya sama Jero kerjasama, aku kepikiran buat ngumumin di radio kalau kak Rasya itu otak dari pembajakan di Suncoff, tapi kak Rasya ngelarang—ternyata aku telat karena program kalian udah dilaunching duluan di radionya Jero...”

Rendean lagi-lagi tak berani menatap mata Nando. Sekarang malah gantian, kelopak matanya sedang diusap-usap kecil oleh si empu yang kakinya lagi sakit.

“Itu bukan salah kamu. Kamu cuma terjebak di situasi yang salah dan saat itu nggak bisa kamu tangani. Setelah tadi aku pikir-pikir, kalau aku ada di posisi kamu, aku juga bakal bingung mau berbuat apa. Ngerasa bersalah iya, takut merasa mengkhianati teman juga iya, pasti saat itu kamunya juga pusing sendiri” Nando memainkan bulu mata si mungilnya.

Rendean terkesima mendapati tutur kalimat yang keluar dari lelaki di hadapannya kini. Responnya sungguh di luar ekspektasi. Jujur saja itu melegakan hatinya. Ia akhirnya berani membuka matanya.

“Jadi—kamu—nggak marah—sama aku??” tanya Rendean masih dengan nada khawatir.

Nando menyunggingkan senyuman termanisnya. Manik mata kekasihnya itu ditatapnya dalam, seolah memberikan kepastian akan jawaban yang sedang ditunggu.

“Nggak sayang.”

Jawaban itu sukses membuat hati Rendean berdebar-debar tak karuan.

“Tapi—aku masih ngerasa nggak enak sama kam—”

“Ngapain ngerasa nggak enak? Kamu juga udah cerita kan sama aku. Udah jelasin semua. Itu udah cukup buat aku, Ren.”

Mata Rendean kini berkaca-kaca, setelah tadi hatinya dibuat berdebar oleh Nando, kini dirinya merasa terharu dengan jawaban yang dikeluarkan sang kekasih. Setitik cairan liquid berhasil turun dari pelupuk matanya.

“Eh...kok malah nangis??? Aku salah ngomong ya, Ren??” tanya Nando panik.

Rendean hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Udah-udah. Jangan nangis. Ntar aku sedih nih. Udah yaa” Nando mengecup hidung bangir milik kekasihnya, lalu dilanjutkan dengan mengecup kedua matanya, dan beralih ke dahi Rendean. Ia menempelkan bibir tipisnya di sana dalam posisi yang lama. Tangannya kini berpindah untuk mengusak bagian belakang surai sang pacar.

“Sekarang aku ngantuk. Kamu temanin aku tidur ya, Ren. Untuk kali ini, aku janji nggak bakal kemana-mana, karena aku maunya kamu yang di samping aku terus” Nando mulai menutup matanya dengan tangan yang tetap mengelus Rendean dari belakang.

Lagi-lagi ucapan terimakasih dihaturkan Rendean kepada Penciptanya karena telah memudahkan jalannya dan Nando untuk berkomunikasi dengan baik tanpa ada kesalahpahaman di dalamnya. Selanjutnya, tinggal memikirkan bagaimana jujur ke sahabatnya, Haikal.

“Makasih ya, Nan” ujar Rendean tulus.

“Iya hmmm. Aku sayang kamu, Ren.”

🦋🦋🦋

~Sorry~


Mereka duduk berhadapan, Nando dan Rendean. Keduanya saling melempar pandang. Kesunyian di sekeliling masih terasa karena sama-sama belum ada yang berani membuka percakapan.

Menimbang kalimat pembuka masing-masing yang harus diatur sedemikian rupa agar tak memunculkan salah paham lagi.

“Nan” / “Ren”

Keduanya sama-sama melotot.

“Kamu duluan” / “Kamu yang duluan”

Ujung-ujungnya malah tertawa.

“Kamu deh yang duluan” akhirnya Nando memberikan kesempatan pada kekasihnya untuk berbicara.

Rendean terlihat cemas, jari-jarinya ditautkan satu sama lain, dan hal itu tak luput dari tangkapan Nando.

“Tadi katanya mau ngomong. Ayok, aku dengerin nih” Nando tak tahan melihat gestur dan raut cemas kekasihnya, ia ingin menggenggam tangan lelakinya dengan bebas, namun karena harus menjalankan 'hukuman' sampai besok, Nando hanya bisa menopang dagu sambil menatap resah.

“Aku—kenal Jero udah lama. Kak Rasya itu pacarnya Jero. Ide tentang pembajakan program radio Suncoff yang dilakukan Jero—itu—dari kak Rasya, Nan” ungkap Rendean takut-takut dengan mata tertutup.

Sunyi. Lagi-lagi sunyi.

Nando terdiam membeku di tempat. Nafasnya tercekat untuk waktu yang lama. Pelipisnya dipijit berulang kali. Dari sekian banyak kemungkinan yang sudah siap didengarnya dari Rendean, ia tak menyangka akan menerima penuturan yang jujur saja membuat hatinya tertohok.

“Haikal—udah tau?” tanya Nando menahan diri.

“Be-lum” Rendean menggigit bibirnya pasrah. Ia tak tau reaksi apa yang akan diberikan oleh Nando setelah mendengarnya berbicara seperti barusan.

“Kenapa—kak Rasya—bisa ngelakuin itu ke Suncoff?” tanya Nando gemetar.

“Jero...Dia mau—radionya menang di lomba 'Radio Favorit Neo 2016', jadinya...kak Rasya kasih ide itu...” Rendean mencoba menjelaskan tanpa menambah atau mengurangi.

Terdengar helaan nafas panjang dari Nando. Kepalanya menjadi semakin sakit sekarang.

“Kak Rasya—kenapa harus Suncoff? Dari sekian banyak radio di kota Neo, Ren????” Nando masih berusaha menahan nadanya agak tak terdengar meninggi.

“Karena...aku sering cerita soal Suncoff ke kak Rasya-”

“Maksud kamu???”

“Dengerin dulu Nan—Haikal sering cerita soal Suncoff ke aku—dan ceritaku ke kak Rasya sebatas cerita adik ke kakaknya...aku bahkan ngga tau kalau Jero itu Kaprod di radio lain. Aku—aku taunya mereka cuma pacaran biasa...Ternyata—waktu Jero curhat ke kak Rasya, kak Rasya kasih tau ide pembajakan itu ke Jero tanpa sepengetahuan aku—Sampailah akhirnya Jero nyamar ke Suncoff dan ngebaj—”

“Ok stop, Ren”

“Nan...” Rendean entah kenapa dadanya mulai sesak saat Nando menghentikan kalimatnya yang belum selesai.

“Ma-af Nan—”

“Ren, jangan dilanjutin lagi. Aku—mau cari udara segar dulu.”

“Ja—ngan pergi...”

“Nanti—aku balik lagi buat jemput kamu. Sekarang, biarin aku sendiri dulu ya. Kamu—jangan kemana-mana” Nando mulai beranjak dari duduknya dan mengenakan jaket miliknya. Ia langsung menstarter motornya dan meninggalkan Rendean yang terpekur di tempat duduknya.

“Aku tunggu...Aku tunggu kamu jemput aku disini..”

🦋🦋🦋

~Heartache~


Haikal tak bisa menolak ketika Nando dengan sedikit memohon, meminta mengikutsertakan dirinya siaran tiba-tiba di program 'Puisi Time dan Games'.

“Awas kalau lo ngerusak program malam gw ya. Mau ngapain sih sebenarnya?” cicit Haikal malas.

“Gak bakal gw rusak. Gw cuma pakai time on airnya bentar aja, setelah itu lo sambung siaran lagi kayak biasanya” Nando menjawab dengan keyakinan pasti.

Di luar ruangan, tepatnya di pantry, ada Rendean yang tergesa-gesa meminum air botolan persis di depan kulkas.

“Nando kalau otaknya lagi lepas, emang sering konslet macam tadi ya?” tanya Rendean pada dirinya sendiri.

Sedikit bersyukur karena sebelumnya, Haikal masuk ke ruang siaran setelah dirinya selesai membaca chat pertama dari Nando, kekasihnya yang sudah 7 hari mengabaikannya secara nyata.

Walau ada percakapan yang terjadi di antara keduanya, itu bukanlah sesuatu yang bisa dihitung sebagai komunikasi wajar antar sepasang kekasih, karena mereka berada di mode 'silent' di luar jam kerja.

Jadinya, saat Nando tiba-tiba mengirimkan chat yang isinya menurut Rendean tak masuk akal, dirinya tentu bimbang.

“Ren, ke ruang siar deh. Gw sama Nando mau siaran. Lo wajib dengerin di sana ya. Ditunggu sama pacar lo, si Batu tuh” Haikal muncul menepuk bahu Rendean dari belakang.

“Ok.”


Lagi-lagi tak ada feeling aneh yang dirasa Rendean ketika Nando memutuskan untuk on air dadakan bareng dengan Haikal detik ini juga.

“37.5 Suncoff Radio, Your Brightfull Radio Station. Itu dia lagu dari miliknya Simple Plan dengan judul Save You yang telah mengalun di ruang dengar Sunfans semuanya—” Haikal melakukan opening program 'Puisi Time dan Games' dengan nada ceria.

“Jumat tengah malam menuju pagi ini edisi spesial, karena gw, Nando Arkian Fazega akan menemani Haikal on air sebentar” Nando melanjutkan opening dari Haikal yang menggantung.

“Di program 'Puisi Time dan Games' saat ini, Sunfans seperti biasa bisa mengirimkan puisi ataupun games yang ingin kalian mainkan bersama kita semua. Untuk partisipasi masih kita buka di line telepon dan via Twitter. Namun sebelum gw buka live interactionnya, rekan gw, Nando, akan membacakan puisi khusus. Siapkan air hangat dan segala jenis minyak ya Sunfans, takutnya kalian bisa mengalami gejala aneh nantinya. Gw perlu memberikan warning dulu buat kalian. Nah Nan, lo lanjut dulu deh” Haikal memberikan kode dengan mengarahkan dagunya kepada Nando. Nando mengangguk sekali setelah menerima kode dari kaprodnya.

“Sunfans, izinkan gw untuk menyampaikan sesuatu melalui media program Haikal malam ini ya. Gw akan membacakan puisi untuk seseorang yang udah gw lukai hatinya karena buruknya tutur kata dan perlakuan gw ke dia dalam beberapa hari terakhir ini. Sekaligus sebagai permintaan maaf yang mungkin nggak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang udah diterimanya, tapi tetap ditahannya—” Nando mengelap keringat yang meluncur dari keningnya.

Kondisi di sekitar tentu dingin karena AC di ruang siar dihidupkan dengan suhu 18°C, tapi suhu tubuh Nando berbeda karena sedari tadi ia sibuk menahan perasaan campur aduk yang tak jelas asal muasalnya.

Dimulai dengan tarikan nafas pelan, Nando memulai pelan puisinya.

“Namanya Rendean. Sosok tegar rupawan berbalut senyum tulus di setiap hembus nafasnya-

Sifatnya halus, segala beban dibawanya namun tertutup binar terang matanya yang penuh bintang-

Hatinya lembut. Sekelas sutra tak mampu menandinginya. Langit bisa iri dengan kemurniannya-

Namun, ada sesosok manusia rapuh penuh asa dan berakal sempit yang sering keliru padanya-

Untaian kalimatnya bagai bilah pedang tajam, menyobek hati si rupawan-

Akalnya sempat hilang, diliputi kekalutan dalam kelam yang penuh kekosongan-

Si rapuh yang gegabah menyakiti si rupawan yang tak bersalah-

Membiarkan si rupawan dalam kubangan lumpur sesak yang bisa membuatnya tenggelam-

Si rapuh sadar, dirinyalah yang penuh emosi. Tak menunggu sebelum dijelaskan, abai ketika maaf disampaikan, bahkan menatap kosong seolah si rupawan tak eksis tanpa jejak di hadapnya-

Detik ini juga, si rapuh, yang bernama lengkap Nando Arkian Fazega, dengan rendah hati dan setulus jiwa memohon maaf kepada si rupawan yang disayanginya, yakni Rendean Junitra Gamael, atas segala keburukan yang silih berganti dilakukannya, baik secara sadar, maupun tak sadar-

Si rapuh berhak menerima balasan, karena tindak tanduknya yang tak berkesan-

Di dalam hatinya, si rapuh juga sadar, bahwa eksistensinya tidaklah bermakna tanpa si rupawan di hidupnya-

Untuk Rendean, milik Nando tersayang, aku meminta maaf dengan tulus sama kamu, atas semua kelaku tak baik yang udah aku tebarkan selama ini ke kamu. Aku minta maaf atas segala overthinking yang berjejer tanpa makna di kepalaku tentang kamu. Aku minta maaf dengan semua ucapan kurang ajarku yang bikin kamu sedih, bahkan sampai membuatmu terluka. Aku minta maaf karena abai waktu kamu mau terangin semua hal ke aku. Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Di atas apapun juga, harusnya aku lebih percaya ke kamu dan gak sembarang menuduh kamu. Aku tau salahku banyak banget, Ren. Bahkan aku juga bodoh karena minta kita gak melewati batas antar satu sama lain. Aku minta maaf-” Nando menghentikan ucapannya sejenak, menatap kekasihnya di sofa yang sedang menahan diri untuk tak menumpahkan cairan liquid yang sudah tertampung di ujung matanya.

“Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, aku nggak apa-apa. Kalau kamu mau hukum aku, aku terima. Asalkan aku masih tetap bisa menganggap kamu sebagai punyaku semata. Sekali lagi, maafin aku ya, Ren.”

Nando mematikan micnya cepat, langkahnya tertuju tepat ke arah Rendean. Dirinya berjongkok di lantai, menyamakan posisi dengan kekasihnya yang sedang duduk terisak di sofa dengan mata membengkak. Tanpa suara, ia menghapus bulir air mata yang mengucur deras dari balik kelopak pemilik separuh hatinya. Telapak tangannya berhenti tepat di kedua sisi wajah Rendean. Didiamkan di sana sejenak sembari merasakan suhu tubuh pasangannya. Ditatapnya Rendean lekat-lekat dalam kesunyian sesaat.

“Kamu boleh marahin aku. Aku pantas kok terima balasan sakit dari kamu” ungkap Nando dengan tone yang hanya bisa didengarnya dan Rendean saja.

Rendean menggelengkan kepalanya kuat, “Ng-gak, aku yang salah—udah bohong..sama kamu” jawabnya getir.

“Ke depannya, jangan bohong lagi ya. Jangan tutup apapun dari aku. Aku nggak mau kita salah paham lagi. Aku juga nggak mau numpuk banyak salah sangka tentang kamu. Aku maunya kita pelan-pelan terbuka. Bisa ya?” tanya Nando sambil mengelus wajah kekasihnya.

Rendean merapal doa dalam hatinya dan berjanji untuk pelan-pelan berbagi cerita pada sosok di depannya ini. Juga dengan Haikal dan Lijen. Ia tak mau segala sesuatunya berubah menjadi runyam di luar kendalinya lagi. Secepatnya.

“Iy-yaa, aku...mau” ujar Rendean kecil, namun dapat didengar oleh Nando.

“Aku juga pelan-pelan bakal cerita ke kamu. Setelah aku berani cerita nanti, tolong jangan lari buat tinggalin aku, Ren.”

Rendean mengangguk kecil.

“Sekarang, izinin aku buat peluk kamu, boleh?” tanya Nando lagi.

Kekasihnya mengangguk lagi.

“Aku izin peluk kamu ya Rendean. Aku beneran kangen sama kamu. Makasih ya udah kasih izin ke aku.”

Nando memeluk Rendean dengan buncahan perasaan lega di dada. Lega karena akhirnya bisa memeluk kepunyaannya lagi. Lega karena bisa merasakan detak jantung Rendean yang samar dibalik kain tipisnya. Lega karena bisa mengelus kembali pundak kekasihnya.

Rendean juga tak kalah lega. Ia berterimakasih kepada Penciptanya karena masih diberikan kesempatan untuk merasakan afeksi dari yang tercintanya.

Tak jauh di belakang mereka, Haikal si penginisiasi yang diam-diam merekam percakapannya tadi saat makan siang dengan Rendean, bersyukur penuh kasih karena dua orang kesayangannya bisa kembali berbaikan.

Mereka bertiga berharap agar Tuhan selalu menjaga dan melindungi orang-orang yang paling mereka sayangi.

🦋🦋🦋

Dear Renjun,

Ini Nana. Sudah 11 tahun berlalu ya Renjun. Kamu apa kabar? Baik-baik kah disana? Aku tulis surat ini karena aku kangen sama kamu. Aku kangen dengar suara kamu yang halus, kangen dengerin kamu nyanyi buat aku sambil misuh-misuh, kangen video call sampai pagi sebelum mulai kuliah.

Waktu benar-benar terlalu cepat berlalu ya, Renjun. Kalau orang lain tau aku nulis surat ini untuk kamu, pasti mereka kira aku adalah lelaki brengsek. Kok udah punya istri sama anak, malah bisa-bisanya ingat mantan pacar sendiri.

Ya, anggap aja aku emang brengsek detik ini. Aku brengsek karena tiba-tiba pengen pelukin kamu, dan bilang; “Aku sayang kamu karena Tuhan Yang Maha Esa.”

Aku ingat banget, dulu kamu paling benci tiap aku ngucapin kalimat itu. “Jangan bawa-bawa Tuhan, nanti kalau kita pisah, masa iya aku harus nyalahin Tuhan” itu kata kamu dulu.

Sekarang setelah kita beneran pisah, apa kamu masih benci sama Tuhan, Ren? Jangan ya, jangan benci sama Tuhan, bencinya sama aku aja. Soalnya aku yang nggak bisa jaga komitmen, aku yang nggak bisa jaga hati ini, aku yang dengan gampangnya terbuai godaan di depan mata, sampai harus mengorbankan perasaan kamu selama ini ke aku.

Aku emang bajingan kok Ren. Aku tau itu. Tapi bajingan ini udah nggak sama kamu sekarang.

Aku sayang sama keluargaku, Ren. Hanya saja, sekarang aku lagi terkenang moment kita yang dulu. 11 tahun itu waktu yang panjang. Kamu adalah orang yang nemanin aku dari titik 0, kamu yang nemanin aku berjuang sampai aku berhasil di tahap pencapaian tertinggi.

Aku harap kamu bahagia selalu disana. Sayangku sekarang memang bukan untuk kamu, tapi doa dariku nggak pernah putus untuk kamu, Renjun.

Jadilah manusia yang kuat berdiri di pijakan kakimu sendiri. Huang Renjun tegar. Aku tau kok.

Ren, makasih untuk semua kebaikan yang udah kamu berikan selama ini untuk aku. Aku harap, kamu disana menemukan sosok yang menyayangimu lebih dari apapun juga, dan tentunya bisa buat kamu bahagia.

Tulisan ini akan aku baca sekali lagi, setelahnya harus aku hapus, karena hati aku bakalan tercabik lagi jika harus mengingat kamu untuk yang kesekian kalinya.

Baik-baik di sana.

Tertanda,

Na Jaemin.

~Request~


Sabtu ini terasa sedikit berbeda bagi penyiar Suncoff karena mereka harus mempersiapkan diri untuk menyambut beberapa perwakilan dari Pemkot Neo yang akan menyambangi radio Suncoff di jam 09.00 pagi ini.

Rendean yang memang sedang ada jadwal on air paling awal, langsung berberes di sela-sela break timenya. Ruang meeting Suncoff dirapikannya, ruang kerja yang sedikit berantakan karena kertas narasi terletak dimana-mana sudah ditumpuk di satu tempat.

Ia kemudian kembali ke ruang siaran dan mengecek playlist untuk hari ini. Biasanya Lijen akan menginput playlist di hari yang sama, beberapa jam sebelumnya, tapi karena Lijen belum datang, maka playlist 'Indo Song' yang harusnya terputar pukul 18.00-19.00 wib nanti langsung disiapkannya dan disetting untuk jam yang semestinya. Rendean akan memberikan info pada Lijen bahwa playlistnya sudah done.

Rendean juga melakukan pengecekan stok makanan di pantry. Ia mengambil beberapa botol minuman dan snack untuk diletakkan di ruang meeting.

Setelah yakin semua hal sudah beres, dirinya melangkahkan kaki untuk kembali ke ruang siar melanjutkan program 'Morning Hot News'. Namun tanpa disadarinya, sosok Nando sedang berdiri memandangnya dari depan pintu dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Nando diam tak bergeming sama sekali. Ia memblokir jalan keluar Rendean, sementara Rendean terpaksa harus menghentikan langkahnya dan menunggu Nando berpindah posisi.

“Lo begini bukan karena ingin nyari muka kan?” tanya Nando tiba-tiba.

Rendean terkesiap mendengar pertanyaan dadakan dari sosok yang sebenarnya sangat ia rindukan itu.

“Nyari muka? Sama siapa?” jawabnya dengan raut kebingungan.

“Lo nggak pura-pura polos juga kan?”

“Pura-pura polos apa, Nan?”

“Haikal itu salah satu orang yang berkontribusi penting demi kemajuan Suncoff. Walaupun keliatannya dia slengean, tapi leadershipnya bagus. Gw gak kebayang Suncoff tanpa Haikal. Bahkan gw juga gak bisa terima ada orang lain yang gantiin posisi Haikal” Nando menjabarkan kalimatnya dengan tone datar.

Rendean menatap Nando lekat-lekat.

“Aku nggak tau kenapa kamu masih mikir yang nggak-nggak tentang aku sampai sekarang. Kalau di penilaian kamu, aku beneran mau ngambil posisi Haikal, atau mau cari muka buat ngegeser Haikal, itu salah besar. Kamu bisa pegang kata-kata aku ini. Misalnya pun di kemudian hari, yang aku omongin gak sesuai, kamu boleh minta apapun. Bakal aku turutin” jawab Rendean tegas.

“Termasuk ninggalin Suncoff?” tukas Nando cepat.

DEG.

Mulut Rendean terkunci sesaat. Bukan ia tak mau menjawab, tapi mengingat bahwa sosok yang mengatakan ini adalah kekasihnya yang juga menjadi alasan besar mengapa dirinya masuk ke Suncoff dulu, benar-benar membuatnya pilu.

“Ok kalau itu mau kamu.”

🦋🦋🦋

~Request~


Sabtu ini terasa sedikit berbeda bagi penyiar Suncoff karena mereka harus mempersiapkan diri untuk menyambut beberapa perwakilan dari Pemkot Neo yang akan menyambangi radio Suncoff di jam 09.00 pagi ini.

Rendean yang memang sedang ada jadwal on air paling awal, langsung berberes di sela-sela break timenya. Ruang meeting Suncoff dirapikannya, ruang kerja yang sedikit berantakan karena kertas narasi terletak dimana-mana sudah ditumpuk di satu tempat.

Ia kemudian kembali ke ruang siaran dan mengecek playlist untuk hari ini. Biasanya Lijen akan menginput playlist di hari yang sama, beberapa jam sebelumnya, tapi karena Lijen belum datang, maka playlist 'Indo Song' yang harusnya terputar pukul 18.00-19.00 wib nanti langsung disiapkannya dan disetting untuk jam yang semestinya. Rendean akan memberikan info pada Lijen bahwa playlistnya sudah done.

Rendean juga melakukan pengecekan stok makanan di pantry. Ia mengambil beberapa botol minuman dan snack untuk diletakkan di ruang meeting.

Setelah yakin semua hal sudah beres, dirinya melangkahkan kaki untuk kembali ke ruang siar melanjutkan program 'Morning Hot News'. Namun tanpa disadarinya, sosok Nando sedang berdiri memandangnya dari depan pintu dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

Nando diam tak bergeming sama sekali. Ia memblokir jalan keluar Rendean, sementara Rendean terpaksa harus menghentikan langkahnya dan menunggu Nando berpindah posisi.

“Lo begini bukan karena ingin nyari muka kan?” tanya Nando tiba-tiba.

Rendean terkesiap mendengar pertanyaan dadakan dari sosok yang sebenarnya sangat ia rindukan itu.

“Nyari muka? Sama siapa?” jawabnya dengan raut kebingungan.

“Lo nggak pura-pura polos juga kan?”

“Pura-pura polos apa, Nan?”

“Haikal itu salah satu orang yang berkontribusi penting demi kemajuan Suncoff. Walaupun keliatannya dia slengean, tapi leadershipnya bagus. Gw gak kebayang Suncoff tanpa Haikal. Bahkan gw juga gak bisa terima ada orang lain yang gantiin posisi Haikal” Nando menjabarkan kalimatnya dengan tone datar.

Rendean menatap Nando lekat-lekat.

“Aku nggak tau kenapa kamu masih mikir yang nggak-nggak tentang aku sampai sekarang. Kalau di penilaian kamu, aku beneran mau ngambil posisi Haikal, atau mau cari muka buat ngegeser Haikal, itu salah besar. Kamu bisa pegang kata-kata aku. Misalnya pun di kemudian hari, yang aku omongin gak sesuai, kamu boleh minta apapun. Bakal aku turutin” jawab Rendean tegas.

“Termasuk ninggalin Suncoff?” tukas Nando cepat.

DEG.

Mulut Rendean terkunci sesaat. Bukan ia tak mau menjawab, tapi mengingat bahwa sosok yang mengatakan ini adalah kekasihnya yang juga menjadi alasan besar mengapa dirinya masuk ke Suncoff dulu, benar-benar membuatnya pilu.

“Ok kalau itu mau kamu.”

🦋🦋🦋

~Menghilang~


Malam itu Rendean datang ke lokasi yang sudah ditentukan oleh Jero. Mereka berdua sepakat bertemu walau Rendean tak tau apa tujuan Jero yang sebenarnya. Sesampainya di lokasi pertemuan, Rendean menatap kosong lelaki yang sedang duduk menyeruput minumannya tersebut.

“Waktu gw gak lama. Sebenarnya lo mau ngomong apa?” tanya Rendean to the point.

“Cepat amat langsung ke inti. Siaran aja butuh opening”

Rendean mendengus kasar, “Gw pergi kalau tujuan lo gak jelas.”

“Setelah Suncoff jadi radio favorit pilihan Pemkot Neo, apa lo masih akan terus bertahan di Suncoff?” Jero langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Kenapa lo mau tau?”

“Karena jawaban yang lo keluarkan akan berpengaruh pada tindakan gw selanjutnya.”

“Jer. Apa lo nggak mau berhenti? Suncoff udah menderita karena perbuatan lo dan kak Rasya dari dulu, bahkan mereka gak pernah update program lagi selama 5 tahun ini.”

Jero tertawa. “Itu kisah lama, Ren. Udah kadaluarsa. Jangan lo ungkit lagi”

“Lo manggil gw cuma mau bahas hal gak penting kayak gini? Ok gw balik. Salah gw buang-buang waktu disini buat ketemu lo.” Rendean membalikkan tubuhnya.

“Gw akan buat hidup Nando, Haikal, Lijen, dan Chentara menderita. Lebih tepatnya, mereka gak akan pernah nyaman untuk siaran di Suncoff lagi” Jero terkekeh tanpa dosa dan membuat Rendean terdiam membeku di tempat setelah mendengarkan ucapannya. Tangannya mengepal kuat sampai terlihat memucat tanpa disadari.

“Kalau gw nggak mau?”

“Gw yakin penyesalan akan jadi kata pertama yang selalu lo ingat.”

“Mau lo apa?”

“Keluar dari Suncoff dan menghilanglah untuk selamanya seperti yang lo lakukan dulu.”

“Apa salah gw sampai lo segitunya Jer?”

“Gw selalu keingat Rasya tiap liat lo, Rendean”

Rendean mengernyit bingung mendapat jawaban seperti itu. Apakah eksistensinya seberpengaruh itu sampai-sampai Jero kerap terus mengganggunya tanpa henti? Rasanya, semua kesalahan bertumpu padanya. Dimulai dari kematian kak Rasya yang dianggap Jero karena dirinya, Jero yang kerap teringat akan sosok Rasya setiap melihatnya, juga hutang penjelasan beserta maafnya yang belum selesai pada Haikal, sahabatnya sendiri.

“Harusnya lo bisa move on Jer. Lo mulai kehidupan yang baru tanpa kakak gw” saran Rendean tulus.

“Gw bisa tenang waktu lo gak ada, gak kepikiran Rasya lagi. Pas lo muncul, Rasya langsung membayangi gw. Kesimpulannya, lo emang harus enyah Ren. Tinggal pilih aja, lo pergi, atau gw hancurin teman-teman penyiar lo itu. Lebih parahnya, gw bisa hancurin Nando.”

Selesai berkata seperti itu Jero langsung berdiri dan berhenti persis di samping Rendean, “Kalau gw gak bisa bahagia sama Rasya, lo juga gak boleh bahagia dengan siapapun” bisiknya kecil di telinga Rendean.

Selesai berkata seperti itu Jero langsung pergi meninggalkan Rendean dengan segudang kekalutan di benaknya dan badannya mulai gemetar kecil setelahnya.

“Kak—adek lo ini udah menyimpan sakit sedari dulu....tapi kenapa—pacar lo yang brengsek itu—menyalahkan gw atas semuanya—seolah-olah memang gw penyebabnya? Gw diminta jadi pihak yang harus paham dan peduli tentang kondisi kalian. Dulu lo minta gw tutup mata atas semua tindakan kalian berdua, sekarang Jero minta gw keluar dari Suncoff dan menghilang. Kenapa jadi gw yang nanggung semuanya kak???” monolognya berhenti sejenak dan hatinya hampa menelisik sekelilingnya.

“Apa iya gw harus menghilang lagi tapi untuk selamanya???”

🦋🦋🦋

Gema


Jaemin dengan suka cita membantu Renjun mengumpulkan beberapa botol sampah bekas minuman yang berserakan di tepi pantai. Senja itu harusnya mereka habiskan berdua dengan syahdu untuk saling bertukar isi pikiran masing-masing tentang apa yang dialami hari ini.

“Coba kamu renungin Jaem. Jika botol-botol ini peka dan memiliki rasa, pastinya mereka akan sedih ketika sudah kosong, lalu dibuang dan tercerai berai dengan sesamanya” Renjun bersuara, memancing sang kekasih yang fokusnya tak berada padanya.

“Hm. Jangan sebut jika motifmu mengajakku mengumpulkan botol ini adalah agar mereka bersatu kembali dengan kawanannya?” selidik Jaemin beratensi curiga.

“Hehehe” kekehan lepas terdengar dari mulut kekasihnya yang mungil, Huang Renjun namanya.

“Bagaimana jika kupisahkan lagi botol-botol ini, Ren?” nada Jaemin berubah sedikit mengancam si mungilnya.

“Jangan!!! Sudah bertemu lalu dipisahkan lagi dengan sengaja. Tingkahmu semakin mirip dengan aktor makjang populer yang sedang heboh di TV” bibir Renjun mengerucut kecil.

Salah satu hal yang paling disukai Jaemin adalah melihat Renjunnya manyun. Jaemin dengan senang hati akan mencapit bibir itu menggunakan jari-jari panjangnya, lalu mengelusnya selembut mungkin.

“Kalau mereka sudah ditakdirkan bersama, walau bertemu-dipisahkan-ada yang pergi jauh-pasti akan kembali lagi untuk saling mencari dan mengisi.”

Renjun termenung mendengar kalimat sang kekasih. Pupil matanya membulat indah.

“Jaem?” panggilnya perlahan.

“Di moment ini, kita memang berdua-bersama, bagaimana jika nantinya kita harus berpisah baik secara sengaja atau pun tak sengaja? Apa kita masih tetap bisa bertemu lagi?” tanya Renjun menerawang jauh.

Jaemin mendudukkan dirinya di atas pasir pantai setelah beberapa lama berjongkok di samping Renjun. Ia menarik Renjun pelan ke arahnya. Tangannya dibersihkan dari debu-debu yang sekiranya menempel. Setelah yakin, dibelainya surai halus sang kekasih yang tertiup kecil angin sepoi-sepoi.

“Awal-akhir, pertemuan-perpisahan, yin-yang, baik-buruk, putih-hitam, semuanya berdampingan. Sekarang aku tanya, apa kamu takut dengan perpisahan, Ren?” jemari Jaemin masih menyugar pelan-pelan poni Renjun yang berwarna kecoklatan.

Lagi-lagi Renjun termenung. Siapa yang tak takut dengan perpisahan. Bahkan seumur hidupnya jika diberi satu permintaan yang paling ingin untuk dikabulkan, Renjun akan memilih untuk menghapuskan kata pisah-perpisahan-dan sejenisnya yang bermakna sama.

“Coba liat aku.” Jaemin mengarahkan kepalanya untuk saling beradu dengan kepala Renjun, kekasih hatinya.

“Jangan menung sendirian, aku tau banyak banget yang kamu pikirin. Sampai-sampai suara di kepala kamu bergema di telinga aku”

Renjun memberikan senyuman manisnya. Jaemin, ia adalah salah satu alasan mengapa dirinya membenci segala hal bertemakan perpisahan. Bertemu dengan Jaemin bagaikan mukjizat terindah yang pernah diterimanya. Maka, berpisah dari Jaemin sudah tentu pasti menjadi guncangan besar dalam hidupnya yang tak akan pernah bisa ia terima.

“Tuh kan, masih ada gema di telingaku. Pasti mikirin aku? Ngaku deh”

“Iya. Aku mikirin kamu. Gimana kalau kamu pergi, kita pisah...Aku bahkan...nggak-” kalimat Renjun terhenti. Ia mengambil nafas dalam. Walau sedang berhadapan dengan pujaan hatinya, tetap saja segala kemungkinan terbaik dan terburuk ada dalam skenario Semesta.

Jaemin memberikan Renjun waktu untuk bernafas dengan tenang. Jemarinya yang tadi digunakan untuk membelai rambut halus Renjun, kini beralih mulai menggenggam erat kedua tangan sang kekasih. Ditangkupnya dua tangan yang lebih kecil itu dengan kepunyaannya, lalu diciuminya dengan lembut, tenang, lama.

Sepasang insan manusia yang penuh kasih itu masih tetap dalam posisi yang sama. Saling mengalirkan ketenangan pada diri masing-masing, walau berjuta gema riuh ribut di pikiran.

“Ren, sebagai manusia, kita nggak bisa menolak takdir Semesta yang udah seimbang dan beriringan. Begitu juga antara aku dan kamu yang udah berjalan bersama sampai saat ini seizin garis takdir Semesta. Kalau nanti kita harus berpisah karena sesuatu dan lain hal, aku berharapnya, kamu akan tetap jadi memori terindah yang aku punya. Bahkan jika reinkarnasi memang ada, aku juga mau ketemu kamu lagi dan berbagi kasih yang sama walau dalam bentuk cerita berbeda. Asalkan itu kamu, aku mau. Jadi, jangan takut dengan perpisahan ya Renjun. Kalau yin udah berpasangan dengan yang, aku juga maunya pasangan sama kamu aja. Selamanya, bahkan tanpa batas waktu. Karena, gema yang selama ini hadir di hidupku cuma punyamu, dari kamu. Nggak akan ada gema yang lain, Ren.”

🦋🦋🦋

Kalriesa

15.50

20 September 2021