“Jen, aku mohon cuma satu kata. Satu kata aja. Dan aku akan pergi dari industri bodoh itu. Aku akan tinggalin semuanya. Demi kamu”

Muka Jeno mengeras, hidungnya mengerucut, dan matanya merah. Nafasnya bergetar.

“Hyuck, kita udah pernah ngomongin ini sebelumnya. Kamu gak bisa ninggalin karir kamu gitu aja demi kita. Itu mimpi kamu, hidup kamu”

“Gak. Hidup aku itu kamu Jeno. Aku gak akan selamanya jadi idol, Jen. Aku gak tahu pakai cara apalagi aku harus tunjukin ke kamu, aku tuh cinta sama kamu”

Seharusnya deklarasi itu tidak mengejutkan untuk Jeno. Walaupun tidak ada nama di atas hubungan mereka selama ini, namun dua anak adam itu dapat merasakan tensi yang terpendam tanpa diverbalkan.

“Jangan ngomong begitu”

“Kenapa? Itu jujur dari hati-”

“Karena aku bakal lebih susah untuk biarin kamu pergi”

“Ya kalau gitu mohon aku buat tinggal Jeno”

Andai semudah itu. Andai segampang itu meminta Donghyuck untuk selalu di dekapan apartemen kecilnya. Andai kesusahan mereka hanya sebatas jarak mengelilingi meja makan ini.

Tapi, semua diantara Jeno dan Donghyuck itu yang ada hanyalah kata sulit.