Making-Up

‘Terus kalau sudah terbalas cintanya, lanjutan ceritanya apa?’

‘mempertahankan suatu hubungan.’

‘Nah, bagian itu yang tersusah. Ada pilihan disitu. Kamu pertahanin sendirian apa mau bareng-bareng sama aku?’


Donghyuck dan Jeno paham. Mengerti sekali dengan kiasan jika masakan tidak ada bumbu penyedap maka rasanya akan hambar. Hubungan pada pasangan itu tidak akan selalu bahagia terus menerus. Tidak datar seperti apa yang dipercaya oleh para pengikut ‘flat earthers’. Mereka juga sering tidak satu jalur. Cek-cok kecil acap sering terjadi. Rajuk-merajuk tentu ada pada salah satu halaman kisah cinta mereka. Namun semuanya terselesaikan dengan cepat di ke esokkan harinya, seperti tidak ada bekas sama sekali.

Yang keduanya tidak mengerti, bagaimana perang dingin yang saat ini mereka hadapi lebih lama dari yang sebelum-sebelumnya. Satu minggu tanpa belaian satu sama lain sebenarnya tidak ada bandingan dengan tiga tahun menuju empat yang mereka telah terjangi. Tapi tetap satu minggu itu waktu yang lama. Cobalah hitung berapa detik, menit, dan jam. Jangan hitung harinya.

Namun angka hanyalah angka. Jika disuruh menghitung rindu, angka bukanlah satuan yang tepat.

Apakah karena keras kepala mereka? Apakah karena gengsi? Atau apakah karena alasan yang sudah mereka lupa kenapa bisa sampai di keadaan seperti ini?

Tidak, Donghyuck masih ingat kenapa mereka seperti ini.

Bukan karena cemburu.

Kasta juga tidak.

Masalah agama? Coret sajalah. Untuk apa membicarakan sesuatu yang keduanya tidak percaya.

Insekuritas itu kejam. Benar apa yang orang-orang katakan ataupun ukiran tinta yang tertera di kertas novel teenlit para remaja belia baca.

Awalnya, Donghyuck percaya bahwa hanya celetukan iseng yang Jeno sembarang keluarkan.

“Lucu ya kalau kamu jalan sama yang ini? Kulitnya cocok.”

Donghyuck tidak pernah mengindahkannya dan hanya mengangguk pura-pura mendengarkan.

Tapi Donghyuck harusnya sadar, bahwa dari situlah ucapan-ucapan Jeno mulai aneh.

“Bagaimana kalau orang tua mu tidak suka?”

“Menurut kamu ini cocok gak?”

“Kamu lebih baik kayaknya tanpa aku deh”

Donghyuck mulai muak dan bendungan air tuba pun akhirnya pecah.

Malam itu, Donghyuck habis pulang dari acara reuni sekolah menengah atasnya. Terlalu lelah karena harus berpura-pura bahagia bertemu teman lama yang dia sendiri tidak mau tahu keadaannya seperti apa. Mau segera rehat ke dekapan Jeno yang hangat, namun ditahan pergi hanya dengan kata-kata “Bila tidak ada kamu, tidak seru”

Memang dia badut, hanya untuk pemeriah pesta.

Donghyuck butuh pulang, Donghyuck butuh Jeno.

Tapi memang sial. Yang didapati Donghyuck setelah membuka pintu apartemen bukanlah kehangatan yang diinginkan, melainkan Jeno yang sedang menelepon ditengah ruang tamu dengan penerangan yang hanya bisa dilihat oleh mata kucing. Donghyuck tidak bermaksud untuk menguping, tapi dia punya telinga.

“Menurutmu apa lebih baik kalau aku kabur saja dari kehidupan dia? Dihapus dari memorinya? Biarkan dia bahagia dengan yang lain?”

Kata Jeno dengan suara parau, berbicara dengan orang di sebrang sana.

“Iya, aku tahu ini bodoh. Tapi sepertinya Donghyuck tidak bahagia.”

Donghyuck mengeryit. Mendengar namanya disebut dengan konteks yang sebetulnya belum dia mengerti.

“Ya sama siapa lagi lah dia tidak bahagia? Ya sama aku”

Donghyuck mengatupkan giginya, berjalan dengan kepalan tangan lalu merebut paksa ponsel yang menempel dikuping Jeno.

Reaksi Jeno pastilah terkejut bukan main. Tak menyangka buah topik yang dia bicarakan sudah berdiri didepannya, dengan keadaan seperti beruang ganas yang akan meremukannya. Gemas, tapi garang. Jeno menggelengkan kepalanya, heran kenapa sempat-sempatnya dia berpikir seperti itu.

Donghyuck mematikan hubungan telpon tersebut, tidak peduli siapa lawan bicara Jeno tadi.

Yang dia pedulikan, kenapa Jeno seperti ini?

“Kamu tuh kenapa?” Tanya Jeno melihat mata merah Donghyuck.

“Kamu yang kenapa? Udah aku sabar-sabarin ya ucapan kamu yang kemarin-marin. Tapi ini, 'Donghyuck gak bahagia sama aku'? Maksudnya apa?”

Jeno menunduk, mata tidak berani beradu, menggigit kulit bibir bagian atasnya.

“Ya memang gak bahagia kan?”

“Kata siapa?” Donghyuck menyalak.

“Kata aku.” Jeno tidak suka ini.

“Dapet anggapan kaya begitu tuh darimana?”

Jeno tidak menjawab. Hanya berdengus lalu melewati Donghyuck menuju kamar mereka. Tapi Donghyuck saat ini tidak mau menolerir kebiasaan buruk Jeno saat mereka sedang bertikai. Berdiam diri dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Donghyuck menarik lengan Jeno meminta penjelasan lebih lanjut.

“Kamu sadar gak kita lagi gak baik-baik aja Hyuck?”

Donghyuck menggeleng cepat, masih tidak mengerti letak tidak baik-baik itu seperti apa dihubungan mereka. Memang sih komunikasi mereka akhir-akhir ini bisa dibilang renggang untuk sebuah pasangan tapi untuk sekedar cium selamat pagi dan berkabar di siang dan sore mereka masih sempat walau sibuk dengan kerjaan dan tenggat waktu yang mengejar mereka. Kencan saat libur juga sering kali masih ada.

Lalu apa yang salah.

“Enggak. Aku gak sadar karena memang gak ada yang salah. Kamu tuh ngomong apa sih No?”

“Kita sebaiknya jaga jarak dulu.” Donghyuck membelalakan matanya,

“Kamu minta putus?”

“Enggak. Maksud aku-” Jeno menghela nafasnya sejenak. “Kita istirahat dulu, dari diri kita masing-masing”

-

Dan begitulah bagaimana ketidak jelasan ini terjadi. Donghyuck membanting pintu malam itu. Menutup argumen dengan, “Harusnya kamu bilang kalau kamu yang gak bahagia sama aku. Biar aku yang pergi”

Meninggalkan Jeno dengan turunan satu persatu titikan air mata yang Donghyuck tidak ketahui.

-

Donghyuck menatap sendu ke sinar yang terpancar dari layar televisi 72inch milik Renjun. Bertutupkan banyak selimut dengan tisu berserakan di sekitar sofa dia duduk, lalu rambut coklat mencuat ke segala arah, Donghyuck terlihat seperti orang sakit flu daripada pria yang dirundung kesedihan cinta.

“Mau sampai kapan kamu begitu terus?” Kata Renjun melihatnya kasihan.

Sudah dua minggu Donghyuck dan Jeno 'berhenti sejenak', dan dalam kurun waktu tersebut juga Donghyuck menginap atau kembali lagi ke apartemen yang dulu ditempatinya bersama Renjun sebelum setahun yang lalu dia memutuskan untuk kumpul kebo dengan kekasih bermata bulan sabitnya itu.

Untung masih banyak barang-barangnya yang tertinggal, mempersiapkan bila ada kejadian seperti ini yang pintarnya sudah diperkirakan Renjun dan Donghyuck. Bukan karena Donghyuck mengharapkan bisa ada pertengkaran hebat dengan pacarnya, namun dewasanya mereka memikirkan lebih baik ada tenda daripada payung bila ada hujan lebat.

Cuma yang Donghyuck tidak tahu bahwa hujan itu bisa secepat ini.

Sempat ada episode yang terjadi, yaitu siangnya dari hari pertama Donghyuck datang kembali ke apartemen lamanya, Renjun menjotos muka tampan Jeno.

“Kan aku sudah pernah bilang, bila ada sesuatu yang terjadi pada sahabatku akan ku buat lebam penyebabnya. Aku hanya menjalankan janji ku saja” Katanya Renjun dengan tidak acuh yang Donghyuck tidak sampai hati memarahinya waktu itu.

Karena Renjun juga tidak bisa sampai hati melihat keadaan temannya tersebut. Renjun tahu betul Donghyuck membenci kata 'istirahat' pada suatu hubungan. 'Break' itu seperti diambang. Warnanya abu-abu. Kalau sebuah lukisan, genrenya termasuk abstrak. Seperti Mie Jjampong. Campur aduk.

'Tapi Lee Jeno suatu pengecualian', rengek Donghyuck ke dia malam itu.

Renjun sebenarnya masih belum penuh nyawanya saat Donghyuck datang mencurahkan hatinya, karena jam 4 pagi itu adalah waktu yang canggung untuk bangun dan melakukan kegiatan. Tapi demi sahabat, apa yang dia tidak akan lakukan.

Tiba – tiba Donghyuck berdiri, mematikan lagu berjudul Six Degree Of Separation milik The Script yang Renjun sempat terheran kenapa dipasang secara berulang karena dikutip dari otaknya, 'Mereka kan tidak putus'. Lalu Donghyuck masuk ke kamarnya.

Renjun hanya membiarkannya. Mungkin temannya masih butuh waktu sendiri.

Tapi, seketika pintu kamar terbuka kembali menampilkan temannya yang sudah rapi berganti pakaian yang lebih layak untuk berpergian.

“Kamu mau kemana?”

“Ke rumah.” Cuek Donghyuck menempelkan jam di lengan kirinya.

Renjun rasa Donghyuck sudah gila.

“Maksudnya rumah gimana? Ke rumah orang tua?”

Donghyuck menggeleng, “Ke Jeno.”

Benar dugaan Renjun, Donghyuck tidak waras.

“Dan menyerah begitu saja? Hyuck, dia yang jelas-jelas minta pisah. Minta kalian jaga jarak. Masa kamu mau tiba-tiba menyelonong masuk tanpa kemauan dia. Harga diri kamu dimana?”

Donghyuck sudah lama mendiskusikan ini dengan dirinya sendiri, dan akhirnya memutuskan ingin membuang harga dirinya.

Dua minggu memang lama kan? Ini istilah konyol dan terlalu main-stream, tapi Budak Cinta sudah pantas dia sematkan ke dirinya sendiri.

“Makasih ya Jun atas tumpangannya. Maaf sudah merepotkan”

“Tunggu, kamu tuh kesambat apa?”

Donghyuck mengucap salam terakhirnya dan beranjak ke pintu depan.

Meninggalkan Renjun yang tercengang bingung tanpa Donghyuck pedulikan.

-

Kunci sandi apartemen mereka tidak diganti. Dongyuck membuang napas lega. Agak ketakutan, bahwa apa yang mereka lakukan akan bersifat permanen.

Selain kelegaan, gugup mulai merayap pada serat dagingnya. Bergetar sedikit, Donghyuck membuka perlahan kediaman favoritnya kedua setelah apartemen Renjun dan dia dulu.

Agak berjinjit ketika melangkah perlahan ke dalam, Donghyuck persis seperti maling.

Namun antiknya itu terhenti tatkala melayangkan maniknya ke sekelibat bayangan memasuki dapur. Diikutinya bayangan tersebut, Donghyuck mendapati Jeno berkaus oblong putih dengan kolor biru pendek mau mengambil minum di kulkas pintu dua mereka. Walau cahaya minim, Donghyuck bisa melihat jelas janggut tipis yang tercetak pada wajah rupawan pacarnya.

Dan Donghyuck tahu, kekasihnya itu terlalu bersih agak mencondong OCD untuk membiarkan sedikit kotoran saja di mukanya.

Donghyuck tersenyum mengetahui bahwa disini bukan dia saja yang kepayahan.

“Jeno” Panggil Donghyuck pelan. Menguji coba permukaan suasana dengan kata pertama dia kembali ke apartemen mereka.

Jeno yang sedang minum agak tersedak kecil, sebelum menaruh retinanya pada sosok yang dia rindukan selama dua minggu ini. Namun, Jeno hanya mengedikkan bahunya lalu meminum air putihnya kembali sambil bergumam,

“Pasti cuma mimpi lagi”

Sejujurnya, Ini bukan reaksi yang diharapkan oleh Donghyuck, tapi berhasil membuat kikikan geli keluar dari bibir bentuk hatinya itu.

“Ini bukan mimpi Jeno”

Jeno tersedak untuk kedua kalinya. Hampir memuncratkan air ke depan pintu kulkasnya.

Jeno meletakan gelasnya perlahan dipermukaan rata meja makan disampingnya, takut jatuh dan menyebabkan kekacauan. Pupil matanya memindai Donghyuck, memastikan kembali bahwa ini bukan halusinasi jam dua paginya saja.

“Aku pasti sudah depresi. Manipulasi ini bisa berbicara” Kata Jeno sambil memegang kepalanya yang mulai pening.

Donghyuck memanyunkan bibirnya.

“Coba peluk aja kalau gak percaya” Donghyuck menyilangkan lengan di depan dadanya, menunggu pergerakan Jeno.

Dan Jeno menurut, karena dia hanya manusia biasa yang lemah akan godaan iblis dalam bentuk Donghyuck.

Tapi sekalinya Jeno mendekap Donghyuck dan merasakan bahwa Donghyuck nyata berada disini, di kediaman mereka yang senyap tanpa matahari pribadi-nya Jeno, eratannya semakin mengencang. Kalimat maaf terus bergema di mulut Jeno. Dan di pukul dua lewat empat puluh pagi, mereka menangis bersama. Melempar rindu ke sudut ruangan.

Jeno melepaskan pelukannya hanya untuk memberi kecupan di setiap sudut muka Donghyuck.

“Maaf, maaf, maaf.. ” Katanya pada setiap kecupan.

“Iya aku maafin” Bisik Donghyuck yang tidak bisa bersuara keras karena masih menggumpal nestapa di tenggorokannya.

“Gak. Kamu harusnya gak maafin aku Hyuck. Kamu gak ngerti”

“Yaudah coba bikin aku ngerti Jeno”

Dijelaskanlah oleh Jeno, bahwa terdapat kesulitan adaptasi dari sisi pria berkelahiran april tersebut setelah mereka tinggal bersama. Dan selama setahun terpendam, Jeno mulai berpikir bodoh bahwa ada kemungkinan Donghyuck tidak menginginkan mereka bersama, bahwa Jeno tidak menginginkan mereka disini, bersatu atap.

Insekuritas memang kejam. Ditambah kombinasi sifat introvert Jeno.

Tapi ditinggal hanya kurun waktu empat belas hari, menamparkan fakta bahwa ada perubahan yang terjadi oleh Jeno. Dia tidak bisa lagi tanpa ada Donghyuck disisinya. Dia tidak bisa lagi merasakan apapun jika tidak ada Donghyuck sebagai suara kedua di otaknya.

Jeno butuh primer, Jeno butuh Donghyuck.

Direngkuh dan diangkatlah badan Donghyuck, sehingga yang lebih muda dua bulan darinya itu bergendong seperti koala setelah hampir sejam berdiri mendengar penjelasan tersebut. Membawa Donghyuck ke kamar mereka yang telah dingin tanpa aura pria kelahiran Juni. Musim panas.

Setelah meletakan badan Donghyuck, dipagutnya bibir ranum tersebut oleh Jeno yang telah menahan-nahan dari awal mereka dapat menatap iris satu sama lain. Lumatan-lumatan yang mereka lakukan berlaju memang pelan, namun lain hal dengan para tangan yang liar menanggalkan kain yang menempel.

Bertelanjangkan dada, di daratkan jilatan dan gigitan kecil pada ujung titik hitam Donghyuck oleh Jeno. Selagi tangan kanannya memuntir puting sebelah kanan, Jeno menyelipkan tangan kirinya ke dalam bokser motif hawai Donghyuck. Menarik dan memoleskan cairan awal milik yang muda untuk pelicin dia mengocok.

Donghyuck tidak tahu harus berterima kasih atau membenci pacarnya yang sedikit ambidextrous. Tangan kanan dan kiri dengan fasih dan sama baik memuaskan dirinya.

Dengan perlakuan yang sama terus menerus ditambah aksi yang hilang selama dua minggu dari kegiatan ranjang mereka, Donghyuck merasa dia semakin dekat.

Jeno yang dapat merasakannya juga, mempercepat gerakan tangannya agar Donghyuck dapat segera keluar.

Meninggalkan noktah Donghyuck, bibir Jeno berpindah kembali melesakan lidahnya ke kubah mulut Donghyuck. Dibungkamnya desahan orgasme pertama malam itu dengan ciuman yang berantakan.

Donghyuck meracau.

“Aku keluar cepat banget”

“Gak apa-apa, kita punya waktu lebih dari ini”

Jeno melepaskan kolor tanpa celana dalamnya untuk mengeluarkan miliknya yang merasa sesak dan juga bokser kotor Donghyuck. Kini mengukung Donghyuck, diusapnya konstelasi pada wajah berwarna eksotis itu dengan dua ibu jarinya. Merekahkan senyuman manis Jeno tidak bisa bila tidak mencium dan mengigit bibirnya untuk izin membuka celah.

Terdistraksi, Donghyuck tidak sadar Jeno telah menaruh bantal dibawah bokongnya dan menekuk sedikit kaki kanannya sehingga agak mengangkang untuk Jeno dapat memasuki jari tengah ke analnya.

Seketika membuat Donghyuck hilang pikiran.

Agak sempit dan berkedut, Jeno berhenti sejenak untuk mengeluarkan pelincir dan kondom dari laci samping kasur ukuran raja mereka.

Jeno melanjutkan kegiatannya kembali, Donghyuck berdesah. Di belakang pikirannya merasa terheran kenapa dia bisa se-sensitif ini.

Jeno membuat gerakan menggunting, menghasilkan jeritan tertahan.

“Sakit by?” Khawatir Jeno pada kerutan di dahi kekasihnya. Donghyuck hanya menggeleng, menggigit bibir bawahnya.

Setelah tiga jari dapat menekan penuh kedalam, Jeno melepaskannya dari lubang itu diiringi dengan rengekan kecil kehilangan. Jeno berniat untuk mengganti hutang dengan testisnya. Tapi sebelum dia dapat membuka bungkus merk karet pengaman, Donghyuck melarangnya.

“Aku pengen ngerasain kamu. Rasain kulit kamu. Rasain kamu. Seluruhnya kamu”

“Punyaku”

“Iya, milikmu”

Terdapat sejuta implikasi dari kalimat tersebut dan Jeno agak sangsi bila tidak aman. Tapi mereka sampingkan untuk perbincangan itu untuk nanti siang karena hasrat sudah tidak tertahan lagi.

Indahnya, bercinta setelah berbaikan.

“Baby, mau depan atau belakang?” Jeno mengurutkan miliknya yang sudah licin tanpa pelincir.

“Depan, aku kangen wajah kamu”

Dan Jeno memang hanya bisa menurut. Kepuasan Donghyuck itu nomer satu, bahkan bila dia harus terjun bebas ke jurang. Jeno mengakui betapa tolol nya dia meminta jaga jarak waktu itu, kalau sekarang mengambil nafas satu sama lain saja kurang cukup dekat untuk keduanya.

Dengan perlahan Jeno arahkan miliknya masuk ke dalam kerutan basah yang kelihatan sudah siap untuk diisi. Menggeram rendah ketika dirasa makin menyempit walau sudah persiapan.

Sedangkan Donghyuck tegang, sedang membiasakan dirinya. Dikalungkan lengannya ke leher Jeno untuk menarik kepalanya agar bisa dia cium asal sebagai bentuk pengalihan sementara.

Desahan tenggelam bersamaan dengan gerakan sesama pinggul yang Jeno buat.

Lambat laun makin cepat dan Jeno tidak ragu meninggalkan jejak manis disekitar leher Donghyuck. Menegaskan hubungan mereka tidak akan pernah berakhir dengan hal remeh temeh. Di sela hisapannya, Jeno bisa mendengar Donghyuck yang terus merapal mantra sambil menjerit nikmat dengan tidak terkontrol, karena dirinya yang tidak kunjung memberi jeda di tiap tumbukan.

Lalu satu hentakan keras, Donghyuck melihat putih. Orgasme kedua Donghyuck keluar tanpa disentuh. Dan lumayan banyak untuk membuat agak kotor mereka berdua.

Jeno memperlambat temponya, membiarkan yang lebih muda sadar dari pasca pelepasannya.

Tapi Donghyuck malah menarik pinggang Jeno agar alur tetap kembali ke semula.

“Gak apa-apa. Terusin saja” Cicit Donghyuck, agak terlalu terstimulasi tapi juga ingin agar orang dicintanya juga mendapatkan kebahagiaan sepertinya.

Dan tidak lama, Jeno pun menyusulnya. Badannya ambruk diatas kekasihnya yang langsung memeluk dan membelai lembut rambut hitamnya itu. Diciumnya agak lama pelipis yang penuh dengan peluh.

Samar-samar terdengar deru napas yang teratur dari Donghyuck, Jeno membangunkan dirinya lalu mengecup sekilas teman hidupnya selama tiga tahun itu.

“Kaya biasa, jangan tidur” Ucap Jeno ke Donghyuck yang lalu membangkitkan dirinya ingin bergegas ke kamar mandi untuk setidaknya menghilangkan mani yang bercampur dengan keringat akibat aktivitas mereka, sebelum rencananya itu tertahan karena lengannya ditarik kembali ke kasur dan dipeluk badan pucatnya itu oleh kehangatan suhu badan pacarnya.

“Jangan tinggalin aku” Gumam Donghyuck. Meremas kecil di belakang bahu namun tidak dirasakan sakit oleh Jeno.

Ini bukan tentang pergi meninggalkan ke kamar mandi, tentu saja. Jeno bodoh, tapi IQ nya tidak serata-rata itu.

“Gak. Gak akan aku lepas. Lagi” Kata Jeno protektif dengan dirinya sendiri. Karena dari yang Jeno pelajari, memang musuh terbesar yang paling dekat adalah bayangan yang terpampang jelas saat kau berkaca.


'Ya, tentu aku mau mempertahankan nya sama kamu. Memang di galaxy ini, aku dengan siapa lagi?'

-

End.