kilavyall

secret library


“Jeno?”

Jeno terkesiap begitu mendengar suara temannya mendekat.

“Kenapa, Mark?” Jeno membalas dengan sedikit berteriak.

Ini di perpustakaan, dan perpustakaan mempunyai larangan berisik, namun ia tak peduli. Karena mengapa pula ia peduli ketika tidak ada siapapun disini. Ya, kecuali Mark yang baru saja menghampirinya.

“Gue cariin anjrit kirain kemana.”

Jeno melihat visualisasi Mark mendekat, maka dengan segera ia menghadang langkahnya pada lorong pembatas rak belakang dengan ruang membaca.

Kampus mereka memliki fasilitas perpustakaan yang lengkap dan luas, maka seharusnya kegiatan Jeno sekarang tidak akan diketahui, namun masalah besar jika tiba-tiba Mark datang.

Mark mengernyit bingung ketika langkahnya dihadang oleh Jeno.

“Kenapa, jir?”

Jeno mendorong sedikit kacamata nya yang turun, berdeham dan menjawab dengan canggung. “Gue lagi beres-beres, tadi diminta tolong Bu Eun Ji, beliau udah pulang. Gue lagi beresin rak belakang abistu pulang, lu duluan aja.”

“Oh. Beres-beres doang kan? Yaudah gue bantuin, ya? Biar cepet. Lu sendiri juga kan?”

Jeno melambaikan tangannya kikuk. “Gausah anjir bisa sendiri gue. Gapapa lu balik duluan aja, lagian mau latihan band, kan?”

Mark mengangguk bingung, “iya sih... Tapi lu gapapa gue tinggal?”

Jeno mengangguk semangat. “Gapapa sumpah. Dikit lagi, kok, ini mau beres, beneran! Gue juga udah megang kunci perpusnya.” Tangannya mengacung memperlihatkan kumpulan kunci, salah satunya adalah kunci perpustakaan.

“Oh, okedeh... ” Dengan begitu Mark menepuk pundak Jeno dan berbalik pergi dari perpustakaan.

Sejujurnya ia bingung. Ia tahu Jeno adalah mahasiswa teladan di kampusnya, hampir seluruh staf di fakultasnya mengetahui Jeno dan ia pun tak segan membantu siapapun, namun Mark merasa ada yang janggal hari ini.

“Arghhh... “

Mark kaget ketika mendengar sedikit teriakan dari belakangnya, dan ketika ia berbalik ia mendapati Jeno sedang mengangkat satu kakinya dan memandang Mark dengan cengiran khas.

“Biasa, kepentok.”

Mark tertawa lalu membalas, “tihati, lu, kebiasaan banget teledor.”

“Aman.” Jeno membalas dengan acungan jempol.

Setelah sosok Mark hilang ditelan pintu perpustakaan, Jeno dengan segera berlari ke arah pintu dan menguncinya dari dalam. Sebuah hal yang mencurigakan namun harus ia lakukan.

Merasa sudah aman dan perpustakaan tak akan didatangi siapapun (karena sudah ia kunci), ia kembali ke rak paling belakang demi menghampiri seseorang yang tengah menatapnya kesal.

“Ngapain teriak?” Jeno bertanya dengan kesal.

“Ada kecoak, bego. Lagian lu main pergi aja.” Pemuda yang tak lain adalah Chenle mendengus sebal. Apakah Jeno pikir ia akan teriak tanpa alasan atau apa.

Tangan Chenle sibuk membetulkan hoodie yang ia kenakan lalu menurunkan kaos bajunya yang sebelumnya terkesiap, menyiratkan hal yang sebelumnya mereka lakukan.

Ternyata, pemikiran Mark salah.

Jeno tidak sendirian disini, namun bersama seorang yang dipikir seribu kali pun akan aneh rasanya jika ia menemukannya bersama Jeno. Dan di perpustakaan. Dan di rak paling ujung yang temaram pun pengap.

Setelah selesai merapikan tampilannya, Chenle beranjak dan melewati Jeno begitu saja.

“Mau kemana?” Jeno bertanya kesal karena Chenle mengabaikannya.

“Balik, lah. Cape banget gue, mau tidur.”

“Kita belum selesai.”

Chenle berbalik cepat. Wajahnya membuat ekspresi aneh, tawanya menguar dan jelas sekali nadanya meremehkan. “Apanya yang belum selesai? Gak ada apa-apa diantara kita Jeno, tolong bangun.” Jarinya yang lentik menepuk pipi Jeno dengan pelan.

Jeno tahu sejak awal jika Chenle tak serius. Dan tentu saja tak akan pernah serius. Ia datang padanya seolah-olah mencintai Jeno dengan waktu yang lama lalu akan pergi begitu saja.

Jeno tahu trik ini. Jeno sudah sering mendengar mahasiswa di kampusnya membicarakan Chenle mengenai ini. Gosip semacam itu mudah sekali menyebar.

Namun anehnya, para lelaki lain di kampusnya malah menginginkan hal ini. Menginginkan Chenle memainkan mereka layaknya boneka, lalu meninggalkan mereka secara tak terduga. Dan mereka akan bangga karena sudah pernah menjadi kekasihnya, atau hanya dekat pun mereka akan bangga.

Gosip lain yang lebih parah, Chenle suka meniduri mereka.

Dan tentu saja ketika Chenle datang padanya, ia merasa mendapat jackpot. Chenle salah memilih target kali ini.

Tangan Chenle yang mengudara dengan cepat Jeno ambil. Menggenggamnya keras namun ia juga mengecup beberapa kali. Membuka Chenle kaget dengan aksi Jeno.

“Jen, lu ngapain?”

Jeno hanya menjawab dengan berdeham. Kini jari tangan Chenle ia kulum dengan khidmat.

Chenle panik.

“Jen, Lepas.”

Jeno memberi senyum mengejek.

“Gak akan.”

Sebelumnya Chenle tidak pernah merasa terancam ketika ia bersama Jeno. Karena yang ia tahu, Jeno adalah mahasiswa teladan yang cupu, selalu memakai kacamata dan membawa buku kemana-mana. Lagipula, ia mendekati Jeno karena sebuah permainan tantangan sialan, siapa juga yang mau mendekati lelaki aneh seperti Jeno?

Dan lebih anehnya, kini ia merasa terancam. Ia tidak pernah melihat Jeno seperti ini. Jeno yang memberinya senyum mengejek menakutkan dan mencengkeram tangannya kuat, belum lagi jari tangan Chenle yang kini ia kulum.

Chenle merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Maka dengan panik ia menarik tangannya yang tentu saja tak akan mudah lepas.

“Jen, sakit.”

“Gue gak peduli Chenle.”

Chenle semakin panik.

“Sumpah gue minta maaf kalau misal udah nyinggung lu atau bikin lu sebel sama gue tapi tolong lepas dulu, ya? Gue ngerasa sakit banget ini tangannya, terus gue mau pulang.”

“Hari ini lu gabisa pulang dengan mudah, Chenle. Kita belum selesai, gue kan udah bilang.”

“Maksud lu apa, sih? Kita gak ada apa-apa, Jen.”

“Kita ada apa-apa, Le.”

“Aw! Sakit bego, jangan di gigit!”

Jeno hanya tersenyum menanggapi.

Walaupun tak nyaman, Chenle menunggu Jeno menyelesaikan apa yang ia lakukan sekarang. Karena walaupun ia menarik tangannya, yang ada Jeno akan menggigitnya dan Chenle rasa jika ia melakukan itu Jeno akan menggigitnya hingga jarinya putus. Lihat saja apa yang bibirnya lakukan sekarang.

Setelah selesai dengan jari Chenle, Jeno menarik tangan Chenle membuat tubuhnya mendekat. Chenle tentu saja menolak.

“Ngapain, woy?!” Dengan panik ia berusaha menarik kembali tangannya.

“Gue pengen cium lu. Kurang jelas?”

“Hari ini kita udah ciuman dan gue udah pernah bilang kalau gue cuma mau ciuman maksimal sehari sekali, gue gamau bibir gue bengkak.”

Tangannya berhasil terlepas dan Chenle mundur dengan waspada.

“Tapi gue pengen ciuman, Le.”

Chenle memandang Jeno tak percaya. “Sumpah lu kok aneh banget sih, gak kayak Jeno yang biasanya. Lu kerasukan ya?”

Jeno tersenyum miring, “justru lu yang aneh, lu gatau gue yang asli gimana tapi berani deketin gue?”

Ah, ternyata benar dugaannya, Jeno bukan anak cupu yang sering satu kampus bicarakan, ia lebih dari itu.

Chenle hampir berlari karena ia merasa perlu sebelum tangan kekar itu meraih pinggangnya.

Anjing! umpatnya dalam hati.

“Mau kemana, Le? Kita belum selesai, inget?”

“Kita selesai, gue mau kita selesai sekarang! Kita gak ada urusan lagi. Jadi, lepasin gue!”

“Gak!”

Wajah Jeno mendekat pada ceruk leher Chenle, berusaha menghirup aroma Chenle sedalam mungkin.

Chenle yang tak bisa tinggal diam menabrakkan kepalanya pada dagu Jeno sehingga Jeno mengaduh kesakitan. Dalam waktu lengahnya Chenle memanfaatkannya untuk menginjak kaki Jeno yang terbalut sepatu kemudian lari.

Ia tau ia harus lari dari sini.

Lari sejauh mungkin.

Sejauh yang ia bisa.

Namun sialnya ketika sampai pintu perpustakaan yang besarnya melebihi pintu kelasnya, ia tidak bisa membukanya.

Pintu itu terkunci dan tertutup rapat tak membiarkan ia keluar.

Bagaimana ini? Dia harus keluar atau dia akan habis oleh Jeno.

Pikirannya kalut. Tangannya tak henti memainkan knop pintu sampai tangan kekar Jeno kembali meraihnya.

Dengan cepat tubuhnya dibalikkan menghadap Jeno. Tangan itu kini mengukungnya.

“Gue mau keluar, Jen.”

“Lu gak bisa keluar, Le. Katanya lu mau nyelesain urusan kita, kan? Jadi ayo selesaikan sekarang.”

Chenle menggeleng heboh ketika kepala Jeno mendekat. Ia ingin lari, tapi tak bisa. Jangan bilang ia tak berdaya karena itu memang benar. Tak ada jalan keluar untuknya.

“Kepalanya bisa diem gak, Le?”

Chenle tetap menggeleng heboh, kini di iringi teriakan.

“Gak! Gabisa! Lepasin gue, Jen! Gue gamau!”

Dug! Jeno yang kesal membenturkan kepala Chenle pada pintu hingga si empu merasa pusing dan terhuyung.

“Ah, sorry Chenle gue beneran minta maaf gue gak sengaja. Lagian lu nakal, sih.”

Jeno mengusap kepala Chenle dengan perlahan seperti ia merasa benar-benar menyesal.

“Jen, pusing.”

“Iya, sorry, ya? Kita duduk dulu, oke?”

Jeno memapah Chenle hingga mereka terduduk di salah satu sofa area membaca. Tangannya kembali mengusap kepala Chenle bagian belakang.

Ketika ia mengusap-usap kepala Chenle, ia kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Chenle.

Chenle berusaha menahan dada Jeno sebelum berucap, “kalau kita ciuman, lu lepasin gue kan? Gue pengen pulang.”

Jeno nampak berfikir sejenak lalu tersenyum manis, membuat kedua matanya membentuk bulan sabit.

“Tergantung lu nakal atau engga.”

Jeno kembali mendekatkan wajahnya dan kini yang bisa Chenle lakukan hanya pasrah. Ia hanya berharap kemurahan hati Jeno setelah ini. Ia benar-benar ingin pulang.

Chenle menutup kedua netranya, ia merasakan bibir hangat dan kasar yang sebelumnya ia rasakan melahap habis bibir keringnya. Pagutannya lembut, namun menuntut. Dengan tidak terpaksa ia membalas ciuman Jeno.

Jeno. Ia selalu bisa memberi ciuman yang selalu Chenle inginkan. Dari semua lelaki yang sudah berciuman dengannya, milik Jeno yang selalu ia dambakan kehadirannya. Namun kini, rasanya Chenle ingin menangis dicium seperti ini. Ia takut. Takut Jeno menjadi lebih aneh daripada tadi.

Chenle membuka kedua matanya, ia melihat kaca kecil yang dibingkai sedemikian rupa yang lebih akrab disebut kacamata. Ia melihat kelopak mata Jeno yang tertutup melalui kacamata itu setelah sekian detik ia baru menyadari jika kacamata Jeno adalah kacamata biasa. Bukan kacamata tebal dengan banyak garis tanda minum seperti kacamata minus yang seharusnya. Seharusnya Chenle mengerti, jika ini semua hanya topeng Jeno. Topeng lelaki yang kini menunjukkan wajah aslinya.

Chenle menutup kembali netranya dan merasakan bibirnya digigit kecil. Ia tau, Jeno memintanya membuka mulut sehingga lidah Jeno dapat menyusup dengan sempurna.

Jeno menyapa semua deret gigi Chenle yang sejajar, mencari lidah Chenle sebelum mengajaknya bergulat.

Jeno terlalu mendalami ciumannya hingga ia merasakan dadanya ditepuk pelan.

Jeno menghentikan ciumannya, membiarkan Chenle bernafas dengan rakus.

Pemandangan seperti ini yang selalu menghantuinya sejak awal ia masuk kuliah. Sejak ia melihat Chenle berlari melewatinya dengan tumpukan buku yang ia peluk.

Jeno menyukai Chenle sejak hari pertama lelaki itu datang ke kampusnya, mengikuti open house kampus dan melakukan serangkaian tes untuk masuk, hingga ia dapat melihatnya duduk berkumpul dengan teman kelompoknya di aula kampus, mengikuti kegiatan ospek.

Jeno tau jika ia mulai terobsesi dengan Chenle. Ia selalu mencari tahu kegiatan apa yang Chenle ikuti dan kemana saja ia pergi. Hingga pada tahun kedua Chenle masuk kuliah, tepatnya pada semester genap, mulai muncul bermacam gosip dengan banyak topik jika Chenle adalah lelaki yang paling banyak mendapat ajakan kencan. Pacarnya dimana-mana, mantannya banyak, belum lagi gosip Chenle yang menerima ciuman siapa saja hingga gosip yang paling membuatnya marah. Chenle tidur dengan siapa saja.

Jeno marah.

Maka tanpa sadar kini ia mencium kembali Chenle. Membuat Chenle terkejut dan tanpa berdosa Jeno mulai menelusupkan tangannya pada hoodie Chenle. Tubuhnya membawa Chenle berbaring pada sofa.

“Nghh.. Jen, kita cuma ciuman!” Tangannya berusaha menghentikan pergerakan Jeno namun kedua tangannya diambil dalam satu genggaman, dibawa ke atas kepala Chenle membuat Chenle susah berontak.

Tangan Jeno menelusuri kulit halus Chenle, mencari satu titik yang ia yakini menjadi salah satu titik sensitif Chenle.

Ketika sampai, tangannya memilin puting itu dengan gerakan menggoda, membuat Chenle tersentak kaget.

“Jeno! Lu ngapain... Nghhh...”

Jeno mencium Chenle semakin dalam, tangannya tak henti memainkan puting Chenle yang mulai mengeras, dan lututnya mulai memainkan peran dibawah, mengganggu gundukan yang ada di celana Chenle, membuat Chenle merasa kewalahan menerimanya serangan dari berbagai titik.

Chenle melepas ciumannya dan berteriak, “Jeno anjing lu stop gak?!!! Tolongh... Stop anjir Jen.. Arghhh hngggg jangan diteken dongo!”

Jeno beralih menciumi ceruk leher Chenle, sesekali menggigit membuat Chenle melenguh.

“Lu minta berhenti tapi lu juga nikmatin, kan?”

“Gak gitu dongo! Siapa yang gak desah lu giniin coba?”

Jeno kini menciumi telinga Chenle, membuat Chenle sedikit tertawa karena geli.

Jeno terus mencium apapun yang ada pada Chenle. Dimulai dari telinga, kembali pada ceruk leher, bertemu tulang selangka hingga kini Jeno menyikap hoodie overall yang chenle kenakan, membuat Chenle panik.

Kakinya bergerak rusuh, membuat Jeno sedikit kesal.

“Jen sumpah gue gak bisa lebih dari ciuman, Jen, gue cuma setuju kita ciuman. Kalau lu nekat ini namanya pemerkosaan.”

“Lu giliran sama gue pemerkosaan giliran ke cowok lain nikmatin aja, tuh?”

Chenle menatap Jeno bingung. “Gue gak pernah sama cowok lain kayak gini anjrit yang ada gue tendang duluan.”

Jeno menatap Chenle meminta penjelasan lebih.

“Gue gak pernah tidur sama cowok. Gue gatau lu denger gosip dari mana terserah tapi gue gak bisa.”

“Lu gak pernah tidur sama cowok?”

Chenle mengangguk yakin.

“Kalau gitu biar gue yang tidurin lu.”

“Anjing lu! Gak mau!”

Jeno kembali menyikap hoodie Chenle, kini lebih tinggi. Membuat Chenle bingung harus melawan seperti apa karena kakinya diduduki oleh Jeno dan tangannya tetap digenggam.

Jeno menciumi perut putih Chenle. Semakin naik. Semakin naik. Hingga Chenle merasakan putingnya digigit kecil.

“Jen!”

Jeno yang kesal sengaja menggigit puting Chenle membuat Chenle berteriak karena sakit.

“Akkkk!! Sakit Jen!”

“Makanya diem! Lu cuma boleh desah atau gak usah bersuara sama sekali.”

Chenle mengangguk cepat karena ia tak mau putingnya kembali di gigit seperti tadi. Itu sangat menyakitkan.

Jeno kembali menggigit puting Chenle dengan lembut, menghisapnya seakan-akan asi akan keluar dari sana.

Chenle tak pernah tau jika ini akan membuatnya merasakan hal aneh. Ia ingin melenguh namun ia tak mau membuat Jeno semakin gencar melakukannya, jadi ia menahannya dengan menggigit bibirnya.

“Gue tau lu gigit bibir. Kalau enak desah aja kali.”

Chenle menggeleng tak terima.

Jeno memberi kissmark pada beberapa bagian. Tubuh Chenle yang sebelumnya putih bersih kini ditaburi tanda merah keunguan di beberapa bagian.

“Gue selalu ngebayangin hari ini tiba. Ngebayangin lu desahin nama gue.” Jeno memandang Chenle dibawahnya dengan tersenyum.

“Cabul goblok!”

“Lu diem atau mulut lu gue sumpel kontol!”

“Gue juga punya anjing sombong banget lu.”

Jeno menekan penis Chenle dengan kasar membuat Chenle mengaduh kesakitan.

“Aw! Jen lu anjir sakit bego kontol lu mau gue putusin ya?!”

“Makanya diem! Lu cuma boleh desah atau gak sama sekali.”

Jeno mulai menurunkan celana Chenle membuat Chenle kalang kabut.

“Stop! Gue gamau, Jen! Lu kok nekat banget sih?”

Jeno tak menghiraukannya dan dengan cepat membiarkan penis Chenle tanpa penutup.

Dengan segera Chenle merapatkan kakinya, menyembunyikan penisnya.

“Ngapain ditutup, deh?”

“Malu lah setan! Lu kok gak malu sih liat penis orang?”

Jeno tertawa. Definisi benar-benar tertawa seperti ketika mendengar sebuah lelucon.

Chenle melongo tak terima. Apanya yang lucu coba?!

“Kok lu ketawa sih, aneh!”

“Lu aneh! Polos banget lagi. Jadi pengen gue kotorin dah otaknya.” Jeno membalas ucapan Chenle masih dengan tertawa.

Jeno membuka kaki Chenle, yang sebelumnya Chenle rapatkan. Membuat pipi Chenle merah padam.

“Gue percaya kalau lu belum pernah. Gue bukain celana aja dah jadi kepiting rebus, gue ewe apa gak mateng lu!”

Chenle hampir menendang Jeno namun gagal ketika tangan Jeno yang satunya menahan kakinya.

“Lu gak sopan banget Jen, di perpustakaan ngomong cabul!”

“Who's care, Chenle? Who's care? Lagian gak ada siapa-siapa kecuali kita.”

“Dan setan yang ada di otak lu.”

“Yah, of course.”

Menyenangkan sekali rasanya melihat Chenle sedekat ini. Belum lagi kini ia hampir menyelesaikan apa yang ia tunggu sejak lama.

“Jen mau ngapain?”

Chenle panik ketika melihat Jeno menunduk menghampiri penisnya.

“Sumpah bangun gak?! Lu mau ngapain anjrit!”

“Jangan!”

“Jangan dicium jorok!”

“Lu diem aja bisa gak sih, Le? Mau gue cekek apa biar diem?”

Tentu saja tidak! Katakan pada Chenle siapa yang mau dicekek?!

“Jen! Ahhhh...”

Chenle merasakan hangat pada penisnya. Ia tak mau percaya namun ia yakin sekali jika kini Jeno mengulum penisnya.

“Angh..... Jen.... Udahan...”

“Gue kira penis lu kecil,” Jeno berhenti sebentar dari kegiatannya mengulum penis Chenle, “taunya pas lah di mulut gue.”

“Jenoh... Hng...”

“Iya gitu, desah, Le. Sebut nama gue yang banyak.”

Chenle merasakan penisnya penuh dan membesar, ia merasakan juga jika penisnya mengeras. Bohong jika Chenle tidak tau apa artinya karena sesekali ia pernah bermimpi yang ketika bangun penisnya sudah berdiri tegak.

“Jennnn ahh.... Penuhhh...”

Jeno tak berhenti memberinya blow job sampai tiba waktunya Chenle mencapai putihnya.

“Ahhhhh.... “

Jeno telah selesai dibawah sana. Ia bangkit dan melihat Chenle dengan wajah lelahnya setelah mencapai putihnya. Ia tersenyum dan mengusap kening Chenle yang berkeringat. Mengecup kening Chenle beberapa kali dan mencium kembali bibirnya.

Ciuman yang ini terasa lebih dalam ketika tanpa sadar Chenle mengalungkan tangannya pada Jeno. Jeno tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini jadi ia dengan apik memainkan lidahnya dengan Chenle. Bergelut dengan lidah Chenle seperti sedang berebut permen.

Setelah menghentikan ciumannya, Jeno melihat benang Saliva antara dirinya dan Chenle. Membuat ia memuji Chenle tak henti-henti.

“Chenle cantik, selalu cantik.”

Chenle tau ia sedang diperkosa karena ia tak setuju namun mengapa rasanya begitu hangat pada dadanya ketika Jeno memujinya seperti itu?

Jeno merasa sudah tak perlu memegangi tangan Chenle sehingga kini ia sedikit lebih leluasa. Ia melebarkan kembali kaki Chenle. Tujuannya kini bukan penisnya melainkan lubang yang sejak awal menggodanya.

“Jen...”

“Sshhhh...”

Jeno meremas bokong Chenle selagi ia mengamati lubang yang seakan-akan mengajaknya masuk.

“Hnggg... Jangan di remes...”

Jeno semakin gencar meremasnya. Lalu kepalanya turun. Lidahnya menjulur. Jeno akan memainkan lubang itu. Lubang yang akan memberinya kenikmatan.

“Shhh... Jenn....” Chenle mendesah ketika ia merasakan tiupan pada lubangnya.

Jeno dengan cekatan memainkan lidahnya disana. Menusuk-nusuk sedikit membuat lubang Chenle bereaksi.

“Jen jangan ditusuk!”

Kini Jeno menggigit kecil ujung lubangnya, menusuknya semakin dalam.

“Hanghhhhh Jen....”

Satu jari Jeno terangkat. Tujuannya tentu saja lubang itu.

Chenle tersentak, merasakan benda asing yang kini masuk ke lubangnya. Jadi Jeno panjang dan berurat, ia merasa seperti jari-jari Jeno sedang menari didalam.

“Jen kenapa dimasukin? Sakit!”

“Ntar gak sakit kok.”

“Hngghhh.. penuh Jen keluarin...”

“Udah ngomong penuh padahal yang masuk baru satu jari, belum kontol gue.”

Jeno menambah jarinya hingga jarinya yang masuk pada Chenle kini dua.

“Jenohhh hnggghh...”

Chenle merasakan jari Jeno bergerak brutal didalam sana. Bergerak menggunting hingga ia tersentak kaget ketika sesuatu didalamnya tersenggol.

“Oh, ini.”

“Apah....” Chenle bertanya kepo.

“Ini?” Jeno kembali menusuk titik itu dengan jarinya membuat Chenle kembali terkejut.

“Hngh.. iya, iya ituhhh... Ahh itu apahh..”

“Kenapa? Enak?”

“Enak—hnggghh....” Chenle tak bisa mengendalikan mulutnya untuk berbohong karena sumpah demi Tuhan ia baru merasakan yang seperti ini.

“Enak, Jen.”

“Tadi katanya gamau? Siapa ya yang bilang gamau?”

“Jen jangan di stop!”

Jeno tersenyum ketika melihat Chenle di atasnya terengah, raut kecewanya jelas sekali terlihat.

“Coba minta sendiri.”

Malu. Chenle benar-benar malu. Ia mempertaruhkan harga dirinya. Bagaimana bisa ia meminta ketika sebelumnya ia menolak keras.

“Le, gamau?”

Jeno mengusap penisnya yang masih terbungkus celana.

“Dibilang gue punya, lu gak liat?!”

Jeno kembali tertawa.

“Maksud gue, lubang lu gamau dimasukin ini?”

“Hah emang muat?” Chenle bertanya karena ia memang tidak tau.

Jeno sempat kaget karena Chenle bertanya seperti itu. Maksudnya, bagaimana bisa ia tidak tau. Jeno tak pernah berfikir Chenle sepolos ini. “Muat lah, sini kita cobain.”

Chenle merapatkan kembali kakinya.

“Gak! Gamau. Gue mau pulang, Jen. Celana gue mana?”

“Gak bisa, lu gabisa biarin punya gue tegang gini.” Jeno mengeluarkan miliknya.

Chenle terperangah karena hampir tidak percaya dengan ukurannya, lalu urat itu, dan tegang. Chenle menutup wajahnya yang kembali memerah karena ia tidak tahu mengapa ia merasa seperti ini.

“Lu kayaknya suka?” Jeno menaikkan alisnya jahil.

“Sok tau bangsat!” Chenle masih menutup wajahnya malu.

“Coba pegang, nih.”

“Apasi gamau!”

“Pegang, Chenle.”

“Gak!”

“Zhong Chenle.”

Chenle merasa namanya biasa saja, ia tidak merasa itu menakutkan namun mengapa seketika ia menuruti keinginan Jeno.

Ia mengulurkan tangannya perlahan. Masih dengan mata tertutup ia meraih milik Jeno.

“Remes sama kocok” Perintah Jeno.

“Gimana anjrit gue gatau?”

“Makanya diliat Chenle, lu nutup mata gitu mana keliatan.”

Chenle membuka matanya perlahan. Yang ia dapati adalah wajah menggoda Jeno. Dengan perlahan ia meremas milik Jeno. Dengan takut-takut ia memerhatikan wajah Jeno yang kini menggeram kecil. Matanya terkadang terbuka namun seringnya menutup. Halisnya menyatu dengan sempurna. Se-enak itukah? Dengan bersemangat Chenle menambah tempo kocokannya.

“Gini?”

“Hngh... Iya gitu...”

“Lu kenapa deh?” Chenle ngeri melihat Jeno seperti ini.

“Terusin aja.”

Chenle dengan semangat mengocok penis milik Jeno. Lalu tanpa permisi Jeno mendorong penisnya menuju wajah Chenle, membuat Chenle kaget dengan sempurna.

“Apa?!” Tanya Chenle bingung.

“Kulum. Masukin ke mulut.”

“Ewh.. gak!”

“Masukin!”

“Gamau, Jen.”

“Masukin, Chenle!”

Jeno memaksa Chenle membuka mulutnya dan dengan sekaligus memasukan penisnya.

Dengan ukurannya yang besar tentu saja Chenle tersedak.

“Sakit Jen... Keluarin.”

Jeno malah memaju mundurkan pinggulnya, membuat penisnya mentok pada tenggorokan Chenle.

“Rileks aja, coba di kulum kayak permen.”

Chenle ingin mengeluh namun ia tak bisa apa-apa maka ia hanya menuruti apa yang Jeno mau.

“Hngh iya, gitu.”

“Ahhhngg... Iya, Le, abisin aja.”

Bagai sengatan listrik, setelah mendengar Jeno mendesah dengan namanya ia malah bersemangat.

“Ahhhh.. mulut lu enak banget kayak lonte.”

“Hngghhh lu sering bj ya?”

Chenle terus saja mengulum penis Jeno. Memainkan lidahnya pada ujung penisnya lalu memasukkan kembali pada mulutnya, terus seperti itu hingga ia merasa penis Jeno semakin membesar.

“Lee... HHhh.. bentar lagi keluar...”

Mulutnya pegal, air liurnya menetes keluar dari mulutnya. Jeno melihat Chenle seperti itu semakin berhasrat. Chenle sangat cantik sekarang.

“Aaahhhhnnggghhh....”

Hingga pelepasannya datang, ia masih menatap Chenle yang berusaha menerima tembakan spermanya.

“Telen.”

Sejujurnya Chenle merasa jorok namun dengan terpaksa ia menelan sperma Jeno yang, wah.... Chenle merasa mulutnya akan meledak.

Setelah Jeno cum, ia kembali menunduk, meremas bokong Chenle dengan brutal.

“Hhhh Jen, udahan...”

“Gabisa, gue belum masuk.”

Jeno melebarkan kembali kaki Chenle, membuat lubangnya terlihat. Tangannya kembali menerobos pertahanan lubang itu diiringi dengan Chenle yang mendesah keras.

“Sakithhh... Hnggg tapi enak, Jen...”

“Enak, Le?”

“Iyah...”

“Ini enak?” Jeno kembali menusuk prostat Chenle, membuat Chenle menggelinjang.

“Iyah... Iya ituhhh hngg lagi, Jen.”

Chenle tak henti-henti meramalkan nama Jeno bak mantra. Seperti sihir, Jeno semakin semangat mengobrak-abrik lubang Chenle.

“Gue masuk, ya?”

Chenle terdiam sebentar. Ia memikirkan kemungkinan kemungkinan yang terjadi.

“Gue gamau pun lu tetep masuk, kan?”

Jeno mengangguk mengiyakan. Siapa juga yang akan melepaskan hak seperti ini ketika kamu sudah mendapatkannya didepan matamu?

“Yaudah. Tapi pelan-pelan, ini pertama buat gue.”

Jeno mengangguk setuju. Jeno tak mau menyakiti Chenle. Tadi, obsesinya sedikit membutakannya namun kini ia ingin memperlakukan Chenle dengan benar, dengan seharusnya.

Jeno menuntun penisnya yang sudah ia beri lube menuju lubang Chenle yang terlihat menggoda. Ketika ujung penisnya menyentuh lubang Chenle, Chenle menggeram kasar. Ia bersumpah ini tidak masuk, lihat saja bahkan ujung penis Jeno lebih besar dari ukuran lubangnya.


Selanjutnya yang Zale dapatkan adalah hari-hari dipenuhi dengan Noel.

Noel yang menyebalkan.

Noel yang selalu mengikutinya.

Noel yang menggangunya dan semua jadwal teratur Zale seperti ia yang akan ke Hospital Wings, atau ke perpustakaan, atau ke menara cahaya, atau kemanapun ia pergi.

Belum lagi paper plane beragam warna yang selalu ia temui di manapun.

Di depan kamarnya.

Di perpustakaan.

Di selipan buku tebal yang ia baca.

Di depan pintu Hospital Wings.

Dan tentu saja di setiap kelas yang ia hadiri yang mana Zale sangat yakin adalah ulah dari Noel.

Ah bahkan memikirkan namanya saja membuatnya ngeri jika tiba-tiba Noel sudah berada dihadapannya, ia seperti hantu (selalu berkeliaran).

Kebetulan hari ini adalah jadwalnya untuk kelas mantra. Maka ia bergegas menuju kelasnya sebelum pemuda berambut pirang itu tiba-tiba berjalan disampingnya. Menyengir tak bersalah sembari menyugar rambut kakunya.

“Selamat pagi, Zale. Kau sangat bersemangat sampai aku tak bisa menemuimu ketika sarapan.”

Respon Zale akan selalu sama yaitu mengabaikannya dan berjalan lebih cepat demi menghindari Noel.

Noel yang keras kepala tentu saja akan melebarkan langkahnya agar kembali sejajar.

“Apakah hari ini kau ada jadwal ke Hospital Wings?” Noel kembali membuka suara.

“Bukan urusanmu.”

Noel hanya terkekeh. Ia sudah biasa mendapat respon seperti ini dari Zale dan respon seperti inilah yang tanpa sadar membuatnya semakin senang bersama Zale.

“Sayang sekali hari ini aku kelas ilmu hitam jadi kita tidak bisa duduk bersama.” Noel menghembuskan nafasnya tanda kecewa dan sedih sedangkan Zale mengernyitkan dahinya bingung. Justru ia senang tidak harus bersinggungan dengan Noel.

“Hari ini paper plane nya berwarna biru. Artinya semangat. Jadi, semangat bertemu profesor Zale, aku pergi duluan karena kau tau kelas ilmu hitam sangat membenci orang terlambat.”

Noel menaruh paper plane berwarna biru yang ia maksud ke telapak tangan kanan Zale sebelum berjalan cepat meninggalkannya di perempatan koridor yang tak lama punggungnya ditelan kejauhan.

Zale berdiam sebentar, memandangi paper plane yang ada ditangannya. Noel selalu membuat paper plane berbeda warna setiap harinya dan hari ini adalah biru. Ia meremasnya acak sebelum memasukannya kedalam saku.

Zale ingat sekali awal dari kebiasaan Noel selalu memberinya paper plane adalah ketika di kelas ramuan yang mana membuatnya menangis hampir gagal dalam ujian akhir. Sejak saat itu entah bagaimana bisa Noel selalu memberinya paper plane, berbeda warna, terkadang ukuran, dan Zale tidak tahu darimana asalnya.

Karena ia bingung untuk apa, seringkali ia membuangnya apalagi ketika awal-awal kebiasaan itu muncul. Namun karena Noel tak berhenti memberinya, ia tanpa sadar merasa harus menyimpannya.

Di kamar asramanya, Zale mempunyai toples bening kaca yang sudah setengah lebih menuju penuh. Isinya semua paper plane dari Noel. Terkadang ia iseng membuka rangkaian paper plane tersebut dan ternyata ia selalu menemukan kata yang tidak bisa ia mengerti. Entah apa maksud Noel lagipula ia tak peduli.

Dan selanjutnya adalah Zale yang akan mengikuti kelas mantra dengan semangat.

Setelah kelas selesai, Zale bergegas kembali ke asrama karena ia merasa tidak enak badan. Ia memasuki kamarnya sendiri—yang seharusnya di isi oleh dua orang— dengan lunglai.

Tubuhnya langsung terhuyung menuju kasur tanpa sempat ia melepaskan seragam Hogwarts dan jubah slytherin nya. Matanya dengan cepat tertutup dan suhu tubuhnya naik. Zale hampir hilang kesadaran sebelum ia memaksa dirinya untuk tidur. Ia rasa ia perlu untuk beristirahat.


Noel tidak bisa menemukan Zale dimanapun. Zale tidak mempunyai teman jadi ia tidak bisa bertanya pada siapa-siapa. Bahkan kalaupun Zale diculik oleh penyihir jahat atau tak sengaja bertemu Dementor ia yakin orang-orang tak akan peduli. Itu yang membuatnya semakin khawatir.

Satu ingatannya muncul tentang pria berambut hitam legam dari asrama Gryffindor. Maka dengan cepat ia mencarinya.


“Aku pun tak bisa menemukannya, Noel.”

“Apakah kau tau ia akan kemana?”

Jamie menggeleng.

“Tidak. Dia sulit ditebak. Namun jika tidak di Hospital Wings, maka di perpustakaan, jika tetap tidak ada coba ke menara cahaya, jika memang tidak ada dimanapun mungkin ia di asrama? Dia bisa dimanapun tapi ia bukan tipe orang yang akan kemana-kemana, dia tidak serajin itu.”

“Baiklah terimakasih. Apa aku perlu mengecek semua tempat yang sudah kau sebutkan?”

Jamie berfikir sebentar. “Aku sudah mencarinya untuk makan siang sebelumnya namun aku tidak menemukannya, tapi coba kau cek lagi siapa tau kali ini ada, jika sama sekali tidak ada, aku tidak bisa membantu lebih. Aku juga sangat mengkhawatirkannya tapi aku sedang ditugaskan keluar oleh profesor. Aku sangat meminta maaf dan berharap kau bisa menemukannya untukku, Noel.”

Noel mengangguk dan membiarkan Jamie pergi untuk menyelesaikan tugasnya. Selanjutnya dengan cepat ia mencari keberadaan Zale yang sebelumnya sudah Jamie jelaskan.


Noel tetap tidak bisa menemukan Zale. Dengan menyerah ia pulang ke asrama.

Ruang rekreasi asrama slytherin selalu terlihat ramai, apalagi jika sudah menjelang waktu siswa pulang pembelajaran, seperti saat ini.

Semua orang yang berpapasan dengan Noel tak segan untuk menyapanya karena Noel memang memiliki banyak teman, belum lagi dia adalah seeker dari slytherin. Jadi besar kemungkinannya semua penghuni Hogwarts mengenalnya.

“Noel apakah kau sendiri? Mengapa tidak dengan si pirang yang pendiam itu?”

Betty Rivera, keeper dari slytherin berpapasan dengannya di tangga menuju lantai dua.

“Apakah kau melihatnya Betty? Aku sedang mencarinya dari siang namun belum ketemu.”

“Kudengar ia tak keluar kamar sejak pelajaran terakhirnya di sekolah, mungkin masih ada di kamar. Ohya, boleh permisi sebentar aku mau lewat.”

Seseorang yang terhalang jalannya oleh Betty dan Noel menyahut tanpa diminta. Setelah diberi jalan, ia berlalu begitu saja. Dan merasa mendapat pencerahan Noel bergegas menuju lantai dua sayap kiri yang mana adalah kamar Zale.

Dengan terburu-buru ia mengetuk pintu kayu didepannya.

Beberapa kali ketukan tak membuahkan hasil hingga ia nekat menggedor pintu itu.

Suaranya bising, tapi siapa peduli pada Noel sekarang? Semua orang tak mau mengurusi hal yang bukan urusannya kan?

Lagi, Noel menggedor pintu dengan brutal sampai akhirnya tubuh semampai lelaki berambut pirang itu keluar.

Tubuhnya muram, hawanya hangat, rambutnya acak-acakan. Matanya memerah lalu menatap Noel dengan sayu.

“Zale? Kau kenapa?”

Zale hanya menggeleng sebagai jawaban.

Noel tanpa bisa dicegah segera memasuki kamar Zale lalu menarik tangan hangat itu mendekat, membimbingnya pelan untuk kembali ke kasur.

Dengan cekatan ia kembali membaringkan tubuh lemah itu disana.

“Aku mencarimu kemana-mana Zale mengapa tidak bilang jika kau sakit?”

Zale menghela nafasnya panjang kemudian menjawab dengan pelan, “bagaimana bisa aku mengatakannya sedangkan bangun dari sini saja sulit?”

Ah benar, Noel tak seharusnya marah-marah seperti ini. Ia kelewat panik.

“Apa kau sudah makan?”

Zale menggeleng sebagai jawaban.

“Dari siang?”

Kini ia mengangguk.

Sebentar lagi waktu makan malam namun dengan keadaan seperti ini tidak mungkin Zale ikut.

“Aku ambil makan di dapur lalu nanti kembali, kau hanya perlu diam di kasur dan beristirahat, oke?”

Zale mengernyit bingung.

“Tidak perlu Noel aku bisa sendiri, nanti aku akan meminta tolong Jamie—

—Jamie tidak ada. Dia sedang tugas diluar dan akan pulang besok pagi.”

Noel memerhatikan Zale yang tidak merespon lebih.

“Aku akan ambilkan makan dan kau hanya perlu diam, apa kau mengerti Zale?”

“Ya.”

“Aku tinggal kalau begitu.”

Zale memalingkan wajahnya sebagai respon. Jujur ia bingung harus merespon seperti apa. Baru kali ini ada seseorang yang seperti ini padanya.

Noel beranjak dengan cepat, meninggalkan Zale sendiri dengan suara pintu tertutup sebagai tanda ia sudah keluar.

Setelah kepergian Noel, Zale kembali mengambil nafas panjang.

Benar, rasanya sudah lama ia tidak memiliki seseorang seperti ini.

Terakhir kali teman sekamarnya pulang dan pindah karena ia tidak mau meneruskan bakatnya, hanya dia satu-satunya yang memiliki kekuatan sihir, keluarganya adalah muggle. Jadi mungkin karenanya ia merasa berbeda dengan keluarganya dan memutuskan tak kembali.

Zale merindukannya. Dia adalah teman yang baik.

Setelahnya, karena Zale tidak terlalu suka berkenalan dan harus mengobrol dengan orang lain, maka ia memutuskan semuanya sendiri sampai akhirnya ia bertemu Jamie di perpustakaan. Sejak itu ia dan Jamie dekat.

Ah, Zale ternyata merindukan punya teman.


Noel sudah kembali membawa dua piring untuk makan malah dirinya dan Zale. Tak lupa ia membawa air minum dan ramuan dari madam Pomfrey, ia sempat mampir ke Hospital Wings untuk meminta ramuan.

Ketika ia datang tentu saja madam Pomfrey panik dan khawatir mengenai keadaan Zale namun ia menjelaskan dengan tenang sehingga madam Pomfrey tidak ada keinginan lebih untuk menerobos asrama Slytherin.

Kini Noel duduk bersila, mengambil sedikit ruang pada kasur Zale, mengacungkan sendoknya yang sudah berisi nasi.

“Stop Noel aku bisa sendiri.” Zale mendengus malas.

“Kau sakit, tanganmu lemas, lihat ini—” Noel mengangkat tangan Zale yang tanpa tenaga segera jatuh setelah ia lepas. “—bahkan terangkat saja ia tidak bisa, ia jatuh, lihat!”

Zale semakin muram. “Aku bisa sendiri, hanya beri aku waktu menyesuaikan.”

“Tidak mau?”

“Noel kalau begitu aku tidak akan makan.”

“Aku akan memaksamu membuka mulutmu.”

“Jika itu terjadi maka kita akan berhenti bertemu.”

Noel tanpa disangka berseru semangat.

“Apakah itu artinya kau tak akan menghindariku lagi?”

“Bukan seperti itu—”

“Lalu seperti apa?”

“Maksudku—”

“Maksudmu kita akan menghadiri kelas secara bersama kan? Aku menunggumu dan kau akan menungguku? Lalu kita pulang bersama? Membaca buku bersama? Aku akan menemani eksperimen ramuanmu, atau kita makan bersama dan kau tak akan menghindar, iya kan?”

“Noel berhenti memotong ucapan ku—”

“Jika seperti itu aku sepakat. Makanlah yang banyak Zale, kau harus segera sembuh kita akan mengadakan pertandingan Quidditch dan kau akan ikut.”

“Noel—”

“Ini sendok mu.”

Zale bergumam kesal.

“Zale, sendok mu?” Tangan Noel yang sedang memegang sendok menunggu untuk disambut.

Dengan kesal Zale merebut sendok itu dan dengan segera menyendok makan malamnya. Sedangkan Noel hanya tersenyum memerhatikan.

“Makan dengan lahap dan perlahan, Zale. Jangan sampai tersedak.”

Zale tak merespon seperti biasanya.

Setelah memastikan Zale memakan makan malamnya, ia mengambil piringnya dan ikut makan.

“Kau kenapa begitu peduli padaku, maksudku, kenapa kau selalu mengikutiku atau menggangguku bahkan kau repot-repot mengambil makan untukku.”

Noel diam sejenak. Kunyahannya berhenti lalu menatap Zale dalam.

“Karena aku menyukaimu?”

Uhuk!!

Selanjutnya adalah Zale yang tersedak dan Noel yang panik segera bangkit.

“Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak tersedak Zale?!” Noel membantu Zale menepuk punggung atas atau leher belakang atau entahlah Noel panik sekarang.

“Ini karenamu Noel!” Zale menjawab kesal masih dengan terbatuk.


Setelah berpamitan pada profesor Iridiana, Zale bergegas menghampiri Jamie yang kebetulan sedang ada di kelas ilmu hitam.

Karena waktu untuk kelas mereka sudah selesai, Zale tanpa sengaja menemui Jamie tepat pada pintu keluar lorong pembatas kelas ilmu hitam dengan kelas Pemeliharaan Satwa Gaib. Jamie menuju kelas selanjutnya.

“Jamie Jamie!” Zale berteriak heboh.

Jamie yang menyadari kehadiran Zale hanya tersenyum. Tidak biasanya Zale akan heboh seperti ini karena dia termasuk penyendiri yang tidak suka mencolok.

“Ada apa, Zale?”

“Kau tau? Aku senang sekali!”

Jamie meneruskan langkahnya menuju kelas Pemeliharaan Satwa Gaib diikuti oleh Zale. Pandangannya tak lepas dari Zale yang sedang semangat.

“Apa yang membuatmu senang seperti ini, Zale?”

“Aku berhasil pada kelas ramuan, Jamie! Kau tau? Kelas terakhir profesor Iridiana yang sulit itu dan aku akan naik tingkat lalu aku akan melanjutkan kelas bersama profesor lain lalu lulus dengan nilai bagus lalu mendaftar menjadi ahli ramuan lalu hal-hal baik yang lain. Wahhh! Aku tidak bisa diam saja memikirkannya! Ah! Aku tida sabar.”

Jamie yang mendengar Zale bersemangat hanya tersenyum. Ia turut senang karena ia tau sekali mimpi yang selalu Zale harapkan sedari awal masuk Hogwarts.

“Kau sangat hebat, Zale. Kau tau? Aku selalu mendukungmu. Jadi selalu lakukan yang terbaik, yaaa? Aku harus menjadi orang pertama yang melihatmu dilantik menjadi menteri nanti.”

Zale tersenyum bangga. “Tentu saja kau orangnya Jamie, memang siapa lagi?”

Jamie tertawa mendengar penuturan Zale.

Bel disamping menara cahaya berdentang rusuh. Membuat Zale seketika menghela nafas panjang.

“Kau akan ke kelas kan, Jamie?”

Jamie mengangguk mengiyakan.

“Baiklah, semangat pada kelasmu. Sampaikan salamku pada profesor, ya? kelasku sudah selesai namun aku harus mengerjakan hukumanku.”

“Waw, Zale murid teladan ini mendapatkan hukuman. Mengapa bisa?”

“Tentu saja ulah pengacau yang belum lama aku temui. Kau tau? Noel si menyebalkan.”

Jamie sudah mendengar cerita Noel dari sisi Zale dan ia tak akan bertanya lebih. Sepertinya akan lama mendengarnya kali ini lagi pula kelasnya akan segera dimulai.

“Baiklah kalau begitu aku akan ke kelas, dan kau semangatlah menjalani hukuman. Ini pengalaman pertamamu jadi kerjakan dengan baik, oke?”

Zale hanya memberengut seiring dengan kepergian Jamie.

“Ah, mari kita ikhlas dan kerjakan hukuman dengan semangat!”

“Kau memang harus ikhlas dan hei! Aku tidak menyebalkan.”

Zale kembali terlonjak dengan interupsi seseorang yang lagi-lagi datang tiba-tiba.

“Astaga! Kau hantu atau apa? Selalu berkeliaran. Dan apakah kau menguping semuanya?”

“Aku bukan hantu dan aku tidak menguping, aku hanya tak sengaja mendengar.” Noel membuang wajah ke lain arah.

“Berbicaralah sendiri denganmu yang menyebalkan itu, aku tak peduli.”

“Hei! Tunggu aku! Bukankah kita dihukum berdua?”

Zale tidak peduli dan bergegas meninggalkan Noel.

“Hei! Zale!”

“Zale!”

“Zale si Pirang!”

“Pirang!”

“Arghhh Noellll berhenti memanggilku pirang!”


Zale dan Noel sudah kembali ke kelas untuk membereskan peralatan praktikum tadi. Profesor Iridiana sudah kembali ke ruangannya dan semua penghuni kelas sudah melanjutkan kelas lain dan ada yang kembali ke asrama karena kelasnya sudah selesai. Yang berarti kini hanya ada Noel dan Zale saja.

“Tapi aku tidak percaya jika kau ternyata sudah tingkat dua. Maksudku, mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari kehadiranmu? Bukankah seharusnya kita bertemu minimal sekali? Kita ada di kelas yang sama dan satu asrama, ini terlalu aneh untukku.” Noel terus saja mengoceh sembari tangannya menumpuk beberapa wadah dan bahan sisa seperti botol light potion, kelopak bunga sanyu yang masih tersisa dan lainnya.

Zale tidak menanggapi dan memang tidak berniat menanggapi. Ia serius membersihkan kelas. Membersihkan alat-alat lalu menatanya kembali pada lemari peralatan.

“Kenapa kau tidak suka Quidditch, Zale? Bukankah itu pertandingan yang sangat seru.”

Zale diam tak menjawab.

“Kau sekamar dengan siapa sih, sampai kau jarang terlihat bahkan di asrama sekalipun?”

Zale tetap diam.

“Kau biasanya makan dengan siapa? Kemarin bahkan kau hampir tidak mendapatkan tempat duduk.”

“Zale?”

Zale hanya berdeham.

Noel yang sangat tidak bisa diabaikan menerbangkan beberapa paper plane yang sebelumnya mengacaukan ujian Zale. Dengan mantra yang ia dapat dari kelas maupun buku yang ia baca, beberapa paper plane tersebut terbang dan mengelilingi Zale.

Paper plane yang kini mengelilingi Zale tidak hanya diam melayang melainkan juga menabrak pipi dan hidung Zale dengan iseng.

“Argh Noel bisa tidak kau hanya menyelesaikan pekerjaanmu dan diam?”

“Tidak?”

Zale yang kesal mengambil satu paper plane, meremas paper plane tersebut dan menjadikannya gumpalan kertas biasa lalu berbalik dan melemparkannya pada Noel.

“Kubilang stop menggangguku Noel!”

Noel menghindar dengan cepat disertai tawanya yang menguar.

“Ah bagaimana ini Zale, sepertinya aku tidak bisa berhenti mengganggumu mulai sekarang?”

Zale yang memang sudah selesai membereskan pekerjaannya menggeram kesal lalu berlalu meninggalkan Noel yang ikut bergegas menyusul Zale.

“Berhenti mengikutiku kubilang?”

“Siapa yang mengikuti mu? Aku akan kembali ke asrama.”

Dengan cepat Zale berbelok menuju perpustakaan.

Dan dengan menyebalkan Noel ikut berbalik.

“Sepertinya akan menyenangkan jika membaca buku, bukan?”

Zale tidak tau harus bereaksi seperti apalagi. Ia ingin sekali menjambak rambut pirang Noel hingga si empunya tersungkur atau terjatuh ia tak peduli. Noel sangat menyebalkan!


Setelah berpamitan pada profesor Iridiana, Zale bergegas menghampiri Jamie yang kebetulan sedang ada di kelas ilmu hitam.

Karena waktu untuk kelas mereka sudah selesai, Zale tanpa sengaja menemui Jamie tepat pada pintu keluar lorong pembatas kelas ilmu hitam dengan kelas Pemeliharaan Satwa Gaib. Jamie menuju kelas selanjutnya.

“Jamie Jamie!” Zale berteriak heboh.

Jamie yang menyadari kehadiran Zale hanya tersenyum. Tidak biasanya Zale akan heboh seperti ini karena dia termasuk penyendiri yang tidak suka mencolok.

“Ada apa, Zale?”

“Kau tau? Aku senang sekali!”

Jamie meneruskan langkahnya menuju kelas Pemeliharaan Satwa Gaib diikuti oleh Zale. Pandangannya tak lepas dari Zale yang sedang semangat.

“Apa yang membuatmu senang seperti ini, Zale?”

“Aku berhasil pada kelas ramuan, Jamie! Kau tau? Kelas terakhir profesor Iridiana yang sulit itu dan aku akan naik tingkat lalu aku akan melanjutkan kelas bersama profesor lain lalu lulus dengan nilai bagus lalu mendaftar menjadi ahli ramuan lalu hal-hal baik yang lain. Wahhh! Aku tidak bisa diam saja memikirkannya! Ah! Aku tida sabar.”

Jamie yang mendengar Zale bersemangat hanya tersenyum. Ia turut senang karena ia tau sekali mimpi yang selalu Zale harapkan sedari awal masuk Hogwarts.

“Kau sangat hebat, Zale. Kau tau? Aku selalu mendukungmu. Jadi selalu lakukan yang terbaik, yaaa? Aku harus menjadi orang pertama yang melihatmu dilantik menjadi menteri nanti.”

Zale tersenyum bangga. “Tentu saja kau orangnya Jamie, memang siapa lagi?”

Jamie tertawa mendengar penuturan Zale.

Bel disamping menara cahaya berdentang rusuh. Membuat Zale seketika menghela nafas panjang.

“Kau akan ke kelas kan, Jamie?”

Jamie mengangguk mengiyakan.

“Baiklah, semangat pada kelasmu. Sampaikan salamku pada profesor, ya? kelasku sudah selesai namun aku harus mengerjakan hukumanku.”

“Waw, Zale murid teladan ini mendapatkan hukuman. Mengapa bisa?”

“Tentu saja ulah pengacau yang belum lama aku temui. Kau tau? Noel si menyebalkan.”

Jamie sudah mendengar cerita Noel dari sisi Zale dan ia tak akan bertanya lebih. Sepertinya akan lama mendengarnya kali ini lagi pula kelasnya akan segera dimulai.

“Baiklah kalau begitu aku akan ke kelas, dan kau semangatlah menjalani hukuman. Ini pengalaman pertamamu jadi kerjakan dengan baik, oke?”

Zale hanya memberengut seiring dengan kepergian Jamie.

“Ah, mari kita ikhlas dan kerjakan hukuman dengan semangat!”

“Kau memang harus ikhlas dan hei! Aku tidak menyebalkan.”

Zale kembali terlonjak dengan interupsi seseorang yang lagi-lagi datang tiba-tiba.

“Astaga! Kau hantu atau apa? Selalu berkeliaran. Dan apakah kau menguping semuanya?”

“Aku bukan hantu dan aku tidak menguping, aku hanya tak sengaja mendengar.” Noel membuang wajah ke lain arah.

“Berbicaralah sendiri denganmu yang menyebalkan itu, aku tak peduli.”

“Hei! Tunggu aku! Bukankah kita dihukum berdua?”

Zale tidak peduli dan bergegas meninggalkan Noel.

“Hei! Zale!”

“Zale!”

“Zale si Pirang!”

“Pirang!”

“Arghhh Noellll berhenti memanggilku pirang!”


Zale dan Noel sudah kembali ke kelas untuk membereskan peralatan praktikum tadi. Profesor Iridiana sudah kembali ke ruangannya dan semua penghuni kelas sudah melanjutkan kelas lain dan ada yang kembali ke asrama karena kelasnya sudah selesai. Yang berarti kini hanya ada Noel dan Zale saja.

“Tapi aku tidak percaya jika kau ternyata sudah tingkat dua. Maksudku, mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari kehadiranmu? Bukankah seharusnya kita bertemu minimal sekali? Kita ada di kelas yang sama dan satu asrama, ini terlalu aneh untukku.” Noel terus saja mengoceh sembari tangannya menumpuk beberapa wadah dan bahan sisa seperti botol light potion, kelopak bunga sanyu yang masih tersisa dan lainnya.

Zale tidak menanggapi dan memang tidak berniat menanggapi. Ia serius membersihkan kelas. Membersihkan alat-alat lalu menatanya kembali pada lemari peralatan.

“Kenapa kau tidak suka Quidditch, Zale? Bukankah itu pertandingan yang sangat seru.”

Zale diam tak menjawab.

“Kau sekamar dengan siapa sih, sampai kau jarang terlihat bahkan di asrama sekalipun?”

Zale tetap diam.

“Kau biasanya makan dengan siapa? Kemarin bahkan kau hampir tidak mendapatkan tempat duduk.”

“Zale?”

Zale hanya berdeham.

Noel yang sangat tidak bisa diabaikan menerbangkan beberapa paper plane yang sebelumnya mengacaukan ujian Zale. Dengan mantra yang ia dapat dari kelas maupun buku yang ia baca, beberapa paper plane tersebut terbang dan mengelilingi Zale.

Paper plane yang kini mengelilingi Zale tidak hanya diam melayang melainkan juga menabrak pipi dan hidung Zale dengan iseng.

“Argh Noel bisa tidak kau hanya menyelesaikan pekerjaanmu dan diam?”

“Tidak?”

Zale yang kesal mengambil satu paper plane, meremas paper plane tersebut dan menjadikannya gumpalan kertas biasa lalu berbalik dan melemparkannya pada Noel.

“Kubilang stop menggangguku Noel!”

Noel menghindar dengan cepat disertai tawanya yang menguar.

“Ah bagaimana ini Zale, sepertinya aku tidak bisa berhenti mengganggumu mulai sekarang?”

Zale yang memang sudah selesai membereskan pekerjaannya menggeram kesal lalu berlalu meninggalkan Noel yang ikut bergegas menyusul Zale.

“Berhenti mengikutiku kubilang?”

“Siapa yang mengikuti mu? Aku akan kembali ke asrama.”

Dengan cepat Zale berbelok menuju perpustakaan.

Dan dengan menyebalkan Noel ikut berbalik.

“Sepertinya akan menyenangkan jika membaca buku, bukan?”

Zale tidak tau harus bereaksi seperti apalagi. Ia ingin sekali menjambak rambut pirang Noel hingga si empunya tersungkur atau terjatuh ia tak peduli. Noel sangat menyebalkan!


Setelah berpamitan pada profesor Iridiana, Zale bergegas menghampiri Jamie yang kebetulan sedang ada di kelas ilmu hitam.

Karena waktu untuk kelas mereka sudah selesai, Zale tanpa sengaja menemui Jamie tepat pada pintu keluar lorong pembatas kelas ilmu hitam dengan kelas Pemeliharaan Satwa Gaib. Jamie menuju kelas selanjutnya.

“Jamie Jamie!” Zale berteriak heboh.

Jamie yang menyadari kehadiran Zale hanya tersenyum. Tidak biasanya Zale akan heboh seperti ini karena dia termasuk penyendiri yang tidak suka mencolok.

“Ada apa, Zale?”

“Kau tau? Aku senang sekali!”

Jamie meneruskan langkahnya menuju kelas Pemeliharaan Satwa Gaib diikuti oleh Zale. Pandangannya tak lepas dari Zale yang sedang semangat.

“Apa yang membuatmu senang seperti ini, Zale?”

“Aku berhasil pada kelas ramuan, Jamie! Kau tau? Kelas terakhir profesor Iridiana yang sulit itu dan aku akan naik tingkat lalu aku akan melanjutkan kelas bersama profesor lain lalu lulus dengan nilai bagus lalu mendaftar menjadi ahli ramuan lalu hal-hal baik yang lain. Wahhh! Aku tidak bisa diam saja memikirkannya! Ah! Aku tida sabar.”

Jamie yang mendengar Zale bersemangat hanya tersenyum. Ia turut senang karena ia tau sekali mimpi yang selalu Zale harapkan sedari awal masuk Hogwarts.

“Kau sangat hebat, Zale. Kau tau? Aku selalu mendukungmu. Jadi selalu lakukan yang terbaik, yaaa? Aku harus menjadi orang pertama yang melihatmu dilantik menjadi menteri nanti.”

Zale tersenyum bangga. “Tentu saja kau orangnya Jamie, memang siapa lagi?”

Jamie tertawa mendengar penuturan Zale.

Bel disamping menara cahaya berdentang rusuh. Membuat Zale seketika menghela nafas panjang.

“Kau akan ke kelas kan, Jamie?”

Jamie mengangguk mengiyakan.

“Baiklah, semangat pada kelasmu. Sampaikan salamku pada profesor, ya? kelasku sudah selesai namun aku harus mengerjakan hukumanku.”

“Waw, Zale murid teladan ini mendapatkan hukuman. Mengapa bisa?”

“Tentu saja ulah pengacau yang belum lama aku temui. Kau tau? Noel si menyebalkan.”

Jamie sudah mendengar cerita Noel dari sisi Zale dan ia tak akan bertanya lebih. Sepertinya akan lama mendengarnya kali ini lagi pula kelasnya akan segera dimulai.

“Baiklah kalau begitu aku akan ke kelas, dan kau semangatlah menjalani hukuman. Ini pengalaman pertamamu jadi kerjakan dengan baik, oke?”

Zale hanya memberengut seiring dengan kepergian Jamie.

“Ah, mari kita ikhlas dan kerjakan hukum dengan semangat!”

“Kau memang harus ikhlas dan hei! Aku tidak menyebalkan.”

Zale kembali terlonjak dengan interupsi seseorang yang lagi-lagi datang tiba-tiba.

“Astaga! Kau hantu atau apa? Selalu berkeliaran. Dan apakah kau menguping semuanya?”

“Aku bukan hantu dan aku tidak menguping, aku hanya tak sengaja mendengar.” Noel membuang wajah ke lain arah.

“Berbicaralah sendiri denganmu yang menyebalkan itu, aku tak peduli.”

“Hei! Tunggu aku! Bukankah kita dihukum berdua?”

Zale tidak peduli dan bergegas meninggalkan Noel.

“Hei! Zale!”

“Zale!”

“Zale si Pirang!”

“Pirang!”

“Arghhh Noellll berhenti memanggilku pirang!”


Zale dan Noel sudah kembali ke kelas untuk membereskan peralatan praktikum tadi. Profesor Iridiana sudah kembali ke ruangannya dan semua penghuni kelas sudah melanjutkan kelas lain dan ada yang kembali ke asrama karena kelasnya sudah selesai. Yang berarti kini hanya ada Noel dan Zale saja.

“Tapi aku tidak percaya jika kau ternyata sudah tingkat dua. Maksudku, mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari kehadiranmu? Bukankah seharusnya kita bertemu minimal sekali? Kita ada di kelas yang sama dan satu asrama, ini terlalu aneh untukku.” Noel terus saja mengoceh sembari tangannya menumpuk beberapa wadah dan bahan sisa seperti botol light potion, kelopak bunga sanyu yang masih tersisa dan lainnya.

Zale tidak menanggapi dan memang tidak berniat menanggapi. Ia serius membersihkan kelas. Membersihkan alat-alat lalu menatanya kembali pada lemari peralatan.

“Kenapa kau tidak suka Quidditch, Zale? Bukankah itu pertandingan yang sangat seru.”

Zale diam tak menjawab.

“Kau sekamar dengan siapa sih, sampai kau jarang terlihat bahkan di asrama sekalipun?”

Zale tetap diam.

“Kau biasanya makan dengan siapa? Kemarin bahkan kau hampir tidak mendapatkan tempat duduk.”

“Zale?”

Zale hanya berdeham.

Noel yang sangat tidak bisa diabaikan menerbangkan beberapa paper plane yang sebelumnya mengacaukan ujian Zale. Dengan mantra yang ia dapat dari kelas maupun buku yang ia baca, beberapa paper plane tersebut terbang dan mengelilingi Zale.

Paper plane yang kini mengelilingi Zale tidak hanya diam melayang melainkan juga menabrak pipi dan hidung Zale dengan iseng.

“Argh Noel bisa tidak kau hanya menyelesaikan pekerjaanmu dan diam?”

“Tidak?”

Zale yang kesal mengambil satu paper plane, meremas paper plane tersebut dan menjadikannya gumpalan kertas biasa lalu berbalik dan melemparkannya pada Noel.

“Kubilang stop menggangguku Noel!”

Noel menghindar dengan cepat disertai tawanya yang menguar.

“Ah bagaimana ini Zale, sepertinya aku tidak bisa berhenti mengganggumu mulai sekarang?”

Zale yang memang sudah selesai membereskan pekerjaannya menggeram kesal lalu berlalu meninggalkan Noel yang ikut bergegas menyusul Zale.

“Berhenti mengikutiku kubilang?”

“Siapa yang mengikuti mu? Aku akan kembali ke asrama.”

Dengan cepat Zale berbelok menuju perpustakaan.

Dan dengan menyebalkan Noel ikut berbalik.

“Sepertinya akan menyenangkan jika membaca buku, bukan?”

Zale tidak tau harus bereaksi seperti apalagi. Ia ingin sekali menjambak rambut pirang Noel hingga si empunya tersungkur atau terjatuh ia tak peduli. Noel sangat menyebalkan!


Setelah berpamitan pada profesor Iridiana, Zale bergegas menghampiri Jamie yang kebetulan sedang ada di kelas ilmu hitam.

Karena waktu untuk kelas mereka sudah selesai, Zale tanpa sengaja menemui Jamie tepat pada pintu keluar lorong pembatas kelas ilmu hitam dengan kelas Pemeliharaan Satwa Gaib. Jamie menuju kelas selanjutnya.

“Jamie Jamie!” Zale berteriak heboh.

Jamie yang menyadari kehadiran Zale hanya tersenyum. Tidak biasanya Zale akan heboh seperti ini karena dia termasuk penyendiri yang tidak suka mencolok.

“Ada apa, Zale?”

“Kau tau? Aku senang sekali!”

Jamie meneruskan langkahnya menuju kelas Pemeliharaan Satwa Gaib diikuti oleh Zale. Pandangannya tak lepas dari Zale yang sedang semangat.

“Apa yang membuatmu senang seperti ini, Zale?”

“Aku berhasil pada kelas ramuan, Jamie! Kau tau? Kelas terakhir profesor Iridiana yang sulit itu dan aku akan naik tingkat lalu aku akan melanjutkan kelas bersama profesor lain lalu lulus dengan nilai bagus lalu mendaftar menjadi ahli ramuan lalu hal-hal baik yang lain. Wahhh! Aku tidak bisa diam saja memikirkannya! Ah! Aku tida sabar.”

Jamie yang mendengar Zale bersemangat hanya tersenyum. Ia turut senang karena ia tau sekali mimpi yang selalu Zale harapkan sedari awal masuk Hogwarts.

“Kau sangat hebat, Zale. Kau tau? Aku selalu mendukungmu. Jadi selalu lakukan yang terbaik, yaaa? Aku harus menjadi orang pertama yang melihatmu dilantik menjadi menteri nanti.”

Zale tersenyum bangga. “Tentu saja kau orangnya Jamie, memang siapa lagi?”

Jamie tertawa mendengar penuturan Zale.

Bel disamping menara cahaya berdentang rusuh. Membuat Zale seketika menghela nafas panjang.

“Kau akan ke kelas kan, Jamie?”

Jamie mengangguk mengiyakan.

“Baiklah, semangat pada kelasmu. Sampaikan salamku pada profesor, ya? kelasku sudah selesai namun aku harus mengerjakan hukumanku.”

“Waw, Zale murid teladan ini mendapatkan hukuman. Mengapa bisa?”

“Tentu saja ulah pengacau yang belum lama aku temui. Kau tau? Noel si menyebalkan.”

Jamie sudah mendengar cerita Noel dari sisi Zale dan ia tak akan bertanya lebih. Sepertinya akan lama mendengarnya kali ini lagi pula kelasnya akan segera dimulai.

“Baiklah kalau begitu aku akan ke kelas, dan kau semangatlah menjalani hukuman. Ini pengalaman pertamamu jadi kerjakan dengan baik, oke?”

Zale hanya memberengut seiring dengan kepergian Jamie.

“Ah, mari kita ikhlas dan kerjakan hukum dengan semangat!”

“Kau memang harus ikhlas dan hei! Aku tidak menyebalkan.”

Zale kembali terlonjak dengan interupsi seseorang yang lagi-lagi datang tiba-tiba.

“Astaga! Kau hantu atau apa? Selalu berkeliaran. Dan apakah kau menguping semuanya?”

“Aku bukan hantu dan aku tidak menguping, aku hanya tak sengaja mendengar.” Noel membuang wajah ke lain arah.

“Berbicaralah sendiri denganmu yang menyebalkan itu, aku tak peduli.”

“Hei! Tunggu aku! Bukankah kita dihukum berdua?”

Zale tidak peduli dan bergegas meninggalkan Noel.

“Hei! Zale!”

“Zale!”

“Zale si Pirang!”

“Pirang!”

“Arghhh Noellll berhenti memanggilku pirang!”


Zale dan Noel sudah kembali ke kelas untuk membereskan peralatan praktikum tadi. Profesor Iridiana sudah kembali ke ruangannya dan semua penghuni kelas sudah melanjutkan kelas lain dan ada yang kembali ke asrama karena kelasnya sudah selesai. Yang berarti kini hanya ada Noel dan Zale saja.

“Tapi aku tidak percaya jika kau ternyata sudah tingkat dua. Maksudku, mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari kehadiranmu? Bukankah seharusnya kita bertemu minimal sekali? Kita ada di kelas yang sama dan satu asrama, ini terlalu aneh untukku.” Noel terus saja mengoceh sembari tangannya menumpuk beberapa wadah dan bahan sisa seperti botol light potion, kelopak bunga sanyu yang masih tersisa dan lainnya.

Zale tidak menanggapi dan memang tidak berniat menanggapi. Ia serius membersihkan kelas. Membersihkan alat-alat lalu menatanya kembali pada lemari peralatan.

“Kenapa kau tidak suka Quidditch, Zale? Bukankah itu pertandingan yang sangat seru.”

Zale diam tak menjawab.

“Kau sekamar dengan siapa sih, sampai kau jarang terlihat bahkan di asrama sekalipun?”

Zale tetap diam.

“Kau biasanya makan dengan siapa? Kemarin bahkan kau hampir tidak mendapatkan tempat duduk.”

“Zale?”

Zale hanya berdeham.

Noel yang sangat tidak bisa diabaikan menerbangkan beberapa paper plane yang sebelumnya mengacaukan ujian Zale. Dengan mantra yang ia dapat dari kelas maupun buku yang ia baca, beberapa paper plane tersebut terbang dan mengelilingi Zale.

Paper plane yang kini mengelilingi Zale tidak hanya diam melayang melainkan juga menabrak pipi dan hidung Zale dengan iseng.

“Argh Noel bisa tidak kau hanya menyelesaikan pekerjaanmu dan diam?”

“Tidak?”

Zale yang kesal mengambil satu paper plane, meremas paper plane tersebut dan menjadikannya gumpalan kertas biasa lalu berbalik dan melemparkannya pada Noel.

“Kubilang stop menggangguku Noel!”

Noel menghindar dengan cepat disertai tawanya yang menguar.

“Ah bagaimana ini Zale, sepertinya aku tidak bisa berhenti mengganggumu mulai sekarang?”

Zale yang memang sudah selesai membereskan pekerjaannya menggeram kesal lalu berlalu meninggalkan Noel yang ikut bergegas menyusul Zale.

“Berhenti mengikutiku kubilang?”

“Siapa yang mengikuti mu? Aku akan kembali ke asrama.”

Dengan cepat Zale berbelok menuju perpustakaan.

Dan dengan menyebalkan Noel ikut berbalik.

“Sepertinya akan menyenangkan jika membaca buku, bukan?”

Zale tidak tau harus bereaksi seperti apalagi. Ia ingin sekali menjambak rambut pirang Noel hingga si empunya tersungkur atau terjatuh ia tak peduli. Noel sangat menyebalkan!


Setelah berpamitan pada profesor Iridiana, Zale bergegas menghampiri Jamie yang kebetulan sedang ada di kelas ilmu hitam.

Karena waktu untuk kelas mereka sudah selesai, Zale tanpa sengaja menemui Jamie tepat pada pintu keluar lorong pembatas kelas ilmu hitam dengan kelas Pemeliharaan Satwa Gaib. Jamie menuju kelas selanjutnya.

“Jamie Jamie!” Zale berteriak heboh.

Jamie yang menyadari kehadiran Zale hanya tersenyum. Tidak biasanya Zale akan heboh seperti ini karena dia termasuk penyendiri yang tidak suka mencolok.

“Ada apa, Zale?”

“Kau tau? Aku senang sekali!”

Jamie meneruskan langkahnya menuju kelas Pemeliharaan Satwa Gaib diikuti oleh Zale. Pandangannya tak lepas dari Zale yang sedang semangat.

“Apa yang membuatmu senang seperti ini, Zale?”

“Aku berhasil pada kelas ramuan, Jamie! Kau tau? Kelas terakhir profesor Iridiana yang sulit itu dan aku akan naik tingkat lalu aku akan melanjutkan kelas bersama profesor lain lalu lulus dengan nilai bagus lalu mendaftar menjadi ahli ramuan lalu hal-hal baik yang lain. Wahhh! Aku tidak bisa diam saja memikirkannya! Ah! Aku tida sabar.”

Jamie yang mendengar Zale bersemangat hanya tersenyum. Ia turut senang karena ia tau sekali mimpi yang selalu Zale harapkan sedari awal masuk Hogwarts.

“Kau sangat hebat, Zale. Kau tau? Aku selalu mendukungmu. Jadi selalu lakukan yang terbaik, yaaa? Aku harus menjadi orang pertama yang melihatmu dilantik menjadi menteri nanti.”

Zale tersenyum bangga. “Tentu saja kau orangnya Jamie, memang siapa lagi?”

Jamie tertawa mendengar penuturan Zale.

Bel disamping menara cahaya berdentang rusuh. Membuat Zale seketika menghela nafas panjang.

“Kau akan ke kelas kan, Jamie?”

Jamie mengangguk mengiyakan.

“Baiklah, semangat pada kelasmu. Sampaikan salamku pada profesor, ya? kelasku sudah selesai namun aku harus mengerjakan hukumanku.”

“Waw, Zale murid teladan ini mendapatkan hukuman. Mengapa bisa?”

“Tentu saja ulah pengacau yang belum lama aku temui. Kau tau? Noel si menyebalkan.”

Jamie sudah mendengar cerita Noel dari sisi Zale dan ia tak akan bertanya lebih. Sepertinya akan lama mendengarnya kali ini lagi pula kelasnya akan segera dimulai.

“Baiklah kalau begitu aku akan ke kelas, dan kau semangatlah menjalani hukuman. Ini pengalaman pertamamu jadi kerjakan dengan baik, oke?”

Zale hanya memberengut seiring dengan kepergian Jamie.

“Ah, mari kita ikhlas dan kerjakan hukum dengan semangat!”

“Kau memang harus ikhlas dan hei! Aku tidak menyebalkan.”

Zale kembali terlonjak dengan interupsi seseorang yang lagi-lagi datang tiba-tiba.

“Astaga! Kau hantu atau apa? Selalu berkeliaran. Dan apakah kau menguping semuanya?”

“Aku bukan hantu dan aku tidak menguping, aku hanya tak sengaja mendengar.” Noel membuang wajah ke lain arah.

“Berbicaralah sendiri denganmu yang menyebalkan itu, aku tak peduli.”

“Hei! Tunggu aku! Bukankah kita dihukum berdua?”

Zale tidak peduli dan bergegas meninggalkan Noel.

“Hei! Zale!”

“Zale!”

“Zale si Pirang!”

“Pirang!”

“Arghhh Noellll berhenti memanggilku pirang!”


Khadavi tak pernah berpikir jika mengikuti organisasi bisa serumit ini. Ditambah sebenarnya ia ikut hanya iseng untuk mengisi waktu luang, eh malah kebablasan. Semua waktunya tiba-tiba habis dan ditarik untuk seluruh program kerja yang sudah disusun oleh kabinet periode sekarang.

Sebenarnya Khadavi tidak masalah, ia malah senang, ia berfikir jika akhirnya ia menjadi manusia yang setidaknya berguna. Namun ketika program kerja dan tugas-tugas kuliahnya bertabrakan, Khadavi seketika ingin menghilang dari bumi.

Malam ini, seperti yang sudah terjadwal, adalah malam rapat untuk membahas kelanjutan proker mereka. Masing-masing koor yang ditugaskan, menyetor perkembangan jobdesk dari masing-masing anggota yang ia pimpin, seperti halnya Khadavi.

Davi kebenaran ditugaskan untuk menjadi koor sie acara yang mana konsep acara program kerja kali ini ia yang susun, semua kebutuhan acara ia yang tangani. Davi yang sebelumnya tidak pernah tergabung dalam sie acara tiba-tiba mendapat bagian tersebut, langsung koor pula, apakah ia tidak pusing? Tentu saja.

Belum lagi kakak tingkat mereka yang mengaku sebagai senior hanya bekerja sebagai konsul membuat Davi semakin kewalahan ketika mendapat Kating yang sulit diajak berdiskusi.

Tekanan sana sini membuat semangat organisasinya yang semula menggebu-gebu menjadi letoy tak ada gairah.

“Sumpah jangan tanya aneh-aneh yang, akutu udah pusing banget tau!” Rengekan itu lagi-lagi keluar dari bibir merah jambu milik Davi. Kini ia sedang berkomunikasi dengan kekasihnya melalui voice call WhatsApp, masih ada 30 menit sebelum rapat dimulai dan Haraz berinisiatif menelpon kekasihnya.

“Aku kan ketua divisi proker ini yang, kalau gak nanya-nanya malah aneh, belum lagi pasti kamu presentasi gak lengkap nanti, kan aku harus tau sampai ke detail-detail yang.”

Khadavi mempoutkan bibirnya tanda kesal. Pandangannya fokus pada ppt yang menampilkan perkembangan jobdesk dari sie acara.

“Kalau aku gak bisa jawab gimana?”

Tangannya yang bertengger diatas keyboard mengetik beberapa kata, melengkapi ppt nya yang belum selesai.

“Pasti bisa tau, pacarku kan paling keren, masa jawab pertanyaan presentasi kabinet aja gak bisa?”

Davi memutar bola matanya malas, “EMANG GAK BISA!”

Terdengar kekehan lembut dari sebrang telpon.

“Nanti aku bantu.”

Davi memandang ponselnya berbinar, “gimana?”

“Pake doa.”

Sialan. Dengan kesal Khadavi mematikan saluran telpon. Biarkan saja, ia akan mencuekkan pacarnya itu.

“Aaaaaaa!” Khadavi berteriak sekali.

Menghembuskan nafas kemudian membuka ponselnya menuju fitur pintar.

Dengan cepat tangannya mengetik, “bagaimana cara keluar Hima?”


Zale bergegas menuju kelas ramuan ketika ia mendapati fakta bahwa hari ini ia terlambat bangun.

Semua kesialannya seakan berkumpul akhir-akhir ini sejak ia bertemu Noel.

Memang harusnya hari itu ia tidak membantu Noel, biarkan saja pemuda menyebalkan itu jatuh terhempas ke tanah dan menjadikan dirinya patah tulang, atau apapun yang membuatnya tak bertemu dengan Noel.

“Sial, harusnya alarmku berbunyi. Sial sial sial.”

Kini langkahnya sudah sampai tepat didepan pintu besar berwarna coklat tua penuh ukiran khas. Ia sedang memantapkan diri sebelum mengetuk dan masuk lalu menghadap profesor Iridiana.

Ketika ia sedang memantapkan niat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh pemuda yang (lagi-lagi) mengacaukan semuanya.

Pemuda itu berdiri tepat di samping Zale, menatapnya dengan tengil lalu mendorong pintu besar itu tiba-tiba.

“Zale mengapa kau asik berdiam disitu, ayo masuk?!”

Yang kini membuat Zale melongo tak percaya.

Bagaimana bisa? Pemuda menyebalkan itu, kembali membuat harinya buruk? Bahkan ini masih pagi?!

Akibat ulah Noel, seluruh penghuni kelas menatap mereka tak terkecuali profesor Iridiana.

“Sialan kau Noel!!” batin Zale tak terima.

“Zale, Noel, kalian terlambat.” Ujar profesor Iridiana sembari membenarkan anak rambutnya yang basah oleh keringat.

“Arghhh, aku sungguh membenci Noel!!”

“Maafkan aku profesor, aku terlambat bangun alarm ku tidak berbunyi.”

Zale dengan terpaksa menghadap langsung kepada profesor Iridiana dan mengungkapkan alasannya didepan seluruh siswa.

Profesor Iridiana menatapnya lekat dan tajam, mengintimidasi, sebelum akhirnya beralih menatap Noel.

“Kalau kau, mengapa terlambat Noel?”

“Aku tentu saja ingin menemani Zale profesor.”

Riuh dari seluruh siswa tidak bisa dihindari. Membuat Zale menahan panas pada wajahnya akibat malu dan marah. Percayalah ini bukan malu karena salah tingkah melainkan malu karena tindakan bodoh pemuda disebelahnya. Sialan. Noel sangat sialan. Brengsek.

Profesor Iridiana berdeham, memberikan tanda pada seluruh siswa agar diam.

“Walaupun kau siswa teladan dan sangat aku sukai, tapi alasan terlambatmu kurang untuk mendapatkan toleransi Zale,” profesor Iridiana memulai keputusannya membuat Zale menghela nafas ditempat. Ia sedang menimbang-nimbang hukuman apa yang akan ia dapatkan.

“Terlebih alasan Noel sangat tidak masuk akal,” Zale menatap Noel tajam, sedangkan yang ditatap hanya memberinya senyum manis yang mirip seperti bulan sabit.

“Jadi kalian berdua akan saya izinkan untuk mengikuti kegiatan belajar ini, hanya saja nilai praktek kalian saya kurangi dan kalian harus membuat ramuan lain, ketentuannya nanti akan saya beri. Dan juga, semua peralatan hari ini kalian berdua yang bereskan apa kalian mengerti?”

Zale hanya mengangguk lemah sedangkan pemuda eye smile disebelahnya mengangguk semangat.

“Orang gila” batin Zale tak terima.

“Baik, Zale dan Noel silahkan kalian duduk, dan semuanya mulai fokus mendengarkan penjelasan saya karena saya hanya akan menjelaskan sekali dan kita akan langsung mencoba meracik ramuannya. Saya hanya mentolelir kegagalan 2 kali, jika kalian gagal kalian akan tinggal dikelas saya dan yang lolos akan melanjutkan kelas ramuan di tahap selanjutnya bersama profesor Kare.”

Zale dengan cepat mencari meja nya. Duduk dengan nyaman dan mulai mendengarkan instruksi demi intruksi yang akan profesor Iridiana jelaskan.

Noel menyusul duduk disebelah Zale, membuat Zale lagi-lagi menghela nafas.

“Noel stop menggangguku kumohon, aku hanya ingin lulus dari kelas ini dengan tenang.”

“Aku hanya berniat duduk dan ikut mendengarkan dengan tenang, aku juga ingin lulus dari kelas ini hey siapa yang betah belajar dengan wanita tua seperti profesor Iridiana?”

“Maka dari itu stop melakukan hal aneh apapun itu dan stop berbicara denganku.”

Noel tidak menjawab namun ia mengangguk antusias. Zale tidak yakin apakah Noel akan benar-benar diam atau ini hanya sebuah siasat lainnya, Zale hanya berharap ia bisa lulus hari ini.

Kelas dimulai dengan tenang, profesor Iridiana menjelaskan semuanya secara rinci. Berapa takaran light potion yang dibutuhkan, berapa tetes air yang dibutuhkan, berapa helai daun Mayuna dan berapa kelopak bunga sanyu yang harus ditambahkan, juga berapa putaran dan durasi putaran yang sesuai agar ramuan ini berhasil.

Zale mengikuti semua prosedur dengan semangat. Memang dari semua kelas di Hogwarts, ia sangat menyukai membuat ramuan. Bahkan ia sudah bercita-cita menjadi peramu di kementerian nasional.

Sedang asik mempraktekkan semua prosedur, tiba-tiba ia dikagetkan dengan paper plane yang bergerak pelan dari tangan Noel, menyentuh tangannya yang sedang memegang mangkuk ramuan.

Paper plane itu tidak terbang, melainkan bergerak menempel pada meja sehingga tidak menganggu siswa lain kecuali dirinya.

Karena paper plane tersebut, konsentrasi Zale yang sedang menghitung putaran dan durasi dari ramuannya terganggu. Menyebabkan ramuannya seketika berasap dan berubah menjadi hijau sebelum menghilang dengan sempurna tanpa menyisakan apapun.

Zale sedang memproses semuanya ketika Noel dengan cepat menepuk punggung tangannya dan berujar “maafkan aku, maafkan aku Zale aku tak berniat seperti itu.” Dengan penuh penyesalan.

Zale hanya diam, namun air matanya tak bisa dihentikan. Zale, sangat kecewa pada dirinya sendiri, dan Noel.

Paper plane sialan.

“Aku sungguh minta maaf Zale.”

Zale menatap Noel kesal.

“Kau selalu saja mengacaukan! Kau berbuat ini itu tanpa menimbang apa yang akan terjadi selanjutnya, bukan hanya padamu tapi pada orang lain juga. Kau sangat kekanakan dan kau tak pernah serius dalam apapun Noel aku membencimu.”

Noel diam mendengarkan semua keluh Zale karena ini memang pure salahnya.

“Maafkan aku...”

Zale hanya terduduk lesu sembari memandangi semua bahan ramuannya. Ia kembali mengambil mangkuk ramuan dan mengambil beberapa bahan dengan tangan gemetar.

“Aku bahkan lupa bagaimana prosedurnya, aku bahkan tidak tau harus melakukan apa terlebih dahulu... Aku ingin lulus, aku ingin menjadi menteri peramu...” Ujarnya disela tangis dengan suaranya yang goyang.

Dikala ia mencoba mengingat prosedur apa saja, teman-teman kelasnya sudah bersorak berhasil membuat ramuannya, membuatnya kembali menangis dalam diam. Bagaimana ini?

Noel merasa sangat bersalah dan tidak tega, maka dengan cepat ia menghapus air mata Zale.

“Aku akan membantumu, maafkan aku ini semua memang salahku, kita coba lagi ya?”

Zale memandang Noel sanksi. “Kau akan mengacau lagi kan No? Kau akan membuatku tinggal kelas kan? Apakah kau begitu membenciku?”

“Tidak, itu tidak benar, aku memang sangat salah untuk yang tadi, aku benar-benar ingin membantumu aku minta maaf Zale.”

Zale hanya diam tak menjawab, ia mengambil beberapa tetes light potion dan menuangkannya ke mangkuk ramuan.

“Kebanyakan Zale, harusnya 7 tetes.”

Zale tidak perduli.

“Zale dengarkan aku, aku sudah selesai membuat ramuannya dan aku mengingat semuanya, oke? Aku bisa membantumu jadi cukup dengarkan aku?”

Noel dengan panik menggerakkan wajah Zale agar menatapnya. Mengunci tatapannya dengan cepat.

“Zale...”

“Aku hanya memiliki satu kesempatan lagi, Noel, atau mimpiku menjadi menteri peramu gagal.”

“Aku bersumpah akan membantumu jadi hanya dengarkan aku, oke? Tolong Zale percayalah...”

Zale masih memandang Noel sanksi namun akhirnya ia mengangguk setuju.

“Selanjutnya kau hanya perlu menambahkan 3 lembar daun Mayuna, 11 kelopak bungan sanyu, lalu menambahkan air. Setelah itu....”

Noel dengan semangat memberi instruksi agar ramuan Zale selesai, ia benar-benar menyesal untuk tadi dan bersumpah agar Zale lulus bagaimanapun caranya.

Hingga pada putaran terakhir Zale dan Noel benar-benar menunggu hasilnya. Jika Zale tidak lolos maka itu akan membuat Noel tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Seketika cahaya biru menerangi mangkuk Zale dan setelah cahayanya menghilang, ramuan Zale yang sebelumnya berwarna putih transparan berubah menjadi biru langit gradasi dan glitter. Membuat Zale tersenyum dengan senang.

“Noel aku berhasil!!”

Noel ikut bersorak untuk Zale.

“Noel aku sungguh akan menjadi menteri peramu dimasa depan! Noel aku berhasil!”

Tanpa sadar Zale memeluk Noel disebelahnya untuk menyalurkan rasa senangnya.

Noel yang dipeluk mendadak kaku. Sehingga ia hanya membalas dengan senyum canggung.

Ketika tangannya bergerak akan menepuk punggung Zale, Zale tanda diduga melepas pelukannya dan berseru riang.

“Aku akan memberitahu ini pada profesor Iridiana dan aku akan izin keluar sebentar, Jamie harus mengetahui ini Noel!”

Noel memandang Zale yang berjalan riang menuju profesor Iridiana dan diakhiri dengan dirinya yang keluar dari kelas. Ia tak mengalihkan tatapan hingga punggung Zale ditelan pintu masuk.

“Siapa Jamie?”

Rumah itu sepi penghuni ketika kaki jenjang Jeno menapak lembut. Tanaman berwarna hijau alami menghiasi seluruh pemuka hunian Chenle. Katanya ini semua adalah kesayangan mama Chenle, kala Jeno tanya mengapa banyak sekali tanaman hias.

Sampai dimuka pintu, tangannya bergerak menekan bel yang bertugas menghantar berita pada Chenle jika Jeno sudah sampai.

Tak menunggu lama, lelaki dengan kaos putih dan celana kolor keluar menyambutnya. Rambutnya berantakan, matanya kusu, wajahnya suram.

“Abis kalah main game doang tadi, hehe..” kalimat pembukanya seakan tau Jeno akan bertanya apa.

Jeno memberi anggukan sebagai respon.

Lelaki November itu membuka jalan agar Jeno masuk, sembari senyum manisnya tak lepas ia berujar, “mamah sama papah lagi acara sama temen kantornya, gatau deh katanya aniv aniv gitu.”

Lagi-lagi Chenle bersuara sebagaimana yang ingin Jeno tanyakan. Pantas saja rumah dengan dua lantai ini kurang tanda kehidupan, beberapa pemiliknya sedang melancong rupanya.

Gerakan jarum pada jam di ruang tengah tak henti meskipun Jeno kini ingin menghentikan waktu ketika Chenle berbalik dan tersenyum manis padanya.

Jeno selalu merasa presensi lelaki manis pemilik senyum kucing ini hanya sebuah kepakan sayap kupu-kupu yang tak akan berdiam lama, namun ketika mata cantik itu menatap sembari menyerukan namanya ia yakin seluruh dunia tau jika Jeno jatuh cinta, dan akan selalu jatuh cinta padanya.

“Jen anjir kok diem? Gue nanya lu mau dibikinin apa gitu gak?”

Sampai ia lupa jika obrolan mulai dibuka.

“Gausah eh, gue bawa cheese cake kesukaan Lo soalnya, terus gue bawa caramel macchiato.” Jeno memberi senyum terbaiknya.

“Bisa banget ye mau nyogok gue, hahaha.” Ah tawa indah yang selalu ingin Jeno dengar.

“Tapi beneran deh, wkwk lu serius?”

Kalimat yang Jeno lontarkan berhasil membuat jemari putih itu berhenti membuka kotak cheese cake. Helaan nafas ia berikan sebelum menjawab dengan nada malas. “Lu mau bertanya hal tadi lagi kah? Gue kan udah bilang gue juga mau sih, ribet banget. Atau gak jadi nih? Gue mau ciuman sama orang lain aja kalau gak jadi.”

Maksud Jeno bukan ini.

Tawa renyah kembali menguar ketika Chenle melihat dengan jelas Jeno memberenggut.

“Boongan, Jen, lagian gue cowok apaan wkwk gue gak murahan kali, gue mau sama Lo ya karena ini sama Lo, kalo sama orang mah mana mau.”

Chenle mengambil sepotong cheese cake nya dan menyuap dengan semangat. Sepasang kakinya naik dan bersila di sofa, di samping Jeno. Tanpa sadar jika Jeno memerah disana.

Tangan Chenle mengangkat potongan cheese yang baru saja ia potong, menyodorkan pada Jeno guna mengintruksikan lelaki itu membuka mulut.

Netra mereka bertemu, Chenle kembali mengangkat tangannya dan menggoyangkan asal. “Makan dulu ege, masa gue doang yang makan.”

Dengan pasti Jeno membuka mulut dan menggigit cheese cake yang tidak lebih manis dari pemuda disampingnya.

“Santai aja Jen anjir masa mau langsung ciuman, basa basi dulu kek.”

Dan Chenle tetaplah Chenle. Ia pikir pada saat-saat seperti ini Chenle akan salah tingkah dan merasa malu, namun nyatanya ia yang berakhir merasakan hal itu.

Jeno tertawa guna menutupi salah tingkahnya, disusul Chenle yang entah mengapa ikut tertawa.

Chenle bergerak mengambil remot dan menekan tombol power, sebuah layar datar menampilkan menu utama, gerakan tangannya memilih menu dari sebuah platform menonton berwana merah.

“Mau nonton apa?” Tanya pemuda pemilik pipi chubby itu.

Jeno hanya menggeleng tak tau, toh ia memang tidak tau mau menonton apa. Tujuannya kesini kan untuk menjemput bibir ranum itu.

“Tapi mager deh, gue juga lagi gak mood nonton.”

“Terus mood nya apa?”

“Ciuman?”

Jeno hampir tersedak salivanya sendiri.

Senyum manis itu kembali ia dapatkan sebelum tubuhnya bergerak mendekati Jeno.

Udara seakan menyempit ketika tangan hangatnya menyentuh punggung tangan Jeno. Deru nafasnya semakin terdengar ketika justru detak jantung Jeno semakin menggebu.

Lihat, siapa yang mengajak dan siapa yang sebelumnya menolak?

Jeno selalu lupa jika Chenle adalah definisi sempurna dari mimpi indahnya.

Aroma Chenle yang sangat ia kenali menguar ketika tubuhnya mengisi space kosong didepannya. Chenle merangkak keatasnya, tepat menduduki pangkuannya.

“Jen, sorry ya gue gatau ini tiba-tiba banget tapi gue pengen peluk lu gitu.”

Kepala yang selalu ia kait-kaitkan dengan ukuran kepala terbesar itu menelusup diantara ceruk lehernya. Mengendus abstrak membuat Jeno geli.

Tangannya ikut naik, meraba punggung lelaki yang bergumul seperti anak kucing.

Jeno ikut menelusupkan kepalanya pada ceruk yang lebih muda. Terdiam lama membuat masing-masing dari mereka mengartikan sunyi sebagai penghantar suara-suara dari yang tak terdengar, hati mereka misalnya.

Sejujurnya Chenle berteriak dalam hati, pusaran kelutnya benar-benar berisik, tak henti mengulang-ulang frasa yang selalu sama maknanya. Hubungan mereka ini yang seperti apa?

Keterdiamanya selama ini selalu jelas dengan alasan, mungkin saja Jeno enggan memvalidasi apa-apa yang ada pada mereka, atau mungkin saja Chenle merasa jauh atas nama berhak demi menanyakan kejelasan.

Namun tetap saja, insan mana yang rela berlakon sepertinya ketika bahkan pemuda yang ia harapkan tak pernah bersikap sebenar-benar maunya.

“Jen,”

“Hm...”

Konstelasi gemuruh yang mengaum itu berteriak, ia harus bertanya sekarang atau sampai kapanpun tak pernah ada 'mereka'. Namun lagi-lagi sorak riuh cemoohan menghentikannya.

“Mau ngomong apa, Le?”

“Gue sayang banget sama Lo.” Lagi-lagi sepenggal kalimat yang sering ia sampaikan yang bersuara.

Malu yang mengudara disekitarnya bersuhu panas, menerpa pipi juga bilik hatinya yang tak bisa diam.

Chenle mendengar Jeno tertawa. Sebuah jenis tawa bukan ledekan melainkan tawa tulus yang ia sendiri tak tau maknanya.

“Gue gak ngomong juga Lo tau gasi sesayang apa gue sama Lo?”

Maka dari itu Jeno, perjelas semuanya. Bukankah Chenle cukup bersabar hingga ia mau memberi seluruh metafora seberapa dunia Chenle tak berarti tanpa Jeno didalamnya?

Namun lagi-lagi ia tak bisa memberi pengakuan lebih atas kebisingan rasanya. Chenle memilih semakin memperdalam pelukannya. Setidaknya pelukan Jeno tidak dapat membohonginya ketika ia tanya siapa yang lebih berarti bagi siapa.

“Mana dong kok sembunyi mulu? Gue mau cium orang paling lucu di dunia.”

Ah, Chenle selalu tau semua frasa dari semua buku yang ia baca tak pernah cukup dari lebih menggambarkan pemuda kesayangannya.

Wajahnya bergerak keluar dari persembunyian, menatap sepasang mata penuh pantulannya dengan dalam.

Dimata itu, Chenle melihat dirinya, tersenyum manis dan melambai-lambai melepas gelisah. Pada mata itu, Chenle melihat dalam yang menenggelamkan. Disusul bibir kering yang tanpa sadar sudah menempel padanya.

Bibir Chenle yang sebelumnya sedikit basah sebab ia jilat, dapat merasa dengan jelas kasar namun lembut yang kini bergerak menjajah.

Kasar dan hangat itu menuntut dalam. Dua ibu jari Jeno yang bergerak di tengkuknya mengusap dan mendorong perlahan, memperdalam ciuman mereka.

Chenle pernah berciuman dengan Jeno, dulu, ketika ia harus sial menjemput Jeno yang terlalu mabuk. Awal mula semua kumpulan bingungnya berubah menjadi yakin mengenai perasaannya. Namun sayang sehari setelahnya Jeno bahkan tak ingat ia pernah menitipkan kupu-kupu pada Chenle.

Hari ini, Jeno yang meminta. Awalnya Chenle merasa ia akan kembali dapat kecewa seperti sebelumnya, namun setelah dipikir lagi, mengapa tidak ia coba?

Helaan nafas Jeno yang menerpa wajahnya terasa hangat dan harum, seperti ciuman sebelumnya.

Netranya yang semula menutup ia buka, ia ingin melihat pemuda April kesayangannya ketika membagi saliva, namun yang ia temui adalah sepasang jelaga gelap penuh makna. Jeno menatapnya juga disana.

Dengan saling menatap, Chenle merasakan sapuan lembut pada bibirnya. Dengan segera ia membuka mulutnya, membiarkan lidah milik pemuda yang lebih tua darinya menyusuri setiap inci darinya. Mengabsen semua giginya hingga berakhir bertemu dengan lidahnya.

Permainan lidah Jeno diingatannya pun sama, namun rasanya ini lebih memabukkan. Chenle merasa pusing dan nikmat sampai ia bingung bagaimana mendefinisikannya.

Ketika pasokan oksigen seakan berhenti, Chenle menepuk dada Jeno pelan, mengisyaratkan untuk berhenti. Jeno menuruti.

Setelah pagutan mereka lepas, benang saliva yang muncul seakan tanda jika apa yang mereka lakukan barusan bukan suatu keterpaksaan, keduanya sama-sama menikmati.

Jeno tersenyum, ia mengecup bibir sewarna Cherry yang masih sedikit terbuka itu, membuat pemiliknya terkejut.

“Le, sorry nunggu lama.”

Tangan Jeno bergerak kesisi tubuh Chenle, melingkarinya posesif. Wajah chubby Chenle tak henti menjadi muara kecupan-kecupan yang Jeno berikan.

Chenle yang semula bingung akhirnya hanya menikmati apa yang Jeno lakukan, toh ia juga senang.

“Maaf ya gue cemen banget, gue tau Lo suka sama gue dari lama, tapi rasanya setiap hari gue selalu merasa kecil buat jadi sosok yang lo kasih banyak cinta. Gue rasa lo bisa dapetin yang lebih dari gue. Tapi setelah beberapa bulan ini gue coba buat gak ngasih makan lebih kemauan gue buat milikin lo, rasanya gue makin gak sanggup jauh dari lo. Gue gak suka lo deket sama yang lain, atau lo ngomongin orang lain, lo manggil orang lain ketika lo kesusahan, lo cerita semua keseharian lo sama orang lain, gue gak bisa, gue gak sanggup dan gue gak mau. Jadi, gue mau egois, gue mau egois cuma gue yang berhak atas lo, cuma gue yang bisa dapat semua itu dari lo. Gue egois, boleh ya?”

Chenle, dia tak pernah menduga kalimat panjang serupa pembuka sidang itu Jeno katakan, Chenle tak pernah tau hari ini akan tiba, sampai rasanya detik jam yang bergerak pun adalah sebuah kejadian aneh.

Sunyi merayap pada matahari yang mulai tenggelam, melambai perpisahan pada dua pemuda yang kini saling tatap di atas sofa ruang tengah. Kedua pemuda itu diam, saling berfokus, tak membiarkan sedetikpun hilang, seakan sedetik saja fokusnya tak tertuju, masing-masing dari mereka akan lenyap dengan waktu.

Chenle mengangguk akhirnya. Gerakan pertama setelah mati situasi diantara mereka.

“Boleh, Jen.” Suara lembut yang selalu ingin Jeno dengar membuat suasana tiba-tiba lega.

“Le, lo mau jadi dunia buat gue? Dunia buat Jeno? Berputar di sekeliling gue, mau Chenle?”

Bibir ranum yang selalu Jeno damba itu bergerak mendekat. Mengecupnya dengan singkat, lalu tersenyum. Disusul anggukan yang melegakan dari pacuan dalam diri jeno.

“Mau, Jen. Chenle yang ini juga, mau kalau Jeno beri dia banyak-banyak yang Jeno bilang tadi.”

Dunia, lihat tidak siapa yang paling bahagia sekarang? Iya betul, keduanya.

Jeno kembali memberikan semuanya cintanya lewat kecupan hangat, di kening, kedua pipi, kelopak mata, dagu, hidung, hingga terakhir berhenti di bibir kesukaannya. Sedih lama dari kecupan sebelumnya, namu tanpa pergerakan lebih.

“Chenle, happy valentine, selamat hari kasih sayang untuk manusia paling berharga di dunia. Mulai hari ini, ayo melangkah bersama.”