secret library
“Jeno?”
Jeno terkesiap begitu mendengar suara temannya mendekat.
“Kenapa, Mark?” Jeno membalas dengan sedikit berteriak.
Ini di perpustakaan, dan perpustakaan mempunyai larangan berisik, namun ia tak peduli. Karena mengapa pula ia peduli ketika tidak ada siapapun disini. Ya, kecuali Mark yang baru saja menghampirinya.
“Gue cariin anjrit kirain kemana.”
Jeno melihat visualisasi Mark mendekat, maka dengan segera ia menghadang langkahnya pada lorong pembatas rak belakang dengan ruang membaca.
Kampus mereka memliki fasilitas perpustakaan yang lengkap dan luas, maka seharusnya kegiatan Jeno sekarang tidak akan diketahui, namun masalah besar jika tiba-tiba Mark datang.
Mark mengernyit bingung ketika langkahnya dihadang oleh Jeno.
“Kenapa, jir?”
Jeno mendorong sedikit kacamata nya yang turun, berdeham dan menjawab dengan canggung. “Gue lagi beres-beres, tadi diminta tolong Bu Eun Ji, beliau udah pulang. Gue lagi beresin rak belakang abistu pulang, lu duluan aja.”
“Oh. Beres-beres doang kan? Yaudah gue bantuin, ya? Biar cepet. Lu sendiri juga kan?”
Jeno melambaikan tangannya kikuk. “Gausah anjir bisa sendiri gue. Gapapa lu balik duluan aja, lagian mau latihan band, kan?”
Mark mengangguk bingung, “iya sih... Tapi lu gapapa gue tinggal?”
Jeno mengangguk semangat. “Gapapa sumpah. Dikit lagi, kok, ini mau beres, beneran! Gue juga udah megang kunci perpusnya.” Tangannya mengacung memperlihatkan kumpulan kunci, salah satunya adalah kunci perpustakaan.
“Oh, okedeh... ” Dengan begitu Mark menepuk pundak Jeno dan berbalik pergi dari perpustakaan.
Sejujurnya ia bingung. Ia tahu Jeno adalah mahasiswa teladan di kampusnya, hampir seluruh staf di fakultasnya mengetahui Jeno dan ia pun tak segan membantu siapapun, namun Mark merasa ada yang janggal hari ini.
“Arghhh... “
Mark kaget ketika mendengar sedikit teriakan dari belakangnya, dan ketika ia berbalik ia mendapati Jeno sedang mengangkat satu kakinya dan memandang Mark dengan cengiran khas.
“Biasa, kepentok.”
Mark tertawa lalu membalas, “tihati, lu, kebiasaan banget teledor.”
“Aman.” Jeno membalas dengan acungan jempol.
Setelah sosok Mark hilang ditelan pintu perpustakaan, Jeno dengan segera berlari ke arah pintu dan menguncinya dari dalam. Sebuah hal yang mencurigakan namun harus ia lakukan.
Merasa sudah aman dan perpustakaan tak akan didatangi siapapun (karena sudah ia kunci), ia kembali ke rak paling belakang demi menghampiri seseorang yang tengah menatapnya kesal.
“Ngapain teriak?” Jeno bertanya dengan kesal.
“Ada kecoak, bego. Lagian lu main pergi aja.” Pemuda yang tak lain adalah Chenle mendengus sebal. Apakah Jeno pikir ia akan teriak tanpa alasan atau apa.
Tangan Chenle sibuk membetulkan hoodie yang ia kenakan lalu menurunkan kaos bajunya yang sebelumnya terkesiap, menyiratkan hal yang sebelumnya mereka lakukan.
Ternyata, pemikiran Mark salah.
Jeno tidak sendirian disini, namun bersama seorang yang dipikir seribu kali pun akan aneh rasanya jika ia menemukannya bersama Jeno. Dan di perpustakaan. Dan di rak paling ujung yang temaram pun pengap.
Setelah selesai merapikan tampilannya, Chenle beranjak dan melewati Jeno begitu saja.
“Mau kemana?” Jeno bertanya kesal karena Chenle mengabaikannya.
“Balik, lah. Cape banget gue, mau tidur.”
“Kita belum selesai.”
Chenle berbalik cepat. Wajahnya membuat ekspresi aneh, tawanya menguar dan jelas sekali nadanya meremehkan. “Apanya yang belum selesai? Gak ada apa-apa diantara kita Jeno, tolong bangun.” Jarinya yang lentik menepuk pipi Jeno dengan pelan.
Jeno tahu sejak awal jika Chenle tak serius. Dan tentu saja tak akan pernah serius. Ia datang padanya seolah-olah mencintai Jeno dengan waktu yang lama lalu akan pergi begitu saja.
Jeno tahu trik ini. Jeno sudah sering mendengar mahasiswa di kampusnya membicarakan Chenle mengenai ini. Gosip semacam itu mudah sekali menyebar.
Namun anehnya, para lelaki lain di kampusnya malah menginginkan hal ini. Menginginkan Chenle memainkan mereka layaknya boneka, lalu meninggalkan mereka secara tak terduga. Dan mereka akan bangga karena sudah pernah menjadi kekasihnya, atau hanya dekat pun mereka akan bangga.
Gosip lain yang lebih parah, Chenle suka meniduri mereka.
Dan tentu saja ketika Chenle datang padanya, ia merasa mendapat jackpot. Chenle salah memilih target kali ini.
Tangan Chenle yang mengudara dengan cepat Jeno ambil. Menggenggamnya keras namun ia juga mengecup beberapa kali. Membuka Chenle kaget dengan aksi Jeno.
“Jen, lu ngapain?”
Jeno hanya menjawab dengan berdeham. Kini jari tangan Chenle ia kulum dengan khidmat.
Chenle panik.
“Jen, Lepas.”
Jeno memberi senyum mengejek.
“Gak akan.”
Sebelumnya Chenle tidak pernah merasa terancam ketika ia bersama Jeno. Karena yang ia tahu, Jeno adalah mahasiswa teladan yang cupu, selalu memakai kacamata dan membawa buku kemana-mana. Lagipula, ia mendekati Jeno karena sebuah permainan tantangan sialan, siapa juga yang mau mendekati lelaki aneh seperti Jeno?
Dan lebih anehnya, kini ia merasa terancam. Ia tidak pernah melihat Jeno seperti ini. Jeno yang memberinya senyum mengejek menakutkan dan mencengkeram tangannya kuat, belum lagi jari tangan Chenle yang kini ia kulum.
Chenle merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Maka dengan panik ia menarik tangannya yang tentu saja tak akan mudah lepas.
“Jen, sakit.”
“Gue gak peduli Chenle.”
Chenle semakin panik.
“Sumpah gue minta maaf kalau misal udah nyinggung lu atau bikin lu sebel sama gue tapi tolong lepas dulu, ya? Gue ngerasa sakit banget ini tangannya, terus gue mau pulang.”
“Hari ini lu gabisa pulang dengan mudah, Chenle. Kita belum selesai, gue kan udah bilang.”
“Maksud lu apa, sih? Kita gak ada apa-apa, Jen.”
“Kita ada apa-apa, Le.”
“Aw! Sakit bego, jangan di gigit!”
Jeno hanya tersenyum menanggapi.
Walaupun tak nyaman, Chenle menunggu Jeno menyelesaikan apa yang ia lakukan sekarang. Karena walaupun ia menarik tangannya, yang ada Jeno akan menggigitnya dan Chenle rasa jika ia melakukan itu Jeno akan menggigitnya hingga jarinya putus. Lihat saja apa yang bibirnya lakukan sekarang.
Setelah selesai dengan jari Chenle, Jeno menarik tangan Chenle membuat tubuhnya mendekat. Chenle tentu saja menolak.
“Ngapain, woy?!” Dengan panik ia berusaha menarik kembali tangannya.
“Gue pengen cium lu. Kurang jelas?”
“Hari ini kita udah ciuman dan gue udah pernah bilang kalau gue cuma mau ciuman maksimal sehari sekali, gue gamau bibir gue bengkak.”
Tangannya berhasil terlepas dan Chenle mundur dengan waspada.
“Tapi gue pengen ciuman, Le.”
Chenle memandang Jeno tak percaya. “Sumpah lu kok aneh banget sih, gak kayak Jeno yang biasanya. Lu kerasukan ya?”
Jeno tersenyum miring, “justru lu yang aneh, lu gatau gue yang asli gimana tapi berani deketin gue?”
Ah, ternyata benar dugaannya, Jeno bukan anak cupu yang sering satu kampus bicarakan, ia lebih dari itu.
Chenle hampir berlari karena ia merasa perlu sebelum tangan kekar itu meraih pinggangnya.
Anjing! umpatnya dalam hati.
“Mau kemana, Le? Kita belum selesai, inget?”
“Kita selesai, gue mau kita selesai sekarang! Kita gak ada urusan lagi. Jadi, lepasin gue!”
“Gak!”
Wajah Jeno mendekat pada ceruk leher Chenle, berusaha menghirup aroma Chenle sedalam mungkin.
Chenle yang tak bisa tinggal diam menabrakkan kepalanya pada dagu Jeno sehingga Jeno mengaduh kesakitan. Dalam waktu lengahnya Chenle memanfaatkannya untuk menginjak kaki Jeno yang terbalut sepatu kemudian lari.
Ia tau ia harus lari dari sini.
Lari sejauh mungkin.
Sejauh yang ia bisa.
Namun sialnya ketika sampai pintu perpustakaan yang besarnya melebihi pintu kelasnya, ia tidak bisa membukanya.
Pintu itu terkunci dan tertutup rapat tak membiarkan ia keluar.
Bagaimana ini? Dia harus keluar atau dia akan habis oleh Jeno.
Pikirannya kalut. Tangannya tak henti memainkan knop pintu sampai tangan kekar Jeno kembali meraihnya.
Dengan cepat tubuhnya dibalikkan menghadap Jeno. Tangan itu kini mengukungnya.
“Gue mau keluar, Jen.”
“Lu gak bisa keluar, Le. Katanya lu mau nyelesain urusan kita, kan? Jadi ayo selesaikan sekarang.”
Chenle menggeleng heboh ketika kepala Jeno mendekat. Ia ingin lari, tapi tak bisa. Jangan bilang ia tak berdaya karena itu memang benar. Tak ada jalan keluar untuknya.
“Kepalanya bisa diem gak, Le?”
Chenle tetap menggeleng heboh, kini di iringi teriakan.
“Gak! Gabisa! Lepasin gue, Jen! Gue gamau!”
Dug! Jeno yang kesal membenturkan kepala Chenle pada pintu hingga si empu merasa pusing dan terhuyung.
“Ah, sorry Chenle gue beneran minta maaf gue gak sengaja. Lagian lu nakal, sih.”
Jeno mengusap kepala Chenle dengan perlahan seperti ia merasa benar-benar menyesal.
“Jen, pusing.”
“Iya, sorry, ya? Kita duduk dulu, oke?”
Jeno memapah Chenle hingga mereka terduduk di salah satu sofa area membaca. Tangannya kembali mengusap kepala Chenle bagian belakang.
Ketika ia mengusap-usap kepala Chenle, ia kembali mendekatkan wajahnya pada wajah Chenle.
Chenle berusaha menahan dada Jeno sebelum berucap, “kalau kita ciuman, lu lepasin gue kan? Gue pengen pulang.”
Jeno nampak berfikir sejenak lalu tersenyum manis, membuat kedua matanya membentuk bulan sabit.
“Tergantung lu nakal atau engga.”
Jeno kembali mendekatkan wajahnya dan kini yang bisa Chenle lakukan hanya pasrah. Ia hanya berharap kemurahan hati Jeno setelah ini. Ia benar-benar ingin pulang.
Chenle menutup kedua netranya, ia merasakan bibir hangat dan kasar yang sebelumnya ia rasakan melahap habis bibir keringnya. Pagutannya lembut, namun menuntut. Dengan tidak terpaksa ia membalas ciuman Jeno.
Jeno. Ia selalu bisa memberi ciuman yang selalu Chenle inginkan. Dari semua lelaki yang sudah berciuman dengannya, milik Jeno yang selalu ia dambakan kehadirannya. Namun kini, rasanya Chenle ingin menangis dicium seperti ini. Ia takut. Takut Jeno menjadi lebih aneh daripada tadi.
Chenle membuka kedua matanya, ia melihat kaca kecil yang dibingkai sedemikian rupa yang lebih akrab disebut kacamata. Ia melihat kelopak mata Jeno yang tertutup melalui kacamata itu setelah sekian detik ia baru menyadari jika kacamata Jeno adalah kacamata biasa. Bukan kacamata tebal dengan banyak garis tanda minum seperti kacamata minus yang seharusnya. Seharusnya Chenle mengerti, jika ini semua hanya topeng Jeno. Topeng lelaki yang kini menunjukkan wajah aslinya.
Chenle menutup kembali netranya dan merasakan bibirnya digigit kecil. Ia tau, Jeno memintanya membuka mulut sehingga lidah Jeno dapat menyusup dengan sempurna.
Jeno menyapa semua deret gigi Chenle yang sejajar, mencari lidah Chenle sebelum mengajaknya bergulat.
Jeno terlalu mendalami ciumannya hingga ia merasakan dadanya ditepuk pelan.
Jeno menghentikan ciumannya, membiarkan Chenle bernafas dengan rakus.
Pemandangan seperti ini yang selalu menghantuinya sejak awal ia masuk kuliah. Sejak ia melihat Chenle berlari melewatinya dengan tumpukan buku yang ia peluk.
Jeno menyukai Chenle sejak hari pertama lelaki itu datang ke kampusnya, mengikuti open house kampus dan melakukan serangkaian tes untuk masuk, hingga ia dapat melihatnya duduk berkumpul dengan teman kelompoknya di aula kampus, mengikuti kegiatan ospek.
Jeno tau jika ia mulai terobsesi dengan Chenle. Ia selalu mencari tahu kegiatan apa yang Chenle ikuti dan kemana saja ia pergi. Hingga pada tahun kedua Chenle masuk kuliah, tepatnya pada semester genap, mulai muncul bermacam gosip dengan banyak topik jika Chenle adalah lelaki yang paling banyak mendapat ajakan kencan. Pacarnya dimana-mana, mantannya banyak, belum lagi gosip Chenle yang menerima ciuman siapa saja hingga gosip yang paling membuatnya marah. Chenle tidur dengan siapa saja.
Jeno marah.
Maka tanpa sadar kini ia mencium kembali Chenle. Membuat Chenle terkejut dan tanpa berdosa Jeno mulai menelusupkan tangannya pada hoodie Chenle. Tubuhnya membawa Chenle berbaring pada sofa.
“Nghh.. Jen, kita cuma ciuman!” Tangannya berusaha menghentikan pergerakan Jeno namun kedua tangannya diambil dalam satu genggaman, dibawa ke atas kepala Chenle membuat Chenle susah berontak.
Tangan Jeno menelusuri kulit halus Chenle, mencari satu titik yang ia yakini menjadi salah satu titik sensitif Chenle.
Ketika sampai, tangannya memilin puting itu dengan gerakan menggoda, membuat Chenle tersentak kaget.
“Jeno! Lu ngapain... Nghhh...”
Jeno mencium Chenle semakin dalam, tangannya tak henti memainkan puting Chenle yang mulai mengeras, dan lututnya mulai memainkan peran dibawah, mengganggu gundukan yang ada di celana Chenle, membuat Chenle merasa kewalahan menerimanya serangan dari berbagai titik.
Chenle melepas ciumannya dan berteriak, “Jeno anjing lu stop gak?!!! Tolongh... Stop anjir Jen.. Arghhh hngggg jangan diteken dongo!”
Jeno beralih menciumi ceruk leher Chenle, sesekali menggigit membuat Chenle melenguh.
“Lu minta berhenti tapi lu juga nikmatin, kan?”
“Gak gitu dongo! Siapa yang gak desah lu giniin coba?”
Jeno kini menciumi telinga Chenle, membuat Chenle sedikit tertawa karena geli.
Jeno terus mencium apapun yang ada pada Chenle. Dimulai dari telinga, kembali pada ceruk leher, bertemu tulang selangka hingga kini Jeno menyikap hoodie overall yang chenle kenakan, membuat Chenle panik.
Kakinya bergerak rusuh, membuat Jeno sedikit kesal.
“Jen sumpah gue gak bisa lebih dari ciuman, Jen, gue cuma setuju kita ciuman. Kalau lu nekat ini namanya pemerkosaan.”
“Lu giliran sama gue pemerkosaan giliran ke cowok lain nikmatin aja, tuh?”
Chenle menatap Jeno bingung. “Gue gak pernah sama cowok lain kayak gini anjrit yang ada gue tendang duluan.”
Jeno menatap Chenle meminta penjelasan lebih.
“Gue gak pernah tidur sama cowok. Gue gatau lu denger gosip dari mana terserah tapi gue gak bisa.”
“Lu gak pernah tidur sama cowok?”
Chenle mengangguk yakin.
“Kalau gitu biar gue yang tidurin lu.”
“Anjing lu! Gak mau!”
Jeno kembali menyikap hoodie Chenle, kini lebih tinggi. Membuat Chenle bingung harus melawan seperti apa karena kakinya diduduki oleh Jeno dan tangannya tetap digenggam.
Jeno menciumi perut putih Chenle. Semakin naik. Semakin naik. Hingga Chenle merasakan putingnya digigit kecil.
“Jen!”
Jeno yang kesal sengaja menggigit puting Chenle membuat Chenle berteriak karena sakit.
“Akkkk!! Sakit Jen!”
“Makanya diem! Lu cuma boleh desah atau gak usah bersuara sama sekali.”
Chenle mengangguk cepat karena ia tak mau putingnya kembali di gigit seperti tadi. Itu sangat menyakitkan.
Jeno kembali menggigit puting Chenle dengan lembut, menghisapnya seakan-akan asi akan keluar dari sana.
Chenle tak pernah tau jika ini akan membuatnya merasakan hal aneh. Ia ingin melenguh namun ia tak mau membuat Jeno semakin gencar melakukannya, jadi ia menahannya dengan menggigit bibirnya.
“Gue tau lu gigit bibir. Kalau enak desah aja kali.”
Chenle menggeleng tak terima.
Jeno memberi kissmark pada beberapa bagian. Tubuh Chenle yang sebelumnya putih bersih kini ditaburi tanda merah keunguan di beberapa bagian.
“Gue selalu ngebayangin hari ini tiba. Ngebayangin lu desahin nama gue.” Jeno memandang Chenle dibawahnya dengan tersenyum.
“Cabul goblok!”
“Lu diem atau mulut lu gue sumpel kontol!”
“Gue juga punya anjing sombong banget lu.”
Jeno menekan penis Chenle dengan kasar membuat Chenle mengaduh kesakitan.
“Aw! Jen lu anjir sakit bego kontol lu mau gue putusin ya?!”
“Makanya diem! Lu cuma boleh desah atau gak sama sekali.”
Jeno mulai menurunkan celana Chenle membuat Chenle kalang kabut.
“Stop! Gue gamau, Jen! Lu kok nekat banget sih?”
Jeno tak menghiraukannya dan dengan cepat membiarkan penis Chenle tanpa penutup.
Dengan segera Chenle merapatkan kakinya, menyembunyikan penisnya.
“Ngapain ditutup, deh?”
“Malu lah setan! Lu kok gak malu sih liat penis orang?”
Jeno tertawa. Definisi benar-benar tertawa seperti ketika mendengar sebuah lelucon.
Chenle melongo tak terima. Apanya yang lucu coba?!
“Kok lu ketawa sih, aneh!”
“Lu aneh! Polos banget lagi. Jadi pengen gue kotorin dah otaknya.” Jeno membalas ucapan Chenle masih dengan tertawa.
Jeno membuka kaki Chenle, yang sebelumnya Chenle rapatkan. Membuat pipi Chenle merah padam.
“Gue percaya kalau lu belum pernah. Gue bukain celana aja dah jadi kepiting rebus, gue ewe apa gak mateng lu!”
Chenle hampir menendang Jeno namun gagal ketika tangan Jeno yang satunya menahan kakinya.
“Lu gak sopan banget Jen, di perpustakaan ngomong cabul!”
“Who's care, Chenle? Who's care? Lagian gak ada siapa-siapa kecuali kita.”
“Dan setan yang ada di otak lu.”
“Yah, of course.”
Menyenangkan sekali rasanya melihat Chenle sedekat ini. Belum lagi kini ia hampir menyelesaikan apa yang ia tunggu sejak lama.
“Jen mau ngapain?”
Chenle panik ketika melihat Jeno menunduk menghampiri penisnya.
“Sumpah bangun gak?! Lu mau ngapain anjrit!”
“Jangan!”
“Jangan dicium jorok!”
“Lu diem aja bisa gak sih, Le? Mau gue cekek apa biar diem?”
Tentu saja tidak! Katakan pada Chenle siapa yang mau dicekek?!
“Jen! Ahhhh...”
Chenle merasakan hangat pada penisnya. Ia tak mau percaya namun ia yakin sekali jika kini Jeno mengulum penisnya.
“Angh..... Jen.... Udahan...”
“Gue kira penis lu kecil,” Jeno berhenti sebentar dari kegiatannya mengulum penis Chenle, “taunya pas lah di mulut gue.”
“Jenoh... Hng...”
“Iya gitu, desah, Le. Sebut nama gue yang banyak.”
Chenle merasakan penisnya penuh dan membesar, ia merasakan juga jika penisnya mengeras. Bohong jika Chenle tidak tau apa artinya karena sesekali ia pernah bermimpi yang ketika bangun penisnya sudah berdiri tegak.
“Jennnn ahh.... Penuhhh...”
Jeno tak berhenti memberinya blow job sampai tiba waktunya Chenle mencapai putihnya.
“Ahhhhh.... “
Jeno telah selesai dibawah sana. Ia bangkit dan melihat Chenle dengan wajah lelahnya setelah mencapai putihnya. Ia tersenyum dan mengusap kening Chenle yang berkeringat. Mengecup kening Chenle beberapa kali dan mencium kembali bibirnya.
Ciuman yang ini terasa lebih dalam ketika tanpa sadar Chenle mengalungkan tangannya pada Jeno. Jeno tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini jadi ia dengan apik memainkan lidahnya dengan Chenle. Bergelut dengan lidah Chenle seperti sedang berebut permen.
Setelah menghentikan ciumannya, Jeno melihat benang Saliva antara dirinya dan Chenle. Membuat ia memuji Chenle tak henti-henti.
“Chenle cantik, selalu cantik.”
Chenle tau ia sedang diperkosa karena ia tak setuju namun mengapa rasanya begitu hangat pada dadanya ketika Jeno memujinya seperti itu?
Jeno merasa sudah tak perlu memegangi tangan Chenle sehingga kini ia sedikit lebih leluasa. Ia melebarkan kembali kaki Chenle. Tujuannya kini bukan penisnya melainkan lubang yang sejak awal menggodanya.
“Jen...”
“Sshhhh...”
Jeno meremas bokong Chenle selagi ia mengamati lubang yang seakan-akan mengajaknya masuk.
“Hnggg... Jangan di remes...”
Jeno semakin gencar meremasnya. Lalu kepalanya turun. Lidahnya menjulur. Jeno akan memainkan lubang itu. Lubang yang akan memberinya kenikmatan.
“Shhh... Jenn....” Chenle mendesah ketika ia merasakan tiupan pada lubangnya.
Jeno dengan cekatan memainkan lidahnya disana. Menusuk-nusuk sedikit membuat lubang Chenle bereaksi.
“Jen jangan ditusuk!”
Kini Jeno menggigit kecil ujung lubangnya, menusuknya semakin dalam.
“Hanghhhhh Jen....”
Satu jari Jeno terangkat. Tujuannya tentu saja lubang itu.
Chenle tersentak, merasakan benda asing yang kini masuk ke lubangnya. Jadi Jeno panjang dan berurat, ia merasa seperti jari-jari Jeno sedang menari didalam.
“Jen kenapa dimasukin? Sakit!”
“Ntar gak sakit kok.”
“Hngghhh.. penuh Jen keluarin...”
“Udah ngomong penuh padahal yang masuk baru satu jari, belum kontol gue.”
Jeno menambah jarinya hingga jarinya yang masuk pada Chenle kini dua.
“Jenohhh hnggghh...”
Chenle merasakan jari Jeno bergerak brutal didalam sana. Bergerak menggunting hingga ia tersentak kaget ketika sesuatu didalamnya tersenggol.
“Oh, ini.”
“Apah....” Chenle bertanya kepo.
“Ini?” Jeno kembali menusuk titik itu dengan jarinya membuat Chenle kembali terkejut.
“Hngh.. iya, iya ituhhh... Ahh itu apahh..”
“Kenapa? Enak?”
“Enak—hnggghh....” Chenle tak bisa mengendalikan mulutnya untuk berbohong karena sumpah demi Tuhan ia baru merasakan yang seperti ini.
“Enak, Jen.”
“Tadi katanya gamau? Siapa ya yang bilang gamau?”
“Jen jangan di stop!”
Jeno tersenyum ketika melihat Chenle di atasnya terengah, raut kecewanya jelas sekali terlihat.
“Coba minta sendiri.”
Malu. Chenle benar-benar malu. Ia mempertaruhkan harga dirinya. Bagaimana bisa ia meminta ketika sebelumnya ia menolak keras.
“Le, gamau?”
Jeno mengusap penisnya yang masih terbungkus celana.
“Dibilang gue punya, lu gak liat?!”
Jeno kembali tertawa.
“Maksud gue, lubang lu gamau dimasukin ini?”
“Hah emang muat?” Chenle bertanya karena ia memang tidak tau.
Jeno sempat kaget karena Chenle bertanya seperti itu. Maksudnya, bagaimana bisa ia tidak tau. Jeno tak pernah berfikir Chenle sepolos ini. “Muat lah, sini kita cobain.”
Chenle merapatkan kembali kakinya.
“Gak! Gamau. Gue mau pulang, Jen. Celana gue mana?”
“Gak bisa, lu gabisa biarin punya gue tegang gini.” Jeno mengeluarkan miliknya.
Chenle terperangah karena hampir tidak percaya dengan ukurannya, lalu urat itu, dan tegang. Chenle menutup wajahnya yang kembali memerah karena ia tidak tahu mengapa ia merasa seperti ini.
“Lu kayaknya suka?” Jeno menaikkan alisnya jahil.
“Sok tau bangsat!” Chenle masih menutup wajahnya malu.
“Coba pegang, nih.”
“Apasi gamau!”
“Pegang, Chenle.”
“Gak!”
“Zhong Chenle.”
Chenle merasa namanya biasa saja, ia tidak merasa itu menakutkan namun mengapa seketika ia menuruti keinginan Jeno.
Ia mengulurkan tangannya perlahan. Masih dengan mata tertutup ia meraih milik Jeno.
“Remes sama kocok” Perintah Jeno.
“Gimana anjrit gue gatau?”
“Makanya diliat Chenle, lu nutup mata gitu mana keliatan.”
Chenle membuka matanya perlahan. Yang ia dapati adalah wajah menggoda Jeno. Dengan perlahan ia meremas milik Jeno. Dengan takut-takut ia memerhatikan wajah Jeno yang kini menggeram kecil. Matanya terkadang terbuka namun seringnya menutup. Halisnya menyatu dengan sempurna. Se-enak itukah? Dengan bersemangat Chenle menambah tempo kocokannya.
“Gini?”
“Hngh... Iya gitu...”
“Lu kenapa deh?” Chenle ngeri melihat Jeno seperti ini.
“Terusin aja.”
Chenle dengan semangat mengocok penis milik Jeno. Lalu tanpa permisi Jeno mendorong penisnya menuju wajah Chenle, membuat Chenle kaget dengan sempurna.
“Apa?!” Tanya Chenle bingung.
“Kulum. Masukin ke mulut.”
“Ewh.. gak!”
“Masukin!”
“Gamau, Jen.”
“Masukin, Chenle!”
Jeno memaksa Chenle membuka mulutnya dan dengan sekaligus memasukan penisnya.
Dengan ukurannya yang besar tentu saja Chenle tersedak.
“Sakit Jen... Keluarin.”
Jeno malah memaju mundurkan pinggulnya, membuat penisnya mentok pada tenggorokan Chenle.
“Rileks aja, coba di kulum kayak permen.”
Chenle ingin mengeluh namun ia tak bisa apa-apa maka ia hanya menuruti apa yang Jeno mau.
“Hngh iya, gitu.”
“Ahhhngg... Iya, Le, abisin aja.”
Bagai sengatan listrik, setelah mendengar Jeno mendesah dengan namanya ia malah bersemangat.
“Ahhhh.. mulut lu enak banget kayak lonte.”
“Hngghhh lu sering bj ya?”
Chenle terus saja mengulum penis Jeno. Memainkan lidahnya pada ujung penisnya lalu memasukkan kembali pada mulutnya, terus seperti itu hingga ia merasa penis Jeno semakin membesar.
“Lee... HHhh.. bentar lagi keluar...”
Mulutnya pegal, air liurnya menetes keluar dari mulutnya. Jeno melihat Chenle seperti itu semakin berhasrat. Chenle sangat cantik sekarang.
“Aaahhhhnnggghhh....”
Hingga pelepasannya datang, ia masih menatap Chenle yang berusaha menerima tembakan spermanya.
“Telen.”
Sejujurnya Chenle merasa jorok namun dengan terpaksa ia menelan sperma Jeno yang, wah.... Chenle merasa mulutnya akan meledak.
Setelah Jeno cum, ia kembali menunduk, meremas bokong Chenle dengan brutal.
“Hhhh Jen, udahan...”
“Gabisa, gue belum masuk.”
Jeno melebarkan kembali kaki Chenle, membuat lubangnya terlihat. Tangannya kembali menerobos pertahanan lubang itu diiringi dengan Chenle yang mendesah keras.
“Sakithhh... Hnggg tapi enak, Jen...”
“Enak, Le?”
“Iyah...”
“Ini enak?” Jeno kembali menusuk prostat Chenle, membuat Chenle menggelinjang.
“Iyah... Iya ituhhh hngg lagi, Jen.”
Chenle tak henti-henti meramalkan nama Jeno bak mantra. Seperti sihir, Jeno semakin semangat mengobrak-abrik lubang Chenle.
“Gue masuk, ya?”
Chenle terdiam sebentar. Ia memikirkan kemungkinan kemungkinan yang terjadi.
“Gue gamau pun lu tetep masuk, kan?”
Jeno mengangguk mengiyakan. Siapa juga yang akan melepaskan hak seperti ini ketika kamu sudah mendapatkannya didepan matamu?
“Yaudah. Tapi pelan-pelan, ini pertama buat gue.”
Jeno mengangguk setuju. Jeno tak mau menyakiti Chenle. Tadi, obsesinya sedikit membutakannya namun kini ia ingin memperlakukan Chenle dengan benar, dengan seharusnya.
Jeno menuntun penisnya yang sudah ia beri lube menuju lubang Chenle yang terlihat menggoda. Ketika ujung penisnya menyentuh lubang Chenle, Chenle menggeram kasar. Ia bersumpah ini tidak masuk, lihat saja bahkan ujung penis Jeno lebih besar dari ukuran lubangnya.