kilavyall


Hogwarts tidak pernah sepi. Semua penjuru kastil akan tampak hidup meski seperempat dari penghuninya sedang berkumpul di lapangan Quidditch.

Dan ketika semua orang bersama-sama menuju lapangan Quidditch, lelaki dengan surai pirang keemasan itu akan berjalan melawan arus menuju perpustakaan. Bukankah aneh? Siapa yang rela melewatkan pertandingan seru Quidditch antara Slytherin dan Griffindor? Tentu saja pemuda kutu buku yang kini asik membuka buku ramuan.

Sorak sorai lapangan yang terdengar dari luar menandakan pertandingan sudah dimulai. Dan pemuda itu akan asik tenggelam dalam setiap komposit racikan ramuan yang akan ia coba di kelas ramuan nanti.

Zale tidak akan terusik pada apapun ketika fokusnya sudah berkumpul pada buku, namun sebuah gedebug keras yang menabrak jendela perpustakaan seketika membuatnya berpaling. Ia berdiri dengan cepat, menghampiri jendela terbuka demi mendapatkan seorang pemuda sedang melayang terjatuh dari kastil perpustakaan.

Tentu saja Zale panik. Maka dengan sekejab ia mengambil sapunya dan ikut terjun menyelamatkan pemuda itu sebelum tubuh tak berdayanya menghantam tanah.

Zale berpikir keras, kecepatan sapunya tak akan bisa mengalahkan kecepatan tubuh yang terjatuh, maka dengan rasa paniknya ia melayangkan mantra pelambat bagi tubuh si pemuda hingga ia dapat menangkap tubuhnya.

Hap..

Tubuh jangkung itu tertangkap. Sapunya yang sebelumnya stabil tiba-tiba tak terkendali karena menambah bobot.

Zale berusaha keras. Jangan sampai niat menolongnya menyebabkan ia terkena bahaya juga.

Setelah sapu kembali stabil dan ia menyamankan posisi mereka berdua, Zale dengan cepat bergegas menuju Hospital Wings.

Kalian tahu? Zale tak pernah absen mengunjungi Hospital Wings demi membantu Madam Pomfrey mengurus apapun yang bisa ia kerjakan, namun baru kali ini ia datang ke Hospital Wings lengkap dengan pasien.

Kedatangannya di Hospital Wings disambut heran oleh Madam Pomfrey.

“Dia kenapa, Zale?”

Madam Pomfrey bertanya sembari menarik sebelah tangan pemuda itu, membantu Zale memapah tubuh tingginya menuju salah satu bangsal.

“Aku mendengar suara tabrakan kencang ketika membaca buku yang kau rekomendasikan, lalu mendapati ia sedang meluncur bebas.”

Tubuh si pemuda sudah berbaring nyaman. Madam Pomfrey dengan gesit memeriksa keadaan pemuda tersebut.

“Apa ia jatuh ke tanah?”

Zale menggeleng sebagai jawaban. “Aku menangkapnya dengan semua kemampuanku.”

Madam Pomfrey tersenyum sedikit, “terimakasih atas kebaikanmu, Zale.”

Zale ikut tersenyum. “Tak masalah.”

Setelah memeriksa, Madam Pomfrey berdiri dan bergegas pergi ke suatu tempat. Langkah tergesa nya lalu terhenti ketika Zale bertanya sembari berteriak.

“Apakah ia baik-baik saja Madam?!”

“Tentu saja ia sedang kesakitan.” Balas Madam Pomfrey teriak. “Dan hey, kecilkan suaramu, ini rumah sakit Zale!”

Zale tersenyum menanggapi. Bukankah ia juga berteriak tadi?

“Ohya Zale, aku memintamu untuk berdiam menunggunya hingga aku kembali.”

Zale membalasnya dengan wajah yang memberenggut suram.

“Apakah kau tau? Bahkan buku nya belum aku baca barang setengah halaman.”

“Diam disini atau aku tak akan membiarkanmu membantuku lagi.”

“Oke...”

Lalu selanjutnya adalah langkah Madam Pomfrey yang semakin menjauh dan rasa kesalnya yang muncul.

Dipandanginya wajah pemuda yang kini terbaring damai. Zale merasa ia bukan pingsan melainkan hanya tertidur karena wajahnya sangat damai.

Pandangannya tanpa sadar beralih pada baju dan jubah yang ia kenakan.

“Oh sial, kamu ternyata pemain Quidditch. Apakah tadi kamu menabrak kastil karena mengindari bludger?”

Zale bertanya satu arah sembari menarik kursi disamping ranjang.

“Tidak, aku menabrak kastil ketika mencoba menangkap snitch.”

“Astaga kaget!” Bokongnya yang baru saja menempel pada kursi tiba-tiba terjungkal saking kagetnya.

“Apakah kau baik-baik saja?”

Suara tegas itu seketika menyadarkan Zale yang sebelumnya mengaduh kesakitan menyayangkan bokongnya yang mencium lantai.

“Ini semua karena mu!” Zale berseru tak suka.

“Maaf, apakah begitu mengagetkan hingga kau terjatuh?”

Zale berdiri dengan kesal. “Tentu saja!”

Pemuda itu tertawa sebentar. Hei apa yang lucu?

“Maafkan aku.”

“Ya tidak apa-apa lagian ini salahku juga karena terlalu berlebihan.”

Kini yang terbit pada wajah pemuda itu senyum manis, dengan mata yang tenggelam membentuk bulan sabit.

Sejak kapan ada lelaki setampan ini? Pikir Zale dengan random.

“Apakah kamu dari Slytherin?” Tanya pemuda tampan itu.

“Bukankah sudah jelas?Apa karena menabrak kastil mata mu menjadi tidak bisa melihat?” Aneh, mengapa pemuda ini menanyakan hal-hal yang bahkan tak perlu ditanyakan.

“Bukan, maksudku, mengapa aku seperti tak pernah melihatmu?”

“Apakah aku adalah hantu yang akan berkeliaran dimanapun?”

Pemuda itu menghela nafas sebentar, “Maksudku, kita bahkan satu asrama?”

Zale berfikir sebentar. Betul juga. Pemuda inipun memakai seragam Slytherin.

“Mungkin karena aku jarang berinteraksi? Entahlah aku bahkan tak pernah tau ada kau di Slytherin.” Zale menjawab tak peduli.

“Hei kau tak mengenalku?”

Zale mengernyit bingung. “Apakah semua orang harus mengenalmu?”

Pemuda itu tertawa lagi.

“Aku seeker terbaik Slytherin kau tak tau?”

“Aku bahkan tak peduli pada Quidditch.”

Pemuda itu membiarkan bola matanya membulat sempurna. Bagaimana bisa ada yang tidak menyukai Quidditch?

“Halo... Wah kau sudah bangun rupanya, apa yang kau rasakan sekarang, bagian mana yang sakit?” Madam Pomfrey yang baru datang memberi pertanyaan beruntun pada pemuda itu.

Karena dirasa kehadirannya sudah tak diperlukan, Zale berdiri hendak meninggalkan Hospital Wings.

“Mau kemana kau?”

Langkahnya yang sudah setengah menuju pintu keluar terhenti. Badannya berbalik lagi.

“Bukankah aku sudah cukup membantu mu Madam, kasian sekali buku ku tidak ada yang membaca.”

Madam hanya menggeleng dan membiarkan Zale pergi.

“Siapa dia?”

Tanya pemuda itu kepada Madam Pomfrey ketika Madam Pomfrey sedang menyiapkan ramuan.

“Bukankah kalian satu asrama? Mengapa kau bertanya padaku?”

Pemuda itu tersenyum kikuk.

“Sepertinya tulang bahumu ada yang retak. Minum ini dan beristirahatlah.” Tangan Madam Pomfrey memberikan cangkir berisi ramuan pekat.

“Baunya sangat jelek.”

“Jangan berkomentar dan minum saja sebelum retaknya semakin parah.” Jawab madam galak.

Pemuda tersebut akhirnya meminum ramuan sembari memikirkan siapa lelaki tadi.


“Hei Zale, kemana saja? kupikir kau tertidur lagi di perpustakaan.”

Langkahnya di lorong sayap kiri kastil terhenti ketika ia berpapasan dengan Jamie, seorang Griffindor yang tanpa sebab mau berteman dengannya.

Memang sejak selesai nya perang antara Harry Potter dan you know who dulu, asrama di Hogwarts menjadi akur, bahkan Draco dan Harry pun menjadi sahabat. Menurut cerita kakeknya setiap ia berkunjung.

“Aku bahkan tak sempat menempelkan pipiku pada meja perpustakaan.”

“Kenapa?”

“Aku mengantar pasien ke Hospital Wings, dan kau tau? Madam Pomfrey akan memintaku ini itu sesukanya.”

“Bukankah kau menyukainya?” Jamie tersenyum ringan.

“Tentu saja aku suka, tapi pemuda tadi menyebalkan. Ia bersikap sok tau sekali.”

Tanpa sadar mereka melangkah bersama dengan Jamie yang menuntunnya menuju aula karena jam makan siang akan datang.

“Hey aku akan ke perpustakaan!” Ujar Zale kesal.

“Sebentar lagi jam makan siang Zale, aku tidak akan membiarkanmu melewatkan jam makan siang lagi.” Jawab Jamie sembari mendorong pelan bahu Zale yang berhenti.

“Tentu saja aku akan makan. Ah aku sangat lapar, aku ingin makan paha ayam.”

“Kau dapat memakan apapun Zale.”

“Bisakah aku duduk disebelahmu Jamie?”

“Kau sudah menanyakan ini puluhan kali Zale.”

Wajah Zale kembali suram. “Mengapa aku menjadi Slytherin, harusnya aku Griffindor saja bersamamu.”

“Tanyakan saja pada topi seleksi.”

“Aku bahkan tak punya ambisi seperti Slytherin.”

“Belum.”

Mereka sampai di aula. Banyak orang sudah berkumpul dan bersiap makan siang sedangkan Zale masih mencari tempat dimana ia bisa menikmati paha ayam.

Zale berpisah dengan Jamie, ia menuju meja Slytherin dan mencari ruang kosong disebelah siapapun karena ia bersumpah ia sangat lapar sekarang. Namun sepertinya para Slytherin tak bisa membiarkan ia duduk.

Demi Merlin, Zale ingin pindah asrama sekarang.

Tangannya tiba-tiba ditarik pemuda yang ia tidak tahu siapa dan memberi nya tempat duduk dengan cepat. Hingga ia menyadari jika pemuda ini adalah pemuda yang sama di Hospital Wings tadi.

“Untuk apa kau menarikku?” Bisik Zale tak terima. Wajahnya sangat menunjukkan penolakan.

“Kalau aku tak membawamu duduk, kau tak akan mendapat tempat. Lihat sekelilingmu, apakah ada yang mau berbagi tempat?”

Zale membuang muka kesal. Yang dikatakan pemuda itu adalah benar.

“Namaku Noel.” Ucap pemuda itu berbisik-bisik.

“Aku bahkan tak bertanya?” Zale menjawab dengan berbisik pula.

“Hanya jaga-jaga kau membutuhkan aku nanti.”

Zale tak menanggapi. Ia malas berurusan dengan pemuda ini karena bahkan sekali tatap pun Zale yakin ia sangat menyebalkan.

“Noel, kau dari mana saja? Kabur ketika bertanding huh?”

Noel dan Zale sama-sama berbalik menghadap pemuda lain yang kini menyerobot duduk disamping Noel.

“Aku dari Hospital Wings bodoh, kau tidak tau kan aku menabrak kastil perpustakaan.”

Zale hanya mendengarkan mereka karena ya Zale sungguh tak tau ia harus apa sekarang, lagipula makan belum dimulai karena para profesor belum berkumpul.

“Bagaimana bisa? Kami pikir seeker terbaik Slytherin kabur karena takut melawan seeker Griffindor.”

“Opini yang sangat bodoh, Ver.”

Vero tertawa kecil. Tatapannya menjelajahi sekelilingnya lalu menangkap kehadiran asing disamping Noel.

“Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya?”

Tangan kanan Noel refleks memukul Vero. “Pelankan suaramu bodoh, kau ingin dilempar piring oleh Snape?”

“Ya ya sorry aku lupa. Jadi, siapa dia?”

Noel mengedikkan bahunya acuh. “Tak tau.”

Zale yang mendengarnya melotot. Tapi mengingat ia tak pernah menyebut namanya pada Noel, ia memaklumi.

“Dia yang menolongku dan mengantarku menuju Hospital Wings.”

“Oh balas budi?”

Noel mengangguk.

Zale ikut mengangguk. Oh.. hanya balas budi rupanya.

Tak lama setelah itu para profesor berkumpul dan makan siang dimulai. Zale tak ingin mengambil banyak pemikiran lain karena ia hanya ingin makan ayam namun sepertinya tidak bisa. Tiba-tiba perasaan nya menjadi tidak enak dan kesal.


Ruang rekreasi Slytherin tak pernah sepi karena para Slytherin sangat senang membuat keributan dan bercengkrama. Waktu-waktu seperti inilah yang akan membuat Zale kabur dari asrama, menuju menara cahaya dan membaca beberapa buku sembari menunggu jam malam datang.

Namun entah mengapa pertemuannya tadi siang seakan menjadi awal mula dari pertemuan-pertemuan lain antara dirinya dan Noel.

“Bukankah ini waktunya berkumpul di ruang rekreasi atau di kamar?”

Zale hanya diam tak mengindahkan lalu melanjutkan langkahnya menuju menara cahaya.

“Hei pirang!”

Zale berbalik murka. Apa-apaan itu pirang?! Bahkan rambut Noel lebih pirang!

“Namaku Zale, hanya panggil Zale atau jangan memanggilku!”

Noel tertawa.

Sepertinya semuanya akan lucu bagi Noel.

“Maaf, aku tak tau namamu.”

Zale kembali berbalik, namun kini ia tak sendiri. Noel mengikutinya dari belakang.

“Berhenti mengganggu ku Noel!”

“Aku tak berniat mengganggu mu Zale.”

Zale menggeram kesal.

“Lalu stop mengikutiku!”

“Aku tak mengikutimu!”

Zale kembali berbalik dengan kesal. Kini ia mengambil langkah panjang dan tergesa. Ia tak ingin Noel menyebalkan itu mengikutinya.

Namun sepertinya Noel adalah pemuda keras kepala, ia ikut mengambil langkah besar bahkan hampir berlari demi menyeimbangkan langkahnya dengan Zale.

“Noel!”

“Zale.”

“Arghhh mengapa kau menyebalkan sekali?!”

“Aku hanya ingin menemani mu.”

“Aku. Tak. Butuh. Kau. Temani. Noel! Jadi berhenti mengikuti dan pergi!” Ucap Zale frustasi dengan penekanan di setiap kata.

“Aku tak bisa pergi. Bagaimana jika Dementor datang lalu menculikmu? Atau pelahap maut? Atau para penyihir jahat lain?”

“Aku bahkan sudah berkeliaran seperti ini setiap malam selama dua tahun dan tidak ada apapun yang kau sebutkan tadi?”

“Apakah kau tidak mau aku temani?”

Zale mengangkat satu alisnya. “Ya, tentu saja?”

“Kalau begitu, mari kembali ke asrama!”

Tangan Zale ditarik kuat oleh Noel.

“Hei berhenti kau dasar tidak sopan! Lepaskan aku bodoh aku ingin ke menara cahaya!”

“Kau bisa kesana besok pagi!”

Adegan tarik menarik tak dapat dihindari. Zale yang bertekad kuat ingin pergi ke menara cahaya, dan Noel yang tidak tahu datang darimana mencampuri urusannya dan kekeuh ingin membawanya ke asrama.

Ketika adegan tarik menarik itu terjadi, terdengar suara kucing yang sangat khas.

Mereka berdua, Zale dan Noel mematung seketika.

“Itu Mrs. Norris!” Ucap Noel dengan cepat. “Ayo kembali ke asrama atau Filch akan menghukummu.”

Arghhh, Noel sangat menyebalkan! Gara-gara ia ritual malamnya gagal.

Mereka berdua lari menuju asrama sebelum Filch memergoki mereka atau halaman belakang akan menjadi teman mereka berdua selama sebulan.

“Ini semua karena mu, argh aku sangat membencimu Noel!” Teriak Zale sembari tetap berlari menuju asrama.

“Sama-sama Zale, tak perlu khawatir.”

Zale benar-benar benci fakta ia harus mengenal Noel.


Chenle tidak pernah tau ajakan iseng nya akan di iyakan. Seperti, terlalu mudah? Padahal dari lama ia beri semua afeksinya pada lelaki itu, ia tak pernah berharap bisa merasakan timbal baliknya. Tapi kayaknya Tuhan kasih dia kesempatan, iya kesempatan maksiat.

Kini Chenle sedang berdiri di samping pintu masuk lobi utama, tapi tiba-tiba ragunya muncul.

“Kayaknya si Jeno Le iseng aja deh, gak mungkin juga mau hs sama stranger” batinnya sendiri.

Tapi melihat balasan Jeno yang mengirim alamat lengkap, sepertinya tidak mungkin jika berbohong? Maka dari itu pemuda November itu beranikan dirinya masuk kedalam. Mencari letak lift lalu menekan tombol sesuai lantai yang ia tuju.

Tak butuh waktu lama, kakinya sudah menapak sempurna di lantai tujuannya. Sebuah pintu langsung menyambutnya.

Apartment ini mewah, namun sepertinya masing-masing penghuni tidak peduli terhadap penghuni lain. Aneh, pikirnya. Namun bukankah bagus? Orang-orang tidak akan memedulikan keberadaannya.

Tangannya terjulur ragu pada sebuah tombol di samping pintu. Jika ia menekan sekarang, maka manusia di dalam entah itu Jeno Le atau jebakan akan mengetahui ia sudah sampai. Maka ia sempatkan menghela nafasnya beberapa saat sebelum benar-benar menekan bel.

Setelah menekan bel dengan yakin, ia melihat setitik cahaya di atas tombol-tombol angka, lalu suara serak basah menyusul.

“Who?”

Selamatkan Chenle sekarang! Mendengar satu kata dari sosok itu saja ia sudah hampir gila.

“Its me, cakar punggung, if u remember”

Pintu dengan cepat terbuka, menampilkan sosok yang ia damba tengah bertelanjang dada.

“Oh my Gosh!” Teriaknya dalam hati.

Chenle menatap intens manusia dihadapannya, pikirannya sudah berjalan kemana-mana.

“Lo cute banget, gue gak nyangka sosok cakar punggung itu segemes ini?”

Chenle kembali tersadar demi sedetik kemudian hampir gila. “Dia bilang gue gemes?!”

“Hey, lu denger gue kan?”

Chenle menyengir.

Bodoh, siapa suruh ia tersenyum bodoh seperti itu aaakkkk ia sangat malu sekarang.

“Thank you, banyak yang bilang gitu padahal gue lebih ngerasa tampan ketimbang gemes?”

“Ppffttt”

Chenle melihat Jeno menahan tawa, memang nya apa yang lucu?

“Lo kok bisa berasumsi Lo tampan?”

“Karena kenyataannya memang?”

Yaiya sih, Jeno akui Chenle memang tampan, namun paras cute atau gemasnya lebih mendominasi.

“Oke, tapi Lo bisa masuk dulu.”

Maka sepasang kaki itu melangkah, melewati pemuda bertelanjang dada yang kini menutup pintu lalu menyusul Chenle menuju ruang tengah.

Chenle masih berdiri, begini-begini ia memiliki tata Krama bertamu, maka dengan itu Jeno tak segan mempersilahkannya duduk.

“Thank you?”

“Sama-sama”

Chenle sudah memikirkan banyak hal di rumah, bagaimana ia harus bersikap pertama kali pada Jeno, ia hanya takut awkward. Namun sepertinya praduga ia salah besar, justru semua pemikiran awalnya tak berguna disini, ia dan Jeno terlihat alami, mereka sama-sama tidak memiliki rasa canggung apapun seperti kawan lama yang sudah sering bertemu dan berbincang.

“Sebelumnya gue penasaran, kok Lo bisa seberani itu ngirim pesan ajakan hs?”

Ya chenle juga tidak tau, maka ia membalas, “iseng”

Jeno kaget. “Seriously?!”

“Engga sih, gue udah lama pengen hs sama lu cuma ya lu tau sendiri we are different, so yah. Gue cuma sedih lu bakal balik ke Jepang terus implusif kirim itu ke DM, taunya lu bales, and then..”

“Oke..”

Chenle memiringkan kepalanya sejenak, menatap jeno penasaran.

“Gue juga penasaran, kenapa lu ngeiyain ajakan hs stranger?”

“Gue cuma kepo bocil mana yang iseng kirim DM, taunya bocil gemes.”

“Gue bukan bocil?”

“Tapi Lo gemes?”

“Oke, stop.”

Kekehan itu keluar begitu saja. Jeno terlihat makin tampan ketika ia tertawa, matanya tenggelam membentuk garis sabit.

“Btw nama Lo?”

“Chenle.”

“Gue Jeno”

“Gue tau?”

“Hahahaha, oke. Mau minum sesuatu?”

Chenle tersenyum menghargai. Jeno adalah tuan rumah yang baik, “tentu.”


Mereka berbincang banyak mulai dari karir Jeno sebagai pengusaha terkenal, pun bagaimana lelaki manis pemilik segudang talenta yang kini sebenarnya sibuk mempersiapkan pertunjukan musik.

Sebetulnya Jeno juga mengenal Chenle, ia sering mendengar namanya disebutkan beberapa orang diikuti dengan gelar pemuda paling berbakat, namun ia masih denial, bagaimana bisa musisi terkenal itu memintanya hs?

“Lo pernah hs?” Jeno iseng bertanya seperti ini hanya meyakinkan jika dirinya bukan yang pertama.

“Pernah, sama pacar gue.”

Jeno terkejut, “lo punya pacar?”

“Sekarang udah jadi mantan.”

Oke.

“Jadi mau kapan?”

Tiba-tiba diserang pertanyaan seperti itu chenle jelas shock. Wajahnya sedikit memerah namun dengan cepat ia mengendalikan dirinya. Toh tujuannya datang untuk itu kan?

“Gue ngikut sih.”

“Hahahaha, oke. Lo suka gaya apa?”

Fr???!!! Dia nanya dulu sampe hal-hal kayak gini? Maksudnya.. seriously?

“Gue kayaknya apa aja suka, tapi lagi pengen nyoba di atas?”

“Maksudnya uke on top?”

Mukanya kembali memerah. “Yaa kayak gitu deh”

“Hahaha Lo lucu banget sumpah, gue boleh pegang pipi Lo gak?”

Chenle sudah tidak waras!!! Tolong!!

Namu ia tetap memberikan anggukan. Maka Jeno mendekat, tangannya mengelusi pipi merah alami milik Chenle.

“Pipinya emang pink gini atau pake blush on?”

“Emang gini kok.”

Jeno mengangguk paham dan tersenyum.

Makin lama usapannya turun pada bibir semerah ceri, mengusapnya perlahan yang tak lama kemudian menjadi sensual.

“Udah cium berapa orang?”

“Cuma mantan pacar gue.”

Jeno kaget bukan main. “Sumpah?”

“Yaps!”

“Kalo gitu, boleh gue cium?”

Chenle tersenyum. Apakah Jeno akan meminta izin pada apapun hari ini? Mari kita lihat.

“Jeno, ambil semua, hari ini gue punya lu”

Maka dengan persetujuan itu Jeno mendekat pada Chenle.

Semakin dekat wajah mereka, Chenle menutup mata dan menunggu, ia akan semakin gila jika bersitatap dengan mata gelap itu, namun lain dengan Jeno. Di setiap detik ia bersyukur bisa melihat wajah cantik ini dari dekat. Chenle ternyata, secantik ini! Stranger yang menawarinya ciuman dan cakaran punggung secantik ini!

Sepasang bibir itu bertemu. Saling memagut lembut memberi pengenalan pertama pada masing-masing nya.

Jeno merasakan lembut yang luar biasa, dan aroma ceri yang menguar seakan candu baru untuknya. Sedangkan Chenle, ia sedikit merasa pahit dan manis dari suatu rasa yang ia yakini zat adiktif bernama rokok.

“Lo abis ngerokok?” Tanya pemuda manis itu disela-sela kecupannya.

“Sorry, gue lupa gak ngunyah permen karet dulu.” Namun raut wajah Jeno tak nampak penyesalan, ia malah tersenyum manis kemudian semakin memperdalam ciumannya.

Ciuman yang semulanya hanya pagutan lembut menjadi ciuman panas sedikit serakah. Jeno candu dengan bibir ceri itu, pun dengan Chenle. Mereka banyak bertukar saliva hingga pemuda pemilik bibir ceri itu menepuk dada Jeno agak keras, menandakan nafasnya sudah habis.

“Sorry,” ucap Jeno tak enak.

“No need, Jen.”

Jeno mengusap bibir Chenle yang masih dipenuhi sisa saliva, membawa jarinya yang tadi mengusap pada mulutnya. Menjilat dan mengulumnya, membuat pipi Chenle kembali memerah.

“Hey tolong apa maksudnya?!” Batik Chenle kembali berteriak.

“Lu manis banget, sorry tapi boleh cium lagi gak?”

Baru saja Chenle mengangguk kini Jeno sudah menariknya lebih dekat. Membawanya ke pangkuan menjadi berhadapan dan melumat bibirnya sedikit lebih kasar.

“Chenle kalo Lo sakit bilang ya, gue suka kelewat kasar soalnya”

Ahh Chenle paham. Maka ia akan mengimbangi Jeno, dengan apapun.

Selagi ciuman itu semakin panas, tangan Jeno tak diam, ia mencari celah menuju punggung Chenle, atau perut, atau dada atau apapun itu ia ingin menyentuh Chenle sekarang tolong Chenle rasanya sangat memabukkan.

Jeno kesulitan meloloskan lidahnya menuju mulut Chenle hingga tanpa sadar ia menggigit bibir yang lebih muda.

“Aww!”

“Sorry”

Jeno menghentikan sebentar ciumannya, mengusap pipi Chenle sebentar kemudian meloloskan lidahnya menuju lidah Chenle, dan lolos, dan lidah mereka bertemu, dan Jeno menyentuhnya dengan lidahnya, dan lidah mereka berpagut dan rasanya Jeno akan gila. Tolong, bagaimana bisa hanya berciuman membuat miliknya dibawah sana sesak?

Chenle sama gilanya, setelah lidahnya bertemu dengan lidah Jeno ia semakin kesulitan berfikir dengan benar, ia hanya mau Jeno, mau Jeno terus menyentuhnya, menciumnya, memberinya banyak afeksi seperti ini. Maka ia menyalurkan seluruh rasanya pada usapannya di rambut Jeno, Jeno benar-benar gila.

Tangan Jeno berhasil masuk kebagian punggung Chenle. Masih dengan berciuman rakus tangannya kini tak henti meraba semua yang bisa ia sentuh.

Setelah puas dengan ciumannya, Jeno menghentikan secara sepihak, membuat Chenle kehilangan. Ia menatap jeno meminta lebih.

“Ah, Lo kok cantik banget sih le?”

Dengan sedikit mengerucut bibirnya karena lagi-lagi mendapat pengakuan cantik, ia menyanggah dengan cepat. “Gue tampan, sumpah le Jeno gue tuh ganteng ih”

Jeno kembali mengeluarkan tawanya. Mengapa rasanya begitu menyenangkan bersama Chenle, padahal ia baru bertemu?

“Le?”

Chenle yang sedari tadi masih asik memainkan rambutnya kini berfokus menatap Jeno. “Ya?”

“Gue mau cium Lo lagi, tapi kali ini gak di bibir doang,”

Chenle masih menunggu apa yang akan Jeno katakan.

“Gue mau cium semuanya, gue mau cium dagu Lo, pipi Lo, idung Lo, telinga Lo, terutama ini,” tangannya menunjuk leher jenjang Chenle. “Terus kesini,” kini tunjuk nya pada tulang selangka. “Terus turun kesini, kesini, kesini, kesini, dan sampe sini, rasanya gue pengen cium semua bagian dari Lo boleh gak?”

Apakah Chenle akan menolak? Tentu saja ia akan menerima dengan senang hati.

“Jeno, lakuin apapun yang Lo mau, gue udah bilang kan Lo boleh ambil semua? Hari ini gue punya lo.”

Maka dengan itu ciuman itu mendarat pada bibirnya, lalu turun ke dagu, naik ke hidupnya, pindah pada pipi, dan turun pada tulang rahangnya. Setelah puas ciuman itu kembali turun dan kini berhenti di leher jenjang Chenle, memberinya banyak tanda cinta. Chenle tak masalah toh dia juga ingin.

“Chenle Lo enak banget Lo candu banget Chenle .... “

“Gue akan kasih semuanya, Jen”

Kini ciuman itu pindah pada tulang selangka, memberinya banyak juga tanda cinta.

“Lo wangi ceri”

“Ceri manis”

“Gue suka Lo wangi ceri, tapi gue takut habis gue cium wangi ceri nya ilang.”

“Engga, Jen, gak akan ilang.”

“Chenle yang dibawah udah sesak.”

Chenle tau maksudnya. Dan pikiran jahilnya tiba-tiba datang.

“Yang mana Jen?” Tanya nya pura-pura bodoh.

“Yang bawah, Le. “

“Yang ini?” Tangan putihnya mengelus gundukan yang semakin membesar.

“Stop! Jangan dimainin.”

“Kenapa?” Namun tangannya semakin cekatan mengusapnya, menekan-nekan asal dan memutar-mutar jarinya disana.

“Chenle stop... Gue makin sesek.”

“Kalo gitu buka dong, biar gak sesek. Gue bantu urut deh? Atau bonus gue emut mau?”

“Lo...”

“Gue kenapa?”

Jeno menggeleng dan membuka resletingnya dengan cepat.

Chenle yang masih duduk dipangkuan Jeno hanya memerhatikan hingga milik Jeno keluar dan berdiri sempurna.

“Waw” kesan pertama Chenle melihat milik Jeno tentu saja kagum. Sangat besar dan panjang, apakah itu akan muat pada lubangnya?

“Boleh pegang?”

Jeno mengangguk mengiyakan. Maka dengan cepat Chenle turun dari pangkuannya dan memegang milik Jeno.

Tangannya meremas kecil, membuat Jeno merem melek keenakan.

“Enak?” Tanya Chenle.

“Enak.”

“Padahal baru diremes, inipun pake tangan, gimana pake lubang gue nanti.”

“Stop ngomong kotor gitu heh!”

Chenle melotot kaget, “kenapa?”

“Gue makin sange.”

“Oh my gosh”

Chenle dengan telaten meremas, mengurut dan mengusap milik Jeno. Membuat Jeno semakin gila dengan Chenle.

“Tolong diemut, Chenle, gue pengen diemut.”

Karena Jeno meminta dengan sopan, maka ia akan mengabulkan.

Ketika miliknya sudah masuk pada mulut Chenle, ia merasakan hangat, dan lembut. Namu miliknya belum masuk semua, hingga ia berinisiatif mendorongnya.

“Jenooo, stop, gak muat masuk semua, uhuk...” Chenle hampir tersedak.

Jeno hanya terkekeh. Ia mengusap rambut Chenle iseng.

“Gak enak banget yang ujung gak masuk, dia pasti iri sama ujung yang lain.”

Chenle hanya memutar bola matanya malas.

“Shhhh... “

“Belom apa-apa udah ngedesah?”

“Ya Lo pikir siapa yang tahan diemut enak gini?”

Chenle tersenyum, semakin gencar menjilat, mengulum bahkan kini ia menggigit dan menggesekkan giginya pada kulit penis Jeno.

“Lo kok enak banget sih? Shhhh”

“I know..”

“Nghhh le..”

“Apa? Jangan ngomong mulu gue susah jawabnya”

“Nghh.. heh jangan digigit.”

Ketika sedang enak-enaknya ia merasakan miliknya di blow job tiba-tiba ia merasa hampa ketika Chenle berdiri dan dengan cepat kembali duduk dipangkuannya.

“Kenapa?”

“Mau juga”

“Mau di blow job?”

“Mau dimasukin”

“Dia cuma ngomong mau dimasukin tapi kok gue makin sange sih?” Batin Jeno bermonolog.

“Ayo, di kamar Lo ya? Gue gak mau di sofa nanti sakit pinggang.”

Jeno mengangguk lalu berdiri, dengan Chenle yang kini berada di gendongannya seperti koala. Tangannya naik menyangga badan Chenle sedangkan bibirnya tak henti mengecup bibi ceri itu lagi.

Mereka kini tiba di kamar Jeno. Dengan nuansa yang sangat Jeno sekali dan bau Jeno yang semakin menyengat. Chenle suka bau Jeno, maka ketika ia di rebahkan di kasur ia langsung berguling-guling dan memeluk apapun yang ada disitu.

“Hei jangan ngeberantakin.”

“Chenle jangan guling-guling nanti jatoh.”

“Chenle—

Jeno, gue suka bau Lo”

“Nanti pas hs gue transfer semua bau nya.”

“Ayo hs sekarang!”

“Lo gak mau ngapain dulu gitu?”

“Ngapain? Kan tujuan gue kesini mau hs?”

“Yaiya sih... Wow santai le santai..”

Jeno sedikit terkejut ketika Chenle sudah membuka baju dan kini membuka resleting celananya.

“Kok celana dalem nya engga?”

“Lo gak mau bukain?”

“Oh God...”

Chenle sudah bertelanjang dada seperti Jeno sekarang, hanya celana dalam yang kini belum tanggal. Tubuhnya putih bersih, mulus seperti porselen, dan lekukannya sangat cantik.

“Tubuh Lo cantik banget.”

“Mangkanya Lo gak akan nyesel.”

Jeno menyetujuinya.

“Mau langsung hs?”

“Enak aja, bikin gue sange dulu Jen..”

“Emang lu belum sange?”

“Yaaa.... Udah sih...”

Jeno tertawa ketika bibir favorit nya itu sedih maju, tanda pemiliknya merajuk, maka dengan cepat ia menghampiri Chenle dan menciumnya lagi.

Ciuman itu semakin panas. Ketika Chenle mengambil nafas sebentar, benang saliva nya tak terputus, membuat kesan seksi bagi Jeno. Setelah dirasa sudah cukup mengambil nafas Jeno kembali menciumnya, mengecupnya, mencumbunya. Bibir ceri itu benar-benar manis dan enak, seperti narkoba Jeno benar-benar semakin candu.

Tangan Jeno tak henti bergerak mencari bokong Chenle. Memasukan tangannya kedalam celana dalam Chenle yang masih tersisa, meremas bokongnya.

“Buka dong, mau gue tampar nih pantatnya.” Pinta Jeno disela-sela ciumannya.

“Buka sendiri dong.”

Chenle tersenyum menantang.

Maka tanpa aba-aba Jeno langsung menarik celana dalam itu dalam satu hentakan.

“Punya Lo lebih kecil dari gue.”

Chenle tersenyum manis. “Yang Lo butuhin pantat gue bukan kontol gue.”

Ya, betul sih, tapi dengan Chenle berkata kotor seperti ini rangsangan itu semakin menjadi.

“Jen, punya Lo juga buka dong, masa gak adil Lo masih celanaan.”

“Buka sendiri dong.”

“Cih. Sini deketan!”

Jeno mendekat, dan dengan cepat Chenle menarik turun celananya, disusul dalamannya hingga kini ia sama bertelanjang seperti Chenle.

“Le, nungging dong.”

“Jeno gue mau di atas.”

“Nungging dulu ya, nanti Lo di atas.”

Dengan berat hati Chenle menuruti.

Setelah ia menungging, ia merasakan ada sebuah tangan yang meraba pantatnya, mengusapnya, perlahan, semakin naik, hingga tangan itu sampai pada lubangnya.

Jeno mengetuk-ngetuk lubang itu, membuat Chenle merasa sedikit geli. Lalu jarinya memutar-mutar, meraba permukaan lubang itu dengan sensual.

“Permisi, apa jarinya gamau dimasukin?” Chenle bertanya karena gemas, ia mati-matian menahan rangsangan sedangkan Jeno malah tertawa memainkan lubangnya.

“Gue ludahin boleh?”

“As you want.”

Lalu Jeno meludah di jarinya, mendobrak lubang Chenle dengan satu jari.

“Ssshhhh...”

“Sakit?”

“Menurut Lo?” Chenle tak habis pikir, apakah Jeno ketika nge-sex akan semenyebalkan ini?

“Hahaha, sorry” namun permintaan maaf itu hanya tameng ketika jarinya malah bertambah menjadi dua.

“Sorry kalo sakit, tapi lubang Lo sempit banget.”

Chenle tak menjawab, ia hanya menikmati rasa perih yang kini mulai beradu dengan rasa nikmat.

“Shhhh... Jen...”

“Ahhh....”

“Cepet dikit dong Jen... Ahh... Iyah.. shhh.... Gitu jen—ahhhh...”

Jeno yang mendapat reaksi positif semakin bersemangat, kini ia menambah jarinya menjadi tiga.

“Aaaaaa... Sakit Jen”

“Sorry, penetrasi soalnya punya gue lebih gede.”

“Cih, sombong banget.”

“Hahahaha.”

Setelah puas bermain dengan jarinya, Jeno mendekatkan wajahnya pada belahan bokong Chenle, membuat si empu yang merasakan deru nafas itu kebingungan.

“Jen, ngapain Jen?”

Lidah Jeno terjulur hingga menyentuh lubang Chenle, membuat si pemilik lubang terkejut.

“Jeno jangan pake mulut Lo—shhhh.... Jen....”

“Jeno stop pake kontol Lo aja Jen—ahhh... Jen udahhhhhhh... Stop shhhh dulu....”

“Masukin dikit Jen, iya disitu shhh dikit lagi... Jen... Jen cepetan dikit—shhhh...”

“Tadi katanya jangan, gimana sih kok gak konsisten?”

“Jeno mau gue pukul ya?”

“Maunya di cakar.”

Wajahnya kembali bersemu. Mengapa Jeno mudah sekali membuatnya merasa malu?

Gerakan mulut Jeno dibawah sana berhenti. Kini mulutnya menciumi gundukan pantat Chenle. Ciuman itu berjalan perlahan turun hingga paha bagian dalamnya, laku turun ke kakinya. Jeno benar-benar menciumi semua bagian bawah tubuhnya seperti ucapannya sebelumnya.

Jeno membalik tubuh Chenle menjadi terlentang, menyusuri seluruh tubuh indahnya dengan ciuman, tak lupa beberapa tanda merah yang dibuatnya ia tinggalkan.

Ciumannya kini sampai pada betis, lalu naik lagi pada paha, dan berakhir pada penis Chenle.

Jeno menyentuh penis Chenle perlahan, membuat Chenle sedikit berjengit kaget.

“Lebih kecil tapi boleh lah.”

Chenle hanya menyimak apa yang akan Jeno lakukan.

Tangan itu dengan tanpa permisi mengurut miliknya yang memang sudah mengeras, meremasnya, memutar-mutarnya. Chenle menikmati semuanya hingga tangan itu berhenti. Ketika Chenle ingin protes ia kembali dikagetkan dengan miliknya yang kini di blow job oleh Jeno.

Chenle melotot meminta penjelasan namun tak dapat dipungkiri ia juga merasa keenakan.

“Gantian, masa yang enak gue doang.”

Oke..

Setelah puas bermain dengan milik Chenle, Jeno kembali menjelajahi tubuh indah Chenle dengan ciumannya.

Dari perut hingga sampai pada nipple.

Chenle kembali tercekat ketika Jeno memainkan nipple nya.

Dikulumnya nipple sewarna merah muda itu dengan tangannya yang memainkan bagian nipple yang lain.

Chenle hampir gila, hanya dimainkan nippel nya saja ia basah, caira pre-cum nya keluar. Jeno benar-benar membuatnya kepayahan.

Setelah puas bermain dengan nippel, kini Jeno kembali menciumi ranum ceri itu, memberi seluruh rasanya disitu. Chenle tak ingin berhenti.

“Aku boleh masuk?”

Lagi-lagi Jeno izin padanya.

“Boleh.”

“Aku pelan-pelan kok, kalau sakit kamu bilang ya?”

Aku? Chenle mengangguk seraya tersenyum. Jeno dengan sebutan pada dirinya 'aku' dan konotasi positif yang lain membuat Chenle merasa sangat dihargai.

Penis milik Jeno sudah mengarah pada lubangnya, membuat gugup Chenle kembali datang, ia sudah lama, dan ia tau akan sakit.

“Kamu kalau mau merem, boleh kok.”

Jeno, mengapa pribadi yang ia damba rasanya begitu sempurna. Chenle kembali mengangguk dan menutup matanya, mempersiapkan diri hingga sakit itu da—

“Aaaaa..... “

Sakit itu sungguh datang, dan ia benar-benar kesakitan. Tanpa sadar air matanya lolos. Tangannya yang semula tanpa kerja kini mencengkeram bantal dengan keras.

“Kamu boleh cakar punggung aku sekarang.”

Tangan Chenle beralih pada punggung Jeno, menyalurkan rasa sakitnya lewat cakaran.

Jeno yang baru masuk setengah merasa tidak tega, jadi ia mendiamkan dirinya dulu, ia ingin memberi Chenle ruang dan ingin Chenle terbiasa dengan miliknya.

Melihat air mata itu menetes, Jeno berinisiatif mencium kedua mata Chenle yang masih memejam, berniat menghapus air mata nya.

“K-kamu, boleh masukin lagi.”

Jeno merasa khawatir, apakah sangat sakit?

“Boleh?”

“Boleh Jeno, malah kalau diem gitu gak enak banget akunya.”

“Oke.”

Mengantongi izin itu akhirnya Jeno kembali mendorong miliknya, kini sekali hentak agar Chenle merasa sakitnya sekaligus.

“Arg..... ” Cakaran itu kembali Jeno dapatkan.

“Sakit banget?”

Chenle mengangguk masih memejamkan mata. “Sakit banget.”

Jeno kembali diam, ia tidak ingin lebih menyakiti Chenle, ia tidak akan bergerak sebelum diminta.

“Jeno...”

“Ya?”

“Kamu boleh gerak.”

“Gapapa?”

“Gapapa...”

“Oke..”

Maka dengan itu Jeno bergerak. Perlahan-lahan. Ia tak ingin menyakiti Chenle. Hingga suara desahan dari pemuda dibawahnya membuat libidonya seketika naik.

“Ngghhh....”

Bagaimana ini? Jeno merasa ia harus menambah kecepatannya namun ia takut Chenle akan—

“Agak cepet Jeno.”

—memintanya lebih cepat? Oke baiklah.

“Shhh....”

“Ngghhh... Iya Jeno iya cepetan lagi Jen...”

Duh, mengapa desahan Chenle membuatnya bersemangat?

“Aahhhhh Jen, iya Jen, enak Jen....”

Jeno memerhatikan wajah Chenle yang kini sudah membuka mata. Matanya sayu, menatap kearahnya. Disusul senyum manis yang membuat dunia Jeno ingin berhenti seketika. Chenle begitu indah. Apalagi dengan senyum cantik dan keringat yang membuat anak rambutnya basah.

“Jen ahhhhhh enak banget..”

“Kamu sempit banget, Le, kayak gak pernah sex.”

“Udah lama nghh.. Jen.”

“Pansshhhtesanhh..”

Lubang Chenle ditumbuk dengan cepat, membuatnya merasa nikmat dunia.

Milik Jeno yang mendarat acak di lubang Chenle semakin menambah kenikmatan hingga penis Jeno tak sengaja menyentuh titik manis Chenle membuat nafas Chenle tercekat.

“Iya... Iya disitu jenhhh aaarrghh iya itu...”

Ah, Jeno menemukannya.

“Terushhh Jen, yang nggghhh cepet jenhhh, iyahhh itu shhhh...”

Kenapa desahan Chenle begitu indah?

Tubuh Chenle melengkung, menandakan ia benar-benar merasa kenikmatan itu, membuatnya tanpa sadar mengeratkan lubangnya, mencengkeram penis Jeno disana.

“Chenle jangan disempitin arrggghhh... Lo shh Lo enak banget ahhh Chenle...”

“Jenoo....”

“Kenapa?”

“Gue ahhh... Gue mau diatas...”

Oh Jeno hampir lupa. Ia mendekatkan wajahnya pada Chenle, memagut ranum kesukaannya kembali dengan dibawah yang masih setia bergerak.

“Jeno...” Chenle berbicara disela ciumannya.

“Oke sekarang Lo di atas..”

Posisi mereka berubah. Jeno kini telentang dan Chenle duduk diatasnya, oh tidak, diatas penisnya.

“Boleh gerak gak?” Tanya Chenle setelah mereka menyamankan posisi.

“Boleh.”

Chenle perlahan bergerak, membuat penis Jeno kembali menabraknya, dan kiri rasanya lebih dalam.

Ini, ini maksud Chenle ia berada di atas, ia yang akan mengendalikannya.

“Chenle shhh....”

“Nghh jeennn....”

“Makin sempit le, dalem banget..”

“Jeno, Jeno gue mau gila rasanya...”

“Gue lebih gila..”

Tangan Jeno bergerak meremas pantat Chenle, menamparnya berkali-kali membuat pemiliknya merasakan sengatan lain.

“Kenapa di tampar?”

“Soalnya gemes, sakit gak?”

“Sakit, tapi enak, hehe...”

That hehe, oh my gosh Jeno sungguh tak waras.

“Mau cakar punggung, Jen..”

“Lo boleh cakar apapun kecuali muka gue.”

Tangan Chenle kini bergerak di perut Jeno, memberinya pola acak sembari bokongnya yang terus bergerak.

Chenle menunduk, menggerakkan bokongnya menjadi kedepan belakang. Tangannya memeluk tubuh Jeno, menyalurkan rasa nikmatnya pada cakram di punggung, sesuai yang ia katakan tempo hari.

Dan Jeno, ia menikmati semua cakaran Chenle, ada rasa lain ketika Chenle mendesah sembari mencakar punggungnya.

“Aku mau keluar, Jen... Ah..”

“Gue boleh keluar di dalem?”

“Boleh..”

“Oke kalo gitu bareng ya?”

Chenle mengangguk hingga itungan ketiganya didalam hati, ia sampai pada putihnya.

Jeno juga sampai pada puncaknya, ia melepaskan semua putihnya didalam Chenle, membuat Chenle merasa penuh.

Tetesan milik Jeno yang tak cukup didalam Chenle keluar, mengenainya dan bersatu dengan milik Chenle yang semua bertumpu di perut Jeno hingga turun pada seprai.

“Jeno maaf jadi kotor, hehe..”

Jeno tersenyum gemas. “Gapapa, Chenle.”

Chenle masih berada di atasnya, ia membersihkan perut Jeno yang semula dipenuhi putihnya dengan seprai, lalu merendah dan memeluk tubuh Jeno dengan nyaman. Kepalanya tepat dibawah dagu Jeno.

“Makasih,” ucapnya pelan.

Jeno yang bingung lalu bertanya, “buat apa?”

“Semuanya, makasih udah kasih aku afeksi banyak-banyak hari ini, aku gak salah selalu berharap bisa kasih semua yang aku punya sama kamu.”

Jeno tersenyum gemas, ia mengusap anak rambut Chenle yang menempel.

“Makasih juga, udah kasih aku semuanya.”

Chenle sedikit bergerak, membuat Jeno tanpa sadar meloloskan desahannya karena milik Jeno masih berada didalam Chenle, namun masing-masing dari mereka tidak berniat melepaskannya.

Tangan Chenle bergerak acak pada dada bidang Jeno, membentuk pola melingkar, segitiga, ketupat, jajar gentang, trapesium, hingga terakhir ia menuliskan namanya disana.

“Btw, bukannya Lo mau ke Jepang?”

“Kayaknya gajadi.”

Chenle mendongak kaget, membuat keningnya menabrak dagu Jeno.

“Aduh...”

Jeno tertawa, lalu kini mengusap kening Chenle pelan.

“Kenapa gak jadi?”

“Kayaknya sekarang Indonesia punya alasan buat bikin gue gak kemana-mana deh?”

Chenle menunjukkan ekspresi bingung. “Apaan?”

“Yang DM cakar punggung, hahahaha—aduh maaf”

Chenle tertawa ketika berhasil mencubit hidung bangir Jeno. gerakan aktifnya tanpa sadar kembali membangunkan milik Jeno.

“Ssshhhh Chenle jangan gerak atau gue genjot lagi?!”

Chenle berhenti seketika. Namun di detik berikutnya ia sengaja menggerakkan kembali pantatnya.

“Jeno, cakar punggung mau?”


Hari-hari nya berjalan seperti biasa. Tak berbeda kecuali hatinya yang sedikit demi sedikit menerima.

Menerima jika ia kini sendiri, jika Jaemin-nya sudah pergi, dan menerima semua kehadiran Renjun.

Setahun berlalu, Chenle akhirnya memutuskan untuk kembali membuka toko kue peninggalan sang bunda. Dengan buku resep peninggalannya juga, setahun berlalu ia habiskan dengan mencoba berbagai resep kue. Renjun tetap menemaninya. Hingga besok, toko kue peninggalan bundanya resmi kembali dibuka.

“Semua sudah siap, Chenle?”

“Sudah kak.”

“Tidak perlu tegang, semua berjalan baik-baik saja sampai hari ini. Semoga selalu baik.”

Memori di kepalanya sedikit memutar kisah balik dari sebuah kalimat “semoga baik.”

“Chenle, gapapa?”

Ah... Lagi-lagi...

Chenle memberi senyum menenangkan. “Gapapa kak, cuma agak pusing aja tadi?”

“Mau istirahat dulu? Atau mau ditunda aja acaranya?”

“Gapapa kak, gausah. Pusing biasa doang kok ini udah baik lagi.”

Renjun mengangguk seraya memberi senyum hangat.

Ya, senyum Renjun sangat hangat. Ada sedikit rasa tak wajar yang menghinggapi Chenle, namun buru-buru ia tepis. Ini bukan saat yang tepat Chenle.

“Ayo ke depan, teman-teman yang lain sudah menunggu.”

Mungkin maksud Renjun, teman-temannya.


“Chenle, selamat.”

Hari ini ia menerima banyak ucapan selamat, dan terkahir ia menerima dari Renjun.

Chenle merasa bangga pada dirinya, dan merasa sangat berterimakasih pada pemuda yang kini berdiri dihadapannya.

“Kak, makasih banyak ya, makasih selalu bantu dan nemenin.”

Renjun kembali memberi senyumnya.

“Chenle, maaf kalau kesannya terlalu cepat dan kamu belum siap, tapi aku janji aku siap nunggu kamu. Chenle, kamu mau jadi rumahku?”

Chenle tentu saja terkejut. Ia hanya tak menyangka.

“Kekasih kakak, bagaimana?”

“Dihari kita bertemu, aku sudah melepaskannya. Setelahnya hanya ada kamu.”

Chenle bingung. Ia hanya, tak menduganya.

“Gak usah buru-buru, kalau sudah siap saja. Tapi Chenle, aku bisa jadi rumahmu kapan saja. Kamu bisa pulang kepadaku.”

Senyum dibibir manisnya merekah sempurna, sedikit air mata jatuh menghiasi pipinya.

Chenle apa kamu yakin dengan Renjun?

“Kak, aku bisa jadi rumahmu juga, ayo jadi rumah yang nyaman.”

Renjun merentangkan tangannya, detik pertama Chenle mengerti dan menghambur didalamnya.

Jaemin, apa rumah itu yang seperti ini? Apa Chenle kini punya tempat pulang?

Jaemin, semoga yang baik selalu baik.


Hari-hari nya berjalan seperti biasa. Tak berbeda kecuali hatinya yang sedikit demi sedikit menerima.

Menerima jika ia kini sendiri, jika Jaemin-nya sudah pergi, dan menerima semua kehadiran Renjun.

Setahun berlalu, Chenle akhirnya memutuskan untuk kembali membuka toko kue peninggalan sang bunda. Dengan buku resep peninggalannya juga, setahun berlalu ia habiskan dengan mencoba berbagai resep kue. Renjun tetap menemaninya. Hingga besok, toko kue peninggalan bundanya resmi kembali dibuka.

“Semua sudah siap, Chenle?”

“Sudah kak.”

“Tidak perlu tegang, semua berjalan baik-baik saja sampai hari ini. Semoga selalu baik.”

Memori di kepalanya sedikit memutar kisah balik dari sebuah kalimat “semoga baik.”

“Chenle, gapapa?”

Ah... Lagi-lagi...

Chenle memberi senyum menenangkan. “Gapapa kak, cuma agak pusing aja tadi?”

“Mau istirahat dulu? Atau mau ditunda aja acaranya?”

“Gapapa kak, gausah. Pusing biasa doang kok ini udah baik lagi.”

Renjun mengangguk seraya memberi senyum hangat.

Ya, senyum Renjun sangat hangat. Ada sedikit rasa tak wajar yang menghinggapi Chenle, namun buru-buru ia tepis. Ini bukan saat yang tepat Chenle.

“Ayo ke depan, teman-teman yang lain sudah menunggu.”

Mungkin maksud Renjun, teman-temannya.


“Chenle, selamat.”

Hari ini ia menerima banyak ucapan selamat, dan terkahir ia menerima dari Renjun.

Chenle merasa bangga pada dirinya, dan merasa sangat berterimakasih pada pemuda yang kini berdiri dihadapannya.

“Kak, makasih banyak ya, makasih selalu bantu dan nemenin.”

Renjun kembali memberi senyumnya.

“Chenle, maaf kalau kesannya terlalu cepat dan kamu belum siap, tapi aku janji aku siap nunggu kamu. Chenle, kamu mau jadi rumahku?”

Chenle tentu saja terkejut. Ia hanya tak menyangka.

“Kekasih kakak, bagaimana?”

“Dihari kita bertemu, aku sudah melepaskannya. Setelahnya hanya ada kamu.”

Chenle bingung. Ia hanya, tak menduganya.

“Gak usah buru-buru, kalau sudah siap saja. Tapi Chenle, aku bisa jadi rumahmu kapan saja. Kamu bisa pulang kepadaku.”

Senyum dibibir manisnya merekah sempurna, sedikit air mata jatuh menghiasi pipinya.

Chenle apa kamu yakin dengan Renjun?

“Kak, aku bisa jadi rumahmu juga, ayo jadi rumah yang nyaman.”

Renjun merentangkan tangannya, detik pertama Chenle mengerti dan menghambur didalamnya.

Jaemin, apa rumah itu yang seperti ini? Apa Chenle kini punya tempat pulang?

Jaemin, semoga yang baik selalu baik.


Dulu Jaemin selalu mengajaknya ke perpustakaan kota, atau ke air mancur disisi pusat kota, atau ke tempat penuh pedagang kaki lima. Chenle selalu menyukainya, sepanjang pekan ia akan menebak diakhir pekan ini Jaemin akan membawanya kemana.

Namun sekarang berbeda, Chenle harus menentukannya sendiri.

Disini, tak ada air mancur disisi pusat kota, sedikit jauh dari perpustakaan kota, dan disini tempat pedagang kaki lima tidak seramai disana. Maka ia melangkahkan kakinya menuju danau besar yang dulu sering ia singgahi bersama ayah dan bunda.


Ia sampai. Danau nya tak berubah. Airnya tetap terlihat dalam dan jernih. Perahu kayu dan perahu bebek-bebekan banyak juga, persis seperti dulu, Chenle rindu euforianya.

Danaunya, kini lebih indah.

Chenle mendudukan diri disalah satu bangku yang tersedia. Dulu bangku-bangku ini belum ada, mereka yang datang harus membawa tikar sendiri atau menyewanya. Bersyukur kini ia bisa merenung lama.

Baru saja duduk, pandangannya mendapati pemuda dengan banyak alat lukis didepan sana. Duduk menghadap danau dengan kanvas besar didepannya.

Chenle menyukai seni, maka ia menghampiri pemuda itu.

“Permisi,” ujarannya.

Pemuda itu kini menatapnya lekat.

“Ada apa?”

“Boleh ajari saya melukis?”

Tiba-tiba senyum pemuda itu merekah.

“Tentu saja.”


Setelah duduk dengan nyaman disampingnya, ia menerima uluran kanvas kecil dan pallet kayu mini dengan cat lukis yang sudah tersedia.

“Eh, terimakasih?”

“Sama-sama.” Pemuda itu tersenyum.

“Pertama, kamu bisa mulai dari dasarnya. Boleh buat sketsa terlebih dahulu dengan pensil, atau mau refleks langsung juga bisa, lalu kamu harus... “

Chenle mendengarkan dan mempraktekkan dengan semangat. Setidaknya ia bisa lupa pada Jaemin sebentar.

“Renjun,”

Disela-sela melukisnya Chenle terkejut dengan suara si pemuda yang tiba-tiba. Matanya menatap pemuda itu dengan bingung.

“Namaku, Renjun. Namamu siapa?”

Ah... Tentu saja berkenalan.

“Namaku Chenle.”

“Aku kesini untuk menyampaikan rinduku pada kekasihku, ia pergi setahun lalu.”

Chenle tercekat.

“Ia menyukai danau ini, maka aku kesini untuk memberinya hadiah berupa lukisan.”

“Ia akan sangat senang.” Akhirnya Chenle menanggapi.

Renjun tersenyum tulus.

“Danau ini, katanya penyembuh rindu, Chenle. Aku tak percaya, tapi setelah kamu datang aku percaya.”

“Bagiamana?”

“Kamu pasti sedang melepaskan rindumu juga kan? Entah pada siapa yang jelas kamu kesini ingin melepaskannya.”

Chenle tersenyum mengangguk, Renjun benar.

“Kekasihku, pulang pada rumahnya.”

“Suatu saat kamu akan jadi rumah juga.”

“Semoga”

Memangnya rumah yang mana yang akan dijadikan tempat pulang?


Kota itu ia tinggalkan, pun puing-puing perasaan yang sudah ia ambil kemarin. Dari Jaemin, Jaemin-nya, yang kini pulang pada rumahnya.

'Chenle, kalau sedih bilang, ya? Aku cari obatnya.'

Tapi bagaimana bisa Chenle berkata jika sumber sedihnya ada pada Jaemin, Jaemin yang menjadi bahagianya juga.

Air mukanya tak pernah berubah sejak kemarin. Mata sayu sehabis menangis menemaninya hingga ia menemukan rumah lamanya. Yang dulu menjadi tempatnya selalu pulang, yang kini kosong tak ada kehidupan.

Langkah kakinya menapak pada halaman rumput yang semakin tinggi. Dedaunan berserakan menandakan rumah ini lama tak ditempati. Ya bagaimana bisa ditempati ketika pemiliknya kemarin sibuk mengejar rumah yang lain.

Chenle mengambil kunci pada saku jaketnya. Semalam ia sempat lupa dimana letaknya, beruntung catatan kecil pada note hp mengingatnya pada alat pembuka yang kini menjadi tempat ia berpulang.

Knop diputar, engsel bergeser, suara derit kayu lama memekakkan telinga. Chenle, rumahmu yang ini tetap sama kan? Bedanya kini kosong, tak lagi ada ayah bunda seperti dulu.

“Aku pulang...”

Ucapnya parau. Tentu saja tanpa jawaban.

Ia membawa langkahnya menuju kamar lama nya.

Rumahnya berdebu disana-sini. Sembari menarik koper, pandangannya menelusuri lantai pualam dengan penerangan tamaram.

Chenle, selamat pulang, mari rayakan patah hatimu disini.


Jemari telunjuk putih pucat itu tak henti memutari bibir gelas. Sesekali ia minum coklat panas yang kini menghangat karena termakan waktu. Hening. Semuanya membeku. Pun pada pemuda kaku yang kini duduk dihadapannya memegang cangkir kopi.

“Kakak, mau ngomong apa? Katanya penting?” Suaranya serak, tercekik suasana kaku.

Pemuda di seberang sana mengangguk memantapkan diri sebelum akhirnya meloloskan satu kalimat yang meruntuhkan dunia Chenle.

“Aku... Mau kita udahan.”

Chenle diam disana. Pikirannya berkecamuk.

“Maaf ya?”

Namun Chenle bisa apa.

Bibir pucatnya ia tarik, membentuk senyum simetris. Semua yang melihat tau jika senyum itu bukan senyum tanpa makna, pun Jaemin disana yang menatap penuh rasa bersalah.

“Kenapa kakak minta maaf? Kita dari awal kan udah punya kesepakatan” dan Chenle lah yang menolak kesepakatan tersebut diam-diam.

Jarinya yang semua berputar pada bibir gelas, kini ia tarik. Menyembunyikan dibawah meja lalu saling menggenggam erat-erat.

Nafasnya ia tarik dalam, menghembuskannya pelan lalu kembali tersenyum, kini lebih tulus.

“Kak, gapapa, aku tau sejak awal kakak cintanya sama siapa, aku sepakat buat sudahi hubungan kita kalau cintanya kakak pulang, dan sekarang cinta kakak udah pulang kak, kakak pasti seneng kan?” Senyumnya dipaksa melebar.

Jaemin ikut tersenyum, “Senang, aku senang banget, Le, makasih ya?”

“Harusnya aku yang makasih gasi? Kakak udah kasih aku kesempatan ngerasain peluk hangat kakak, genggaman erat kakak? Makasih ya kak?” Walaupun hati Jaemin tak pernah ia rasakan.

Matanya sedikit berair, namun Jaemin tentu tak sadar.

“Jadi, kita udah?” Tanya Jaemin disana.

Chenle mengangguk, senyum tak pergi namun matanya semakin banjir, maka ia memilih memalingkan wajahnya.

“Chenle, kamu baik, semoga dapat yang lebih baik, ya?”

Chenle mengaminkan dalam hati. Semoga.. semoga ia masih bisa mencintai orang lain setelah semua rasanya ia titip pada Jaemin.

Masih memalingkan wajah, air matanya menetes sedikit. Dengan cepat tangan pucat itu mengusapnya. Jaemin tidak boleh melihatnya bersedih atau ia akan semakin merasa bersalah.

“Kak Jaemin?” Kini pandangannya fokus pada wajah manis itu. Chenle ingin merekam wajah yang paling dicintainya sebanyak mungkin sebelum Jaemin benar-benar pergi.

“Kenapa?” Jaemin balas menatapnya.

“Kakak tau banget sesayang apa aku sama kakak kan? Tolong selalu bahagia ya kak? Sama cintanya kakak itu, makasih udah mau di titip rasa punyaku, sekarang aku izin ambil semua, boleh ya?”

Jaemin mengangguk. Bohong jika ia tak sedih.

“Aku izin peluk, boleh?”

Jaemin terdiam sebentar.

“Aku janji ini terakhir, aku mau peluk buat ambil semua rasa punyaku yang udah ku transfer semua di kakak, dan mungkin salam perpisahan?”

“Tapi kita masih bisa temenan?”

Chenle tidak yakin itu. Jangankan berteman dengannya, mendengar namanya saja nanti mungkin ia akan sedih.

“Maaf banget tapi aku gak yakin, aku sayang banget sama kakak kalau lupa.”

Maka Jaemin berdiri. Menghampiri Chenle dan memeluknya dengan erat. Jaemin menyayangi Chenle, namun cinta pada cintanya yang sebelumnya lebih besar.

Chenle menumpahkan semua tangisnya pada Jaemin. Ini terakhir baginya, maka ia akan memanfaatkan semuanya.

“Kak Jaemin?”

Jaemin tau Chenle menangis, suaranya jelas serak. Namun ia tidak bisa berbuat apapun selain menjawab “Ya?”

“Aku sayang banget sama kakak”

“Aku tau, Chenle, aku tau. Chenle harus bahagia ya?”

Tapi bahagianya di kamu Jaemin, bahagia Chenle cuma kamu.

Jaemin merasakan anggukan itu.

Peluk itu Chenle lepas. Ia meraih tangan Jaemin lembut.

“Izin pegang yang terakhir, hehe.”

Jaemin melihat Chenle tersenyum disana, namun air matanya tetap mengalir. Rasanya sesak, Jaemin pun ingin menangis.

“Tangan kak Jaemin, makasih udah sering puk-puk aku, makasih suka genggam tanganku, makasih udah ngelakuin banyak hal buat aku. Nanti tangan ini punya orang, di sini ada cincinnya. Jadi sekarang aku pinjam sebentar, sebentarrr ajaa.. aku pengen salam perpisahan.”

Jaemin tak lagi menahan tangisnya. Ia menarik tangan itu lalu mengusap lembut kepala Chenle.

“Kakak jangan nangis, aku aja yang nangis, ya? Kakak kalau sedih terus nanti akunya marah.”

“Chenle kamu beneran anak baik, semoga selalu dapat yang baik.”

Chenle kembali tersenyum, air matanya masih setia. Lalu ia mundur selangkah.

'Lepasin sekarang le, di tunda terus makin berat' batinnya berteriak.

“Aku... Aku pamit ya kak, aku.. kak Jaemin.. aku.. aku gatau harus ngomong apalagi tapi makasih banyak, aku pergi sekarang, semua rasa yang aku titip udah aku ambil, jagain cintanya kakak yang bener loh ya, biar gak pergi lagi. Bye kak Jaemin.”

Maka langkah itu melebar. Meninggalkan Jaemin disana.

Chenle, kamu baik, semoga selalu dapat yang baik.

Memangnya, yang baik itu yang seperti apa?