Satu-satunya hal yang Hitomi harapkan di hari ulang tahunnya adalah ia bisa menjalani hari dengan tenang.
Tapi sepertinya, Semesta memang sedang tidak berpihak padanya.
Tadi pagi, hujan mengguyur Bumi dan sialnya, tidak ada payung di dalam tas yang ia bawa—kemarin, ia membereskan isi tasnya dan sepertinya, ia lupa menaruh kembali benda itu ke dalam tas. Ia harus menunggu tiga puluh menit di stasiun, menunggu hujan turun rintik-rintik—sebab menerobos derasnya hujan pagi ini bukan ide bagus; ia bisa saja terkena flu atau demam, yang tentu saja, menyebabkan masalah yang lebih besar. Namun, hujan tak kunjung reda dan ia terpaksa berlari di tengah rinai hujan, sebab jika tidak, ia akan terlambat masuk kelas. Benar saja. Ia masuk tepat saat dosennya meletakkan daftar hadir di atas meja, dengan pakaiannya yang basah kuyup. Untunglah sebelum berangkat tadi, Chaewon meninggalkan jaket miliknya—lebih tepatnya, memaksa Hitomi untuk membawa jaket miliknya (dan Chaewon tak perlu tahu bahwa Hitomi diam-diam bersyukur gadis itu memaksanya membawa jaket biru dongker miliknya. Jika tidak, ia bisa mati kedinginan).
Ia pikir kesialannya akan berhenti saat itu, tapi—oh, Semesta dan permainannya. Kelasnya tidak berjalan dengan lancar. Mangkuk yang ia pakai untuk membuat meringue sedikit basah, ada sedikit sisa sabun di sana—yang sialnya tak ia sadari—putih telur miliknya tidak akan bisa kaku, dan mau tak mau, ia harus mengulangi prosesnya dari awal. Saat ia hendak membuka kaleng manisan buah, jarinya teriris tepian kaleng dan pisau yang ia gunakan untuk memotong buah jatuh—bodohnya, tangannya refleks meraih pisau yang jatuh, tepat di ujungnya yang tajam. Teman-temannya histeris, sebab ada luka sayatan yang terbuka di telapak tangannya. Untunglah lukanya tidak parah—ia tidak perlu dilarikan ke rumah sakit karenanya, namun lima belas menitnya terbuang percuma untuk membersihkan luka di jari dan tangannya. Saat ia pikir semua akan berjalan normal, Semesta kembali mengkhianatinya—lengannya tak sengaja menyentuh loyang yang masih panas milik temannya. Lalu saat berjalan menuju stasiun kereta, sebuah mobil melintas tepat di sampingnya dengan kecepatan penuh—dan lagi-lagi sialnya, ada kubangan air yang terbentuk bekas hujan tadi pagi; Hitomi mandi lebih awal, dan celana putihnya harus tercoreng lumpur. Jika tak malu, mungkin sepanjang perjalanan pulang, ia ingin menangis saja.
Yang ia inginkan saat ini adalah tidur—atau mungkin menghabiskan hari dalam pelukan Chaewon. Tapi bahkan kekasihnya itu tidak akan pulang ke kos-kosan mereka; tugas akhirnya memaksanya untuk bermalam di studio kampus. Eunbi, Hyewon, dan Yena juga tak ada di sini. Entah ia harus bersyukur atau tidak—namun paling tidak, ia bisa menangis sepuasnya, tanpa takut ketiga kakak kosnya itu mengetuk kamarnya dan bertanya apa yang salah dengannya.
Atau skenario terburuk, salah satu kakak kosnya menarik Chaewon pulang. Hitomi tidak ingin menjadi beban bagi Chaewon—gadis itu harus tetap menomorsatukan pendidikannya. Hubungan mereka tidak boleh mengganggu urusan pendidikan masing-masing. Hitomi tidak ingin gadis itu meninggalkan tugas-tugasnya hanya karena Hitomi menangis di kamarnya.
“Enggak bisa banget ya hidupku tenang untuk hari ini aja,” gerutunya sambil menarik selimut, menutupi tubuhnya hingga leher. Hujan kembali turun saat ia tiba di kamar. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan, jadi, kenapa tidak menghabiskan hari dengan tidur?
Hitomi bukanlah manusia yang mudah tertidur.
Ia akan menghabiskan satu jam berguling-guling di atas tempat tidurnya hingga ia bisa pergi ke alam mimpi. Namun, desau pelan angin dan ketukan rintik hujan yang berjatuhan dan berlarian di jendela bisa membangunkannya dengan mudah. Ia mengernyit saat mendengar gemerisik kain dan gerutuan pelan dari luar kamarnya—suara itu terdengar tepat di depan pintunya.
Kak Chaewon 'kan nggak pulang. Kakak-kakak yang lain ada acara himpunan. Jadi siapa?
Ia mengerjap, berusaha mencari benda keras di kamarnya. Pandangannya jatuh pada sebuah termos air alumunium. Cukup 'kan?
Pelan, ia berjalan ke arah pintu. Tangan kanannya teracung mengangkat termos, tangan kirinya meraih kenop pintu. Sigap ia menyentak pintu hingga terbuka—namun ayunan tangan kanannya terhenti saat melihat Chaewon berdiri di depannya, dengan cupcake kecil di tangannya, lengkap dengan sebuah lilin yang menyala. Kedua matanya membulat—terkejut dengan pemandangan di depannya.
“Hitoma?”
“Kak Chaewon?” Pelan, Hitomi menurunkan tangannya yang teracung, matanya bergantian menatap cupcake di tangan Chaewon dan wajah gadis itu yang terkejut, “Kakak kok di sini? Katanya nggak pulang?”
”'Kan tadi aku udah bilang, aku bakal berusaha selesain semua secepatnya biar bisa pulang,” seulas senyum kecil mengembang di wajahnya, “Kamu pasti sendirian malam ini soalnya,” tangannya yang bebas bergerak meraih termos yang Hitomi pegang, meletakkannya di lantai. Pelan, ia menarik gadis itu masuk ke kamar. Hitomi masih menatapnya dengan pandangan bingung, namun tak urung ia duduk di atas tempat tidurnya, berhadapan dengan Chaewon.
“Ditiup dulu, nanti lilinnya leleh,” ujarnya sambil melirik jam di dinding, “Belum ganti hari kok.”
Hitomi mencondongkan tubuhnya, meniup lilin hingga padam, dan Chaewon tersenyum, “Selamat ulang tahun, Sayang.”
Gadis itu menatap bingung ke arah Hitomi—sebab tiba-tiba saja, kantung air matanya bocor; gadis itu sesenggukan di depannya, “Yang? Eh? Kenapa nangis?” Diletakkannya cupcake yang sedari tadi ia pegang di atas nakas, sebelah tangannya meraih Hitomi dalam pelukan, “Kamu kenapa?”
“Dari pagi Hitomi sial terus,” suaranya teredam. Di sela isak tangisnya ia berkata, “Meringue gagal, nggak bisa stiff peak, jari keiris, tangan kesayat pisau sama lengan kebakar, hujan, kesiram air pas mobil lewat, Kak Chaewon juga tadi bilangnya nggak akan pulang,” Hitomi bisa merasakan Chaewon mengeratkan pelukan, dan tangannya menepuk punggung gadis itu pelan, “Hitomi cuma mau hari ini tenang, nggak ada masalah, tapi Semesta kok jahat banget.”
“Hei,” Chaewon menepuk-nepuk kepalanya, mendaratkan sebuah kecupan di pelipisnya, “Maaf. Maaf ya, harusnya aku pulang lebih awal,” perlahan ia melepaskan pelukan, menangkup wajah Hitomi yang basah oleh air mata—hidung dan matanya memerah, “Maaf. Mana yang sakit?” Tangannya bergerak meraih tangan Hitomi yang tertutup perban, “Maaf ya,” pelan ia mengecup lukanya yang tertutup, dan tangannya yang bebas mengusap luka bakar di lengannya, “Maaf. Tadi nggak ngeh juga tanganmu diperban.”
Hitomi menggeleng, “'Kan bukan salah Kak Chaewon,” ujarnya setelah mengatur napasnya sendiri. Sejujurnya, ia malu mendadak menangis sesenggukan di depan Chaewon begini—tapi ia lelah. Ia ingin meluapkan kekesalannya tanpa tahu siapa yang harus disalahkan, pada siapa ia harus meluapkan kekesalannya. Sekali lagi Chaewon menangkup wajahnya, mengusap jejak air mata yang tertinggal. Gadis itu tersenyum dan perlahan, Hitomi memejamkan mata, merasakan hangat napas Chaewon di keningnya.
“Selamat ulang tahun,” satu kecupan di kening, “Maaf aku nggak bisa pulang lebih cepat tadi, tapi sekarang aku di sini. Kalau mau marah, mau nangis, aku di sini,” satu kecupan lain di pipi kanannya, “Semoga kamu bahagia di usia yang baru,” hangat napas Chaewon menyapu pipi kirinya, “Semoga lebih banyak hal baik yang kamu lihat di usiamu yang baru,” Hitomi memejamkan mata saat gadis itu mendekat—mengecup kelopak matanya yang tertutup, “Semoga semua semogamu yang baik segera terwujud,” dan gadis itu menarik diri.
Matanya mencari mata Chaewon, dan gadis itu balik menatapnya dengan senyum kecil tersungging; seluruh galaksi telah berpindah ke matanya—dan bintang-bintang harusnya bersembunyi saja, sebab takkan ada yang lebih terang dari binar di kedua mata gadis itu, dan takkan ada yang lebih hangat dari dekapannya. Perlahan ia kembali mendekat, melipat jarak di antara mereka. Satu sentimeter, dan gadis itu berhenti.
“Aku masih akan jadi punya kamu di ulang tahunmu yang berikutnya,” dan gadis itu menyatukan bibir mereka, membiarkan seluruh kembang api di Bumi meledak dalam kepalanya, membisukan bunyi klakson dan kendaraan lalu lalang di luar, karena saat ini, hanya ada dua hal yang berarti—keberadaan mereka untuk satu sama lain, dan detak jantung mereka yang berpacu, yang setiap degupnya hanya tahu kata sayang.
Manis. Chaewon selalu manis—dalam tutur dan laku. Mungkin itu sebabnya ciuman mereka selalu terasa lebih manis dari mimpi.
Hitomi menarik diri entah di pagutan yang ke berapa, tangannya masih mengalung di leher Chaewon. Ia mendesah pelan, menyandarkan keningnya pada kening Chaewon, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Perlahan, matanya terbuka dan ia bisa melihat Chaewon balas tersenyum.
“Aku sayang Kakak juga,” Hitomi berkata, menjawab kata sayang yang tak diucap, namun terwujud dalam setiap sentuhan. Ia bisa mendengar Chaewon mendengus geli.
Sebuah kecupan kembali mendarat di bibirnya dan Hitomi lagi-lagi tersenyum.
“Aku akan tetap sayang kamu di puluhan ulang tahunmu yang berikutnya juga. Selamat ulang tahun, Cantik.”