kimchaejjigae

Hitomi mengajaknya bertemu di salah satu taman yang ia kunjungi bersama Minju. Tidak ada bunga yang mekar hari ini. Sudah bukan musimnya lagi. Kecantikan mereka sudah bukan milik dunia lagi; mereka sedang mempersiapkan diri untuk sebuah tidur panjang.

Mereka berdua sama-sama terdiam. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Tak ada yang berani memecah kebisuan di antara mereka. Suara dering sepeda dan tawa anak-anak yang berlarian terdengar. Sesekali, beberapa gelembung udara bahkan melintas di depan wajah mereka. Hitomi menghela napas—kelewat kencang dan Minju menoleh.

“Apa kabar, Minju?”

Minju mengerjap. Ia menatap gadis itu tak percaya, “Kamu hilang beberapa minggu dan kamu masih berani tanya kabarku?”

Hitomi tersenyum kecil, namun Minju kini menyadari satu hal—tak ada satupun senyum Hitomi yang terwujud di matanya. Dari awal, Hitomi tak pernah tersenyum padanya; Hitomi mengenakan topeng tebal yang tak pernah ia lepas.

“Aku berantakan, kalau kamu mau tahu. Aku kayak orang gila berusaha nyari tahu kabarmu, bahkan Yuri pun enggak tahu gimana kabarmu.”

“Maaf,” Hitomi berbisik lirih. Minju menggeleng, “Perasaanku itu urusanku, Hitomi. Sekarang aku yang tanya. Gimana perasaanmu soal kabar itu?”

Hitomi menoleh. Selama sepersekian detik mereka bertatapan. Tak ada yang bergerak. Minju bahkan menahan napas. Sebuah senyum kecil kembali tersungging di wajah Hitomi, “Perasaanku juga urusanku, Minju.”

“Kenapa, Hii?” Minju akhirnya mengubah posisi duduknya menghadap Hitomi, “Kenapa kamu masih rela nungguin dia terus? Kamu tahu kalian enggak akan pernah bisa sama-sama. Kenapa milih jalan yang sulit kalau di sini, sama aku, kamu bisa melalui jalan tanpa hambatan?”

“Minju,” gadis itu mengalihkan pandangan pada semak belukar di dekat mereka, “Dia adalah manusia paling pemberani yang pernah aku tahu.”

“Kalau dia seberani itu, harusnya dia mau berjuang untuk kalian, bukannya—”

“Orang seperti dia, jatuh cinta denganku? Kasta aja kami sudah beda,” Hitomi terkekeh, “Tapi dia tetap memberanikan diri untuk jatuh meski di awal aku enggak mau, enggak berani menangkapnya. Dia berjanji kalau kami sama-sama jatuh, dan kami akhirnya berjanji untuk melangkah bersama, meski harus menerjang badai dan meniti tebing. Idiot bukan? Tapi aku lebih memilih untuk menyebutnya berani—atau kalau tidak, kami sama-sama idiot, kalau begitu.”

“Kamu bener-bener enggak mau melihatku, Hii? Enggak bisa lihat aku sama sekali?” Ia bisa mendengar serak suaranya sendiri—menahan tangis yang siap tumpah kapan saja. Hitomi menoleh, dan gadis itu lagi-lagi tersenyum.

“Apa bunga kesukaanmu, Minju?”

Minju mengerjap, tak mengerti mengapa gadis itu secara tiba-tiba menanyakan bunga kesukaannya. “Aku enggak terlalu suka bunga, tapi sakura selalu cantik.”

Hitomi terkekeh, “Kamu benar. Kakakku memang selalu cantik. Dia dinamai begitu oleh Bunda dengan harapan bahwa hati dan parasnya secantik bunga itu.”

Minju menatapnya tak mengerti, namun lagi-lagi Hitomi hanya tersenyum. Sekali lagi ia bertanya, “Kalau kamu mau ngasih aku bunga, kamu mau ngasih bunga apa, Ju?”

Baby's breath,” ujar Minju, “Cantik. Itu aja.”

Hitomi mengangguk, “Terima kasih dan maaf, Ju,” ia berbisik pelan, yang luput dari pendengaran Minju. “Kalau kamu, Hii? Kamu mau ngasih aku bunga apa?”

Hitomi terdiam, tampak menimbang kata-kata yang hendak ia sampaikan, hingga akhirnya berkata, “Tulip kuning.” Matanya berkilat tepat saat kata itu meluncur dari mulutnya; Minju tak paham, namun, ia tahu Hitomi bisa menangis kapan saja. Ia menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Bunga kesukaanmu apa Hii? Aku selama ini cuma tahu kamu suka bunga, tapi aku enggak tahu kamu suka bunga apa.”

Hitomi menghela napas. Ia mendongak, menatap matahari yang sudah hampir tergelincir di ufuk barat. Tangannya terulur, menghalangi matahari yang berusaha menghujani wajahnya dengan sinarnya. Matanya menyipit sebelum akhirnya ia tersenyum simpul.

“Bunga pohon dedalu yang mekar di akhir musim dingin menuju musim semi. Kami berjanji untuk bertemu di sana.”

Detik itu, Minju tahu, hatinya takkan bisa berdarah—hatinya mungkin mati, bersamaan dengan punggung gadis itu yang menjauh.

Bagi Minju, Hitomi saat ini bukan lagi embun di tepian daun di pagi hari yang tersisa dari hujan semalam.

Kamu cantik, dan yang cantik selalu menyukai hal cantik. Kamu lah mawar di tepi tebing, Hitomi.

Cantik, namun tidak tergenggam.

Minju pikir, Hitomi akan bersikap canggung kapanpun mereka bertemu. Nyatanya, gadis itu tetap bersikap biasa saja. Tak ada yang berubah dari gadis itu. Kapanpun mereka bertemu, Hitomi tetap akan tersenyum padanya, bertanya apakah gadis itu sudah makan atau belum, dan sesekali diselipi jangan lupa makan, nanti sakit.

Seolah peristiwa di tengah padang bunga beberapa waktu lalu hanya terjadi dalam kepala Minju.

Gerutuan Yuri dari arah tempat tidurnya membuyarkan lamunannya. “Apa sih Yur? Heboh banget.” Gadis itu mengusirnya dari tempat tidurnya sendiri—sebab memang Minju yang memintanya bermalam di sini. Perlakuan istimewa untuk yang dimintai tolong.

“Kalah main game sama Kak Yena,” bibir gadis itu mencebik, dahinya berkerut, “Aku jadinya harus traktir dia Sabtu nanti.”

“Kak Yena yang senior kamu di klub musik itu?”

“Aku cuma kenal satu Choi Yena, jadi iya,” ujarnya, lantas berguling ke sisi lain tempat tidur. Yuri menatap Minju yang kini duduk terpaku di kursi meja belajarnya.

“Belakangan kok kamu jadi canggung gitu kalau ada Hitomi, Ju?”

Minju menghela napas, “Aku enggak sengaja ngaku suka dia, Yur.”

Yuri mendadak duduk tegak. Tangannya meraih bantal dan meletakkannya di pangkuan. Matanya menatap Minju lurus-lurus, “Cerita.”

“Ya gitu,” tutur gadis itu pelan, “Inget 'kan, berapa waktu lalu aku ngajak dia ke festival bunga? Singkat cerita, ada percakapan kami yang bikin aku keceplosan.”

Yuri menggigit bibir, seperti mengantisipasi sesuatu. Ia sebenarnya tahu apa yang akan terlontar dari mulut gadis itu, namun tetap saja hatinya terasa sakit—sebagiannya terluka untuk Minju, sebab Hitomi belum lepas dari bayang-bayang masa lalu, sebagian lagi berdarah untuk Hitomi, sebab Yuri tahu gadis itu pasti tak sampai hati menolak gadis semanis dan sebaik Minju. Namun, akhirnya ia memberanikan diri bertanya, “Respons Hitomi?”

“Dilihat dari reaksimu, kamu pasti tahu,” ujar Minju sambil tersenyum kecil, “Dia jawab dia sayang aku, tapi ya, diplomatis banget. Sebagai teman,” ia terkekeh, namun ada pahit yang terdengar dari kekeh pelannya.

Yuri terdiam, tak tahu harus bereaksi apa. Namun, sesuatu mengganjal pikirannya, “Tapi Hitomi kok kayaknya biasa aja ya depan kamu?”

“Ya itu,” Minju kembali menghela napas. Sebelah tangannya bergerak menopang pelipis, “Justru karena dia biasa aja, tetap berusaha baik, aku yang bingung. Mending dia menjauh sekalian gitu lho. Kalau gini sih, aku enggak bisa tahu diri.”

Minju tak menyangka jika permintaan setengah seriusnya malam itu menjadi kenyataan. Ia tak lagi bertemu dengan Hitomi. Bahkan pesan-pesan yang ia kirim tak satupun dibalas. Ia sudah bolak-balik bertanya pada Yuri, namun gadis itu juga tak tahu ke mana Hitomi menghilang. Tentu saja Hitomi tetap pergi ke kampus, dan menurut kakaknya, Hitomi pulang ke rumah seperti biasa. Namun, Minju tahu, Yuri tak mau bertanya lebih lanjut pada keluarga Hitomi. Sebab dari Yuri, Minju tahu, kakaknya seperti menutupi yang terjadi pada gadis itu.

Siang ini, Yuri dan Minju berjanji untuk makan siang bersama. Kantin tak seberapa ramai, sebab mereka kemari setelah jam makan siang lewat. Kelas mereka baru berakhir pukul dua. Seperti biasa, Minju akan memesankan makan siang mereka berdua, dan Yuri akan mencarikan meja kosong—yang saat ini sepertinya tak terlalu perlu, sebab selain mereka, hanya ada sepasang muda mudi di sudut yang menghuni kantin.

“Nih, kayak bia—”

“Aku tahu kenapa Hitomi menghindar.”

Minju mengerutkan dahi. Buru-buru diletakkannya nampan di atas meja, ditariknya kursi tergesa dan segera setelah pantatnya menyentuh kursi, ia berkata, “Jelasin. Sekarang.”

Yuri menyorongkan ponsel miliknya. Minju menatapnya bingung, sebab laman yang terbuka di layar ponselnya adalah sebuah portal berita—lebih tepat jika laman tersebut disebut laman gosip, barangkali. “Ini apa, Yur?” Yuri tak menjawab, ia hanya meminta Minju untuk membaca artikel tersebut dengan dagunya, dan pelan, Minju menarik ponsel Yuri. Matanya terbelalak; pandangannya beralih pada Yuri yang kini tersenyum masam.

Kim Chaewon, pewaris perusahaan transportasi Astraea, bertunangan dengan putri bungsu dari keluarga konglomerat Ahn, Ahn Yujin.

“Hitomi—”

“Dia pasti kaget denger berita ini,” ucap Yuri, “Enggak mungkin—”

“Dan dia masih rela nunggu manusia kayak gini?”

Yuri tertegun. Alisnya bertaut; tak pernah ia melihat Minju seperti ini, “Maksud kamu apa Ju?”

“Mantannya udah tunangan sama orang lain, udah mau nikah, mungkin. Dia masih mau-mau aja nunggu? Percaya kalau mereka bakal sama-sama? Apa enggak bisa dia lihat aku yang selalu ada di sisi dia? Rela nunggu dia lepas dari masa lalunya? Rela jalan di sampingnya meskipun di bayangannya, yang ada di sisinya itu mantannya?”

“Kim Minju—”

“Kenapa sih dia enggak bisa nerima aku aja Yur? Kenapa sih dia harus sakit sendirian karena masa lalunya yang enggak akan pernah balik?”

“Kak Chaewon kabur,” dan Minju terdiam, tak percaya pada pendengarannya sendiri, “Apa?”

“Meski berita yang rilis kayak gitu, Kak Chaewon enggak ada di rumah. Dia kabur. Enggak ada satupun yang tahu di mana Kak Chaewon sekarang. Pertunangannya bukan mau Kak Chaewon. Aku dapet link berita itu dari Kak Sakura.”

Ponsel minju tiba-tiba bergetar, dan matanya terbelalak melihat nama si pengirim pesan.

Hitomi Minju... Sudah lama ya. Besok ada waktu? Bisa ketemu, enggak?

Bagi Minju, Hitomi adalah definisi embun di tepian daun di pagi hari yang tersisa dari hujan semalam.

Gadis itu selalu membuat hatinya berdebar—bukan berdebar hingga bergemuruh dan riuh, namun ada perasaan nyaman, tenang, dan aman tiap kali ia berdekatan dengan gadis itu. Gadis itu akan tersenyum kecil, mengucapkan selamat pagi, siang, atau sore, lalu sudah makan atau belum akan meluncur dari bibir mungilnya. Minju hapal kebiasaan gadis itu. Sejak pertama kali mereka bertemu lewat Yuri, Minju tahu bahwa ada sepercik rasa sayang yang tumbuh di hatinya, yang ia siram dan jaga tiap hari, dan tanpa sadar, sayangnya menguncup—menunggu waktu yang tepat untuk mekar.

Semua orang di sekitar mereka tahu bahwa Minju menyukai gadis itu. Mungkin, hanya gadis itu saja yang tak sadar.

Atau pura-pura tak sadar?

Ajakan-ajakan kencan dari Minju selalu ditolak dengan halus oleh gadis itu. Bunda menunggu di rumah, atau hari ini Kak Sakura sedang enggak sibuk, aku mau menghabiskan waktu sama Kak Sakura. Atau bahkan aku hari ini harus belajar, Ju. Kamu tahu sendiri, aku bisa menghabiskan berjam-jam untuk belajar.

Alasan-alasan basi yang Minju tahu adalah cara Hitomi untuk mengatakan aku enggak menaruh hati sama kamu.

Namun, semenjak Minju mengajaknya ke sebuah toko bunga beberapa waktu lalu saat ia akan membeli buket bunga untuk ulang tahun ibunya, Hitomi mulai membuka diri. Tentu saja Minju mengajaknya ke sana karena mendapat bisikan gaib—Yuri bilang, Hitomi suka sekali dengan bunga. Sejak itu, Minju selalu mengajak gadis itu pergi ke tempat penuh bunga. Kali ini, ia mengajak gadis itu pergi ke sebuah festival bunga di kota sebelah.

“Seneng banget Hii lihat bunga?” Minju terkekeh melihat mata Hitomi yang berbinar memandang hamparan padang bunga di depan matanya. Tulip-tulip bermekaran dekat kaki mereka. Di kejauhan, ia bisa melihat bunga krisan, anyelir, forget-me-not, dan tak lupa, mawar beraneka warna.

“Yang cantik kayak gini memang selalu bikin senang 'kan Ju?” Gadis itu tersenyum, melewatkan pandangan penuh sayang dari Minju, “Iya. Yang cantik memang selalu bikin senang.”

Jari telunjuk Hitomi lantas mengarah ke kamera yang terkalung di leher gadis itu, “Jalan yuk, jangan di sini aja. Area festivalnya luas banget lagian. Sayang kalau enggak kamu abadikan semua.”

Sayangnya, sebetulnya, hanya kamu yang ingin aku abadikan dalam potret yang akan kubawa kemanapun aku pergi, Hitomi.

Hitomi mulai mengoceh soal jenis-jenis bunga, warna, bagaimana petani yang pintar bisa menumbuhkan mawar hitam, atau bagaimana kini ada mawar yang setiap kelopaknya berbeda warna—tangan ajaib manusia selalu mampu membawa keindahan yang baru setiap harinya. Minju sesekali mengangguk, mengarahkan lensa kameranya ke arah bunga yang Hitomi tunjuk, dan diam-diam, ia mengabadikan senyum gadis itu dengan kameranya.

“Tapi yang paling menarik, setiap bunga punya bahasanya sendiri, Ju.”

Minju menurunkan kameranya saat ia melihat indikator menunjukkan roll filmnya harus segera diganti. “Oh ya? Kalau mawar, artinya sayang kan ya?”

Hitomi menggeleng, “Mawar warna apa dulu yang kamu maksud?”

Minju mengerutkan dahi, “Emang beda?”

Hitomi tersenyum, “Bunga dengan jenis yang sama akan punya arti yang berbeda jika warnanya berbeda.”

Minju manggut-manggut, berusaha menyimpan potongan informasi dalam kepalanya. Jemarinya lantas mengelus bunga anyelir di hadapan mereka, “Kalau anyelir putih, apa artinya Hii?”

Innocent, pure love,” jawab gadis itu. Jemarinya ikut mengelus kelopak anyelir yang mekar di hadapannya. Ia lantas mencondongkan tubuh, berusaha menghidu wangi bunga itu.

“Kalau anyelir merah?”

My heart aches for you,” gadis itu berujar tanpa memandang Minju. Matahari sudah mulai meninggi, namun cuaca sepertinya merestui mereka untuk terus menikmati hari—awan seakan bersekutu untuk membantu Minju melanjutkan kencannya bersama gadis ini, dan angin membawa aroma manis dari bunga-bunga yang tengah mekar dengan megah.

Sama seperti perasaannya.

“Hitomi?”

Gadis itu menoleh, dan seulas senyum tipis tersungging di wajahnya, “Ya?”

“Kenapa suka banget sama bunga?”

“Karena mereka cantik.”

“Tapi mereka mekar untuk layu, Hii. Kecantikan mereka sementara.”

“Justru karena sementara,” gadis itu tersenyum, “Apa-apa yang sementara harus dihargai. Bukan sementaranya yang harus kamu ingat. Hal-hal indahnya yang harus kamu abadikan.”

“Apa itu alasan kamu selalu nolak ajakan kencanku?”

Hitomi menatapnya dengan pandangan bertanya. Minju menghela napas. Sudah terlanjur.

“Aku suka kamu, Hitomi.”

Hitomi menunduk, memandangi ujung sepatunya yang tercoreng tanah. Jemarinya terjalin, “Kalau kurang jelas, aku sayang kamu, Hitomi. Sangat. Dari pertama kita ketemu. Aku enggak bisa lupa senyum yang kamu lontarkan untukku, dan sejak saat itu, aku bertekad untuk selalu membuatmu tersenyum, selalu melemparkan senyum itu untukku, tapi dari Yuri, aku tahu, ada tembok yang harus aku runtuhkan dulu supaya kamu mau melihatku.

“Aku sayang kamu, Hitomi. Dan aku mau meruntuhkan tembok yang kamu bangun. Aku rela nunggu sampai garis pembatas yang kamu gambar hilang.”

Minju bersyukur tak banyak orang berlalu-lalang di padang anyelir. Ia tak perlu repot-repot merasa malu di bawah tatapan manusia-manusia penasaran, dan ia tak perlu repot-repot merasa bersalah pada Hitomi karena telah membuatnya jadi pusat perhatian. Satu dua hembusan angin kemudian, Hitomi mengangkat pandangannya, menatap Minju dengan senyum—senyum penuh duka, dan matanya berkaca-kaca, menggambarkan gejolak perasaannya yang mungkin selama ini berusaha ia tutupi.

“Kamu teman yang baik, Minju. Aku juga sayang kamu. Siapa yang enggak akan sayang sama teman sebaik kamu?”

Bagi Minju, Hitomi adalah definisi embun di tepian daun di pagi hari yang tersisa dari hujan semalam.

Cantik tak terusik. Satu sentuhan, dan ia akan jatuh berantakan.

“Yur, kenapa sih, temen kamu itu susah banget diajak jalan?”

Yuri, yang merasa namanya dipanggil, lantas menoleh, “Hah. Siapa Ju? Si Nako? Orang dia keluar mulu tiap sore.”

“Bukan,” gadis itu menggeleng. Tangannya merapikan alat tulisnya yang berserakan di atas meja, memasukkannya satu per satu ke dalam tas. Kelas sudah kosong—begitu dosen mengucap salam penutup, para mahasiswa berhamburan begitu saja, “Yang gemes. Masa Nako.”

“Kurang ajar,” Yuri terkekeh, “Kalau Nako denger, yang ada besok kamu udah enggak bernyawa Ju,” dan Minju mau tak mau ikut tersenyum, “Hitomi maksudmu?” Minju hanya mengangguk. Keduanya tampaknya tak berniat beranjak dari kursi masing-masing. Toh, kelas ini tak akan digunakan hingga dua jam ke depan. Tangan kanannya menopang dagu, menatap Yuri yang balas menatapnya dengan kedua alis terangkat.

“Kamu naksir Hitomi?”

Sebuah senyum miring terukir di wajahnya, “Kurang jelas ya Yur?”

Yuri menggeleng, “Bukan. Ini tuh—mastiin aja.”

“Yah,” Minju menghela napas, pandangannya terarah pada jendela di belakang Yuri. Langit sedang cerah-cerahnya. Cuaca tidak terlalu panas, sedikit berawan; pas untuk berkencan. Kecuali kamu tidak punya teman kencan seperti Minju.

“Pokoknya, saat ini, aku lagi suka dia aja, Yur. Gemes banget enggak sih temen kamu itu? Enggak seberapa tinggi, matanya bulat, pipinya gembil, rambut warna-warni kayak gulali—udah kayak definisi cinta.”

Yuri mendengus, “Belum apa-apa udah jadi budak cinta.”

“Serius, Jo Yuri.”

“Tapi Ju,” Yuri tak sadar menggigit bibir, dan sebelah alis Minju terangkat, “Mendingan jangan naksir Hitomi deh.”

Ganti Minju yang mengerutkan dahi, “Kok gitu? Masa aku nyerah duluan sebelum perang?”

“Enggak akan berhasil,” ujarnya, “Hatinya ditutup rapat.”

“Maksudmu?”

Yuri mendesah. Ia lantas menyandarkan punggung pada sandaran kursi, kedua tangannya terlipat di depan dada, “Hitomi pernah jatuh cinta sampai goblok.”

“Semua kalau jatuh cinta juga goblok, Jo Yuri,” suara celotehan mahasiswa terdengar dari luar. Beberapa terlihat berdiri di ambang pintu, sungkan untuk masuk, sebab senior mereka masih ada di sana. Minju mengisyaratkan Yuri untuk segera keluar, dan dari semua tempat, akhirnya mereka memilih untuk mengobrol di kantin yang tak terlalu ramai.

“Jatuh cinta sampai goblok gimana deh Yur?” Minju menarik gelas tinggi di hadapannya. Embun menetes di tepiannya, turun membasahi meja. Diaduknya pelan jus miliknya dengan sedotan—yang diikuti oleh Yuri.

“Dia dulu jatuh cinta sama seseorang,” ujar Yuri memulai ceritanya, “Seniorku sama dia. Mereka lucu banget deh pokoknya. Tipe pasangan yang enggak tega kamu pisahin, enggak tega kamu usik, karena mereka kelihatan bahagia banget. Bahkan aku aja bisa ngerasain sebesar apa rasa yang mereka punya untuk satu sama lain,” Yuri mendesah, seolah tenaganya hilang hanya dengan menceritakan sekelumit kisah dari masa lalu sahabatnya.

“Terus?” Minju menatapnya sambil menopang dagu. Separuh dari isi gelasnya mulai berpindah—mengalir lewat sedotan yang ia gigit.

“Sayangnya, pas mulai kuliah, Kak Chaewon, err, 'mantan',” Yuri membuat gestur tanda kutip di udara, “Hitomi harus pindah. Harus kuliah di universitas pilihan keluarga. Mereka bertahan sementara,” lagi-lagi ia menghela napas, “Tapi jarak dan restu orang tua jadi tembok tinggi yang enggak bisa mereka raih.”

Minju terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana terhadap informasi yang baru saja ia dapat. Ia bisa membayangkan Hitomi jatuh cinta. Ia bisa membayangkan Hitomi mencintai orang lain sebesar itu dan dicintai sebesar itu. Tidak sulit bagi siapapun untuk menyayangi Hitomi; termasuk dirinya.

“Mereka berdua, err, Kak Chaewon sama Hitomi, sama-sama budak cinta. Dulu, Kak Chaewon rela keluar rumah jam satu pagi karena listrik di rumah Hitomi mati pas dia sendirian di rumah. Dulu, Hitomi rela bolos buat jagain Kak Chaewon waktu dia sakit karena orang tuanya enggak pernah ada buat dia, dan kata asisten rumah tangganya, Kak Chaewon enggak mau makan sama sekali.”

Mereka sama-sama terdiam. Minju melirik arloji yang melingkar manis di lengan kirinya. Kelas mereka sudah selesai untuk hari ini. Tak ada masalah jika Yuri terus bercerita bahkan jika itu menghabiskan waktu berjam-jam. Namun, ia tak yakin ia benar-benar sanggup mendengar kisah cinta Hitomi di masa lalu.

Tapi aku harus dengar, pikirnya. Aku enggak mau menyerah sebelum perang.

“Mereka berdua jatuh cinta, bahkan jadi budak cinta sampai goblok. Pas hubungannya harus selesai, orangnya pergi, cinta sama gobloknya aja yang tinggal,” Yuri mendengus geli, menertawakan perkataannya sendiri. Minju mau tak mau tersenyum kecil.

“Terus habis itu?”

Yuri menggeleng, “Enggak ada terusannya, Ju,” Yuri lantas menyeruput habis ice choco miliknya, “Kak Chae sama Hitomi sama-sama nggak pernah kedengeran punya pacar habis itu. Aku bahkan ragu Kak Chae bakal mau dijodohin karena mereka berdua sama-sama yang pertama buat satu sama lain. Sama-sama yang terindah buat satu sama lain. Sama-sama yang mereka mau untuk satu sama lain.

“Jangan jatuh cinta sama Hitomi, Ju. Jangan jatuh cinta sama manusia yang belum selesai dengan masa lalunya.”

Untuk si Tukang Gombal,

Kak, di sini juga mendung kok. Mau di manapun Hitomi berada, kayaknya tetap mendung deh. Soalnya perasaan Hitomi juga sama berantakannya—debar jantung Hitomi belakangan cuma tahu rindu, soalnya. Hitomi bukan Mataharinya Bumi. Hitomi Mataharinya Kim Chaewon. Hitomi cuma bersinar kalau lagi sama Kak Chaewon, jadi kalau di sana mendung—kayaknya Kak Chaewon goblin. Hehe. Enggak apalah. Kita berdua sama-sama goblin kalau gitu; kapanpun kita rindu, langit jadi berawan—awan kelabu pembawa hujan.

Tapi, katanya, habis hujan, terbitlah pelangi. Nanti kalau Hitomi pulang, kita lihat langit sama-sama ya Kak. Betulan ada pelangi enggak ya?

Kakak tahu legenda Milky Way enggak? Atau—Tanabata?

Kita memang enggak dipisahkan restu; jangan sampai. Tapi, sama seperti Vega dan Altair, kita sedang dipisahkan jarak. Jangan khawatir, sebab Hitomi juga rela kok membangun jembatan cahaya, atau bahkan meminta burung-burung untuk sudi membangun jembatan agar bisa bertemu Kak Chaewon lagi; sama seperti Vega dan Altair.

Kak Chaewon, sekarang Hitomi lagi jadi nakhoda kapal nih. Keren banget enggak sih? Hitomi lagi berlayar nih, di tengah samudera, dan yang bisa Hitomi lihat cuma laut, laut, dan Cakrawala. Tapi Hitomi enggak takut tersesat di tengah samudera. Hitomi punya Kak Chaewon; Polaris pribadi. Kakak mau 'kan, tetap bertahan di sana, biar Hitomi bisa pulang? Biar Hitomi tahu jalan pulang?

Hitomi juga mau pulang. Mau bantu Kak Chaewon menghabiskan roti dan menagih boneka yang katanya mirip Hitomi, tapi pasti lebih lucu Hitomi kan? Hehe.

Yang sedang rindu Kak Chaewon, Hitomi

Hai Hitoma,

belakangan di sini mendung. Ini pasti gara-gara kamu jauh, makanya di sini, di Bumi bagian tempatku tinggal, cuacanya selalu kelabu. Mataharinya sedang enggak di sini, makanya cuma awan saja yang berarak di langit. Omong-omong, kamu baik-baik saja 'kan di sana? Asyik banget deh penghuni Bumi bagian tempatmu berada. Cuacanya pasti bagus terus. Bahkan, kayaknya mereka harus pakai kacamata hitam tiap keluar—saking cerahnya matahari bersinar.

Kemarin, aku jalan-jalan sendirian. Kakiku melangkah tak tentu arah, bahkan aku hampir tersesat. Kompas pribadiku lagi jauh nih, jadinya aku mendadak buta arah. Tapi, di tengah jalan, aku lihat satu toko boneka. Ada dua boneka peach yang ukurannya pas untuk dipeluk. Aku tiba-tiba ingat kamu, jadinya kubeli saja bonekanya. Satu untukmu. Satu untukku—kalau sewaktu-waktu aku rindu kamu. Biar kupeluk erat boneka itu, toh, sama lucunya denganmu, meskipun tentu saja enggak ada yang bisa menggantikan kehadiranmu di sini, di sisiku, bersamaku.

Omong-omong, aku menulis surat ini sambil memeluk bonekanya, jadi maaf kalau tulisan tanganku tambah berantakan. Iya, Hitoma, aku tahu tulisan tanganku memang sudah berantakan, jangan diingatkan terus dong. Tulisan dan hatiku sama kok. Sama-sama berantakan. Bedanya, tulisanku sudah berantakan dari awal, sedangkan hatiku selalu berantakan saat kamu jauh seperti ini. Bantu aku merapikan hatiku ya?

Cepat pulang, Hitoma. Aku enggak sanggup menghabiskan roti-roti dari minimarket ini sendirian.

Yang sedang hilang arah, Chaewon.

Hitomi tahu matanya berkaca-kaca tanpa perlu bercermin—sebab pandangannya mengabur, kontras dengan bibirnya yang menyunggingkan seulas senyum kecil.

Ah, Kim Chaewon dan kejutan-kejutan  kecilnya.

Dilipatnya surat yang ia yakin ditulis semalam oleh Chaewon sebelum ia pulang kemari—tulisan tangan Chaewon yang kerap kali membuat Hitomi sakit kepala membacanya kali ini berhasil menerbitkan senyumnya pagi ini. Ia sedang berpikir apa sebaiknya ia membawa surat ini ke manapun ia pergi—diselipkan di dompet, barangkali? Atau dibalik case ponsel miliknya?

Jemarinya meraih kotak kecil yang tergeletak tak jauh dari amplop surat yang telah ia baca. Pelan, ia menarik pita berwarna putih yang mengikat kotak kecil sewarna gandum. Chaewon tak pernah bisa ditebak, dan lagi, kotak ini cukup kecil, jadi ia pikir, mungkin, hadiah dari Chaewon adalah tiket nonton bioskop, atau voucher belanja, atau mungkin—

“Cantik...” ia berbisik lirih, menatap sebuah gelang yang tersimpan rapi di tengah-tengah kotak. Hitomi tahu persis kenapa Chaewon memberinya gelang ini. Beberapa waktu lalu, saat mereka berdua tak disibukkan dengan aktivitas kuliah, mereka berbaring berdampingan di kamar gadis itu, membicarakan hal-hal tak penting tapi cukup membuat mereka tertawa kecil—dari mulai kenapa sapi makan rumput hingga batu kelahiran. Pada akhirnya, mereka tidak peduli apa batu kelahiran mereka, sebab kristal-kristal yang terpampang dalam layar ponsel mereka kelewat cantik.

Rose quartz. Strawberry quartz. Aquamarine. Amethyst.

Hitomi bergurau bahwa warna dan nama-nama kristal itu hanya ia ketahui lewat sebuah permainan simulasi pertanian—si tokoh utama dalam permainan harus pergi menambang kristal. Chaewon sempat mengajaknya ke museum untuk melihat kristal-kristal itu secara langsung, namun Hitomi menolak—sebab museum berisi batuan seperti itu sudah jelas akan memajang koleksi fosil-fosil dinosaurus, dan Hitomi benci membayangkan jika mereka tiba-tiba hidup seperti dalam film tentang museum di tengah malam.

Chaewon membawakan kristal itu padanya dalam bentuk lain—yang akan membuatnya dengan mudah mengingat percakapan mereka ke manapun ia pergi; kristal itu melingkar dengan cantik di pergelangan tangannya.

Untukmu yang hari ini bertambah usia,

aku tidak ingin memulai surat ini dengan sesuatu yang klise, tapi sepertinya satu-satunya hal yang terlintas di kepalaku saat ini hanya itu saja; selamat ulang tahun, Cantik.

Berapa milyar manusia yang menghuni Bumi?

Banyak, tentu saja. Bukan cuma kau dan aku, atau Kak Eunbi, atau Yena dan Hyewon—bukan cuma penghuni kosan ini saja yang tinggal di Bumi. Bahkan jemari kita pun takkan sanggup menunjukkan jumlahnya. Tapi milyaran manusia di Bumi takkan berarti jika kamu tidak lahir.

Aku berlebihan—begitu pikirmu?

Kamu boleh menyebutku begitu. Tapi, Hitoma, aku ingin kau ingat ini; bisa jadi bagi dunia, kamu bukan siapa-siapa. Bagi milyaran manusia yang lain, kamu bukan siapa-siapa. Tapi bagiku, kamu duniaku. Bagi keluargamu, kamu putri kecil mereka, adik mereka, si Bungsu yang ingin selalu mereka jaga dari kerasnya dunia. Jangan merasa kecil—poros Semestaku ada padamu.

Kuharap itu cukup meyakinkanmu bahwa senyum kecil yang kausunggingkan di pagi hari untukku, hangat genggam tanganmu yang terasa tepat di jemariku—dirimu, berarti besar, setidaknya untukku.

Aku menulis terlalu panjang ya?

Sudah bosan belum bacanya? Hehe.

Kamu tanya hadiah ulang tahun? Apa kehadiranku cukup untuk jadi hadiah ulang tahunmu?

Haha, bercanda. Nanti kau bisa ambil sendiri. Kuharap kamu tidak kecewa dengan apa yang kusiapkan—aku akan menyimpan hadiah yang lebih besar untuk ulang tahun-ulang tahunmu yang berikutnya. Aku sudah janji bukan? Aku masih akan jadi punyamu di puluhan ulang tahunmu yang berikutnya. Kamu mau tidak jadi punyaku juga di puluhan ulang tahunmu yang akan datang? Mau ya?

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Cantik. Semoga Semesta berkenan membiarkan kita untuk terus seiring. Semoga Semesta berkenan membiarkanmu dikelilingi hal-hal baik. Semoga Semesta berkenan membiarkanku menerbitkan senyummu di setiap pagi, dan menghapus air matamu jika sewaktu-waktu ia jatuh.

Aku sayang kamu, selalu.

Punyamu, Kak Chaewon :]

Satu-satunya hal yang Hitomi harapkan di hari ulang tahunnya adalah ia bisa menjalani hari dengan tenang.

Tapi sepertinya, Semesta memang sedang tidak berpihak padanya.

Tadi pagi, hujan mengguyur Bumi dan sialnya, tidak ada payung di dalam tas yang ia bawa—kemarin, ia membereskan isi tasnya dan sepertinya, ia lupa menaruh kembali benda itu ke dalam tas. Ia harus menunggu tiga puluh menit di stasiun, menunggu hujan turun rintik-rintik—sebab menerobos derasnya hujan pagi ini bukan ide bagus; ia bisa saja terkena flu atau demam, yang tentu saja, menyebabkan masalah yang lebih besar. Namun, hujan tak kunjung reda dan ia terpaksa berlari di tengah rinai hujan, sebab jika tidak, ia akan terlambat masuk kelas. Benar saja. Ia masuk tepat saat dosennya meletakkan daftar hadir di atas meja, dengan pakaiannya yang basah kuyup. Untunglah sebelum berangkat tadi, Chaewon meninggalkan jaket miliknya—lebih tepatnya, memaksa Hitomi untuk membawa jaket miliknya (dan Chaewon tak perlu tahu bahwa Hitomi diam-diam bersyukur gadis itu memaksanya membawa jaket biru dongker miliknya. Jika tidak, ia bisa mati kedinginan).

Ia pikir kesialannya akan berhenti saat itu, tapi—oh, Semesta dan permainannya. Kelasnya tidak berjalan dengan lancar. Mangkuk yang ia pakai untuk membuat meringue sedikit basah, ada sedikit sisa sabun di sana—yang sialnya tak ia sadari—putih telur miliknya tidak akan bisa kaku, dan mau tak mau, ia harus mengulangi prosesnya dari awal. Saat ia hendak membuka kaleng manisan buah, jarinya teriris tepian kaleng dan pisau yang ia gunakan untuk memotong buah jatuh—bodohnya, tangannya refleks meraih pisau yang jatuh, tepat di ujungnya yang tajam. Teman-temannya histeris, sebab ada luka sayatan yang terbuka di telapak tangannya. Untunglah lukanya tidak parah—ia tidak perlu dilarikan ke rumah sakit karenanya, namun lima belas menitnya terbuang percuma untuk membersihkan luka di jari dan tangannya. Saat ia pikir semua akan berjalan normal, Semesta kembali mengkhianatinya—lengannya tak sengaja menyentuh loyang yang masih panas milik temannya. Lalu saat berjalan menuju stasiun kereta, sebuah mobil melintas tepat di sampingnya dengan kecepatan penuh—dan lagi-lagi sialnya, ada kubangan air yang terbentuk bekas hujan tadi pagi; Hitomi mandi lebih awal, dan celana putihnya harus tercoreng lumpur. Jika tak malu, mungkin sepanjang perjalanan pulang, ia ingin menangis saja.

Yang ia inginkan saat ini adalah tidur—atau mungkin menghabiskan hari dalam pelukan Chaewon. Tapi bahkan kekasihnya itu tidak akan pulang ke kos-kosan mereka; tugas akhirnya memaksanya untuk bermalam di studio kampus. Eunbi, Hyewon, dan Yena juga tak ada di sini. Entah ia harus bersyukur atau tidak—namun paling tidak, ia bisa menangis sepuasnya, tanpa takut ketiga kakak kosnya itu mengetuk kamarnya dan bertanya apa yang salah dengannya.

Atau skenario terburuk, salah satu kakak kosnya menarik Chaewon pulang. Hitomi tidak ingin menjadi beban bagi Chaewon—gadis itu harus tetap menomorsatukan pendidikannya. Hubungan mereka tidak boleh mengganggu urusan pendidikan masing-masing. Hitomi tidak ingin gadis itu meninggalkan tugas-tugasnya hanya karena Hitomi menangis di kamarnya.

“Enggak bisa banget ya hidupku tenang untuk hari ini aja,” gerutunya sambil menarik selimut, menutupi tubuhnya hingga leher. Hujan kembali turun saat ia tiba di kamar. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan, jadi, kenapa tidak menghabiskan hari dengan tidur?


Hitomi bukanlah manusia yang mudah tertidur.

Ia akan menghabiskan satu jam berguling-guling di atas tempat tidurnya hingga ia bisa pergi ke alam mimpi. Namun, desau pelan angin dan ketukan rintik hujan yang berjatuhan dan berlarian di jendela bisa membangunkannya dengan mudah. Ia mengernyit saat mendengar gemerisik kain dan gerutuan pelan dari luar kamarnya—suara itu terdengar tepat di depan pintunya.

Kak Chaewon 'kan nggak pulang. Kakak-kakak yang lain ada acara himpunan. Jadi siapa?

Ia mengerjap, berusaha mencari benda keras di kamarnya. Pandangannya jatuh pada sebuah termos air alumunium. Cukup 'kan?

Pelan, ia berjalan ke arah pintu. Tangan kanannya teracung mengangkat termos, tangan kirinya meraih kenop pintu. Sigap ia menyentak pintu hingga terbuka—namun ayunan tangan kanannya terhenti saat melihat Chaewon berdiri di depannya, dengan cupcake kecil di tangannya, lengkap dengan sebuah lilin yang menyala. Kedua matanya membulat—terkejut dengan pemandangan di depannya.

“Hitoma?”

“Kak Chaewon?” Pelan, Hitomi menurunkan tangannya yang teracung, matanya bergantian menatap cupcake di tangan Chaewon dan wajah gadis itu yang terkejut, “Kakak kok di sini? Katanya nggak pulang?”

”'Kan tadi aku udah bilang, aku bakal berusaha selesain semua secepatnya biar bisa pulang,” seulas senyum kecil mengembang di wajahnya, “Kamu pasti sendirian malam ini soalnya,” tangannya yang bebas bergerak meraih termos yang Hitomi pegang, meletakkannya di lantai. Pelan, ia menarik gadis itu masuk ke kamar. Hitomi masih menatapnya dengan pandangan bingung, namun tak urung ia duduk di atas tempat tidurnya, berhadapan dengan Chaewon.

“Ditiup dulu, nanti lilinnya leleh,” ujarnya sambil melirik jam di dinding, “Belum ganti hari kok.”

Hitomi mencondongkan tubuhnya, meniup lilin hingga padam, dan Chaewon tersenyum, “Selamat ulang tahun, Sayang.”

Gadis itu menatap bingung ke arah Hitomi—sebab tiba-tiba saja, kantung air matanya bocor; gadis itu sesenggukan di depannya, “Yang? Eh? Kenapa nangis?” Diletakkannya cupcake yang sedari tadi ia pegang di atas nakas, sebelah tangannya meraih Hitomi dalam pelukan, “Kamu kenapa?”

“Dari pagi Hitomi sial terus,” suaranya teredam. Di sela isak tangisnya ia berkata, “Meringue gagal, nggak bisa stiff peak, jari keiris, tangan kesayat pisau sama lengan kebakar, hujan, kesiram air pas mobil lewat, Kak Chaewon juga tadi bilangnya nggak akan pulang,” Hitomi bisa merasakan Chaewon mengeratkan pelukan, dan tangannya menepuk punggung gadis itu pelan, “Hitomi cuma mau hari ini tenang, nggak ada masalah, tapi Semesta kok jahat banget.”

“Hei,” Chaewon menepuk-nepuk kepalanya, mendaratkan sebuah kecupan di pelipisnya, “Maaf. Maaf ya, harusnya aku pulang lebih awal,” perlahan ia melepaskan pelukan, menangkup wajah Hitomi yang basah oleh air mata—hidung dan matanya memerah, “Maaf. Mana yang sakit?” Tangannya bergerak meraih tangan Hitomi yang tertutup perban, “Maaf ya,” pelan ia mengecup lukanya yang tertutup, dan tangannya yang bebas mengusap luka bakar di lengannya, “Maaf. Tadi nggak ngeh juga tanganmu diperban.”

Hitomi menggeleng, “'Kan bukan salah Kak Chaewon,” ujarnya setelah mengatur napasnya sendiri. Sejujurnya, ia malu mendadak menangis sesenggukan di depan Chaewon begini—tapi ia lelah. Ia ingin meluapkan kekesalannya tanpa tahu siapa yang harus disalahkan, pada siapa ia harus meluapkan kekesalannya. Sekali lagi Chaewon menangkup wajahnya, mengusap jejak air mata yang tertinggal. Gadis itu tersenyum dan perlahan, Hitomi memejamkan mata, merasakan hangat napas Chaewon di keningnya.

“Selamat ulang tahun,” satu kecupan di kening, “Maaf aku nggak bisa pulang lebih cepat tadi, tapi sekarang aku di sini. Kalau mau marah, mau nangis, aku di sini,” satu kecupan lain di pipi kanannya, “Semoga kamu bahagia di usia yang baru,” hangat napas Chaewon menyapu pipi kirinya, “Semoga lebih banyak hal baik yang kamu lihat di usiamu yang baru,” Hitomi memejamkan mata saat gadis itu mendekat—mengecup kelopak matanya yang tertutup, “Semoga semua semogamu yang baik segera terwujud,” dan gadis itu menarik diri.

Matanya mencari mata Chaewon, dan gadis itu balik menatapnya dengan senyum kecil tersungging; seluruh galaksi telah berpindah ke matanya—dan bintang-bintang harusnya bersembunyi saja, sebab takkan ada yang lebih terang dari binar di kedua mata gadis itu, dan takkan ada yang lebih hangat dari dekapannya. Perlahan ia kembali mendekat, melipat jarak di antara mereka. Satu sentimeter, dan gadis itu berhenti.

“Aku masih akan jadi punya kamu di ulang tahunmu yang berikutnya,” dan gadis itu menyatukan bibir mereka, membiarkan seluruh kembang api di Bumi meledak dalam kepalanya, membisukan bunyi klakson dan kendaraan lalu lalang di luar, karena saat ini, hanya ada dua hal yang berarti—keberadaan mereka untuk satu sama lain, dan detak jantung mereka yang berpacu, yang setiap degupnya hanya tahu kata sayang.

Manis. Chaewon selalu manis—dalam tutur dan laku. Mungkin itu sebabnya ciuman mereka selalu terasa lebih manis dari mimpi.

Hitomi menarik diri entah di pagutan yang ke berapa, tangannya masih mengalung di leher Chaewon. Ia mendesah pelan, menyandarkan keningnya pada kening Chaewon, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Perlahan, matanya terbuka dan ia bisa melihat Chaewon balas tersenyum.

“Aku sayang Kakak juga,” Hitomi berkata, menjawab kata sayang yang tak diucap, namun terwujud dalam setiap sentuhan. Ia bisa mendengar Chaewon mendengus geli. Sebuah kecupan kembali mendarat di bibirnya dan Hitomi lagi-lagi tersenyum.

“Aku akan tetap sayang kamu di puluhan ulang tahunmu yang berikutnya juga. Selamat ulang tahun, Cantik.”