Pengakuan yang Tak Tuntas
“Hitomi sama Minju mana?” Nako mendongak, mendapati gadis itu menyelinap masuk ke kamar Hitomi. Ia mengedikkan bahu, “Bilangnya mau bikin minum. Tapi tadi kayaknya teleponan sama pacar masing-masing.” Gadis itu kemudian kembali menatap layar ponselnya, masih dalam posisi yang sama; telungkup di atas kasur dengan bantal yang menyangga kepala.
“Nabuki,” Yuri ikut berbaring di sebelahnya, dan segera ia mengernyit, sebab Nako tiba-tiba duduk dan menatapnya datar.
“Apa sih aneh banget Yako?” Gadis itu merengut, “Masih soal obrolan yang tadi?”
Nako mendengus, “Pikirin aja lah. Males.”
“Anjir Yako,” Yuri ikut bangkit, mensejajarkan posisi duduknya dengan gadis itu hingga kini mereka duduk berhadapan, “Kak Yena tuh orang baik. Buaya dari mananya? Selama aku jalan sama dia, nggak ada tuh dia kasar-kasar atau genit sama perempuan lain? Malah kayaknya tiap jalan juga selalu ngikutin mauku, nggak pernah dia ngajak aku ke tempat yang dia suka. Pasti harus yang aku suka, atau aku sama dia suka.”
“Ya buaya 'kan gitu semua ya Joguri,” kedua tangan Nako terlipat di depan dada, “Mana ada orang buka kartu di awal? Pasti di akhir lah. Kalau di awal namanya pendaftaran.”
“Kamu nyimpulin dari mana sih dia buaya hah? Denger gosip dari mana aku tanya?”
“Dia jelas banget tadi bilang dia nggak mau pacaran sama kamu. Dia jalan sama kamu karena kamu orangnya asyik. Dia tuh lagi main-main doang sama perasaanmu! Kalau kamu sakit hati gimana?! Aku enggak mau ya kamu sakit hati gara-gara buaya cap kapak kayak dia!”
Yuri mengerjap. Mulutnya membentuk huruf 'O' dan Nako mendengus, “Iya. Oh. Emang dia nggak ada niat serius sama sekali sama kamu.”
Tak ada yang bersuara. Hanya ada suara detak jarum jam yang menyelubungi mereka. Nako tak mengerti kenapa dirinya bisa semarah itu hanya karena pernyataan dari Yena tadi, tapi ia sungguhan tak rela jika sahabatnya itu harus sakit hati karena telah menaruh ekspektasi lebih—atau bahkan menaruh hati pada Yena. Yena dan semua perlakuannya mampu membuat siapa saja salah sangka, namun tak satupun di dalamnya tercurah rasa. Ia tak ingin melihat sahabatnya hancur.
Atau, masihkah mereka berjalan dalam koridor sahabat?
Tawa pelan Yuri memecah keheningan di antara mereka, “Kak Yena emang dari awal udah bilang gitu, Yako,” Nako menatapnya tak mengerti, dan Yuri melanjutkan, “Dari awal kenalan sama Kak Yena, dia tuh udah bilanh kalau dia emang mau kenal aku lebih jauh aja. Kalau emang aku sama dia ngerasa cocok jadi pacar, ya mungkin kami bakal mempertimbangkan untuk ke arah yang lebih serius. Tapi kalau nggak juga ya udah, temenan aja. Toh, nggak rugi. Lagian, emang dia tuh temen yang asyik kok. Aku nyaman sama dia, tapi ya sampai sekarang, aku nggak melihat dia kayak Hitomi melihat Kak Chaewon dulu.”
Kini giliran Nako yang melongo. Sebuah kesadaran baru menghantamnya dengan cepat, dengan kencang.
“Jadi maksud Kak Yena tadi—” seketika mukanya merah padam menahan malu, dan Yuri lagi-lagi tertawa. Dengan senyum jahil dan mata mengerling nakal, ia berkata, “Cie, Yako cemburu?”
Yuri mengira, sebuah penolakan keras seperti yang biasa Nako katakanlah yang muncul—namun, kali ini, Nako menatapnya lamat-lamat.
“Kayaknya iya deh Yur, aku cemburu.”