kimchaejjigae

Pengakuan yang Tak Tuntas

“Hitomi sama Minju mana?” Nako mendongak, mendapati gadis itu menyelinap masuk ke kamar Hitomi. Ia mengedikkan bahu, “Bilangnya mau bikin minum. Tapi tadi kayaknya teleponan sama pacar masing-masing.” Gadis itu kemudian kembali menatap layar ponselnya, masih dalam posisi yang sama; telungkup di atas kasur dengan bantal yang menyangga kepala.

“Nabuki,” Yuri ikut berbaring di sebelahnya, dan segera ia mengernyit, sebab Nako tiba-tiba duduk dan menatapnya datar.

“Apa sih aneh banget Yako?” Gadis itu merengut, “Masih soal obrolan yang tadi?”

Nako mendengus, “Pikirin aja lah. Males.”

“Anjir Yako,” Yuri ikut bangkit, mensejajarkan posisi duduknya dengan gadis itu hingga kini mereka duduk berhadapan, “Kak Yena tuh orang baik. Buaya dari mananya? Selama aku jalan sama dia, nggak ada tuh dia kasar-kasar atau genit sama perempuan lain? Malah kayaknya tiap jalan juga selalu ngikutin mauku, nggak pernah dia ngajak aku ke tempat yang dia suka. Pasti harus yang aku suka, atau aku sama dia suka.”

“Ya buaya 'kan gitu semua ya Joguri,” kedua tangan Nako terlipat di depan dada, “Mana ada orang buka kartu di awal? Pasti di akhir lah. Kalau di awal namanya pendaftaran.”

“Kamu nyimpulin dari mana sih dia buaya hah? Denger gosip dari mana aku tanya?”

“Dia jelas banget tadi bilang dia nggak mau pacaran sama kamu. Dia jalan sama kamu karena kamu orangnya asyik. Dia tuh lagi main-main doang sama perasaanmu! Kalau kamu sakit hati gimana?! Aku enggak mau ya kamu sakit hati gara-gara buaya cap kapak kayak dia!”

Yuri mengerjap. Mulutnya membentuk huruf 'O' dan Nako mendengus, “Iya. Oh. Emang dia nggak ada niat serius sama sekali sama kamu.”

Tak ada yang bersuara. Hanya ada suara detak jarum jam yang menyelubungi mereka. Nako tak mengerti kenapa dirinya bisa semarah itu hanya karena pernyataan dari Yena tadi, tapi ia sungguhan tak rela jika sahabatnya itu harus sakit hati karena telah menaruh ekspektasi lebih—atau bahkan menaruh hati pada Yena. Yena dan semua perlakuannya mampu membuat siapa saja salah sangka, namun tak satupun di dalamnya tercurah rasa. Ia tak ingin melihat sahabatnya hancur.

Atau, masihkah mereka berjalan dalam koridor sahabat?

Tawa pelan Yuri memecah keheningan di antara mereka, “Kak Yena emang dari awal udah bilang gitu, Yako,” Nako menatapnya tak mengerti, dan Yuri melanjutkan, “Dari awal kenalan sama Kak Yena, dia tuh udah bilanh kalau dia emang mau kenal aku lebih jauh aja. Kalau emang aku sama dia ngerasa cocok jadi pacar, ya mungkin kami bakal mempertimbangkan untuk ke arah yang lebih serius. Tapi kalau nggak juga ya udah, temenan aja. Toh, nggak rugi. Lagian, emang dia tuh temen yang asyik kok. Aku nyaman sama dia, tapi ya sampai sekarang, aku nggak melihat dia kayak Hitomi melihat Kak Chaewon dulu.”

Kini giliran Nako yang melongo. Sebuah kesadaran baru menghantamnya dengan cepat, dengan kencang.

“Jadi maksud Kak Yena tadi—” seketika mukanya merah padam menahan malu, dan Yuri lagi-lagi tertawa. Dengan senyum jahil dan mata mengerling nakal, ia berkata, “Cie, Yako cemburu?”

Yuri mengira, sebuah penolakan keras seperti yang biasa Nako katakanlah yang muncul—namun, kali ini, Nako menatapnya lamat-lamat.

“Kayaknya iya deh Yur, aku cemburu.”

Semenjak pengakuan Nako di rumah Hitomi pekan lalu, baik Nako maupun Yuri sama-sama menghindar. Hitomi dan Minju hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah dua sahabat itu. Dari awal, mereka tahu bahwa keduanya memendam rasa untuk satu sama lain, namun, keduanya terlalu takut untuk keluar dari koridor persahabatan dan memulai sebuah lembaran baru.

“Aneh banget deh itu berdua, tinggal gini doang,” Minju lantas menaruh selembar tissue di atas tangannya, lantas membiarkan angin membawanya pergi, “Tinggal gitu doang susah.”

“Kata Kak Chaewon, Yuri nanya-nanya soal kapan Kak Chaewon sadar kalau dia sayang aku lebih dari teman,” Hitomi terkekeh, “Enaknya kita ngapain ya Ju? Bosan nih berdua melulu sama kamu.”

“Tega banget Hitomi,” sebelah tangannya mengusap dada, “Tapi iya sih. Apa ya—”

“Lho, pada di kantin ternyata?” Yena yang kerepotan membawa nampan berisi makan siangnya lantas meletakkan nampan tersebut di atas meja, “Eh ini nggak masalah 'kan aku numpang makan di sini?”

Minju menggeleng, “Nggak, Kak. Santai aja,” dan Yena mengangguk. Gadis itu lantas mendudukkan diri di atas kursi. Tangannya sibuk menata makanan saat matanya bertemu dengan mata kedua gadis itu, “Bocah dua pada ke mana? Udah jadian belum?”

Hitomi tertawa, “Jadian apanya Kak, menghindar sih iya.”

“Ya elah,” Yena menyuap sesendok besar nasi, “Udah dikasih sodokan masih aja bebal,” gerutunya.

Minju tiba-tiba terbeliak, tangannya menggebrak meja, membuat Hitomi dan Yena terlonjak, “Kak Yena, boleh pinjem nama nggak?”

Yena meraih botol minumnya, sebelah tangan menepuk-nepuk dada sambil terbatuk, “Buset Kim Minju, ngagetin aja,” ujarnya setelah menenggak air, “Ya boleh, mau ngapain emang?”

Minju menarik ponselnya, membuka aplikasi berkirim pesan, lalu mengetikkan sesuatu. Disodorkannya ponsel ke tengah meja, dan Hitomi serta Yena berpandangan. Sejurus kemudian, mereka terkekeh melihat pesan yang baru saja Minju kirimkan.

“Terserah deh Ju, nggak masalah kalau aku. Yang penting itu manusia dua berhenti kejar-kejaran sambil sembunyi di balik pohon kayak film India. Kurang nyanyi-nyanyi aja.”


Nako berguling-guling di atas tempat tidurnya dengan gelisah sedari tadi. Sebuah pesan yang ia terima dari Minju kembali menggelayuti pikirannya.

Kak Yena mau nembak Yuri. Kamu jomlo sendiri nanti, Ko.

Nako mengembuskan napas gusar. Percakapannya dengan Yuri dan Yena tempo hari kembali terngiang.

Katanya nggak ada niat pacaran. Kok begini? Beneran buaya.

Nako memandangi ponsel di tangannya. Ia menimbang, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, memikirkan gengsinya sendiri, tapi—

Persetan dengan gengsi.

Dibukanya daftar kontak dan begitu nama Jo Yuri terhampar di layar, jemarinya menekan tombol hijau.

“Selamat datang di minimarket, selamat berbelanja,” suara khas manusia baru bangun tidur menyapa telinganya, membuat gadis itu mau tak mau mendengus.

“Santai amat anjir jadi manusia,” ujarnya, dan di ujung sambungan telepon, Jo Yuri tertawa.

“Apa deh nelepon jam segini?”

“Kamu niat pacaran sama Kak Yena nggak?”

“Hah?” Nako bisa membayangkan ekspresi Yuri di seberang sana; mata membukat, dahi berkerut, mulut menganga, “Ngomong apa sih Yako?

“Jawab aja cepet ah,” nada suaranya terdengar mendesak, “Ada apa nggak?”

Sampai sekarang sih nggak,” jawab gadis itu singkat.

“Kalau Kak Yena nembak, bakal ada apa nggak niatnya?”

Apa sih Yako aneh banget?

“Jawab aja cepet anjrit Joguri,” ujarnya lagi. Ia bisa mendengar gemuruh detak jantungnya sendiri; riuh, ingar seperti di pasar.

Nggak ada anjir Yakooo, orang aku sama Kak Yena beneran ngerasa nyaman sebagai temen.

Nako menghela napas dalam. Sekarang atau tidak sama sekali. Sekarang atau kamu kehilangan waktu.

“Kalau aku yang nembak, niat pacarannya muncul nggak?”

Semenjak pengakuan Nako di rumah Hitomi pekan lalu, baik Nako maupun Yuri sama-sama menghindar. Hitomi dan Minju hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah dua sahabat itu. Dari awal, mereka tahu bahwa keduanya memendam rasa untuk satu sama lain, namun, keduanya terlalu takut untuk keluar dari koridor persahabatan dan memulai sebuah lembaran baru.

“Aneh banget deh itu berdua, tinggal gini doang,” Minju lantas menaruh selembar tissue di atas tangannya, lantas membiarkan angin membawanya pergi, “Tinggal gitu doang susah.”

“Kata Kak Chaewon, Yuri nanya-nanya soal kapan Kak Chaewon sadar kalau dia sayang aku lebih dari teman,” Hitomi terkekeh, “Enaknya kita ngapain ya Ju? Bosan nih berdua melulu sama kamu.”

“Tega banget Hitomi,” sebelah tangannya mengusap dada, “Tapi iya sih. Apa ya—”

“Lho, pada di kantin ternyata?” Yena yang kerepotan membawa nampan berisi makan siangnya lantas meletakkan nampan tersebut di atas meja, “Eh ini nggak masalah 'kan aku numpang makan di sini?”

Minju menggeleng, “Nggak, Kak. Santai aja,” dan Yena mengangguk. Gadis itu lantas mendudukkan diri di atas kursi. Tangannya sibuk menata makanan saat matanya bertemu dengan mata kedua gadis itu, “Bocah dua pada ke mana? Udah jadian belum?”

Hitomi tertawa, “Jadian apanya Kak, menghindar sih iya.”

“Ya elah,” Yena menyuap sesendok besar nasi, “Udah dikasih sodokan masih aja bebal,” gerutunya.

Minju tiba-tiba terbeliak, tangannya menggebrak meja, membuat Hitomi dan Yena terlonjak, “Kak Yena, boleh pinjem nama nggak?”

Yena meraih botol minumnya, sebelah tangan menepuk-nepuk dada sambil terbatuk, “Buset Kim Minju, ngagetin aja,” ujarnya setelah menenggak air, “Ya boleh, mau ngapain emang?”

Minju menarik ponselnya, membuka aplikasi berkirim pesan, lalu mengetikkan sesuatu. Disodorkannya ponsel ke tengah meja, dan Hitomi serta Yena berpandangan. Sejurus kemudian, mereka terkekeh melihat pesan yang baru saja Minju kirimkan.

“Terserah deh Ju, nggak masalah kalau aku. Yang penting itu manusia dua berhenti kejar-kejaran sambil sembunyi di balik pohon kayak film India. Kurang nyanyi-nyanyi aja.”


Nako berguling-guling di atas tempat tidurnya dengan gelisah sedari tadi. Sebuah pesan yang ia terima dari Minju kembali menggelayuti pikirannya.

Kak Yena mau nembak Yuri. Kamu jomlo sendiri nanti, Ko.

Nako mengembuskan napas gusar. Percakapannya dengan Yuri dan Yena tempo hari kembali terngiang.

Katanya nggak ada niat pacaran. Kok begini? Beneran buaya.

Nako memandangi ponsel di tangannya. Ia menimbang, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, memikirkan gengsinya sendiri, tapi—

Persetan dengan gengsi.

Dibukanya daftar kontak dan begitu nama Jo Yuri terhampar di layar, jemarinya menekan tombol hijau.

“Selamat datang di minimarket, selamat berbelanja,” suara khas manusia baru bangun tidur menyapa telinganya, membuat gadis itu mau tak mau mendengus.

“Santai amat anjir jadi manusia,” ujarnya, dan di ujung sambungan telepon, Jo Yuri tertawa.

“Apa deh nelepon jam segini?”

“Kamu niat pacaran sama Kak Yena nggak?”

“Hah?” Nako bisa membayangkan ekspresi Yuri di seberang sana; mata membukat, dahi berkerut, mulut menganga, “Ngomong apa sih Yako?

“Jawab aja cepet ah,” nada suaranya terdengar mendesak, “Ada apa nggak?”

Sampai sekarang sih nggak,” jawab gadis itu singkat.

“Kalau Kak Yena nembak, bakal ada apa nggak niatnya?”

Apa sih Yako aneh banget?

“Jawab aja cepet anjrit Joguri,” ujarnya lagi. Ia bisa mendengar gemuruh detak jantungnya sendiri; riuh, ingar seperti di pasar.

Nggak ada anjir Yakooo, orang aku sama Kak Yena beneran ngerasa nyaman sebagai temen.

Nako menghela napas dalam. Sekarang atau tidak sama sekali. Sekarang atau kamu kehilangan waktu.

“Kalau aku yang nembak, niat pacarannya muncul nggak?”

Yuri tidak berlebihan saat ia bilang bahwa bersama Yena selalu berhasil membuatnya lelah.

Film yang seharusnya menghantui mereka hingga ke dalam mimpi berubah 180 derajat menjadi film penuh komedi berkat komentar-komentar nyeleneh dari gadis itu.

“Bayangin itu hantu kesandung gara-gara pake gaun panjang! Gaunnya nyangkut di kursi, di ranting pohon, meja, tahu-tahu jadi sarang burung aja.”

“Itu mata nyala, dia hantu apa Ultraman?”

“Kedip-kedip aja tuh lampu kayak mata abang-abang di warung perempatan.”

“Nih hantu cocok nih jadi vokalis Linkin Park. Scream-nya gahar.”

Ketiga gadis lainnya tertawa terbahak-bahak dengan semua lelucon yang Yena selipkan di antara adegan-adegan menegangkan.

Tiga, sebab jangankan tertawa, tersenyum pun Nako tidak sudi.

Film telah habis diputar sejak satu jam lalu, namun mereka masih asyik mendengarkan Yena bercerita perihal kekonyolan yang ia temui sehari-hari. Setelah piring-piring kembali licin, Nako bangkit dan menawarkan diri untuk mencuci piring-piring kotor mereka. Niat hati menghindar, namun Semesta memang suka sekali bercanda. Yena mengikutinya ke dapur—sebab ia bilang, sebagai tamu yang diundang tak sengaja, ia harus tahu diri, maka di sinilah mereka, berimpitan mencuci piring. Nako masih diam seribu bahasa, dan Yena tampaknya paham bahwa gadis itu melihatnya sebagai rival—yang Yena sadari sejak detik pertama mata mereka beradu sore tadi.

“Nako,” gadis itu hanya menimpali dengan gumam pelan, “Udah kenal Yuri dari lama ya?”

“Dari SMA, Kak,” jawab gadis itu singkat, tangannya sibuk mengusap spons di atas piring penuh lemak. Yena mengangguk.

“Pasti udah kenal Yuri sampai bobrok-bobroknya ya?”

“Kalau Kak Yena mau tahu tentang Yuri, mending tanya orangnya aja Kak. Kenalan lebih jauh,” timpal gadis itu, berusaha tidak mengeluarkan kalimat bernada ketus. Yena menyeringai.

“Ini informasi mahal,” ujar Yena sambil tertawa, “Tapi aku nggak pacaran dan nggak niat pacaran sama Yuri kok.”

Nako mendengus, “Iya, aku tahu Kak Yena—hah?” Ia akhirnya menoleh, menatap Yena yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum geli, “Apa tadi Kak Yena bilang?”

“Aku nggak pacaran dan nggak niat pacaran sama Yuri,” Yena lantas mengelap gelas-gelas hingga kering. Perlahan, ditaruhnya satu per satu gelas di atas rak, “Jadi kamu santai aja.”

Nako merengut, “Maksud Kak Yena apa?” Ia menghentikan aktivitasnya, dan Yena, yang menyadari bahwa suara kucuran air dari keran yang terbuka mendadak berhenti, ikut menghentikan kegiatannya. Tubuhnya bertumpu pada bak cuci piring, “Gimana, Nak?”

“Terus maksud Kak Yena ngajak-ngajak Yuri kencan sampai malam selama ini tuh apa?”

Yena mengangkat bahu, “Ya—dia teman nongkrong yang asyik? Kamu temenan sama dia lama 'kan Nak? Pasti tahulah dia gimana. Ngobrol, main, jalan sama dia tuh selalu asyik.”

Nako mendengus—ekspresi tak terima tercetak jelas di wajahnya, “Yang bener aja dong Kak Yena. Kupikir Kak Yena orang baik-baik, ternyata brengsek juga ya? Kenapa harus main-main sama perasaan orang sih? Kenapa harus main-main sama perasaan Yuri?”

Yena mengerjap. Sesaat, tak ada lagi suara yang terdengar kecuali hela napas mereka mengisi keheningan. Sejurus kemudian, Yena terkekeh, “Sama aja nih kayak si Joguri ternyata,” gumamnya pelan. Sebelah tangannya menepuk pundak Nako, “Semua perasaan itu harus dirasain, Nako. Kalau ditolak, yang sakit bukan hati aja,” ujarnya. Nako menatapnya tak mengerti, tapi gadis itu hanya mengedikkan bahu, “Tinggal sedikit lagi, aku tinggal nggak apa 'kan Ko? Ini harus jalan sekarang nih, ada acara lain,” dan gadis itu berlalu, meninggalkan Nako, beberapa piring kotor, dan tanda tanya besar di kepalanya.

Baik Hitomi maupun Minju tak mengerti kenapa gadis yang kini tengah menguasai seluruh tempat tidur Hitomi itu menatap ponselnya tajam—seolah dengan begitu, keajaiban akan terjadi. Wajahnya tertekuk sedari tadi, dan jika tatapan mata bisa membunuh, mungkin Hitomi dan Minju sudah tak lagi menghirup udara Bumi.

“Ko, kata Kak Chaewon mau nambah nggak?” Hati-hati Hitomi berkata. Gadis itu hanya mendelik, bibirnya mencebik, lalu ia mengedikkan bahu, “Terserah.”

Kali ini, ganti Minju yang berusaha memecah gelembung cemberut yang menyelubungi gadis itu sejak kedatangannya ke mari.

“Ko, udah dengar lagu Twice yang baru belum? Keren banget deh,” pertanyaannya hanya dijawab dengan sebuah anggukan singkat. Minju dan Hitomi berpandangan, sama-sama tak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu.

“Ko,” Hitomi akhirnya menggeser posisi duduknya lebih dekat ke arah Nako, “Mau cerita nggak?” Gadis itu menggeleng.

“Ko, kalau kamu nggak ngomong gini kan aku bingung Ko. Mending kamu ngomong merepet kayak Eminem aja deh kayak biasanya, atau presentasi soal lagunya Twice yang baru daripada bisu gini.”

Nako hanya mendengus, tak menanggapi usaha kedua gadis itu. Hitomi menghela napas, “Yuri masih lama nggak, Ju? Tanya dong. Kalau nggak, aku pesan makan sekarang nih. Nanti kalau dia mau pesan yang lain, suruh kirim pesan aja.”

“Ngapain deh tuh anak lama banget,” gerutu Nako, “Kenapa sih orang-orang kalau punya pacar suka lupa teman.”

Hitomi melirik Minju yang kini balas menatapnya penuh arti.

Oh.

“Cemburu, Ko?”

“ENGGAK!” Setengah berteriak gadis itu menjawab, membuat Hitomi dan Minju sedikit terlonjak dari duduknya.

“Ya udah sih biasa aja Ko,” timpal Minju, “Pesan sekarang aja Hii. Ini anaknya barusan kirim pesan, lagi di jalan sama Kak Yena,” ujarnya, dan kerutan di wajah Nako makin bertambah, “Ajak Kak Yena nonton aja nggak sih Hii? Tanggung,” gadis itu diam-diam melirik Nako dan Hitomi terkekeh, mengiyakan usulannya.

“Dih, gimana kalau Kak Yena sibuk?” Sela Nako dan Minju mengangkat bahu, “Ya kalau sibuk nanti pasti nolak lah.”

Gadis itu kembali membisu, dan Hitomi maupun Minju tak lagi berusaha membuat gadis itu bicara.

Nako cemburu.

Tak lama, pintu kamar Hitomi terbuka dengan kasar, menampilkan sosok Jo Yuri dengan rambutnya yang berantakan, nampak habis berlari, “Hitomi Hitomi Hitomi,” gadis itu berkata, “Kak Yena numpang ke toilet dong.”

Mendengar nama itu disebut, Nako merengut, sementara Hitomi cuma tersenyum simpul, “Kak Yena nya di mana?”

“Lagi parkir,” ujar gadis itu. Mereka berempat akhirnya keluar dari kamar, dan segera, mereka melihat sosok Yena yang berdiri di ambang pintu, tampak kikuk berada di lingkungan yang tak ia kenal.

“Eh, Hitomi,” cengiran kaku muncul di wajahnya, “Boleh pinjam toilet?”

Hitomi tertawa, “Masa nggak boleh. Sini Kak, di sebelah sini,” Yena lantas mengekori gadis itu, meninggalkan Yuri, Nako, dan Minju di ruang tamu. Minju menghela napas, “Aku pesan makan dulu ya. Tapi ponselku di kamar, jadi aku ke kamar dulu,” dan gadis itu berlalu.

Nako berdiri dengan gelisah, tangannya terpilin, dan ia terus menggoyangkan tubuh ke depan dan belakang, membuat sebelah alis Yuri terangkat, “Heh Nabuki, gelisah amat? Kenapa?”

“Dari mana aja anjir Joguri? Orang udah lapar,” gerutunya pelan, namun matanya masih tak mau menatap Yuri. Yuri memandangnya keheranan, “Abis nemenin Kak Yena?”

Tepat setelah ia berkata demikian, si empunya nama muncul bersama Hitomi. “Makasih ya Hitomi, aku pulang dulu. Yur, pamit ya?”

“Kak Yena mau ikut nonton sekalian nggak?” Tawar Minju yang baru saja keluar kamar dengan ponsel di tangan, “Sekalian Kak Chaewon mau traktiran nih, ada yang mau tunangan bentar lagi,” sebelah lengannya menyenggol Hitomi yang kini berubah jadi kepiting rebus.

“Oalah,” gadis itu tersenyum lebar, “Selamat Hitomi. Tawaran yang menarik. Tapi kalau aku ikut, nggak ganggu gitu?”

Ganggu lah, batin Nako, namun mereka berempat menggeleng.

“Oke. Mau kenalan juga sama temen-temennya Jo Yuri.”

Harinya tidak bisa lebih buruk dari ini.

“Nggak jalan sama Wonyoung, Ko? Tumben,” Hitomi berkata sambil menutup pintu kamarnya. Nako melenguh, lantas mengenyakkan diri di atas tempat tidur Hitomi. Si pemilik kamar mengikuti langkah gadis itu. Ia menarik boneka besar berbentuk karakter buah persik di ujung tempat tidur. Disandarkannya tubuh pada kepala tempat tidur, dan kedua lengannya yang kurus memeluk boneka. “Lagi ada masalah Ko?”

“Wonyoung tuh ternyata anaknya suka nuntut Hii,” gadis itu berkata, suaranya teredam bantal, “Minggu lalu dia tiba-tiba marah-marah karena aku nggak bisa nemenin dia nugas di luar.”

“Beneran nggak bisa apa nggak mau?”

“Kamu kok nanyanya kayak Wonyoung sih?” Gadis itu menoleh, wajahnya merengut. Ia kemudian berguling, tubuhnya telungkup dengan wajah menghadap si pemilik kamar, “Beneran nggak bisa ini tuh, Hii. Emang kemarin lagi banyak banget tugas makanya nggak ikut nonton sama kalian. Kedua, dia kalau nugas pasti sama temen tongkrongannya. Kamu tahu sendiri tongkrongan dia kayak apa,” gadis itu mengerucutkan bibir, “Habis gitu bawa-bawa Yuri lagi.”

Kedua alis Hitomi terangkat, tangannya bergerak meraih ponselnya yang berdenting di atas nakas, “Bawa-bawa Yuri gimana?”

“Iya, katanya tuh aku jadiin dia pelarian doang karena Yuri sama Kak Yena. Pakai bilang selama jalan sama dia aku kebanyakan ngomongin Yuri lah, sibuk balas pesan dari Yuri lah. Dia pikir gampang gitu ya menyesuaikan diri sama dunianya? Kompromi waktu? Berusaha ngikutin maunya dia?”

Hitomi tersenyum kecil, “Perasaan kamu ke Wonyoung tuh gimana sih Ko?” Ujarnya, namun matanya kini menatap layar ponsel di tangannya.

Nako mengerutkan dahi. Tangan kanannya bergerak menopang dagu. Bibirnya mengerucut, tampak memproses kata-kata dalam kepala, “Ya apa ya? Kalau dibilang suka, ya suka. Siapa sih yang nggak suka Wonyoung? Gitu lho Hii.”

Hitomi mengangguk, namun tangannya mengisyaratkan gadis itu untuk menunggu. Sejurus kemudian, jarinya sibuk mengetikkan sesuatu. Nako mendengus. Gadis itu memang selalu sibuk—ada saja yang harus diurus Hitomi bahkan saat sebelumnya gadis itu sudah memastikan tak ada agenda mendesak yang harus ia hadiri. Sepertinya memang gadis itu hanya tidak sibuk saat bersama tunangannya saja.

“Oke,” Hitomi kembali meletakkan ponselnya di atas nakas, “Maaf, Kak Chaewon tadi nanya sesuatu,” Nako sudah akan mengeluarkan kalimat-kalimat penuh ejekan saat Hitomi menggeleng, “Kita fokus ke kamu, Nako,” dan Nako mendengus, “Pertanyaanku belum selesai sebenernya. Terus, kamu nganggap Wonyoung gimana? Maksudku, kamu kepikiran untuk menjalin hubungan sama dia?”

Nako menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Hm,” ia mencebik, “Jujur aja nggak sih, Hii. Dia emang udah ngenalin aku ke semua temennya, tapi kayaknya buat pacaran sama dia aku nggak bisa. Aku sama dia terlalu—beda. Tapi dia kayaknya mikir kalau diamnya aku selama ini tuh sama dengan kami pacaran. Dia sempet marah sambil nyinggung itu soalnya di pesan terakhir yang dia kirim.”

Sebelah alis Hitomi terangkat, “Kamu ngomong apa sampai Wonyoung marah?” Nako tidak menjawab, namun tangannya meraih ponsel yang ia letakkan dalam tas, membuka jendela obrolannya dengan Wonyoung dan menyodorkan ponselnya pada Hitomi. Gadis itu sigap meraih benda mungil itu. Sesekali dahinya berkerut membaca pesan antara Nako dan Wonyoung. Saat akhirnya ia kembali mengalihkan pandangan pada Nako, wajahnya hampir tak berekspresi—persis seperti seorang ibu yang telah menasehati anaknya untuk tak melakukan sesuatu, namun tak dituruti, hingga pada akhirnya sesuatu yang buruk terjadi pada si anak.

“Apa?” Sebelah alis Nako terangkat, dan Hitomi cuma menggeleng, mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

“Punya nyali juga kamu buat main-main sama perasaan orang, Ko,” ujar Hitomi, “Kalau emang nggak suka, ngomong dong dari awal.”

“Susah, Hitomiiii,” gadis itu menangkup wajahnya sendiri, “Soalnya awalnya emang nggak gitu. Awalnya dia nggak banyak nuntut. Tapi pas aku berapa kali nolak ajakan dia dan milih buat nongkrong sama kalian, dia jadi kayak gitu.”

“Ganti pertanyaan deh Ko,” Hitomi membetulkan posisi duduknya, “Perasaan kamu ke Yuri gimana?”

“Hah?”

“Kamu nggak tuli ya Nako,” Hitomi mendengus, “Tinggal jawab aja. Aku nggak ember kayak Minju kok.”

Nako terkekeh, namun sesaat kemudian wajahnya kembali cemberut, “Ya aku biasa aja sih sama dia. Ya gimana dong, aku udah lama temenan sama dia, kebiasaan banget apa-apa sama dia, banyak hal yang aku lalui sama dia, sampai aib-aib aku pun kebanyakan cuma dia yang tahu. Gimana nggak dikit-dikit aku ngomongin dia?”

“Kamu tau nggak kenapa aku bisa suka sama Kak Chaewon dulu?”

“Kenapa?” Nako akhirnya mendorong dirinya bangkit. Tangannya meraih bantal yang tadi ia pakai untuk menyangga kepalanya, lantas diletakkanya bantal itu di pangkuan.

“Karena keseringan bareng,” jawab Hitomi, “Karena sejak aku masuk SMA, sejak aku masuk klub jurnalistik sampai Kak Chaewon lulus SMA, Kak Chaewon selalu sama aku. Semua hal konyol yang kulakukan, bahkan yang kalian pun nggak tahu, Kak Chaewon tahu.”

“Maksudmu aku juga gitu?” Nako mengarahkan telunjuknya pada diri sendiri. Hitomi menatapnya gemas.

“Coba pikir, sejak kapan kamu jadi dekat sama Wonyoung?”

Nako terdiam, mencerna apa yang berusaha Hitomi katakan. Sebuah kilas balik terbentang di kepalanya. Sapaan Wonyoung yang biasa ia tanggapi seperlunya mulai ia tanggapi lebih antusias. Ajakan-ajakan kencan dari Wonyoung yang mulai ia sambut. Semua terjadi sejak—

“Sejak Yuri jadi dekat sama Kak Yena 'kan?”

“Gelisah banget Jo Yuri,” Yena terkekeh sambil menarik sumpitnya. Tangan kirinya sibuk menyendok kuah kaldu, “Kenapa tuh?”

“Hah, nggak Kak,” Yuri lantas meletakkan ponsel di depannya, tak lupa mengunci benda mungil itu. Ditariknya mangkuk miliknya, liurnya terbit begitu aroma kaldu hangat menyapa indera penciumannya.

“Kamu ada janji habis ini 'kan ya?” Tanya Yena yang kini sibuk menyeruput mie dari mangkuk, matanya menatap Yuri yang mengangguk, “Udah bilang 'kan bakal telat?”

“Udah,” Yuri mulai mengikuti jejak gadis itu, mencicipi kuah kaldu dan bergumam pelan—hangat kuah kaldu selalu bisa mengubah suasana hatinya yang kelabu, “Tapi lupa bilang sama Nako. Tadi cuma sempat bilang sama Minju aja.”

Yena lagi-lagi terkekeh, “Yur, sadar nggak sih, tiap kita jalan, yang kamu omongin tuh Nako terus? Nako ini, Nako itu, sampai aku yang nggak kenal dia aja hapal kebiasaan dan gimana hari-hari yang dia lewati.”

Yuri tertegun. Yena benar juga. Dalam semua kencan mereka, semua obrolan yang terlontar dari Yuri selalu berpusat pada geng kecilnya, terutama Nako. Yena tak pernah keberatan. Gadis itu malah ikut tertawa lepas tiap kali Yuri menceritakan tingkah bodoh Nako di depannya. Namun—

“Kak Yena nggak kesinggung?”

Yena mengerjap. Ia lantas tersenyum. Diletakkannya sumpit di atas mangkuk, “Kenapa harus kesinggung, Yur?” Ujarnya. Yuri turut meletakkan sumpitnya. Gadis itu terdiam.

“Ya, ini 'kan kencannya aku sama Kak Yena,” gadis itu mengerucutkan bibir, “Tapi akunya ngomongin Nako terus.”

Yena hanya mengibaskan tangannya dan tertawa, “'Kan dari awal juga aku udah bilang Yur, aku mau kenal kamu lebih dekat. Kalau kita emang cocok dan mau bawa hubungan ini ke level selanjutnya, ya oke. Kalau kamu nggak mau juga nggak apa. Temenan sama kamu tuh asyik lagian. Aku jadi punya temen nongkrong, temen ngobrol—terus akhirnya lelucon-leluconku menemukan penikmatnya,” Yuri terkekeh mendengar kalimat terakhir Yena.

“Lagian, Yur,” Yena akhirnya kembali membiarkan mie di mangkuk meluncur masuk ke mulutnya, “Dari awal juga udah kelihatan kali kalau kamu sama Nako tuh ada apa-apa.”

Yuri menggeleng—kelewat cepat, kelewat kencang, “Idih, Kak Yena. Aku sama dia bestie kali. Udah paling asyik tuh kayak gitu sama dia.”

Yena menarik gelas miliknya yang berembun, dan seringai kecil penuh ejekan jenaka tersungging di wajahnya, “Bestie apaan yang uring-uringan tiap yang satu kencan sama orang lain?”

Yuri mengerjap, “Inget nggak kamu Yur, berapa minggu lalu, kamu cerita kalau Nako kencan sama Wonyoung tiba-tiba, padahal kamu sama geng ngaco kamu harusnya nonton bareng?”

Gadis itu menggigit bibir tanpa sadar. Perasaan gusar yang ia rasakan beberapa waktu lalu kembali naik ke permukaan. Akhir pekan biasa mereka habiskan berempat. Sekadar makan siang bersama, pergi ke kedai es krim, menginap di rumah salah satu dari mereka, atau sekadar nonton film yang sedang tayang di bioskop.

Hari itu, mereka bertiga sudah siap dengan popcorn dan minuman bersoda di tangan saat Nako tiba-tiba membatalkan janji karena Wonyoung meminta gadis itu untuk menemaninya mengerjakan tugas di sebuah kafe. Yuri berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hanya kesal sebab tiket yang telah dibeli terbuang percuma. Namun, saat Nako menawarkan diri untuk mengganti uangnya, Yuri juga menolak.

“Pasti lagi mikirin perasaanmu sendiri nih,” suara serak Yena memutus rantai pikirannya yang bergerak cepat, “Jadi menurutmu, kamu sama Nako tetep bestie nggak Yur?”

Yuri mengangguk, dan Yena lagi-lagi tertawa. Sebelah tangannya terulur mengusak rambut gadis itu, yang membuat Yuri merengut dan mengaduh, “Nggak ada bestie yang rela hujan-hujanan ke rumah karena si bestie takut sendirian di rumah yang lagi mati listrik, Jo Yuri. Bestie macam apa itu? Bestie yang bablas ke hati?”

“Lah, Yuri kok nggak ada? Ke mana dia?” Ujar Nako sambil menjatuhkan tasnya di atas kursi. Minju mengisyaratkannya untuk duduk, sementara Hitomi sedang sibuk dengan ponselnya—sepertinya obrolan serius, dilihat dari gadis itu yang membalikkan badan ke arah jendela kafe yang berada tepat di sebelah meja mereka, membiarkan cahaya matahari menembus masuk dan memperlihatkan pejalan kaki yang lalu lalang di trotoar.

“Nggak bilang emang dia? Lagi keluar dulu sama Kak Yena, nemenin cari kado buat kakaknya, katanya,” tanpa sadar, Nako merengut. “Kok nggak bilang apa-apa,” ia bergumam, berharap Minju tak mendengar apapun, namun gadis yang kini tengah duduk di depannya hanya tersenyum kecil.

“Eh, maaf, Nako udah di sini ternyata. Udah lama?” Hitomi akhirnya menaruh ponsel di atas meja. Nako menggeleng, “Baru juga duduk. Sibuk amat, Hii.”

Gadis itu mengerucutkan bibir, “Ada anak klub yang muntaber, padahal jadwal udah diatur secermat mungkin. Jadinya sekarang lagi pada kalang kabut.”

“Hah? Udah minum obat tapi?” Minju menoleh ke arah gadis itu, “Kasihan banget itu anak. Pasti lemes, udah gitu kepikiran bikin artikel yang harusnya cepet naik.”

Hitomi melongo, “Kok minum obat?”

“Lagi sakit 'kan? Muntaber?”

Minju sama sekali tak mengerti saat Hitomi dan Nako malah tertawa lepas. Nako bahkan harus mengusap air matanya, “Hadeh, Kim Minju. Muntaber! Mundur tanpa berita,” ujarnya di sela tawa, dan Minju menatap mereka berdua bergantian dengan wajah cemberut, “Ya maaf sih, mana aku tahu.”

“Omong-omong,” ujar Hitomi saat tawa mereka telah reda. Suara petikan gitar akustik mulai mengisi setiap sudut kafe, dan beberapa kali bel di atas pintu berdenting, “Kak Chaewon nanti nyusul ke sini nggak apa? Anaknya belum makan, sekalian habis ini mau pergi sama Kak Chaewon.”

“Hii, kenapa sih tega banget sama jomlo,” Nako melenguh, menyandarkan dagu di atas meja, menatap Hitomi dengan kepala yang sedikit mendongak—persis anak anjing kehilangan induk, “Lagian kenapa sih belakangan sering banget sama Kak Chaewon? Biasanya juga kencan akhir pekan doang.”

“Ya—” Hitomi menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Kedua pipinya mendadak bersemu, “Satu bulan lagi soalnya.”

“Hah?”

Minju dan Nako terbeliak, keduanya duduk tegak menghadap Hitomi, “Satu bulan lagi apa?”

Hitomi menarik kalung yang melingkar manis di lehernya. Pada mulanya, Nako tak mengerti, namun saat melihat sebuah cincin yang melingkar di sana—

“TUNANGAN KOK ENGGAK BILANG-BILANG?!”

“Minju!” Hitomi lantas berdiri, sebelah tangannya menahan kepala gadis itu agar tetap menunduk, dan ia tak henti membungkukkan badan ke arah beberapa pengunjung yang menatap mereka keheranan, “Enggak usah kencang-kencang ih!”

“Lagian!” Nako mencubit lengan Hitomi gemas, dan gadis itu sontak mengaduh, “Sahabat apaan tunangan enggak bilang-bilang?”

“Ini baru mau, Nako,” Hitomi mengusap lengannya yang memerah, “Kemarin-kemarin Kak Chaewon ngajak ngobrol serius dan ya—ngasih cincin ini,” gadis itu menunjuk cincin yang mengilap di bawah cahaya matahari sore, “Akhirnya setelah aku bilang iya, Kak Chaewon ketemu Bunda. Terus, ya gitu,” gadis itu tersenyum simpul.

“Kenapa hanya aku yang jomlo sih ya ampun,” Minju tertawa melihat ekspresi dramatis Nako, “Itu si brondong gemes dikemanain Nabuki?”

“Dih, kayak Yuri aja manggil-manggil Nabuki,” gerutunya, “Ya, ada Ju. Mau ke mana emang?”

“Lah,” Minju mengangkat bahu, “Kamu mau bawa hubungan kalian ke mana?”

Nako terdiam. Pesanan mereka baru saja datang, dan gadis itu lantas menarik mangkuk es krim miliknya mendekat, “Bingung, Ju.”

“Bingung kenapa deh?”

“Ya,” Nako menghela napas, “Jujur dia emang gemes banget ya. Emang anaknya gampang banget bikin sayang. Tapi kamu pasti ngertilah Ju gimana sama yang lebih muda. Agak banyak menuntut, sementara aku 'kan nggak seluang itu juga. Belum lagi dia tipe-tipe mahasiswi populer. Agak kena mental tiap jalan sama dia,” ia menyuap sesendok penuh es krim untuk menutup keluhannya.

Minju manggut-manggut, memahami situasi Nako. Menjalin hubungan dengan Ahn Yujin yang sebelas dua belas dengan Jang Wonyoung, mahasiswi yang saat ini dekat dengan Nako, kadang-kadang juga membuatnya gemas sendiri. Belum lagi perbedaan usia mereka yang kerap kali membuat mereka meributkan hal tak perlu.

“Mau nyari yang lebih tua aja deh kayaknya aku.” Minju terkekeh, “Terus kenapa waktu itu nolak Kak Eunbi, Ko?”

“Udah gila, Kim Minju. Nggak lihat sainganku siapa? Kang Hyewon. Dewi kampus. Udah, mending mundur aja aku. Lagian mereka juga adem ayem sampai sekarang. Sama-sama bikin gumoh kayak Hitomi sama Kak Chaewon,” gerutunya pelan yang disambut tawa oleh kedua temannya.

“Ajarin dong, Hii,” gadis itu mengalihkan pandangan pada Hitomi yang tengah tersenyum menatapnya yang cemberut sedari tadi, “Ajarin apa?”

“Cari yang lebih tua,” ujarnya, dan Hitomi lagi-lagi tersenyum, “Sama yang lebih tua juga nggak selalu enak, Nako. Berapa kali kami selisih pendapat soal masa depan hubungan kami. Ditambah, Kak Chaewon udah bukan anak kuliah lagi. Meskipun Kak Chaewon juga enggak seburu-buru itu untuk menikah, tapi dia ingin memastikan kalau hubunganku sama dia bukan sekadar hubungan main-main anak remaja.”

“Iya sih,” timpal Nako pelan.

“Nggak mau coba sama yang seumuran Ko?”

Celetukan Minju membuat dahinya berkerut. Nako menatap Minju tak mengerti, “Siapa?”

“Jo Yuri.”

“Mana ada!”

“Dicoba juga belum,” ujar Hitomi yang dibalas dengan dengusan geli oleh Nako, “Aku sama dia tuh udah klop banget sebagai bestie, jangan aneh-aneh deh.”

Bestie tapi bablas ke hati?”

Anak panah yang Minju lepaskan tepat mengenai sasaran.

“Woy, Kim Minju, di mana kamu?”

“Aduh Yuri, maaf,” Yuri mengerutkan dahi, tangannya sigap memindahkan ponsel ke telinga kiri, “Ini ada urusan dadakan.”

Nako mengisyaratkan gadis itu untuk mengubah panggilan ke dalam mode loudspeaker. Yuri meletakkan ponselnya di atas bantal, dan mereka berdua berbaring telungkup, bahu ketemu bahu, menanti gadis di ujung sambungan telepon sana berbicara. “Nanti ke sana, tapi agak malem Yur. Tapi janji kok ke sana,” ujar gadis itu lagi. Mereka bisa mendengar suara kendaraan lalu lalang dan klakson bersahutan. Nako mengerutkan dahi, “Ju? Kamu lagi nyetir?”

“Kak Nako, Kak Yuri, ini Yujin,” suara berat Yujin menggantikan suara Minju yang seringan aromanis, “Maaf, Kak Minju nganterin aku dulu ke stasiun. Ini daritadi pesan taksi online enggak ada yang ambil, mana keretaku berangkat 45 menit lagi. Hujan juga di sini,” tepat saat gadis itu mengakhiri kalimatnya, mereka mendengar suara guntur bersahutan, dan suara rintik hujan yang beradu dengan jendela mobil yang sebelumnya tak mereka sadari terdengar jelas.

“Ya udah deh. Mau gimana lagi. Hati-hati Ju nyetirnya,” ujar Nako yang segera disahuti Yuri, “Ju, titip makanan yang hangat-hangat ya. Sama snack. Jangan beli mie cup, di sini banyak.”

“Pelukan aja mending biar hangat,” kekeh pelan Minju terdengar.

“Udah gila Kim Minju. Udah ah, makin ngaco. Konsen nyetir aja sana, bawa anak orang lho. Hati-hati ya,” begitu saja, dan panggilan mereka terputus. Keduanya lantas mengehela napas—yang berakhir dengan tawa mereka yang mengisi keheningan. Entah apa juga yang sebenarnya mereka tertawakan. Keduanya lantas mengubah posisi tidur mereka menjadi telentang, dan keduanya memandangi langit-langit kamar Yuri yang temaram—sticker yang menyala dalam gelap berbentuk notasi musik dan bintang menyapa mereka.

“Mau nonton nanggung enggak sih nonton berdua,” gumam Yuri, matanya melirik Nako yang sibuk dengan ponselnya, “Heh Nabuki.”

“Apaan?” Gadis itu menoleh, “Nunggu Hitomi sama Minju aja mending. Mau nonton film horror 'kan? Berdua doang enggak seru, kamu penakut,” senyum penuh ejekan muncul di wajahnya sesaat—segera wajahnya mencium bantal. “Fakta Jo Yuri, fakta! Kasar banget. Pantesan jomlo,” gerutunya.

“Ngaca ya Nabuki,” gerutunya, “Eh omong-omong,” telunjuknya mengarah pada ponsel Nako, “Gimana itu sama si adik tiang? Lancar?”

“Namanya Wonyoung, astaga, enak aja ngatain tiang,” Nako mencebik, “Ya, lancar-lancar aja? Rencananya mau kencan Sabtu depan,” ia berkata, dan Yuri mengangguk, “Lah itu kamu sama Kak Yena gimana?”

“Capek sama dia tuh,” ujarnya. Nako mengerutkan dahi, memberinya pandangan penuh tanya yang dibalas Yuri dengan tawa kecil, “Capek ketawa maksudnya. Anaknya aneh banget sumpah. Tapi asyik banget diajak ngobrol sama nongkrong.”

Kini gantian Nako yang mengangguk. Keduanya kemudian sama-sama terdiam. Jarum jam menunjuk angka delapan. Harusnya sebentar lagi Hitomi tiba. Tiga puluh menit lalu, gadis itu mengirim pesan dalam obrolan grup mereka, berkata bahwa acara makan malam dengan keluarga calonnya (Nako dan Yuri bersikeras menyebutnya begitu—lagipula, mana ada pacar yang sering diundang makan malam dan dibawa serta diperkenalkan di acara-acara keluarga?) telah selesai. Ia sedang menunggu kekasihnya selesai berbicara dengan ibunya, setelah itu, mereka akan berangkat menuju rumah Yuri. Minju mungkin baru akan tiba satu jam lagi, mengingat jarak dari stasiun ke rumah Yuri cukup jauh.

“Dipikir-pikir, lingkaran pertemanan kita serba ada ya Yur,” Yuri menoleh, sebelah alisnya terangkat. “Dipikir warung, serba ada?”

Gadis berpiyama biru dengan gambar kelinci itu terkekeh, “Ya, maksudku, yang suka daun muda kayak Minju ada. Yang suka sama yang lebih tua kayak Hitomi juga ada. Yang kurang cuma yang suka sama seumuran—sayangnya, kita berdua enggak suka sama yang seumuran juga,” ujarnya dan mau tak mau Yuri juga tertawa kecil.

Mereka tak menyadari denyut kecil yang hadir saat satu sama lain bicara perihal siapa manusia yang sedang dekat dengan mereka—juga bagaimana mereka tak tertarik menjalin hubungan dengan teman seusia.

“Aduh, maaf telaaat, tadi ditahan dosen dulu soalnya tiga minggu lagi ada resital,” Jo Yuri, gadis itu, berkata sambil terengah-engah. Jika saja Hitomi tak menahannya, maka partitur di pelukan gadis itu sudah berhamburan—syukur jika hanya terbawa angin. Bagaimana jika partiturnya mendarat di mangkuk sup milik Minju? Mangkuk ramen milik Nako? Atau piring kare milik Hitomi?

Bisa-bisa gadis itu nangis darah. Partitur yang ia kerjakan tanpa tidur berhari-hari; partitur yang baru saja mendapat lampu hijau dari dosennya.

“Duduk dulu, Yur. Mau ke mana sih?” Minju terkekeh di seberang Hitomi, dan segera ia menarik kursi untuk gadis itu. Setelah menggumamkan terima kasih sambil lalu, gadis itu akhirnya menjatuhkan pantat di kursi.

“Malam ini jadi 'kan?”

Ketiga gadis lainnya mengangguk. Hari ini, mereka berjanji untuk menemani Jo Yuri yang ditinggal keluarganya berlibur. Jadwal resitalnya sudah semakin dekat—ia tidak mungkin bolos. Minju adalah manusia pertama yang mengiyakan permintaannya, disusul Nako yang memang sedang tidak punya agenda khusus, lalu Hitomi—setelah memastikan tak ada rapat yang harus ia hadiri Jumat ini.

“Tapi Yur—”

“Mau rapat di mana lagi, Hitomiii,” Yuri memasang muka gemas, hapal dengan kata 'tapi' yang selalu dilontarkan gadis itu jika mereka bertiga mengajaknya menginap, atau sekadar nongkrong di salah satu kafe dekat kampus. Si manusia sibuk, mereka menjuluki gadis itu demikian. Yuri bahkan heran gadis itu masih punya tenaga dan waktu untuk melakukan hobinya yang menguntungkan (perut) dirinya, Minju, dan Nako—baking.

“Enggak rapat sih, tapi—”

“Hah, gini nih manusia punya pacar. Pacar dulu, baru kita,” gerutu Nako yang duduk di sebelah Hitomi, “Kamu sama Kak Chae kenapa sih doyan banget menyiksa jomlo kayak aku. Lagi makan berdua, eh tiba-tiba Kak Chaewon datang. Apa enggak gumoh aku tiap hari disodori pasangan yang gula aja kalah manis?” Bibirnya mencebik.

“Ih, enggak kencan kok. Mamanya Kak Chaewon minta ketemu. Ngundang makan malam di sana,” ujar gadis itu, lantas mendorong piringnya yang kini sudah kosong. Kantin sudah sangat sepi. Hanya tersisa mereka saja sekarang. Syukurlah. Sebab ribut dan keempat gadis ini tak bisa dipisahkan.

“Nunggu undangan aja enggak sih kita tahun depan?” Minju terkekeh, diikuti tawa kecil dari kedua temannya, sementara gadis yang digoda cuma tersipu.

“Kok merah mukamu? BENERAN TAHUN DEPAN NIH?”

“Lihat nanti ya,” ujarnya pelan, dan baik Yuri maupun Nako serentak mengeluarkan sapu tangan mereka, mengusap air mata yang tak tampak.

“Yur, kita ditinggal nikah Yur,” ujarnya di tengah isak tangis palsu, “Siap-siap cari pacar sewaan Ko buat tahun depan,” mereka menyatukan genggaman mereka. Minju hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka berdua.

“Enggak mau jadi pacar buat satu sama lain aja kalian? Sama-sama jomlo gitu, kenapa enggak jadian aja sih?”

Yuri sontak menarik tangannya, begitu juga dengan Nako, telunjuk mereka saling tuding, “AKU? SAMA DIA? ENGGAK!”

Tawa Hitomi dan Minju pecah melihat kedua gadis itu mengatakan hal yang sama bersamaan. Nako dan Yuri berpandangan, mata mereka membulat.

“Jangan ngikut-ngikut dong Yur!”

“Idih! Kamu kali!”

“Mana ada!”

“Udah ah,” ujar Hitomi setelah berhasil meredakan tawanya. Tepat saat gadis itu membuka mulut, ponselnya berdering.

“Halo Kak? Oh. Oke. Hitomi udah selesai kok. Enggak, Kak Chaewon enggak perlu ke sini. Hitomi aja ke parkiran. Iya. Iyaa,” dan panggilannya terputus. Ditatapnya ketiga teman seusianya itu yang memandangnya sambil tersenyum menggoda. Dengan muka merah padam, ia berkata, “Duluan ya. Kak Chaewon udah nunggu, ini mau keluar dulu soalnya. Nanti nyusul kok Yur, janji,” ujar gadis itu sambil beranjak dari tempat duduknya.

“YANG SOPAN YA HII PAS KETEMU CALON MERTUA,” teriak Yuri yang disusul oleh Nako, “JANGAN MALU-MALUIN BESTIE!”

Minju lagi-lagi hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua teman sebangku itu. Mereka berempat menghabiskan masa-masa sebagai siswa sekolah menengah atas bersama. Nako dan Yuri—entah sial atau beruntung, tak pernah pisah kelas, tidak seperti Hitomi yang sempat terpisah dengan mereka selama satu tahun. Mereka bahkan selalu menjadi teman sebangku. Sementara itu, Minju sempat pindah sekolah ke luar kota mengikuti pekerjaan orang tuanya di tahun ketiganya bersekolah. Namun, ia kembali lagi ke kota ini untuk berkuliah, menjadikannya sebagai satu-satunya anak rantau di antara mereka berempat.

“Kamu enggak bakal kencan dulu sama Yujin 'kan Ju?” Yuri kini melirik Minju yang tengah memasukkan botol minumnya ke dalam tas. Minju menoleh, lantas menggeleng, “Anaknya mau pulang ke rumah katanya. Kakaknya pulang dari luar kota. Mau kumpul keluarga,” jawab gadis itu.

“Bagus deh,” ujar Nako, “Masa udah mau ditinggal Hitomi, ditinggal kamu juga? Sedih banget ke mana-mana harus sama Yuri terus.”

“Perasaanmu enggak bertepuk sebelah tangan ya, Nabuki. Dipikir kamu doang yang sedih ke mana-mana harus sama kamu? Udah gitu disangka bawa adik lagi—ANJRIT SAKIT!” Yuri merengut, bibirnya mencebik sementara tangannya mengusap-usap lengannya yang memerah—baku hantam antara dirinya dan Nako memang biasa terjadi, dan tangan Nako memang selalu jadi yang paling ringan untuk menggampar lengan sahabatnya itu.

“Suruh siapa ngeledek?” Gadis itu menjulurkan lidah, namun sejurus kemudian ia berkata, “Ya udah, berangkat sekarang enggak nih kita? Enggak harus nunggu siapa-siapa lagi 'kan?”

Minju merengut—nampak sedang memikirkan sesuatu. Ia kemudian berkata, “Aku balik kosan dulu deh ya Yur, ngambil baju segala macam. Atau kalian mau ikut mobilku sekalian? Tapi ya, mampir kosanku dulu gitu.”

Keduanya sontak menggeleng, yang dibalas oleh anggukan ringan oleh Minju. Diraihnya kunci mobil dan ia bangkit dari duduknya, “Oke deh. Sampai ketemu nanti ya. Hati-hati kalian di jalan, jangan pecicilan. Nanti keserempet mobil, masuk rumah sakit, terus amnesia 'kan bahaya.”

“Sinetron banget Kim Minju otaknya,” gerutu Yuri yang dibalas dengan derai tawa Minju yang mengudara. Setelah satu dua pertengkaran kecil lainnya, akhirnya gadis itu pergi. Yuri lantas menatap Nako yang sedari tadi masih duduk di depannya.

“Berangkat sekarang aja nih Ko?”