kimchaejjigae

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Hitomi, Nak, kok diam aja?”

Hitomi mengerjap. Sang ayah menatapnya dengan dahi berkerut. Buru-buru Hitomi menggeleng, “Eh, barusan—barusan ngecek isi tas, Yah. Takut ponsel ketinggalan di mobil.”

Jika sang ayah tak percaya, pria itu tetap tak mengatakan apa pun. Ia mengedikkan kepala, mengisyaratkan Hitomi untuk mengikutinya masuk ke restoran itu. Chouchou, ia bergumam pelan. Nama yang unik untuk sebuah restoran. Meski tak tahu artinya apa, tapi menurut Hitomi, kata itu lucu. Restoran itu tak seberapa ramai—setidaknya, masih ada satu dua meja kosong, dan tak ada antrean pengunjung di depan pintu.

Warna cokelat mendominasi interior restoran. Sayup-sayup Hitomi bisa mendengar suara lagu jazz—matanya menangkap piringan hitam di sudut ruangan. Ah, jadi ingat Chaewon. Gadis itu tampak selalu bersemangat ketika membicarakan musik. Tempo hari, ia bahkan berkata bahwa impiannya adalah mengoleksi piringan hitam dari musisi favoritnya.

Langkahnya memberat tatkala ia melihat tiga manusia yang tersenyum kala sang ayah melambaikan tangan.

“Oi, Hide!”

“Yah, Kim Sangwook!” Sang ayah berseru, lalu tak lama, dua pria itu saling merangkul, menepuk-nepuk punggung, “Apa kabar? Sudah lama sekali nggak ketemu. Makin subur aja.”

“Ya bagus lah, artinya kerjaanku lancar, makanya tambah subur,” pria itu terkekeh, “Tomoko, apa kabar?” pria itu mengulurkan sebelah tangan sambil menjabat tangan ibunda Hitomi.

“Baik,” ujarnya pelan, “Senang ketemu kalian lagi.”

“Iya ih, sudah lama. Harusnya lebih sering ketemu kita. Tapi habis ini harusnya kita sering ketemu 'kan?” Lee Ji An, perempuan itu akhirnya berkata, “Jadi ini ya putri kalian? Siapa namamu Nak?”

“Hitomi, Tante,” akhirnya Hitomi mendekat, menyalami kedua orang tua itu. Ada debar aneh yang ia rasakan saat tangan mereka bersentuhan.

Aku kenapa sih?

“Cantik betul putrimu heh,” Sangwook berkata sembari mengibaskan tangan, menyilakan Hitomi dan kedua orangtuanya untuk duduk, “Tahu waktu kecilnya imut-imut, sekarang sudah gede gini tambah cantik.”

“Yah, 'kan bapaknya cakep, masa iya bapaknya cakep begini nggak nurun sama anaknya.”

Keempat manusia dewasa itu tertawa. Hitomi diam-diam melirik seorang gadis yang ia taksir usianya tak jauh darinya. Seolah memahami gelagat Hitomi, Ji An berkata, “Si Bungsu sedang ke toilet, Sayang. Ini kakaknya dia.”

“Hei,” gadis itu tersenyum lebar, sebelah tangan terulur ke arah Hitomi, “Yewon. Tenang aja, Papa nggak jodohin kamu sama aku, kok. Aman. Tapi maaf ya, adikku agak galak, nanti sabar-sabar ya sama dia,” ujar gadis itu sambil mengedipkan sebelah mata.

“Yewon!”

Hitomi hanya tersenyum kaku, tak ingin menanggapi—lebih tepatnya, tak tahu harus bagaimana untuk menanggapi perkataan gadis itu. Ji An lantas berdehem.

“Hitomi ngambil sastra juga ya?”

“Eh—” Hitomi tergeragap, “Iya, Tante,” ujarnya sambil mengangguk kecil. Perempuan itu menggeleng

“Tolong panggil mama aja, Sayang.”

“Ma, kecepetan, kasihan anaknya bingung,” celetuk Yewon, yang dibalas dengan gerutuan kecil oleh sang ibu. Hitomi bergerak gelisah di atas kursinya. Pandangannya terpaku pada jemari yang terjalin di atas pangkuan.

Mau ketemu Chaewon deh jadinya....

“Maaf, Pa, ngantre toiletnya.”

“Ini nih yang ditungguin,” ujar Sangwook tiba-tiba, “Duduk, om sama tante nungguin kamu dari tadi. Nggak sopan bikin orang tua nunggu.”

“Halo Om, Tante, maaf, nunggu lama ya?”

Hitomi mengerjap. Suara itu terdengar familiar.

“Nggak, Nak, baru juga sepuluh menit, nggak apa-apa,” jawab sang ayah. Ia mendengar kursi berderit beradu dengan lantai. Saat ia mendongakkan kepala, ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Nah, Hitomi,” ujar Sangwook tiba-tiba, “Ini putri Om yang mau Om kenalkan sama kamu. Kalian satu jurusan, jadi pasti nyambung. Dia kalau sama Om nggak nyambung soalnya,” tawa pria itu menggelegar, “Om nggak tahu kalian satu kampus sampai malam tadi. Ayahmu itu nggak mau bilang kamu kuliah di mana soalnya.”

“Nanti kamu nekat nyuruh putrimu untuk nyamperin putriku,” Hideyoshi berkata sambil tertawa pelan, “Bahaya kalau iya. Lagipula kamu dari dulu keras kepala. Aku maunya mereka ketemu begini, seperti ini, sama orangtuanya.”

“Wah, akal bulusku ketahuan,” lagi-lagi Sangwook tertawa, “Yah, sudahlah. Pokoknya, ini putri Om. Kalian saling kenal?”

Kedua gadis itu terdiam. Sang ayah mengerutkan dahi, “Waduh, nggak ya?”

“Dia 'kan gitu Pa, tukang ngurung diri di kamar, mana sempat kenalan sama anak orang?”

“Yewon!”

“Yah,” Sangwook mengibaskan tangan, lalu menepuk pundak putrinya pelan

“Kenalin, putri Om. Kim Chaewon.”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Senang deh kamar anaknya Bunda tetap rapi meskipun nggak ada yang mengingatkan.”

Hitomi tersenyum kecil saat sang ibu mengamati kamar kosnya. Hari ini tiba juga. Kalau bisa, ia berharap akhir pekan tak cepat datang.

(Tapi ia juga benci hari kerja. Hitomi memang tidak bekerja, tapi otaknya bekerja—kuliah menguras tenaganya. Hanya akhir pekan ia bisa beristirahat, itu pun jika tak ada urusan himpunan. Himpunan adalah lain soal. Meski fisiknya lelah, hatinya tidak—himpunan adalah satu-satunya cara bagi dirinya dan Chaewon untuk berinteraksi dengan bebas. Kasihan)

“Yuri ada, Sayang?”

Hitomi menoleh sembari meraih tas kecilnya yang tergantung di pintu lemari, “Lagi di kosannya Nako, Bun,” ia memastikan tak ada yang tertinggal; dompet, ponsel, parfum (jaga-jaga saja—ia benci jika ada bau tak sedap menempel di pakaiannya), tisu, tisu basah—lengkap semua.

“Kenapa Bun? Anaknya titip salam sih.”

“Nggak,” sang ibu buru-buru menggeleng, “Ya udah yuk turun? Ayah sengaja nggak naik supaya nggak terlalu lama. Ada mobil lain di bawah soalnya.”

“Mobilnya Hyungseo kayaknya, Bun,” jawab Hitomi cepat, “Hitomi udah siap kok. Yuk,” ujarnya sembari melangkah menuju pintu. Diraihnya kunci, lalu setelah sang ibu keluar, ditutupnya pintu rapat-rapat. Tak lupa ia memastikan pintu benar-benar terkunci.

“Hitomi, Nak?”

“Iya, Bun?” Hitomi menoleh, mendapati sang ibu memandangnya dengan senyum tipis terukir di wajah, tetapi sorot matanya tidak begitu; ada sesuatu yang lain, yang tak mampu Hitomi terjemahkan, “Kenapa Bun?”

“Bunda tahu, kamu mungkin keberatan dengan ini,” sang ibu tiba-tiba menggamit jemarinya, menyisakan Hitomi yang sedikit terperangah, “Tapi Bunda sama Ayah juga mau yang terbaik buat kamu. Intuisi seorang ibu tidak pernah salah, Nak, dan Bunda yakin, anak ini baik buat kamu.”

Hitomi mengerjap. Ia tak pernah sekali pun membantah orangtuanya. Namun, bukan berarti orangtuanya adalah orangtua yang otoriter; mereka selalu meminta pendapatnya dalam memutuskan sesuatu. Tak pernah ada paksaan. Pada akhirnya, semua keputusan ada di tangan Hitomi. Namun untuk yang satu ini, ia bisa melihat kedua orangtuanya sedikit memaksa.

Anak itu punya apa sih sampai Ayah sama Bunda segini kepinginnya lihat aku sama dia?

HItomi menghela napas, “Tapi kalau aku nggak suka, aku boleh nolak 'kan, Bun?”

Sang ibu hanya tersenyum, “Selalu ada ruang untuk diskusi dalam keluarga kita, Nak. Kalau memang Bunda dan Ayah kali ini salah,” genggaman sang ibu di tangannya mengerat, “Kalau kali ini intuisi Bunda salah, kami nggak akan memaksakan apa-apa. Ini hidupmu. Yang paling penting adalah kebahagiaan kamu.”

Dan Hitomi yakin bahwa kedua orangtuanya takkan ingkar janji—sebab saat ini, kebahagiaannya ada pada gadis bernama Kim Chaewon; gadis yang menjulukinya tukang roti di kali pertama mereka berjumpa.


“Pa, aku ke toilet sebentar,” ujar Chaewon sambil bangkit dari kursinya. Sang ayah mengangkat sebelah alis

“Nggak kabur 'kan?”

Chaewon memejam. Kalau bisa kabur sih, dari pagi aku kabur, pikirnya. Ia menggeleng pelan, “Emang pernah Chaewon kabur, Pa? Selama ini 'kan Chaewon selalu nurutin apa kata Papa.”

“Ya sudah, jangan lama-lama, teman Papa sebentar lagi sampai,” mengabaikan sindiran sang putri, pria itu akhirnya berkata, “Kalau kamu nggak balik-balik, Papa susulin.”

“Iya ah,” ia akhirnya berjalan menuju toilet di ujung restoran. Entah sudah berapa kali ia mendesah hari ini. Ia terbangun di pagi hari dengan perasaan tak karuan. Tubuhnya seolah bergerak otomatis—bangun dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi, sarapan, lalu berpakaian. Tiap detik terasa begitu menyiksa. Menyaksikan jarum jam bergerak menuju angka membuat pikirannya dikerubungi suara-suara penuh gelisah.

Aku harus bilang apa sama Hitomi nanti? Gimana dengan hubungan kami? Harus putus kah? Tapi aku maunya dia. Kenapa sih Papa begini?

Begitu bilik kamar mandi kosong, ia bergerak masuk, mendudukkan diri di atas kloset. Ia bahkan tak berniat buang air. Ia hanya—ingin mendinginkan kepala, mengosongkan pikirannya dari hantu-hantu di sudut pikir. Ia tak mungkin berulah hari ini—ada nama baik ayahnya yang harus dijaga. Namun, ia juga tak ingin menerima perjodohan ini. Tidak tanpa sepengetahuannya, tanpa diskusi terlebih dahulu dengannya.

Menjalin hubungan dengan Hitomi tidak mudah—tiap detiknya adalah sebuah usaha dari dua belah pihak. Ia tidak ingin menyerah begitu saja. Maka dikeluarkannya ponsel dari saku, mencari satu nama yang belum mengiriminya pesan sejak pagi. Ia tersenyum kecil.

“Kok mendadak aku ingin ketemu kamu?”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


Hitomi melempar tas kecilnya sembarang, lantas merebahkan diri di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang putih polos. Laba-laba bahkan enggan membangun sarang di sana—atau bisa jadi, Hitomi memang kelewat bersih hingga makhluk itu tak mau berurusan dengannya.

Ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping. Pesan terakhir dari Chaewon belum sempat ia balas. Setelah mengetikkan sebaris pesan balasan, ia mendesah—lengan menutupi kedua matanya.

Jika harus jujur, belakangan, hanya kebingungan yang bersarang di kepalanya. Ia menyukai hubungannya dengan Chaewon, tentu saja. Gadis itu merupakan satu dari sekian kebaikan Semesta yang ia terima. Gadis itu tidak mempertanyakan permintaan Hitomi untuk berkencan di balik layar. Gadis itu juga selalu mengerti jika Hitomi menolak untuk pergi di waktu-waktu tertentu—padahal, untuk berpapasan dengannya di kampus saja sudah sulit.

Tapi sepertinya, Semesta tidak cukup baik untuk membiarkan hubungan pertamanya berjalan mulus.

Dering ponsel di sebelahnya membuat Hitomi tersenyum tipis. Diraihnya benda mungil itu, dan tanpa melihat nama penelepon, ia mendekatkan ponsel ke telinga, tepat setelah menggeser tombol hijau, “Ya?”

“Hai, Sayang.”

Hitomi memejam, “Apa sih Chaewon, kok tiba-tiba banget...”

Gadis itu ujung sambungan telepon cuma tertawa, “Nggak kangen aku panggil sayang apa?”

“Err,” Hitomi membawa tubuhnya menyamping, menarik bantal ke dalam pelukannya, “Kangen kamunya sih.”

“Waduh,” Hitomi bisa membayangkan ekspresi Chaewon saat ini; mata yang mengerling menggoda, senyum miring, dan jemari yang mengelus dagu, “Kalau itu sih susah, harus ditahan dulu kayaknya sampai beberapa waktu.”

“Padahal kita baru ketemu kemarin,” Hitomi melenguh, “Kok kangen sih.”

“Kamu lho yang bilang.”

“Iyaaa, iya, aku yang bilang,” gadis itu mencebik, “Chaewon?”

“Hm?”

“Jangan galak-galak, aku nggak suka.”

Hitomi mengerjap. Kok aku sok imut banget? ia mendengus geli. Namun di seberang sana, Chaewon cuma terkekeh pelan, tak menanggapi, tak menyanggah. Hitomi menghela napas, lalu berkata, “Aku tadi diajak Nako cari seafood.

“Emang di dekat situ ada yang buka ya?”

“Adaa, tapi agak jauh, dari kosan Nako harus jalan lagi,” Hitomi mendorong tubuhnya ke atas, merebahkan kepala di atas bantal lain, “Tapi beneran enak. Nanti, kapan-kapan—” Hitomi menggigit bibir, ragu untuk melanjutkan kalimatnya sendiri.

Kapan-kapan itu kapan? Akankah ada masanya mereka bisa berkencan bebas tanpa harus takut hubungan mereka dipergunjingkan? Akankah ada masanya mereka bisa—

“Iya,” sahut Chaewon, dan Hitomi tahu gadis itu tengah tersenyum, “Iya, nanti kapan-kapan kita makan di sana ya.”

Hening.

Suara kendaraan yang berlalu lalang makin jarang terdengar. Hitomi melirik jam yang tergantung di dinding. Pantas, pikirnya, Sudah jam segini.

“Besok kuliah jam berapa?” tanya Hitomi tiba-tiba, tak ingin menyudahi percakapan yang mereka bangun, tetapi ingin menyudahi hening yang memeluk. Rasanya, ada sesuatu yang diam-diam mencekiknya saat hening hadir setelah percakapan mengenai kapan-kapan itu mencuat.

“Jam sepuluh,” ujar gadis itu sambil menguap. Hitomi tertawa kecil.

“Udah ngantuk? Emang ngapain aja hari ini?” tanya Hitomi lagi. Ia bisa mendengar gemeresik kain—sepertinya Chaewon mengubah posisi tidurnya.

“Nggak ngapa-ngapain sih. Rebahan. Tadi sore jalan sebentar. Kata Mama, aku kurang sinar matahari, nanti nggak bisa berfotosintesis.”

Hitomi tertawa—namun tawanya segera surut saat terdengar ketuk halus di pintu. Ia beranjak dari tempat tidurnya, “Yang, sebentar ya,” terdengar gumaman tak jelas dari Chaewon. Dalam dua langkah besar, Hitomi berdiri di depan pintu, memutar kunci, lalu menariknya terbuka. Yuri, yang telah berbalut piyama, berdiri di depan pintunya.

“Kenapa Yur?” sebelah alisnya terangkat saat mendapati gadis itu juga memeluk selimut dan bantal.

“Numpang tidur di sini ya Hii, gara-gara Nako cerita horor, aku jadi kebayang-bayang,” gadis itu merengut, lalu tanpa basa-basi merebahkan diri di atas tempat tidur Hitomi, sementara si empunya kamar cuma melongo di depan pintu.

“Yang?”

“Eh, iya?” Hitomi kembali mendekatkan ponsel ke telinga. Ia kembali mengunci pintu, lalu dengan enggan berjalan mendekat ke arah tempat tidur, “Kenapa?”

“Ada siapa?”

Yuri, berbalik, membawa tubuhnya menghadap Hitomi. Sebelah alisnya terangkat mendapati Hitomi dengan ponsel menempel di telinga.

“Ada...” tanpa sadar ia menjilat bibir, “Ada Yuri, Yang.”

Yuri melongo.

“Dia mau nongkrongin kita teleponan?”

“AKU HARUS NONGKRONGIN KALIAN TELEPONAN KAH?!”

Hitomi terbahak saat dua gadis itu bicara berbarengan, dengan kalimat yang sama persis meluncur dari mulut keduanya. Ia lantas mengangguk, “Iya Yur, kamu harus nongkrongin kami teleponan.”

“Yang, coba loud speaker,” pinta Chaewon. Hitomi lantas duduk di tempat tidur, menjauhkan ponsel dari telinga, menekan ikon pengeras suara. Yuri menatapnya tak mengerti, lalu tak lama suara Chaewon terdengar.

“Hai Jo Yuri, maaf ya kamu harus nongkrongin kami kencan lewat telepon gini. Semoga mimpi indah setelah mendengarkan percakapan sepasang kekasih. Semoga cepet lupa sama cerita horornya Nako.”

“INI SIH LEBIH HOROR DARI CERITANYA NAKO!”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


Hitomi menarik pintu mobil dengan cepat, tangan kiri menggenggam kantung belanja saat tiba-tiba gadis di depannya menunjukkan cengiran lebar.

“Atas nama Honda Hitomi ya? Udah sesuai titik kah tujuannya? Ke hati saya?”

Hitomi mendengus geli, lalu cepat ia memanjat naik. Chaewon terkekeh, lalu meraih kantung belanja dari tangannya, membiarkan Hitomi memasang sabuk pengaman. Setelah bunyi klik pelan terdengar, Chaewon kembali meletakkan kantung belanja di atas pangkuan Hitomi.

“Beli apa? Kok berat?”

“Kita ke atas lagi 'kan,” ujar Hitomi, “Di sana nggak banyak yang bisa kamu makan, aku beli makanan ringan buat ngemil,” imbuhnya sambil mengerling ke arah Chaewon. Sebelah alisnya terangkat, “Ada sesuatu yang nempel di mukaku?”

Chaewon cuma tersenyum, lantas mencondongkan tubuh ke arah Hitomi. Hitomi terkesiap saat wangi parfum gadis itu menyeruak—wangi plum dan teh, mengingatkannya pada suatu sore yang cerah, dengan secangkir teh hangat di pangkuan.

Hanya saja, kini yang hangat bukan cuma bayangan akan peristiwa itu saja—pipinya juga menghangat saat Chaewon mendaratkan kecupan di sana.

“Cantik,” ujarnya pelan, “Kamu cantik sore ini.”

Hitomi memalingkan wajah ke arah jendela—bukan, ini bukan yang pertama mereka berbagi kecup di pipi. Hanya saja, ia yakin ia belum akan terbiasa dengan tingkah manis Chaewon begini.

“Jalan, Yang.”

“Hm?” di sampingnya Chaewon bergumam, “Kenapa Yang?”

“Jalan yuk. Keburu malam nanti.”

“Kalau salah tingkah, bilang aja.”

“Jalan, Sayang.”

“Oke, terserah pacarku aja.”


“Yang, hati-hati panas.”

Hitomi buru-buru meraih satu gelas dari genggaman Chaewon, menarik bungkusan roti bakar, lalu membiarkan gadis itu duduk di balik kursi pengemudi sebelum akhirnya menutup pintu.

“Aku tahu kamu minum kopi, tapi kopi yang di jual di sini bukan kopi yang biasa kamu minum,” ujar Chaewon sambil meraih bungkusan roti, “Jadi, minum susu aja ya?”

“Aku berasa jadi bayi,” Hitomi terkekeh, namun menyeruput susunya pelan. Ia mendesah saat sensasi hangat jahe mengaliri tenggorokannya.

“Bayi lah,” Chaewon menggigit sepotong roti, “Bayinya aku—eh maaf!” Chaewon buru-buru menarik selembar tisu, menyerahkannya pada Hitomi sebelum tangannya beralih menepuk-nepuk punggung Hitomi pelan, “Maaf, maaf, kaget ya?”

“Kamu bisa nggak sih, jangan gombal di mana-mana,” ujar Hitomi di sela batuknya, “Malu dengarnya.”

Chaewon meringis, “Maaf, tapi emang aku tuh kalau lihat kamu bawaannya pengen muji aja.”

“Chaewooon,” Hitomi merengek, dan Chaewon menyerah, sebelah tangan terangkat ke udara dengan pasrah.

“Iya, iya, maaf,” ujarnya, “Makan dulu, aah.”

Hitomi menggigit potongan roti yang disodorkan Chaewon. Sembari mulutnya sibuk mengunyah, ia mengalihkan pandangannya pada pemandangan yang terhampar di depan mereka.

Kota tempat mereka tinggal tampak kecil dari atas sini. Tempat ini tak cukup penerangan, hingga lampu-lampu gedung di bawah sana terlihat berkelap-kelip bagai bintang di Bumi. Ia akhirnya mengerti kenapa beberapa orang senang mematikan lampu saat tidur. Ada beberapa hal yang hanya terlihat indah justru ketika gelap tiba.

“Chaewon, nanti mobilmu bau roti sama susu. Nggak mau buka jendela aja?” tanyanya, melirik sekilas ke arah Chaewon yang sibuk meniupi susu miliknya.

“Besok pagi aku yang pakai kok, jadi ya udahlah. Anggap aja kenang-kenangan kencan sama kamu,” gadis itu terkekeh pelan, “Yang?”

“Hm?” Hitomi menoleh. Chaewon terdiam, sorot matanya terlihat ragu. Hitomi mendesah, lalu mengubah posisi duduknya menghadap Chaewon, “Kenapa, Chaewon?”

“Aku kayaknya belum ngomong ini dengan benar,” ia berujar pelan, “Maaf kemarin udah bentak kamu, ya.”

Hitomi mengerjap. Pertengkaran mereka kemarin, sejujurnya, adalah sesuatu yang tak ingin Hitomi ingat-ingat lagi. Ia tak pernah melihat Chaewon sefrustasi itu—tunggu, ralat. Ia pernah memergoki Chaewon terlihat frustasi saat dirinya menjalani masa ospek dulu—rekan seangkatannya yang kelewat hening memancing rasa frustasi semua pembimbing.

(Dan kebetulan, Chaewon lah pembimbing kelompoknya. Alasan mengapa ia bisa sedekat ini dengan Chaewon, hingga mereka memutuskan untuk berkencan, bahkan sebelum masa ospek berakhir. Tak semua orang mengendus kedekatan mereka—sesuatu yang Hitomi syukuri hingga hari ini, sebab dengan begitu, menyembunyikan hubungan mereka menjadi sedikit lebih mudah.)

“Salah aku juga, kok,” Hitomi akhirnya memecah hening yang ada, “Ya aku harusnya tahu kalau resiko backstreet ya gitu. Kamu benar, harusnya aku juga sedikit lebih percaya sama kamu,” ujarnya pelan.

Chaewon meletakkan gelas plastik miliknya. Pandangannya terarah pada Hitomi yang balas menatapnya dengan sorot mata bertanya, sebab Chaewon memandanginya lekat-lekat, “Beneran, aku harusnya percaya sama kamu. Kamu nggak akan ke mana-mana. Kamu nggak akan tiba-tiba pacaran sama Minju 'kan?”

Pelan sekali, Chaewon menarik pergelangan tangan Hitomi, menariknya mendekat, menyatukan genggaman mereka, “Iya,” Chaewon tersenyum simpul, “Aku nggak akan ke mana-mana, nggak akan tiba-tiba pacaran sama orang lain. Hubungan kita memang nggak mudah, tapi kamu lihat sendiri kalau kita masih berusaha menemukan celah supaya bisa kencan, bisa ketemu, bisa ngobrol. Aku nggak akan nyerah gitu aja.”

Ada sesuatu yang berbeda dari cara gadis itu berbicara, dan Hitomi sadar benar akan hal itu. Namun, ia tak ingin berasumsi. Asumsi kerap kali membawanya pada pikiran-pikiran buruk, dan untuk saat ini, ia tak butuh itu. Hitomi tak tahu harus berkata apa, tapi akhirnya ia mengangguk seraya mengulas senyum tipis.

“Jangan nyerah. Aku juga masih mau sama kamu, kok.”

Hitomi pikir, bintang-bintang harusnya tak usah bersinar di atas sana. Mereka harusnya bersembunyi saja. Mereka harusnya malu, sebab ada yang lebih cerah dari cahaya mereka; kedua mata Chaewon adalah semesta yang tak pernah ia duga ada. Kedua matanya bersinar, dan Hitomi yakin bahwa barangkali, memang bintang-bintang tengah bersembunyi—mereka bersembunyi di kedua mata gadis itu.

Perlahan Chaewon mendekat, melipat jarak yang ada di antara mereka. Hitomi bisa merasakan detak jantungnya yang berlari, seiring dengan jarak yang terkikis di antara mereka. Ia memejam, merasakan hangat napas Chaewon di bibirnya. Satu sentimeter—

“Maaf,” ujar Hitomi memalingkan wajah, membiarkan bibir gadis itu mendarat di pipinya. Chaewon mendengus geli.

“Angkat dulu teleponnya.”

Siapa sih, ganggu aja, gerutu Hitomi dalam hati. Ia merogoh tas, mencari di mana benda sialan itu berada, lalu menariknya keluar. Matanya terbelalak saat melihat siapa si penelepon. Ia mendongak, menatap Chaewon yang memandangnya lekat, lalu bertanya siapa? tanpa suara.

“Bunda.”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Ngelamunin apa sih yang di belakang?”

Chaewon mengalihkan pandangannya dari jendela, “Eh, apa Pa?” dengan gugup gadis itu menyelipkan anak rambutnya di telinga, “Papa tadi manggil aku?”

“Kemarin dari mana, kok pulangnya malem banget?” ujar sang ayah. Mobil berhenti—barisan kendaraan roda empat bersengkarut di hadapan mereka. Hari ini, sang ayah mengajak keluarga kecilnya untuk pergi keluar. Makan siang bersama di satu restoran kecil langganan mereka seolah menjadi tradisi saat sang ayah sedang tak sibuk. Sayangnya, kali ini, Kim Hyeyoon, kakaknya yang sedang bergulat dengan skripsi, tak bisa ikut.

“Ada perlu Pa sama teman, nugas,” jawabnya singkat. Ia tak bohong bukan? Menenangkan Hitomi yang sedang marah adalah tugasnya. Jadi... Chaewon mengatakan kebeneran 'kan?

Sang ayah meliriknya lewat kaca spion, lalu mengangguk, “Sayang si Kakak nggak bisa ikut,” ujarnya lagi.

“Kakak tuh emang gitu, Pa,” tukas sang ibu, “Kadang, kalau dia lagi malas, Mama sampai pusing karena itu skripsi dia jadi dianggurin. Padahal katanya udah sampai bab 4. Sedikit lagi,” gerutu sang ibu, “Tapi kalau udah rajin, dia kelewat rajin. Makanya, mumpung anaknya lagi mode rajin, biarin aja Pa. Mama udah masak kok, tinggal dihangatkan aja sama anaknya.”

Kim Sangwook hanya mengangguk, merasa tak perlu menanggapi. Lampu merah berganti hijau. Tak lama, mereka melenggang, membelah jalanan bersama kendaraan lain yang berpacu untuk menjadi yang paling cepat. Dari apa, Chaewon juga tak tahu. Ia hanya ingin segera keluar dari mobil ini, melepas rantai tak kasat mata yang membelenggunya, lalu berlari ke arah Hitomi—tempat teraman baginya untuk setidaknya, saat ini.


“Tumben ramai ya Ma.”

Chouchou adalah nama restoran yang tak sengaja ditemukan ayahnya saat Chaewon masih duduk di bangku SMP. Ia ingat saat itu mereka sedang jalan-jalan, dan kakaknya mengeluh kelaparan. Tak ada pilihan lain. Sang ayah tak mau membawa mereka ke restoran cepat saji yang antreannya mengular. Hanya restoran ini saja yang terlihat lengang. Meski sempat menyangsikan makanan yang disajikan, mereka akhirnya memutuskan untuk mampir.

Hingga saat ini, mereka selalu mampir kemari. Restoran ini tidak besar. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa berada di rumah. Sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di restoran ini, tak ada yang berubah. Wangi kue yang di panggang, wangi kayu manis yang mengudara, musik yang sayup-sayup terdengar dari piringan hitam di sudut ruangan, dan jendela-jendela besar yang dibingkai oleh kayu cendana yang dicat cokelat.

“Nggak heran juga sih Pa, di sini makanannya enak. Udah saatnya mereka menarik banyak pelanggan.”

Sang ayah mengangguk, lalu pandangannya terarah pada Chaewon yang tengah menikmati semangkuk es krim, “Chaewon?”

Merasa namanya dipanggil, gadis itu mendongak, “Iya Pa?”

“Minggu depan, hari Sabtu, jangan ke mana-mana ya,” ujar pria itu. Ia berdehem, tampak gugup, namun melanjutkan, “Teman Papa mau datang.”

Pasti yang itu, pikir Chaewon. Ia mengangguk pelan, mengembuskan napas kelewat kencang hingga menarik perhatian sang ayah, “Kenapa?”

“Nggak, Pa,” ia menggeleng, mengaduk es krimnya tak berselera. Niatnya untuk menghabiskan pencuci mulut yang satu itu musnah sudah—berganti gelisah yang sesungguhnya ada di sana sejak pertama kali ia memberanikan diri menjalin hubungan dengan kekasihnya.

“Dicoba dulu. Anaknya baik. Papa udah bilang 'kan dia sejurusan sama kamu? Teman Papa nggak mau bilang dia kuliah di mana, tapi karena kalian sejurusan, pasti nyambung.”

“Nggak bisa banget dibatalin ya Pa?” Chaewon akhirnya mendongak, menatap orangtuanya dengan pasrah, “Harus sama dia ya?”

“Papa udah ngabulin permintaan kamu untuk nggak ikut campur sama bisnis Papa, Chaewon,” ujar sang ayah dengan tegas, “Kamu bebas kuliah di jurusan yang kamu mau, melakukan kegiatan ini itu yang Papa nggak ngerti, tapi untuk yang satu ini, nggak bisa ditawar.”

Detik itu juga, Chaewon tahu tak ada yang bisa ia lakukan. Nada suara ayahnya terdengar final, dan barangkali, cepat atau lambat, ia memang harus jujur pada Hitomi tentang ini; dirinya yang terikat pada sesuatu yang enggan ia terima.


“Mau ke mana sih kamu, nggak capek?” ujar sang ibu yang kini sudah berdiri di depan pagar rumah mereka, badan condong ke arah jendela mobil yang terbuka. Begitu sang ayah menghentikan mobil, Chaewon buru-buru keluar, berpindah dari kursi penumpang menuju kursi pengemudi. Pagi tadi, ia memang setuju untuk pergi bersama orangtuanya. Namun, ia juga berkata bahwa sore nanti, ia harus pergi—lagi-lagi karena tugas.

“Ya tugas, Ma,” ujar Chaewon sambil memasang sabuk pengaman, “Kenapa?”

“Bisa dikerjain di rumah 'kan Sayang?”

“Aku di rumah nggak konsen Ma,” Chaewon melenguh, “Hawanya mau tidur. Aku nggak kayak Kakak yang tahan nugas lama di rumah.”

Sang ibu menghela napas, tapi kemudian mengangguk, “Ya sudahlah, suka-suka kamu. Nggak bawa laptop?”

Chaewon mengedikkan kepala, menunjuk ke arah bangku belakang, “Tuh, di belakang.”

Penyamaran yang sempurna, Kim Chaewon.

“Ya udah, hati-hati, Mama masuk dulu. Jangan terlalu malam pulangnya, besok kuliah.”

Chaewon mengangguk. Setelah sang ibu menghilang di balik pintu, ia menginjak pedal gas, membelah jalanan yang sedikit lengang, berharap untuk segera tiba, berharap untuk segera mendapat senyum paling manis dari kekasihnya.

Dan semoga, ia bisa melihat senyum itu untuk waktu yang lama.

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Yuriiii!”

Yuri mendongak, lantas buru-buru bangkit dan melangkah menuju pintu. Dalam satu sentakan, pintu terbuka, menunjukkan sosok Hitomi dengan raut resah menghiasi wajahnya. Sebelah alis Yuri terangkat, “Kenapa nih bestie, kok kayak lagi jadi buronan?” ia mundur selangkah, menyilakan Hitomi masuk, lalu setelah gadis itu duduk, ia menutup pintu rapat-rapat.

“Aku bingung sumpah,” ujar Hitomi saat gadis itu sudah duduk di depannya, “Backstreet ternyata sesusah ini.”

“Ketahuan Bunda?” kedua mata Yuri membulat. Saat pertama bertemu dengan sang ibu, Yuri sempat dibuat kaget dengan sikap hangat perempuan itu, memperlakukannya seolah Yuri juga putrinya, sama seperti Hitomi. Namun, mengingat permintaan mendesak dari sang ayah, Yuri juga tak yakin bahwa kabar Hitomi memiliki kekasih bisa diterima sang ibu dengan lapang.

Hitomi menggeleng, “Bukan,” ia lalu mengangsurkan ponselnya pada Yuri, “Baca aja deh, aku bingung jelasinnya.”

Meski heran, Yuri kemudian menerima ponsel Hitomi. Ia mengerjap saat melihat satu nama yang terpampang di layar ponsel, “Oh, wow? Dia nanya gitu?”

Hitomi mengerang, “Aku pikir dia nggak sepeka itu tahu Yur,” ujarnya, “Maksudku, kalau pun dia peka, kupikir dia nggak akan berani nanya langsung sama aku,” imbuhnya lagi. Yuri kemudian mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.

“Dia nanya sih, Hii, sama aku,” ujarnya, “Dia ngerasa kamu suka bete kalau dia bahas Kak Chaewon, tapi dia nggak mikir kalian pacaran ya karena kalian main rapi juga,” tambah Yuri lagi, “Cuma ya, dia peka juga, sih.”

“Terus aku harus gimana, Yuri,” gadis itu mencebik, “Aku nggak bisa nambah satu nama lagi di daftar orang yang tahu soal hubungan aku sama Chaewon.”

Yuri terbatuk, “Chaewon? Chaewon?” ia terbeliak, “Udah manggil nama?!”

Hitomi menunduk, dan kali ini, Yuri tak melewatkan pipi Hitomi yang merona dan telinganya yang memerah, “Dia yang minta. Tiap aku manggil pakai embel-embel Kak, dia nggak pernah jawab,” ujarnya pelan. Yuri, kali ini dengan senyum menggoda, lantas berkata

“Terus gantinya, Kak Chaewon manggil kamu sayang gitu?” jemarinya bergerak meraih gelas di atas meja, “Gemes banget deh bestie sekalinya punya pacar begitu.”

“Ya aku juga manggil sayang sih...”

Air yang baru ditenggaknya menyembur.

“Yur kamu nggak apa-apa?” ujar Hitomi sambil buru-buru meraih tisu, mengangsurkannya pada Yuri yang tengah menepuk-nepuk dada.

“Nggak,” ujarnya sambil terbatuk, “Cuma aneh banget dengerin kamu cerita gitu,” ia menarik napas, “Udahan deh, aku nggak kuat. Berasa banget jomlonya. Sekarang Minju,” buru-buru ia mengalihkan topik. Gelas sudah kembali kosong, berdiri di atas meja, “Menurutku sih, kamu bilang aja lagi ada masalah, jadi agak sensi.”

“Terus kalau dia nanya masalah apa?” tanya Hitomi sambil mencebik, “Udah tahu Minju nggak pernah puas sama alasan kayak gitu.”

“Ya terus kamu mau jujur hah soal hubungan kamu sama Kak Chaewon?”

“Aku ke sini buat minta saran, bukan buat dimarahi.”

“Yang gini nih,” Yuri mendengus, tangannya terlipat di depan dada, “Yang begini nih. Nggak tahu mau ngapain, minta saran, lalu pas dikasih saran malah nolak mentah-mentah pakai berbagai alasan.”

“Aku nggak nolak—”

“Sama aja,” Yuri mengibaskan tangan. Telunjuknya kemudian mengarah pada ponsel Hitomi, “Udah sekarang kamu kirim pesan sama Minju, bilang kalau kamu emang lagi ada masalah keluarga, nggak ada sangkut pautnya sama kuliah, jadi nggak bisa jelasin sama Minju. Suatu saat bakal ngomong, tapi nggak sekarang.”

“Yur,” Hitomi mencebik, “Kesannya aku nih datang dari keluarga bermasalah deh kalau gitu.”

“Kamu minta saran apa ngajak debat?” Yuri balas menatapnya sewot, “Kalau nggak mau udah sana balik kamar.”

“Iya, iya ah,” bersungut-sungut Hitomi meraih ponselnya, menyusun kata-kata yang pantas untuk dikirimkan (ia mengirim, bukan? Mereka bertukar pesan?) pada Minju agar gadis itu tak menaruh curiga berlebih.

Semoga Minju bisa dibodohi seperti biasanya.

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Aku merasa ditipu sumpah.”

Baik Chaewon maupun Hitomi hanya mampu meringis melihat sikap dramatis Yuri di hadapan mereka; mulut menganga, kedua tangan meremas di mana jantungnya berada, lalu kedua mata yang terbeliak. Mereka menghabiskan hampir satu jam untuk menceritakan bagaimana hubungan mereka bermula; dan Yuri tak henti mendesah dengan dramatis, terkesiap, atau menggeleng—juga dengan dramatis.

“Jadi berarti yang waktu itu dianterin taksi online itu—maksudnya kalian habis kencan gitu?” Yuri membetulkan posisi duduknya; disandarkannya tubuh pada tembok tepat di bawah jendela, sementara Chaewon dan Hitomi duduk bersisian, bersandar pada kaki tempat tidur. Yuri menyeringai saat melihat tangan mereka saling menggenggam.

Ya,” gadis itu menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Iya,” cengiran kaku terbit di wajah Hitomi.

“Bisa-bisanya,” Yuri menggeleng, “Kenapa nggak bilang aja sih dari awal?” ia menatap keduanya gemas, “Kalau aku, Nako, sama Minju tahu, paling nggak, kalian nggak perlu jalan diam-diam 'kan?”

Kali ini, Chaewon yang angkat bicara, “Nggak bisa Yur,” ujarnya lagi, “Kalau ada yang tahu, pelan-pelan nanti pasti orang lain tahu. Aku nggak nuduh mulut kalian ember bocor, nggak,” cepat-cepat Chaewon menggeleng saat Yuri akan protes, “Tapi kami nggak yakin kalian nggak akan senyum-senyum genit kalau lihat kami barengan di kampus.”

Bingo. Yuri meringis, “Iya sih, apalagi si Nako. Beuh, udah pasti dia heboh.”

Hitomi mengangguk pelan, “Takut juga kalau kabarnya sampai ke dosen-dosen. Ya mungkin beliau pasti menanggapinya dengan bercanda, tapi aku nggak tahu Ayah akan menanggapinya bagaimana. Semenjak kuliah, Ayah cuma mewanti-wanti satu hal; jangan pacaran dulu. Ayah nggak pernah minta sesuatu yang spesifik.”

Genggaman Chaewon di tangannya mengerat hingga Hitomi menoleh, “Kenapa?” tanyanya. Chaewon terdiam sejenak sebelum berkata

“Kamu—”

Hitomi tahu apa yang ingin Chaewon tanyakan. Namun, sekarang bukan saatnya. Chaewon tidak perlu tahu bahwa alasan sang ayah memintanya untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun adalah karena sang ayah sudah memilihkan seseorang untuknya. Chaewon tak perlu tahu. Gadis itu hanya perlu tahu bahwa ia menyayanginya. Itu saja. Maka cepat-cepat Hitomi menggeleng

“Aku tahu yang mau kamu tanyakan, tapi nggak kok,” ia bisa melihat Chaewon mengembuskan napas lega.

“KAMU?!” Yuri mendadak histeris, “MANA KAK CHAEWON-NYA?”

“Yuri apa sih...” Hitomi menunduk, merasakan pipinya memanas. Di sebelahnya, Chaewon terkekeh pelan.

“Aku yang minta,” jawabnya pelan, “Aku nggak mau dipanggil Kak. Agak janggal dengarnya. Dia pacarku meskipun dia juga juniorku. Iya 'kan Yang?”

Yuri terbatuk, “Yang? YANG? SAYANG?!

Hitomi mengerang, “Tahu 'kan sekarang, kenapa aku nggak cerita sama kalian? Ya gini,” desisnya pelan, meski ia yakin pipinya merona. Yuri buru-buru meraih gelas, mengisinya dengan air. Dua hela napas kemudian, ia berkata

“Aneh banget lihat Kak Chaewon yang biasanya diam-diam aja di kampus tahu-tahu manggil sayang. Sama Hitomi lagi.”

“Ya harusnya sama siapa?” sebelah alis Chaewon terangkat, “Orang pacarku Hitomi?”

“Yang, ih, malu,” bisik Hitomi, berharap Yuri tak menangkap kalimatnya, tetapi terlambat—Yuri melempar tatapan tak percaya padanya. Baru saja ia membuka mulut, Hitomi melempar tatapan tajam padanya—ia urung bicara. Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan

“Terus Minju gimana Kak?”

Sontak keduanya menghela napas. Chaewon memejam sebelum berkata, “Aku bingung bilangnya gimana Yur,” ujarnya pelan, “Kayaknya, kalau aku terus terang sama dia kalau aku nggak ada rasa sama sekali, dia nggak akan peduli juga.”

Yuri meringis, mengiyakan kata-kata Chaewon. Minju memang begitu. Yuri bahkan menyadari bahwa sejak beberapa minggu lalu, Chaewon memang menunjukkan keengganannya untuk menanggapi Minju—antara Minju yang tidak peka atau keras kepala, Yuri tak tahu. Namun, di sisi lain, ia mengerti bahwa Minju tak sepenuhnya salah; hubungan Chaewon dan Hitomi, ia pun tak tahu hingga satu jam yang lalu.

“Aku juga nggak bisa jauhin Minju gitu Yur—ya alasannya apa? Karena dia naksir aku? Nggak masuk akal. Dia masih juniorku, kami ketemu di himpunan, masa iya aku jauhin dia cuma karena alasan bodoh gitu?”

Yuri lagi-lagi setuju. Tidak ada alasan jelas bagi Chaewon jika gadis itu memutuskan untuk menjauhi Minju. Tak ada yang bisa mereka lakukan saat ini kecuali menahan rasa cemburu dan meyakinkan pasangan masing-masing bahwa mereka tak ingin mencari yang lain. Namun, manusia tetaplah manusia yang memiliki batas—Yuri juga mengerti bahwa pada satu titik, kesabaran Hitomi akan habis, seperti yang terjadi dua minggu ke belakang.

Mendadak, semuanya terasa masuk akal; bagaimana suasana hati Hitomi selalu terlihat buruk saat Minju berada di dekat Chaewon, bagaimana gadis itu tak pernah menanggapi ocehan Minju dalam ruang obrolan mereka jika gadis itu bicara panjang lebar mengenai Kak Chaewon begini dan Kak Chaewon begitu, juga bagaimana Hitomi tiba-tiba menyuapi Chaewon, dan Chaewon yang dengan sigap mencarikan pakaian ganti untuk Hitomi, hingga tak menyadari bahwa pakaiannya sendiri kotor.

Masuk akal.

“Yur, tapi,” suara Hitomi menyadarkannya dari lamunan, “Jangan bilang siapa-siapa ya?”

Kedua alis Yuri terangkat, “Ya?”

“Jangan bilang siapa-siapa soal kami yang pacaran,” raut wajah Hitomi mendadak memelas, suaranya mengiba, “Kami nggak dalam posisi yang aman untuk bilang sama orang-orang kalau kami pacaran.”

“Sebenarnya, alasan kalian berantem bukan Minju 'kan?” Yuri menggigit bibir, “Maksudku—iya sih, ini gara-gara Minju, tapi 'kan Minju nggak tahu kalian pacaran. Kalau tahu, mungkin Minju juga nggak akan begitu.”

“Nggak sekarang, Yur,” pinta Hitomi lagi, “Ya?”

Yuri tahu, baik Chaewon maupun Hitomi tengah menyembunyikan sesuatu; entah padanya, entah pada satu sama lain, atau keduanya. Namun, siapa ia yang bisa menolak permintaan kecil dari sobatnya? Maka tanpa ragu, ia mengangguk

“Oke, tapi traktiran seminggu penuh ya Kak Chae.”

“Rampok.”

“Sayang, bahasanya.”

”...aku harus menyingkir dari gempuran konten tidak ramah jomlo ini.”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Aku nggak sengaja ketemu Minju.”

Kalimat pertama yang diucapkan Chaewon saat membuka pintu kamarnya adalah sesuatu yang telah Hitomi duga. Ia tahu, bahwa entah bagaimana, Minju dan Chaewon tak sengaja bertemu. Namun, hari ini, ada sesuatu—sesuatu yang bergejolak dalam dirinya, meronta minta dilepaskan.

“Masuk,” adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut Hitomi. Gadis di depannya cuma menunduk, lantas menutup pintu di belakangnya. Hitomi memejam saat Chaewon berlutut di depannya, membiarkan jemari mereka bertaut. Mendadak, tempat tidurnya terasa sekeras batu.

“Kamu mau denger aku ngomong 'kan?”

Ia tak mengangguk. Tak pula membalas genggaman Chaewon. Gadis itu mendesah, lalu berkata, “Oke. Karena kamu nggak nolak, aku anggap kamu mau dengar penjelasanku dulu,” Hitomi bisa merasakan gadis itu mendekat—dan barangkali jika ia membuka mata, ia bisa melihat tatapan frustasi dari gadis itu.

“Aku tadi nganter Mama ke Ramses,” gadis itu akhirnya buka suara, “Karena aku nggak mau nongkrong sama ibu-ibu, aku nunggu di Cup of Joy. Tadinya, aku bahkan mau nekat aja kencan sama kamu sambil nunggu Mama—tapi nggak mungkin 'kan? Tadi aja di sana selain ketemu Minju, aku ketemu Kak Miyeon sama Kak Nicha. Lagipula, aku nggak tahu kapan arisannya Mama selesai. Kalau aku tiba-tiba harus ninggalin kamu gimana?”

Hitomi perlahan membuka kedua matanya. Ia mendesah, “Terus kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ketemu Minju?”

Ganti Chaewon memejam, “Karena aku tahu kamu bakal bete seketika.”

“Kamu pikir dengan kamu nggak bilang, aku nggak bakal bete gitu?” ia bisa melihat Chaewon berjengit saat suara Hitomi meninggi, “Aku yakin kamu nggak cuma nyapa Minju. Dia bahkan kirim foto kamu lagi pegang sumpit. Makan bareng 'kan?”

“Pas dia datang pesananku datang.”

“Terus yang di twitter?” ia berkata sengit, “Nggak mungkin mereka ngada-ngada soal lihat kamu yang asyik ngobrol sama Minju. Seru banget obrolannya sampai ketawa gitu?”

“Hitoma, denger dulu, aku—”

“Aku ngaku, aku emang nggak kelihatan cocok sama kamu,” Hitomi bisa merasakan sudut hatinya tergores saat Chaewon menatapnya begitu—tatapan yang menyiratkan bahwa hatinya juga tergores oleh ucapan Hitomi, “Kayak yang mereka bilang, mungkin kamu lebih cocok sama Minju yang bisa dengan terang-terangan nunjukin dia naksir kamu setengah mati, dan dia yang—”

“Ya terus aku harus gimana?!”

Hitomi tersentak saat tiba-tiba teriakan tertahan lolos dari bibir gadis itu, “Aku harus gimana Hitomi?!” genggaman mereka terlepas. Hitomi mengernyit. Matanya bergetar menatap Chaewon yang kini sudah berdiri di depannya dengan raut wajah frustasi.

“Kita nggak bisa jalan terang-terangan karena kamu takut berita soal kamu punya pacar sampai ke telinga ayahmu. Aku nurut. Aku berusaha jaga sikapku tiap kali kita barengan di kampus,” jemari Chaewon bergerak menyisir rambutnya, “Aku juga tahu diri untuk nggak ngajak kamu kencan kapan pun aku mau karena kita cuma bisa kencan di jam-jam aneh, bahkan ke tempat-tempat aneh demi menghindari ketemu orang yang kita kenal. Kamu pikir gampang apa?”

“Terus kamu pikir buatku ini gampang?” ia mendadak bangkit dari duduknya, telunjuk mengarah pada dadanya sendiri, “Kamu pikir gampang buatku nahan cemburu tiap kali ada manusia-manusia genit deketin kamu? Stop, jangan belagak bodoh, aku tahu kamu sadar mereka deketin kamu,” ia tak tahu sejak kapan tubuhnya bergetar, “Mereka nggak akan deketin kamu kalau kamu bisa lebih tegas!”

“Ya aku harus gimana, Hitomi?” kedua tangan Chaewon mengepal, “Jelasin, aku harus gimana lagi?” Chaewon mendongak, mengerjap beberapa kali, meredam amarah yang sudah naik ke ubun-ubun

“Kamu sendiri yang bilang nggak masuk akal kalau aku jauhin Minju,” ia berkata lirih, “Kamu sendiri yang nggak mau aku jauhin mereka karena nggak mungkin aku jauhin mereka tanpa alasan yang masuk di akal mereka,” kedua matanya kini menatap Hitomi yang kentara menahan tangis—dan rasanya, ia ingin memeluk gadis itu jika saja situasinya tidak begini.

“Aku udah nawarin berkali-kali,” suaranya tiba-tiba bergetar, “Tapi kamu selalu bilang nggak usah. Sekarang, udah kayak gini, kamu marah sama aku?”

Biasanya, Hitomi senang mendengar Chaewon tertawa. Namun, kali ini, ia berharap bahwa ia bisa menulikan telinganya sesaat—tawa hambar dan wajah frustasi Chaewon bukanlah sesuatu yang ingin ia kenang, “Kamu maunya aku gimana lagi?”

Mereka melewatkan bayangan yang bergerak di balik jendela kamar Hitomi yang menghadap lorong. Mereka juga luput menyadari pintu kamar Hitomi yang tak ditutup rapat oleh Chaewon.

“Jawab aku, Hitomi,” sebelah tangan mengusak wajahnya kasar—sebelah lagi berada di pinggang, “Bisa nggak, kamu dengan jelas bilang apa maumu? Aku capek kalau kamu selalu cemburu begini, padahal kamu sendiri yang minta aku untuk tetap berhubungan sama mereka.”

“Uh!” ganti Hitomi yang menjerit tertahan, “Demi Bumi, Chaewon, bisa nggak sekali aja kamu bilang terang-terangan kalau kamu nggak suka sama mereka? Bisa nggak sekali aja kamu terang-terangan nolak keberadaan mereka di samping kamu? Aku yang harusnya ada di sebelah kamu, aku yang harusnya bisa deket-deket kamu, pacar kamu ini aku!”

“Kalian pacaran?!”

Keduanya menoleh. Kerutan di dahi mereka menghilang—amarah menguap begitu saja, berganti dengan panik yang merambat, dan mata yang terbeliak. Di ambang pintu, berdirilah Jo Yuri, sebelah tangan menutupi mulut.

“Aku nggak salah dengar?”

“Yuri,” Chaewon menjadi yang pertama menguasai diri dari kekagetannya, “Yuri, tolong—”

“Jadi selama ini kalian berdua deket-deket tuh karena pacaran? Selama ini Kak Chaewon selalu nanggepin Minju sekenanya karena ini? Jadi—”

“Yuri,” kedua tangan Chaewon terangkat di dada, mengisyaratkan gadis itu untuk menahan apa pun yang hendak meluncur dari mulutnya, “Masuk dulu, tutup pintunya,” ia melirik Hitomi yang sama terkejutnya dengan gadis itu, “Kamu datang di saat yang nggak tepat tapi—”

“Astaga jadi selama ini Hitomi bete karena itu?!”

Hitomi—yang sadar bahwa sedari tadi ia membisu—cepat-cepat menggeleng, “Tutup dulu pintunya,” ia menghela napas. Hilang sudah semua amarah dan cemburu yang sempat menguasainya tadi. Di depannya, Yuri masih terperangah. Setelah pintu tertutup, mereka bertiga duduk melingkar di lantai.

“Jadi,” Yuri menatap kedua manusia di depannya yang terlihat rikuh, “Siapa yang mau jelasin?” matanya menyipit, “Apa-apaan nih, kok aku nggak tahu? Kok kamu nggak cerita Hii?”

Chaewon melirik Hitomi yang balas meliriknya dengan sorot mata pasrah. Akhirnya Hitomi berkata

“Satu-satu. Aku bakal jawab pertanyaanmu. Janji, nggak ada yang ditutupi.”

Yuri mengerjap saat Chaewon menoleh—cepat, hingga Yuri bahkan takut kepala gadis itu akan terlepas, “Nggak apa-apa?”

Hitomi mendesah, “Mau gimana lagi?” ia berkata pelan sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada Yuri, “Tapi janji jangan cerita sama siapa-siapa, Yur.”

Meski heran, Yuri mengangguk. Entah sudah yang keberapa kali Hitomi menghela napas kali ini. Ia memejam sebelum kemudian berkata

“Pertanyaan pertama?”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Yur.”

“Hm?” Yuri menoleh, mendapati Nako yang menatapnya gelisah, “Apaan sih Ko?”

“Ngerasa aneh nggak sih sama Hitomi belakangan?” ia menyandarkan tubuh pada kaki tempat tidur, menatap nanar barang-barangnya yang masih berserakan di atas lantai, “Duh, kenapa sepupu dia harus tiba-tiba ke kosan sih? Ini siapa yang mau bantu beresin barangku segini banyak?”

“Lagian, ngapain bawa album ke kosan? Ribet kan beresinnya?” Yuri mendengus saat Nako mendelik ke arahnya, “Ngomongin Hitomi, iya, dia aneh banget belakangan.”

“Jadi sering marah-marah,” Nako mengerucutkan bibir, “Dia sehari-hari aja mulutnya udah pedes gitu, belakangan malah tambah tajam. Tahu sih,” Nako mengembuskan napas, “Ya tahu sih kadang dia nggak sengaja berkomentar setajam itu, tapi tetep aja, nusuk,” imbuhnya.

Dahi Yuri berkerut. Ia tak tahu apa ia bisa mengatakan ini—atau, apa ia boleh berbagi asumsi dengan Nako, namun, rasanya semua terlalu ganjil untuk dibilang kebetulan; reaksi yang cepat, suasana hati yang seketika berubah, foto-foto yang tampak serupa namun tak sama, dan binar di kedua mata Hitomi serta keengganan gadis itu saat satu nama muncul dalam percakapan mereka.

“Ko.”

“Hah?” Nako menoleh, tangannya menggenggam sebungkus biskuit kelapa, “Mau nggak? Makan beratnya nanti malem deh ya, biar hemat. Aku lagi bokek.”

Jemari Yuri bergerak mencomot sekeping biskuit, “Yakin nggak,” ia bicara di sela kunyahan, “Yakin nggak kalau yang datang ke kosan Hitomi itu sepupunya?”

Sebelah alis Nako terangkat, “Gimana maksudnya?”

Yuri cepat-cepat menggeleng, “Perasaanku nggak enak,” ujarnya tiba-tiba, “Aku balik dulu ya Ko?”

Di sebelahnya Nako melongo, “Heh!” telunjuknya mengarah pada koper yang terbuka, “Terus ini beresinnya gimana?!”

Yuri berdecak, “Yang pindahan siapa sih? Kok jadi aku yang repot? Mana cuma dibayar pakai ucapan terima kasih.”

“Ramen satu mangkok kalau udah ditransfer!”

Deal,” ujar Yuri sambil bangkit dari duduknya—menuai tatapan heran dari Nako.

“Mau ke mana anjrit Joguri?!”

“Tetep balik kosan. Aku punya feeling kalau aku nggak ke sana sekarang, perang dunia ketiga bakal meletus.”


Yuri tidak bodoh.

Sewaktu beberapa waktu lalu Hitomi pamit pergi dengan alasan menghadiri acara keluarga, ia tahu Hitomi tidak benar-benar menghadiri acara keluarga.

Keluarga macam apa yang bahkan tidak mengantar anak gadisnya pulang setelah seharian bersama? Belum lagi, anak gadis mereka tiba di kos-kosannya pukul sepuluh malam.

Ia yakin Hitomi sedang menutupi sesuatu.

Ia sempat menduga bahwa Hitomi memiliki kekasih—sebab gadis itu juga tak pernah melepas ponsel dari genggaman. Sejujurnya, ia tak peduli jika gadis itu memiliki kekasih. Toh, Hitomi sudah cukup dewasa untuk memutuskan sesuatu sendiri. Yang jadi pertanyaan terbesarnya adalah; kenapa belakangan ini Hitomi selalu terlihat uring-uringan setiap kali ada Minju?

Pada mulanya, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu cuma perasaannya saja. Namun, pesan dari Minju tempo hari yang mengatakan soal bagaimana gadis itu juga merasa Hitomi aneh membuatnya percaya bahwa semua ini bukan khayalannya saja.

Ada yang tidak beres dengan Hitomi, dan itu jelas berhubungan dengan Minju—dan barangkali, kekasihnya.

Satu nama sempat terlintas di kepalanya—tentang siapa kekasih Hitomi yang mati-matian gadis itu sembunyikan.

(Ia juga tak mengerti kenapa Hitomi mati-matian menyembunyikannya. Takkan ada yang keberatan jika gadis itu memiliki kekasih. Wajar. Lagipula, Yuri bahkan harus mengakui—meski dengan terpaksa—bahwa Hitomi adalah gadis yang manis. Aneh jika tak ada satu dua orang yang mendekati gadis itu)

Lamunannya buyar saat ojek online yang membawanya pulang berhenti di depan bangunan berlantai dua. Setelah menggumamkan terima kasih, ia akhirnya masuk. Matanya menangkap kendaraan roda empat yang terparkir tak jauh dari kos-kosannya. Namun, ia tak mau ambil pusing. Didorongnya pintu pelan. Sepi. Selalu begini. Meski kos-kosannya terbilang rapi dan bersih, penghuninya tak banyak. Mungkin karena lokasinya yang agak jauh. Atau harga sewanya yang sedikit di atas rata-rata.

Pelan, ia meniti tangga menuju lantai dua. Jika lantai satu saja sesepi ini, maka bisa dipastikan bahwa lantai dua lebih sepi lagi. Hanya ada ia, Hitomi, dan seorang mahasiswi yang menghuni kamar paling ujung—Nako tak lagi di sini. Ia sudah bersiap untuk menghadapi keheningan yang memekakkan telinga saat tiba-tiba telinganya menangkap teriakan seseorang.

“Ya terus kamu maunya aku gimana?!”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Chae, Sayang, lagi apa?”

Chaewon mendongak, mengalihkan pandangannya sejenak dari ponsel. Ditariknya earphone hingga lepas dari telinga. Di ambang pintu, ibunya berdiri, “Kenapa Ma?”

“Senggang nggak hari ini?” ibunya melangkah masuk, lalu duduk di tepian ranjang, “Kamu tuh kenapa ya. Berantakan banget ini kasur, masa kasur anak gadis begini?”

Kedua alis Chaewon terangkat, bibirnya membentuk garis tipis, menahan komentar-komentar tajam yang tak perlu—nanti dikutuk jadi batu berabe, “Kenapa, Mama mau diantar ke mana?” ia mendorong tubuhnya bangkit.

“Mama ada arisan nih, anterin ya?”

Dahinya berkerut, “Mama kayaknya tiap minggu arisan terus.”

Sang ibu mengibaskan lengan, “Minggu lalu itu sama orang kantornya Papa. Yang ini sama temen SMA Mama.”

Chaewon mendengus geli, “Terus minggu depan sama temen SMP Mama gitu? Apa temen kuliah?” ia meraih gelas di atas nakas, meneguk isinya hingga berkurang setengah, “Sekarang? Apa nanti? Aku belum mandi. Lagian biasanya juga dianterin Kakak atau Papa.”

“Si Papa lagi mancing sama temen-temen kantornya,” perempuan itu berdecak tak sabar, “Si Kakak mendadak masuk hari Sabtu, katanya ada apa gitu Mama nggak paham,” bibirnya mengerucut, “Anterin Mama ya? Kamu nggak ke mana-mana 'kan hari ini?”

Aku mau kencan, Ma, ingin sekali rasanya Chaewon berteriak begitu. Namun, obrolan dengan sang ayah beberapa waktu lalu saat mereka makan malam bersama masih menghantuinya. Nanti kenalan ya sama anaknya temen Papa. Pasti nyambung, kok. Kalian satu jurusan. Apa pun yang sudah naik hingga ujung lidah ia telan kembali.

“Iya,” akhirnya ia mengangguk, “Jam berapa Ma?”

“Nanti pas makan siang,” ujar ibunya sambil melirik jam di dinding, “Mandi gih cepet, masih ada dua jam. Kamu mandi suka lama.”

“Mama kali mandinya lama,” gerutu Chaewon, “Tapi aku anterin Mama aja ya Ma? Nanti pulangnya aku jemput gitu.”

Sang ibu memandangnya datar, “Ikut aja Sayang, ikut makan siang. Terus kalau nggak mau ikut ngobrol sama temen Mama ya nggak apa, tapi jangan pulang, tunggu aja di mana gitu, terserah kamu. Pokoknya deket-deket situ. Jangan pergi jauh-jauh atau pulang, nanti repot kamunya, Mama juga jadi nunggu lama.”

Kali ini sebelah alis Chaewon terangkat, “Emang arisannya di mana?”

“Ramses.”

“Ma,” Chaewon mengerang, “Mama 'kan bisa minta dianter Papa gitu. Aku males kalau harus ke Ramses.”

Ramses berarti ia harus mengenakan pakaian formal. Tidak mungkin ia datang ke restoran itu dengan hoodie dan celana jeans—orang-orang tentu akan memandangnya dengan tatapan aneh.

“Emang kamu mau ke mana sih?” ganti alis sang ibu yang terangkat, “Nggak akan ke mana-mana juga 'kan? Udah ikut aja, hitung-hitung makan gratis. Habis itu kamu mau melipir ya nggak apa-apa. Ada apa tuh? Cup of Joy 'kan dekat situ? Tunggu Mama di situ. Udah,” sang ibu kemudian bangkit, melangkah meninggalkan anak gadisnya yang merengut, “Cepet mandi, Mama tunggu.”

Begitu pintu ditutup, ia menyurukkan wajah ke arah bantal—erangan tertahan terdengar

“Ini aku mau kencan aja kok susah banget sih?”