Lemon Tea
Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)
“Hitomi, Nak, kok diam aja?”
Hitomi mengerjap. Sang ayah menatapnya dengan dahi berkerut. Buru-buru Hitomi menggeleng, “Eh, barusan—barusan ngecek isi tas, Yah. Takut ponsel ketinggalan di mobil.”
Jika sang ayah tak percaya, pria itu tetap tak mengatakan apa pun. Ia mengedikkan kepala, mengisyaratkan Hitomi untuk mengikutinya masuk ke restoran itu. Chouchou, ia bergumam pelan. Nama yang unik untuk sebuah restoran. Meski tak tahu artinya apa, tapi menurut Hitomi, kata itu lucu. Restoran itu tak seberapa ramai—setidaknya, masih ada satu dua meja kosong, dan tak ada antrean pengunjung di depan pintu.
Warna cokelat mendominasi interior restoran. Sayup-sayup Hitomi bisa mendengar suara lagu jazz—matanya menangkap piringan hitam di sudut ruangan. Ah, jadi ingat Chaewon. Gadis itu tampak selalu bersemangat ketika membicarakan musik. Tempo hari, ia bahkan berkata bahwa impiannya adalah mengoleksi piringan hitam dari musisi favoritnya.
Langkahnya memberat tatkala ia melihat tiga manusia yang tersenyum kala sang ayah melambaikan tangan.
“Oi, Hide!”
“Yah, Kim Sangwook!” Sang ayah berseru, lalu tak lama, dua pria itu saling merangkul, menepuk-nepuk punggung, “Apa kabar? Sudah lama sekali nggak ketemu. Makin subur aja.”
“Ya bagus lah, artinya kerjaanku lancar, makanya tambah subur,” pria itu terkekeh, “Tomoko, apa kabar?” pria itu mengulurkan sebelah tangan sambil menjabat tangan ibunda Hitomi.
“Baik,” ujarnya pelan, “Senang ketemu kalian lagi.”
“Iya ih, sudah lama. Harusnya lebih sering ketemu kita. Tapi habis ini harusnya kita sering ketemu 'kan?” Lee Ji An, perempuan itu akhirnya berkata, “Jadi ini ya putri kalian? Siapa namamu Nak?”
“Hitomi, Tante,” akhirnya Hitomi mendekat, menyalami kedua orang tua itu. Ada debar aneh yang ia rasakan saat tangan mereka bersentuhan.
Aku kenapa sih?
“Cantik betul putrimu heh,” Sangwook berkata sembari mengibaskan tangan, menyilakan Hitomi dan kedua orangtuanya untuk duduk, “Tahu waktu kecilnya imut-imut, sekarang sudah gede gini tambah cantik.”
“Yah, 'kan bapaknya cakep, masa iya bapaknya cakep begini nggak nurun sama anaknya.”
Keempat manusia dewasa itu tertawa. Hitomi diam-diam melirik seorang gadis yang ia taksir usianya tak jauh darinya. Seolah memahami gelagat Hitomi, Ji An berkata, “Si Bungsu sedang ke toilet, Sayang. Ini kakaknya dia.”
“Hei,” gadis itu tersenyum lebar, sebelah tangan terulur ke arah Hitomi, “Yewon. Tenang aja, Papa nggak jodohin kamu sama aku, kok. Aman. Tapi maaf ya, adikku agak galak, nanti sabar-sabar ya sama dia,” ujar gadis itu sambil mengedipkan sebelah mata.
“Yewon!”
Hitomi hanya tersenyum kaku, tak ingin menanggapi—lebih tepatnya, tak tahu harus bagaimana untuk menanggapi perkataan gadis itu. Ji An lantas berdehem.
“Hitomi ngambil sastra juga ya?”
“Eh—” Hitomi tergeragap, “Iya, Tante,” ujarnya sambil mengangguk kecil. Perempuan itu menggeleng
“Tolong panggil mama aja, Sayang.”
“Ma, kecepetan, kasihan anaknya bingung,” celetuk Yewon, yang dibalas dengan gerutuan kecil oleh sang ibu. Hitomi bergerak gelisah di atas kursinya. Pandangannya terpaku pada jemari yang terjalin di atas pangkuan.
Mau ketemu Chaewon deh jadinya....
“Maaf, Pa, ngantre toiletnya.”
“Ini nih yang ditungguin,” ujar Sangwook tiba-tiba, “Duduk, om sama tante nungguin kamu dari tadi. Nggak sopan bikin orang tua nunggu.”
“Halo Om, Tante, maaf, nunggu lama ya?”
Hitomi mengerjap. Suara itu terdengar familiar.
“Nggak, Nak, baru juga sepuluh menit, nggak apa-apa,” jawab sang ayah. Ia mendengar kursi berderit beradu dengan lantai. Saat ia mendongakkan kepala, ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Nah, Hitomi,” ujar Sangwook tiba-tiba, “Ini putri Om yang mau Om kenalkan sama kamu. Kalian satu jurusan, jadi pasti nyambung. Dia kalau sama Om nggak nyambung soalnya,” tawa pria itu menggelegar, “Om nggak tahu kalian satu kampus sampai malam tadi. Ayahmu itu nggak mau bilang kamu kuliah di mana soalnya.”
“Nanti kamu nekat nyuruh putrimu untuk nyamperin putriku,” Hideyoshi berkata sambil tertawa pelan, “Bahaya kalau iya. Lagipula kamu dari dulu keras kepala. Aku maunya mereka ketemu begini, seperti ini, sama orangtuanya.”
“Wah, akal bulusku ketahuan,” lagi-lagi Sangwook tertawa, “Yah, sudahlah. Pokoknya, ini putri Om. Kalian saling kenal?”
Kedua gadis itu terdiam. Sang ayah mengerutkan dahi, “Waduh, nggak ya?”
“Dia 'kan gitu Pa, tukang ngurung diri di kamar, mana sempat kenalan sama anak orang?”
“Yewon!”
“Yah,” Sangwook mengibaskan tangan, lalu menepuk pundak putrinya pelan
“Kenalin, putri Om. Kim Chaewon.”