kimchaejjigae

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“Chaewon, beneran kita makan di sini nggak bakal digrebek polisi?”

Tawa Chaewon menyembur saat mendengar pertanyaan polos dari kekasihnya itu. Telunjuknya kemudian mengarah pada beberapa mobil lain yang terparkir di sisi kanan kiri mereka, “Yang, tuh lihat. Emang di sini tuh begitu. Dari sini tuh pemandangan kota kelihatan, makanya banyak yang ke sini. Makanya,” ia kemudian berbalik, menunjuk deretan tenda kaki lima yang terlihat agak jauh, “Makanya banyak tenda gitu.”

“Ya takut aja,” di sebelahnya Hitomi mencebik—lagi-lagi memancing tawanya yang cepat berganti dengan senyum kecil begitu pandangan mereka beradu.

“Nah,” Chaewon melirik arlojinya sejenak, “Masih ada satu jam nih, nanti setengah sembilan aku harus antar kamu pulang,” senyum tipis terulas di wajahnya, “Cerita dong, kamu ngapain aja nih tiga minggu ke belakang.”

“Kita tiap hari kirim pesan?” ujar Hitomi sambil mengunyah kentang goreng. Tangannya terulur ke arah Chaewon—cepat gadis itu menggigit kentang di tangannya, “Aku harus cerita apa lagi? Kamu udah tahu.”

“Ya kangen aja denger suara kamu,” ujar Chaewon sambil menyeruput sodanya.

“Kita teleponan hampir tiap malam lho.”

“Suara kamu lebih merdu didengar langsung ketimbang via telepon.”

“Aku yakin setahun kita jalan, kamu nggak bakal gombal kayak gini lagi. Aku yakin kamu bakal jadi manusia kulkas.”

“Ih asyik,” cengiran nakal tersungging di bibir Chaewon. Tangannya bergerak membuka kertas pembungkus burger, “Udah bayangin setahun sama aku,” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Hitomi menatapnya datar.

“Nggak mau gitu?”

“Mau dong,” ujarnya sambil menggigit burger, “Tapi kayaknya emang nggak bakal gombal sih. Takut dikatain buaya, terus aku yakin setahun lagi, kamu akan jadi super galak,” Chaewon terkekeh, berkelit menghindari cubitan Hitomi, “Ampun Sayaang, ampun.”

“Yang,” panggil Hitomi tiba-tiba, menghentikan tawa Chaewon yang berderai sedari tadi, “Ya?”

“Sabtu ini kencan yuk?” ujar Hitomi yang mulai mengikuti jejak kekasihnya itu—meraih burger yang terbungkus kertas, membukanya pelan, lalu mulai menggigiti pinggiran roti, “Kamu senggang kah?”

Chaewon mengerucutkan bibir, dahinya berkerut. Ia terdiam sebelum menelan makanannya, “Kayaknya senggang sih Yang,” ujar Chaewon, “Mau kencan ke mana nih? Dari jam berapa?”

“Dari pagi memungkinkan nggak ya?”

“Bisa sih kayaknya,” Chaewon mengangguk, tangannya meraih gelas berisi cola miliknya, “Tapi kalau dari pagi gitu mau ke mana? Kita nggak punya banyak pilihan.”

“Iya sih,” lagi-lagi Hitomi mencebik. Chaewon tersenyum tipis. Kalau ada yang mergokin kami kencan, bahaya. Buatku nggak masalah, buat dia pasti masalah. HItomi mengembuskan napas, “Sore ke malem aja gitu kayak biasa?”

Chaewon mengangkat bahu, “Boleh, bebas. Sebenarnya dari pagi juga nggak masalah, tapi mungkin harus ke tempat yang jauh banget—ke kota sebelah mungkin, tapi kamu pasti nggak mau.”

“Bukan nggak mau,” Hitomi menghela napas, “Aku nggak enak lho kalau kita kencan gini kamu terus yang bayar. Ke kota sebelah nanti bensinnya pasti kamu juga yang bayar. Aku nggak mau kayak gitu. Kesannya aku matre, manfaatin kamu banget.”

Chaewon terkekeh. Tangan kirinya terulur, bergerak mengusak rambut Hitomi pelan, “Mana ada kamu manfaatin aku?” ujarnya, “Ini 'kan aku yang mau. Lagian nggak terus ya,” ujarnya lagi sambil menatap Hitomi penuh arti, “Ada juga kencan kita yang kamu bayarin. Ya udah lah Yang, impas. Kita saling kok.”

“Tadi di kampus baca apa?” ujar Hitomi, mengalihkan pembicaraan. Kini ganti gadis itu yang menyeruput minumannya, “Selesai berapa buku? Heran deh aku sama kamu. Mageran tapi nilainya bagus-bagus.”

“Ya,” Chaewon mengernyit, menggaruk hidungnya yang tak gatal, “Ya karena aku mager ngapa-ngapain di rumah makanya aku berusaha belajar dengan maksimal di kampus?”

Bulan sudah meninggi, dan di atas kepala mereka, bintang-bintang terhampar di langit kelam; menatap genit dua manusia yang asyik dengan obrolan mereka, larut dalam percakapan tak tentu arah. Dua manusia yang sama-sama jatuh, berharap yang lain tak melepas genggaman tangan mereka, apa pun yang terjadi.

Dan mungkin memang begitu.

Mungkin, bagi Hitomi dan Chaewon, genggam tangan mereka adalah tali yang mengikat mereka pada kewarasan; di antara hiruk pikuk kehidupan kampus mereka yang bersengkarut, ada satu dua hal yang tetap sejelas matahari pagi.

Perasaan mereka untuk satu sama lain adalah pasti, dan setidaknya, hingga saat ini, mereka tak rela menukarnya dengan apa pun—juga rela untuk tetap berkencan di balik layar, saat semua mata tak lagi menatap ke arah mereka, tersembunyi di balik tirai besar yang turun setiap malam menjemput.

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang siapa-siapa)


Tepat saat sambungan telepon mereka terputus semalam, Chaewon menyadari satu hal; Hitomi menahan rasa cemburunya terlalu lama.

Di awal hubungan mereka—yang dimulai bahkan sebelum masa acara inaugurasi dilaksanakan—Chaewon pikir, dirinyalah yang akan mendapat gelar si paling cemburuan dalam hubungan mereka. Ia secara blak-blakan mengakui bahwa ia tak nyaman melihat kebersamaan Hitomi dan Chaeyeon—namun ia juga paham bahwa pada saat itu, Hitomi butuh berdiskusi lebih banyak dengan gadis itu; tahun lalu, Chaeyeon yang bertanggungjawab atas pendanaan acara inaugurasi angkatannya.

(Hingga hari ini, Chaewon masih menertawakan lahirnya geng Hitomi; risol danusan. Diprakarsai oleh celetukan Yena kapan pun bertemu Hitomi, Yuri, Minju, dan Nako: ah elah, kagak ada yang lain buat danusan? Dasar geng risol!)

Ia juga mengakui bahwa ia, pada satu titik, pernah merasa tak nyaman melihat kedekatan Hitomi dan Nako—yang berujung dengan Hitomi tertawa lima menit penuh, namun tawanya surut saat Chaewon mendaratkan ciuman di pipi.

Kami cuma teman, nggak akan lebih, begitu ucap Hitomi kala itu, dan Chaewon seratus persen percaya. Lucu juga jika diingat-ingat. Tapi, Chaewon juga tak menyangka bahwa dirinya bisa menghadapi perasaannya setenang ini. Aku cemburu atau Aku kurang suka lihat kamu sama dia atau di lain waktu Aku boleh nggak minta kamu untuk jaga jarak sama dia? Kayaknya dia punya maksud lain dengan tenang terlontar dari muridnya.

Garis bawahi itu. Dengan tenang.

Ia pikir, ia akan jadi sosok yang berapi-api—dengan mudah terbakar cemburu. Namun nyatanya, semua pembicaraan mereka selalu berakhir dengan aku ngerti. Hati-hati ya. Aku cuma mau kamu ingat kalau pacarmu itu aku. Sesuatu yang tak pernah ia sangka bisa terjadi, mengingat ia adalah manusia yang mudah tersulut emosi.

Sebaliknya, Hitomi yang selalu terlihat tenang justru adalah sosok pencemburu. Dan Chaewon kelimpungan dibuatnya.

Namun, ia yakin semua orang akan setuju dengannya mengenai kenapa rasa cemburu Hitomi adalah sesuatu yang normal; selain karena Hitomi adalah pacarnya, Kim Minju memang terlalu—dekat.

Ia berusaha menjaga jarak, menunjukkan keengganan, mengusir gadis itu secara halus, namun sepertinya gadis itu memang tak mengerti. Di satu sisi, ia sadar diri bahwa cara seperti itu takkan berhasil; ia harus terus terang mengenai ketidaknyamanannya pada sikap Minju. Namun bagaimana bisa?

Ia tak mungkin berkata bahwa ia tak nyaman dengan kontak fisik; Yena selalu mengadu pipi dengannya. Alasan pertama, coret. Ia juga tak mungkin berkata bahwa ia tak tertarik pada Minju. Tunggu, itu mungkin bisa. Tapi ia tak ingin terdengar kasar. Lagipula, cinta datang karena terbiasa—seperti yang terjadi padanya dan Hitomi. Bagaimana jika Minju pun berdalih demikian? Apalagi, di mata teman-temannya, di mata semua orang, Chaewon masih sendiri.

Backstreet susah juga ya.


“Chaewon?”

“Eh,” Chaewon mendongak, pandangannya berserobok dengan Eunbi yang baru saja memasuki sekretariat himpunan. Gadis itu merapikan sepatunya di atas rak kecil di samping pintu bar, “Kak Eunbi tumben ke sini?”

“Kamu juga tumben dua hari nggak ke sini, biasanya jadi penghuni tetap sambil nugas,” kekeh Eunbi, “Baca apaan tuh?” Eunbi berdecak begitu Chaewon menunjuk deretan huruf pada sampul buku, “Rajin banget. Sintaksis lagi.”

Chaewon mengangkat bahu, “Kalau di rumah hawanya pengen tidur Kak, jadi mending belajar di kampus sampai tuntas.”

“Lihat aja nih ya, tahun depan kamu bakal jadi mapres*,” ujar Eunbi lagi, kemudian mengambil tempat tepat di seberang Chaewon, “Omong-omong Won, aku mau tanya boleh?”

Sebelah alis Chaewon terangkat, “Tanya apa Kak? Tanya aja sih, kok kayak sungkan gitu,” Chaewon terkekeh—namun kekehannya sirna begitu melihat raut serius Eunbi, “Kenapa Kak? Ada masalah di angket yang kemarin aku setor? Kata Kak Miyeon udah oke padahal, aku juga udah minta Kak Chaeyeon cek, datanya nggak ada yang kelewat.”

“Bukan itu, Won.”

“Oh,” Chaewon menutup buku, menaruhnya di atas pangkuan, “Terus apa Kak?”

“Kamu sama Minju pacaran?”

Dor.

“Nggak Kak,” dengan tegas ia menggeleng, “Kenapa?”

“Anu,” gadis itu menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Aku diminta Johnny buat bilang ini ke kamu.”

Chaewon tersenyum masam, “Pasti gara-gara dia nempel-nempel aku terus ya Kak?” dilihatnya Eunbi mengangguk. Ia lantas mendesah, “Aku juga nggak mau, Kak, serius. Jujur aja nih, aku dua hari ini nggak ke sekre karena menghindar. Kebetulan aku tahu dia nggak di sini aja makanya aku berani ke sekre hari ini.”

“Kamu nggak nolak aja?” kini ganti Eunbi yang memandangnya dengan sebelah alis terangkat, “Kamu bisa bilang kamu nggak suka.”

“Takut kedengeran terlalu kasar, Kak,” ujarnya pelan, “Lagipula aku nggak bodoh. Kelihatan kok dia naksir aku. Tapi aku nggak tahu caranya nolak dia dengan halus. Aku nggak mau bikin anak orang patah hati.”

Eunbi mendengus geli, “Kamu diem aja gini bikin orang lebih salah sangka, tahu,” tukasnya, “Tapi beneran nggak naksir Minju? Atau nggak mau nyoba dulu sama Minju? Kamu putus waktu awal kuliah 'kan? Inget banget deh aku waktu jadi pembimbing kelompok kamu,” gadis itu terkekeh.

Chaewon mengerucutkan bibir, menimbang apakah ini keputusan yang tepat. Tapi ini Kak Eunbi, pikirnya, Manusia yang paling bisa jaga rahasia.

“Kak,” ujarnya pelan, melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada lagi manusia selain mereka di ruangan ini, “Aku mau cerita, tapi janji ya nggak bilang siapa-siapa?”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


Dering ponsel di atas tempat tidur membuat Hitomi tersentak. Begitu melihat nama penelepon, ia tersenyum kecil. Setelah menggeser tombol hijau, ia mendekatkan ponsel ke arah telinga, “Belum juga aku bilang boleh, udah telepon aja. Gimana kalau aku lagi di luar?”

“Hehe,” di ujung sambungan telepon, gadis itu tertawa rikuh, “Kangennya nggak bisa ditunda soalnya.”

“Chaewon apa sih...” Hitomi membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, tangan kanan meraih boneka berbentuk karakter buah persik di ujung tempat tidur. Ia melirik ke arah pintu. Aman, sudah dikunci.

“Boleh nggak?”

Hitomi mengerutkan dahi, “Apa yang boleh?”

“Kangen kamu?”

Setengah mati Hitomi menahan diri untuk tak memekik—entah karena malu atau kelewat senang, atau mungkin juga karena kesal. Punya pacar mulutnya manis gini susah, ya.

“Seharian 'kan sama aku,” ujarnya pelan. Ia memejam, “Masa tadi udah ketemu masih kangen?”

“Seharian sama kamu dan seharian cuma berdua sama kamu itu beda ya, Hitoma,” gadis itu berujar cepat, “Seharian sama kamu tapi nggak bisa deket-deket kamu dengan bebas tuh buat apa?”

Ada semburat merah yang lagi-lagi muncul di pipinya—dan meski tak ada siapapun di sini, ia tetap merasa mesti menyembunyikan wajahnya. Dan itulah tepatnya yang ia lakukan saat ini—membenamkan sebagian wajahnya pada bantal, dengan hangat yang menjalari wajahnya.

“Hii,” panggil perempuan itu saat Hitomi tak menanggapi perkataannya beberapa detik lalu, “Masih di sana?”

“Masih,” jawabnya cepat, “Tadi—tadi eh, habis kunci pintu, takut tiba-tiba Yuri masuk,” ujarnya lagi. Entah Chaewon tahu ia berbohong atau tidak, ia tak peduli. Ada jeda yang hadir di antara mereka sebelum gadis itu tiba-tiba memanggil namanya lagi, “Ya, Chaewon? Kenapa?”

“Maaf ya.”

Hitomi mengembuskan napas, paham benar kenapa kekasihnya di sudut lain kota tiba-tiba melontarkan permintaan maaf, “Kamu nggak salah, kok.”

“Aku tahu kamu seharian ini kesal, tapi aku berterima kasih kamu tetap ngingetin aku buat makan sampai nyuapin segala.”

“Kamu kalau minta maaf, minta maaf aja, nggak usah digodain akunya.”

Gadis itu tertawa—dan tak ada yang lebih Hitomi rindukan selain tawa gadis itu untuknya, karenanya. Ada debar—desir halus yang hadir di ruang hatinya kapan pun gadis itu tertawa, tersenyum, dan memanggil namanya dengan nada suara itu—nada suara yang tak pernah terdengar jika Chaewon memanggil teman-temannya, seolah hanya Hitomi saja yang boleh mendengar suara itu.

“Aku harus jaga jarak sama Minju nggak?”

Hitomi terdiam. Ini bukan kali pertama kekasihnya melontarkan ide tersebut. Semenjak Minju secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Chaewon, pada kekasihnya, ia tahu Chaewon pun paham maksud dari semua tindak tanduk Minju. Meminta bantuannya untuk setiap tugas. Sesekali membawakannya makanan kecil. Selalu ada di sekretariat himpunan karena di sanalah Chaewon menghabiskan sebagian besar waktunya.

Dan Hitomi tidak bisa untuk tidak cemburu.

Ada sudut hatinya yang berdenyut tiap kali melihat mereka berdua berdampingan—karena bagaimana tidak? Keduanya terlihat cocok. Belum lagi teman-teman mereka yang kerap kali menggodanya—antara mereka sadar Minju dengan agresif mendekati Chaewon, ingin melihat mereka berdua berkencan karena oh, astaga, wajah keduanya menyilaukan, atau sekedar ingin menyemarakkan suasana.

Dan Hitomi takut bahwa suatu saat, Chaewon juga akan berpikir bahwa Minju lebih cocok dengannya.

“Nggak lucu kalau kamu jauhin Minju tiba-tiba, Chaewon.”

Ia bisa mendengar kekasihnya menghela napas, “Sayang,” panggilnya, pelan sekali, “Aku nggak keberatan kalau dia menganggapku aneh. Aku nggak peduli omongan dia, pendapat dia, atau siapapun. Pacarku kamu. Cuma pendapatmu yang penting dalam kasus ini.”

Pacarku kamu. Kata-kata itu menggaung dalam relung hatinya. Pacarku kamu. Dan Hitomi tahu, Chaewon ingin menghentikan prasangka yang selalu muncul di kepala Hitomi. Pacarku kamu. Dan Hitomi memahami bahwa Chaewon diam-diam merasa bersalah padanya; sikapnya yang manis kerap kali membuat orang lain salah paham.

Tapi pacarnya aku.

“Nggak usah, Chaewon,” ujar Hitomi lagi, “Aku nggak mau kamu jauhin Minju karena aku hanya karena aku cemburu. Nggak apa-apa. Dia, sama kayak aku, juga junior kamu yang harus dibimbing kalau emang kesulitan di kampus. Aku cuma minta kamu janji.”

“Janji nggak pergi?”

“Chaewooon,” lalu derai tawa gadis itu menggema, “Kenapa sih ih. Serius dulu.”

“Iya, Cantik. Iya. Janji apa?”

“Janji jangan pernah ketemuan berdua sama Minju tanpa sepengetahuanku.”

“Oke. Janji.”

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


Yuri menyadari ada yang aneh dengan Hitomi.

Gadis itu tidak pernah ia kategorikan ke dalam gadis pendiam—Hitomi, barangkali, adalah titisan Eminem. Gadis itu sanggup bicara selama tiga menit penuh tanpa jeda, dengan suara berapi-api, dan tangannya yang tak mau diam, bergerak ke sana kemari. Namun, sejak mereka meninggalkan sekretariat himpunan tadi, Hitomi diam seribu bahasa.

“Kak Chaewon, aku beneran pusing deh bedanya sudut pandang sama persepsi tuh apa. Terus perspektif. Aku salah jurusan apa ya?”

Yuri jelas melihat keengganan di mata Chaewon. Gadis itu duduk diapit oleh kedua temannya—yang suasana hatinya tampak kontras. Hitomi, yang membisu sedari tadi, menatap ponselnya lekat-lekat seolah benda itu tengah menanggung dosa paling besar, dan Minju yang terlihat berbunga-bunga—dan jelas sekali cari perhatian pada sang pujaan hati.

“Nanti aku kasih materi terkait ya Ju, baca dulu aja, boleh tanya aku nanti kalau nggak ngerti.”

“Beneran boleh tanya? Kalau tanya ketemu langsung gitu boleh?” dan jika saja Yuri tak mengenal Minju dengan baik, maka Yuri ingin sekali memaki gadis itu. Kedua matanya berbinar—di keningnya seakan tertulis KAK CHAEWON AYO KENCAN dengan spidol yang tintanya hanya bisa dilihat oleh Yuri saja.

Malu-maluin.

“Eh...” Chaewon melirik ke arah kanannya, “Kalau akunya senggang aja ya, Ju. Kirim pesan aja, lebih enak, bisa nanya kapan aja. Tapi ya aku nggak bisa balas cepat-cepat, ada prioritas lain.”

Dan Yuri melewatkan senyum tipis yang tersungging di bibir Hitomi kala Chaewon menyebut-nyebut soal prioritas lain dan bagaimana pelan—dan juga cepat—sekali jemari Chaewon menyentuh lengan Hitomi di bawah meja.

“Oh, terus Kak—”

“Makan dulu anjrit Minju,” Nako tiba-tiba menyela tepat setelah si pelayan kafe berlalu, “Kasihan Kak Chaewon belum makan, dibawelin mulu,” sebelah alisnya terangkat sambil menarik piring miliknya mendekat. Minju terdiam, namun sejurus kemudian, ia mengangguk—meski wajahnya tampak tak rela. Diam-diam, Yuri mendapati Chaewon mengembuskan napas lega—entah karena akhirnya ia bisa menikmati makan siang, atau—entahlah?

“Duh!”

Yuri mengerjap, lantas mulutnya menganga ketika menyadari apa yang terjadi—sepertinya memang ada sesuatu yang mengganggu Hitomi; gadis itu menumpahkan ice choco miliknya, mengotori blus berwarna biru muda yang ia kenakan. Gadis itu menghela napas—kentara sekali menahan kesal. Di sebelahnya, Chaewon buru-buru bangkit, mengambil tisu di sudut kiri meja.

“Lap dulu,” ujarnya cepat, “Ke toilet yuk. Ganti bajunya. Aku ke mobil dulu, bawa hoodie. Pakai itu aja dulu sementara, bajunya dilepas aja. Lengket nanti. Ada tote bag di mobil. Nanti simpan di situ aja. Bentar,” gadis itu buru-buru beranjak sambil meraih kunci mobil, menyisakan keempat gadis yang melongo menatapnya.

Dan lagi-lagi, ketiga gadis lainnya melewatkan rona merah di pipi dan telinga Hitomi—sebab boleh jadi Chaewon mengobrol sepanjang hari dengan Minju, namun gadis itu tetap selalu jadi yang pertama bergerak saat sesuatu menimpa Hitomi.

Dan barangkali, itulah yang membuat Hitomi jatuh lagi dan lagi.


“Udah, Hii?”

Hitomi mendongak, mendapati Chaewon dan Yuri menunggunya di depan pintu toilet. Gadis itu mengangguk pelan, “Udah Sa—udah Kak,” ujarnya cepat, berharap Yuri yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya tak mendengar kalimatnya yang sempat terputus, “Ini nggak apa-apa aku pakai hoodie Kak Chaewon?”

“Pakai aja,” Chaewon tersenyum kecil, “Emang selalu disimpan di mobil kok yang itu. Jaga-jaga kalau aku pulang rapat kemalaman. Dingin, soalnya.”

Tapi pekan lalu, bukan hoodie ini yang ada di jok belakang mobil gadis itu. Lagipula, hoodie ini wangi. Apa jangan-jangan—

“Udah yuk balik, laper nih,” ujar Yuri tiba-tiba, “Udah beres Hii? Udah bersih? Awas masih ada yang lengket.”

“Udah,” ujarnya sambil membenahi pakaiannya dalam tote bag. “Yuk, makan,” lalu ketiganya kembali menuju meja mereka, mendapati Nako dan Minju yang tengah berdebat sengit.

“Kulitnya dulu, baru ayam, Minju.”

“Tapi nanti dicomot sama temen, Nakooo!”

“Hadeh, nggak penting banget debatnya,” ujar Yuri sambil menarik kursinya sendiri, “Udah makan barengan aja!”

“Kayak sendirinya kalau debat sama Nako penting aja,” cibir Hitomi sambil mendaratkan pantatnya di atas kursi, “Udahlah, makan kalian, biar pada mingkem semua.”

Di sebelahnya Chaewon terkekeh—mulut kekasihnya itu memang tajam, ia sudah menyadari itu sejak lama. Namun, melihat gadis itu berubah menjadi Hitomi yang sinis—dan bukannya Hitomi yang selalu tersipu dan panik saat di dekatnya adalah sesuatu yang menyenangkan; seolah Hitomi berusaha membuatnya istimewa dengan hanya bersikap manis saat mereka berdua saja.

“Kak Chaewon nggak bawa celana ganti?”

Chaewon menoleh ke arah Minju, “Hah?”

“Itu—” telunjuk Minju mengarah pada celana jeans-nya—bercak cokelat di mana-mana.

“Ah,” Chaewon meringis, menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Nggak sadar kena juga,” ujarnya pelan, “Tapi biarin aja, nggak apa-apa,” ujarnya cepat, menepuk pundak Hitomi pelan saat gadis itu terlihat ingin protes, “Nanti dicuci hilang kok.”

“Tapi nanti lengket, Kak,” ujar Hitomi pelan. Di sebelahnya, Minju mengangguk.

“Mau mampir kosanku dulu Kak? Mau pinjam celanaku?”

“Nggak usah,” jawab Chaewon tegas, menarik kursi lantas duduk—kedua tangannya mulai sibuk memotong-motong daging di depannya, “Ini 'kan di jalan pulang. Nggak perlu lah, Ju. Lagian aku kurang nyaman pakai pakaian orang lain.”

Dan Hitomi tahu Chaewon berbohong—sebab sweter yang digunakan gadis itu tempo hari saat pergi ke kampus adalah miliknya—milik Hitomi, yang ia pinjamkan pada gadis itu saat mereka berdua pergi berkencan, dan Chaewon mengaku lupa membawa pakaian tebal saat cuaca di luar mulai dingin.

Meskipun ia kesal setengah mati pada sikap Minju dan Chaewon yang selalu mengiyakan permintaan gadis itu, Hitomi menyadari satu hal; Chaewon selalu berusaha mencari cara untuk menenangkan hatinya, dan untuk itu, Hitomi bersyukur.

Chaewon, dengan segala keterbatasannya, selalu berusaha meyakinkan Hitomi dengan caranya, bahwa ia juga menginginkan ini; ia menginginkan mereka tetap ada, untuk waktu yang sangat, sangat lama.

Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)


“KAK CHAEWON NIH EMANG TERBAIK!”

Dari tempatnya duduk, Chaewon meringis. Laptop masih setia di pangkuannya—sedari tadi, gadis itu memang tengah menyelesaikan tugasnya yang menurutnya menumpuk—namun menurut standar Yena, tentu saja, tugas-tugasnya bagai debu di bawah telapak kaki; tak kasat mata hingga deadline tiba.

“Kak Chaewon nggak makan?” di sebelahnya Hitomi berkata pelan. Chaewon susah payah menahan diri untuk tidak tersenyum sedikit lebih lebar. Gadis itu menggeleng pelan.

“Udah nyomot 'kan tadi.”

“Emang Kak Chaewon udah makan siang?”

“Belum tuh,” di depan mereka, Eunbi mencomot sepotong roti bakar—pilihan yang aneh untuk dimakan siang-siang, namun siapa peduli? Yang penting gratis. Tidak ada yang lebih enak dari makanan gratis, “Awas tumbang kayak tempo hari, aku nggak mau ngangkut lagi lho Won.”

Diam-diam, Chaewon melirik Hitomi di sebelahnya yang balas meliriknya tajam. Chaewon memakasakan sebuah tawa kaku, “Iya Kak, nanti makan kok. Lagian tempo hari itu bukan karena nggak makan, tapi ya karena hari sebelumnya kehujanan pas jemput Mama.”

“Heu euh, matak geura dahar sia teh Chaewon, kaburu beak ku aing jeung si Hyewon,” (iya, makanya buruan makan Won, keburu habis sama gue sama si Hyewon) di sudut lain ruangan kecil itu—yang tak benar-benar bisa disebut ruangan karena tiap-tiap sekretariat himpunan hanya dibatasi oleh bilah-bilah kayu setinggi dada dengan pintu bar sebagai jalan masuk—Yuqi dan Hyewon sibuk menggasak potongan roti kecokelatan mengilap. Yena turut mencomot sepotong besar.

“Iya, makan aja Qi, ntar aku bisa beli lagi gampang.”

“Kak Chaewon mau ikut aku sama anak-anak makan siang nggak?” di sisi kirinya, Minju tiba-tiba berkata. Chaewon menoleh, kedua alis terangkat, “Ya?”

“Dih, nggak sudi jadi anak kamu Ju,” ujar Nako tiba-tiba, “Tapi iya Kak Chaewon,” gadis itu menelan bongkahan roti, “Aku, Yuri, Hitomi sama Minju habis ini mau makan siang di kafe yang di belokan itu lho. Mau ikut nggak? Katanya belum makan?”

“Emang belum kenyang makan roti segini banyak?” Chaewon terkekeh, namun diam-diam tersenyum saat pelan sekali Hitomi menyentuh jemarinya—dan Chaewon mengerti bahwa Hitomi juga diam-diam memintanya untuk mengambil kesempatan yang ada.

“Ini mah makanan pembuka,” ujar Yuri sambil bersendawa—lalu mendadak terbatuk saat Nako memukul punggungnya, menimbulkan bunyi duak kencang, “Sakit anjrit Nabuki pukul-pukul!”

“Ya jorok!” ujar Nako tak kalah sengit, lalu kembali menoleh ke arah Chaewon, “Yuk Kak ikut? Biar sekalian nebeng gitu, nggak usah jalan,” gadis itu terkekeh. Di sudut ruangan, Eunbi berdecak pelan.

“Bilang aja kalian tuh cari sopir,” ujarnya sambil menggeleng, lantas membereskan buku-buku miliknya, memasukkannya ke dalam tas, “Won, makasih ya. Aku harus balik ke fakultas, kelas lima belas menit lagi nih.”

Chaewon mengangguk, jempol kanannya terangkat, “Oke Kak. Hati-hati ke fakultasnya, siapa tahu jatuh keguling pas naik tangga,” ia terkekeh, menertawakan leluconnya yang tak seberapa lucu, mengundang dengus geli dari gadis di samping kanannya. Chaewon menunduk, menyembunyikan senyumnya yang kelewat lebar, menyadari gadis itu tertawa karenanya.

“Ada-ada aja. Udah ah. Dah semua,” lalu setelah beberapa dah Kak Eunbi lainnya, Eunbi berlalu, meninggalkan mereka yang masih bertahan di sekretariat—entah untuk makan seperti Hyewon, atau menyelesaikan tugas seperti Chaewon.

“Kak,” panggil Hitomi pelan. Chaewon menoleh, sebelah alisnya terangkat saat mendapati Hitomi menyorongkan sepotong roti ke arah mulutnya.

“Iya, Hii?”

“Aaah,” gadis itu mengisyaratkan Chaewon untuk membuka mulut, menuai tatapan heran dari seisi ruangan, “Dari tadi Kak Chaewon ngetik. Kak Chaewon yang beli padahal, tapi Kak Chaewon nggak makan. Tadi cuma nyomot, kata Kak Eunbi, Kak Chaewon belum makan. Makan sepotong lagi, Kak,” dan samar, Chaewon bisa melihat pipi gadis itu memerah—samar saja. Chaewon tak membantah, lalu mencondongkan tubuh ke arah Hitomi, menggigit potongan roti yang gadis itu sodorkan sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada deretan huruf di layar.

“Yah, Ju, kalah cepet Ju,” ujar Nako sambil menyandarkan punggung pada tembok, “Keduluan sama Hitomi tuh.”

“Tahu, cupu banget dah Kim Minju,” sahut Yuri. Yang disindir cuma menggerutu.

“Apa sih kalian,” ujarnya, namun lantas menyodorkan botol minumnya pada Chaewon, “Mau minum nggak Kak? Itu botol minumnya kosong, dari tadi belum minum.”

“Eh—” Chaewon melirik Hitomi yang sontak mengalihkan pandangannya, “Nggak usah Ju, masih ada satu botol lagi kok di tas.”

Meski sedikit kecewa, Minju lalu mengangguk. Seperti baru saja teringat sesuatu, Minju tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arah Chaewon, hingga jarak di antara mereka tak ada lagi—bahu-ketemu bahu. Gadis itu membaca deretan huruf yang terpampang di layar laptop milik Chaewon.

“Aku tuh kemarin mesti menganalisis judul berita gitu, Kak. Tapi masih bingung gitu lho,” Minju tiba-tiba mendongak, dan pandangan mereka berserobok—Chaewon tak tahu apakah pandangan itu murni pandangan minta tolong atau ada sesuatu yang lain, yang Chaewon tahu betul itu apa, namun ia sedang tak ingin mewujudkan prasangkanya.

“Bingung di mananya?”

“Ini lho Kak,” Minju kemudian menarik buku catatannya, membuka salah satu halamannya yang penuh dengan tulisan tangannya yang rapi, “Ini, udah benar belum?”

Lalu keduanya larut dalam pembicaraan mengenai tugas mereka, tanpa menyadari bahwa gadis di sisi kanan Chaewon tengah meredam api yang mulai tersulut dalam hati—diam-diam berharap bahwa angin bisa memadamkannya sebelum kesabarannya habis.

“Jadi kenapa semalam kamu ci—”

“Nggak usah keras-keras ngomongnya!” Hitomi mendelik, sebelah tangan membekap gadis di depannya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, takut seseorang tiba-tiba menyelinap masuk ke kamarnya. Pelan Chaewon menarik tangan gadis itu.

“Iya, oke,” ujarnya sambil mendengus geli, “Kenapa semalam kamu gitu?”

Terdengar lebih ambigu.

Setengah mati Chaewon menahan tawa melihat gadis di depannya—pipi merona, telinga memerah, mata berlarian menatap ke segala arah—apapun asal bukan Chaewon.

“Cantik,” sebelah tangannya terulur, menarik jemari Hitomi dalam genggaman, “Kenapa?”

“Ya,” Hitomi mencebik, “Ya habis aku kesal,” akhirnya gadis itu memusatkan perhatiannya pada Chaewon. Sebelah alis Chaewon terangkat.

“Kesal kenapa?”

“Temen-temen kamu kok gitu banget,” jemarinya meremas tangan Chaewon pelan, “Emang aku kelihatan kayak anak-anak banget apa?”

Peristiwa semalam lalu berkelabat dalam kepalanya.

Atas desakan Yena—dan beberapa temannya yang lain, semalam, ia akhirnya membawa Hitomi untuk bertemu dengan teman-temannya. Tiga bulan berkencan tanpa sekalipun mengunggah kemesraan di media sosial—Yena menuduh Chaewon berbohong soal statusnya yang sudah memiliki kekasih. Yena bilang, itu akal-akalan Chaewon saja untuk menghindari ajang pencarian jodoh untuk Chaewon yang diprakarsai oleh Yena.

Mereka tidak tahu saja di mana tempat ia pamer kemesraan. Tapi, mereka memang tidak perlu tahu.

“Aduh, pacarnya Chaewon lucu banget!”

Di sebelahnya, Hitomi tersenyum kikuk. Kakinya sibuk mengetuk-ngetuk lantai—kentara sekali gelisah. Diam-diam, Hitomi menyatukan jemari mereka di bawah meja. Chaewon tersenyum, balas menggenggamnya erat.

“Seleranya Chaewon brondong ya,” sambar Hyewon dari ujung meja, sibuk menggasak potongan kentang goreng di hadapannya, “Hitomi mau kentang?”

Di sisi lain meja, Chaeyeon sudah siap menyorongkan seporsi sup malatang saat tiba-tiba gerakan tangannya terhenti, kedua mata menatap Hitomi lekat-lekat. Hitomi, yang risih ditatap sebegitunya oleh gadis itu menunduk. Chaewon menghela napas, “Kenapa, Chae?”

“Hitomi kuat makan pedas 'kan?”

Chaewon terkekeh, “Nggak, dia nggak kuat makan pedas. Nanti sakit perut.”

“Aw, lucunyaaa,” di sebelah Chaeyeon, Sakura berseru, “Gemes banget yang pacaran sama brondong!”

Seharusnya malam itu menjadi malam yang menyenangkan—namun tidak bagi Hitomi. Dari tadi, ia sudah ingin pergi—namun urung saat menyadari bahwa orangtuanya tentu saja akan mengomel jika ia pulang sendiri saat tadi sore, Chaewon datang menjemputnya. Kalau berangkat dijemput, pulang juga harus diantar, begitu kira-kira prinsip orangtuanya.

Sebelum pulang, mereka memutuskan untuk pindah tempat—pergi ke restoran cepat saji hanya untuk membeli es krim. Saat tiba giliran Hitomi mengantre—

“Hitomi mau kids meal ?” kata-kata Yena membuat gerakan tangannya terhenti. Di sebelahnya, Chaewon gelisah—mata bergantian melirik kekasihnya dan sobatnya yang satu itu. Hitomi tersenyum—kaku, lantas menggeleng, menyebutkan pesanannya, lalu berlalu mencari meja. Chaewon memejam—tahu benar kekasihnya merajuk.

Dan memang demikian. Hitomi menolak bicara sepanjang malam.

“Won, kok bisa dapat brondong sih? Kenal di mana?”

Chaewon mengerjap, mengalihkan pandangan dari ponselnya, “Hah?”

“Kok bisa dapat brondong kayak Hitomi?”

Kadang-kadang, Yena memang tidak bisa membaca situasi. Genggaman Hitomi di tangannya mengerat—sebelah tangannya bahkan terkepal, “Lucu banget dah, beneran nggak mau pesan kids meal aja?”

“Yen, aku sama Hitomi cuma beda—”

Kata-katanya terhenti saat ada hangat yang menyapu bibirnya, lalu tangan yang menangkup pipinya. Selama sepersekian detik, ia termangu—lalu memejam saat menyadari bahwa Hitomi baru saja menariknya dalam sebuah ciuman. Manis, persis es krim yang baru saja mereka pesan.

Entah di pagutan yang ke berapa, Hitomi menarik diri, menyisakan napas yang terengah, dan telinga yang memerah.

“Kamu emang lucu, Sayang.”

“Ya tapi aku bukan anak kecil ih,” ia mengembuskan napas kasar, punggung bersandar di kaki tempat tidur, “Segala nawarin kids meal. Mereka pikir aku apa? Anak lima tahun? Pakai terus-terusan ngatain brondong.”

“Ya kamu emang brondong?” Chaewon beringsut mendekat, duduk di sebelah gadis itu, “Kamu lebih muda dari aku.”

“Ya tapi cuma berapa tahun sih,” Hitomi memutar bola matanya malas, “Dua? Semuda apa aku sampai dikatain brondong?”

“Tiga,” Chaewon tersenyum geli, “Nggak apa-apa, kamu emang brondong aku. Seleraku daun muda,” ia terkekeh—yang berubah menjadi tawa kaku dan tersendat saat Hitomi meliriknya tajam.

“Nggak ada yang lucu ya.”

“Ada.”

“Nggak!”

“Ada,” tangannya yang bebas menangkup pipi Hitomi pelan, memaksanya untuk menatapnya saja, “Ada,” ujarnya lagi, mengikis jarak di antara mereka, “Kamu yang lucu.”

“Apa sih...” kedua telinga Hitomi memerah—Chaewon terlalu dekat, “Apa sih Chaewon...”

“Cuma anak kecil yang kalau ditatap begini bukannya natap balik, matanya malah jelalatan ke mana-mana.”

“Kamu—” Hitomi tercekat, “Chaewon kamu—terlalu—”

“Hm?” jarak mereka cuma sebuku jari—kening ketemu kening, “Aku terlalu apa?” bisiknya pelan.

“Terlalu—dekat—”

Kata-kata kemudian menghilang—lebur, digantikan degup jantung Hitomi yang berlari, dan hangat yang melingkupi mereka berdua. Manis. Chaewon selalu manis—baik tutur maupun laku. Dan Hitomi tak ingin menyudahi hangat dan manis yang mereka bagi jika bukan karena paru-parunya yang berontak kehabisan udara.

“Terlalu dekat nggak?” Chaewon terkekeh di antara napasnya yang terengah.

“Kurang dekat,” bisik Hitomi lagi, lalu membiarkan Chaewon kembali membawanya mengangkasa, terus naik, hingga mereka mendarat di antara tumpukan awan sehalus permen kapas.

“Hitoma?”

“Hm?”

“Kamu bukan anak kecil. Aku nggak pacaran sama anak kecil.”

“Diam.”

“Kamu lucu, dan lucu bukan cuma buat anak kecil.”

“Diam, Chaewon.”

“Anak kecil juga nggak mungkin kuci—”

“Diam, Kim Chaewon.”

“Aku sayang kamu. Honda Hitomi, pacarku yang lucu, yang kayak anak kecil kalau ngambek, tapi aku akan tetap sayang.”

”....”

“Sayang aku juga nggak?”

“Iya.”

“Iya apa?”

“Diam.”

Chaewon mengerjap, memandang langit-langit putih polos di atasnya. Matanya menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menerobos dari samping. ‘Apa aku sudah mati?’ pikirnya. Digerakkannya jemari tangannya yang terasa kaku. Samar-samar, ia bisa mencium bau roti panggang.

Roti panggang?

Ia mendorong tubuhnya bangkit, lalu duduk diam memerhatikan sekitar. Meja belajar itu tampak familiar. Buku-buku itu. Foto-foto itu. Lalu—

“Chaewon, cepat bangun atau kau akan terlambat!”

Terlambat?

Chaewon menoleh ke arah nakas, menarik jam yang tergeletak di atasnya. Ia mengerjap.

“Yah, Kim Chaewon! Aku harus segera pergi ke kantor!”

Chaewon bergegas turun dari tempat tidur, berlari ke arah pintu dan membukanya dalam satu sentakan. Wajah kakaknya yang berang menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya.

“Apa yang kau lakukan? Bukankah ini hari pertama kuliah? Kemarin kau bilang kau ada kelas pukul sembilan! Cepat seret pantatmu kemari sebelum aku memukulnya dengan sapu!”

Meski kepalanya penuh dengan tanda tanya, tubuhnya seolah punya pikiran sendiri. Ia mandi. Berpakaian. Lalu kakinya melangkah menuju kampus.

Bukankah harusnya aku sudah mati?

Ia ingat betul apa yang terjadi di hari pertama kuliahnya dimulai. Ia pergi ke ruangan klub jurnalistik bersama Yena untuk pertemuan pertama. Lalu mereka menunggu anggota lain datang. Saat acara perkenalan dimulai, pintu kemudian terbuka.

Hitomi, Honda Hitomi, istrinya di masa depan, berdiri di ambang pintu. Dengan pipi tembam. Rambut cokelat. Mata yang melengkung bagai bulan sabit saat gadis itu tersenyum. Hitomi, Honda Hitomi, istrinya di masa depan. Hidup. Mewujud di depannya.

Chaewon tahu apa yang terjadi setelahnya. Mereka harusnya akan pulang berdua karena apartemen mereka satu arah. Mereka akan semakin dekat. Berbagi cerita. Berbagi tawa. Berbagi rasa—

Namun semua tak terjadi, dan suatu hari, Hitomi tiba-tiba memusuhinya. Chaewon tak mengerti. Hitomi mendadak menyebalkan. Hitomi mendadak selalu mencari gara-gara. Hitomi selalu memulai pertengkaran. Dan Chaewon tak mengerti. Namun, mungkin, memang harus begini.

Mungkin di masa ini, di kehidupannya kali ini, ia dan Hitomi tak bisa bersama-sama. Maka ia mengikuti permainan gadis itu. Membalas teriakannya. Membalas makiannya. Memulai pertengkaran. Apapun. Apapun asalkan ia masih bisa melihat gadis itu di dekatnya.

Hingga hari itu.

Kepalanya sakit sepagian, hingga ia memutuskan untuk bolos kelas saja dan berdiam diri di ruang klub. Saat mendengar langkah kaki seseorang, buru-buru ia menelungkup di atas meja, pura-pura tidur. Derit pintu terdengar, lalu dengung percakapan mahasiswa memelan, berganti dengan gumam pelan seseorang, kian lama kian kencang.

Samar, ia bisa membaui parfum yang sangat ia kenal baik, tapi ia tak ingin berasumsi. Ia memejam kuat-kuat, berharap gadis itu tak menyadari bahwa ia terjaga—ia sadar sepenuhnya. Suara derit kursi beradu lantai terdengar, dan ia bisa merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Tepat saat ia akan membuka mata—berniat mengintip, gadis itu ikut menelungkup di sebelahnya. Ia urung membuka mata.

Halus jemari gadis itu membelai rambutnya.

“Sayang,” itu Hitomi. Itu. Hitomi. Dijaganya agar ekspresinya tak berubah.

“Aku dengar dari Yena kau tidak masuk,” gadis itu berbisik pelan, “Kau sakit?”

Chaewon berharap agar kerutan di dahinya tak nampak, “Aku merindukanmu.”

Chaewon tak mengerti. Gadis itu selalu, selalu, dan selalu bertengkar dengannya. Kenapa bisa gadis ini tiba-tiba memanggilnya sayang? Kenapa bisa gadis ini tiba-tiba perhatian? Kenapa bisa gadis ini tiba-tiba merindukannya?

“Aku lega di kehidupan ini, kau hidup. Bahagia. Sehat,” ia bisa mendengar suara Hitomi bergetar, “Aku lega. Meski kau bukan milikku lagi, aku lega—setidaknya, kau hidup.” Lalu hening melingkupi mereka berdua. Kadang-kadang, terdengar suara mahasiswa yang lewat di depan ruangan. Ia bisa mendengar Hitomi menghela napas.

“Jangan sakit,” bisiknya pelan, “Aku tidak bisa menjagamu dari dekat…” lalu sebuah kecupan hangat di puncak kepala mendarat. Chaewon berusaha keras agar tak menangis. Suara Hitomi yang terdengar putus asa membuat hatinya sakit.

“Hati-hati,” ujarnya, lalu Chaewon merasakan gadis itu tak lagi di sampingnya. Tak lama, pintu berdebam. Gadis itu pergi. Chaewon menegakkan punggung, berusaha mencerna apa yang terjadi.

Kami… kembali ke masa lalu?

Be my love for no one else can end this yearning This need that you and you alone create Just fill my arms the way you fill my dream The dreams that you inspire with every sweet desire*


*Lirik lagu Be My Love yang digubah oleh Nicholas Brodzky. Liriknya ditulis oleh Sammy Cahn.

Hitomi tersentak saat suara klakson yang silih berganti nyaring terdengar dari luar. Ia melirik ke arah jendela. Matahari sudah naik sedari tadi. Ia melirik ke sisi kanannya—

Kosong. Buru-buru dirabanya bantal. Dingin. Ada panik yang tiba-tiba menyergap saat menyadari bahwa Chaewon tak ada di sisinya. Ia ingat betul semalam ia tertidur tepat beberapa menit sebelum hari berganti.

Tenang, Hitomi, tenang. Chaewon takkan ke mana-mana.

Ia mendorong tubuhnya bangkit saat bunyi brak kencang terdengar dari arah kamar mandi. Ia bergegas berlari, tergopoh-gopoh membuka pintu kamar mandi saat sosok Chaewon yang berusaha membungkuk memunguti peralatan mandi yang berjatuhan jadi pemandangan pertama yang ia lihat pagi ini.

“Sayang...”

“Oh, hei,” Chaewon menoleh, “Sudah bangun?”

Hitomi mendesah, lalu bergerak menghampiri perempuan itu, “Biar aku saja,” tangannya cekatan memunguti peralatan mandi yang berjatuhan dari wastafel, “Sudah berapa lama kau bangun?”

“Mungkin tiga puluh menit?” jawab Chaewon. Tangan kanannya meraih pasta gigi, berusaha menekan badan tube agar isinya keluar—namun gagal total. Hitomi cepat meraih sikat gigi di tangan Chaewon.

“Kau tahu kau bisa membangunkanku, Sayang. Omong-omong, bagaimana kau bisa berjalan ke kamar mandi sendiri? Memangnya kakimu tidak sakit?”

Chaewon menerima uluran sikat gigi dari Hitomi. Ia meringis, “Sakit,” ujarnya sambil mulai menyikat, “Aku berpegangan pada tembok, dan tidak, aku tidak mau membangunkanmu,” ada jeda sebelum ia melanjutkan, “Aku tahu kau baru tidur tengah malam.”

Ganti Hitomi yang meraih sikat gigi miliknya, “Sayang, kau lebih penting, kau tahu itu 'kan? Kau istriku, dan aku takkan memaafkan diriku sendiri jika sesuatu terjadi padamu,” ujarnya, menatap Chaewon lewat cermin besar yang tergantung di depan mereka. Perempuan itu tersenyum, mengadukan kepalanya pelan pada kepala Hitomi.

“Kau juga penting,” perempuan itu membungkuk, membuang sisa-sisa busa di mulutnya, lalu mencuci kepala sikat gigi, “Sayang, jika kau tak keberatan—tolong basuh wajahku. Aku tidak bisa mencuci muka hanya dengan satu tangan.”

Hitomi mengangguk, buru-buru menyelesaikan ritual sikat giginya. Ia lantas meraih pembersih wajah milik Chaewon. Ia melirik sekitarnya. Sebelah alis Chaewon terangkat, “Kenapa?”

“Kau tidak masalah berdiri begitu? Kakimu tidak sakit?”

Cengiran kaku terbit di wajah Chaewon, “Tidak akan lama 'kan?”

Hitomi melenguh, “Oke. Tahan, kalau begitu. Ini tidak akan lama.”

Kedua tangannya perlahan mengusap-usap wajah Chaewon—dalam sekejap, wajahnya dipenuhi busa. Hitomi mengerjap, lalu tawa pelan lolos dari bibirnya.

“Ada yang lucu?”

“Kau tahu,” tangannya kembali sibuk membersihkan wajah Chaewon, “Dalam film dan drama, biasanya mereka juga melakukan ini. Bedanya, bukan untuk membasuh muka. Mereka mencukur kumis atau janggut dan cambang pasangan mereka.”

Chaewon terkekeh, “Yah—satu hal baik, anggap saja begitu. Kita bisa menjauhkan benda tajam dari wajahku yang beresiko membuatku terbu—AW!”

“Jaga ucapanmu, Kim Chaewon,” kedua mata Hitomi menyipit, memandang Chaewon galak, “Aku tidak mau jadi janda untuk kedua kalinya.”

Chaewon tergelak, “Sepertinya kita butuh sesuatu untuk menjaga mulutku.”

Sebelah alis Hitomi terangkat, “Dan itu adalah?”

“Ciuman selamat pagi dan sarapan paling enak sedunia khusus untukku yang dibuat oleh Honda Hitomi, manusia paling manis sedunia.”


“Sayang, yang sakit tangan kiriku, bukan tangan kanan, dan aku tidak kidal.”

Hitomi mendecih, “Tidak bisakah kau duduk diam dengan manis dan membiarkanku memperlakukanmu bagai ratu sehari saja?”

Menyadari bahwa tak ada gunanya berdebat dengan Hitomi yang sedang senewen begini, Chaewon akhirnya pasrah, membiarkan Hitomi memperlakukannya bagai bayi—padahal menurutnya, di antara mereka berdua, Hitomi lah yang lebih bayi.

Ia juga tak tahu maksudnya apa, namun di matanya, Hitomi adalah bayi. Bayi yang menggemaskan. Bayi nya.

Begitu piring-piring kembali licin, Hitomi bergegas membereskan peralatan makan mereka. Tepat saat Hitomi berdiri memunggunginya untuk mencuci piring-piring kotor, Chaewon bangkit, hendak berjalan menuju sofa panjang di ruang tengah mereka saat tiba-tiba Hitomi berkata

“Tidak bisakah kau menungguku selesai? Kau bilang kakimu sakit?”

Ia curiga Hitomi punya mata ketiga, tepat di tengkuknya.

“Oke, oke,” ia urung melangkah, lalu kembali mendaratkan pantat di kursi. Saat suara kucuran air berhenti, ia tersenyum, “Sudah boleh bergerak?”

Hitomi berjalan ke arahnya, menarik lengan Chaewon, melingkarkannya di bahunya sendiri, lalu membantu perempuan itu bangkit. Pelan sekali ia memapah Chaewon menuju sofa panjang, membiarkan perempuan itu duduk bersandar. Diisinya ruang kosong di sebelah Chaewon, lantas ia menunjuk pangkuannya.

“Hm?” Sebelah alis Chaewon terangkat. Hitomi mendesah, lalu menarik perempuan itu ke pangkuannya, membiarkan perempuan itu rebah.

“Mulai sekarang, tolong dengarkan kata-kataku, Kim Chaewon.”

“Aku selalu mendengarkanmu.”

“Kau tahu maksudku,” Hitomi mengerang, memancing tawa perempuan itu, “Jangan macam-macam lagi,” gumamnya. Halus jemarinya menyisir helai rambut Chaewon. Perempuan itu memejam, menikmati sentuhan Hitomi. Sejenak, hanya hening yang hadir di antara mereka berdua.

“Apa yang kaupikirkan?” bisik Hitomi pelan saat menyadari bahwa sudut-sudut bibir Chaewon terangkat ke atas. Kedua matanya terbuka.

“Aku teringat kencan kita dulu,” jawabnya pelan, “Kau tahu, saat kita baru saja lulus. Kau dan aku sama-sama pengangguran, dan tak punya cukup uang untuk berkencan di luar. Satu hari, kita bahkan tak punya cukup uang untuk membeli makanan yang layak untuk berkencan, dan harus puas hanya dengan satu cup mie instan untuk masing-masing, tuna kalengan, dan satu liter soda.”

Hitomi terkekeh, “Kau benar, dulu—” kalimatnya menggantung di udara.

“Hm?”

Hitomi tak ingat bahwa di kehidupannya kali ini, mereka pernah berkencan seperti itu. Baik Chaewon dan dirinya tak kesulitan mendapatkan pekerjaan. Itu sebabnya di tahun kelima mereka berkencan, dua tahun setelah mereka lulus, keduanya bisa menyewa satu unit apartemen—apartemen ini, untuk ditinggali berdua. Lalu mereka sepakat untuk menikah.

Masa-masa sulit itu hanya terjadi di—

“Rasanya kita tak pernah menghabiskan kencan seperti itu, Sayang.”

Chaewon mengernyit, “Begitukah?” ia mengerjap-ngerjap, “Sepertinya kepalaku terbentur kelewat keras kemarin.”

Hitomi buru-buru menggeleng—mengusir satu narasi yang melintas di benaknya, “Sayang?”

“Hm?”

“Aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini,” ujar Hitomi pelan, “Kita tak sempat mengalaminya karena—karena kau pergi. Tapi aku janji, meskipun mungkin nanti akan ada kerikil, bahkan tembok tinggi yang menghalangi jalan kita, aku janji bahwa aku akan selalu menemukan cara untuk berbahagia denganmu.”

Chaewon adalah dunianya—pusat dari semestanya. Chaewon adalah pusat gravitasinya—perasaannya akan selalu terarah pada perempuan itu. Chaewon adalah rumah—meski dunia tak ramah, ia tahu bahwa dalam pelukan perempuan itu, ia akan selalu aman. Chaewon adalah pijar yang ingin selalu ia jaga—ia timang dengan sayang, ia jauhkan dari badai yang hendak mengacaukan sinarnya, ia peluk erat agar tak lepas terbawa deras arus hidup.

“Terima kasih sudah jadi milikku lagi, Hitomi,” perempuan itu berkata, dan Hitomi melihat seluruh galaksi di matanya, “Terima kasih sudah memilih untuk melangkah bersamaku lagi. Di kehidupan kita sekarang, aku janji akan berusaha untuk bertahan denganmu lebih lama—mungkin bahkan, sedikit lebih lama dari selamanya. Sekuat yang aku mampu, sekeras yang aku bisa, aku akan berusaha bertahan denganmu.

“Terima kasih sudah kembali ke hidupku lagi. Meskipun tak ada yang pasti di dunia ini, aku akan pastikan bahwa perasaan kita akan selalu jadi hal tetap dalam ketidakpastian hidup. Tetaplah di sisiku. Tetaplah di hatiku, sampai kita tak lagi sanggup membuka mata.”

“Hei, Hitomi?”

Hitomi mendongak. Pemandangan di depannya terlihat ganjil—tapi juga familiar. Ia mengerjap, bahkan menampar pipinya sendiri.

Chaewon berdiri di depannya, terlihat—tidak baik-baik saja. Perban di sana-sini, baju yang robek di beberapa bagian dan bercak darah di celana dan bajunya. Namun yang paling penting, perempuan itu hidup. Bernapas. Mewujud di hadapannya.

“Sayang? Oops—”

Lengan Hitomi melingkar erat di lehernya, lalu ia merasakan pakaiannya basah, “Hei, hei, aku di sini...”

“Kau hidup,” perempuan itu bergumam di antara sedu, “Kau hidup.”

Sebelah tangan Chaewon bergerak menepuk-nepuk puncak kepala Hitomi. Ia tak bisa berkata pada Hitomi bahwa perempuan itu menekan tubuhnya terlalu kencang, dan rusuknya sakit, lalu sebelah lengannya juga tak bisa digerakkan sepenuhnya. Chaewon menghela napas, berbisik pelan, “Aku hidup. Aku di sini.”

Hitomi melepaskan pelukannya. Kedua tangan bergerak menangkup wajah Chaewon, merabanya pelan. Ujung bibir perempuan itu sobek, dan Hitomi bisa mellihat beberapa baret kecil di pelipisnya. Jemarinya bergerak mengusap luka itu pelan.

“Kau hidup, 'kan? Kau bukan bagian dari khayalanku 'kan? Aku tidak sedang bermimpi 'kan?”

Chaewon mengangguk, seulas senyum tipis terukir di wajahnya, “Aku berhasil. Aku kembali.”

Chaewon memejam saat Hitomi menyatukan bibir mereka—dan setiap degup jantungnya menyuarakan rasa takut dan khawatir. Air matanya tak mau berhenti. Perlahan, Chaewon melepaskan pagutan mereka, menangkup tangan Hitomi di wajahnya.

“Aku janji aku akan kembali 'kan?”

“Ehem,” keduanya menoleh, menatap Yuri yang melempar pandangan penuh tanya ke arah mereka, “Apa aku melewatkan sesuatu?”

Chaewon terkekeh, lantas menggeleng, “Hanya Hitomi dan mimpi buruk yang ia alami beberapa minggu lalu.”

“Kau yakin?” kedua mata Yuri menyipit, memandang kedua perempuan itu dengan tatapan curiga, “Kau yakin kalian tidak sedang menyembunyikan sesuatu?”

Kali ini, Hitomi tertawa—meski masih dengan suara sengau dan parau, “Ya,” ia menoleh ke arah Chaewon yang juga tersenyum padanya

“Cuma aku dan mimpi burukku. Tapi yang paling penting, kalian berdua selamat, bukan?”


“Terima kasih sudah mengantar kami, Yuri.”

“Kau yakin tidak butuh bantuan?”

Yuri memandang Hitomi dan Chaewon bergantian. Sebelah lengan Chaewon melingkar di pundak Hitomi, sementara lengan Hitomi melingkar di pinggang perempuan itu. Meski Chaewon masih bisa berdiri, perempuan itu kesulitan berjalan. Selain itu, Yuri bisa menduga kalau seluruh badannya terasa remuk—berkali-kali perempuan itu meringis dan mengernyit di sepanjang perjalanan menuju apartemen mereka tadi, Yuri menangkap ekspresinya lewat kaca spion. Namun kapanpun Hitomi bertanya apakah perempuan itu baik-baik saja, ia hanya tersenyum dan meyakinkan Hitomi bahwa meski tampilannya berantakan, ia baik-baik saja.

“Aku akan meneleponmu jika Chaewon bertingkah,” Hitomi tertawa pelan. Meski tak sepenuhnya yakin, Yuri akhirnya mengangguk, mengiyakan perkataan perempuan itu. Setelah banyak terima kasih dan telepon-aku-jika-kau-butuh-sesuatu, Yuri akhirnya berbalik. Hitomi dan Chaewon tetap berdiri hingga punggung perempuan itu menghilang di balik lift.

“Ayo, kita harus mengganti bajumu.”

Chaewon mengangguk, membiarkan Hitomi memapahnya menuju kamar. Perempuan itu susah payah mengangkat kakinya ke atas tempat tidur, punggung bersandar pada kepala tempat tidur. Matanya mengikuti ke manapun Hitomi pergi.

“Kau tidak bisa mengangkat tanganmu, bukan?”

Chaewon mendongak, “Hm?”

“Kau tidak bisa mengangkat tangan kirimu,” Hitomi berkata pelan. Jemarinya bergerak melepas kancing baju Chaewon satu per satu. Berkali-kali perempuan itu menghela napas, namun tak sekalipun pandangan mereka beradu. Chaewon akhirnya buka suara.

“Ada yang ingin kau katakan?”

“Kau hampir membuatku mengakhiri hidupku sendiri,” ujarnya. Tangannya sibuk memakaikan piyama pada Chaewon, “Aku tak tahu bagaimana bisa hidup jika harus kehilanganmu sekali lagi,” gerakan tangannya terhenti. Perempuan itu akhirnya mendongak, kedua matanya berkaca-kaca, “Jangan pergi dari sisiku lagi.”

“Maaf,” jemari Chaewon menelusuri lekuk wajahnya, lalu perlahan menangkupnya, “Maafkan aku. Aku janji ini yang terakhir kali kau menangis begini karenaku.”

Hitomi mencondongkan wajah, mengecup bibir perempuan itu sekilas, “Akan kupegang janjimu,” ia berkata cepat, “Aku harus mengganti celanamu yang sobek. Kau mau makan sesuatu setelah ini?”

Chaewon menggeleng, “Aku hanya ingin tidur.”

Hitomi menghela napas, lalu mengangguk, “Oke.”

“Tetap di sisiku selama aku tidur?”

Hitomi lagi-lagi mengangguk, “Aku akan tetap di sisimu bahkan ribuan tahun lagi.”


“Tidak mau tidur?”

Hitomi tak sadar berapa lama ia menatap wajah Chaewon yang tengah tertidur saat tiba-tiba perempuan itu membuka mata. Chaewon melirik jam beker di atas nakas, “Sudah hampir pukul sebelas,” gumamnya. Pelan sekali ia membawa tubuhnya ke samping menghadap Hitomi, “Tidak bisa tidur?”

Hitomi benar-benar berada di sisi Chaewon sejak petang tadi mereka tiba di apartemen mereka. Ia bahkan tak sadar bahwa ia melewatkan makan malam. Tangannya bergerak peralahan mengelus wajah Chaewon, “Hitomi?”

“Aku takut,” bisiknya, seolah takut ada orang yang menguping pembicaraan mereka, dan apapun yang keluar dari mulutnya adalah rahasia yang harus ia jaga rapat-rapat, “Aku takut.”

Chaewon tersenyum kecil. Tangan kanannya ikut terangkat, balas menangkup pipi Hitomi, “Apa yang kau takutkan? Aku di sini, Sayang. Aku hidup. Bernapas. Dan masih mencintaimu.”

“Aku takut saat hari berganti kau hilang,” suaranya bergetar, “Aku takut kau pergi dalam tidurmu—atau saat aku tertidur, kau pergi,” Chaewon meringis—berusaha beringsut mendekat meski sulit, “Aku takut bukan kecelakaan itu yang kali ini merenggut nyawamu.”

“Hei,” Chaewon membiarkan kening mereka beradu, “Aku tidak akan ke mana-mana.”

“Tadi siang juga kau berkata begitu. Tapi lihat?” Hitomi menyentuh perban yang membalut lengan perempuan itu, “Aku hampir kehilanganmu siang tadi.”

Hitomi memejam saat hangat napas Chaewon menyapu keningnya—mengecupnya seolah-olah ia ingin mengusir gelisah yang sedari tadi memeluk, mengecupnya seolah-olah ia ingin menanamkan rasa aman—meyakinkan bahwa ia takkan ke mana-mana.

“Kemarilah,” ia berusaha menyesuaikan posisi tubuhnya—ditariknya Hitomi ke dalam pelukannya, namun perempuan itu menolak. Sebaliknya, Hitomi menariknya ke dalam pelukan.

“Lenganmu sakit.”

Chaewon terkekeh, menyurukkan wajahnya dalam peluk hangat yang membungkus tubuhnya, “Aku ngantuk.”

“Tidur, Sayang.”

“Kau juga harus tidur, Hitomi,” bisiknya pelan, “Aku janji aku takkan ke mana-mana.”

Semesta tak pernah bersikap baik.

Begitu ia keluar dari pintu apartemennya dan berlari ke arah lift, seseorang berkata bahwa lift mendadak macet. Ia mengerang, menyadari bahwa tinggal di lantai enam kadang-kadang bisa jadi hal yang menyusahkan. Ia berlari menuju tangga, hati-hati meniti setiap anak tangga, tak mau sampai harus terkilir—ia tak boleh menambah masalah.

Selama hampir lima menit ia mencari taksi, tak ada satupun yang tersedia. Ia menggeram. Maka saat tetangganya—entah tetangga yang mana, ia tak peduli—turun dari taksi tepat di depannya, tanpa ragu ia melompat naik, meminta sang sopir membawanya pergi, berpacu dengan takdir. Sang sopir yang semula memasang ekspresi heran dan jengkel mendadak menyiratkan iba saat Hitomi menyebutkan alamat rumah sakit.

“Nona, aku akan melajukan mobil sedikit lebih cepat. Kau buru-buru, bukan?”

Hitomi mengangguk, “Ini masalah hidup dan mati,” maka tanpa basa-basi, sang sopir menginjak pedal gas, berusaha membawa Hitomi secepat mungkin. Ia menyelinap, mencari celah, bahkan sesekali berbelok menyusuri jalan yang agak asing bagi Hitomi—jalan tikus rupanya bisa menjadi pilihan saat ia terburu-buru begini. Hitomi baru saja bernapas lega saat tiba-tiba kendaraan di depan mereka mengular.

“Nona—”

Di bangku belakang, Hitomi sudah pasrah. Sebelah tangan menutupi wajah, sebelah lagi berusaha menelepon Yuri. Isaknya yang semula tertahan makin lama makin kencang. Sang sopir melempar pandang iba lewat spion.

“Ada jawaban, Nona?”

Hitomi menggeleng. Berkali-kali ia melirik ke arah jendela, namun tak ada tanda-tanda bahwa mereka akan segera melaju. Ia lalu menarik selembar uang dari dompet, “Simpan saja kembaliannya. Terima kasih,” ia lalu melangkah keluar, diiringi dengan teriakan hati-hati dari sang sopir. Ia berlari, berlari, dan berlari. Ia bahkan tak bisa merasakan kakinya sendiri. Di bawah tatapan keheranan para pejalan kaki, ia terus berlari, berharap semua baik-baik saja, berharap ia tak terlambat—

“Kenapa dunia begitu kejam pada kami?!” ia melirik sikut dan lututnya yang berdarah—ia baru saja terjerembap, tersandung kakinya sendiri. Buru-buru dipungutnya ponsel dan barang-barang lain miliknya. Tanpa memedulikan perih yang mulai terasa, ia kembali berlari. Kakinya melambat saat ia bisa melihat bangunan putih itu kira-kira seratus meter di depannya.

“Tolong jangan pergi, Chaewon, tolong jangan pergi...”

Beberapa kali ia hampir menabrak pasien lain, pembesuk, hingga tenaga medis. Ia terus melangkah menuju instalasi gawat darurat. Matanya berkeliling, mencari sosok Yuri saat dilihatnya perempuan itu duduk di atas sebuah bangku panjang dengan penampilan berantakan—rambut awut-awutan, dan ada robekan kecil di celana dan jaket yang ia kenakan.

“Yuri!”

Perempuan itu mendongak, melempar tatapan kosong sebelum terkesiap, “Hitomi! Kau—” kata-katanya terputus saat melihat Hitomi yang berlari ke arahnya dengan penampilan berantakan. Perempuan itu melontarkan tubuh ke arah Yuri, kedua lengan melingkari pundaknya, “Hitomi?”

“Katakan padaku Chaewon baik-baik saja.”

“Ia sedang ditangani saat ini, kau—”

“Katakan padaku Chaewon baik-baik saja!”

Yuri tercenung. Tangannya tanpa sadar balas memeluk Hitomi, menepuk-nepuk punggungnya pelan. Di sebelahnya, tergeletak ponsel Chaewon yang mati, dengan ujung-ujungnya yang retak—terbentur aspal. Kepalanya mendadak kosong, sebab perempuan dalam pelukannya itu menangis tersedu-sedu.

“Hitomi, tunggu di sini sebentar. Aku—aku akan membeli minuman,” Hitomi melepaskan pelukannya, membiarkan Yuri berjalan menjauh ke arah kantin. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Tangannya tiba-tiba meraba benda dingin di atas bangku. Ponsel Chaewon. Pantas pesan dan teleponnya tak berbalas satu pun. Melihat kerusakannya, sepertinya apapun yang terjadi pada Chaewon, perempuan itu lagi-lagi terlibat peristiwa tak menyenangkan.

Ia tercenung. Jika Chaewon benar-benar pergi lagi, jika Chaewon benar-benar tak berada di sisinya lagi, ia tak tahu lagi bagaimana ia harus menjalani hidup. Ia tak tahu kenapa ia harus kembali ke masa lalu, mengulang kisahnya dengan Chaewon hanya untuk kehilangan perempuan itu sekali lagi.

Mungkin lebih baik ia juga mengakhiri hidup.

“Hitomi, minumlah,” tiba-tiba sebotol teh dingin melayang di depan wajahnya. Hitomi mendongak. Yuri baru saja kembali. Perempuan itu meletakkan botol teh di pangkuannya, lalu mendudukkan diri di sebelah Hitomi, perlahan mulai membuka kopi kalengan miliknya. Hitomi hanya diam, tak berniat sedikitpun untuk menyentuh teh itu.

“Katakan padaku apa yang terjadi, Yuri.”

Yuri menoleh. Diletakkannya kaleng kopi di sisi kanan. Matanya menatap Hitomi lamat-lamat.

“Kami baru saja keluar dari kafe tempat kami makan siang saat kecelakaan itu terjadi,” gumam Yuri pelan, “Saat kami keluar, jalanan memang lengang. Entah kenapa jalanan lengang, padahal biasanya di sana jalanan selalu padat. Saat kami berbelok, kami melihat seorang anak kecil yang menunggu ibunya menyeberang jalan.”

Satu skenario terlintas di kepala Hitomi. Melihat raut wajahnya yang berubah, Yuri tersenyum, “Kau benar. Anak kecil itu tak sabar dan berlari ke arah sang ibu saat tiba-tiba, dari balik tikungan, sebuah mobil melaju kencang. Aku dan Chaewon berusaha mencegah anak itu, tapi aku terlalu—lambat. Chaewon berlari ke arah anak kecil itu, menarik—tidak, mendorongnya ke arahku. Kami berdua—aku dan anak kecil itu—terlempar ke arah trotoar. Aku tidak siap menangkap anak kecil itu.

“Kau bisa lihat aku baik-baik saja, tapi Chaewon—”

Lagi-lagi kata-katanya terputus saat Hitomi tiba-tiba menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. Perempuan itu kembali terisak tanpa suara.

“Harusnya kutahan dia agar tak ke mana-mana,” samar Yuri bisa mendengar kalimat yang diucapkan perempuan itu berkali-kali, “Harusnya dia tak ke mana-mana.”

Yuri beringsut mendekat, sebelah lengan bergerak melingkari pundak Hitomi, “Hei,” bisiknya pelan, “Tenanglah.”

“Harusnya dia bersamaku...”

“Hei, Hitomi?”