Kentang Goreng dan Segelas Cola
Dalam cerita Rahasia (Jangan Bilang Siapa-siapa)
“Chaewon, beneran kita makan di sini nggak bakal digrebek polisi?”
Tawa Chaewon menyembur saat mendengar pertanyaan polos dari kekasihnya itu. Telunjuknya kemudian mengarah pada beberapa mobil lain yang terparkir di sisi kanan kiri mereka, “Yang, tuh lihat. Emang di sini tuh begitu. Dari sini tuh pemandangan kota kelihatan, makanya banyak yang ke sini. Makanya,” ia kemudian berbalik, menunjuk deretan tenda kaki lima yang terlihat agak jauh, “Makanya banyak tenda gitu.”
“Ya takut aja,” di sebelahnya Hitomi mencebik—lagi-lagi memancing tawanya yang cepat berganti dengan senyum kecil begitu pandangan mereka beradu.
“Nah,” Chaewon melirik arlojinya sejenak, “Masih ada satu jam nih, nanti setengah sembilan aku harus antar kamu pulang,” senyum tipis terulas di wajahnya, “Cerita dong, kamu ngapain aja nih tiga minggu ke belakang.”
“Kita tiap hari kirim pesan?” ujar Hitomi sambil mengunyah kentang goreng. Tangannya terulur ke arah Chaewon—cepat gadis itu menggigit kentang di tangannya, “Aku harus cerita apa lagi? Kamu udah tahu.”
“Ya kangen aja denger suara kamu,” ujar Chaewon sambil menyeruput sodanya.
“Kita teleponan hampir tiap malam lho.”
“Suara kamu lebih merdu didengar langsung ketimbang via telepon.”
“Aku yakin setahun kita jalan, kamu nggak bakal gombal kayak gini lagi. Aku yakin kamu bakal jadi manusia kulkas.”
“Ih asyik,” cengiran nakal tersungging di bibir Chaewon. Tangannya bergerak membuka kertas pembungkus burger, “Udah bayangin setahun sama aku,” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Hitomi menatapnya datar.
“Nggak mau gitu?”
“Mau dong,” ujarnya sambil menggigit burger, “Tapi kayaknya emang nggak bakal gombal sih. Takut dikatain buaya, terus aku yakin setahun lagi, kamu akan jadi super galak,” Chaewon terkekeh, berkelit menghindari cubitan Hitomi, “Ampun Sayaang, ampun.”
“Yang,” panggil Hitomi tiba-tiba, menghentikan tawa Chaewon yang berderai sedari tadi, “Ya?”
“Sabtu ini kencan yuk?” ujar Hitomi yang mulai mengikuti jejak kekasihnya itu—meraih burger yang terbungkus kertas, membukanya pelan, lalu mulai menggigiti pinggiran roti, “Kamu senggang kah?”
Chaewon mengerucutkan bibir, dahinya berkerut. Ia terdiam sebelum menelan makanannya, “Kayaknya senggang sih Yang,” ujar Chaewon, “Mau kencan ke mana nih? Dari jam berapa?”
“Dari pagi memungkinkan nggak ya?”
“Bisa sih kayaknya,” Chaewon mengangguk, tangannya meraih gelas berisi cola miliknya, “Tapi kalau dari pagi gitu mau ke mana? Kita nggak punya banyak pilihan.”
“Iya sih,” lagi-lagi Hitomi mencebik. Chaewon tersenyum tipis. Kalau ada yang mergokin kami kencan, bahaya. Buatku nggak masalah, buat dia pasti masalah. HItomi mengembuskan napas, “Sore ke malem aja gitu kayak biasa?”
Chaewon mengangkat bahu, “Boleh, bebas. Sebenarnya dari pagi juga nggak masalah, tapi mungkin harus ke tempat yang jauh banget—ke kota sebelah mungkin, tapi kamu pasti nggak mau.”
“Bukan nggak mau,” Hitomi menghela napas, “Aku nggak enak lho kalau kita kencan gini kamu terus yang bayar. Ke kota sebelah nanti bensinnya pasti kamu juga yang bayar. Aku nggak mau kayak gitu. Kesannya aku matre, manfaatin kamu banget.”
Chaewon terkekeh. Tangan kirinya terulur, bergerak mengusak rambut Hitomi pelan, “Mana ada kamu manfaatin aku?” ujarnya, “Ini 'kan aku yang mau. Lagian nggak terus ya,” ujarnya lagi sambil menatap Hitomi penuh arti, “Ada juga kencan kita yang kamu bayarin. Ya udah lah Yang, impas. Kita saling kok.”
“Tadi di kampus baca apa?” ujar Hitomi, mengalihkan pembicaraan. Kini ganti gadis itu yang menyeruput minumannya, “Selesai berapa buku? Heran deh aku sama kamu. Mageran tapi nilainya bagus-bagus.”
“Ya,” Chaewon mengernyit, menggaruk hidungnya yang tak gatal, “Ya karena aku mager ngapa-ngapain di rumah makanya aku berusaha belajar dengan maksimal di kampus?”
Bulan sudah meninggi, dan di atas kepala mereka, bintang-bintang terhampar di langit kelam; menatap genit dua manusia yang asyik dengan obrolan mereka, larut dalam percakapan tak tentu arah. Dua manusia yang sama-sama jatuh, berharap yang lain tak melepas genggaman tangan mereka, apa pun yang terjadi.
Dan mungkin memang begitu.
Mungkin, bagi Hitomi dan Chaewon, genggam tangan mereka adalah tali yang mengikat mereka pada kewarasan; di antara hiruk pikuk kehidupan kampus mereka yang bersengkarut, ada satu dua hal yang tetap sejelas matahari pagi.
Perasaan mereka untuk satu sama lain adalah pasti, dan setidaknya, hingga saat ini, mereka tak rela menukarnya dengan apa pun—juga rela untuk tetap berkencan di balik layar, saat semua mata tak lagi menatap ke arah mereka, tersembunyi di balik tirai besar yang turun setiap malam menjemput.