— 𝙟𝙚𝙟𝙖𝙡

Derai air mata menjadi saksi akan nestapa. Rasa sakit yang membelenggu hati, ketika tak lagi dapat bersua. Harsa yang hirap, dan redumnya nabastala, sungguh sesak. Menggerung, rindu mengikis hati dengan kejam.

Masih terpatri dalam benak, kali pertama kuarahkan langkah menuju geladak. Bersama puluhan lainnya, mencoba memeluk bahagia yang di damba. Rengkuh hangat menjeremba hati, meninggalkan goresan kasih yang tak padam. Sejak itu, 𝘬𝘢𝘶 ku sebut rumah.

Gemintang yang menghiasi gelapnya nabastala, mengukir bahagia pada tiap buana yang singgah untuknya. Bentang samudera yang menyapu netra, serta ombak yang menghanyutkan lara, menorehkan memori pada tiap jengkalnya. Canda, tawa, tangis, menjadikan setiap cerita memiliki makna. Bagi-𝘬𝘶, inilah harta karun paling berharga.

Kehilangan, adalah retisalya yang menghancurkan.

177.120 menit, 2.952 jam, 123 hari. Tak sebentar, pun juga tak lama. Berulang memandang swastamita yang elok secara bersama, pendar sang surya pun membuai netra. Kini hanya sebuah akara, sebab hanya memori yang tersisa. Mudah terdayuh oleh rindu, menjadikan hati jejal karenanya.

Bulan empat.

Bulan yang berulang, tetap menjadikan 𝘬𝘢𝘶 tempat untukku pulang. Segala bentuk rindu yang memenuhi renjana, ungkapan untuk rudita. Sesak yang memenuhi kalbu semakin tak terbendung.

Ya, aku rindu.

Kepada buana yang ku singgahi, dengan gemerlap elok bumantara yang selalu ku kagumi, 𝘢𝘬𝘶 rindu. Adorasi yang diberi, menggores luka yang selalu terbuka. Mengharap harsa untuk kembali hadir, setidaknya, memberi pelangi pada eloknya langit biru.

Empat bulan bersama, hati ini terpaku. Pada rasa yang selalu diberi, pada dekap yang selalu datang dan pergi. Hanya satu harap-𝘬𝘶, untuk-𝘮𝘶 kembali pulang.

Sebab salah satu bintang-mu, melirih rindu.


𝟏𝟐𝟎𝟏𝟐𝟎, 𝐊𝐚𝐮 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡, 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧𝐲𝐚.