Adorasi.

San menyandarkan tubuhnya pada sofa kelabu di tengah ruang kosong. Ada satu rasa yang kembali ke dalam ruang rindunya. Kenangan baik maupun buruk, berkecamuk dalam benak San. Surai hitamnya dibiarkan menutupi netra, seakan enggan untuk menatap dunia.

Hidupnya kini perlahan rata dengan tanah, hancur tak tersisa. Karena sejak satu tahun silam, San sudah menyerah pada semesta. Satu tahun, adalah waktu yang cukup lama baginya. Cukup lama untuk bertahan, meskipun akhirnya tidak.

“Maaf, Laura. Aku bakal ingkar janji.” Ujar San begitu pelan, berbisik pada diri sendiri.


9 Juli 2019 “Mulai besok, kamu tidak usah bekerja lagi. Ini gajimu bulan ini, dan ada bonus di dalamnya.”

San merasa hidupnya sia-sia. Tak banyak yang dapat ia buktikan, bahwa ia layak. San malu. Terlebih pada ibunya, yang memandang dari Surga. Sebab lagi-lagi, ia gagal.

San memasuki toko perhiasan yang tak sengaja ia lewati. Besok, adalah ulang tahun Laura -gadisnya. Beruntungnya San, ia memiliki uang untuk membelikan gadisnya hadiah.

“Ada yang bisa saya bantu?” Pramuniaga menyambutnya ramah. San tersenyum sembari menunjuk sebuah kalung berbandul bintang.

“Saya ambil yang ini, tolong dibungkus yang cantik.”

San menyusuri jalanan malam dengan sendu. Sebuah kotak hadiah menemaninya sepanjang jalan. San bertanya-tanya, apa yang harus ia lakukan setelah ini? Untuk apa ia menjalani hidupnya? Bertanya-tanya, akankah ada bahagia untuknya?

Tak lama, San memasuki lobby rumah sakit tempat Laura dirawat. Sangat sepi, mengingat sudah hampir tengah malam. San sengaja datang pada waktu sekarang, untuk memberi kejutan sang terkasih.

Belum sempat San menyapa, tubuhnya ambruk seketika. Rengkuhan ibu Laura menambah rasa sesak di hati San. Derai air mata turun tanpa seizinnya. Hatinya hancur, sebab ada satu lagi kegagalan dalam hidupnya.

“Laura tadi cari San, tapi San di hubungin nggak bisa. Laura mau nunggu San, tapi ternyata Laura sudah nggak sanggup.” Penuturan ibu Laura membuat luka di hati San semakin menganga. San bersimpuh, menyalahkan semesta. Karena begitu tak adil, memberi hidup ini kepada San.

“San, tadi Laura kirim pesan. Coba di baca ya, nak?”

San meraih ponsel yang sedari tadi ia matikan. Benar saja, ada dua pesan tak terbaca dari sang terkasih.

San kapan kesini? Aku mau ngomong sama kamu.

San, aku mungkin nggak bisa bilang ini ke kamu besok, jadi aku bilang disini aja, ya? Karena aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan, dan kapan bisa ketemu sama San. San, selamat ulang tahun. Makasih, udah jadi San nya aku. Makasih, udah jadi salah satu kebahagiaan aku. Aku bersyukur banget punya San di dunia ini, meski sebentar. San, aku tahu apa yang terjadi. Kalo bisa, rasanya aku pengen peluk kamu sekarang. Kamu boleh nangis di depan aku, kamu boleh ngeluh sama aku. Tapi janji, ya? Jangan pernah nyerah. Janji sama aku untuk terus bertahan. At least, lakuin itu buat aku. Bisa kan? San, makasih atas waktu dan cinta yang kamu berikan buat aku. Aku bahagia. Makasih udah jadi duniaku. I love you, Laura.

Semesta seakan mengolok San, meneriakkan kata bodoh berkali-kali. Jika saja, ponselnya tidak ia matikan, San pasti punya kesempatan untuk sekedar mendengar suara Laura. Memang, San bodoh. Begitu bodoh hingga akhirnya kembali merasakan hilang. Dan tak sempat untuk berkata pamit, atau sekedar merengkuh hangat.


Sebuah kotak cantik berwarna putih berada dalam genggamannya. Kalung berbandul bintang, masih ia simpan dengan rapi. San menatap langit malam dari jendela. Angin malam berhembus menyapu surai hitam dan paras rupawannya.

“Ra, maafin aku. Aku nggak bisa nepatin janji yang kamu kasih.”

San meletakkan kotak putih itu di sofa, bersebelahan dengan ponselnya yang menyala dengan sebuah pesan tertulis pada layar.

Aku menyusul Laura, dan Ibu.

Ia kembali menuju jendela, menatap langit malam untuk yang terakhir. Sebelum akhirnya, San membungkus tubuh dengan angin. Semesta, membuatnya menyerah.

San memeluk tubuh, membiarkan angin membawanya terbang. Derai air mata terus mengalir tanpa henti, menciptakan hujan yang menyayat hati. Sebab, hati tak lagi dapat membendung luka.

San tersenyum tipis, sebelum akhirnya menutup mata. Angin tak lagi membungkus tubuh, tergantikan gelap yang tak berujung. Semesta, akhirnya menghapus segala luka, selamanya.

San mengorbankan dunianya, demi menggapai kata bahagia. Ia mencapai titik dimana kegagalan adalah satu-satunya pilihan, dan menyerah adalah satu-satunya jalan. Meskipun sebenarnya, pengorbanan San tak lagi memiliki arti. Sebab dirinya telah menyerah, sejak satu tahun silam.

Dan kini, tepat 10 Juli 2020, San dan Laura mendapat bahagianya, dengan sebuah adorasi.


vlessingtae, 2020.