Agony

kita tak dapat saling menyembuhkan, sebab kita ternyata tidak ditakdirkan untuk itu.


Aku melangkah tanpa arah, batinku kacau. Rentetan pesan tak terbaca, memenuhi layar ponsel. Aku tak cukup kuat untuk membuka satu persatu, sebab hati ini dapat hancur kapan saja.

Hujan perlahan turun. Semesta seakan membaca hatiku, menurunkan air nya untuk meredam luka. Aku tenggelam, dalam rasa perih dan air hujan.

Maaf, aku nggak bisa ketemu kamu.

Aku nggak jadi ke Korea, perjalananku batal.

Sayang? Yeosang kritis. Dia nabrakin diri ke mobil, baru aja. Doain ya nak. Ini mama Yeo.

Hanya tiga pesan yang mampu aku baca, pun menjatuhkan ku begitu dalam. Kita, sama sama salah. Rasa ini, menjadi sebab kita hancur.


2020, 06 10

Aku menolak kenyataan dimana, jarak mengambil alih rasa. Sebuah kata pamit, mampu meruntuhkan pertahanan yang ku punya. Meski, ada janji untuk kembali.

“Aku kan bakal sering hubungin kamu, jangan sedih. Cuma Jepang, kok.” Yeosang memelukku, erat. Bukannya aku tak mau ia mengejar cita, hanya saja, aku takut.

“Janji? Setiap hari ya, Yeo?”

“Iyaa. Setiap hari aku bakal video call kamu sampai bosen.” Yeosang terkekeh kecil, sebelum mencium keningku lembut.

Rasa hampa menyelimutiku. Memberikan rengkuhan terbaiknya. Melihat punggung Yeosang menjauh, ada sedikit rasa yang ikut menjauh pula.


Aku dengan selamat pagiku, Yeosang dengan selamat malamnya. Tak ada waktu kita bertemu. Sibuk, menjadi kata penyambung frasa.

Perlahan, kita sama-sama meragu. Adakah rasa yang masih tersisa? Apakah kita masih menjadi pemilik hati satu sama lain?

Aku, menemukan jawabannya.

Malam itu, 10 Juli 2020. Yeosang meneleponku. Berkata rindu, dan menyapa hangat. Semburat sedih terasa pada setiap tekanan kata yang terucap.

“Maaf.” Dengan penekanan penuh, malam itu Yeosang meminta maaf. Aku sepenuhnya diam, menunggu alasan dibalik sebuah kata maaf.

“Aku rasa, kita semakin menyakiti satu sama lain. Aku menyakitimu, begitupun sebaliknya. Aku mendengar semuanya. Tentang kamu, dan hancurnya hati kamu saat itu. Dan, San menjadi orang yang ada buat kamu, menggantikan peranku.”

“Kamu selalu bilang, kamu baik-baik aja. Kamu bilang, kamu bahagia. Aku pun juga. Padahal, masing-masing dari kita sebenarnya tahu apa yang terjadi. Tapi, kita tak perlu repot untuk tanya bagaimana keadaan hati, sebab sudah ada yang menyembuhkan. Aku benar, kan?”

Aku tak mengelak, sebab apa yang di utarakan adalah sepenuhnya benar. Aku, dan Yeosang, tak perlu repot menanyakan tentang sedih dan luka. Sebab, luka itu perlahan sembuh oleh rasa yang berbeda.

“Sayang, jarak sudah semakin memisahkan. Dan ternyata, jarak juga mengambil sebagian rasa yang ada. Maaf, karena aku bukanlah orang yang dapat menyembuhkan kamu. Dan kamu, juga bukan lagi orang yang dapat menyembuhkanku.”

Derai air mata membasahi pipi. Hati sudah terkoyak, dunia telah runtuh. Tutur katanya yang halus, semakin membuat luka menjadi terasa sakit. Aku memang salah, namun aku juga hancur.

“Yeo, aku cinta kamu. Sangat.” Hanya itu, yang dapat ku utarakan sebagai balasan.

“Aku juga cinta kamu, sayang.”

Malam itu, sebuah kata rindu tertutup oleh maaf. Membelenggu rasa, menjadikannya luka yang mungkin tak akan sembuh.

Malam itu, adalah kali terakhir aku dan Yeosang bertukar sapa.


Aku tiba, di jembatan tempat aku dan Yeosang bertemu. Angin malam berhembus, menyapu rambut menutupi paras. Netra memandang ke sungai yang sepi, dan gelap.

“Yeo, maaf untuk segala sakit yang aku beri. Mungkin, bukan takdir kita untuk bersama di semesta ini.”

Aku mengambil langkah, menuju batas antara langit dan tanah. Membungkus diri dengan angin, aku melepas genggaman. Langit malam, menjadi saksi akan luka yang terbuka.

Aku tenggelam, dalam kegelapan yang tak berujung. Angin melepasku, membawa menuju samudera. Direngkuh oleh rasa sakit, yang membunuh.

Aku tenggelam, bersama dengan Yeosang yang juga telah menyerah. Takdir, tidak mengizinkan kita untuk menjadi bahagia bagi satu sama lain.

Aku, dan Yeosang, sama-sama menyerah. Kepada luka dan rasa sakit.

Semoga di kehidupan selanjutnya, aku dapat mencintaimu dengan sepenuhnya. Dan dapat menjadi obat, atas segala lara mu, Kang Yeosang.