Buana untuknya

Abu, hitam, dan putih. Kiranya, begitulah seisi dunia Kang Yeosang. Seindah apapun semesta, tetap menjadi abu di mata Yeosang. Netra cokelat miliknya, kini tak berarti apa-apa. Hanya pemanis untuk paras rupawan Yeosang.

Hidupnya bergantung pada tongkat, dan juga Jung Wooyoung— sang terkasih. Celoteh Wooyoung tentang indahnya buana, memproyeksikan warna tersendiri dalam benak Yeosang. Lebih indah, sebab Yeosang memberi cinta pada setiap warna.

“Uyo, besok temenin aku ke rumah sakit, ya? Kata dokter, mereka udah nemuin donor mata buat aku.” Tutur Yeosang di sela makan siang mereka. Wooyoung di hadapannya tersenyum simpul.

“Iya, nanti aku temenin. Akhirnya ya, Yeo?”

“Iya, Uyo. Akhirnya. Aku bisa ngeliat dunia, kaya kamu ngeliat dunia.” Seutas senyum manis terlukis pada paras Yeosang.

Jemari yang tertaut antara miliknya dan Wooyoung, memberikan rasa aman. Swasmita menunjukkan keindahannya. Warna jingga berpadu dengan ungu dan merah, menyatu dengan elok membuai netra. Wooyoung berhenti, tepat di hadapan sang surya yang mulai terbenam.

“Kok berhenti?” Yeosang terdiam, sebab ada rengkuhan hangat yang menarik daksa nya erat. Sang surya terbenam dengan anggun, mengiringi rengkuhan lembut yang tiada akhir.

Keduanya terbuai, akan rasa satu sama lain. Salah satunya tidak tahu, rengkuhan ini adalah makna untuk pamit yang tak pernah dapat terucap. Cukup lama, hingga Wooyoung melepas rengkuhannya.

“Uyo.. kenapa?”

“Nggak apa-apa. Cuma pengen peluk aja, hehe.”

Bersama dengan itu, air mata Wooyoung mengalir. Isakan yang tertahan, begitu memilukan untuk didengar. Digenggamnya kembali jemari Yeosang, dengan keinginan untuk tak melepaskan.

“Maaf, Yeo.” Netra hazelnya menelusuri paras Yeosang, memperhatikan tiap detail indah sang terkasih. Ia tersenyum, untuk kali terakhir, ia tersenyum manis pada semestanya.


“Bunda, Uyo kemana ya?”

“Wooyoung lagi nggak bisa nemenin, sayang. Tapi dia tadi titip sesuatu buat kamu. Nanti setelah operasi bisa dibuka ya, nak.”

“Tapi nanti Uyo kesini kan, bun?”

Bunda hanya memberikan rengkuhan singkat yang hangat. Membiarkan pertanyaan Yeosang tak terjawab, hingga saatnya tiba. *** Netra hazel itu mengedarkan pandangan, menjatuhkan butiran air mata yang tak terbendung. Biru, cokelat, merah, hijau, kini menggantikan segala monokrom yang selalu memenuhinya. Yeosang sesaat terpaku, sebab ia berhasil melihat dunia seperti Wooyoung melihat dunia.

“Bun, aku mau ketemu Uyo, aku mau liat Uyo..” Yeosang memperhatikan wanita di hadapannya. Bunda masih sama seperti di ingatannya 7 tahun silam, anggun dan parasnya begitu ayu.

“Yeo..” tak mengiyakan pun menjawab, bunda memberikan sebuah ponsel. Itu milik Yeosang.

Rentetan notifikasi memenuhi layar, semua berasal dari Wooyoung. Rindu tak terbendung, jemari Yeosang dengan cepat membuka pesan satu persatu. Yang ternyata, adalah rentetan kata maaf dan pamit.

Tangis tak lagi dapat terbendung. Seluruh warna, berubah menjadi monokrom. Sungguh nestapa, hatinya hancur. Ia meraung, menyalahkan atas betapa tak adilnya semesta padanya.

“Yeo, udah..” bunda, memeluknya dengan erat. Daksa Yeosang merosot menyentuh tanah.

“Bunda.. Uyo...”

“Yeo mau balikin mata Uyo bunda.. ayo bangunin Uyo..”

“Yeo nggak apa-apa kok nggak bisa lihat, yang penting Yeo sama Uyo bunda... ayo kita ke Uyo..”

Racauan Yeosang mengiris hati siapa saja yang mendengar. Wooyoung, telah memberikan seluruhnya untuk Yeosang. Memberikan seluruh warna untuknya.

Secarik kertas diselipkan bunda pada jemari Yeosang, yang ia yakin itu adalah surat dari Wooyoung. Kata demi kata, maaf demi maaf, Yeosang membaca dengan hati yang terberai.


Halo, sayang.

Disini, aku mau minta maaf sama kamu. Maaf, karena banyak banget rahasia yang aku tutupin selama ini. Maaf, karena aku akhirnya ngelakuin ini. Iya, aku sakit. Infeksi paru-paru, udah 3 tahun. Maaf Yeosang, aku nggak pernah cerita. Aku cuma takut, kamu sedih. Karena aku nggak mau ngeliat kamu sedih, kamu harus bahagia.

Dokter minggu lalu juga bilang, infeksi ini udah semakin parah. Yang bahkan, aku hirup oksigen secara bebas aja nggak bisa. Dokter bilang sama aku, kalau sebenernya paru-paruku udah nggak berfungsi dengan normal lagi.

Kamu inget nggak? Waktu kita ngedate di taman, yang kamu tanya kenapa ada suara roda? Aku bilang kalo aku bawa koper, kan? Maaf, aku bohong. Itu tabung oksigen aku. Pada akhirnya, I'm dying here. Tapi itu nggak penting, selama aku bisa lihat senyum dan ketawa kamu, sakitku jadi nggak ada rasanya.

Yeo, maaf. Aku nggak bisa nepatin janji terakhir aku, buat nemenin kamu liat dunia yang berwarna lagi. Aku nggak bisa nepatin janji aku, buat ngajak kamu liat aurora. Ohya, bulan ini ada pesta kembang api di taman deket rumah kamu. Aku udah masukin di reminder, biar kamu bisa dateng kesana hehe. Jangan lupa, ya?

Yeo, jangan sedih ya aku pergi? Soalnya kan aku nggak kemana-mana. Aku bakal terus sama kamu, lewat mata itu. Juga, aku udah nitip peluk dan cium ke bunda kamu. Diambil ya kalo lagi kangen? Hehe. Aku sayang banget sama kamu. Maaf kalo caranya gini, tapi aku pengen kamu bahagia. Aku pengen hidup kamu juga dihiasi sama warna, pelangi, dan kupu-kupu.

Udah dulu ya? Uyo pamit. Kalo kamu pengen ketemu aku, liat bintang di malam hari, aku mungkin ada disana. Jaga diri Yeo baik-baik, ya? Makasih atas cinta, dan memori indah selama ini. Makasih udah hadir di hidup Uyo dari kecil. Dan makasih udah jadi Yeosang yang kuat.

I love you more than love.


Bulir air mata tak henti mengaliri pipi hingga dagu. Yeosang sudah terlanjur hancur, tak lagi dapat bangkit sekeras apapun ia mencoba. Hampa, sebab sang bintang, telah pergi meninggalkan langitnya.

Buana Yeosang memang tak lagi monokrom, namun masih terlihat abu. Sebab, Yeosang telah kehilangan warna utama untuk semestanya.