Hanya Rindu.

Senja menjadi saksi, akan ukiran senyum indah pada dua insan yang bahagia. Jemari yang saling mengait, menandakan adanya rasa yang terjaga. Polesan tawa, menghangatkan apa yang mentari tak dapat.

“San, foto disini yuk?” Wooyoung melepas genggaman, berpindah pada polaroid yang menggantung di leher. San hanya mengangguk.

“Yey! Satu, dua, tiga,” Gelak tawa terdengar bersamaan dengan potret kamera. Sesekali terdengar, teriakan Wooyoung dan kekehan kecil San.

Masing-masing dari mereka, menyimpan satu potret diri di balik ponsel. Mengingatkan tentang rasa, dan sang pemiliknya.

“Woo, besok kita ke festival yuk?”

“Ayo! Aku pengen banget kesana, San!” Wooyoung terus menggenggam jemari San. Masih dengan heboh bercerita, tentang keinginannya pergi ke festival. Sang terkasih mendengar dengan hati yang penuh.

Netra San menelusuri tiap jengkal paras Wooyoung. Mengagumi dan bersyukur. Sebab, semesta menjatuhkan hati Wooyoung untuknya. Lelaki manis dengan surai hitam legam di sisinya, membuat San bersyukur dan bahagia.

“Jadi, besok Sani mau jemput Woo jam berapa?”

“Jam 7 malam ya?”


Wooyoung membuka lembar demi lembar diary yang berisi potret dirinya dengan San. Seulas senyum terpancar dari paras manisnya.

Ke festival dengan Sani, 7 malam

Sebuah pengingat memenuhi layar ponsel Wooyoung. Tak menghiraukan, jemarinya tetap menjelajahi buku diary di hadapannya.

“Wooyoung?” Seorang wanita berparas ayu mendekati Wooyoung. Pakaiannya sangat rapi, seperti hendak menghadiri acara resmi.

“Sudah siap?” Wooyoung menatap wanita itu cukup lama, sebelum akhirnya memberikan anggukan.

Sepanjang jalan, netra Wooyoung terus menatap langit senja. Goresan warna oranye bertemu dengan merah dan ungu, membuai Wooyoung. Membuatnya menulis beberapa frasa indah dalam sebuah kertas.

Langkah kaki Wooyoung menjadi berat. Ada goresan luka yang kembali terbuka, dan kepingan memori yang kembali. Rentetan potret kebahagiaannya dengan San mengambil alih sebagian memori Wooyoung.

Columbarium

Wooyoung masuk seorang diri. Dengan tongkat sebagai penyangga tubuh, Wooyoung tertatih. Digenggamnya sebuah surat indah, yang ditulisnya berdasar senja dan rasa.

Choi San

Wooyoung berdiri di depan lemari kaca sang terkasih. Di dalamnya, terdapat sebuah potret dirinya dengan San, tepat di hadapan vas abu San.

Tak banyak kata, Wooyoung memasukkan lembaran surat lalu duduk bersimpuh di hadapan San. Derai air mata telah membasahi paras manisnya. Wooyoung rindu. Luka kembali terbuka, rasa sakit kembali membelenggu hati.

Masih ada janji, yang harus ditepati. Masih ada hati, yang harus dijemput. Namun, semesta tak memberi satu kesempatan untuknya dapat merasa. Dunia lebih dulu memisahkan, sebelum dua insan dapat saling memahat kasih dengan paten.


Halo sani

Kamu inget nggak hari ini hari apa? Hehe. Setahun lalu, kamu janji mau ajak aku ke festival. Kamu janji malam ini mau jemput aku jam 7. Aku bahkan masih pasang alarmnya loh, Sani. Tapi, beneran udah nggak bisa, ya? Hehe. Sani, Woo kangen.

Semua ini salah Woo, ya? Kalau aja Woo nggak telpon Sani pagi itu, dan nyuruh Sani buat nyetirin Woo ke kampus, mungkin kita bisa ke festival. Maafin Woo ya, Sani? Tapi Woo udah dapet ganjarannya kok. Sekarang Woo nggak bisa denger, dan kaki Woo diamputasi. Harusnya Woo dapet ganjaran yang setimpal sama kaya Sani, ya?

Ohya, tadi, langit senjanya cantik banget. Woo jadi inget Sani, soalnya Sani sering ajak Woo jalan-jalan liat senja. Rasanya, aku pengen muter balik waktu. Biar aku bisa liat ketawanya Sani, dan bisa liat senja bareng Sani lagi. Aku pengen bilang sama Tuhan, buat balikin Sani sebentar aja.. Tapi nggak bisa ya?.. hehe.

Sani, kalau kamu tanya aku baik-baik aja atau enggak? Jawabanku bakal tetep sama, aku nggak baik. Sejak saat itu, aku nggak pernah jadi baik, Sani. Aku rindu. Rindu sekali. Tau nggak? Setiap hari aku selalu liatin foto kita. Berharap dunia yang aku jalanin cuma mimpi, dan saat aku bangun aku bisa ketemu Sani lagi..

Sani, jaga aku dari sana ya? Cintai aku dari sana. Sampai kita bertemu lagi ya, Sani. Wooyoung bakal sayang sama kamu, selamanya.

The one who loves you the most, your Woo.


Angin malam berhembus, menyapu surai hitam Wooyoung. Tepat pukul 7 malam, Wooyoung berdiri di tengah taman kota. Menggenggam potret dirinya dengan San, dan sebuah bucket bunga mawar putih.

“Sani, ayo ke festival.”

Tutur kata yang disampaikan lewat angin, berhembus menuju surga. San memandang Wooyoung dengan senyum manisnya.

“Ayo, Woo. Aku disini.”


vlessingtae, 2020.