Kita

Jemari Kaira tak henti menari di atas lembar putih buku diary yang sedari tadi ia genggam. Surai cokelatnya ia biarkan terjatuh, seolah melarang siapapun melihat paras cantiknya. Sudah hampir dua jam ia bertahan di duduknya, ditemani bisikan angin yang berhembus merdu.

“Ra,” seorang lelaki dengan surai hitam menepuk pundak Kaira, memintanya untuk sejenak berhenti.

“Ya, San?”

“Kamu nggak pegel apa?” Kaira terkekeh pada San -sang lelaki.

“Enggak, lagian ini bentar lagi selesai. Kenapa? Kamu bosen?” San mengangguk kecil, gemas.

“Yaudah, yuk jalan-jalan?” ujar Kaira, akhirnya. Tak tega melihat sang terkasih dirundung bosan.

“Eh? Tapi kan tulisan kamu belum selesai? Nanti kalo kamu lup-” San sejenak terhenti, lalu memandang gadisnya yang tersenyum tipis mendengar penuturan San.

“Lupa? Kan ada kamu yang jadi ingatan aku, San.”

“Yuk, ah.”

Jemari mereka bertautan, seolah enggan untuk melepaskan dan enggan untuk terpisah. Membelah dinginnya malam, dua insan merengkuh hangat hati satu sama lain.

Tawa dan senyuman lepas seolah menjadi tanda, bahwa ada rasa sakit yang keduanya pendam. Tak butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa keduanya sama-sama terluka.

“San, mau janji nggak sama aku?”

“Janji apa?”

“Janji buat selalu jadi ingatan aku.” Genggaman mereka terlepas, langkah mereka terhenti. Kaira menatap langit malam dengan sendu. Ia tak ingin melupakan.

“Janji buat selalu ada di samping aku. Janji buat selalu jadi San nya Kaira.” Lanjut sang gadis. San berdiri terpaku, hatinya mencelos. Ia tahu, bahwa sang gadis memendam lebih banyak rasa sakit dibanding dirinya.

“Ra..”

“San janji ya? Buat selalu ada di buku diary aku.”

Satu rengkuhan hangat membungkus tubuh dan hati sang gadis. Luka dua hati bertubruk menjadi satu, saling menimpa namun tak menyembuhkan.

“Ra, aku janji. Aku janji bakal jadi orang pertama yang bakal kamu liat di pagi hari, dan aku janji buat selalu jadi ingatan kamu. Aku janji, Kaira.”

Kaira tahu, tak mudah untuk menjadi San. Merelakan dirinya sejenak menjadi orang asing, dan harus memberikan afeksi lebih terhadap Kaira. Merelakan dirinya sejenak terlupakan.

Dan San tahu, tak mudah untuk menjadi Kaira. Memaksa memori lamanya kembali terputar, bak film yang di rewind. Memaksa, karena Kaira hanya akan mengingat satu tanggal yang sama, saat ia membuka mata.

Keduanya tahu, meski hati memiliki rasa, ingatan berkata sebaliknya. Jemari terkadang ingin meraih, namun terhempas oleh rasa takut dan tidak percaya. Keduanya, sejenak menjadi orang asing, setidaknya pada 10 menit pertama mereka bersua.

“Selamat pagi, Kaira.”

“Uh- siapa?”

“Aku San.”

“Maaf, aku nggak inget punya temen namanya San? Ohya, maaf, bisa keluar sebentar? Aku harus siap-siap ke sekolah. Hari ini pengumuman kelulusan aku.” San tersenyum kecut mendengar penuturan Kaira.

“Ra, sekarang tanggal 27 mei 2020, kamu udah lulus 4 tahun lalu. Coba buka deh, diary kamu.” Kaira tertegun, namun tetap melakukan apa yang San minta.

Perlahan, air matanya menetes. Ia tak ingat, tetapi melihat nama San tertulis begitu banyak di setiap lembarnya membuat hatinya mencelos. Tangisnya hari itu, bukan tanpa arti.

Kalimat itu, adalah yang ditulisnya kemarin. Ia tak ingat, namun San yang di hadapannya pasti adalah San yang sama yang ada di bukunya. Dan hari ini, adalah hari jadi mereka yang ke 3.

San, merengkuh hangat sang terkasih. Memori mungkin melupakan, namun hati tidak. San membawa hati keduanya bertemu, meraih rasa satu sama lain.

San akan terus mencintai. Meski setiap hari ia harus berkorban untuk terus menjelaskan siapa dia, dan apa arti kita dalam hidup San dan Kaira. San akan terus menjadi San nya Kaira. Meski ia tahu, bahwa mereka tak akan pernah menjadi sama.

Bahwa arti kita, akan terus terhapus pada saat Kaira membuka mata.