Weaving Through the Emotions
“Kana-chan!”
Gadis ayu bersurai kecoklatan tersebut menoleh, helaian rambutnya menari-nari anggun selaras denggan setiap semilir angin musim dingin yang berhembus, seakan mengeletik wajahnya. Seutas senyum kecil pun tersimpul di paras cantiknya. “Rikuo-kun!” sapanya balik kepada lelaki bersurai kecokelatan dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, membingkai sepasang netra dengan warna senada dengan rambutnya. “Maaf ya, kamu nunggu lama?” tanya Rikuo yang dibalas gelengan lembut dari Kana, “Engga kok,”
Batin sang puan bergemuruh dengan perasaan membuncah, entah mengapa walau dirinya hanya berjalan dan menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan sahabat masa kecilnya itu membuat hatinya seakan dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Apalagi mengingat tidak adanya presensi perempuan lain yang beberapa hari terakhir menganggu ketenangan hatinya, yang selalu ada dan menemani teman masa kecilnya itu. Tidak, tidak, Kana menggeleng dalam hati, tidak mungkin dirinya merasa cemburu, dirinya hanya merasa heran, selama beberapa tahun terakhir dirinya mengenal Rikuo, sahabatnya itu tidak pernah menceritakan apapun soal puan lain yang bernama Oikawa Tsurara tersebut, tetapi keintiman mereka membuat Kana entah mengapa merasa jengah, seakan sok kenal dan sok dekat.
Lamunan gadis itu seketika dibuyarkan saat dirinya merasakan genggaman hangat di pergelangan tangannya, yang seketika membuat wajahnya merona merah karena panasnya suhu tubuhnya-tidak mungkin bukan? pikirnya berkecamuk-tetapi, tanya dalam dirinya seketika dipecahkan oleh sepenggal kalimat dari lelaki yang menggenggam erat pergelangan tangannya dan mengajaknya untuk berlari, “Ayo Kana-chan! Sebelum hari semakin sore,” ujarnya Rikuo sembari tersenyum ke arah Kana. Senyum lebar yang begitu menghangatkan, entah mengapa dirinya seketika merasa berdebar. Apalagi presensi sinar teduh senja pelita di belakang Rikuo seakan menambah kesan 'romantis' di antara mereka. INI SEPERTI DI MANGA SHOJO YANG MAKI PINJAMKAN KEPADA DIRINYA! Guman Kana dalam hati. “A-ah! Iya,” balasnya sembari balik mengenggam tangan lelaki itu, entah kenapa membuat Rikuo pun sedikit terkejut. Namun, sang tuan tetap tersenyum kepada puan di hadapannya.
“Ara? Tsurara,”
Dara ayu bersurai hitam legam panjang dengan gradasi putih kebiruan itu nampak berjalan dengan sedikit enggan. Tangan yang selalu ia tutupi dengan kain kimono panjangnya itu ia bawa untuk menutup mulutnya, sementara sepasang netra keemasan dengan rongga cincin berulang itu menatap wanita dewasa bersurai ikal panjang yang diikat tinggi ke atas keheranan. Di sebelahnya, ada sosok wanita muda lainnya yang tengah duduk di atas tatami sembari memandangi pohon sakura dengan bunga yang bermekaran. Semilir angin musim semi memainkan kelopak merah muda tersebut, yang turun secara perlahan tanpa benci karena perbuatan sang angin, justru geraknya nampak anggun dan juga gemulai.
“Kejoro? Saya kira Wakana-san hanya memanggil saya...,” ujarnya sedikit keheranan, sedangkan puan dengan paras rupawan bernama Kejoro itu pun menampilkan raut sedikit kecewa, dengan tatapan mata sedikit sedih dan juga mulut yang memberengut kecil, “Ara, jadi kamu tidak mengharapkan kehadiranku?” godanya kepada gadis muda tersebut yang membuatnya seketika gelagapan. Sementara itu, wanita dengan surai pendek seleher itu pun terkekeh kecil akibat interaksi kedua gadis 'yokai' tersebut sebelum mempersilahkan Tsurara untuk duduk di sebelahnya.
Gadis berkimono putih dengan kulit seputih salju itu pun menurut, walaupun pikirnya diselimuti oleh kelamut tanya dan sangka. Kenapa ibu tuan mudanya itu memanggilnya? Apa dirinya akan dihukum karena mengabaikan perintah tuannya? Tanpa Tsurara sadari, dapat ia rasakan genggaman hangat yang menyelimuti kedua tangannya yang sedingin es di musim dingin tersebut. Membuatnya sedikit terkejut karena Wakana yang tiba-tiba mengenggam tangannya. “Tsurara-chan, kamu mau belajar merajut?” tanya wanita itu tiba-tiba. Itu bukanlah sebuah perintah, melainkan adalah tawaran, gadis muda itu pun menolehkan pandangannya ke arah Kejoro yang hanya tersenyum ke arahnya.
“Aku tidak tau apa yang terjadi pada Tsurara-chan, aku pikir mungkin dengan mengajari Tsurara-chan merajut akan membuat suasana hati Tsurara-chan membaik! Apalagi melihat Tsurara-chan yang suka mengenakan syal, jadi tidak ada salahnya kan untuk belajar merajut!” jelas Wakana, seakan mengerti kebingungan yang ada apa raut manis gadis muda di hadapannya.
“Ah lalu! Aku mengajak Kejoro juga agar kita bisa memiliki waktu bersama antar perempuan! Kalian tau, sebagian besar penghuni dan yokai di sini adalah laki-laki, jadi bukankah baik kalau perempuan bisa menghabiskan waktu bersama?”
Wakana masih mengenggam erat tangan Tsurara, senyum lebar dan penuh harap tersebut tentu saja merupakan salah satu kelemahan Tsurara, selain mana mungkin ia menolak ajakan dari ibu tuannya itu, siapa yang tega mengecewakan harap dari wanita yang ia anggap sebagai figur ibu juga di rumah ini. Tsurara pun tersenyum, membuat kedua matanya menyipit selayaknya bulan sabit, “Huum!” jawabnya, yang dibalas oleh tepuk tangan senang dari Wakana.
“Rikuo-kun, sebenarnya kita mencari apa?” tanya Kana, sembari berjalan beriringan di sebelah kanan Rikuo. Saat ini mereka sedang ada di plaza yang berlokasi di pusat kota Ukiyo. Terhitung sudah tiga toko yang Rikuo dan Kana kunjungi, tetapi Kana masih tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah dicari oleh lelaki itu. Meskipun demikian lelaki itu tetap bungkam, meskipun demikian pandangnya sibuk menelisik setiap toko yang mereka lalui. Hingga akhirnya sepasang netra hazel itu membulat penuh harap dan kegembiraan manakala mendapati salah satu butik yang khusus menjual syal untuk perempuan.
“Kana-chan, kamu keberatan tidak kalau kita mampir ke satu toko lagi?” tanya Rikuo. Namun sepertinya pertanyaan tersebut lebih ke sebuah pernyataan, karena lelaki itu sudah menarik kembali pergelangan tangannya, membawa mereka berdua masuk ke salah satu toko kecil yang menjual aksesoris perempuan, khususnya berbagai macam jenis syal yang terpajang di etalase. “Tu-tunggu, Rikuo-kun!”
Walaupun mulanya Kana nampak enggan, gadis itu tidak bisa membohongi dirinya betapa ia begitu takjub serta terkesima akan aksesoris yang dijual di toko tersebut. Syal-syal yang terpajang menampilkan berbagai macam warna, corak, dan motif yang nampak indah namun juga elegan. Bahannya pun sangat halus saat bersentuhan dengan kulitnya, dan juga tebal.
“Kana-chan?'
Gadis itu sedikit berjengit saat merasakan tepukan lembut dipundaknya, ditolehkan kepalanya yang mendapati Rikuo tengah tersenyum ke arahnya sembari membawa dua jenis syal berbeda warna. Tangan kanannya memegang syal berwarna merah muda yang sedikit pucat, dengan bordir berbentuk hati kecil di sisi kanan kirinya. Ujung syal tersebut pun nampak ada kain yang sengaja dijahit menjuntai, seakan menyisakan serut kain di setiap ujungnya. Sementara tangan kirinya, memegang syal berwarna biru langit dengan gradasi biru tua dan juga purtih, di setiap ujungnya ada bordir bunga sakura dan juga kelopaknya, yang dihiasi bordir snowflake tipis pada keseluruhan syal. Jujur saja, pilihan Kana akan jatuh pada syal berwarna merah muda, selain karena dia menyukai warna tersebut, syal biru itu sedikit mengingatkannya kepada gadis lain, di mana surai panjang legamnya berwarna serupa dengan syal yang dipegang rikuo pada tangan kirinya.
“Aku suka yang berwarna merah muda, lebih imut,” jelas Kana. Rikuo pun mengangguk setuju tetapi raut wajah teman masa kecilnya itu masih terlihat berpikir dan juga ragu, “Aku juga merasa begitu, yang pink ini manis. Tetapi yang biru ini... menurutku akan lebih cocok untuknya,” gumam Rikuo yang membuat Kana menautkan alis, untuk-nya? Siapa maksudnya?
“Ara? Apakah kamu sedang mencari kado untuk pacarmu?”
Suara lembut dan sedikit mendayu dari sang pelayat toko membuat baik Rikuo maupun Kana terkejut dibuatnya. Sementara itu, sang SPG hanya terkekeh kecil melihat reaksi dari sepasang sejoli remaja tersebut. “E-eh uhm... tidak... Anda salah paham,” kilah Kana dengan semburat merah muda di kedua sisi wajahnya, sang pelayan toko itu pun tidak bergeming, masih menampilkan seutas senyum lembutnya.
“A-ah i-iya, tidak seperti itu..., aku hanya mencari kado untuk seseorang..., tetapi karena aku tidak tau apa yang disukai perempuan jadi aku mengajak sahabatku...,”
Ouch, entah kenapa mendengar penjelasan Rikuo barusan seketika membuat hati Kana seakan terhantam sesuatu.
“Eh~? Saya kira Anda mencari kado untuk pacar Anda? Jadi gadis ini bukan pacar Anda?” tanya sang pelayan toko yang dibalas gelengan kompak oleh Rikuo dan Kana. Nampak tak acuh, sang SPG itu pun menepukkan kedua telapak tangannya, dengan senyum lembut yang masih terpatri di wajahnya, “Jadi, untuk siapa kadonya? Seperti apa orangnya? Mungkin saya bisa membantu~” jelasnya.
Mendengar pertanyaan sang pelayan toko, Kana sedikit melirik ke arah Rikuo dengan semburat merah muda samar di kedua sisi wajahnya. Sepasang manik matanya menangkap gelagat salah tingkah yang tak pernah dirinya temukan pada sosok sahabat masa kecilnya itu. Dari lubuk hati terdalamnya, Kana penasaran, seperti apa seseorang yang hendak dikado oleh sahabatnya itu.
Dengan malu-malu, dan juga rona merah muda tipis di kedua sisi wajah Rikuo yang ditutupi oleh kacamata bulatnya Rikuo pun mejelaskan. Bagaimana gadis itu memiliki kulit putih lembut selayaknya salju, meskipun demikian, senyum dan binar matanya begitu hangat seakan mampu melelehkan salju musim dingin yang panjang, dan menyambut musim semi yang hangat dan penuh suka cita. Gadis yang selalu bersemangat untuk mengerjakan apapun sepenuh hati, “Tapi sepertinya akhir-akhir ini aku membuatnya kesal..., jadi mungkin dengan membelikannya kado aku bisa membuatnya tersenyum lagi,” ujar Rikuo malu-malu.
Kana yang mendengar penjelasan panjang dari sahabatnya itu hanya bisa melengos, memegangi dadanya yang entah mengapa merasa sakit luar biasa. Bahkan berkali-kali menegarkan dirinya, bahwa itu bukanlah masalah besar. Meskipun demikian, di sisi lain, Kana juga penasaran, siapa puan yang berhasil mencuri hati sahabatnya, sehingga Rikuo mampu menceritakannya dengan penuh cinta dan juga kekaguman seperti itu?
“Ah? Apakah ini pacarmu?” tanya sang pelayan toko itu kembali, yang membuat Rikuo seketika langsung gelagapan. Pelayan toko itu pun terkekeh kecil melihat siswa SMP yang salah tingkah di hadapannya itu, “Kalau menurut saya, yang biru muda akan lebih cocok untuk gadis itu,”
“Ngomong-ngomong, musim dingin sebentar lagi berakhir, dan valentine pun masih lama, kenapa kamu memilih untuk mengadonya syal?” tanya sang pelayan toko, sembari menyiapkan belanjaan milik Rikuo, yang diminta untuk di kemas pada kotak kado berwarna putih dengan pita merah muda. “Karena dia sangat menyukai musim dingin,” jawabnya singkat sembari tersenyum, membuat sang pelayan toko itu terkekeh kecil. “Sebentar, sepertinya saya ada barang menarik untukmu,”
Tak selang lama, sang pelayan toko itu kembali dengan sebuah liontin dengan hiasan snowflakes yang sangat cantik, “Cantinya...,” gumam Kana tepat di sebelah Rikuo sembari melihat liontin tersebut, “Hahaha, sayangnya gadis-gadis jaman sekarang lebih menyukai kalung dengan hiasan bunga ataupun aksesoris imut dibandingkan ini, jika kamu tertarik saya akan memberikan potongan harga,” ujar sang pelayan tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya, membuat Kana terkekeh canggung, teknik marketing rupanya. Tetapi apa yang dikatakan sang pelayan toko itu ada benarnya juga, jika dirinya disuruh memilih ia akan memilih liontin dengan hiasan bunga atau aksesoris imut lainnya dibandingkan keping salju seperti itu. “Akan aku ambil,”
Pernyataan Rikuo tersebut sedikit membuyarkan lamunan Kana, gadis itu menoleh ke arah lelaki di sebelahnya yang menatap liontin tersebut dengan binar benuh harap dan juga suka cita. Tanpa sadar membuat Kana mengulum seutas senyum kecil, “Entah siapa yang diberikan kado oleh Rikuo-kun, sepertinya dia adalah orang yang sangat ia sayang,”
“Waaah~ Tsurara-chan! Kamu mahir sekali!” ujar Wakana bangga sembari menepuk kedua tangannya sebelum memeluk erat wanita salju di sebelahnya, seakan menghiraukan temperatur suhu gadis muda berkulit putih pucat yang begitu dingin selayaknya musim dingin. Sementara itu, gadis mungil bernama Tsurara itu terkekeh kecil sembari merentangkan sapu tangan yang berhasil dirinya rajut. Sapu tangan berwarna putih dengan hiasan bunga sakura dan juga cangkir sakazuki di bagian pojok kanan bawahnya. Kejoro yang melihatnya itu pun tersenyum jahil sembari memegangi dagunya dengan sebelah alis yang terangkat, “Apa ini buat Waka?” tanyanya jahil yang seketika sukses menciptakan semburat merah mudah di pipi pucat sang gadis musim dingin tersebut, “E-eh? Bukan!” kelaknya sebelum kemudian melipat saputangan tersebut, “Lagian..., saputangan ini tidak terlalu bagus untuk menjadi kado Rikuo-sama,” jelasnya sembari tersenyum simpul.
“Huum~? Kalau menurutku justru Rikuo akan sangat senang dengan hadiahmu itu! Apapun hadiahnya jika Tsurara-chan yang memberikannya, Rikuo pasti akan menerimanya dengan senang hati,” ujar sang ibunda dari tuannya tersebut yang semakin membuat Tsurara semakin salah tingkah dibuatnya. Angannya pun seketika semakin melayang tinggi, bagaimana jika Wakana memang sudah merestuinya dengan sang tuan muda?! Ta-tapi tuannya itu menyukai teman masa kecilnya, dan tidak seharusnya dirinya melebihi batasan antara master dan juga servant. “TIDAAAAAK,” ujar Tsurara tiba-tiba dengan wajah yang sudah semerah kepiting rebus, melihat hal tersebut Wakana dan Kejoro hanya bisa terkekeh kecil karenanya. Remaja yang tengah jatuh cinta memang usia lucu-lucunya.
“Nee, Tsurara, apakah kamu masih ngambek sama Rikuo-sama?” tanya Kejoro sembari mendekatkan dirinya di dekat kuping Tsurara, membisikkan sesuatu. Ekspresi berbinar Tsurara pun kembali menjadi kejengkelan sebelum terukir seutas senyum jahil di paras manis gadis es itu. “Nee, Kejoro, sepertinya aku punya ide menarik!” ujar Tsurara, dapat Kejoro rasakan aura gelap yang menguar dari gadis tersebut yang seketika membuatnya sukses meleguh ludah. Wanita dewasa dengan rambut ikal itu sepertinya memiliki firasat buruk, sementara itu, Wakana tampak tidak mengerti apapun.
“Nee~ Kejoro, bisakah aku meminta tolong kamu panggilkan Kubinashi-kun~?”
Dan sepertinya firasat Kejoro benar adanya.
“Terima kasih ya Kana-chan! Maaf sekali harus merepotkanmu sampai sore begini,”
Gadis bersurai cokelat itu menggelengkan kepalanya dengan anggun, semilir angin sore hari kota Ukiyo memainkan anak-anak rambutnya, sebelum jemari lentiknya ia bawa untuk menyibakan anak-anak rambutnya ke balik telinganya, “Uhm-hum! Bukan masalah Rikuo-kun,” jawabnya lembut, gadis itu pun mencondongkan tubuhnya ke arah Rikuo dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, “Nee, jadi apa aku boleh tau kado ini untuk siapa?” tanya sang puan penasaran yang seketika membuat Rikuo sedikit gelagapan karena salah tingkah. “E-eh?! Bukan buat siapa-siapa kok!” jawab Rikuo yang tentu tidak serta merta dipercayai oleh Kana begitu saja, gadis itu masih memandangnya penuh telisik. “Huum..., aku bakalan kecewa sih kalau Rikuo-kun punya pacar tapi ngga bilang-bilang aku,” ujar Kana sembari sedikit bercanda, membuat Rikuo menatapnya bingung yang seketika membuat gadis di hadapannya itu salah tingkah. “E-eh, jangan salah paham dulu! Bu-bukannya aku cemburu! Cuma, aku bakalan sedih karena Rikuo-kun merahasiakannya..., ta-tapi aku pasti akan selalu mendukungmu!” ujar gadis itu penuh keyakinan sebelum kemudian menggenggam erat tangan kanan milik Rikuo yang membuat lelaki itu sedikit terpejerat. Raut wajah terkejutnya itu seketika melembut, dibalasnya genggaman tangan teman masa kecilnya itu, “Heem! Terima kasih Kana-chan!”
Kana hanya tersenyum kecut, sepertinya Rikuo masih tidak mengerti maksudnya. Tetapi tidak apa, mereka juga masih 'kecil' mungkin Rikuo juga belum menyadari perasaannya yang seutuhnya dan sebagai teman baiknya tentu saja Kana akan mendukungnya! Tidak hanya itu, Kana harus ingat dirinya juga sudah punya pangeran berkuda putihnya, sang pemimpin yokai dengan rambut putih bergradasi hitam menjuntainya, dan tatapan matanya yang tajam dengan sepasang netra yang gemerlapnya layaknya kilap permata. Mengingat sosoknya pun seketika membuat Kana salah tingkah. “Kana-chan? Ada apa?” tanya Rikuo khawatir yang seketika mendekatkan dirinya untuk mengecek suhu tubuh gadis dihadapannya dengan menempelkan tangannya di kening gadis itu. Rona merah muda di sisi wajahnya pun semakin bersemu, membuat Kana cepat-cepat menarik dirinya, 'tenang Kana, tenang, kamu tidak perlu salah tingkah! Lagi pula kamu sudah ada orang yang kamu suka!' ujarnya pada diri sendiri meneguhkan hatinya.
“Aku tidak apa-apa Rikuo-kun!” jelas Kana berusaha meyakinkan, masih dengan semburat merah di wajahnya. “Nee..., ayo kita pulang, ini sudah semakin larut,” ajak sang puan. Rikuo pun mengangguk setuju, tepat saat dirinya hendak berjalan beriringan dengan sang gadis, dapat ia rasakan darahnya yang terasa mendidih, gawat, sosok yokainya sebentar lagi akan mengambil alih dan Kana tidak boleh mengetahuinya.
“Rikuo-kun?” tanya sang gadis khawatir, Rikuo hanya menggeleng kepala pelan dan tersenyum simpul, “Tidak apa-apa Kana-chan, ah iya apakah ngga apa-apa kalau misalnya kita pisah di sini?” tanya Rikuo yang seketika membuat Kana mengangkat sebelah alisnya bingung, “Kenapa?” tanya sang puan. “Aku baru ingat kalau kakekku ada titipan dan kalau misalnya kamu ikut takutnya kamu pulang makin kemalaman,” kilah Rikuo, berasalan. Belum sempat Kana menyanggah, Rikuo sudah menarik tangannya, “Udah dulu ya Kana-chan, maaf ya. Makasih udah nemenin aku hari ini, kamu hati-hati di jalan ya! Sampai ketemu besok di sekolah!” ujar Rikuo sembari tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Kana. Gadis itu pun dengan agak canggung meskipun demikian dirinya tetep berusaha memberikan senyum terbaiknya kepada sahabatnya itu. Mereka pun berpisah di persimpangan utama pusat toka Ukiyo, sepasang mata kecokelatan itu mengamati dengan seksama sosok punggung mungil Rikuo yang mulai hilang di kerumunan orang-orang. Kana pun membalikkan badannya. Namun, tepat sebelum ia melajukan kakinya, dirinya teringat akan sesuatu hal. Mungkin saja, jika dia meminta bantuan kepada Rikuo. “Rikuo-kun!”
Tepat saat Kana kembali menolehkan pandangannya sosok tersebut telah hilang dari pandangannya, menyisakan kelopak bunga sakura yang berguguran di langit senja pelita kota Ukiyo. Kana pun berbisik lirih, “Rikuo...kun...,”
“Anu Tsurara..., sampai kapan aku harus menunggu seperti ini...,” Kejoro yang melihat Kubinashi yang pasrah sembari memangku buntalan benang merah miliknya pun terkekeh kecil, sementara itu gadis yang bernama Tsurara itu pun tidak menghiraukannya, dara manis itu masih asik merajut dan menautkan benang demi benang berwarna merah menjadi sebuah syal yang sudah setengah jadi itu. “Kakiku kram...,” rengeh Kubinashi yang tidak diindahkan sama sekali oleh Tsurara.
Sejujurnya Kubinashi pun merasa sedikit nelangsa dengan nasibnya saat ini, karena ayolah bayangkan saat di mana Kubinashi, yang ditakuti akan benangnya yang mematikan, bahkan tak bisa terputus karena merupakan sumber ketakutannya itu justru berakhir seakan tak memiliki harga diri di hadapan yokai gadis salju tersebut, yang menjadikan benang berharganya sebagai alat rajut. Hal tersebut yang membuat Kubinashi mau tidak mau harus duduk menemani Tsurara hampir selama dua jam yang membuat kakinya mati rasa. “Ayolah Kubinashi, kamu laki-laki tidak usah banyak merengek karena hal sepele seperti ini, dan kamu yang bilang sendiri ingin meminta maaf? Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanya Tsurara tetapi tidak menatap Kubinashi sama sekali yang seketika membuat lelaki tanpa leher tersebut sedikit merinding karena nada bicara gadis yang selalu ceria itu terdengar sangat dingin dan juga ketus.
“Aku pulang,”
Baik Kubinashi, Kejoro, dan Tsurara pun hanya melirik sekilas saat mendengar suara khas komandan ketiga klan Nura di pintu depan tersebut. Tuan mudanya itu baru saja pulang. Sang ibunda yang tadi tengah asik bercengkrama bersama Tsurara dan juga Kejoro itu pun sudah pamit terlebih dahulu untuk menyiapkan makan malam, tak selang berapa lama setelah Kubinashi datang menghampirinya. Ah sedikit cerita, kenapa Kubinashi bisa berakhir mengenaskan seperti ini adalah karena perintah sang komandan utama, Nurarihyon, yang meminta tolong kepadanya untuk memanggilkan menantunya. Berakhir dengan dirinya yang bertemu dan Tsurara.
Tepat saat Wakana pergi, Kubinashi dapat merasakan tatapan tajam dan juga sinis dari Tsurasa yang sukses membuat bulu kuduknya meremang tak nyaman, seakan ada hembusan hawa dingin yang membelai tengkuknya.
“Nee.., Kubinashi, kamu masih ingat bukan kalau aku masih marah sama kamu?” dan Kubinasi pun meneguk ludahnya tak nyaman, seketika ia merasa tercekat dan tenggorokkannya kering “Tsu-Tsurara-chan..., kenapa kamu berkata seperti itu,” balasnya sembari tersenyum canggung, hanya bibir sebelah kirinya yang terangkat. “Aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin bisa membuatku memaafkanmu, apa aku boleh pinjam kekuatanmu?“
Dan siapa sangka permintaannya akan berakhir seperti ini, dengan Tsurara yang merajut syal dengan 'ketakutan' miliknya. “Ah! Tsurara! Sepertinya waka sudah kembali akan lebih baik kalau-!” ucapannya tertahan karena Tsurara yang sudah mencengkram syal hitam milik Kubinashi sembari tersenyum. Namun, bukan senyum penuh kehangatan dan ramah tamah yang biasanya ditunjukkan oleh sang gadis musim dingin tersebut, melainkan senyum 'dingin' mematikan yang membuat siapapun melihatnya merasa tak nyaman dan merinding. “Nee, Kubinashi, kalau kamu pergi syal ini tidak bisa jadi kan?” ucapnya sembari mendekat ke arah Kubinashi, “Kan~?” ujarnya masih dengan tersenyum, membuat Kubinashi berkeringat dingin. Lelaki bersurai pirang tersebut menoleh ke arah Kejoro yang hanya mengedikkan bahunya tak mau tau dan terlibat, “Aku akan membantu Wakana-san menyiapkan makan malam untuk Rikuo-sama,” ujar wanita dewasa dengan surai ikal lebat tersebut, meninggalkan Kubinashi yang mau tidak mau menjadi tumbal Tsurara.
“Kejoro? Mana Tsurara?” tanya Rikuo tepat setelah ia menghabiskan makan malamnya, sang pelayan wanita itu pun membereskan sisa makan tuannya, “Ah? Dia sedang di halaman belakang bersama Kubinashi,” ujarnya sembari membereskan mangkuk, sumpit, gelas, dan meletakkannya pada tatakan yang ia bawa. “Tuan hari ini pulang terlambat, apa ada masalah?” tanya pelayan wanita yang sudah Rikuo anggap layaknya seorang figur kakak itu.
Yokai lelaki muda itu menggeleng, mata semerah darahnya itu menatap tajam ke arah luar seakan menerawang jauh ke sesuatu yang mungkin saja Kejoro tau penyebabnya apa. Keresahan tuannya begitu kentara, membuat Kejoro terkekeh kecil, “Hey Kejoro, apa yang dilakukan Tsurara bersama Kubinashi? Apa mereka berdua?” tanya Rikuo tiba-tiba membuat Kejoro sedikit terkejut sembari menaikkan sebelah alisnya. Tanpa sadar ia pun tersenyum samar, “Jika Tuan penasaran, Tuan bisa mengeceknya sendiri,” jelas Kejoro, “Saya pamit undur diri dulu tuan,” ujar Kejoro sembari merapikan sisa makanan Rikuo yang dibalas anggukan pelan sang tuan, tanpa menghiraukan sosok yokai wanita dewasa tersebut yang tengah terkekeh kecil.
“AKHIRNYAAAA!” pekik Tsurara girang sembari merentangkan syal merahnya yang telah jadi, membuat Kubinashi pun akhirnya dapat bernafas lega, paling tidak syal itu jadi, menjadi bayaran setimpal bagi kakinya yang sudah mati rasa. Ah, jangan lupakan juga senyum Tsurara yang merekah layaknya bunga sakura di musim semi setelah musim dingin yang panjang. “Hehe terima kasih ya Kubinashi! Maaf sudah merepotkanmu!” ujar Tsurara masih dengan senyumnya, matanya menghilang, menyipit layaknya bulan sabit dengan semburat merah muda penuh suka cita di kedua sisi wajahnya.
“Aku turut senang Tsurara, kalau gitu apakah boleh aku pergi sekarang? Kejoro mungkin memerlukan bantuanku,” dan Tsurara pun mengangguk, tepat saat Kubinashi hendak bangkit berdiri, lelaki itu seketika limbung, membuat Tsurara sedikit terkejut dan berusaha untuk membopoh tubuhnya, mereka berdua pun tertawa bersama, “Sepertinya kakiku beneran mati rasa,” ujar Kubinashi sembari sedikit bercanda membuat Tsurara seketika melotot, “Serius? Selama itu?!”
“Ah? Kubinashi? Aku kira selama ini kamu ada rasa sama Kejoro,” seketika kedua insan yokai tersebut berjengit kaget saat mendengar suara serak dan dalam pemimpin mereka, “Rikuo-sama?!” balas Kubinashi terkejut, seakan tertangkap basah tengah 'berselingkuh' sementara itu Tsurara hanya menutup mulutnya dengan ujung kain kimononya, melirik sekilas ke arah Kubinashi dan tuannya itu secara bergantian. “A-anda salah paham, saya sama Tsurara hanya-,” belum sempat Kubinashi menjelaskan Rikuo sudah memotong ucapan lelaki tersebut dan berkata, “Kembalilah, aku ingin bicara berdua dengan Tsurara,” dan tanpa babibu Kubinashi pun membungkukkan badannya patuh sebelum kemudian berlalu, walau dengan rasa 'kesemutan' di kakinya yang masih belum hilang, melihat Kubinashi yang tertatih saat berjalan Tsurara pun memanggil sosok yokai laki-laki tanpa leher tersebut, “Nee, Kubinashi, sebagai permintaan maaf kamu nanti bisa menghampiriku untuk aku obati,” jelas Tsurara yang dibalas ucapan terima kasih dari sosok Kubinashi yang berlalu, membiarkan tuannya dengan sang Yuki Onna.
Malam itu, hanya tinggal Tsurara dan juga Rikuo dalam wujud yokainya di pekarangan belakang klan Nura, sinar teranam dari bulan purnama membiasi langit, dan menciptakan refleksi sedikit redup kekuningan dari pantulannya pada permukaan kolam yang ada di sana, di satu sisi, membuat kulit porselen sang yokai wanita semakin bercahaya karenanya. Tsurara adalah yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka dengan membungkuk hormat kepada tuannya, “Selamat malam Rikuo-sama,”
“Ya, Tsurara,” keheningan kembali menyeruak di antara mereka. Sebenarnya, rasa jengkel Tsurara kepada tuannya itu sudah sedikit menghilang, karena dirinya berhasil merajut syal tetapi mengingat Rikuo yang pulang terlambat karena 'pergi bersama Kana' seketika membuatnya kembali jengkel, ah tapi apa pedulinya, toh dia juga yang menolak ajakan tuannya dan memang tuannya ini kurang mawas diri. AH SEMAKIN MEMBUAT TSURARA KESAL, tanpa sadar gadis itu mendecih sembari mengerlingkan matanya, raut tak senang dari gadis itu tentu saja tertangkap oleh sang tuan. “Tsurara? Kamu marah?”
Pengen rasanya Tsurara balas pikir saja sendiri, tetapi mengingat bahwa lelaki di hadapannya ini adalah tuannya tentu saja dia tidak bisa seperti itu bukan?
“Tidak, saya senang melihat tuan kembali dengan selamat, jika tidak ada yang dibicarakan maka saya pamit undur diri untuk beristirahat,” ujar sang puan, meminta izin untuk undur diri. Tetapi belum sempat Tsurara pergi dapat Tsurara rasakan genggaman hangat dari yokai lelaki di hadapannya itu, yang perlahan membalut dan menggandeng tangan kanannya, “Rikuo-sama...?”
“Tsurara, kamu belum jawab pertanyaanku,” dan itu adalah sebuah perintah yang membuat Tsurara menghela nafas berat. Gadis itu pun berbalik, masih membiarkan Rikuo menggandeng tangannya sementara tangan kirinya ia letakkan di pinggangnya, berdecak sembari menatap Rikuo dengan sebelah alis terangkat, “Kadang aku takjub loh sama waka, terkadang waka bisa sangat teliti tapi di satu sisi juga bisa sangat tidak peka,” ujar Tsurara yang membuat Rikuo sedikit terperajat, apakah itu pujian? “Oke...? Terima kasih?” ah rasanya membuat Tsurara ingin memijat pelipisnya, benar-benar tuannya ini.
“Aku kesel dan juga gemes sama Rikuo-sama, tetapi yah itulah Rikuo-sama yang aku sukai,”
“Eh?” dan tentu saja Rikuo tidak menyangka pernyataan mendadak dari bawahannya tersebut, meskipun demikian ekspresi kesal sang puan sudah berganti dengan senyum lembut yang biasa ditunjukkan sang puan kepadanya. Rikuo yang masih terpaku layaknya patung batu pada posisinya itu bahkan tidak menyadari Tsurara yang telah melepaskan gandengan tangan mereka.
Sepasang netra semerah delima itu menatap tajam sosok mungil di hadapannya yang masih tersenyum lembut sembari memasangkan syal merah kepadanya. “Lain kali, jika ada rencana, Rikuo-sama bisa mendiskusikannya dengan kita terlebih dahulu, dan jangan melibatkan diri ke dalam bahaya melulu, bukankah itu tugas kita sebagai Hyakki Yakou dari Rikuo-sama untuk melindungi Anda?” ujar Tsurara sembari merapikan syal merah tersebut.
“Nah! Sudah! Dengan begini juga tuan tidak perlu kedinginan!” ujar sang puan riang sembari menepuk-nepuk syal merah tersebut. Senyuman yang beberapa hari terakhir tidak Rikuo lihat dan entah kenapa setelah melihatnya kembali, ada semacam kerinduan yang membuncah dan juga perasaan suka cita karenanya. “Kalau gitu saya pamit undur diri ya Rikuo-sama, sudah larut, jangan tidur terlalu malam,” ujar Tsurara, mengingatkan sembari kembali berdecak pinggang dan mencondongkan tubuhnya ke arah Rikuo dengan raut wajah serius. Membuat Rikuo sedikit terkejut karenanya.
Tsurara pun kembali tersenyum dan berlalu begitu saja, meninggalkan Rikuo yang termangu dalam posisinya, meskipun melupakan fakta bahwa harusnya dirinya lah yang meminta maaf dan menyerahkan kado kepada Tsurara, bukan sebaliknya. Tetapi, tingkah Tsurara tersebut sukses membuatnya terkekeh, semburat merah muda tipis pun terlihat di wajah tampan yokai muda tersebut yang berusaha menutupi wajahnya dengan syal merah yang baru saja dikenakan oleh sang gadis musim dingin kepadanya.
Benar-benar gadis yang tidak bisa ditebak