komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Gadis bersurai pendek berwarna merah muda tersebut mendecih pelan manakala sendari tadi ponselnya menunjukkan notifikasi telepon dari nomor asing yang ia biarkan selama kurang lebih tiga panggilan tidak terjawab.

Dan kesabarannya pun seketika habis pada dering panggilan masuk keempat pada ponsel, dengan emosi memuncak ia ambil ponsel miliknya sebelum menghela nafas berat sembari memberengut tidak suka.

Selamat siang, apakah benar ini atas nama Shirofuku Yukie

“Selamat siang, benar dengan saya pribadi, ada kepentingan apa?”

Terbiasa menghadapi telepon tiba-tiba dari atasannya maka Yukie pun juga telah cukup terbiasa mengatur nada bicaranya walau dirinya sedang di landa rasa kesal. Ini yang ia sebut sebagai pendewasaan dan skill yang harus ia cantumkan dalam sebuah CV jika dirinya berencana untuk resign yang tidak mungkin ia lakukan tentunya.

Ini ada Go-Food atas nama kak Yukie, daritadi saya hubungin ga bisa-bisa ini saya udah muter-muter sama nunggu di depan

Yukie pun seketika mengerutkan kenjngnya, GoFood? GoFood apaan? Dia tidak merasa memesan jasa delivery makanan. Tetapi saat sang driver menyebutkan alamatnya maka semua hal tersebut benar. Apakah ini bentuk penipuan baru, tapi dia sudah memastikan seluruh riwayat dan data pribadinya aman, dirinya pun tidak pernah terjerat pinjol.

Dilanda perasaan penuh kebingungan dan juga khawatir dengan segera gadis itu pun mengambil cardigan rajutnya dari cantelan bajunya, sebelum buru-buru menuruni anak tangga rumahnya. Dirinya ingin memastikan sendiri, jikalau memang benar ada bentuk penipuan baru.

Gadis itu pun membuka gerbang rumahnya sebelum dikejutkan dengan penampakan sosok kekasihnya yang duduk di jok penumpang GoJek dengan helm hijau gonjreng dan tersenyum lebar ke arahnya, “Hai! GoFood atas nama Shirofuku Yukie sudah tiba!” serunya dengan senyum sumringah.

“Motoya?!” ujarnya tidak percaya, Yukie pun buru-buru merapikan cardigannya sebelum kemudian mengambil boks sushi yang di bawa lelaki itu untuk memudahkan kekasihnya turun dari motor dan melepaskan helmnya.

“Makasih ya pak! Tipnya nanti saya via e-wallet aja ya!”

“Jangan lupa bintang limanya ya mas!”

“Amaaaan”

Abang gojek itu pun pamit, meninggalkan dua sejoli yang baru saja dipertemukan setelah kurang lebih satu minggu menjalin hubungan LDR, dan Yukie masih membelalakkan matanya tidak percaya akan presensi kekasihnya itu.

“Katanya baru pulang besok…,” protesnya yang dibalas kekehan kecil dari Komori, “Bercanda, sama buat surprise kamu,”

“Bercandanya ga lucu!”

“Iya iya maaf,”

Lelaki bersurai cokat itu pun memeluk kekasihnya sebelum kemudian Yukie mempersilahkannya masuk. Seperti telah terbiasa mengunjungi rumah sang pujaan hati, Komori pun menutup pintu pagar rumah Yukie sembari mengekori gadisnya dari belakang.

“Surprise sekalian ganti janji aku karena kapan hari kita batal sushi date, eh tapi kamu masih mood makan sushi ngga? Gegara kejadian influencer itu, kalau ga mood ganti yang lain gapapa. Mau apa? Pizza? Pasta?”

Sementara sang kekasih masih mengoceh rancu, Yukie menyiapkan piring, sumpit, kecap asin untuk mereka di meja makan sembari menghidangkan sushi yang Komori bawa.

“Aku ga masalah kok makan apapun itu, selama sama kamu,”

———

“Oke kita hitung ya?!”

“Bentar-bentar angle-ku di kanan,”

“HADUUUH CAKEP-CAKEP,”

“Udah beluum?!”

“UDAAAAAH!”

Komori yang tengah berdiri sembari memegang ponsel milik Iizuna itu pun memberikan aba-aba kepada ketiga seniornya di Itachiyama yang saat ini telah selesai melangsungkan upcara kelulusan mereka.

Kelopak merah muda bunga sakura itu pun berguguran tertiup angin, musim semi yelah tiba, dan tak terasa tiga bulan telah berlalu dari Spring High Tournament tahun terakhir bagi Iizuna dan teman-temannya itu.

Lapangan outdoor SMA Itachiyama itu dipenuhi seruan kegembiraan dan juga haru, seakan senada dengan nuansa merah muda yang membuat suasana hari ini terkesan ‘romantis’ dan juga nostaljik untuk dikenang.

Dan dari balik kamera ponsel milik Iizuna yang berada di tangannya itu Komori pun memberi aba-aba dengan jemarinya, menghitung mundur dari angka tiga hingga satu.

“TAHUN INI KITA LULUUUUUS,”

Video yang ia rekam itu berakhir dengan seruan berbahagia dari ketiga seniornya yang kemudian saling merangkul dan melambaikan tangannya ke arah kamera. Bersorak penuh suka cita.

Komori pun mengembalikan ponsel milik Iizuna kepada sang pemiliknya, ketiga seniornya itu pun melihat dengan penuh penasaran dan juga berdebar melihat hasil video mereka sebelum tersenyum bangga akan hasil yang ada.

“Lucu banget ya hasilnya,”

“Mana Iizuna-nya di tengah lagi udah kayak waktu dia cedera kapan hari,”

“HEH DILARANG NGE-JINX,”

Dan mereka pun kembali tertawa, Komori yang melihatnya pun yanya tersenyum simpul, sedikit undur diri membiarkan ketiga seniornya menikmati momen kebersamaan mereka. Walau bukan yang terakhir, tetapi tidak ada yang tau setelah lulus apakah mereka akan masih bisa sering bertemu dan bersendagurau seperti ini lagi atau tidak.

Dan saat Komori memalingkan pandangannya kedua manik kebiruannya itu menbukat sempurna saat mendapati figur familiar sepupunya yang tinggi menjulang dan terlihat celingukan kebingungan.

“Kak Iizuna! Aku pergi dulu sebentar ya!” pamit Komori begitu cepat berlalu sebelum sempat Iizuna jawab. Dengan buru-buru lelaki bersurai coklat itu ‘menyelinap’ di antara sela-sela lautan manusia untuk menghampiri sepupunya itu.

“SAKUSA!”

Sang pemilik nama itu pun menoleh tepat saat mendengar suara familiar Komori memanggil namanya. Dengan nafas tersengal Komori terengah-engah di hadapan sepupunya itu.

“Kamu kok di sini?” tanya Sakusa yang justru seharusnya itu menjadi pertanyaan Komori, “yang ada KAMU kok DI SINI?!” balas Komori sedikit kesal maupun jengah.

“Kak Iizuna lulus,”

Jawaban lugas khas milik Sakusa yang tentu membuat Komori tak terkejut sama sekali. Dirinya lebih terkejut bahwa fakta Sakusa membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan manusia yang saling tumpah ruah dan asing baginya.

Perhatian Komori kemudian teralih pada sebuket bunga matahari yang dipadukan dengan beberapa bunga hydrangea berbagai warna, didominasi oleh warna biru, ungu, dan juga merah muda. Begitu kontras dengan bunga matahari yang kuning kenyala pada bagian tengahnya.

Komori pun kemudian tersenyum jahil sembari menatap sepupunya itu, “Buat siapa itu? Punya pacar ya kamu?” godanya yang membuat Sakusa menatap tidak senang dengan sebelah alis terangkat.

“Ngaco, buat kak Iizuna ini,”

Dan Komori kembali terkejut, membuat Sakusa pun cepat-cepat menepus berbagai macam pertanyan Komori yang berbondong-bondong layaknya gerbong kereta api.

“HAH?! Ka-kamu?! Kak Iizuna?! Pacaran??? SEJAK KAPAN?!?!

“Udah stop, Komori stop, jangan berasumsi aneh-aneh. Aku sama kak Iizuna ga ada apa-apa jadi jangan nyebar gosip,”

“Tapi kenapa?”

Dan Sakusa pun kembali menatap Komori bingung, kenapa tanyanya. Memangnya salah jika dia ingin, hanya sebatas ingin berkunjung mendatangi momen membahagiakan seniornya itu sembari memberi hadiah?

“Aku cuma mau ketemu kak Iizuna, di mana dia?”

Komori tidak membantang ataupun menyangkal. Senyuman menyebalkannya itu seketika terganti dengan seutas senyum tulus yang tanpa sadar membuat kedua sisi pipinya terangkat.

Oh Iizuna Tsukasa dan kemampuannya membuat Sakusa Kiyoomi melakukan hal-hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Kak Iizuna ada di sana, lagi foto-foto kamu bisa aja ke sana nanti langsung keliatan kok,” jelasnya sembari menunjuk di mana lokasi Iizuna berada.

Dengan tinggi badannya itu, merupakan sebuah keuntungan bagi Sakusa, dirinya dapat dengan mudah mendapati sosok Iizuna yang tengah bersenda gurau dan tertawa bersama teman-teman lainnya.

Entah mengapa degup jantung Sakusa jadi tak menentu. Tetapi, ia ambil nafas panjang untuk dapat menenangkan diri sebelum membawa langkah kakinya menuju Iizuna.

———

“Kak Iizuna,”

Lelaki bersurai hijau itu sedikit terkejut mendapat Sakusa dengan badan jangkungnya berdiri di antara kerumuman orang. Ia pun berpamitan sejenak kepada teman-temannya sebelum menyusul ke arah lelaki tersebut.

“Hati-hati kak, cideranya nanti kenapa-kenapa,” ujar Sakusa sembari membentangkan tangannya untuk menjaga keseimbangan tubuh Iizuna. Lelaki itu hanya tertawa lebar sembari memamerkan deretan gigi putihnya, “Gapapa dong kan ada kamu yang bakalan bantuin!” ujarnya bercanda membuat Sakusa menghela mafas pelan namun seutas senyum kecil terpatri di wajahnya.

“Rame nih, mau minggir dulu? Kayaknya kamu mau ngobrol sama aku,” tanpa mengutarakan maksudnya Iizuna sudah dapat menebaknya dengan akurat. Sakusa pun mengangguk dan mengikuti kemana Iizuna menuju, mencari salah satu sudut dengan bangku taman yang cukup sepi dari lautan manusia.

———

“Aku kaget loh kamu mau repot-repot dateng, tapi makasih ya,” celetuk Iizuna tepat setelah mereka mendudukkan diri di bangku taman. Dari tempat mereka duduk saat ini mereka dapat melihat kerumuman orang-orang yang dilanda kebahagiaan dan juga sedikit haru—enggan melepaskan sang senior tercinta ataupun kegiatan ramah tamah lainnya.

“Komori tadi juga bilang dia kaget liat aku di sini,”

“Ya siapa yang gak kaget coba?”

“Memangnya ada yang salah?”

Iizuna tidak langsung menjawab, dirinya telihat sedikit berpikir untuk sejenak. Menerka bagaimana cara ia menjawabnya agar Sakusa dapat memahaminya tanpa merasa tersinggung sedikit pun. Lelaki itu seringkali menelan sesuatu mentah-mentah dan secara literal.

“Ya, kayak bukan kamu aja,”

“Emang aku yang biasanya gimana?”

Iizuna pun meregangkan tangannya ke atas, sedikit pegal sebelum kemudian merilekskan posisi duduknya dengan bersandar di bangku taman. Sementara itu Sakusa pun menoleh ke arah Iizuna yang nampaknya enggan untuk menatap ke arahnya.

“Kamu yang biasanya ga mungkin mau ke luar ke tempat dengan banyak orang kayak gini, apalagi cuma buat ngasih kado benar?” tanya Iizuna balik yang akhirnya menolehkan dirinya ke arah Sakusa sembari tersenyum kecil, dan Sakusa pun membuang muka.

Tidak salah, tapi bukan itu alasannya. Alih-alih marah, dari posisinya Iizuna dapat melihat kedua sudut telinga Sakusa sedikit memerah, entah karena apa.

“Aku ga masalah akan hal itu, aku ngga pernah keberatan untuk berada di keramaian,” kilahnya

“Kalau itu merepotkanmu kamu tidak perlu membebankan dirimu, tapi aku menghargainya, terimakasih Sakusa,”

“Bukan begitu maksudku,”

Iizuna sedikit memiringkan kepalanya untuk menatap Sakusa yang masih enggan melihat ke arahnya. Justru membuat Iizuna semakin ingin melihat wajah juniornya itu yang semakin keukeuh untuk memalingkan wajahnya.

“Kalau begitu, bisa ngga jelasin maksudnya ke aku?”

Itu adalah sebuah permintaan, dan bagi Sakusa, apapun pinta Iizuna maka ia akan menurutinya. Entah mengapa selayaknya sebuah mantra tersendiri yang menghipnotisnya.

Sakusa pun menolehkan kepalanya untuk menatap ke arah Iizuna, wajah mereka begitu dekat yang mungkin juka Komori melihatnya tak akan percaya Sakusa akan membiarkan seseorang memiliki kedekatan seperti ini dengan dirinya.

“Aku memang ga suka keramaian, aku memilih untuk berada di rumah dibanding pergi ke suatu tempat dengan hiruk pikuk manusia,”

“Tapi, kalau sama kak Iizuna, atau demi kak Iizuna, aku ngga terlalu mempermasalahkannya,”

Iizuna pun membelalakan matanya sebelum kemudian berkedip berulang kali, tunggu, maksudnya apa? Kenapa?

Dan yang pertanyaan terakhir itu pun itu tanpa sadar ia lontarkan dengan lirih.

“Aku juga ngga tau kenapa, tapi yang jelas, karena aku ingin. Aku ingin ada di saat kak Iizuna senang, aku ingin jadi satu-satunya tempat kak Iizuna nertumpu ketika sedih, dan aku ingin ada di sekitar kak Iizuna. Aku ngga masalah, asalkan bersama kak Iizuna,”

Dan sekarang gantian, Iizuna yang terbuat terperangah dan salah tingkah akan ucapan Sakusa barusan, ia pun menarik diri menyadari wajah mereka yang terlalu dekat sebelum kemudian menggaruk pipinya kikuk.

“Terima kasih…, uhm… karena telah perhatian kepadaku,”

“Aku ngga perhatian, aku ngga pernah khawatir sama kak Iizuna,”

Dan Iizuna masih tidak paham akan pola pikir, tingkah laku, dan perkataan Sakusa yang seakan saling kontradiktif satu sama lain.

“Karena aku percaya sama kak Iizuna, aku cuma ingin sama kak Iizuna,”

Sakusa pun menyerahkan sebuket bunga yang ia persiapkan untuk lelaki itu. Masih segar dengan pilihan warna cerah dan juga kontras. Meski begitu paduan warna biru, merah muda, dan ungu yang digabungkan dengan warna cerah bunga matahari membuat buket tersebut nampak serasi bamun juga lembut dipandang mata.

“Buat kak Iizuna, setelah kak Iizuna lulus, apakah aku masih boleh menghubungi dan pergi bersama kak Iizuna?”

———

———

Tidak pernah dibayangkan dalam benak Iizuna bahwa dia akan memiliki first date dengan salah seorang adik crush yang mungkin sudah ia taksir sejak semester kedua tahun kedua sekolahnya. Tidak pernah terpikir oleh Iizuna bahwa pada akhirnya ia akan melakukan first date di sebuah RUMAH SAKIT. Tolong untuk digarisbawahi, ditebali, atau apalah itu agar seluruh semesta tau bahwa ia akan melangsungkan first date dengan pujaan hatinya di RUMAH SAKIT.

Blessing in disguise sepertinya, Iizuna ingin bersyukur namun juga merasa nelangsa di sisi lain.

“Kamu ga usah ikut masuk ke poli deh Sak,” saran Iizuna yang dibalas tatapan penuh tanya oleh sang adik kelas, “Kenapa?”

KENAPA TANYANYA

“Ya gapapa sih, cuma ngapain juga kamu ikut masuk? Cuma konsultasi ke dokter perkembangannya gimana kok,”

“Ya gapapa, aku cuma mau nemenin kak Iizuna, nanti aku diem aja gapapa,”

YA TERUS KALO DIEM DOANG NGAPAIN???

Sabar Iizuna, orang sabar disayang Tuhan.

Namun, belum sempat Iizuna membantah Sakusa sudah meneruskan maksud ucapannya, “Aku juga mau tau kondisi kak Iizuna gimana,”

???

“Makasih loh sudah khawatir??” balasnya sangsi dan tentu saja Iizuna sudah tau balasan yang akan dilontarkan Sakusa, “Aku gak khawatir,”

Dan Iizuna pun tidak terlalu mengambil pusing, membiarkan presensi lelaki itu mengekorinya hingga masuk ke dalam ruang poli. Benar saja, di sana, selama kurang lebih lima belas hungga tiga puluh menit sesi konsultasi Sakusa hanya diam memperhatikan.

“Langsung ke fisioterapis aja ya habis itu… uh… maaf Iizuna, tapi… dia ini kerabat atau?” tanya sang dokter tiba-tiba, Iizuna pun menghela nafas pelan, “Iya, adik sepupu saya,” jelasnya, bohong.

Sang dokter pun mengangguk paham, kedua remaja lelaki itu pun membungkuk sopan untuk undur diri.

“Kenapa pakai bohong aja segala kak?” tanya Sakusa dalam perjalanan mereka menuju ruang fisioterapis.

“Menurutmu aja, masuk akal ngga kalo aku bilang adik kelasku pengen ikut?” jelasnya sedikit sinis, ah dan Sakusa pun baru menyadarinya sekarang, “Iya aneh,”

NAH ITU TAU

“Tapi waktu kemarin kak Daishou, kak Kuroo, sama kak Bokuto nemenin kak Iizuna mereka gimana?” tanya Sakusa lagi.

“Nunggu di luar, ga aku bolehin mereka masuk karena nanti ngerusuh,”

Sakusa pun mengangguk paham, hehe, dirinya sedikit bangga, sedikit saja, karena paling tidak Iizuna membolehkannya untuk ikut masuk menemani Iizuna untuk periksa.

“Oh iya, gimana, kamu mau ikut masuk ke ruang terapi atau nunggu di luar? Ini bakalan agak lama sih, satu jam mungkin,”

“Aku mau sama kak Iizuna aja,”

Iizuna kembali menghela nafas berat, benar saja, layaknya seekor anak itik yang mengekori induk benek Sakusa pun mengikuti ke mana pun Iizuna pergi. Sesekali lelaki itu bertanya biasanya apa yang dilakukan Iizuna selama di rumah sakit, dan mengenai beberapa hal terkait fasilitas rumah sakit yang ada.

Sungguh, Iizuna tidak habis pikir, sepertinya lelaki itu memang memiliki ketertarikan akan rumah sakit. Rasa ingin taunya begitu besar.

“Atas nama Iizuna Tsukasa?”

Salah seorang perawat keluar dari ruang fisioterapi sembari memanggil namanya. Dengan bantuan Sakusa, ia pun bangkit dari kursi ruang tunggu.

———

Jika boleh jujur, Iizuna paling membenci sesi terapi bersama fisioterapis, karena itu benar-benar menyiksanya. Sedikit hiperbolis memang, tapi itulah adanya. Walau dokter spesialisnya sudah mengatakan bahwa kondisi otot tendonnya sudah berangsur membaik tetapi tetap saja, masih cukup lemah untuk menopang berat badannya. Untuk jalan saja dia kewalahan dan berkeringat sebesar biji jagung! Lebih parah dibanding latihan voli ia biasanya!

Sakit, nyeri, semuanya campur aduk menjadi satu.

Jika seperti ini sering kali membuat Iizuna berpikir, apa mungkin, mimpinya menjadi seorang atlet professional kandas sampai di sini bahkan di saat ia belum mewujudkannya? Dan fakta tersebut semakin menyakitkannya, membuatnya kembali menyalahkan keadaan dan nasib buruk yang menimpanya.

Terlalu larut akan kecamuk pikirnya sendiri, tanpa sadar tumpuannya pun limbung, membuatnya tak mampu menjaga keseimbangannya. Di saat ketika ia mengira akan jatuh, sepasang tangan kekas dan seruan seorang yang begitu familiar itu memanggil namanya. Kedua tangan itu pun menopang tubuhnya agar tidak terjatuh.

“Kak Iizuna?! Kak Iizuna gapapa?!” tanya Sakusa panik, Iizuna pun menoleh ke sekeliling dan melihat dua orang perawat lain yng turut mendampinginya juga menatapnya khawatir. Ia menghela nafas pelan sebelum kemudian mengangguk, “Gapapa, makasih ya,”

“Hari ini terapinya udah dulu ya? Kakimu masih belum terlalu kuat, kalo dipaksakan malah bikin proses recovery-nya semakin lama,”

Dan Iizuna pun hanya bisa menurut, dengan bantuan Sakusa ia papah lelaki itu sebelum kemudian kedua orang tersebut mengangguk untuk pamit dari undur diri.

———

“Makasih Sakusa, aku udah gapapa, aku bisa sendiri,”

Meskipun demikian, Sakusa masih enggan untuk melepaskannya, dengan telaten ia papah tubuh Iizuna dan mengikuti langkah ringkih lelaki itu.

“Kamu tuh, aneh ya, kalau ga khawatir sama aku kamu harusnya ga perlu segininya,” celetuk Iizuna tiba-tiba.

Sakusa tidak langsung menjawab, ada jeda singkat yang mengisi di antara mereka yang tengah berjalan menuju ke ruang tunggu. Dibantunya Iizuna untuk duduk sebelum Sakusa pun kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Iizuna.

“Aku gak khawatir sama kak Iizuna, karena aku percaya kak Iizuna mampu jaga diri. Aku cuma mau ada di sini karena aku ingin. Aku ingin support kak Iizuna, apapun itu keadaannya,”

Jawaban Sakusa tersebut terdengar begitu mantap dan juga lugas. Kedua manik hitam legam tersebut menatap Iizuna lekat-lekat. Sementara itu, Iizuna tidak tau ia harus bereaksi seperti apa.

Di saat dirinya merasa bahwa semuanya sudah berakhir, ia dipertemukan oleh seorang yang dengan keinginannya sendiri mau mendukungnya, terlepas apapun itu kondisinya.

———

Sejak saat itu, Sakusa akan selalu mendampingi Iizuna untuk setiap sesi terapi ataupun kontrolnya.

———

“Ngapain mau ke kamarnya kak Iizuna?”

“Ya emang kenapa? Lu siapanya Iizuna emang?”

Dari balik maskernya Komori dapat melihat ekspresi kesal dan terganggu dari sepupunya itu. Gawat! Sakusa sudah tersinggung dan terprovokasi! Dirinya lupa kalau kapten-kapten sekolah besar di Tokyo itu, khususnya Kuroo Tetsurou dan Daishou Suguru adalah orang yang hobi melempar bara api dan menambahkannya dengan minyak.

Biasanya Sakusa tidak akan pernah dan tidak akan bisa terprovokasi di lapangan. Tapi tidak dengan saat ini, mereka sedang tidak ada di lapangan dan sepertinya ada aspek personal dalam diri Sakusa yang tersinggung karena ujaran kapten Nohebi itu.

“Kak Iizuna butuh istirahat,”

“Orang kita udah bilang dia mau nengok kok,”

“Yang ada cuma ngerusuh di kamar kak Iizuna,”

“Posesif amat, lu siapanya Iizuna emang?”

“Kiyoomi!”

Komori dengan panik mencengkram erat ujung jaket yang dikenakan Sakusa. Sepupunya itu pun seketika menatapnya sinis membuat ia meneguk ludahnya kasar, sial dia yang kena marah Sakusa! Lagi pula ngapain sih Sakusa jadi sensi begini!

“Aku habis chat Kak Iizuna, katanya emang kak Kuroo sama kak Daishou mau nengok kak Iizuna!” jelasnya, meskipun demikian Sakusa masih tidak senang dan setuju akan fakta itu.

“Yang ada mereka ngeruh dan ganggu kak Iizuna istiraha,”

Entah kenapa Kuroo menjadi kesal sendiri mendengarnya. Benar kata Daishou di grup chat, ini anak minta ditonjok tapi orang sabar disayang Tuhan.

“Telpon aja lah Zunanya kalo ga percaya,” celetuk Kuroo sinis, “Zuna?”

“Iya, Zuna, Iizuna, kenapa ga punya panggilan khusus ya buat Iizuna? Kasihannya,”

Komori hanya bisa melotot mendengar ucapan kapten Nohebi tersebut. Ia pun melirik sekilas ke arah Sakusa yang nampak kesal sekarang. Gawat. GAWAT! Memang benar pra kapten ini pada gahar, pantas saja anak-anak kelas tiga kadang tidak mau memprovokasi dan membuat Iizuna kesal, orang teman setongkrongannya begini! Bagaimana bisa Iizuna bertahan?!

Dan sepeertinya emang pilihan terbaik adalah menelepon Iizuna!

“KIYOOMI! Ih kamu tuh! Mending telpon kak Iizuna aja kalo ga percaya, bentar!”

Komori pun kembali mengeluarkan ponselnya, jemarinya dengan cepat mengetikan nama kontak Iizuna di gawainya sebelum menekan tombol panggil berwarna hijau di bawah sana. Dalam hitungan dering ketiga panggilan tersebut pun diangkat, Komori pun menyalakan loudspeak yang ada.

Halo, Komori? Kenapa?

“Kak! Ini kak Kuroo sama kak Daishou kan emang mau nengok kak Iizuna kan?” tanyanya sedikit belepotan

Iya, tadi kan aku udah bilang. Kenapa emangnya?

Dan dapat Komori lihat Daishou dan Kuroo sama-sama menjulurkan lidahnya ke arah Sakusa, mengejek lelaki itu yang hanya bisa mendecih kecil.

“Sakusa ngga percaya kalau mereka mau nengok kak Iizuna, ini lagi ribut di lobi,”

Dan dapat mereka dengar Iizuna menghela nafas pelan di sebarang sana.

Mana Sakusa, aku mau ngobrol sama dia

Komori pun menyerahkan ponselnya yang segera direbut oleh Sakusa, ia matikan fitur pengeras suara tersebut sebelum kemudian undur diri untuk mencari ruang privat agar ia dapat mendengar jelas suara Iizuna. Masker yang ia kenakan pun ia turunkan agar lebih jelas jika berbicara.

Sakusa, kenapa lagi? tanya Iizuna langsung, tanpa berbasa-basi.

“Kak Kuroo sama kak Daishou mau nengok kak Iizuna, aku bilang kak Iizuna harus istirahat karena mereka pasti ngerusuh dan ganggu waktu istirahat kak Iizuna,”

Dan Iizuna pun kembali menghela nafas pelan.

Gapapa, biarin aja, aku yang ngebolehin mereka buat nengok kok. Makasih ya udah khawatir

“Aku gak khawatir,”

Iya iya tau, tolong bawa mereka ke staff hotel aja buat diantar ke lift. Mereka ga bisa ke sini kalo ga ada kartunya, aku ga mungkin jalan ke bawah

Ingin rasanya Sakusa membantah tapi ia memilih menurut, “Baiklah,”

Selang beberapa menit Sakusa pun kembali dan menyerahkan ponsel milik sepupunya itu. Pandangannya masih menelisik ke arah kedua orang kapten Tokyo tersebut.

“Motoya, kamu bawa kartu akses kamar kita kan?”

“Iya, kenapa emang?”

Sakusa pun mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu pipih berwarna putih kepada Kuroo. Membuat lelaki itu sedikit kebingungan.

“Kak Iizuna bilang minta tolong ke staff buat diantar, tapi pakai aja kartuku biar pas balik juga gampang gausah nelpon staff lagi atau ngerepotin kak Iizuna. Nanti kartunya balikin aja ke resepsionis. Maaf ya kak,”

Hah?

Kuroo dan Daishou pun saling bertukar pandang. Bingung dan juga bertanya-tanya. Mereka bingung karena Iizuna bilang Sakusa tidak khawatir kepadanya tapi kenapa justru Sakusa yang paling repot dan enggan kalau Iizuna kesusahan? Walau caranya aneh tapi sikap Sakusa barusan membuat mereka bingung.

Sebenarnya ini Sakusa peduli gak sih sama Iizuna?

———

“Makan apa, makan apa, makan apa sekaraaang, sekarang makan apa, makan apa seka-RAAAAAGGHHH,”

Senandung Fani itu seketika berakhir dengan sebuah pekikan panjang manakala dirinya mendapati sesosok makhluk yang tengah berjongkok di hadapan kulkas dapur kosan. Cahaya remang dari dalam kulkal membuat figur lelaki tersebut susah di kenali. Bersamaan dengan erangan teriakan Fani tersebut sosok itu seketika menoleh dan lekas-lekas berdiri sebelum kemudian tertapap oleh pintu kulkas dan mengaduh kesakitan sambil berjongkok memegangi kepalanya.

“Faisal?! Ngapain kamu?!” ujar Fani panik sembari seketika menghampiri kembarannya tersebut. Sementara itu Faisal masih sibuk mengaduh sembari memegangi kepalanya.

“Kamu yang ngapain dateng-dateng teriak!” keluhnya tidak terima disalahkan.

“Aku mau makan lah! Kamu tuh yang ngapain duduk di depan kulkas gitu! Kayak setan!”

Dan Faisal pun mendecih sebal, “Kebanyakan nonton film horror sama Siska kamu jadi ngayal yang engga, engga,” ledeknya yang sukses membuat Fani berdecak pinggang kesal.

“Jawab aku!” serunya sembari menyubit pipi Faisal membuat lelaki itu mengaduh sakit, “Tolooooong penganiyayaan! Aku aduin Budi karena dianiyaya cewe kasar!!!”

Dan seketika Fani pun menghentikan perilakunya itu, memberengut tidak suka, “Curang ih bawa, bawa Budi! Tapi cepet jawab aku!”

“Ya aku mau makan lah Fan masa mau cuci baju?! Mikir dong ah! Nyebelin!”

“YA KAMU YANG MULAI!”

Aduh ini kalo dilanjut pertengkaran si kembar ga bakalan ada habisnya, Faisal pun menghela nafas berat sebelum mengerang panjang, “Maaf deh! Gausah teriak gitu!”

Iiiiihhh Faisal minta maaaf!!!

Dan mata Fani pun seketika berbinar gemas membuat Faisal menatapnya heran penuh tanya. Meskipun demikian Fani terlalu gengsi fan tidak ingin menghancurkan suasana di antara mereka, betapa bahagia dan membuncahnya perasaannya hanya karena Faisal meminta maaf terlebih dahulu dan bereaksi santai seperti itu.

“Ngomong-ngomong Sal, ada makan apa?” tanya Fani berusaha mengalihkan pembicaraan, dirinya sedikit melongok ke dalam kulkas dan tidak mendapati apa-apa untuk ‘memasak makan berat’ di sana.

“Sisa makan sore udah habis dan aku mikir mau masak pasta instan gitu tapi kayaknya ga ada apa-apa yang bisa di masak,” jelas Faisal.

Fani pun menggeser sedikit Faisal agar ia dapat menelisik dengan seksama bahan-bahan yang ada di kulkas. Ada ayam fillet, telur, dan juga udang. Lalu di bagian penyimpanan sayur ada daun bawang dan juga seledri. Aha! Sepertinya Fani tau apa yang bisa dimasak cepat dan sederhana.

“Sal kamu bisa masak nasi kan? Kamu mau makan katsu sama fuyunghai ngga?”

———

Jam dinding di ruang tengah kosan telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Waktu yang terlampau larut untuk makan malam. Tetapi malam ini, di temani oleh teranam lampu pantry dapur ada dua anak kembar yang tengah memasak—atau lebih tepatnya Faisal menunggu Fani memasak—karena mereka sama-sama kelaparan.

Dan pilihan sederhana dengan bahan tersisa saat ini pun berakhir dengan Fani yang sibuk memotong daun bawang, mengirisi dada ayam fillet, serta mengupas kulit udang untuk memasak fuyunghai dan juga ayam katsu untuk mereka berdua. Meski demikian Faisal sedikit sangsi, emang iya Fani bisa masak?

“Sejak kapan kamu bisa masak Fan?” tanya Faisal tiba-tiba kepada Fani yang masih sibuk dengan aktifitasnya, sekarang dirinya tengah sibuk memarinasi ayam sebelum dibaluri dengan tepung dan melapisinya dengan telur dan tepung panir.

“Ngeremehin banget ya kamu Sal! Aku udah bisa masak sejak SMP tau!” ujarnya bangga tanpa menoleh sedikit pun ke Faisal.

“Bohong,” celetuk sang kembaran masih tidak percaya membuat Fani mengerlingkan matanya malas.

“Aku belajar masak karena dulu pas SMP tiap nilaiku jelek Oma ga bolehin aku makan, jadi biar aku bisa makan aku belajar masak sendiri! Awalnya dibantuin sama pembantu di rumah sih, cuma aku bilang jangan bilang Oma atau nanti aku dan mereka dimarahin,”

Penjelasan panjang Fani tersebut seketika membuat Faisal terdiam, ia tidak ada keinginan untuk menjawab atau membalasnya. Keheningan pun menyeruak di antara mereka sebelum kemudian Faisal mencicitkan kata maaf pelan karena tidak mengerti kondisi Fani yang kesulitan seperti itu. Membuat Fani terkekeh karenanya.

“Gausah minta maaf kali Sal! Oh iya aku boleh minta yolong buat gorengin ayamnya ga? Aku mau bikin fuyunghai sama sausnya nih,”

Tanpa membantah, Faisal pun bangkit dari posisinya dan berjalan ke arah Fani sebelum kemudian ia turut mengambil ayam yang telah dibumbui dan siap digoreng.

Ia menyalakan kompor induksi yang ada di dapur, munggunnya untuk selang beberapa menit hingga memastikan apinya telah benar-benar panas sebelum kemudian memasukkan seiris ayam ke dalamnya.

Bunyi ayam yang dicelupkan kedalam minyak seketika terdengar sedikit memekakkan. Meski demikian aroma harum bumbu ayam dapat tercium yang seketika menggugah nafsu makan mereka sebelum selamg beberapa menit kemudian berganti bau hangus…

“FAISAL! APINYA KEBESARAN! MATIIN INI AYAMNYA BISA GOSONG TAPI DALAMNYA GA MATANG!” seru Fani panik.

Faisal pun lekas mengikuti anjiran Fani tersebut. Dan benar saja, ayam katsu horengannya gosong menghitam. Baik Fani maupun Faisal pun saling beradu pandang sebelum kemudian terkekeh bersama.

“Ayamnya gosong!”

“Kamu tuh dari dulu emang kerjaannya cuma bisa ngerusuh di dapur ya!”

“Ini kalo Budi tau dia pasti ngetawain kita!”

———

Cicitan burung gereja di pagi hari pun masuk dengan samar-samar bersaman dengan bias sinar mentari pagi yang memghangatkan. Budi menguap sembari meregangkan sedikit badanannya sebelum kemudian beranjak keluar kamar untuk memulai aktifitas sehari-harinya. Menyiapkan saran dan menyiram tanaman.

Meskipun demikian, sesampainy di dapur betapa terkejutnya dia melihat kondisi dapur yang teramat sangat berantakan dengan cucian piring di mana-mana dan tepung serta saus yang berceceran.

Ia pun menoleh untuk memperhatikan kesekeliling, mendapati sosok Fani dan Faisal yang tengah tertidur di ruang tengah dengan TV yang menyala dan dua piring serta dua gelas kosong tergeletak di atas meja. Kedua anak kembar yang tengah tertidur dengan Fani yang menyender dan merangkul lengan kanan Faisal.

Budi pun hanya bisa terkekeh kecil sembari menggelengkan kepala. Ia berjalan perlahan untuk membereskan sisa makanan Fani dan Faisal sebelum kemudian menyelimuti mereka berdua.

———

———

Sakusa mengadahkan kepalanya, memandang jauh ke arah hamparan langit gelap bertabur bintang di atas sana. Dana ia lihat gemerlap bintang di atas sana yang memancarkan sinarnya—langit hari ini tidaklah kelabu, berbeda dengan suasana hati miliknya.

Pertandingan antara MSBY dan Deseo yang baru saja disenggarakan di homebase milik Jackals di Osaka tersebut berakhir dengan kekalahan tuan rumah dengan total kemenangan tiga kali kemenangan untuk Deseo selama empat set pertandingan.

Dan Sakusa akui hari ini performanya tidak semenakjubkan biasanya—seorang ACE yang seharusnya diandalkan berakhir mencetak banyak kesalahan, bahkan di momen-momen krusial bagi timnya—berakhir dengan dirinya mendapat banyak evaluasi panjang dari coach MSBY dan mengharapkan performanya kembali membaik saat pertandingan selanjutnya. Untung saja masih penyisihan grup, jadi timnya masih mendapat kesempatan untuk bertanding melawan tim lain demi bisa lanjut ke babak selanjutnyayang sudah pasti diamankan oleh Deseo dari regunya.

Sepasang manik hitam selegam langit malam itu pun membulat sempurna manakala buntalan putih kecil itu perlahan satu demi satu turun ke bumi, salju pertama… gumamnya. Di adahkannya tangannya untuk mengangkap salah satu dari serpihan keping salju tersebut.

If the first snow finally falling again, could I have a chance to reach you?

“Sampai penginapan pokoknya tujuan utamaku adalah mandi air panas terus makan sup miso! Oh gak lupa sama minum susu jahe!”

“Emangnya kamu orang tua?”

“Sstt one day you will realized kalo susu jahe tuh must comforting drink ever!”

Sakusa yang biasanya tak pernah peduli ataupun penasaran dengan basa-basi dari orang lain itu pun seketika menolehkan fokus perhatiannya. Memusatkan seluruh atensi yang ada pada salah seorang figur bersurai kehijauan dengan mengenakan mantel putih berpadu biru muda dan meneteng tas olahraga berwarna biru dongker di bahunya.

Figur tersebut tersenyum riang sembari mengobrol bersama teman setimnya, sepertinya hendak berjalan menuju penginapan terdekat bagi para atlit dari Deseo Honets setelah match panjang tadi.

Entah apa yang mendasarinya, impuls otak Sakusa pun tanpa sadar membawa dirinya untuk bergerak—berjalan maju sebelum kemudian menahan figur bersueai hijau itu tepat di lengannya—membuat lelaki itu dan juga teman-temannya seketika menolehkan pandangannya ke arah Sakusa dan tindakannya yang terkesan tiba-tiba itu. Yang mana Sakusa sendiri pun dibuat kaget oleh dirinya sendiri.

“…Iizuna…san…?”

Keheningan pun seketika menyeruak di antara mereka, seakan waktu pun ikut membeku di malam musim dingin ini. Mengerti akan kecanggungan yang ia ciptakan, Sakusa pun lekas melepaskan genggaman tangannya sebelum kemudian meminta maaf karena mengejutkan lelaki bernama Iizuna itu.

“Ah! Iya, aku lupa, Sakusa-san ini adik kelasnya Tsukasa-san pas SMA ya?” celetuk salah seorang teman setim Iizuna dari Deseo Hornets, lelaki jangkung dengan rambut menjuntai berwarna kecoklatan.

“Ah iya… maaf sebelumnya, tapi mungkin kalian bisa duluan ke hotel. Kayaknya ada yang mau Sakusa bicarakan berdua sama aku,” jelas Iizuna.

Kedua rekan tim Iizuna tersebut saling beradu pandang sebelum mengangguk setuju, pamit undur diri sembari mengingatkannya untuk tidak pulang terlalu larut malam karena cuaca yang dingin dan tidak baik untuk kesehatannya. Menyisakan Iizuna dan Sakusa yang masih berdiri di depan gymnasium di bawah malam bersalju dengan keheningan menyeruak di antara mereka.

Sakusa menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan bicaranya.

“Iizuna-san keberatan tidak jika makan malam bersama denganku?”

———

———

“Komori! Hei!” sapa Suna sembari melambaikan tangannya kepada figur lelaki bersurai coklat dengan sepasang alis bulat yang nampak celingukan kebingungan.

Di sisi lain, Komori yang berhasil menemukan keberadaan sosok Suna itu pun segera berjalan cepat sembari membawa sekotak susu coklat pisang di tangannya sebelum mengambil duduk di hadapan Suna.

“Sori, sori telat. Kamu udah di sini dari tadi? Aku tadi ada ke departemen bentar,” jelasnya.

Meskipun demikian Suna hanya manggut-manggut sembari cengengesan layaknya orang bodoh, iya bodoh karena dimabuk cinta.

“Aman aja, nama panjang gue kan Suna ‘aman aja’ Rintarou,”

dan Komori pun hanya mendengus sebal sembari mengerlingkan matanya malas. Kalau Suna itu Suna ‘aman aja’ Rintarou maka kalau Komori menjadi Komori ‘malas menanggapi’ Motoya.

“Btw jadi gini, untuk transaksi hari ini,” jelas Suna sembari sedikit berbisik dan condong mendekat kepada Komori yang diikuti oleh lelaki itu. Seketika kepala Suna pun sukses dihadiahi dengan pukulan kecil darinya, membuat lelaki itu mengaduh.

“Bodoh ih! Biasa aja anjir kayak bahas transaksi gelap,”

“Terang gini lo banyak lampu kantin nyala,”

Sabar Komori sabar, orang sabar danusannya laris

TAPI SUNA INI EMANG MAUNYA DIPITING APA GIMANA SIH? HUARGH.

“Bercanda bercanda jangan gondok gitu ah Mori, serius-serius. Buat jualan hari ini seperti biasa laris manis! Duitnya mau gue transfer apa gimana nih?”

“Gak usah, biar aku kasih ke bendahara langsung aja. Mana Sun?”

“Lu mau gue cium di sini?”

“DUITNYA EGE,”

Dan tawa Suna seketika pecah, begitu renyah memenuhi seisi kantin yang siang itu cukup lenggang karena mereka berada di berjalannya kelas kedua (untung saja jadwal mereka sama-sama kosong).

“Gue suka deh ngerjain lo, lucu reaksinya,”

“Ya makasih aku emang lucu,”

“Dih pedeeee,”

Komori pun tak terlalu menghiraukan Suna, ia sibuk menghitung dan mencatat pendapatan karyawannya hari ini sebelum menyimpan kembali uangnya pada dompet kas danus yang ia pegang.

“Udah makan siang belum Sun? Sekalian makan siang bareng, sebagai ucapan terima kasih juga udah bantuin selama ini,”

“Lu mau nraktir gue?”

“Just aja ya? Makannya bayar sendiri,”

———

Siang itu, dengan suasana kantin yang cukup lenggang, Komori dan Suna menghabiskan waktu makan siang berdua untuk pertama kalinya. Jujur hal tersebut membuat Suna sedikit deg-degan tidak karuan. DIRINYA SALAH TINGKAH! Pasalnya Komori selalu menolak ketika dia ajak makan siang bersama dan sekarang HARI INI Komori yang mengajaknya DULUAN.

“Lu kesambet apa sih mau makan siang bareng gue? Biasanya kan lo nolak kalo gue ajak,” tanya Suna penasaran sembari menyuapkan sesuap nasi ayam geprek ke dalam mulutnya.

Konori tidak langsung menjawab, ia kunyah dan telan terlebih dahulu makanannya sebelum menjawab meskipun dengan menutupi bibirnya dengan salah satu tangannya.

“Gapapa, being professional aja gamau dikira aku bener-bener eksploitasi kamu terus kamu aku bayar dengan maksi,”

“Tapi kan emang eksploitasi,”

“Salah sendiri numpahin daganganku,”

Suna pun menghentikan makannya sebelum kemudian menatap lekat Komori. Membuat lelaki itu menatapnya dengan salah satu alis yang terangkat. Kebingungan.

“Kamu masih marah sama aku?”

Dan seketika Komori pun tersedak hanya dengan mendengar pertanyaan itu. Cepat-cepat ia minum air mineralnya dan mengelap bibir serta hidungnya.

“Engga! Aduh sori, kamu jangan terlalu kepikiran,” ujarnya menjelaskan.

“Kalo kamu masih marah aku beneran minta maaf. Aku ga sengaja,” jelas Suna serius membuat Komori seketika terdiam. Ada jeda sejenak sebelum dirinya meletakkan kembali air minumnya di atas meja dan menatap Suna lekat.

“Suna! Ih gapapa santai aja sama aku, lagian kamu udah banyak bantu, daganganku jadi banyak larisnya karena kamu bantu!”

“Lagian kayak kalo punya kamu tuh aku kayak punya aji-ajian ngelarisin dagangan!” ujarnya bercanda membuat Suna sedikit memberengut. Ayolah apakah Komori masih melihat hubungan timbal balik di antara mereka? Bukan suatu pertemanan atau apa gitu?

Atau Suna hanya berharap lebih? Dan baper sendiri?

“Lo tuh ngeliat gue cuma sebatas pada yang bantuin danus ya?”

“Hah engga? Kamu tersinggung? Kok mikir gitu,”

Suna pun kembali melanjutkan makannya, ia masukkan lagi sesuap sendok sebelum mengunyahnya dan menelannya, menyisakan jeda panjang untuk Komori menunggunya melanjutkan ucapannya.

“Habisnya gue mikir lo tuh gamau gue ajak makan siang atau apa karena ya lo ga ngeliat gue sebagai temen… gue kan juga pengen gitu… deket… atau mungkin temenan gitu…,”

Oh…

OH!!!

Dan Komori pun bingung membalas ucapan Suna tersebut. Dirinya sepertinya tau ke mana arah maksud lelaki di hadapannya itu, tetapi ia juga takut kepedean atau salah paham!

“Yaaa gapapa koook kalo mau jadi temen atau deket! Ga masalaaah!” ujarnya.

“Kalo misalnya lo—salah salah, kalo misalnya mulai sekarang kamu aku ajak makan siang atau mungkin pulang bareng gitu kamu masalah ga… biar lebih deket gitu ga cuma sekedar danusa,”

“Udah berapa orang kamu kerdusin gini?”

Dan gantian, sekarang Suna yang tersedak makanannya hingga membuatnya menangis (bro bayangin bro tersedak sambal matah ayam geprek).

“EMANG GUE COWO APAAN? Gak Mor sumpah gue ga pernah ngerdus atau modus begini,”

Komori tidak sangsi, ia hanya ingin mengerjai lelaki itu tetapi responnya justru sangat jauh di luar perkiraannya. Suna membawanya begitu serius hanga takut dirinya salah paham.

“Bercanda Suna gausah panik gitu, gapapa kok kalo mau ngajak makan atau pulang bareng atau apapun itu. Aku ga masalah kok kalo misalnya kamu juga mau deketin aku,”

———

———

Komori menghela nafas berat sembari menyandarkan beban tubuhnya pada tiang penyangga gazebo fakultasnya. Rasanya lelah sekali baginya, dirinya lelah harus bangun pagi dan berangkat dua jam lebih awal dari biasanya demi bisa berjualan sebelum kelas, lalu pulang dua jam lebih larut dari biasanya karena harus menghabiskan dagangan. Belum lagi mata kuliah dan dosen cranky yang mau tak mau juga menguras tenaganya.

Mau marah ataupun mengadu pun rasanya Komori sudah tak punya. Dibukanya ponsel miliknya yang bergetar di saku celananya. Sebuah pesan masuk dari kontak bernama ‘Kak Iizuna🤘🏻’ memesan satu kotak rice bowl seperti biasa.

Ibu jarinya pun sibuk bergulir membuka satu persatu pesan singkat yang masuk. Hingga pada pesan terakhir di salah seorang kontak bernama “Suna Rintarou”.

Dimana?

Jemarinya pun sibuk mengetikkan balasan dan turut mengambil foto lokasi tempatnya berada.

Sini

Setelah mengirim pesan tersebut Komori kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, pandangannya semu menatap ke sekeliling bagaimana orang-orang sibuk berlalu lalang, datang maupun pergi.

“Lama,” gerutunya pada dirinya sendiri.

———

“Hei? Komori bukan?”

Komori melirik sekilas ke atas pria berpostur jangkung yang baru saja menyapanya dengan rambut hitam mencuat. Matanya kecil dan runcing namun nampak seperti mengantuk, dan seketika hidungnya pun mencium aroma wangi menyengat dari lelaki berkaus merah itu—astaga, bau buaya FISIP, pikirnya.

Di satu sisi Suna nampak tidak nyaman karena kerlingan menghakimi dari Komori. Dia salah apa ya sampai-sampai lelaki beralis bulat itu seakan me-skimming dirinya.

“Suna ya? Lama banget? Janjian jam dua belas baru dateng jam satu,” ketusnya membuat Suna meringis kecil. Dia lupa kalau jam tongkrongannya itu jam karet dan tidak berlaku kepada orang lain.

“Ya… maafkan orang jauh…,”

“Sejauh apa?”

“Sejauh mata memandang?”

Dan Komori hanya mendengus malas, sialan padahal biasanya punch line-nya akan selalu lucu. Suna harus memutar ide, memikirkan cara bagaimana suasana di antara mereka dapat cair.

“Anu, udah ada berapa ya yang beli?” tanyanya sembari mengambil duduk di ujung pinggiran gazebo, memberi jarak seluas hitungan lima jengkal tangan dari Komori.

“Belum ada,”

Oh ya ya ya mungkin itu sebabnya Komori nampak jengkel

Tapi jangan salahkan keberangkatan Suna! Daya beli masyarakat memang sedang turun!

“Lah Sun ngapain di sini anjir?”

Baik Komori maupun Suna pun seketika menolehkan pandangan mereka, ke salah seorang lelaki lelaki dengan setelan nyentrik dan juga rambut kuning menyolok.

“Abis darimana lu?” tanya Suna berbasa basi sembari menyalami Atsumu dengan tos kepalan tangan. Oh, sepertinya mereka bersahabat akrab.

“Bimbingan sama mas Ukai kocak, emang proposal lo udah ACC?”

“Udah dong udah lanjut guideline,”

“Di carry Yachi ya anjir ngaku,”

Sementara itu Komori dalam tempatnya hanya sedikit-sedikit menguping. Tidak lama kemudian dua orang lelaki pun ikut datang menyusul ke arah mereka. Dengan seorang figur yang layaknya pinang dibelah dua dengan si kuning yang ia ketahui namanya dari obrolan Suna bernama Atsumu, dan satu lainnya yang lebih pendek dengan rambut cepak.

“Apa itu Sun?” tanya kembaran Atsumu bersurai kelabu itu. Nampak penasaran dengan box makan yang Komori letakkan tak jauh dari posisi Suna sekarang.

“Makan siang, dah makan belum? Beli ini deh buru-buru,” serunya. Minus satu poin untuk promosi ataupun marketing bagi Komori.

“Ada apa ini?” tanya Osamu dan sebelum Suna menjawab dengan yakin ia buru-buru menoleh kepada Komori. Tatapan matanya sudah cukup mengisyaratkan meminta tolong kepada Komori untuk membantu menjawabnya. Dirinya tidak tau apa-apa akan hal ini!

“Ah… itu ada ricebowl mentai sama sambal matah, terus kalo minumnya ada milky pudding sih,”

“Berapaan satu?”

“Makannya sepuluh ribuan kalo minumnya lima ribuan,”

“MURAH BANGET?? Di kantin aja jus sampai lima belas ribu, ini yakin danusannya untung?” tanya lelaki bersurai kelabu tersebut tidak percaya yang seketika Suna sikut perutnya. Yang sopan sedikit bisiknya sambil mendelik. Meskipun demikian Komori hanya terkekeh kecil, “Kalo sama harganya kayak kantin emang ada yang mau beli? Mending di kantin ga si,”

Dan lelaki itu pun menepuk kedua tangannya setuju, benar juga katanya.

“Mau dong, mentainya tiga,” ujarnya yang seketika membuat Komori melotot.

“Udah biasa aja mata lo jadi sama buletnya kek alis lo. Emang si Samu rakus anjir dia tiga porsi buat sendirian,” celetuk Suna yang sontak membuahkan bogeman mentah dari Osamu.

“Ngawur! Dua kocak, satunya buat Keiji,” jelasnya meluruskan yng semakin membuat segerombolan lelaki itu ricuh.

“HAH SIAPA KEIJI?? LU BUKANNYA SAMA YAMAGUCHI ANAK FEB ITU???”

“Sam udah waktunya lu berhenti ngumpulin body count waktunya mengumpulkan amalan ibadah,”

“Bacoooot,”

Tanpa Komori sadari, walau dirinya hanya mendengarkan tanpa mengerti apapun tentang percakapan barudak tersebut, ujung bibirnya ijut tersungging bersamaan dengan kekehan tawa kecil yang merdu. Sukses mencuri perhatian Suna yang tanpa sadar ikut terkekeh kecil.

“Tobat Sam, kurang-kurangin kataku,”

“Oh iya gue juga mau deh dua, satu buat gue satunya buat kak Kita ahay jadian ga sih mendingan,” celetuk si Atsumu tiba-tiba dengan pedenya membuat yang lain hanya termangu mendengarkannya. Apalah coba?

“Kayak kak Kita mau sama lo aja,”

“MAU YA PEDE DULU AJA,”

Sementara si kembar—yang Komori yakini karena pelafalan namanya yang begitu mirip serta wajah yang layaknya bercermin hanya yang satu ketumpahan cat marinda—bertengkar akan perihal entahlah sepertinya tentang orang yang mereka suka dan kepercayaan dirinya satu sama lain, Suna pun sedikit beranjak dan bergeser ke arah Komori, membuat lelaki itupun menyondongkan dirinya ke arah Suna dan berbisik.

“Ga dilerai?”

“Biarin aja nanti dagangan lo abis ini rame, percaya deh,”

“Dih? Musyrik bego percaya sama kamu,”

“Gue atheis”

“Goblok,” celetuknya sembari terkekeh tak percaya. Namun benar saja, tak lama kemudian lapak ya seketika ramai dengan lulu lalang orang. Pertengkaran si kembar selayaknya magnet perhatian.

Dagangan yang membutuhkan waktu seharian untuk habis itu seketika ludes hanya dalam selamg tiga puluh menit membuat Komori mendelik tidak percaya.

———

“Makannya mau satu porsi berdua apa pesen sendiri-sendiri? Satu porsi aja ga si? Ngehemat pengeluaran,” tanya Komori sembari membantu melepaskan helm yang dikenakan oleh Yukie tersebut. Dirapikannya anak-anak rambutnya yang sedikit berantakan

“Boleh sih, mau pesen apa? Nasi goreng rawut aja apa ya? Tapi minta tambah sosis sama ga usah pake timun,”

“Pedes ngga?”

“Engga usah deh,”

Mereka berdua pun berjalan sembari bergandengan tangan menuju warung nasi goreng 24/7 langganan mereka tersebut. Yukie mengambil salah setempat lesehan dekat kipas yang berada sedikit masuk dan diujung sana. Cukup strategis karena dingin, bisa duduk bersandar sembari mengecas ponsel dan juga sembari menonton siaran berita.

Sementara itu Komori berjalan ke mamang nasi goreng, memesan makanan mereka meski demikian ia teringat sesuatu sebelum akhirnya kembali berlari kecil menuju Yukie.

“Yang!”

“Apa sih yang? Gupuh amat, kenapa?”

“Minumnya apa? Lupa!”

Dan Yukie menghela nafas pelan, kirain apa ternyata cuma minum!

“Aku teh tawar anget aja deh,”

“Sama air putih ga?”

“Sama air putih,”

“Oke,” Komori pun mengangguk paham sebelum kemudian kembali berlalu. Sementara itu Yukie mengambil duduknya sembari sedikit bersandar. Dieratkannya jaket miliknya sembari memperhatikan siaran berita malam yang ada di televisi.

———

Komori kembali sembari membawakan sebotol air mineral tanggung sebelum kemudian mengambil duduk di hadapan Yukie. Meskipun demikian ia ubah posisinya sedikit menyerong untuk ikut memperhatikan siaran berita malam ini.

“Dunia udah gila, ga ada aturannya blas,” gumam Yukie sembari sedikit menggerutu.

Televisi kotak dengan siaran sedikit buras karena posisi antena yang tidak tepat mendapat sinyal itu sedang menayangkan berita terkait kasus bunuh diri dan juga pembunuhan di salah sebuah desa. Penyebabnya adalah kesulitan ekonomi, dan mirisnya adalah pelakunya merupakan sang kepala keluarga yang tega membunuh istri dan juga tiga anaknya yang masih kecil. Di mana anak tetuanya baru kelas 6 SD.

Usut punya usut dari catatan harian terakhir yang menjadi bukti investigasi saat ini untuk menyelidiki motif di baliknya. Sang bapak diduga mengalami depresi akibat resesi ekonomi dua tahun terakhir.

Sang bapak merasa frustasi—tertekan dengan biaya hidup yang melambung tinggi untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Sang bapak di duga adalah seorang pemilik toko kelontong yang beberapa bulan terakhir tidak mendapatkan pemasukan yang signifikan.

Biaya sekolah tinggi, usaha di ujung tanduk, dan perilaku belanja konsumen yang rendah di pasaran akibat inflasi yang ada. Dalam surat itu juga dituliskan bagaimana sang istri yang terus-terusan marah, mengomel akibat kondisi ekonomi mereka hingga mengancam untuk bercerai. Membuat sang bapak nekat untuk melakukan aksi tidak manusiawinya itu karena dirinya tidak ingin kehilangan keluarganya—lebih baik mati bersama.

“Ngeliat berita kayak gini jadi makin takut nikah deh jujur. Our society is not supportive both for male and female,” komentarnya.

“Menurutmu gimana deh beb? Siapa yang salah? Tuntutan sang istri? Atau sang suami yang ga bisa memenuhi tanggung jawabnya? Atau justru sistem sosialnya?”

“Satu teh tawar hangat dan satu jeruk hangat,”

“Oh iya, makasih pak,”

Sheeesh

Suara gesekan yang terjadi antara spatula dan wajan penggorengan nasi goreng itu bergema, beradu dengan deru kipas angin dan suara presenter televisi yang sudah melaporkan berita selanjutnya. Komori tidak langsung menjawab, disesapnya jeruk hangat miliknya, ‘Aaah’ suara kecapan yang tidak boleh terlupa sebelum ia menjawab pertanyaan kekasihnya itu.

“Kita ga bisa bilang salah atau benar, karena satu keluarga itu semuanya adalah korban. Sayangnya berita kayak gini malah seakan ‘mendorog’ penonton untuk berasumsi salah satu dari mereka salah karena perilaku kejinya. Kalo menurutku ya, yang salah adalah sistem kita. Ga bisa menciptakan perekonomian yang sejahtera,”

Dan Yukie pun menyesap minumannya karena tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.

“Bener, sistem masyarakat yang kayak gini juga pada akhirnya ga bisa mencapai masayarakat yang sejahtera dan juga adil,” keluhnya membuat Komori sedikit terkekeh.

“Ide akan keadilan, atau equality juga menurutku terlalu utopis. Sebagian besar beranggapan bahwa adil itu berarti harus setara dan seimbang lima puluh banding lima puluh, tetapi mengabaikan hak dan kewajiban. Tapi ya kalo kasus tadi beb, itu tuh udah jauh lebih kompleks lagi masalahnya, ekonomi dan pendidikan punya pengaruh besar,”

Yukie menghela nafas pelan sembari menopang dagunya dengan tangan kanannya, pandangannya masih menatap nanar televisi tersebut, memikirkan betapa mengenaskannya nasib keluarga tersebut hanya karena sistem yang ada.

“Kalo diliat dari laporan investigasinya, kenapa ya bapaknya ga cerita atau mengobrolkan kondisinya dengan istri,” tanya Yukie dengan nada memelas, dan juga pasrah. Entah mengapa setiap kali ia mendengarkan, menonton, ataupun membaca beruta seperti ini dirinya menjadi semakin pesimis, untuk semua hal.

“Masyarakat kita ngga memberi tempat bagi laki-laki untuk melakukannya—ah salah, masyarakat membuat laki-laki tidak dapat melakukannya,”

Seporsi nasi goreng rawut pun tersaji di hadapan mereka, asapnya masih mengepul lebat, dan sembari menciun aroma harum nasi goreng tersebut nafsu makan Yukie seketika naik dan berselera.

Fragile of masculinity ya? Budaya patriarki ini kira-kira bisa hilang ga ya menurutmu,” keluhnya sembari menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya, puh! Masih panas!

“Udah tau masih panas langsung dimakan kamu aneh,” ledek Komori yang dibales gerutuan kesal oleh Yukie, “Laper!”

Disendoknya sesuap nasi sembari sedikit di-‘angin-anginkan’ sebelum kemudian menyuapkannya kepada Yukie. “Sulit kalo kata aku, budaya patriarki itu lahir karena adanya konflik kelas dari zaman kita masih jadi manusia nomaden, dan ya… it’s already become our culture,”

Menurut Komori, budaya patriarki ini kemudian tentu saja menciptakan opresi terhadap perempuan, sebagai kelompok yang dipandang ‘lemah’ hanya karena dianggap mereka membawa sifat feminim—namun di satu sisi juga memarginalkan laki-laki. Pada akhirnya laki-laki yang dianggap lemah akan kuasanya juga akan ditindas. Parahnya lagi perempuan pun juga turut meminggirkan mereka.

I’m a man and I acknowledge kalo cowo itu emang bajingan keparat, and I salute women karena mereka profresif banget. Cowo tuh ngerasa gerakan perempuan tuh upaya mereka take control everything mereka paranoid duluan apa yang harusnya jadi milik mereka. Dalam tanda kutip ya. That’s a fragile of their masculinity tapi aku juga ga suka perempuan yang dalam kedok ‘feminis’ itu justru apa ya bahasanya, membolehkan perilaku yang sama kurang ajarnya,”

“Contohnya apa?”

Komori pun bercerita, bagaimana sistem masyarakat mereka ini benar-benar kacau dan berantakan. Dan dia berterima kasih atas gerakan feminis alasannya karena memberikan perspektif baru, new male or masculinity is exist tapi dia kurang suka perempuan dalam tanda kutip, mereka mengaku sebagai seorang feminis pada kenyataannya hanya sebatas membenci laki-laki (walau perilaku tersebut masuk akal mengingat banyak laki-laki bajingan di luar sana).

“Perempuan itu bisa dicintai apa adanya, tapi laki-laki ga bisa, they are not allowed to show their weakness alasannya ya karena stigma yang ada. Itu lah kenapa kalau laki-laki mengalami pelecehan dan lain sebagainya, mereka kelompok rentan, baik di mata sesama laki-laki maupun perempuan,”

Yukie mengangguk paham, dirinya pernah membaca artikel akan hal tersebut dan dia setuju akannya. “Mungkin itu sebabnya ya, kalo ada perubahan kebijakan atau ekonomi laki-laki akan merasa ter-pressure sekali,”

“Eh tapi ngomongin soal society ya sebenarnya aku juga kurang suka sih sama oknum ‘perempuan’ dalam tanda kutip ya, sama seperti laki-laki yang menindas mereka yang dianggap lebih lemah kuasanya. Perempuan tuh… ya balik lagi, masih dalam kedok ‘feminis’ ya… kenapa sih terkadang mereka mengurusi atau easily judgemental to other women?”

Komori menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, obrolan mereka tanpa sadar telah menbuat nasi goreng itu menjadi dingin. Meskipun demikian porsinya bahkan belum berkurang menjadi setengahnya.

“Contohnya gimana?”

“Banyak sih, kayak perdebatan perempuan memutuskan menjadi ibu rumah tangga, mereka beranggapan kalo perempuan itu sorry ya mendapat pressure and control over dominance dari pasangannya, dan sesama perempuan marah—padahal ya suka-suka mereka, dibilang pendidikan tinggi-tinggi kok cuma jadi ibu rumah tangga. It seems some kind of social function not valuable enough in your society,”

“Ini tuh juga kayak perempuan yang memilih memakai pakaian tertutup karena pilihan mereka, bagaimana masyarakat memandang mereka dan fungsi sosialnya ga sih?”

“Bener,”

Dan Komori kembali terkekeh.

“Kadang tuh emang lucu, bagus sih masyarakat menjadi aware bahwa sistem masyarakat tuh ga bener. Tapi semudah itu memberi asumsi dan melabeli orang lain yang ga dianggap sesuai sama nilai yang mereka yakini juga salah. Jatuhnya bukannya sama aja mencoba mendapat dominasi dari kelompok yang dirasa rentan?”

Yukie pun melanjutkan, memberikan permisalan. Bagaimana di kampus, nongkrong, dan di tempat lain ia berbusana berbeda-beda menyesuakin situasi kondisi tetapi tetap memberikan ‘nilai’ serta ‘makna’ dari pakaian yang dia kenakan bahwa dia adalah ‘Yukie’.

Di mana hal tersebut berasal dari nilai-nilai yang ia peroleh, pengalamannya, atau cerita dan pengetahuan yang ia dapatkan.

I’m open with a discussion tapi ketika menjadi semacam dikte baru, kayak apasih kan this is how i want to represent,”

“Nah terus gimana pendapatmu beb, kan rame tuh di TikTok cara berpakaian dan banyak yang debat sopan ga sopan dan akhirnya saling menggurui,”

Pertanyaan Komori tersebut kemudian mengundang kekeh kecil dari Yukie. Ia pun menegak minumannya untuk membasahi tenggorokannya yang seketika terasa kering. Bahkan teh tawarnya pun sudah menjadi anyep karena terlalu lama dibiarkan.

“Kurang kerjaan,”

Komori pun ikut tergelak mendengarnya.

“Cuma ya from what I believe kamu gapapaloh berpakaian sesuai apa yang kamu mau, kamu pengen dilihat seperti apa, tapi ada tapi ya. Kita hidup bermasyarakat, juga harus menghargai budaya yang ada. Ga boleh berbenturan agar harmonis,”

Sepasang insan sejoli, yang harusnya penuh cinta itu justru berakhir tanpa sengaja memulai debat kusir. Meja kecil di warung nasi goreng dua puluh empat jam tersebut seketika berubah menjadi meja debat. Topik baru pun terus bermunculan dan percayalah mungkin saat ini mereka sudah membahas nilai filsafat stoictism ataupun buku filosofi teras secara tiba-tiba.

Dua jam berlalu, kudapan mereka pun mulai habis, televisi pun hanya menampilkan titik-titik hitam putih abu-abu tak beraturan tanda seluruh program siaran telah habis. Meskipun demikian percakapan mereka masih bergulir.

———

Saat ini pukul setengah satu malam, dan mereka telah bersiap-siap untuk pulang. Yukie menerima helm yang disodorkan oleh Komori tersebut, sembari mengenakannya dipanggilnya kekasihnya itu.

“Beb, menurut kamu kehidupan kita beneran bisa equal ga sih?” tanyanya tiba-tiba.

“Utopis banget, ngayal!” jawabnya sambil menoyor dahi kekasihnya itu.

“Ih tapi kan bagus kalo semua baik-baik aja!” keukeuh Yukie dan membuat Komori tertawa kecil.

“Kalau misalnya hidup baik-baik aja kayaknya manusia juga ngga bakalan bisa bercerita kayak kita tadi deh beb,”

“Tapi—,”

“Udah udah, ini emang jam-jam ngaco, mending kita pulang karena udah malem banget,”

———

🍂🍂🍂

Sebenarnya, permainan voli apa yang dapat dikatakan ideal? Bukan, di sini tidak membahas performa pertandingan atau kedua belah tim yang dapat dikatakan baik dan buruk, karena kata ideal sendiri bersifat subjektif—paling tidak begitu yang Sakusa yakini.

Dan Sakusa masih mengingat betul—bahkan sangat jelas dalam benahnya—di mana bagi Iizuna, permainan boli yang ideal adalah sebuah permainan yang akhirnya ia akhiri dengan sebuah senyuman.

Lalu bagaimana dengan Sakusa? Paling tidak ia memikirkan hal tersebut di mana sesuatu yang menurutnya ‘ideal’ adalah sesuatu yang dapat ia selesaikan—hingga tuntas.

Definisi ideal, yang ia yakini kemudian diimplementasikan ke dalam setiap aspek kehidupannya. Tapi entah mengapa akhir hubungannya dengan Iizuna tidak merasa puas, bahkan jauh dari kata ideal. Jika Sakusa menggunakan logika yang sama hubungannya yang kandas bukankah adalah sebuah akhir yang tuntas? Lalu mengapa ia tidak merasakan puas?

Dan hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip hidup Sakusa di mana ia tidak suka menyelesaikan segala sesuatunya setengah-setengah. Itulah mengapa ia memutuskan mengakhiri hubungannya dengan Iizuna karena ia tidak mau menjalaninya setengah hati.

Namun dirinya tidak merasakan puas pada suatu hal yang akhirnya ia tuntaskan.

Lalu sebenarnya apa itu definisi ideal?

Apakah pada akhirnya akan selalu berkolerasi positif yang disebut dengan rasa puas

Sakusa tidak bisa menjawabnya.

🍂🍂🍂

Bagi Iizuna kata ideal merupakan padanan kata akan perasaan rumpah ruah akan sesuatu yang ia sukai atau cintai. Di mana ia ingin mewujudkan dan mengejspresikan hal tersebut.

Sebagai halnya ia yang menyukai kebersihan, maka kehidupan yang ideal adalah saat dirinya memperhatikan betul kondisi higienis seeta sanitasi untuk ya sehari-hari. Kehidupan yang ideal adalah saat ia dapat mewujudkan kehidupan yang bersih dan sehat—diwujudkan dengan upaya menjaga lebersihan diri.

Sama halnya pula dengan voli. Ia menyukai—bahkan mencintai olahraga tersebut yang hanya terbatas pada poin penentuan rentang dua puluh lima dengan selisih dua poin dan dimainkan pada lapangan berukuran sembilan kali sebelah meter.

Ia menyukai bola voli—olahraganya—bagaimana seseorang pun terhubung pada satu tujuan, untuk menjaga bola itu tetap melambung.

Ia menyukai olahraga tersebut—di mana para pemainnya dapat terbang tinggi dan juga bebas demi menggapai bola yang melambung tersebut, pemandangan yang memukau baginya. Bagaimana mereka bisa bebas.

Itulah mengapa, ia ingin mengakhiri permainannya dengan sebuah senyuman—permainan voli yang menurutnya ideal dan itulah cara dia untuk mengekspresikan cintanya.

Itulah mengapa Iizuna akan kembali jatuh cinta dan semakin jatuh cinta akan olahraga tersebut.

Termasuk salah seorang tertentu

Meskipun demikian (kita sebut saja) idealismenya tidak bisa serta merta berjalan sesuai rencana. Di setiap suka akan selalu ada duka, di setiap cinta pun akan membawa luka. Bagaimana ia cidera dan untuk pertama kalinya ada sedikit rasa getir (tidak berani mengatakannya ia membencinya) dalam bermain voli.

Ada pula momentum di mana voli juga mengingatkannya pada kenangan buruk atau orang tertentu. Apakah ia berhenti bermain voli? Tidak, pada akhirnya ia akan kembali memainkannya, ia akan tetap menyukainya seperti sedia kala.

Dan pasa match point set ketiga pada liga generasi monster volleyball Iizuna kembali menemukan cintanya. Saat dirinya merasa bahwa dia tidak akan bisa jatuh cinta lagi dengan orang lain—ataupun keraguan dan rasa takut, bagaimana ia menghadapi hari esok. Akankah dirinya mampu kembali tersenyum seperti sedia kala.

Di seberang net sana, ia melihat figur Sakusa yang tengah terbang tinggi, melambung menembus langit-langit (sedikit hiperbola, harap dimaklumi mereka yang sedang jatuh cinta) berusaha meraih bola yang ikut membumbung di atas sana.

Indah dan penuh kebebasan

Iizuna teramat menyukainya.

Pada akhirnya bagaimana Iizuna dapat bertemu dan mencintai orang lain jika cintanya akan selalu kembali pada orang yang sama? Dan habis di orang lama?

Rasanya Iizuna ingin tertawa lebar, penuh kemenangan. Pada akhirnya telah mendapatkan permainan idealnya.

🍂🍂🍂

Mungkin bagi Sakusa, permainan idealnya adalah rasa syukur yang ia dapatkan selama bermain voli.

Sama halnya dengan kesehariannya, dirinya bersyukur dapat menyelesaikan sesuatu hingga tuntas. Bersyukur diberikan kesempatan untuk menyelesaikan hal yang ia sukai.

Seperti bagaimana ia bersyukur ia memiliki Komori sebagai sepupunya, yang mengenalkanny kepada olahraga voli. Sebagai salah seorang rekan dan juga lawan terbaik, seseorang yang mendorongnya dan membuatnya bertahan hingga sejauh ini.

Ia bersyukur, dengan bermain voli, dan berusahanya menyelesaikannya hingga tuntas—dengan hasil yang terbaik pula—dirinya dapat bertemu dengan orang baru. Lawan maupun kawan tentunya.

Dan ia bersyukur lewat permainan yang terbatas pada lima set ini dirinya dapat bertemu dengan Iizuna

Dan di seberang sana kedua maniknya tak bisa lepas dari sosok Iizuna yang berdiri tegap, kokoh pada posisinya. Kekokohannya selayaknya pohon yang tak mempedulikan angin untuk menjatuhkan ranting ataupun daunnya. Meski demikian tangannya terangkat tinggi—melambungkan bola untk menghubungkannya ke pemukul mereka—selayaknya bunga matahari yang selalu mengikuti kemana sinar matahari berada.

Sakusa ingin jadi satu-satunya arah kemana Iizuna menuju

Mungkin, dirinya tidak pernah kehilangan rasa atau pijar asmara pada Iizuna. Ia hanya jemuh akan keseharian mereka, sejatinya ia pandangannya akan selalu mengarah kepada Iizuna.

Tanpa Sakusa sadari Iizuna-lah poros dunianya

Teeet

Sirine panjang tanda pertandingan telah berakhir. Di mana tim B menang telak dengan skor tiga kosong. Dari posisinya dirinya dapat melihat Iizuna yang bersorak girang dengan tawanya.

Aku ingin mengakhiri permainanku dengan sebuah senyuman

Dan Sakusa pun tersenyum mengingat hal tersebut. Dirinya bersyukur bahwa Iizuna masih mencintai voli seperti dirinya, seperti sedia kala. Dirinya pun turut bersyukur bahwa dirinya menyukai Iizuna yang mencintai voli sepenuh hati.

🍂🍂🍂