komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo


“Kana-chan!”

Gadis ayu bersurai kecoklatan tersebut menoleh, helaian rambutnya menari-nari anggun selaras denggan setiap semilir angin musim dingin yang berhembus, seakan mengeletik wajahnya. Seutas senyum kecil pun tersimpul di paras cantiknya. “Rikuo-kun!” sapanya balik kepada lelaki bersurai kecokelatan dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, membingkai sepasang netra dengan warna senada dengan rambutnya. “Maaf ya, kamu nunggu lama?” tanya Rikuo yang dibalas gelengan lembut dari Kana, “Engga kok,”

Batin sang puan bergemuruh dengan perasaan membuncah, entah mengapa walau dirinya hanya berjalan dan menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan sahabat masa kecilnya itu membuat hatinya seakan dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Apalagi mengingat tidak adanya presensi perempuan lain yang beberapa hari terakhir menganggu ketenangan hatinya, yang selalu ada dan menemani teman masa kecilnya itu. Tidak, tidak, Kana menggeleng dalam hati, tidak mungkin dirinya merasa cemburu, dirinya hanya merasa heran, selama beberapa tahun terakhir dirinya mengenal Rikuo, sahabatnya itu tidak pernah menceritakan apapun soal puan lain yang bernama Oikawa Tsurara tersebut, tetapi keintiman mereka membuat Kana entah mengapa merasa jengah, seakan sok kenal dan sok dekat.

Lamunan gadis itu seketika dibuyarkan saat dirinya merasakan genggaman hangat di pergelangan tangannya, yang seketika membuat wajahnya merona merah karena panasnya suhu tubuhnya-tidak mungkin bukan? pikirnya berkecamuk-tetapi, tanya dalam dirinya seketika dipecahkan oleh sepenggal kalimat dari lelaki yang menggenggam erat pergelangan tangannya dan mengajaknya untuk berlari, “Ayo Kana-chan! Sebelum hari semakin sore,” ujarnya Rikuo sembari tersenyum ke arah Kana. Senyum lebar yang begitu menghangatkan, entah mengapa dirinya seketika merasa berdebar. Apalagi presensi sinar teduh senja pelita di belakang Rikuo seakan menambah kesan 'romantis' di antara mereka. INI SEPERTI DI MANGA SHOJO YANG MAKI PINJAMKAN KEPADA DIRINYA! Guman Kana dalam hati. “A-ah! Iya,” balasnya sembari balik mengenggam tangan lelaki itu, entah kenapa membuat Rikuo pun sedikit terkejut. Namun, sang tuan tetap tersenyum kepada puan di hadapannya.


“Ara? Tsurara,”

Dara ayu bersurai hitam legam panjang dengan gradasi putih kebiruan itu nampak berjalan dengan sedikit enggan. Tangan yang selalu ia tutupi dengan kain kimono panjangnya itu ia bawa untuk menutup mulutnya, sementara sepasang netra keemasan dengan rongga cincin berulang itu menatap wanita dewasa bersurai ikal panjang yang diikat tinggi ke atas keheranan. Di sebelahnya, ada sosok wanita muda lainnya yang tengah duduk di atas tatami sembari memandangi pohon sakura dengan bunga yang bermekaran. Semilir angin musim semi memainkan kelopak merah muda tersebut, yang turun secara perlahan tanpa benci karena perbuatan sang angin, justru geraknya nampak anggun dan juga gemulai.

“Kejoro? Saya kira Wakana-san hanya memanggil saya...,” ujarnya sedikit keheranan, sedangkan puan dengan paras rupawan bernama Kejoro itu pun menampilkan raut sedikit kecewa, dengan tatapan mata sedikit sedih dan juga mulut yang memberengut kecil, “Ara, jadi kamu tidak mengharapkan kehadiranku?” godanya kepada gadis muda tersebut yang membuatnya seketika gelagapan. Sementara itu, wanita dengan surai pendek seleher itu pun terkekeh kecil akibat interaksi kedua gadis 'yokai' tersebut sebelum mempersilahkan Tsurara untuk duduk di sebelahnya.

Gadis berkimono putih dengan kulit seputih salju itu pun menurut, walaupun pikirnya diselimuti oleh kelamut tanya dan sangka. Kenapa ibu tuan mudanya itu memanggilnya? Apa dirinya akan dihukum karena mengabaikan perintah tuannya? Tanpa Tsurara sadari, dapat ia rasakan genggaman hangat yang menyelimuti kedua tangannya yang sedingin es di musim dingin tersebut. Membuatnya sedikit terkejut karena Wakana yang tiba-tiba mengenggam tangannya. “Tsurara-chan, kamu mau belajar merajut?” tanya wanita itu tiba-tiba. Itu bukanlah sebuah perintah, melainkan adalah tawaran, gadis muda itu pun menolehkan pandangannya ke arah Kejoro yang hanya tersenyum ke arahnya.

“Aku tidak tau apa yang terjadi pada Tsurara-chan, aku pikir mungkin dengan mengajari Tsurara-chan merajut akan membuat suasana hati Tsurara-chan membaik! Apalagi melihat Tsurara-chan yang suka mengenakan syal, jadi tidak ada salahnya kan untuk belajar merajut!” jelas Wakana, seakan mengerti kebingungan yang ada apa raut manis gadis muda di hadapannya.

“Ah lalu! Aku mengajak Kejoro juga agar kita bisa memiliki waktu bersama antar perempuan! Kalian tau, sebagian besar penghuni dan yokai di sini adalah laki-laki, jadi bukankah baik kalau perempuan bisa menghabiskan waktu bersama?”

Wakana masih mengenggam erat tangan Tsurara, senyum lebar dan penuh harap tersebut tentu saja merupakan salah satu kelemahan Tsurara, selain mana mungkin ia menolak ajakan dari ibu tuannya itu, siapa yang tega mengecewakan harap dari wanita yang ia anggap sebagai figur ibu juga di rumah ini. Tsurara pun tersenyum, membuat kedua matanya menyipit selayaknya bulan sabit, “Huum!” jawabnya, yang dibalas oleh tepuk tangan senang dari Wakana.


“Rikuo-kun, sebenarnya kita mencari apa?” tanya Kana, sembari berjalan beriringan di sebelah kanan Rikuo. Saat ini mereka sedang ada di plaza yang berlokasi di pusat kota Ukiyo. Terhitung sudah tiga toko yang Rikuo dan Kana kunjungi, tetapi Kana masih tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah dicari oleh lelaki itu. Meskipun demikian lelaki itu tetap bungkam, meskipun demikian pandangnya sibuk menelisik setiap toko yang mereka lalui. Hingga akhirnya sepasang netra hazel itu membulat penuh harap dan kegembiraan manakala mendapati salah satu butik yang khusus menjual syal untuk perempuan.

“Kana-chan, kamu keberatan tidak kalau kita mampir ke satu toko lagi?” tanya Rikuo. Namun sepertinya pertanyaan tersebut lebih ke sebuah pernyataan, karena lelaki itu sudah menarik kembali pergelangan tangannya, membawa mereka berdua masuk ke salah satu toko kecil yang menjual aksesoris perempuan, khususnya berbagai macam jenis syal yang terpajang di etalase. “Tu-tunggu, Rikuo-kun!”

Walaupun mulanya Kana nampak enggan, gadis itu tidak bisa membohongi dirinya betapa ia begitu takjub serta terkesima akan aksesoris yang dijual di toko tersebut. Syal-syal yang terpajang menampilkan berbagai macam warna, corak, dan motif yang nampak indah namun juga elegan. Bahannya pun sangat halus saat bersentuhan dengan kulitnya, dan juga tebal.

“Kana-chan?'

Gadis itu sedikit berjengit saat merasakan tepukan lembut dipundaknya, ditolehkan kepalanya yang mendapati Rikuo tengah tersenyum ke arahnya sembari membawa dua jenis syal berbeda warna. Tangan kanannya memegang syal berwarna merah muda yang sedikit pucat, dengan bordir berbentuk hati kecil di sisi kanan kirinya. Ujung syal tersebut pun nampak ada kain yang sengaja dijahit menjuntai, seakan menyisakan serut kain di setiap ujungnya. Sementara tangan kirinya, memegang syal berwarna biru langit dengan gradasi biru tua dan juga purtih, di setiap ujungnya ada bordir bunga sakura dan juga kelopaknya, yang dihiasi bordir snowflake tipis pada keseluruhan syal. Jujur saja, pilihan Kana akan jatuh pada syal berwarna merah muda, selain karena dia menyukai warna tersebut, syal biru itu sedikit mengingatkannya kepada gadis lain, di mana surai panjang legamnya berwarna serupa dengan syal yang dipegang rikuo pada tangan kirinya.

“Aku suka yang berwarna merah muda, lebih imut,” jelas Kana. Rikuo pun mengangguk setuju tetapi raut wajah teman masa kecilnya itu masih terlihat berpikir dan juga ragu, “Aku juga merasa begitu, yang pink ini manis. Tetapi yang biru ini... menurutku akan lebih cocok untuknya,” gumam Rikuo yang membuat Kana menautkan alis, untuk-nya? Siapa maksudnya?

“Ara? Apakah kamu sedang mencari kado untuk pacarmu?”

Suara lembut dan sedikit mendayu dari sang pelayat toko membuat baik Rikuo maupun Kana terkejut dibuatnya. Sementara itu, sang SPG hanya terkekeh kecil melihat reaksi dari sepasang sejoli remaja tersebut. “E-eh uhm... tidak... Anda salah paham,” kilah Kana dengan semburat merah muda di kedua sisi wajahnya, sang pelayan toko itu pun tidak bergeming, masih menampilkan seutas senyum lembutnya.

“A-ah i-iya, tidak seperti itu..., aku hanya mencari kado untuk seseorang..., tetapi karena aku tidak tau apa yang disukai perempuan jadi aku mengajak sahabatku...,”

Ouch, entah kenapa mendengar penjelasan Rikuo barusan seketika membuat hati Kana seakan terhantam sesuatu.

“Eh~? Saya kira Anda mencari kado untuk pacar Anda? Jadi gadis ini bukan pacar Anda?” tanya sang pelayan toko yang dibalas gelengan kompak oleh Rikuo dan Kana. Nampak tak acuh, sang SPG itu pun menepukkan kedua telapak tangannya, dengan senyum lembut yang masih terpatri di wajahnya, “Jadi, untuk siapa kadonya? Seperti apa orangnya? Mungkin saya bisa membantu~” jelasnya.

Mendengar pertanyaan sang pelayan toko, Kana sedikit melirik ke arah Rikuo dengan semburat merah muda samar di kedua sisi wajahnya. Sepasang manik matanya menangkap gelagat salah tingkah yang tak pernah dirinya temukan pada sosok sahabat masa kecilnya itu. Dari lubuk hati terdalamnya, Kana penasaran, seperti apa seseorang yang hendak dikado oleh sahabatnya itu.

Dengan malu-malu, dan juga rona merah muda tipis di kedua sisi wajah Rikuo yang ditutupi oleh kacamata bulatnya Rikuo pun mejelaskan. Bagaimana gadis itu memiliki kulit putih lembut selayaknya salju, meskipun demikian, senyum dan binar matanya begitu hangat seakan mampu melelehkan salju musim dingin yang panjang, dan menyambut musim semi yang hangat dan penuh suka cita. Gadis yang selalu bersemangat untuk mengerjakan apapun sepenuh hati, “Tapi sepertinya akhir-akhir ini aku membuatnya kesal..., jadi mungkin dengan membelikannya kado aku bisa membuatnya tersenyum lagi,” ujar Rikuo malu-malu.

Kana yang mendengar penjelasan panjang dari sahabatnya itu hanya bisa melengos, memegangi dadanya yang entah mengapa merasa sakit luar biasa. Bahkan berkali-kali menegarkan dirinya, bahwa itu bukanlah masalah besar. Meskipun demikian, di sisi lain, Kana juga penasaran, siapa puan yang berhasil mencuri hati sahabatnya, sehingga Rikuo mampu menceritakannya dengan penuh cinta dan juga kekaguman seperti itu?

“Ah? Apakah ini pacarmu?” tanya sang pelayan toko itu kembali, yang membuat Rikuo seketika langsung gelagapan. Pelayan toko itu pun terkekeh kecil melihat siswa SMP yang salah tingkah di hadapannya itu, “Kalau menurut saya, yang biru muda akan lebih cocok untuk gadis itu,”

“Ngomong-ngomong, musim dingin sebentar lagi berakhir, dan valentine pun masih lama, kenapa kamu memilih untuk mengadonya syal?” tanya sang pelayan toko, sembari menyiapkan belanjaan milik Rikuo, yang diminta untuk di kemas pada kotak kado berwarna putih dengan pita merah muda. “Karena dia sangat menyukai musim dingin,” jawabnya singkat sembari tersenyum, membuat sang pelayan toko itu terkekeh kecil. “Sebentar, sepertinya saya ada barang menarik untukmu,”

Tak selang lama, sang pelayan toko itu kembali dengan sebuah liontin dengan hiasan snowflakes yang sangat cantik, “Cantinya...,” gumam Kana tepat di sebelah Rikuo sembari melihat liontin tersebut, “Hahaha, sayangnya gadis-gadis jaman sekarang lebih menyukai kalung dengan hiasan bunga ataupun aksesoris imut dibandingkan ini, jika kamu tertarik saya akan memberikan potongan harga,” ujar sang pelayan tersebut sembari mengedipkan sebelah matanya, membuat Kana terkekeh canggung, teknik marketing rupanya. Tetapi apa yang dikatakan sang pelayan toko itu ada benarnya juga, jika dirinya disuruh memilih ia akan memilih liontin dengan hiasan bunga atau aksesoris imut lainnya dibandingkan keping salju seperti itu. “Akan aku ambil,”

Pernyataan Rikuo tersebut sedikit membuyarkan lamunan Kana, gadis itu menoleh ke arah lelaki di sebelahnya yang menatap liontin tersebut dengan binar benuh harap dan juga suka cita. Tanpa sadar membuat Kana mengulum seutas senyum kecil, “Entah siapa yang diberikan kado oleh Rikuo-kun, sepertinya dia adalah orang yang sangat ia sayang,”


“Waaah~ Tsurara-chan! Kamu mahir sekali!” ujar Wakana bangga sembari menepuk kedua tangannya sebelum memeluk erat wanita salju di sebelahnya, seakan menghiraukan temperatur suhu gadis muda berkulit putih pucat yang begitu dingin selayaknya musim dingin. Sementara itu, gadis mungil bernama Tsurara itu terkekeh kecil sembari merentangkan sapu tangan yang berhasil dirinya rajut. Sapu tangan berwarna putih dengan hiasan bunga sakura dan juga cangkir sakazuki di bagian pojok kanan bawahnya. Kejoro yang melihatnya itu pun tersenyum jahil sembari memegangi dagunya dengan sebelah alis yang terangkat, “Apa ini buat Waka?” tanyanya jahil yang seketika sukses menciptakan semburat merah mudah di pipi pucat sang gadis musim dingin tersebut, “E-eh? Bukan!” kelaknya sebelum kemudian melipat saputangan tersebut, “Lagian..., saputangan ini tidak terlalu bagus untuk menjadi kado Rikuo-sama,” jelasnya sembari tersenyum simpul.

“Huum~? Kalau menurutku justru Rikuo akan sangat senang dengan hadiahmu itu! Apapun hadiahnya jika Tsurara-chan yang memberikannya, Rikuo pasti akan menerimanya dengan senang hati,” ujar sang ibunda dari tuannya tersebut yang semakin membuat Tsurara semakin salah tingkah dibuatnya. Angannya pun seketika semakin melayang tinggi, bagaimana jika Wakana memang sudah merestuinya dengan sang tuan muda?! Ta-tapi tuannya itu menyukai teman masa kecilnya, dan tidak seharusnya dirinya melebihi batasan antara master dan juga servant. “TIDAAAAAK,” ujar Tsurara tiba-tiba dengan wajah yang sudah semerah kepiting rebus, melihat hal tersebut Wakana dan Kejoro hanya bisa terkekeh kecil karenanya. Remaja yang tengah jatuh cinta memang usia lucu-lucunya.

“Nee, Tsurara, apakah kamu masih ngambek sama Rikuo-sama?” tanya Kejoro sembari mendekatkan dirinya di dekat kuping Tsurara, membisikkan sesuatu. Ekspresi berbinar Tsurara pun kembali menjadi kejengkelan sebelum terukir seutas senyum jahil di paras manis gadis es itu. “Nee, Kejoro, sepertinya aku punya ide menarik!” ujar Tsurara, dapat Kejoro rasakan aura gelap yang menguar dari gadis tersebut yang seketika membuatnya sukses meleguh ludah. Wanita dewasa dengan rambut ikal itu sepertinya memiliki firasat buruk, sementara itu, Wakana tampak tidak mengerti apapun.

“Nee~ Kejoro, bisakah aku meminta tolong kamu panggilkan Kubinashi-kun~?”

Dan sepertinya firasat Kejoro benar adanya.


“Terima kasih ya Kana-chan! Maaf sekali harus merepotkanmu sampai sore begini,”

Gadis bersurai cokelat itu menggelengkan kepalanya dengan anggun, semilir angin sore hari kota Ukiyo memainkan anak-anak rambutnya, sebelum jemari lentiknya ia bawa untuk menyibakan anak-anak rambutnya ke balik telinganya, “Uhm-hum! Bukan masalah Rikuo-kun,” jawabnya lembut, gadis itu pun mencondongkan tubuhnya ke arah Rikuo dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, “Nee, jadi apa aku boleh tau kado ini untuk siapa?” tanya sang puan penasaran yang seketika membuat Rikuo sedikit gelagapan karena salah tingkah. “E-eh?! Bukan buat siapa-siapa kok!” jawab Rikuo yang tentu tidak serta merta dipercayai oleh Kana begitu saja, gadis itu masih memandangnya penuh telisik. “Huum..., aku bakalan kecewa sih kalau Rikuo-kun punya pacar tapi ngga bilang-bilang aku,” ujar Kana sembari sedikit bercanda, membuat Rikuo menatapnya bingung yang seketika membuat gadis di hadapannya itu salah tingkah. “E-eh, jangan salah paham dulu! Bu-bukannya aku cemburu! Cuma, aku bakalan sedih karena Rikuo-kun merahasiakannya..., ta-tapi aku pasti akan selalu mendukungmu!” ujar gadis itu penuh keyakinan sebelum kemudian menggenggam erat tangan kanan milik Rikuo yang membuat lelaki itu sedikit terpejerat. Raut wajah terkejutnya itu seketika melembut, dibalasnya genggaman tangan teman masa kecilnya itu, “Heem! Terima kasih Kana-chan!”

Kana hanya tersenyum kecut, sepertinya Rikuo masih tidak mengerti maksudnya. Tetapi tidak apa, mereka juga masih 'kecil' mungkin Rikuo juga belum menyadari perasaannya yang seutuhnya dan sebagai teman baiknya tentu saja Kana akan mendukungnya! Tidak hanya itu, Kana harus ingat dirinya juga sudah punya pangeran berkuda putihnya, sang pemimpin yokai dengan rambut putih bergradasi hitam menjuntainya, dan tatapan matanya yang tajam dengan sepasang netra yang gemerlapnya layaknya kilap permata. Mengingat sosoknya pun seketika membuat Kana salah tingkah. “Kana-chan? Ada apa?” tanya Rikuo khawatir yang seketika mendekatkan dirinya untuk mengecek suhu tubuh gadis dihadapannya dengan menempelkan tangannya di kening gadis itu. Rona merah muda di sisi wajahnya pun semakin bersemu, membuat Kana cepat-cepat menarik dirinya, 'tenang Kana, tenang, kamu tidak perlu salah tingkah! Lagi pula kamu sudah ada orang yang kamu suka!' ujarnya pada diri sendiri meneguhkan hatinya.

“Aku tidak apa-apa Rikuo-kun!” jelas Kana berusaha meyakinkan, masih dengan semburat merah di wajahnya. “Nee..., ayo kita pulang, ini sudah semakin larut,” ajak sang puan. Rikuo pun mengangguk setuju, tepat saat dirinya hendak berjalan beriringan dengan sang gadis, dapat ia rasakan darahnya yang terasa mendidih, gawat, sosok yokainya sebentar lagi akan mengambil alih dan Kana tidak boleh mengetahuinya.

“Rikuo-kun?” tanya sang gadis khawatir, Rikuo hanya menggeleng kepala pelan dan tersenyum simpul, “Tidak apa-apa Kana-chan, ah iya apakah ngga apa-apa kalau misalnya kita pisah di sini?” tanya Rikuo yang seketika membuat Kana mengangkat sebelah alisnya bingung, “Kenapa?” tanya sang puan. “Aku baru ingat kalau kakekku ada titipan dan kalau misalnya kamu ikut takutnya kamu pulang makin kemalaman,” kilah Rikuo, berasalan. Belum sempat Kana menyanggah, Rikuo sudah menarik tangannya, “Udah dulu ya Kana-chan, maaf ya. Makasih udah nemenin aku hari ini, kamu hati-hati di jalan ya! Sampai ketemu besok di sekolah!” ujar Rikuo sembari tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Kana. Gadis itu pun dengan agak canggung meskipun demikian dirinya tetep berusaha memberikan senyum terbaiknya kepada sahabatnya itu. Mereka pun berpisah di persimpangan utama pusat toka Ukiyo, sepasang mata kecokelatan itu mengamati dengan seksama sosok punggung mungil Rikuo yang mulai hilang di kerumunan orang-orang. Kana pun membalikkan badannya. Namun, tepat sebelum ia melajukan kakinya, dirinya teringat akan sesuatu hal. Mungkin saja, jika dia meminta bantuan kepada Rikuo. “Rikuo-kun!”

Tepat saat Kana kembali menolehkan pandangannya sosok tersebut telah hilang dari pandangannya, menyisakan kelopak bunga sakura yang berguguran di langit senja pelita kota Ukiyo. Kana pun berbisik lirih, “Rikuo...kun...,”


“Anu Tsurara..., sampai kapan aku harus menunggu seperti ini...,” Kejoro yang melihat Kubinashi yang pasrah sembari memangku buntalan benang merah miliknya pun terkekeh kecil, sementara itu gadis yang bernama Tsurara itu pun tidak menghiraukannya, dara manis itu masih asik merajut dan menautkan benang demi benang berwarna merah menjadi sebuah syal yang sudah setengah jadi itu. “Kakiku kram...,” rengeh Kubinashi yang tidak diindahkan sama sekali oleh Tsurara.

Sejujurnya Kubinashi pun merasa sedikit nelangsa dengan nasibnya saat ini, karena ayolah bayangkan saat di mana Kubinashi, yang ditakuti akan benangnya yang mematikan, bahkan tak bisa terputus karena merupakan sumber ketakutannya itu justru berakhir seakan tak memiliki harga diri di hadapan yokai gadis salju tersebut, yang menjadikan benang berharganya sebagai alat rajut. Hal tersebut yang membuat Kubinashi mau tidak mau harus duduk menemani Tsurara hampir selama dua jam yang membuat kakinya mati rasa. “Ayolah Kubinashi, kamu laki-laki tidak usah banyak merengek karena hal sepele seperti ini, dan kamu yang bilang sendiri ingin meminta maaf? Kenapa? Kamu berubah pikiran?” tanya Tsurara tetapi tidak menatap Kubinashi sama sekali yang seketika membuat lelaki tanpa leher tersebut sedikit merinding karena nada bicara gadis yang selalu ceria itu terdengar sangat dingin dan juga ketus.

“Aku pulang,”

Baik Kubinashi, Kejoro, dan Tsurara pun hanya melirik sekilas saat mendengar suara khas komandan ketiga klan Nura di pintu depan tersebut. Tuan mudanya itu baru saja pulang. Sang ibunda yang tadi tengah asik bercengkrama bersama Tsurara dan juga Kejoro itu pun sudah pamit terlebih dahulu untuk menyiapkan makan malam, tak selang berapa lama setelah Kubinashi datang menghampirinya. Ah sedikit cerita, kenapa Kubinashi bisa berakhir mengenaskan seperti ini adalah karena perintah sang komandan utama, Nurarihyon, yang meminta tolong kepadanya untuk memanggilkan menantunya. Berakhir dengan dirinya yang bertemu dan Tsurara.

Tepat saat Wakana pergi, Kubinashi dapat merasakan tatapan tajam dan juga sinis dari Tsurasa yang sukses membuat bulu kuduknya meremang tak nyaman, seakan ada hembusan hawa dingin yang membelai tengkuknya.

Nee.., Kubinashi, kamu masih ingat bukan kalau aku masih marah sama kamu?dan Kubinasi pun meneguk ludahnya tak nyaman, seketika ia merasa tercekat dan tenggorokkannya keringTsu-Tsurara-chan..., kenapa kamu berkata seperti itu,balasnya sembari tersenyum canggung, hanya bibir sebelah kirinya yang terangkat.Aku hanya memikirkan sesuatu yang mungkin bisa membuatku memaafkanmu, apa aku boleh pinjam kekuatanmu?

Dan siapa sangka permintaannya akan berakhir seperti ini, dengan Tsurara yang merajut syal dengan 'ketakutan' miliknya. “Ah! Tsurara! Sepertinya waka sudah kembali akan lebih baik kalau-!” ucapannya tertahan karena Tsurara yang sudah mencengkram syal hitam milik Kubinashi sembari tersenyum. Namun, bukan senyum penuh kehangatan dan ramah tamah yang biasanya ditunjukkan oleh sang gadis musim dingin tersebut, melainkan senyum 'dingin' mematikan yang membuat siapapun melihatnya merasa tak nyaman dan merinding. “Nee, Kubinashi, kalau kamu pergi syal ini tidak bisa jadi kan?” ucapnya sembari mendekat ke arah Kubinashi, “Kan~?” ujarnya masih dengan tersenyum, membuat Kubinashi berkeringat dingin. Lelaki bersurai pirang tersebut menoleh ke arah Kejoro yang hanya mengedikkan bahunya tak mau tau dan terlibat, “Aku akan membantu Wakana-san menyiapkan makan malam untuk Rikuo-sama,” ujar wanita dewasa dengan surai ikal lebat tersebut, meninggalkan Kubinashi yang mau tidak mau menjadi tumbal Tsurara.


“Kejoro? Mana Tsurara?” tanya Rikuo tepat setelah ia menghabiskan makan malamnya, sang pelayan wanita itu pun membereskan sisa makan tuannya, “Ah? Dia sedang di halaman belakang bersama Kubinashi,” ujarnya sembari membereskan mangkuk, sumpit, gelas, dan meletakkannya pada tatakan yang ia bawa. “Tuan hari ini pulang terlambat, apa ada masalah?” tanya pelayan wanita yang sudah Rikuo anggap layaknya seorang figur kakak itu.

Yokai lelaki muda itu menggeleng, mata semerah darahnya itu menatap tajam ke arah luar seakan menerawang jauh ke sesuatu yang mungkin saja Kejoro tau penyebabnya apa. Keresahan tuannya begitu kentara, membuat Kejoro terkekeh kecil, “Hey Kejoro, apa yang dilakukan Tsurara bersama Kubinashi? Apa mereka berdua?” tanya Rikuo tiba-tiba membuat Kejoro sedikit terkejut sembari menaikkan sebelah alisnya. Tanpa sadar ia pun tersenyum samar, “Jika Tuan penasaran, Tuan bisa mengeceknya sendiri,” jelas Kejoro, “Saya pamit undur diri dulu tuan,” ujar Kejoro sembari merapikan sisa makanan Rikuo yang dibalas anggukan pelan sang tuan, tanpa menghiraukan sosok yokai wanita dewasa tersebut yang tengah terkekeh kecil.


“AKHIRNYAAAA!” pekik Tsurara girang sembari merentangkan syal merahnya yang telah jadi, membuat Kubinashi pun akhirnya dapat bernafas lega, paling tidak syal itu jadi, menjadi bayaran setimpal bagi kakinya yang sudah mati rasa. Ah, jangan lupakan juga senyum Tsurara yang merekah layaknya bunga sakura di musim semi setelah musim dingin yang panjang. “Hehe terima kasih ya Kubinashi! Maaf sudah merepotkanmu!” ujar Tsurara masih dengan senyumnya, matanya menghilang, menyipit layaknya bulan sabit dengan semburat merah muda penuh suka cita di kedua sisi wajahnya.

“Aku turut senang Tsurara, kalau gitu apakah boleh aku pergi sekarang? Kejoro mungkin memerlukan bantuanku,” dan Tsurara pun mengangguk, tepat saat Kubinashi hendak bangkit berdiri, lelaki itu seketika limbung, membuat Tsurara sedikit terkejut dan berusaha untuk membopoh tubuhnya, mereka berdua pun tertawa bersama, “Sepertinya kakiku beneran mati rasa,” ujar Kubinashi sembari sedikit bercanda membuat Tsurara seketika melotot, “Serius? Selama itu?!”

“Ah? Kubinashi? Aku kira selama ini kamu ada rasa sama Kejoro,” seketika kedua insan yokai tersebut berjengit kaget saat mendengar suara serak dan dalam pemimpin mereka, “Rikuo-sama?!” balas Kubinashi terkejut, seakan tertangkap basah tengah 'berselingkuh' sementara itu Tsurara hanya menutup mulutnya dengan ujung kain kimononya, melirik sekilas ke arah Kubinashi dan tuannya itu secara bergantian. “A-anda salah paham, saya sama Tsurara hanya-,” belum sempat Kubinashi menjelaskan Rikuo sudah memotong ucapan lelaki tersebut dan berkata, “Kembalilah, aku ingin bicara berdua dengan Tsurara,” dan tanpa babibu Kubinashi pun membungkukkan badannya patuh sebelum kemudian berlalu, walau dengan rasa 'kesemutan' di kakinya yang masih belum hilang, melihat Kubinashi yang tertatih saat berjalan Tsurara pun memanggil sosok yokai laki-laki tanpa leher tersebut, “Nee, Kubinashi, sebagai permintaan maaf kamu nanti bisa menghampiriku untuk aku obati,” jelas Tsurara yang dibalas ucapan terima kasih dari sosok Kubinashi yang berlalu, membiarkan tuannya dengan sang Yuki Onna.

Malam itu, hanya tinggal Tsurara dan juga Rikuo dalam wujud yokainya di pekarangan belakang klan Nura, sinar teranam dari bulan purnama membiasi langit, dan menciptakan refleksi sedikit redup kekuningan dari pantulannya pada permukaan kolam yang ada di sana, di satu sisi, membuat kulit porselen sang yokai wanita semakin bercahaya karenanya. Tsurara adalah yang pertama kali memecahkan keheningan di antara mereka dengan membungkuk hormat kepada tuannya, “Selamat malam Rikuo-sama,”

“Ya, Tsurara,” keheningan kembali menyeruak di antara mereka. Sebenarnya, rasa jengkel Tsurara kepada tuannya itu sudah sedikit menghilang, karena dirinya berhasil merajut syal tetapi mengingat Rikuo yang pulang terlambat karena 'pergi bersama Kana' seketika membuatnya kembali jengkel, ah tapi apa pedulinya, toh dia juga yang menolak ajakan tuannya dan memang tuannya ini kurang mawas diri. AH SEMAKIN MEMBUAT TSURARA KESAL, tanpa sadar gadis itu mendecih sembari mengerlingkan matanya, raut tak senang dari gadis itu tentu saja tertangkap oleh sang tuan. “Tsurara? Kamu marah?”

Pengen rasanya Tsurara balas pikir saja sendiri, tetapi mengingat bahwa lelaki di hadapannya ini adalah tuannya tentu saja dia tidak bisa seperti itu bukan?

“Tidak, saya senang melihat tuan kembali dengan selamat, jika tidak ada yang dibicarakan maka saya pamit undur diri untuk beristirahat,” ujar sang puan, meminta izin untuk undur diri. Tetapi belum sempat Tsurara pergi dapat Tsurara rasakan genggaman hangat dari yokai lelaki di hadapannya itu, yang perlahan membalut dan menggandeng tangan kanannya, “Rikuo-sama...?”

“Tsurara, kamu belum jawab pertanyaanku,” dan itu adalah sebuah perintah yang membuat Tsurara menghela nafas berat. Gadis itu pun berbalik, masih membiarkan Rikuo menggandeng tangannya sementara tangan kirinya ia letakkan di pinggangnya, berdecak sembari menatap Rikuo dengan sebelah alis terangkat, “Kadang aku takjub loh sama waka, terkadang waka bisa sangat teliti tapi di satu sisi juga bisa sangat tidak peka,” ujar Tsurara yang membuat Rikuo sedikit terperajat, apakah itu pujian? “Oke...? Terima kasih?” ah rasanya membuat Tsurara ingin memijat pelipisnya, benar-benar tuannya ini.

“Aku kesel dan juga gemes sama Rikuo-sama, tetapi yah itulah Rikuo-sama yang aku sukai,”

“Eh?” dan tentu saja Rikuo tidak menyangka pernyataan mendadak dari bawahannya tersebut, meskipun demikian ekspresi kesal sang puan sudah berganti dengan senyum lembut yang biasa ditunjukkan sang puan kepadanya. Rikuo yang masih terpaku layaknya patung batu pada posisinya itu bahkan tidak menyadari Tsurara yang telah melepaskan gandengan tangan mereka.

Sepasang netra semerah delima itu menatap tajam sosok mungil di hadapannya yang masih tersenyum lembut sembari memasangkan syal merah kepadanya. “Lain kali, jika ada rencana, Rikuo-sama bisa mendiskusikannya dengan kita terlebih dahulu, dan jangan melibatkan diri ke dalam bahaya melulu, bukankah itu tugas kita sebagai Hyakki Yakou dari Rikuo-sama untuk melindungi Anda?” ujar Tsurara sembari merapikan syal merah tersebut.

“Nah! Sudah! Dengan begini juga tuan tidak perlu kedinginan!” ujar sang puan riang sembari menepuk-nepuk syal merah tersebut. Senyuman yang beberapa hari terakhir tidak Rikuo lihat dan entah kenapa setelah melihatnya kembali, ada semacam kerinduan yang membuncah dan juga perasaan suka cita karenanya. “Kalau gitu saya pamit undur diri ya Rikuo-sama, sudah larut, jangan tidur terlalu malam,” ujar Tsurara, mengingatkan sembari kembali berdecak pinggang dan mencondongkan tubuhnya ke arah Rikuo dengan raut wajah serius. Membuat Rikuo sedikit terkejut karenanya.

Tsurara pun kembali tersenyum dan berlalu begitu saja, meninggalkan Rikuo yang termangu dalam posisinya, meskipun melupakan fakta bahwa harusnya dirinya lah yang meminta maaf dan menyerahkan kado kepada Tsurara, bukan sebaliknya. Tetapi, tingkah Tsurara tersebut sukses membuatnya terkekeh, semburat merah muda tipis pun terlihat di wajah tampan yokai muda tersebut yang berusaha menutupi wajahnya dengan syal merah yang baru saja dikenakan oleh sang gadis musim dingin kepadanya.

Benar-benar gadis yang tidak bisa ditebak


Nahida masih berdiri termangu di depan cermin besar kamar miliknya, menghiraukan kondisi kamarnya yang sudah selayaknya kapal pecah, dengan berbagai pasang baju atasan dan bawahan yang berserakan di kasur, sofa, meja belajar, dan juga lantai kamarnya. “Berlebihan gak ya?” ujarnya pada diri sendiri sembari menatap refleksi bayang dirinya pada cermin di hadapannya. Ia nampak manis dengan dress one piece selutut berwarna hijau tua yang dipadukan dengan atasan berbahan katun brokat dengan lengan puff yang memiliki hiasan pita di kerahnya berwarna putih tulang, senada dengan warna atasannya, tetapi memiliki bordir yang senada dengan dress yang ia kenakan.

Rambut yang biasa dia ikat pigtail menyamping itu ia biarkan terurai. Surai putih itu menggantung hingga mencapai punggungnya, dengan tekstur bergelombang di bagian bawah dengan sedikit corak kehijauan di bagian bawahnya. Cukup kontras namun masih serasi dengan pakaian yang ia kenakan. Tidak lupa, agar menambah kesan manis yang ada, puan berfigur mungil tersebut mengenakan hair scraf yang ia bentuk selayaknya pita, hiasan rambut miliknya berwana keemasan yang dipadukan dengan warna hijau tua dan hitam. Sekali lagi, ia memerhatikan pantulan dirinya, dapat ia lihat kedua pipinya yang bersemu serta deru detak jantung yang lebih cepat daripada biasanya. Berkali-kali pula dirinya mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap tenang, dan tak lupa menghirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan panjang. “Oke Nahida, kamu sudah siap! Jangan seperti dulu di mana kamu membuat Haitham menunggu,” ujarnya pada diri sendiri sembari mengepalkan kedua tangannya. Diambilnya tas selempang berwarna putih miliknya sebelum kemudian mengenakan kaus kaki berwarna putih yang panjangnya hanya lebih sedikit dari mata kakinya. Tak memedulikan kamarnya yang berantakan 'bisa dibereskan nanti,' pikirnya, ia pun melangkahkan kakinya dengan penuh keteguhan hati, terlepas degup jantungnya yang masih tak beraturan. Dibukanya pintu kamarnya sebelum ia tutup kembali dan melangkahkan kaki mungilnya dengan mantap menuruni setiap anak tangga di rumahnya.


“Loh? Nahida? Mau kemana?” suara lembut nan mendayu milik sang kakak itu muncul dari dapur, tepat saat Nahida tiba di anak tangga terakhir, sepasang mata sehijau jelaga miliknya mendapati figur sang kakak yang tengah asik memasak di dapur. Belum sempat Nahida menjawab, seutas senyum jahil pun merekah di paras rupawan wanita dewasa tersebut, dengan salah satu alis yang terangkat dan lirikan matanya yang menggoda, seketika membuat Nahida pun salah tingkah, “Biar aku tebak, kencan sama Haitham?” ujar sangkah yang semakin membuat wajah Nahida pun seketika semerah tomat, cepat-cepat gadis itu pun mengelak, membuat kakaknya itu terkekeh kecil. Gemas akan adiknya yang polos dan mudah ditebak itu.

“Ti-tidak seperti itu, kakak salah paham...,” ujar Nahida sembari mendorong pelan kakaknya yang semakin mencondongkan dirinya ke arahnya, lebih dekat seakan begitu semangat menggodanya, wajahnya pun semakin memerah, membuat kakaknya itu terkekeh kecil sebelum mengusap lembut rambut sang adik, agar hiasan rambutnya yang Rukkhadevata yakini sudah Nahida usahakan sepenuh hati, ia tidak ingin pula dandanan menawan adiknya itu berantakan hanya karena ulahnya. Masih dengan wajahnya yang bersemu, Nahida dan Rukkhadevata pun berbagi tawa, seakan mengerti apa yang mereka pikirkan satu sama lain. Momen hangat kedua kakak beradik itu pun terhenti saat telinga mereka menangkap suara deru mesin mobil yang seiring berjalannya waktu berhenti. “Oh, Haitham udah datang tuh,” ujar Rukkhadevata dan Nahida pun mengangguk pelan, sembari memegangi dadanya, astaga dirinya kembali deg-degan.

“Kak...,” puan yang lebih dewasa itu menoleh kala sang adik masih tak bergeming di posisinya, Rukkhadevata pun tersenyum lembut, dirinya paham betul bagaimana rasa gugup yang dilanda oleh sang adik, untuk 'kencan' pertamanya itu. Masih dengan senyum yang mengembang di paras ayunya, gadis jelita dengan gaun tidur panjang berwarna putih itu, rok satinnya itu menari selaras dengan gerakan anggun gemulainya. Sementara itu, Nahida nampak sedikit kebingungan akan tingkah sang kakak yang mendorongnya dari belakang sembari tertawa kecil, “Sebentaaaar~” ujar Rukkhadevata riang sebelum membukakan pintu rumahnya.

“Kak- ?!”

“Udaaaaah, Haitham udah nungguin kamu!”

Rukkhadevata pun mengulurkan lengannya, membuka kenop pintu rumah mereka, sembari mendorong pelan adiknya dari balik punggung mungil Nahida, sementara itu, tentu saja Nahida masih belum siap, ditambah lagi, nafasnya seketika tercekat saat melihat penampilan Haitham sekarang. Leaki jangkung itu tengah berdiri di depan pagar rumah mereka, dengan mengenakan kemeja berwarna hijau tua yang lengannya digulung hingga siku. Tak lupa dipadukan dengan vest rajut berwarna putih dengan bordir kuning dan hijau di pinggirannya. Melihat penampilan lelaki itu, seketika membuat panas di kedua sisi wajah Nahida pun kembali, KOK BISA SAMAAN PADAHAL GA JANJIAN?! Sementara itu Rukkhadevata yang melihat dandanan Haitham pun tersenyum jahil sembari memegang pundak adiknya itu, “Wah? Kalian janjian? Jangan-jangan kalian udah pacaran diem-diem!” godanya yang semakin membuat Nahida salah tingkah, “K-kak Rukkha!”

“Tenang-tenang, aku ga akan bilah ayah bunda kok kalau kamu udah punya pacar,” goda Rukkhadevata lagi sembari mencubit pelan pipi adiknya yang gembil tersebut. Perhatiannya pun teralih kepada Haitham yang membungkuk hormat sebagai salam kepada Rukkhadevata, “Kalian rencananya mau pergi kemana?” tanya wanita tersebut kepada Haitham, sementara itu, Nahida pun mengambil sepatu docmart hitam miliknya, menambah kesan manis penampilannya.

“Mau ke pameran seni ArtFont yang ada di Grand Bazaar kak,” jawab Haitham, Rukkhadevata pun mengangguk paham, sepertinya dara ayu itu pun sudah familiar dengan pameran tersebut karena nampak tidak terkejut dan justru menanyakan bahwa pameran itu kembali menyelenggarakan pameran keliling di Sumeru.

“Kalau gitu aku titip Nahida ya! Ingat loh Haitham,”

“Ngga boleh pulang lebih dari jam delapan malam,” ucap Rukkhadevata dan Haitham bersamaan yang seketika membuat mereka berdua tertawa. Nahida yang berdiri di sebelah Rukkhadevata itu hanya menatap bingung kakaknya dan juga temannya itu secara bergantian, sembari menerka-nerka apa yang lucu. “Kamu ini, pantes Nahida bisa suka sama kamu,”

Puff jika digambarkan dalam animasi kartun, tentu saja wajah Nahida sudah sangat memerah dengan kepulan asap di kepala, “Ka-kak!” ujarnya terbata-bata, dan kembali melirik ke arah Haitham yang masih tak bergeming, “Aku titip adikku ya! Kalian jangan lupa senang-senang karena masa muda cuma sekali!”


Jika boleh jujur, ini adalah pertama kalinya Nahida ke pameran, seketika pikiran-pikiran tidak penting pun memenuhi benaknya. 'Apa yang harus dia lakukan?!', 'Bagaimana jika dirinya tidak mengerti apapun tentang seni yang dipamerkan?!', 'Bagaimana cara membaca lukisan?!'. Tanpa sadar, dirinya pun mengigiti jemarinya karena cemas. Sementara itu, Haitham baru saja selesai membeli tiket untuk mereka berdua dan dapat Nahida rasakan sesuatu yang tipis seakan menepuk kepalanya pelan, gadis mungil itu mendongak, dan mendapati sosok Haitham dari balik brosur berwarna biru di atas kepalanya, “Haitham?”

Haitham tidak membalas sapaan gadis mungil tersebut, lelaki itu justru tersenyum sebelum mengusap kepalanya, “Yuk masuk, daripada kelamaan ngelamun di luar,” ujarnya dan Nahida pun hanya mengangguk gugup, sembari mengingatkan pada dirinya sendiri berkali-kali untuk tenang karena jika dia crashout seperti ini maka ia akan mengacau.

Kekhawatiran Nahida itu seketika sirna mana kala kedua manik sehijau jelaga dengan iris berbentuk bunga itu menangkap beragam jenis karya serta etalase seni yang dipamerkan. Kekaguman yang tak bisa disembunyikan atau dibohongi dari gemerlap binar yang terpantul di mata bulatnya, Haitham sedikit melirik sekilas ke arah Nahida sebelum kemudian menyunggingkan seutas senyum tipis di wajahnya.

Dara mungil tersebut diam termangu cukup lama di salah satu lukisan padang salju musim dingin dengan sebuah pohon sakura di tengah-tengahnya. Entah kenapa hatinya terasa begitu miris dan juga sedih hanya melihatnya, tanpa sadar jemarinya pun menggapai telapak tangan lebar milik Haitham, membuat lelaki itu sedikit terkejut, meskipun demikian lelaki itu tidak protes sama sekali, dan justru berjalan ke arah Nahida sembari menundukkan badannya agar sejajar dengan gadis itu, yang masih nampak fokus dengan lukisan di hadapannya.

“Kenapa?” tanya Haitham sembari memandangi raut wajah sendu Nahida, “Aku, gatau kenapa... ngeliat lukisan ini kayak sedih...,” gumam sang gadis dengan nada lirih, Haitham pun mengalihkan fokusnya dari figur Nahida yang menampilkan raut muka sedihnya kepada lukisan di hadapan mereka. Haitham masih diam pada posisinya, sementara itu Nahida pun melanjutkan ucapannya,

“Serasa sepi..., aku merasa seperti pohon sakura ini seakan menunggu musim dingin tidak berkesudahan tanpa bunga yang bermekaran sekalipun,” celetuknya dengan nada sedih dan raut muram, sementara itu Haitham menggumam sejenak sembari semakin mendekatkan posisinya pada Nahida. “Hmm..., menurutku tidak juga,”

“Eh?” gadis itu pun menoleh ke arah Haitham, seakan tak menyadari betapa dekat posisi mereka, dan dirinya yang menggenggam tangan lelaki itu terlebih dahulu. Sementara itu, Haitham, masih dengan seutas senyum di wajahnya kembali melanjutkan, “Kamu lihat warna jingga di langit-langitnya?” ujar Haitham sembari menunjuk objek yang dia maksud, Nahida pun menolehkan kepalanya dan mengangguk pelan, “Menurutku lukisan ini diambil dari sudut pandang seseorang? atau pasangan? Entahlah, yang jelas, musim dingin itu tidak melulu akan kesepian tanpa akhir, tetapi bagaimana menciptakan penantian yang dipenuhi akan hangatnya cinta yang akan bermekaran,” jelasnya.

“Aku suka sih, permainan sudut pandangnya dibuat luas dan melengkung sedikit, seakan melihat dari sudut padang orang pertama. Sepertinya sudut pandang perempuan,” gumam Haitham, dan kepingan puzzle acak di kepala Nahida pun berusaha menyusun setiap kata yang diutarakan oleh lelaki itu sebelum kembali menoleh ke arah lukisan yang ada, “Lihat,” ucapnya seraya merujuk goresan kecil, tinta kehitaman yang membentuk figur bebayang seorang pria. “Mungkin itu cintayang ditunggu oleh orang 'ini',” celetuk Nahida dan Haitham pun mengangguk mengiyakan, “Bisa jadi,”

Durja yang ada di paras ayu gadis tersebut seketika tersapu dan digantikan oleh seutas senyum lebar yang membuat sepasang mata itu menyipit layaknya bulan sabit, pipinya pun nampak merona bahagia. Haitham yang melihatnya pun turut tersenyum sembari mengeratkan genggaman tangan mereka, “Yuk, ke etalase selanjutnya,” ajaknya sembari tersenyum ke arah Nahida.

Meskipun demikian, gadis itu masih terdiam di posisinya, hingga menyadari genggaman tangan Haitham yang semakin mengerat, seketika wajahnya memerah karena malu, “A-AH! A-aku memegang tanganmu tiba-tiba?! Ma-Maaf!” ucapnya panik dengan cukup terbata-bata, membuat Haitham terkekeh karenanya, tetapi masih enggan melepaskan genggaman tangan mereka, “Gapapa, mungkin dengan demikian kamu juga ngga merasa sepi, siapa tau cinta yang kamu tunggu bisa segera pulang,” ucapnya sebelum kemudian menarik tangan mungil gadis itu, mengajaknya untuk melangkah bersama, “Ayo,” dan Nahida pun kembali tersenyum seraya mengangguk, “Huum!”

Mungkin, cintanya akan benar-benar bersambut



“Budiiiii~”

Lelaki dengan surai selayaknya dedayunan layu itu menoleh ketika suara ceria familiar tersebut memanggil namanya. Di dapatinya Fani yang tengah tersenyum cerah selayaknya matahari pagi tengah berjalan menghampirinya, dengan rambut yang dibando, menyisakan anak-anak rambut di keningnya. Budi yang tengah sibuk, menyekop tanah itu tersenyum, membalas sapaan gadis tersebut yang seketika membuat puan di hadapannya memekik riang dalam hati sembari bergumam BUDI TERSENYUM KEPADAKU!!! meskipun demikian, dara ayu itu masih tersenyum manis, topengnya agar Budi tidak ilfeel kepada dirinya, meski tanpa di sadari ekspresi girangnya terbaca jelas oleh lelaki di hadapannya itu. Untuk sepersekian detik sebelum Budi menyadari kehadiran orang lain di balik punggung gadis di hadapannya itu. “Fani, kamu ngajak Rena?” tanya lelaki itu, membuat gadis bersurai kelabu itu tertawa canggung.

“A-ahaha itu...,” Fani menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal sebelum kemudian memainkan kedua jemari telunjuknya, enggan melakukan kontak mata dengan Budi, dia tidak pandai berbohong, apalagi jika itu harus di hadapan Budi! Bagaimana ini?! Namun, Fani dapat merasakan pelukan hangat di lengan kanannya, “Hehehe, iya kak Budi! Kata kak Fani, kak Budi, kak Fani, sama pak Faisal mau nanam bunga! Aku penasaran!” ujar gadis bersurai jelangga tersebut riang, ah Budi hanya mengangguk paham sebelum tersenyum kecil, “Bagus, lebih banyak orang akan lebih mudah,”

“Ah! Iya, Budi, Faisal mana ya?” tanya Fani masih dengan semburat merah mudanya, belum sempet Budi menjawab, suara serak familiar pun terdengar menyapa ketiga orang tersebut, membuat mereka seketika menoleh ke arah seorang pria dengan kaus sweatshirt berwarna kelabu yang sedang mendorong wheelbarrow berisikan berbagai macam bibit tanaman. “Budi! Bibitnya sudah datang!”

“Pak Faisal!” sapa Rena ramah dan penuh antusias dari balik punggung Fani, membuat lelaki tersebut sedikit terkejut sebelum membalas sapaannya dengan sebuah senyum lembut yang membuat Fani melotot dan menatap Rena dan Faisal secara bergantian, mencurigakan gumamnya sebelum mengeluarkan seutas senyum jahil, “Loh Rena? Fani ngajak kamu?” tanya Faisal.

Gadis termuda itu mengangguk penuh antusias, wajahnya dihiasi semburat merah muda, menandakan antisipasi yang teramat sangat tinggi, “Iya! Waah, itu bibit apa aja?” tanya Rena sembari menghampiri Faisal, seakan tidak memedulikan eksistensi Budi dan Fani.

“Wahaha kita dianggap serangga nih? Nyamuk gitu?” tanya Fani sembari bercanda, Budi tidak membalas, ia hanya diam sembari menoleh ke arah Fani yang tersenyum melihat interaksi antara Rena dan Faisal. Jika boleh jujur, perasaan iri dan cemburu yang dirasakan Fani kepada gadis bersurai hijau itu telah sirna, bergantikan rasa syukur dan terima kasih, karena kehadiran Rena mampu menghadirkan seutas senyum tulus di wajah Faisal setelah belasan tahun lamanya, senyum yang ia rindukan. Melihat Fani yang senang tersebut pun turut membuat hati Budi menghangat, “Yah, gapapa, biarkan saja, Faisal juga kelihatan senang,” balasnya. Fani pun bergumam sembari mengangguk pelan sebelum kemudian tersenyum cerah ke arah Budi, “Sepertinya hari ini bakalan menyenangkan ya Budi!”

Budi tidak langsung menjawab, dia termangu untuk sepersekian detik, melihat Faisal yang dapat tersenyum dengan luwes dan Fani yang nampak ceria seperti sedia kala. Seperti saat mereka masih kecil dan menghabiskan waktu bersama untuk bersenang-senang, “Iya, sepertinya hari ini akan menyenangkan,” ujarnya menimpali dengan sebuah senyum kecil yang tulus, membuat Fani terkekeh kecil.


Siang hari itu tidak cukup panas seperti biasanya, beruntung bagi mereka karena langit biru cerah dihiasi dengan beberapa payung cumulus lembut di atas sana. Cocok untuk menanam sehingga membuat mereka tidak terlalu berkeringat. Ada berbagai macam jenis bibit tumbuhan hias dan juga buah ataupun sayuran kecil, mulai dari bunga hydrangea, krisan, dahlia, sedap malam hingga tomat ceri dan jeruk nipis. Fani dan Rena terlihat begitu riang untuk memindahkan bibit bunga dari polybag ke dalam pot ataupun mengeruk tanah dengan menggunakan sekop kecil untuk memindahkan bibit buah dan sayur. Sementara itu, Faisal dengan telaten dan cekatan membawa wheelbarrow ke sana ke mari untuk mengangkut bibit serta pupuk ataupun semai tanah yang diperlukan.

“Gimana, Fani, Rena? Kalian kesulitan?” tanya Budi kepada dua gadis itu sembari menyeka peluh yang ada dikeningnya, Fani yang melihatnya hanya bisa tersipu dan terpukau akan pemandangan di hadapannya tersebut sembari menggumam, maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan? dalam hati. “Engga kok kak! Malah seru!” jawab Rena sembari tersenyum cerah layaknya bunga matahari, ah sepertinya lain kali Budi bisa mengajukan kepada Indra untuk menanam bibit bunga matahari di pekarangan agar nuansa kosan tidak suram seperti beberapa bulan terakhir.

Di sisi lain Faisal lebih sibuk untuk menyemai bibit buah dan sayur pada tanah yang telah dikeruk oleh Budi. Budi tidak terlalu menghiraukan Faisal karena pikirnya Faisal adalah tipe orang yang cukup ulet dan tekun untuk masalah seperti ini, pasti adalah hal kecil bagi dia yang dikenal bisa apa saja selayaknya avatar. Tetapi Budi melupakan satu hal utama, bahwa menanam ini memerlukan sebuah kesabaran dan kehati-hatian, dan Faisal..., sayangnya, di balik tampang surgawinya itu sejatinya dirinya adalah orang dengan kesabaran setipis tisu yang pernah Budi kenal (tentu saja bukan dalam konotasi negatif tentunya) dan itu adalah salah satu kelemahan Faisal selain berbelanja (karena dia payah dan boros).

“WAAAAAAAA,”

Budi pun seketika panik mendengar teriakan Faisal tersebut, begitu pula dengan Fani dan juga Rena yang tengah asik melihat ulat-ulat kehijauan yang di mata Fani terlihat begitu lucu karena gendut-gendut. Walau Budi telah mewanti-wantinya untuk tidak dipegang tanpa sarung tangan karena tidak tau apakah ulat tersebut gatal atau tidak. “Faisal kenapa?!” tanya Fani panik menghampiri kembarannya tersebut, sebelum ekspresi khawatirnya itu seketika berubah drastis dengan raut wajah tidak terkesan sama sekali, begitu pula dengan Budi yang hanya bisa menghela nafas panjang sembari menggelenglan kepalanya. Sementara itu, Rena nampak terlihat bingung walau juga khawatir, tetapi kebingungannya lebih dominan karena melihat sisi konyol Faisal yang separuh wajahnya tertutupi oleh tanah kotor. “Mata..-tanahnya masuk mata!” ujar Faisal panik, Fani pun mendekat ke arah kembarannya dan mengambil handur bersih untuk mengelap wajah Faisal.

“Kamu idiot ya?” bukannya mengkhawatirkan keadaannya, kalimat pertama yang terucap dari dara ayu tersebut membuat Faisal menggerutu sebal karena Fani mencemoohnya. Meskipun demikian, jemari lentik Fani masih telaten untuk mengusap wajah Faisal hingga bersih, bahkan menyeka mata saudara kembarnya itu dengan hati-hati agar tanahnya tidak masuk ke mata dan membuatnya perih. “Jangan salahin aku! Salahin tanahnya!” bela Faisal yang membuat Fani justru mencubit pipi lelaki itu gemas, “Bodoh,”

Iya, singkat, padat, dan bodoh

Di sisi lain, Rena yang melihat interaksi kedua saudara kembar tersebut pun tersenyum lembut, hatinya turut menghangat, akhirnya, waktu di antara mereka yang membeku kembali berdetak pikirnya. Budi di sampingnya nampak khawatir itu pun hendak membantu Faisal tetapi ditahan oleh Rena, “Kak Budi, bantu aku yuk! Masih banyak bibit bunga yang harus diurus,” ujarnya sembari sedikit melirik ke arah Faisal dan Fani yang tengah beradu mulut kecil satu sama lain, “..., dan sepertinya, kita bisa membiarkan kak Fani buat mengurus pak Faisal,” ujar Rena sembari tersenyum, memperlihatkan rentetan gigi putihnya yang rapi. Ah, Budi paham maksud gadis itu, mata sayunya pun ia alihkan kembali kepada dua bersaudara tersebut sebelum mengangguk setuju atas ide Rena barusan, “Ayuk,” ujarnya, berlalu lebih dulu sembari tersenyum. Entah mengapa ia merasa lega, seakan terlepas dari sebuah belenggu yang selama ini menyesakkannya.


“WAAAAAAH CANTIKNYAAA!!!” seru Fani riang, walau bibit-bibit yang mereka semai tersebut masih nampak layu dan perlu ditopang oleh kayu gadis itu sudah nampak gembira dengan hasil kerja kerasnya sembari menepukkan kedua tangannya penuh akan haru, sementara itu Budi mengusap peluh yang ada sebelum bangkit dari posisi berjongkoknya, setelah menyemai bibit terakhir dan Faisal berdiri di sebelahnya terlihat bangga sembari melipatkan kedua tangannya di dada. “Ngga buruk juga, mungkin beberapa bulan lagi kita baru bisa lihat bunga dan buahnya sehingga memenuhi kosan yang beberapa hari terakhir nampak tidak segar,”

Rena di sebelah Faisal terkekeh kecil, mengingat bagaimana dulu Faisal memujinya nampak segar, “Aku jadi ingat dulu pak Faisal dulu muji aku keliatan segar, dipikir-pikir apakah aku terlihat seperti tanaman yang bisa layu dan kering lalu dikasih air jadi segar,” celetuk Rena yang membuat kedua sisi pipi wajah Faisal bersemu karena malu, Fani yang mendengarnya pun seketika tersenyum jahil, “Hooo? Faisal bilang gitu? ternyata kamu payah ya dalam memuji perempuan~” ledeknya semakin membuat wajah Faisal memerah selayaknya tomat.

“Ke-kenapa diungkit?! Ma-maksud aku kamu terlihat fresh,” bela lelaki itu, yang justru membuatnya terlihat nampak selayaknya pecundang, “Terus kamu Fani! Gausa ikut ngeledekin aku! Kamu juga sama payahnya kalau udah berhubungan soal Budi!” balas Faisal yang seketika membuat Fani panik, IH FAISAL MULUTNYA NGGA BISA DIJAGA BANGET geram Fani pada dirinya sendiri, tanpa sadar dirinya bergerak secepat kilat untuk menutup mulut Faisal, menyuruhnya bungkam sementara itu Budi hanya kebingungan, kenapa namanya tiba-tiba diungkit. “Aku kenapa?”

“Fani tuh daridulu-WAAAA!”

“FAISAL! SSSHHH!!!”

Rena pun tertawa terbahak melihat interaksi kedua anak kembar dewasa yang di hadapannya nampak kekanak-kanakan itu. Sementara itu, dari jarak yang cukup jauh dari posisi mereka, Romi dan Indra tengah mengamati ketiga orang tersebut dari balkon lantai dua kamar Indra dengan Indra yang tengah bersantai memengang secangkir sparkling water dan Romi yang tengah menumpu dagunya dengan tangan kanannya yang ia letakkan di atas pagar balkon, “Emang DNA tuh ngga bisa bohong ya,” gumam Romi yang dibalas dehaman kecil oleh Indra.

“Kalau ngeliat Fani sama Faisal akur tuh berasa banget kalau mereka emang kembar, dan sama-sama payah, dipercintaan maksudku. Tapi kayaknya masalah DNA ngga bisa disamakan sama kakak adek yang lainnya,” ledek Romi sembari melirik sinis ke arah Indra yang nampak tak acuh.

“Kok bisa ya, adiknya secerah bunga matahari tapi kakaknya segersang kaktus,” ledek Romi, Rizal yang berdiri tidak jauh dari tuannya itu hanya diam saja tetapi dalam hati dia mengangguk setuju, jika Faisal dan Fani tanpa sadar layaknya pinang dibelah dua, maka Indra dan Rena, atau bahkan Indy layaknya siang dan malam. Benar-benar berbeda.


“Lain kali kita nanam-nanam lagi yuk kak!” usul Rena yang disetujui oleh Fani dengan anggukan antusias, “Iya yuk! Kapan-kapan lagi!”

“Nunggu aku ada long weekend deh biar bisa lama,” usul Faisal

“Kalian mau nanam apa? Biar aku pesanin bibitnya jauh-jauh hari,”

“Aku mau bunga matahari kak!”

“Antara lily putih sama anggrek mudahan mana ya buat ditanam kira-kira, Budi?”

“Kayaknya dandelion ngga buruk deh,”


“Kamu bisa ngga berhenti nyemilin chocochips?!” omel Fani kepada Faisal, tetapi lelaki itu tidak mengidahkannya, dengan santai dirinya kembali menyomot satu chochochips layaknya itu hanyalah sebuah biskuit, bukan gumpalan gula. Melihat kelakuan kembarannya tersebut Fani hanya bisa geleng-geleng kepala, Faisal ga pernah berubah, kalau di dapur cuma bisa ngerusuh dan sukanya nyemilin makanan manis! Rena yang melihat kelakuan dua anak kembar itu hanya terkekeh kecil sembari mengeluarkan seloyang kue kering yang baru saja jadi dari oven. Ditadahkannya kue kering tersebut di suhu ruang agar mendingin, sembari melepaskan sarung tangan pereda panas miliknya.

Lucu batinnya, sebelumnya Rena memang sudah melihat Faisal yang bertingkah layaknya anak kecil, tetapi melihat interaksi sehari-hari antara Faisal dan Fani seperti ini semakin membuat Faisal terlihat gemas di matanya. Budi yang menyadari gelagat gadis itu pun hanya tersenyum sembari sibuk mengulen dan membentuk adonan lain menjadi kue yang siap dioven.

“Kalo kayak gini berasa Fani ya yang jadi kakaknya Faisal,” ujar Budi tiba-tiba, memulai percakapan dengan Rena yang dibalas anggukan kecil oleh gadis bersurai kehijauan tersebut, “Huum! Aku tau kalo kak Fani suka sama hal-hal lucu, tapi ngeliat mereka mungkin ini sebabnya kak Fani suka hal-hal lucu, karena ngingetin sama sifatnya pak Faisal!” jawab Rena riang yang kemudian membuat Budi terdiam sejenak, termangu dalam pikirnya sebelum tersenyum kecil dan mengangguk kecil sebagai tanda setuju.

“Fani juga lucu kok,”

“Eh?”

Rena sedikit terkejut dengan ucapan Budi barusan, begitu pula Budi yang seketika menjadi kikuk dan berdeham untuk mengalihkan topik. Tanpa sadar ia bawa tangan kanannya untuk menutupi sebagian dari wajahnya. Meskipun demikian, semburat merah muda itu dapat terlihat menjalar hingga ke ujung telinga lelaki berkulit sawo matang tersebut. “Maksud aku, Fani juga ada sisi lucunya kayak Faisal,” jelas Budi beralasan. Melihat Budi yang selama ini datar dan bisa salah tingkah membuat Rena diam sesaat sebelum kemudian tersenyum lembut, mengiyakan ucapan Budi barusan.

“Tapi paling tidak aku bersyukur melihat mereka akur begini,” lanjut Budi tiba-tiba, Rena tidak mengintrupsi ataupun bertanya lebih lanjut, gadis termuda tersebut hanya diam mendengarkan. Sepertinya, Budi hanya hendak menceritakan dan bernostalgia masa lalunya bersama kedua bersaudara tersebut, Rena yang sejatinya adalah orang asing pun hanya diam mendengarkan seksama di posisinya. “Dulu sekali, waktu mereka masih kecil, Fani adalah adik yang cengeng. Faisal sebagai kakak begitu menyayanginya dan selalu melindunginya, yah walaupun kadang cara Faisal salah, anak itu gampang sekali terlibat dalam perkelahian. Tetapi itu lah Faisal, dia tidak terlalu mempermasalahkannya jika itu dirinya, tetapi dirinya tidak akan terima jika ada yang menganggu adiknya,”

“Mereka melalui banyak hal menyakitkan saat mereka kecil hingga beranjak dewasa. Aku tidak tau apa yang mereka lalui, tetapi satu hal yang aku percayai hingga saat ini adalah... Faisal masih menyayangi Fani, sebagaimana dulu waktu mereka masih kecil, di sisi lain, Fani juga ingin melindungi Faisal. Tanpa ia sadari, dirinya tumbuh menjadi gadis yang tangguh namun juga baik hati,”

Budi pun tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, aku justru membicarakan yang tidak-tidak,” ujarnya kepada Rena. Meskipun demikian gadis itu mengerti apa yang hendak disampaikan oleh lelaki yang paling tua di antara mereka tersebut. Walupun Rena tidak terlalu paham garis besar ceritanya, tetapi ia mengerti perasaan yang dirasakan Budi, rasa sayang yang begitu tulus, “Kak Budi sayang banget ya sama Kak Fani sama Pak Faisal? Aku percaya kok kalau kak Fani dan pak Faisal juga bersyukur punya seseorang seperti kak Budi!”

Sayang ya?

“Iya, aku menyayangi mereka,”

Dan perasaan itu lebih dari cukup untuk apapun

“Rena! Budi! Coba incipin kue keringnya deh!”

Baik Rena dan Budi pun menatap ke arah satu sama lain sebelum menolehkan kepalanya ke arah Fani yang menyapa mereka riang. Dara ayu tersebut tersenyum lebar dengan wajah yang berseri dihiasi semburat merah muda di kedua sisinya. Sementara itu, Faisal nampak tak acuh dengan menopang dagu dan memakan kue kering yang sudah jadi itu.

“Ehmhum! Enak kak!” puji Rena yang dibalas tepukan tangan bahagia dari Fani, “Sayangnya yang di pinggir sedikit kering, sepertinya aku harus mengatur ulang temperaturnya,” komentar Budi terkait beberapa kesalahan kecil yang ada, “Ada yang keasinan dikit,” tambah Faisal. Budi pun mengangguk paham dan meminta bantuan kepada Fani untuk mengoven kembali tray kue selanjutnya, sembari 'menyempurnakan' adonan serta tatanan kue kering yang ada, agar hasilnya lebih baik dari sebelumnya.

Sementara itu, Rena dan Faisal hanya duduk diam berdampingan satu sama lain. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan di antara mereka, jika dulu Faisal akan selalu berusaha membuat Rena 'melaporkan' segala aktivitasnya ataupun Rena yang berusaha mencairkan suasana, entah mengapa saat ini Rena merasa lebih baik dirinya diam sembari menikmati kue kering yang ada. Sesekali mata jenggala gadis itu mencuri pandang ke arah Faisal yang sekarang terlihat masih menopang wajahnya dengan sebelah tangannya.

“Hari ini... menyenangkan ya,” celetuk Faisal tiba-tiba, membuat Rena menoleh dengan penuh tanya, “Eh?”

“Fani itu..., dia menyukai Budi lama sekali, dan sangat menyukainya. Pasti menyenangkan sekali bisa menghabiskan hari-hari spesial seperti ulang tahunnya ini bersama orang yang ia sayangi,” jelas Faisal melanjutkan, seakan tak menghiarukan Rena yang menatapnya bingung, lelaki itu fokus menatap ke arah Fani dan Budi yang tengah sibuk memasak bersama dan saling bersenda gurau, dapat terlihat Fani yang beberapa kali melakukan kesalahan kecil karena salah tingkah, membuat Faisal tersenyum kecil tanpa ia sadari, “Orang seperti Fani, dia sangat cocok jika tertawa bahagia seperti itu...,” Faisal pun menghela nafas berat, “Andaikan jika Budi menyadari perasaan Fani, itu akan lebih baik dan lebih mudah bagi mereka berdua. Mereka sama-sama terlihat bahagia satu sama lain,”

“Kenapa Faisal bilang gitu?” tanya Rena tiba-tiba yang seketika berhasil mencuri perhatian Faisal untuk menolehkan pandang ke arahnya, “Apakah Faisal tidak merasa senang?” tanyanya lagi yang membuat Faisal tertawa canggung, “Maaf ya membuat suasana seketika jadi buruk, kau tau aku memang tidak cocok untuk hal-hal seperti ini,” kilahnya.

“Tapi melihat mereka berdua bahagia itu lebih dari cukup, makanya aku kadang ingin agar Fani tidak terlalu fokus berpaku pada masa lalu, aku ingin dia maju dan mencari kebahagiaannya sendiri, dengan demikian itu membuatku merasa cukup tenang,”

“Bagaimana dengan kebahagiaan Faisal?” tanya Rena tiba-tiba yang membuat Faisal terkekeh kecil, tetapi dapat terdengar nada getir di setiap tawanya, “Kebahagiaan menurutku adalah suatu hal mewah untuk aku minta, Rena. Maaf ya aku jadi membicarakan yang tidak-tidak,”

Bukan seperti itu, kamu juga pantas untuk bahagia dan kalimat itu hanya Rena simpan untuk dirinya sendiri, melihat senyum Faisal yang begitu tulus walaupun sangat rapuh membuatnya ingin merengkuhnya.


“OH! MAKANANNYA SUDAH DATANG!” ujar Fani riang sembari seketika bangkit dari posisi duduknya, melupakan fakta bahwa dia baru saja mengaplikasikan moisturizer setelah melakukan eksfoliasi serta maskeran, membuatnya harus meminimalisir gerak otot wajahnya. Meskipun demikian, binar antusias di matanya tak bisa berbohong, ia sudah menunggu-nunggu pesanannya itu. “Bentar ya semuanya! Aku ambil pesanan dulu!” ujarnya bersemangat, melihat Fani yang begitu tergesa membuat Budi seketika bangkit dari posisinya untuk menawarkan bantuan, yang tentu saja tidak ditolak oleh Fani, justru ia menerimanya dengan sangat senang hati, meninggalkan Faisal dan Rena begitu saja yang saling bertukar pandang satu sama lain.

“Yah, tinggal kita berdua...,” celetuk Faisal yang dibalas anggukan setuju oleh Rena, main 41 pun tidak bisa karena cuma mereka berdua, “Mau ganti permainan?” tawar Rena.


“Hehehe makasi ya Budi udah bantuin~”

“Ngga masalah, kamu juga bakalan kerepotan kalau bawa ini semua sendiri,”

Fani pun hanya mengangguk antusias dengan seutas senyum yang masih terhias di wajah manisnya itu. Jujur hari ini dia bahagia sekali, bisa menghabiskan waktu berduaan dengan Budi, melakukan hal-hal yang mereka sukai, dan yang paling utama, Faisal pun tidak terlalu mempermasalahkan kedekatan mereka. Mungkin tahun ini adalah tahun terbaik dengan kado ulang tahun terindah yang pernah ia miliki.

“Hehehe makasi ya Budi!” ujarnya tiba-tiba yang membuat Budi seketika menatapnya bingung, “Makasih? untuk apa?” tanyanya dan Fani pun hanya menggeleng pelan, “Gapapa! Aku cuma mau bilang makasih aja!”

Budi tidak mengerti, tetapi ia pun tersenyum membalas ucapan Fani yang seketika langsung 'kena banget di gue' bagi Fani. Lelaki itu membantu Fani untuk membuka kamar gadis itu, sebelum akhirnya langkah mereka terhenti karena mendengar senda gurau dari Faisal dan juga Rena.

“FAISAAAAL!!!” keluh Rena, sementara itu Faisal hanya terkekeh kecil sambil tersenyum jahil, “Bukan salahku, kamu yang minta main ini,” balasnya sembari sedikit meledek membuat Rena memberengut kecil, “Ah, aku payah main iniiii!”

“Jangan keras-keras,” pinta Rena sembari merengek, Faisal pun mengiyakan. Walaupun dengan sedikit enggan dan takut-takut Rena masih nampak ragu-ragu membiarkan Faisal dapat 'menyentil' dahinya sebagai bentuk hukuman karena kalah. “Iya, iya, jangan jauhan sini,” bujuk Faisal lembut, tangannya pun ia bawa untuk merapikan anak-anak rambut milik Rena yang nampak sedikit berantakan. Gadis muta itu terlihat memejamkan matanya dan menahan tangan Faisal, “Kenapaa?”

“Bentar mentalku belum siaaap!”

Fani dan Budi yang melihat interaksi di antara mereka pun enggan untuk mengintrupsi karena sepertinya dua sejoli itu pun nampak telah berada dalam dunianya sendiri. “Jadi? Gimana?” tanya Budi kepada Fani, dapat dilihatnya wajah Fani yang menghangat melihat interaksi kembarannya itu dengan Rena, di mana senyum lelaki itu dapat kembali dan menguar dengan begitu lepas.

“Biarkan saja dulu mereka, aku sudah lama ngga melihat Faisal tertawa selepas itu,” jelas Fani yang dibalas gumaman setuju oleh Budi, ikut tersenyum.

“Budi,”

“Ya?”

“Sepertinya tidak mustahil ya,”

“Maksud kamu?”

“Aku, kamu, dan Faisal, sepertinya tidak mustahil bagi kita bertiga untuk dapat bahagia bersama seperti dulu,”

Budi paham betul apa yang dikatakan dara ayu tersebut, ia kembali menolehkan pandangannya kepada Faisal dan Rena yang masih saling bertukar tawa satu sama lain, “Ya, sepertinya tidak mustahil,”


— — —

Nahida menahan nafasnya saat dirinya merasakan ikatan obi pada pinggang mungilnya, sedikit menyesakkan untuk pertama kalinya. Meskipun demikian, fokus perhatiannya seketika teralih saat telinga caplangnya menangkap pekikan gemas, belum sempat Nahida memproses apa yang terjadi dirinya yang sudah merasakan sesak karena obi yang melilit pinggangnya semakin sesak karena pelukan erat sang kakak, Rukkhadevata.

“Astagaaa Nahidaaa!! Kamu cantik bangeeet, huhu adik kecilku yang imut dan menggemaskan udah tumbuh jadi remaja yang cantiik!!” ujar Rukkhadevata histeris sembari memeluk erat adiknya itu, membuat Scara yang tengah berdiri di ambang pintu dengan yukata santai miliknya sembari menggandeng tangan Yunjin, adiknya yang baru berumur tujuh tahun itu seketika langsung menutup kuping mungil adiknya dan membawa Yunjin yang masih nampak kebingungan untuk bergegas pergi. “Ayo kita tunggu di luar, gendang telingamu bisa-bisa robek kalo denger teriakan kak Rukkha lagi,” ujarnya sembari masih menutup kedua kuping adik perempuannya itu yang menatapnya bingung, tetapi Yunjin tetap menurutinya untuk beranjak pergi dari kamar tamu.

“Kak Rukkha..., ini obinya udah sesak..., dipeluk gini aku makin ga bisa nafas...,” keluh Nahida sembari terkekeh kecil, membuat Rukkhadevata seketika meminta maaf dan melepaskan pelukannya itu, “Aduh, ayah bunda harus liat kamu! Sayangnya mereka lagi bantuin tante Ei buat jenguk om Zhongli,” ujar Rukkhadevata dengan nada menyesal, menyangkan kedua orang tuanya yang tidak dapat melihat langsung Nahida dengan balutan yukata berwarna hijau daun dengan gradasi putih di bagian bawahnya yang dihiasi dengan motif bunga-bunga kecil di area bahu kanan dan juga lengan bawahhnya yang nampak seperti sayap.

Berbeda dengan sang kakak, Nahida justru bersyukur orangtuanya tidak ada untuk melihatnya sekarang. Ia sudah dapat membayangkan sang ibunda yang akan sama histerisnya dengan kakaknya itu, sementara itu sang ayahanda hanya memujinya singkat tetapi tentu saja tidak lupa mengambil foto dirinya. Jemari lentik Rukkhadevata pun kemudian bergerak dengan gemulai untuk merapikan poni serta hiasan bunga Nahida sebelum kemudian ia menepuk kedua tangannya dan menawarkan Nahida untuk difoto dan dikirimkan kepada orangtuanya. “Ih ngapain sih kak?” tanya Nahida sedikit enggan, meskipun demikian Rukkhadevata masih kekeuh membujuk adiknya, “Kenang-kenangan tau!” walau sedikit memberengut Nahida menurut dan mengalah, menuruti kemauan sang kakak walaupun dirinya bergaya canggung di depan kamera.

“Scaraa! Maaf lama ya!” ujar Nahida sembari berjalan cepat dengan langkah kecil-kecilnya karena ketat yukata yang memberikan batasannya berjalan. Yunjin yang tengah bermain bersama bonekanya dan juga Dvalin seketika menoleh ke arah Nahida dan tersenyum cerah, “Waaah! kak Nahida cantik banget!” pujinya membuat kedua pipi Nahida seketika merona, kontras dengan warna kulit pucatnya, Rukkhadevata yang berdiri di belakang Nahida pun seketika menepuk pelan kedua bahu adiknya itu, “Ya kan? Yunjin aja tau loh kamu cantik! Sayang banget ga sih kalo ga punya pacar,” goda Rukkhadevata membuat Scara mengerlingkan matanya malas karena setelah ini pasti ada yang bertanya, “Pacar itu apa kak Scara?” membuat Nahida dan Rukkhadevata pun terkekeh keci, “Kalau Yunjin udah seumuran kak Nahida baru boleh tau!” dalih yang tertua di antara mereka, “Dan kamu Scara, stop berlagak tidak sopan seperti itu!” omelnya sembari mencubit pelan pipi lelaki bersurai bob tersebut. “Sakiiit!”

Have fun ya kalian! Masa muda cuma sekali! Tapi inget! Jangan pulang malem-malem apalagi kamu Scara!” omel Rukkhadevata semabari berdecak pinggang dan menunjuk tepat ke arah Scara sembari sedikit membungkung, “Iya, iya bawel,”

“Ya udah kami pergi dulu ya, maaf harus ngerepotin kak Rukkha jagain Yunjin,” pamit Scara yang balas gelengan kepala kecil oleh Rukkhadevata, itu bukanlah masalah baginya, apalagi mengingat Xiao juga belum pulang dari Liyue karena kuliahnya. “Kak Scara aku titip permen apel ya!” seru Yunjin yang seketika di-oke-in oleh Scara, sementara itu Rukkhadevata pun nampak tak mau kalah, “Aku titip takoyaki sama dango milk ya!”

“DIH KOK NGLUNJAK?! TEYFOOD AJA SANA LOH!” protes Scara yang hanya dibalas oleh tawa renyah dari Rukkhadevata, kedua figur remaja dan anak baru gede itu pun menghilang dari balik pintu, “Hati-hati ya kalian,” ucap Rukkhadevata lirih kepada angin, layaknya sebuah doa yang ia panjatkan kepada esensi agung yang akan selalu mendengar ucapannya.

— — —

Ini adalah kali pertama kalinya, Nahida pergi ke semacam festival yang ramai akan hiruk pikuk orang berlalu-lalang, dirinya terbiasa bermain atau menghabiskan waktu di tempat yang sunyi dan senyap, seperti mengunjungi museum, pameran, ataupun perpustakaan. Jika tidak dipaksa oleh kedua orang tuanya, Scara, dan Rukkhadevata mungkin Nahida akan memilih untuk bermain bersama Yunjin dan Dvalin di rumah. Apalagi Ayaka, teman dekat Nilou yang sama-sama dari ekskul seni tari pun mengajaknya. Membuat Nahida sedikit gugup karena sejatinya dirinya hanya mengenal Ayaka dari cerita Nilou, bukan mengenal gadis ayu itu secara personal.

Binar matanya tak bisa menutupi kekaguman akan gemerlap festival musim semi tahunan yang diselenggarakan Inazuma, anak-anak kecil berlalu lalang, cahaya mainan kembang api kecil yang dapat beradu dengan langit malam seakan menuliskan pesan tersirat sebelum sinarnya sirna, dan sekumpulan orang yang menghabiskan waktu dengan bermain, berbelanja, ataupun sebatas berjalan bersama menyisir setiap tenant makanan yang ada sambil bersenda gurau.

“Kau gimana sama om Zhongli?” tanya Nahida tiba-tiba, memecahkan keheningan di antara dirinya dan Scara yang tengah duduk di salah satu stall takoyaki sembari menunggu Ayaka. Scara yang tengah sibuk bermain game di ponselnya itu seketika menghentikan permainannya dan mematikan ponselnya, “Ga gimana-gimana,” jawabnya tak acuh. Nahida hanya diam saja sebelum Scara menghela nafas berat. “Kak Nahida tau sendiri kan gimana dulu mama SIBUUUUUUK banget, sejak papa meninggal semua yang urus mama. Bahkan dulu aku sampai ngerasa mama berubah banget setelah papa ga ada, mama kayak bukan mama dan ga peduli sama aku sampai akhirnya tengkar berat, aku salah sih... tapi mama lebih salah, kan juga ada aku jadi kenapa mama harus nanggung semuanya sendiri,”

Nahida hanya diam mendengarkan semua keluhan dari Scara, dirinya ingat betul bagaimana Scara dan mamanya itu bertengkar hebat dan membuat adik sepupunya itu bahkan nekat kabur dari Inazuma dan mengunjunginya di Sumeru padahal saat itu Scara masih kelas satu SMP. Nahida saat itu pun masih kelas tiga SMP, dirinya tidak tau jelas permasalahannya, dulu ia menganggap bahwa itu adalah fase wajar bagi seorang remaja untuk memberontak, apalagi kondisi Scara saat itu yang sangat berdampak pada perubahan mental dan emosinya, kepergian sang ayah dan sang ibu yang terlalu sibu bekerja membuat Scara merasa kesepian dan seorang diri.

Yang jelas, dari sana bundanya berpesan agar Nahida dan Rukkhadevata selalu menjaga Scara, selama kurang lebih enam bulan Scara tinggal bersamanya di Sumeru, dan Nahida sudah menganggap Scara seperti adiknya sendiri. Dirinya paham betul hidup Scara tak pernah mudah, sampai akhirnya tante Ei datang berkunjung untuk menjemput Scara di mana kondisinya juga sama buruknya. Dirinya tidak terlalu tau permasalahan sebenarnya, tetapi untuk keluarga kecil tersebut, kesadaran bahwa mereka hanya memiliki satu sama lain dan Scara berani memaafkan sang ibunda membuatnya lega. Paling tidak Scara tidak membenci takdirnya sendiri dan tidak melarikan diri.

Nahida juga masih ingat betul saat tantenya itu meminta izin kepada Scara untuk menikah lagi, Scara benar-benar menolaknya, takut jika nanti mamanya akan melupakannya lagi dan dirinya akan kembali sendirian. Nahida paham betul, ketakutan dan perasaan Scara tersebut sangatlah masuk akal. “Tapi paman Zhongli bilang ga masalah kalau semisal aku gamau nganggep paman Zhongli sebagai ayah. Setelah menikah pun, paman Zhongli juga ngasih banyak kasih sayang dan waktu buat sama aku, atau buat ngebiarin aku sama mama punya waktu berdua. Jadi aku mikir, mungkin ngga masalah kalau aku berusaha nerima paman Zhongli, aku udah ngelakuin hal yang bener kan kak?”

Nahida tersenyum kecil sebelum kemudian mengusak pucuk kepala anak laki-laki tersebut, “Ngga ada yang bener dan salah, selama kamu merasa bahagia dengan pilihanmu itu sudah cukup,” ujarnya membuat Scara pun tersenyum lebar, layaknya anak kecil yang lugu dan polos (walau faktanya adik sepupunya itu adalah tipe yang usil dan tengil). Perhatian Nahida teralih saat dirinya merasakan getar ponselnya pada obi yang ia kenakan, di mana ada saku kecil di sana. Dikeluarkannya ponselnya tersebut dan seketika senyum cerah terpatri di parah imutnya, jemari mungilnya bergerak lincah sembari menuliskan pesan balasan membuat Scara yang melihatnya sedikit kebingungan, penasaran, sebelum akhirnya tersenyum usil, “Kak Nahida udah punya pacar ya?!” tebaknya yang seketika membuat wajah Nahida semerah tomat. OHO! TEPAT SASARAN RUPANYA.

“Bu-bukan! Cuma temen!” balas Nahida membela diri sebelum kemudian membuat Scara semakin tersenyum usil, “Naksir yaaaa?!” seketika mata Nahida melotot karena dirinya sudah tidak bisa mengelak lagi, dimainkan kedua jemari telunjuknya satu sama lain, malu-malu. “Ya..., uhm..., gitu...,”

“Boleh ceritain ke aku orang yang disukain kak Nahida itu kayak gimana?”

— — —

Dua tahun lalu, saat tahun ajaran baru

Nahida ingat betul, saat itu adalah hari terakhir masa orientasinya. Hujan lebat seketika membasahi kota Sumeru yang seharian tadi nampak gersang dan juga kering. Banyak siswa terjebak tidak bisa pulang, meski demikian, tidak sedikit pula yang menghabiskan waktu dengan bermain hujan-hujanan, mumpung besok libur, pikir sebagian siswa tersebut. Kesehatan nomor sekian, tetapi kesenangan atas hujan-hujan ini jarang sekali dapat dirinya rasakan.

Nahida pun memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, sembari menunggu hujan reda, siapa tau ada bacaan menarik yang bisa mengisi waktu luangnya sembari menunggu hujan reda. Langkah kecilnya membawa melenggang menuju perpustakaan, dengan hati-hati karena lantai licin. Seperti dugaannya, perpustakaan tersebut cukup sepi dan cocok untuknya menghabiskan waktu luang. Ia bawah langkah kakinya menuju rak buku fiksi, mencari cerita menarik khususnya science fiction atau historical fiction yang dapat dirinya baca.

Dan Nahida pun hanya bisa termangu sembari mendongak saat penjaga perpustakaan mengatakan bahwa buku yang diinginkannya berada di rak nomor dua tertinggi. Serasa dihina dan ditampar realita atas kenyataan yang menimpanya, Tuhan, Nahida hanya ingin membaca buku di tengah hujan kenapa cobaannya ada saja. Dirinya berusaha berjinjit, apa daya jangkauan tangannya pun tak sampai. Sampai ketika dirinya mendengar suara serak yang menawarkannya bantuan, “Butuh bantuan?”

Nahida menoleh, seorang sisa laki-laki, betubuh jangkung, dengan rambut kelabu dipadu warna hijau daun. Sepersekian detik Nahida terdiam membatu sebelum mengangguk pelan. Jujur saja, dirinya merasa malu karena pasti nampak seperti orang bodoh. Namun, siswa itu nampak tak acuh sebelum kemudian bertanya kepadanya, “Mau aku ambilin buku yang mana?”

“Saga of Heroes, yang Keruntuhan di Kala Senja,”

“Oh? Kamu ngikutin itu juga?” tanyanya siswa tersebut sembari mengambil buku yang Nahida maksud dan menyerahkannya kepadanya. “Aku juga baca,” tambahnya, membuat Nahida seketika bingung harus bereaksi seperti apa atas informasi yang baru saja ia dapatkan. “Ka-kamu juga mau baca buku ini?” tanyanya gugup yang dibalas gelengan kecil, “Awalnya, tapi kayaknya kamu pengen banget baca buku itu, jadi mungkin aku bakalan baca 'Penyamaran sang Pendosa',”

“Eh kalau kamu yang pengen baca gapapa,” balas Nahida gelagapan yang seketika membuat mereka jadi pusat perhatian. Lelaki itu pun meletakkan telunjuknya tepat di depan mulut Nahida sebelum membuat suara 'sshh' pelan sembari terkekeh kecil, “Kecilin suaramu, kita di perpustakaan,”

Dapat Nahida rasakan kedua pipinya memanas karena malu

“Gapapa, dan sepertinya kamu salah paham, aku bilang aku juga baca bukan aku mau baca buku itu, jadi kamu ga usah khawatir. Udah yuk, ayo cari duduk daripada berdiri di sini terus,”

Dan Nahida pun hanya bisa menurut sembari berjalan mengekorinya, sebelum akhirnya mereka berdua memilih untuk duduk di pojok belakang perpustakaan. Tidak ada perbincangan lagi di antara mereka, karena saling larut pada bacaan masing-masing. Tapi entah mengapa Nahida merasa nyaman, dirinya suka ketika dapat menghabiskan waktu dengan tenang seperti ini. Tanpa sadar, Nahida pun tersenyum dengan sendirinya.

Kadang perasaan jatuh cinta dapat muncul tanpa alasan yang jelas

Hampir satu jam lamanya berlalu, hujan masih membasahi kota Sumeru, dapat terdengar dari gemerisik yang menyapa gendang telinganya. Namun, baginya suara rintik hujan itu layaknya melodi yang meneduhkan. Perhatiannya justru tersita saat suara lembut penjaga perpustakaan menyapa gendang telinganya, “Ah! Kalian masih di sini rupanya? Maaf tapi perpustakaan akan tutup sebentar lagi,” jelas wanita dewasa berambut gelombang berwarna kecokelatan dengan mata sehijau jenggala. Nahida nampak kecewa, ia pun kemudian mencuri pandang kepada lelaki di hadapannya yang juga tengah menatap ke arahnya. Membuatnya sedikit salah tingkah karena tertangkap basah. “Mungkin sudah waktunya untuk pulang,” ujar siswa itu sebelum kemudian menutup bukunya dan menggendong tas ranselnya.

“Hati-hati di jalan ya!”

Nahida pun tersenyum sebelum pamit kepada bu Lisa, sang penjaga perpustakaan. Tatapannya seketika sendu karena rintik hujan yang terlihat mungkin tidak akan reda dalam waktu dekat, walaupun intensitasnya tidak sederas sebelumnya.

“Kamu pulang ke arah mana?” tanya lelaki itu lagi, membuat Nahida pun menoleh dan mendongak kepada sang siswa yang memilih fokus memerhatikan hujan di hadapannya, “Halte, kakakku ga bisa jemput sekarang,”

“Bawa payung?” tanya siswa tersebut sebelum kemudian, dan Nahida pun menggeleng pelan. “Mau nerobos hujan bareng? Aku bawa payung sih, kayaknya kalo hujan sederes ini pakai payung masih bisa,”

Padahal Nahida tidak mengenal siswa itu, dan Nahida tidak terbiasa menerima dari tawaran orang yang tidak ia kenal ataupun cukup dekat dengannya. Tapi entah mengapa, ia menerima uluran tangan siswa tersebut sebelum melompat kecil dan berbagi payung bersama, untuk menerobos hujan saat pulang. Saat itu, entah mengapa semua yang Nahida rasakan terasa pas dan menyejukkan, selayaknya embun pagi di tengah jenggala, yang menyambut bibit bunga dan dedaunan yang bermekaran.

— — —

“Aku kira gimana, ternyata kak Nahida suka sama orang yang biasa aja,” pernyataan Scara itu seketika menohok hatinya, membuatnya tertawa canggung, mungkin yang dikatakan Scara benar, “Haha, mungkin kamu ada benarnya, harusnya aku ga suka dengan bare minimum kayak gitu,” balasnya dan Scara menggeleng pelan. “Maksudku bukan gitu, tapi kadang kan memang kita ga perlu alasan apa-apa untuk suka sama orang. Kalau memang dirasa pas, ya yaudah,”

“Ah! Itu Nahida!”

Baik Scara dan Nahida pun menoleh, mendapati gadis cantik dengan yukata dengan paduan warna putih dan biru muda yang dihiasi oleh motif bunga sakura berlari kecil menghampirinya, bersama dengan dua temannya. Yang Nahida tau pasti, satunya adalah Kazuha, kekasih Ayaka, Nilou sering menceritakannya dan pernah menunjukkan fotonya, tetapi satunya lagi siapa? Sementara itu, Scara di sebelahnya nampak panik.

“Maaf ya! Kamu nunggu lama? Ngomong-ngomong kenalin ini Kazuha, dan ini Yoimiya, sahabatku,”

“Ah engga kok Ayaka, santai aja! Salam kenal, aku Nahida, terus ini... loh Scara?” dapat Nahida lihat Scara yang perlahan berjalan mundur seakan menghindari sesuatu sebelum kemudian berlagak tak acuh. Sementara itu Kazuha yang tengah berdiri di sebelah Ayaka sembari menggandeng tangan gadis itu pun nampak terkejut kaget, “Loh kamu kan!”

Sial, damprat Scara dalam hati.

“Kenapa?” tanya Ayaka kepada kekasihnya itu, “Kamu inget gak ada anak SD yang sempet ngerusakin sarung katana peninggalan turun temurun buyutku, karena ngelempar batu buat ambil buat di kebun belakang?” dan Ayaka pun mengangguk sebagai jawaban, “Itu orangnya,” jawab Kazuha santai sementara itu dapat Nahida dapati wajah Scara memerah menahan malu hingga darahnya menjalar sampai telinga. Sementara itu Kazuha hanya tersenyum simpul seakan hal yang barusan ia katakan bukanlah masalah besar.

— — —

Hesa melirik sekilas ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam tujuh kurang lima menit, masih ada waktu sebelum waktu janjian dirinya dan Osamu. Direganggkan otot-otot badannya dengan menarik kedua tangannya ke atas, tanpa sadar rasa kantuknya ikut tertarik keluar bersamaan dengan peregangannya tadi. Dirinya tidak pernah dan jarang sekali merasa ngantuk di pagi hari karena dia dapat menilai dan mengukur kapasitas dirinya sendiri. Ia adalah anak yang disiplin, didikan sang ayah, tapi lima hari terakhir dia sadar betul kalau dia sedikit kelelahan di hari-harinya selama training camp. Walau dirinya tidak ikut latihan tetapi rasa lelah itu ada, justru mungkin dua kali lipat karena harus mengurus para pemain voli yang idiot dan juga remaja tanggung. Terlebih lagi, tidurnya tidak bisa maksimal karena selalu terganggu Komori yang selalu keluar kamar tengah malam tiba-tiba atau bahkan saat tidurnya pun lelaki itu sering menganggunya, dengan menendangnya tanpa sadar. “I didn’t get paid enough for this shit,” gerutunya sebelum kemudian kembali menguap.

“Kamu bisa nelan satu Inarizaki kalo nguap-nya kayak gitu” Hesa menoleh cuek dan mendapati Osamu yang nampak kinyis-kinyis di balik balutan sweatshirt berwarna biru kelabunya dengan celana olahraga pendek dan juga sepatu jogging. Jika melihat dari penampilan lelaki itu, tidak mungkin Osamu baru balik lari pagi, masih nampak segar. “Kamu mau sekalian lari pagi?” tebak Hesa tiba-tiba dan Osamu mengangguk sebagai jawaban, “Tapi kalau kamu mau jalan aja aku juga ga masalah,” jawaban tersebut seketika membuat Hesa menaikkan sebelah alisnya, 'apa lelaki itu mengira dirinya bukan tipe yang atletis?' Tanpa sadar Hesa pun mendengus kesal sambil terkekeh sinis, jiwa kompetitifnya seakan tertantang, “Lari pagi aja, mungkin dengan itu gue jadi ngga ngantuk,” tawarnya dengan sebuah senyum menantang kepada Osamu dan memang dasarnya Osamu adalah belahan jiwa Atsumu, tentu saja adrenalinnya pun seketika terpacu jika ditantang seperti itu, “Kalo capek atau haus bilang ya, aku gamau bikin manager Itachiyama pingsan,”

— — —

Wow, you even didn’t break a sweat,” ujar Osamu memuji (dengan tulus dan takjub) pasalnya Hesa nampak terlihat tidak lelah sedikitpun mengikutinya yang tengah jogging pagi dengan kecepatan normal. Jika orang tersebut tidak terbiasa berolahraga maka akan sangat sulit mengikuti langkah kakinya karena cepat dan perlu perlatihan pernafasan sehingga jantungnya dapat bekerja dengan baik, “Bold of you to assume, gue selemah itu untuk masalah olahraga,” balas Hesa dengan nada sinis, “Karena gue keliatan kerempeng?” tembak Hesa langsung sebelum melanjutkan, “Well, gue ga terlalu peduli penilaian orang sih,” lanjutnya lagi berusaha abai. Mereka berdua pun berjalan beriringan memasuki minimarket dengan pintu kaca otomatis tergeser. “Padahal aku belum bilang apa-apa loh,” dalih Osamu sembari terkekeh.

“Jadi, berarti kamu suka olahraga?” tebak Osamu tiba-tiba saat mereka mengambil troli dorong, “Yeah, kinda. Tapi gue kurang suka olahraga yang melibatkan bola,” jawab Hesa sembari mengedikkan bahunya abai, yang kemudian pernyataan itu seketika menimbulkan jawaban lagi bagi Osamu, “Terus kenapa jadi manager voli?” tanyanya lagi, benar-benar penasaran, “Dih? Kepo, mending fokus belanja kata gue mah,” jawab Hesa sembari melengos malas, membuat Osamu sedikit memberengut, tidak asik, Osamu ingin bisa mereka paling tidak lebih intim lah. “Kalau gitu, olahraga yang kamu suka apa?” tanya Osamu lagi.

Anak ini beneran ngga kenal kata nyerah ya’ gumam Hesa dalam hati akibat pertanyaan yang datang silih berganti, seperti anak balita dengan rasa keingintahuan yang teramat sangat tinggi. “Matrial Arts and stuffs,” sebelum sempat Osamu melanjutkan kembali pertanyaannya Hesa sudah memberikan disclaimer, “Tolong jangan nanya alasannya kenapa, itu akan jadi cerita yang sangat panjang,” ah sepertinya ada yang patah tapi bukan ranting…

“Sam, oit, eh bolot ya lu?” decak Hesa karena Osamu sendari tadi sibuk terlarut dalam lamunannya sendiri, tidak menyadari Hesa yang sudah berdecak pinggang. “Sori, sori, kamu nanya apa tadi?” tanya Osamu yang semakin membuat Hesa menghela nafas berat, “Untung lu anak Inarizaki, coba kalo lu Sakusa atau Komori udah gue piting,” omel Hesa dan Osamu hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ini kan para kapten udah diskusi rencananya mau masak donburi menurutmu gimana?” tanya Hesa lagi, Osamu terlihat berpikir sejak, jika satu orang satu porsi donburi makan akan menjadi boros karena ia tahu betul porsi makan tidak masuk akal teman-temannya (tanpa menyadari porsinya sendiri yang seperti babi), dimintanya list daftar belanjaan yang Hesa bawa sembari berpikir, membuat Hesa sedikit men-judge-nya, apakah otak maniak itu bisa berpikir? Karena melihat Sakusa dan Komori yang Hesa lakukan ketika duo sepupu dungu itu tengah berpikir–terlepas strategi pertandingan–hanya akan membuat dirinya dan Iizuna menghela nafas berat.

“Gimana kalau kita buat donburi tapi daripada satu porsi lengkap mending dipisah sayurnya, dagingnya, dan bahan lainnya. Kalau buat satu orang satu porsi kayaknya bakalan banyak yang minta tambah,” jelas Osamu, pernyataan Osamu tersebut kemudian menjadi bahan pertimbangan bagi Hesa, masuk akal juga yang dikatakan lelaki itu, kalau begitu Hesa memilih pilihan Osamu, selama bisa menghemat pengeluaran mereka dan tidak membuat kas klub menjadi minus maka akan Hesa lakukan.

“Oke, idemu ngga buruk juga, menu utamanya mau apa? Daging? Ayam? Ikan?”

“Kayaknya orang-orang pada suka kalau semisalnya daging ngga sih?”

“Oke,”

Kedua lelaki itu pun kemudian berjalan ke arah etalase kulkas sayuran terlebih dahulu. Dengan asal, Hesa mengambil seikat sawi daging yang seketika ditahan oleh Osamu, “Heh, jangan sembarangan ngambil sayurnya,” jelas lelaki bersurai kelabu tersebut, membuat Hesa menautkan alisnya bingung, di matanya semua sayur sama saja. Apalagi yang dijual di minimarket seperti ini, tidak seperti di pasaran pagi atau harian yang fresh. “Mereka semua sama aja,” balas Hesa asal, tanpa sadar kedua tangan Osamu pun terangkat dan mengusak gemas surai rambut lelaki tersebut. Jika dilihat dengan seksama akan akan nampak lucu dan juga wagu karena tinggi mereka hanya berselisih lima sentimeter satu sama lain, dan lagi reaksi Hesa yang tak bergeming di posisinya saat Osamu tersenyum kepadanya. Walaupun, dia sudah terbiasa dengan kontak fisik seperti ini–karena teman-temannya di Singapur sangat suka mengusap kepalanya seperti ini–tetapi tidak pernah terbayangkan dalam benaknya orang yang baru dia kenal berapa hari ini sudah berani melakukan kontak fisik sedekat ini dengannya, ‘sungguh orang yang berpendirian teguh’ gumamnya. Karena hei, bahkan Komori baru berani menjahilinya setelah satu bulan kenal padahal lelaki itu merupakan tipe orang asik yang selalu sok kenal dan sok dekat.

“Dengar ya newcomer, aku tau yang ada dipikiranmu kalau sayur di minimarket pasti di se-fresh di pasar. Tapi bukan berarti kita bisa asal pilih. Lalu kau asal mengambil sayur dengan daun hijau cerah tanpa adanya sedikit cacat. Justru itu sayur yang harus kau hindari karena terkontaminasi bahan kimia. Walau memang kemungkinan besar sayuran di sini tidak sebaik kualitas di pasar tetapi kita harus tetap memilih sayur dengan kualitas terbaik!” jelas Osamu panjang lebar yang menyisakan sebuah impresi familiar baginya, ‘ngomelnya mirip banget sama mama kalo masalah belanja,’. Osamu kemudian mengambil seikat pakcoy setelah memilahnya dengan seksama, sayur tersebut tidak sebesar dan sehijau yang baru saja Hesa ambil tetapi juga tidak layu dan ada beberapa lubang maupun bekas gigitan ulat di sana. “Ini contohnya, kalau beruntung pas nyuci sayurnya kita bisa nemu ulat berarti tandanya sayurnya bebas bahan kimia,” ujar Osamu yang tidak Hesa tau letak keberuntungannya di mana.

Hesa pun manut dan menyerahkan urusan memilah sayuran segar kepada Osamu yang lebih berpengalaman dibanding dirinya. Sebelum kemudian mereka berdua beranjak menuju rak bumbu dan saus makanan. Hesa melirik sekilas saat Osamu dengan sembarangan mengambil dua botol saus teriyaki dan juga saus tiram untuk dimasukkan ke troli. Tunggu dulu! Dengan segera Hesa menghentikan pegerakan lelaki itu, “Kenapa?” tanya Osamu.

“Kenapa ga sekalian beli yang besar?” tanya Hesa balik dan Osamu pun menunjuk tulisan berwarna kuning dengan harga yang telah dicoret–apakah lelaki itu termakan promo dan strategi marketing murahan macam itu? “Lihat tuh ada potongan harga,” dan Hesa pun menepuk jidatnya. Osamu bisa saja pintar dalam memilih sayur tetapi dia payah dan boros karena sangat mudah termakan promo, “Sini deh,” Osamu pun menurut untuk mendekat, sebelum Hesa kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka kalkulator di sana membandingkan dua harga saus kecil dengan satu saus berukuran tanggung yang ada dan justru lebih murah jika membeli ukuran tanggung sekalian. “Jika dilihat harga memang keliatan murahan yang kecil, tapi kalau kita bandingin jumlah isinya lebih untung beli yang tanggung sekalian,” jelas Hesa dan Osamu pun mengangguk paham, Hesa pun berdecak sambil menggelengkan kepalanya, sudah ia duga.

Mereka sengaja mengambil daging terakhir, untuk menjaga kesegaran kualitasnya. Di saat Hesa tengah asik memilih daging (walau dia juga tidak tau daging yang bagus seperti apa) Osamu justru sibuk memandangi pegawai minimarket yang sibuk memotong-motong daging. “Osamu, daging yang bagus yang kayak gimana?” tanya Hesa sembari membawa dua bungkus daging sapi yang telah dipotong tipis dan diplastik vakum. Tetapi Osamu tak bergeming dari posisinya dan justru menunjuk ke arah pegawai minimarket yang masih memotong daging, “Yang itu, lebih fresh dan nanti kita bisa minta pakai lemaknya apa engga,”

— — —

“Kuma-chan! Osamu!” itu sapaan riang khas Komori yang melihat mereka baru saja tiba di kantin, tangan Hesa dan Osamu keduanya penuh dengan belanjaan sehingga tidak bisa membalas lambaian tangan lelaki tersebut. Seketika, Kita, Aran, dan Iizuna segera menghampiri kedua orang tersebut untuk membantu membawa dan menata belanjaan yang ada. “Makasih ya, kalian bisa sarapan dulu, khususnya buat Osamu, sebelum lanjut lari pagi,” jelas Kita yang dibalas helaan nafas, “Aku kan abis lari pagi sama jalan loh kak tadi,” rengeknya meminta keringanan yang ditentang keras oleh Kita karena latihan tetaplah latihan. Osamu pun memberengut sebelum akhirnya menuruti apa kata kaptennya barusan. “Hesa-kun, makasih ya. Kamu bisa sarapan sama siap-siap pas yang lain lari pagi,” jelas Iizuna dan Hesa pun menurut. Saat dirinya hendak kembari pusat perhatian keempat orang tersebut teralih pada Atsumu dan Osamu yang tengah bertengkar.

“KATANYA PUDDINGNYA BUAT AKU KOK KAMU MAKAN?!”

“YA KAN KAMU KE MINIMARKET BISA BELI SENDIRI,”

“TAPI PERJANJIANNYA GA GITU, KAMU SELALU MAKAN PUDDING AKU!”

“OH YA?! SIAPA YANG SELALU NGEHABISIN DAGING ATAU LAUK PAS DI RUMAH?! TAPI AKU GA PERNAH PROTES!”

“ITU BALASAN YANG PANTAS BUAT KAMU YANG JUGA SELALU MINJEM BARANGKU TAPI GA DIBALIKIN!”

Kita, Aran, Hesa, dan Iizuna hanya bisa melongo melihat adegan tersebut, tidak percaya. Sementara itu terlihat Suna yang tengah mendokumentasikan pertengkaran tersebut dibanding melerainya sedangkan Komori berusaha menenangkan kedua bayi besar itu dengan Sakusa yang nampak tak acuh. “Memalukan,” celetuk Kita yang seketika disetujui oleh Aran, “Mereka itu sebenarnya anak SMA atau anak TK? Payah sekali,” ledek Hesa dan Iizuna pun hanya terkekeh canggung. Ternyata Inarizaki juga punya dua bayi besar yang harus diurus, ini seperti deja vu saat melihat Sakusa dan Komori bertengkar masalah tak penting.

— — —

“Nih,”

Hesa menoleh sekilas, mendapati Osamu yang tengah menyerahkan sebotol minuman isotonik kepadanya, diterimanya dengan tanya yang mengantung dalam benaknya meskipun demikian dirinya tetap berterima kasih. Osamu hanya mengangguk sebelum kemudian mereka berdua kembali menolehkan pandangannya pada para anggota klub yang sibuk berlatih. Atensi mereka tercuri saat tensi yang menegang di antara Atsumu dan Sakusa. Dari posisi Hesa berdiri, dapat ia lihat wajah Sakusa sudah memberengut jijik memandang Atsumu tidak suka.

“Pukulanku tidak pernah payah,” bela Sakusa tiba-tiba membuat Atsumu tersenyum jahil, “Tidak, pukulan Omi-kun payah, aku dapat merasakannya saat kau memukul umpanku,” ledek Atsumu balik. Astaga, Hesa pun seketika menepuk dahinya, sungguh pembuat onar si pirang itu dan tentu saja si kriwil itu tidak terima jika dibilang payah. “Mungkin yang payah adalah umpananmu, sehingga aku harus menurunkan kemampuanku untuk menyesuaikannya dengan umpanmu yang jelek itu,” balas Sakusa. Hesa yang melihatnya hanya bisa berdecak pinggang, ‘kan’ batinnya. Mulai deh pertengkaran antara jiwa balita yang terjebak di tubuh remaja tanggung.

“Umpanku tidak payah!”

“Oh ya? Maaf karena aku terbiasa dengan umpan luar biasa milik kak Iizuna,”

“HAAAAAAAAH MEREKA MULAI LAGI!” Hesa seketika menoleh ke arah Iizuna yang tengah berdiri sambir berdecak pinggang, tangan kanannya ia gunakan untuk memijat kepalanya dramatis, sepertinya sang kapten pun sudah lelah akan pertengkaran si musang kriwil dan rubah jamet. Kita pun hanya bisa menghela nafas berat sebelum kemudian memanggil Atsumu dengan nada dingin. Seketika membuat bulu kuduk laki-laki itu menegak merinding karena tatapan tajam dari sang kapten. “Ki… Kita-san…, aku bisa jelaskan…,” ujarnya tergagap dan Kita hanya menggelengkan kepalanya sebagai tanda yang langsung dipatuhi oleh sang setter, membuat Sakusa tersenyum puas, dirinya merasa menang.

Lelaki bersurai pirang itu pun pergi berlalu mengekori sang kapten, sementara itu, Sakusa berjalan menuju ke arah Iizuna untuk menyerahkan handuk kering kepada Iizuna. Bukannya berterima kasih, lelaki itu hanya menghela nafas berat sembari menerima handuk putih tersebut sebelum kemudian mencubit kedua pipi Sakusa sembari berjinjit. Membuat Hesa dan Osamu cukup terkejut karena tingkah Iizuna yang tiba-tiba. Hanya Iizuna yang ditolerir Sakusa untuk menyentuhnya tetapi tetap saja hal tersebut cukup mengejutkannya. “Aku kan udah bilang kamu itu ga boleh kayak gitu!” omel Iizuna sembari cemberut dan Sakusa hanya bercicit kecil, meminta maaf. Iizuna kembali menghela nafas pelan sebelum mengusap pipi Sakusa, “Maaf, sakit ya?” tanya Iizuna khawatir–bukannya menjawab, Sakusa justru memegang kedua tangan Iizuna di sisi wajahnya dan tersenyum sembari menggeleng. ‘Allahu akbar get a room you two,’ batin Hesa melihat tingkah laku kaptennya dan sang ace itu. Osamu yang di sebelahnya pun menyikut Hesa pelan, “Kayak nonton sitkom suami-suami takut suami,” dan Hesa pun mengangguk setuju.

— — —

“Mau apa? Semua makanannya udah abis, dan dari yang gue lihat tadi lu bahkan nambah dua porsi,” tanya Hesa ketus saat Osamu menghampirinya yang masih berada di pantry kantin untuk membereskan sisa makan siang mereka semua sebelum mencucinya. Kalau laki-laki itu memintanya untuk menambah porsi makanan maka sudah tidak ada yang tersisa jadi lebih baik Osamu tidak berharap lebih dan mencari makan di luar, tetapi apa yang terujar dari mulut lelaki itu cukup mengejutkannya, “Mau aku bantu cuci piring?” tawarnya. Benar-benar lelaki yang presistent batin Hesa, mungkin tidak ada salahnya ia mengalah dan bantuan tersebut tentu meringankan pekerjaannya. “Boleh,” jawabnya sembari tersenyum kecil dan berlaru masuk, membuat Osamu yang masih berdiri di posisinya diam terpaku untuk beberapa saat sebelum bersorak girang. YES!

“Pantas saja lu dibilang babi sama yang lainnya, porsi makan lu sehari aja bisa enam kali,”

“Tiga ya, itu normal,”

“Tapi dua porsi, oh dan jangan lupakan cemilan lu yang juga banyak itu,”

“Aku masih masa pertumbuhan!”

“Iya, tapi kalo lu ga lanjut olahraga dengan pola makan begitu yang ada lu penyakitan pas tua,”

Osamu pun berlagak memegangi dadanya sakit, kejam dan menusuk sekali ucapan lelaki itu, “Kamu doain aku yang jelek-jelek kah?” dan Hesa pun hanya terkekeh pelan mendengar rengekkan Osamu barusan. “Gue cuma ngingetin, ga usah drama,”. Mereka berdua pun lanjut mencuci piring sembari berbincang ringan. Lebih banyak Osamu yang bercerita tentang kekonyolan Atsumu yang membuat Hesa geleng-geleng kepala dan menimpali bahwa kelakuan si kembar itu mirip dengan dua sepupu dungu dari Itachiyama yang sangat merepotkannya dan Iizuna. “Iizuna-san pasti kerepotan banget kalo kamu ga ada,” celetuk Osamu yang membuat Hesa terbahak kenapa jadi melow gini suasananya?

Gerakan tangan Hesa terhenti sejenak membuat Osamu menatapnya bingung, sementara itu mata lelaki itu nampak memincing sebelum kemudian dengan kecepatan kilat ia layangkan tinjunya ke arah belakang. Membuat bunyi yang cukup gaduh karena beberapa perabotan masak yang terkena refleksnya tersebut, sementara itu, Atsumu nampak terduduk di lantai dengan sedikit terkejut sebelum kemudian sebuah panci terjatuh tepat di kepalanya. Osamu yang melihat insiden secepat kilat itu pun mengedipkan matanya beberapa kali. “Bukannya naruh piring kotor daritadi malah baru sekarang, adabnya di mana?” celetuk Hesa ketus sementara kedua anak kembar itu saling bertoleh pandang sebelum Osamu mengedikkan bahunya tak tahu.

Bohong ding, sebenarnya Osamu tau.

Saat di minimarket Hesa bercerita sebelum dia menggeluti olahraga Mixed Matrial Arts dia belajar banyak sekali keterampilan bela diri, salah satunya Muay Thai dan keterampilan Hesa sendiri ada pada refleksnya yang gesit serta pukulannya. Jadi berhati-hatilah jika tidak mau jadi korban bokem atau pitingan lelaki itu. “Cuci piring lu sendiri, ogah bener gue nyuciin padahal udah beres,” jawab Hesa sebelum kemudian membereskan kegaduhan yang dibuat olehnya dan pergi berlalu begitu aja, sementara itu Osamu sibuk mengekori di belakangnya sembari mengejek Atsumu, “Mampus,” bisinya kepada sang kembaran yang masih nampak shock.

— — —

“Bunyi ribut-ribut apa itu tadi?” tanya Komori panik sembari keluar dari salah satu pintu ruang kelas–tentunya di balik punggung Suna. Kedua pemuda itu keluar perlahan sebelum menutup pintu kelas sepelan mungkin agar tidak menciptakan bunyi decit. Suna hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Dirinya pun tidak tau. “Mungkin emang cerita horror di Inarizaki benar adanya,” celetuk Suna asal sebelum medapat pukulan gemas dari Komori yang membuat laki-laki itu mengaduh, “Ga usah ngadi-ngadi,” dan Suna pun hanya terkekeh kecil, “Bercanda,”

Mungkin nanti Suna dan Komori bisa mengeceknya, sekarang biarkan mereka berdua menikmati waktu sama lain. Sementara itu, kehebohan tadi pun senter menjadi pembicaraan kedua tim karena suara yang cukup berisik itu menganggu tidur mereka. Sejak kejadian itu pula, sepertinya Atsumu harus berpikir dua kali untuk mencari gara-gara dengan Itachiyama, khususnya managernya.

———

Pagi itu, fajar baru saja terbit, sang mentari pun nampaknya baru saja terbangun dari malam panjangnya. Akan tetapi, para siswa SMA Itachiyama telah berkumpul di lapangan utama sekolah mereka–lebih tepatnya para siswa yang terbagung di klub voli pria SMA tersebut–dengan merangkul tas pundak ataupun tas carrier masing-masing. Seperti yang telah dibahas oleh Hesa maupun Iizuna pada grup utama mereka sehari sebelumnya bahwa pagi ini mereka akan dalam perjalan untuk menuju Hyogo yang memakan kurang lebih lima hingga delapan jam waktu perjalanan. Sama seperti anggota klub yang lain, Hesa telah tiba di lokasi yang dijanjikan, bahkan tiga puluh menit sebelum waktu berkumpul karena dirinya, sang kapten, pelatih, juga supervisi tim perlu merapatkan beberapa hal minor sebelum keberangkatan. Diliriknya jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya, pukul tujuh pagi. Jika dia tertolok ukur pada waktu Indonesia maka ibunya akan mengomelinya karena jam segini sudah kelewat siang–tetapi mengingat di mana dirinya sekarang dan melihat bagaimana Komori yang baru saja tiba sudah menguap sangat lebar seakan hendak melahap seluruh isi dunia maka jam segini dapat dikategorikan terlalu pagi untuknya.

Para siswa tersebut bergantian masuk dan mengisi kursi kosong untuk bus yang mereka kenakan hari ini. Dijajakan kakinya tepat setelah Sakusa masuk–sekaligus sebagai penumpang terakhir yang naik. Diperhatikannya Sakusa yang masih terdiam di hadaannya, tengah memperhatikan dengan seksama di mana ia akan duduk sebelum melenggang ke arah bangku di sebelah Iizuna–deretan keempat dari depan–di mana lelaki itu duduk di dekat jendela sembari membaca bukunya. Dari posisinya Hesa hanya membatin, ‘sok-sokan mikir lama padahal emang mau modus duduk sama Iizuna’ gumamnya ketus. “Kuma-chan!” ditolehkan pandangannya ke arah Komori yang tengah memanggilnya dan menyuruhnya untuk duduk di sebelahnya–tepat di seberang Sakusa dan Iizuna–sejujurnya posisi yang paling ia hindari karena pasti ia akan merasa sangat geli melihat tingkah modus si kriwil itu. Tapi, mau bagaimana lagi, sepertinya tidak ada tempat kosong yang tersisa.

———

“Haaah…,” ini sudah kali ketiga Iizuna menghela nafas sejak perjalanan mereka. Terpantau baru dua jam lamanya berlalu, dari posisinya Hesa melirik sekilas ke arah sang kapten yang nampak pucat. Sementara itu, Iizuna di posisinya terlihat meregangkan lehernya sebelum kemudian memijat pelipisnya. “Iizuna-san, ada apa? Iizuna-san sakit?” tanya Sakusa khawatir dan Iizuna hanya membalasnya dengan sebuah gelengan kepala yang lesu. “Gapapa, tapi aku ngerasa kepalaku nyeri banget,” keluhnya. Sakusa pun melirik ke arah buku yang ada dipangkuan Iizuna yang sudah berada di pertengahan buku sebelum kemudian ditutupnya membuat Iizuna nampak kesal dengan wajah pucatnya–terlihat konyol karena sembari memegang kepalanya yang nyeri. “Iizuna-san mabuk kendaraan karena kebanyakan baca buku, kataku lebih baik Iizuna-san tidur untuk menyimpan tenaga untuk latih tanding,” ujar Sakusa mengingatkan, Iizuna pun hanya bisa menghela nafas pelan, walaupun wajahnya nampak memberengut tetapi lelaki itu tetap menuruti apa yang dikatakan Sakusa. Sementara itu Hesa di tempat duduknya hanya bisa mendengus sinis, ‘modusnya bisa aja si kriwil’ tak selang berapa lama perhatiannya teralih dengan rasa sakit yang menjalar di lengannya, rasanya seperti dicubit dan diplintir. Dirinya pun seketika menoleh dan menatap tajam ke arah Komori sembari melotot.

“Apa njir?! Sakit tiba-tiba nyubit!” gerutunya sambil melotot lebar di balik kacamatanya, sementara itu Komori hanya nyengar-nyengir merasa tak bersalah atas tindakannya barusan. “Kuma-chaaan hiiiiih!!!” ujar Komori gemes sembari kembali mencubit Hesa, “Memar ege kulit gue kalo lu cubitin gini!” gerutu Hesa tak terima, “Abisan gimana dong Kuma-chan,”

“Gimana apanya?”

“ISH KAMU MAH!”

“APA ANJIR LU BISA GA BICARA PAKE BAHASA MANUSIA,” ujar Hesa kesal, apa yang diharapkan lelaki beralis bulat dihadapannya hanya dengan geretuan gemas tidak jelas yang justru membuatnya ikutan gemas untuk menjitak kepalanya. Emang Komori kira Hesa adalah seorang dukun yang bisa memiliki penerawangan akan isi hati seseorang? “Abis ini ketemu croomf, aku DEG-DEGAN,” ujar Komori antusias namun juga penuh akan kekhawatiran. Tapi bukan itu yang menjadi minat utama Hesa sekarang, maksud croomf di sini itu apa? Is that a legit word? “Croomf?” tanyanya bingung, Komori pun membulatkan mulutnya sembari mengangguk dan menggumam pelan, ah dia lupa teman-temannya tidak se-update (bara: chronically online) seperti dirinya. “Crush oomf,” jelasnya dan gantian Hesa yang mengagguk paham, dan dia mengerti arah pembicaraanya, si Suna yang mirip rubah yang sering liat di dokementasi NatGeo. Sepertinya Hesa harus membuat kamus khusus istilah-istilah gaul dari setiap celetukan Komori agar dirinya tidak kebingungan sendiri.

“Aku abis ini ketemu sama Rin! Deg-degan banget gimana ini Kuma-chan,”

YA DIA HARUS APA?!

“Kamu aja bingung apalagi aku,”

“Nih coba liat chat-nya ke aku,” ujar Komori sembari menyodorkan ponselnya ke hadapan Hesa, lelaki itu pun seketika memicingkan matanya sebelum kemudian sedikit menjauhkan jarak ponsel yang diberikan Komori tersebut. Hanya membaca sepenggal katanya dirinya sudah bergidik ngeri, asmara anak muda dan gombalan tidak masuk akalnya membuatnya merinding. “Nanti kalo menurut Rin–,”

“Komori, mending kamu tidur daripada buang-buang tenaga untuk overthinking,” jelas Hesa yang seketika membuat Komori mendengus kesal, “Kuma-chan, ga asik sama kayak Kiyoomi!” ujarnya sebelum kembali mengabaikan Hesa. Hesa pun menghela nafas lega karena Komori tidak merecokinya, namun sepertinya perasaan tenang Hesa tersebut seketika sirna selang beberapa detik saat dirinya menolehkan pandangannya dan mendapati Sakusa yang tengah menopang kepala Iizuna di pundaknya manakala lelaki itu terlelap dalam tidurnya. Tak selang lama Komori pun kembali mengusiknya dengan menarik kerah jaketnya dan mengguncangkan tubuhnya. Hesa hanya bisa menghela nafas pelan sembari berdecak, dasar lovebirds atau mungkin gay loser, entahlah tapi yang jelas setiap harinya tingkah dan cerita mereka selalu sukses menjadi gebrakan tersendiri untuk hari-hari Hesa yang monoton.

———

Direnggangkannya otot dan juga persendiannya yang kaku serta keram akibat delapan jam lamanya perjalanan. Astaga benar-benar melelahkan, paling tidak mereka bisa sampai tepat waktu di Inarizaki batinnya. Para guru dan pelatih sedang asik beramah-tamah, pandangannya pun seketika sibuk menyisir sekitar untuk mencari keberadaan kaptennya. Namun beribu sayang, sepertinya sejak tiba di Jepang (lebih tepatnya bergabung dengan klub bola voli Itachiyama) dirinya seakan terjebak dalam spiral kesialan tanpa akhir. Dirinya, tanpa sengaja terjebak di perseturuan yang ia tidak tau akar masalahnya hanya karena dirinya mendapati figur tinggi Sakusa yang mencolok dengan rambut keritingnya. Jangan salahkan Hesa, tentu saja Sakusa jadi tujuan utamanya untuk menanyakan keberadaan Iizuna, bukannya membawanya pada sebuah perseturuan yang membuatnya merasakan tatapan tajam ke arahnya.

“Arara jadi Omi-kun dan Toya-kun sudah datang, gimana perjalan kalian?” tanya seorang siswa bersurai pirang, begitu mencolok di tengah kerumunan orang. Sementara itu Sakusa hanya mengerlingkan matanya malas, nampak tak antusias, “Biasa aja, tetapi makin buruk karena akhirnya harus berurusan dengan orang sok kenal sok akrab kayak kamu,” balasnya yang jelas membuat lelaki itu naik pitam, “Omongan dari seorang pecundang yang sudah takut sebelum menghadapi lawannya, kasihan sekali. Apakah Omi-kun jadi lemah karena mabuk perjalanan?” Sementara itu Komori yang berdiri di samping Sakusa hanya bisa menggelengkan kepalanya, PUSING karena sungguh pertengkaran mereka sangatlah tidak penting layaknya anak kecil.

“Sakusa, Komori, kalian liat Iizuna di mana?” tanya Hesa menghampiri kedua sepupu tersebut, “Oho? Aku baru pertama kali melihatmu,” ujar siswa berambut pirang tersebut. Seperti biasa, Hesa pun menimpalinya dengan datar dan memperkenalkan dirinya, “Ah ya, aku memang baru bergabung,” ujarnya, “Posisi apa? Kau tidak setinggi Sunarin, dan melihat dari posturmu sepertinya kamu mengisi posisi wing spiker apa aku benar?” ujarnya percaya diri, belum sempet Hesa menjawab, siswa tersebut sudah mengalihkan perhatiannya kepada Komori dan mengajak lelaki itu bicara. Tidak sopan, gumamnya dalam hati, “Ah ya, Toya-kun, aku mau nanya. Bukan soal sekolah siapa yang terhebat tapi kau tau hei dibalik sekolah hebat ada tim kuat dan dukungan yang kuat. Cuma jika melihat Itachiyama saat ini sepertinya kekuatan saja sudah cukup, kalian pasti tidak memiliki manager bukan?” tanya siswa tersebut yang membuat Komori kemudian terkekeh kecil karenya, “Well…, gimana ya aku menjawabnya,” ujar Komori sembari memalingkan pandangannya ke arah Hesa, “Memangnya kenala kalau Itachiyama punya manager?” tanyanya langsung sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

“Cuma nanya,” jawabnya acuh sembari mengedikkan bahu sembari sedikit mengejek. “Punya kok,” jawab Hesa singkat yang membuat lelaki berambut pirang itu terkejut dan membelalakkan matanya, “Ah, aku cuma menjawab pertanyaanmu saja,” lanjut Hesa. Lelaki itu nampak tak percaya dan gelagapan sembari menoleh ke arah kedua temannya di belakang. “Bohong, aku ga liat ada perempuan, tidak mungkin kan kalian punya manager,” dalihnya yang membuat Hesa menautkan kedua alisnya bingung, “Memangnya harus perempuan?” tanyanya yang membuat lelaki itu diam seribu bahasa.

Melihat lawan bicaranya itu diam tergagu membuat Sakusa tertawa puas, begitu pula dengan Komori yang terkekeh kecil di sebelah Hesa, “Hei, Omi-kun, Toya-kun! Tidak ada yang lucu di sini,” Komori pun menggeleng sebagai jawaban, “Maaf ya, tapi menurutku situasi sekarang sangat lucu. Ah iya, perkenalkan ini Hesa, manager sementara untuk tim kami,” jelas Komori yang semakin membuat lelaki itu membulatkan matanya tidak percaya. Sementara itu, kedua siswa di belakang figur pirang itu nampak girang akan ucapan Komori barusan. “Kau berhutang pudding kepadaku Tsumu, ingat ya, lima hari,” celetuk salah seorang siswa dengan tampang layaknya pinang dibelah dua dari lelaki bernama Tsumu itu.

Tunggu dulu, dirinya baru saja tiba dan dijadikan bahan taruhan?

Salah seorang siswa, dengan wajah yang cukup familiar bagi Hesa pun berjalan sebelum kemudian merangkul siswa berambut pirang tersebut dari belakang, “Maaf ya, dia memang tidak sopan. Si payah ini, namanya Atsumu, lalu yang mirip di belakang sana namanya Osamu, kalau aku Suna. Salam kenal,” Ah… jadi ini orang yang sering dibicarakan Komori, pantas saja Hesa merasa tidak asing. Ia pun mengalihkan fokusnya kepada lelaki bernama Atsumu, tunggu dulu, ia juga merasa familiar dengan sosok di hadapannya itu. “Atsumu ya… Atsumu…, entah mengapa aku merasa tidak asing,” gumamnya sembari memiringkan kepalanya dan menopang dagunya dengan tangan kanannya, berusaha berpikir keras. Seketika wajah muram Atsumu berubah menjadi girang, “Oh iya dong! Siapa yang gak kenal Atsumu, pasti kamu lihat aku di TV, majalah, atau–,”

Hesa pun menjentikkan jarinya, memotong ucapan Atsumu tersebut seakan dirinya baru saja mendapat sebuah ilham. “Aku ingat, sosokmu begitu familiar karena sering aku tonton di TV,” ujarnya yang semakin membuat hidung Atsumu memanjang (secara hiperbolis) tentunya. “Iya dong, aku kan seterke–” ucapan penuh kepercayaan dirinya tersebut terpotong dengan dua patah kata yang membuat Atsumu semakin kehilangan kata-kata, “Di Animal Planet,”

Iya, Animal Planet, channel TV untuk dokumentasi binatang.

Atsumu seketika tergagap, kehilangan semua kata dan sarkasmenya yang selalu terlontar dari mulutnya itu, “A-apa?? A-Animal Planet? Haah?”. Melihat reaksi Atsumu tersebut, Hesa pun mengangkat tangannya seakan mengatakan Atsumu untuk tenang dan seakan mencari sesuatu dalam ponselnya sebelum menunjukan sebuah foto monyet berbulu coklat kekuningan tengah tersenyum, “Mirip kan?” ujarnya retoris yang seketika membuat Atsumu melotot tidak percaya–SEGANTENG DIRINYA DISAMAKAN SAMA KERA?! Gumamnya frustasi sembari melihat Hesa dengan tatapan tidak percaya, seriusan?! Tapi lelaki berkacamata itu masih bergeming dalam tempatnya, dengan wajah datarnya seakan yang diucapkannya adalah sebuah fakta. Dapat Atsumu rasakan tepukan pelan dipunggungnya.

Don’t mind, bro,” ujar Suna sembari menepuk pelan punggung Atsumu yang seketika ditempis oleh Atsumu kesal–tambah kesal karena Sakusa, Komori, dan Osamu turut menertawakannya, “WOI!”. Hesa pun nampak puas karena berhasil mengerjai sosok pirang di hadapannya itu sampai tidak sadar jika sendari tadi sepasang mata kelabu yang tengah memerhatikannya dengan seksama. Mereka pun sempat bertukar pandang sejenak karena gumaman Osamu, “Bountiful,” ujarnya yang membuat kelima pemuda lainnya menolehkan kepalanya ke arah Osamu. Jangan lupakan Hesa yang menatapnya bingung penuh tanya. Dia tidak sedang melakukan galang dana, kenapa lelaki itu menyebutnya demikian? Hesa pun menatap Osamu dengan tatapan sedikit keheranan, “Maksudmu beautiful?” ujarnya yang kemudian diiyakan oleh Osamu dengan kikuk sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ah iya, itu,” dan Hesa pun mengangguk paham. Dari perkenalan singkat ini dia sudah bisa menerka apa yang akan dilalui lima hari kedepan. Yaitu mengurus para volleyball idiots dan juga para gay losers yang mana Hesa sudah teramat sangat terbiasa akan hal tersebut dan ia anggap normal. Hanya saja yang menjadi permasalahan utama di sini adalah kedua kombinasi buruk itu bergabung dan bertambah bebannya menjadi dua kali lipat dari semula.

— — —

“Coba bahunya diangkat pelan-pelan…,”

Sang pasien sedikit meleguh menahan sakit sembari mengikuti kata sang terapis untuk mengangkat bahunya perlahan. Rasanya nyeri itu seketika menjalar menjelajahi mulai dari bahu hingga seluruh tangannya. Lelaki paruh baya itu menggelengkan kepalanya pelan sebelum akhirnya menyerah dan perlahan menurunkan kembalinya bahunya–di mana ia bahkan tidak mampu mengangkat hingga separuh dari seratus delapan puluh derajat. Sementara itu, sang terapis, dengan meja dada yang senantiasa ia bawa itu–dicatatkannya beberapa riwayat hasil observasi sesi terapi hari ini. Dirinya tersenyum kecil sembari menganggu, sedikit demi sedikit tetapi sang pasien menunjukkan progress yang cukup signifikan sejak operasi untuk dislokasi bahunya.

“Apa… saya bisa sembuh?” tanya sang pasien, dengan nada putus asa.

Sang terapis tidak menjawab, dirinya hanya tersenyum sembari mencatatkan hasil observasinya, “Bukan saya yang bertanggung jawab untuk menjawabnya, tapi saya akan membantu sebaik mungkin agar kondisi Bapak membaik,” ujar sang terapis bijak. Suara ketuk pintu poli rehab medik pun diketuk tiga kali sebelum tergeser dari luar. Menampilkan figur dokter dengan pakaian seragam berwarna birunya–lengkap dengan masker–sebelum kemudian melenggang masuk dan duduk pada kursinya. Tak selang lama, figur lain pun ikut mengekor di belakang sang dokter, dengan pakaian dengan warna yang sedikit berbeda–biru kehijauan–sebuah tanda pembeda bagi dokter spesialis dan juga dokter residen.

“Maaf saya terlambat, tadi ada meeting bersama dokter-dokter konsulen lainnya,” ujar sang dokter senior. Paras wajahnya nampak berwibawa meski terlihat ‘cukup muda’ bagi seorang konsulen. Sang dokter tersebut bangkit dari duduknya setelah membaca sekilas laporan yang baru saja diberikan sang fisioterapis tersebut. Sebelum kemudian bangkit dari kursinya untuk berjalan ke arah sang pasien. “Selamat siang, pak Hamada, bagaimana kabarnya?” tanya sang dokter senior berbasa-basi. Sementara itu, sang dokter residen masih senantiasa mengekor di belakang dokter konsulen tersebut.

“Apa masih ada keluhan? Untuk masalah jahitan dan lain sebagainya apakah sudah dikonsultasikan dengan dokter ortophedi?” tanya sang dokter ramah, sang pasien menjawab dengan gelengan, “Semuanya udah baik kok dok, dan kontrolnya juga sudah tiga bulan sekali tapi masih tetap harus ke rehab medik katanya biar jaringan otot sama persendiannya terbiasa. Saya juga kurang paham maksudnya bagaimana,” ujar sang pasien membuat sang dokter senior tersebut terkekeh kecil, “Ada yang sakit? Selama sesi terapi tadi? Mohon cerita ya pak Hamada, saya cuma dokter bukan perawal,” candanya membuat kedua bapak-bapak tersebut terkekeh kecil satu sama lain.

Sementara itu sang dokter residen–seorang lelaki berperawakan lumayan tinggi dengan rambut coklat dan motongan uniknya itu saling lirik dengan sang terapis berambut cepak berwarna coklat tua–jadi seperti itu candaan bapak-bapak? “Tadi waktu sesi terapi disuruh angkat bahu kayak biasanya, agak nyeri dikit sih dok rasanya,” jelas sang pasien, sang dokter pun mengangguk paham.

“Dokter Shirabu, coba kamu cek kondisi pasiennya secara menyeluruh dulu,” perintah sang konsulen. Dengan sebuah anggukan mantap, seorang dokter residen bernama Shirabu itu pun melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Sesi visit itu berlangsung cukup lama dengan check up menyeluruh, selama kurang lebih satu jam lamanya. Selama sesi konsultasi, Kenjirou lebih banyak diamnya, mood-nya sedikit kurang baik tetapi ia berusaha menjaga integritas dan profesionalismenya di hadapan pasien maupun kolega kerjanya. “Dok, apakah saya bisa sembuh?”

Sebuah pertanyaan yang berulang kali Kenjirou dengar selama masa dia menjadi dokter maupun residen, tapi satu hal pasti yang bisa dirinya jawab adalah, “Saya akan berusaha semaksimal mungkin,” agar terkesan tidak memberi sebuah harapan semu sebelum kemudian sang pasien diperbolehkan untuk pulang dan Kenjirou pun diperbolehkan untuk istirahat.

———

“Gimana?”

“Apanya?”

Sang terapis itu terkekeh kecil atas respon judes dari rekan kerjanya tersebut selama satu tahun terakhir, membuat Kenjirou menggulirkan matanya malas sebelum berjalan maju untuk antrian caferatian miliknya dan mengambil catering makan siang untuk dirinya. Kedua pemuda tersebut kemudian mencari meja sedikit di ujung yang tidak terlalu ramai dari hiruk pihuk manusia ataupun sesak karena orang yang berjalan berlalu-lalang ke sana kemari.

“Gimana, kamu sudah setahun residen kan?” tanya koleganya tersebut yang kemudian dibalas sebuah helaan nafas lelah dari Kenjirou, “Kau tau Chikara, terkadang aku tidak mengerti pola pikir dokter Ishiyama, seakan semua yang aku lakukan salah semua. Membuatku kadang bertanya-tanya apakah aku memang cocok menjadi dokter dan menggeluti bidang rehab medik ini atau tidak,” keluhnya sembari menyomot satu suapan nasi dengan wajah memberengut, Chikara–teman kerjanya itu–hanya terkekeh kecil mendengar gerutuan rekannya itu, “Aku paham, dulu waktu aku awal-awal praktik coursework juga merasakan hal yang sama,” balasnya sembari menyuapkan sepotong brokoli untuk dirinya sendiri.

“Lalu, apa alasan kamu bertahan?” tanya Kenjirou tiba-tiba, sedikit menyinggung personal milik Chikara yang mana sebenarnya dirinya tidak terlalu mempermasalahkannya, tetapi lelaki itu cukup kaget karena Kenjirou cukup penasaran akan trivial personal seperti itu dari dirinya, tidak pernah Chikara sangka kalau Kenjirou akan menanyakan hal tersebut. Chikara pun terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian menjentikkan tangannya di depan wajah Kenjirou, membuat lelaki itu terkejut. “Kau tau dua junior idiotku yang sekarang telah jadi atlet professional?” tanyanya yang dibalas anggukan tanpa impresi dari Kenjirou, “Ya, henshin-combi,” mendengar jawaban tersebut membuat Chikara sedikit terkekeh–sedikit bernostalgia akan masa SMA-nya.

“Mereka berdua itu ceroboh, begitu pula dengan beberapa teman-temanku yang terlalu nekad sehingga terlihat bodoh,” Chikara mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya, “Kau tau, mereka begitu serius akan voli dan aku merasa satu-satunya hal yang dapat aku lakukan adalah mendukung mereka, memastikan mereka tidak cidera atau paling tidak dapat kembali seperti sedia kala” jelasnya.

Kenjirou sedikit tertegun akan jawaban Chikara tersebut, membawanya pada sebuah kilas balik dua tahun lalu yang kemudian membuatnya terkekeh kecil tanpa sadar. Chikara pun menatap heran Kenjirou dan reaksinya itu, “Kenapa?” tanyanya yang dibalas gelengan kecil oleh Kenjirou, “Tidak apa-apa, aku jadi keinget satu hal kecil. Ah, paling tidak obrolan kita ini membuatku sadar akan satu hal kecil yang sebenarnya merupakan segalanya. Mereka berdua pun melanjutkan makan siang mereka–mumpung ada waktu istirahat, harus dimanfaatkan karena mereka tau perjuangan mereka menjadi tenaga kesehatan membuat mereka berdua kehilangan waktu untuk beristirahat.

Di tengah-tengah waktu mereka beristirahat sembari bercengkerama ringan, televisi dalam bentuk LCD yang terpampang di dinding depan cafetarian rumah sakit menampilkan berita terkait timnas voli yang tengah mempersiapkan FIVB namun cukup disayangkan salah satu ACE andalan Jepang yaitu Ushijima Wakatoshi akan absen pada perhelatan voli dunia tersebut. Chikara pun melirik sekilah ke arah Kenjirou yang tengah memperhatikan berita itu dengan seksama, seutas senyum jahil pun mengambang di wajanya. “Jadi, tuan Ushijima, bagaimana hubungan rumah tangga kalian?” pertanyaan tiba-tiba dari Chikara tersebut seketika membuat Kenjirou tersedak. Di sisi lain, Chikara nampak puas akan reaksi terkejut lelaki di hadapannya itu. “Berhenti meledekku,” ujar Kenjirou memelas, meskipun demikian, Chikara seakan merasa tidak bersalah karena ucapannya barusan.

“Tapi serius, emangnya kalian ga masalah? Ushijima kan baru saja retire sementara dari seluruh aktivitas klub dan timnas. Tapi kamu sibuk residen, memangnya gapapa?” tanya Chikara lagi, kali ini dengan nada penuh perhatian dan sedikit khawatir. Bisa dibilang pernikahan Wakatoshi dan Kenjirou cukuplah unik (yang tau hanya sebagian kecil orang, Chikara salah satunya) di mana Wakatoshi memutuskan berhenti sementara dari karir volinya dengan alasan personal (yang mana menikah dengan Kenjirou). Tetapi setelah satu tahun pernikahan mereka, yang ada justru Kenjirou meninggalkan suaminya itu karena sibuk residensi. Padahal Chikara pun sudah mengusulkan untuk mengambil cuti sejenak tetapi Kenjirou menolak mentah-mentah saran tersebut, alasannya, “Nanti masa residensiku makin lama, kasian Wakatoshi,” yang mana alasan masuk akal dan khas Kenjirou sekali.

“Aku udah ngobrolin sama Wakatoshi kok, dan dia oke. Yah, walau terkadang aku merasa bersalah sedikit karena harus ninggalin dia apalagi kalau lembur. Tapi mau gimana lagi,” dan Chikara hanya mengangguk paham, sementara itu Kenjirou nampak terkejut sendiri sembari memnggebrak mereka, membuat Chikara pun turut terkejut, “Kenapa” tanya Chikara yang tidak dipedulikan oleh Kenjirou. Lelaki itu justru sibuk memasukkan satu suapan besar terakhir untuk makan siangnya sebelum mengambil botol air mineralnya. Dengan mulut penuh, Kenjirou berusaha berbicara kepada Chikara untuk meninggalkannya, “Akhwu… lwupa… adhwa jwanjhi shama doktwer Takhwa, akhwu dwulhuwuan!” ujarnya sembari membawa nampan kotornya, Chikara pun mengangguk, “Telen dulu jangan lupa minim nanti keselek!” teriaknya kepada sosok Kenjirou yang nampak berlari terburu-buru, tetapi dapat Chikara liat figur Kenjirou yang mengacungkan jempol ke arahnya.

— — — Kenjirou menghela nafas berat sembari meregangkan kedua tangannya ke atas, dilihatnya jam yang melingkar di jam pergelangan tangannya. Pukul sepuluh malam, terlalu larut untuk dikatakan pulang tepat waktu–tetapi paling tidak, sebagai residen rehab medik dirinya dapat bersyukur karena tidak perlu menginap selayaknya dokter residen lainnya, terkhususnya adalah obgyn dan bedah–Kenjirou menggelengkan kepalanya, dirinya tidak bisa membayangkan jika harus berjaga IGD. Suara klakson mobil (yang sejatinya dibunyikan sedikit lebih pelan dari klakson di jalan-jalan) mengejutkan Kenjirou dalam lamunannya yang tengah berdiri di depan teras lobi rumah sakitnya bertugas. Sebuah mobil civic berwarna hitam legam pun berhenti tepat di hadapannya, seketika kelelahan yang tersurat di raut wajah Kenjirou sirna digantikan dengan seutas senyum–khususnya tepat saat kaca mobil penumpang diturunkan dan menampilkan figur familiar yang akan menemaninya sehidup semati sejak setahun lebih enam bulan terakhir. Tanpa banyak berkata, dibukanya pintu penumpang oleh Kenjirou dan memasuki mobil tersebut.

Sebelum kemudian mobil civic itu kembali melaju menyusuri gelap gulita dan senyapnya malam kota Miyagi.

— — —

“Kamu kayaknya cape banget hari ini,”

Percakapan basa-basi pembuka dari sang pengemudi mengiringi perjalanan mereka di sunyinya malam jalanan Miyagi yang dilengkapi oleh deru AC mobil dan juga alunan lagu jazz milik Frank Sinatra. Satu helaan nafas berat pun sudah menjadi sebuah jawaban yang sangat menjelaskan, “Kamu tau gak?” dan secara otomatis, tangan kiri Wakatoshi bergerak untuk mengecilkan volume alunan lagu diputar. Satu kalimat pendek dan juga sakral karena dari sana Wakatoshi bahkan akan mengetahui berita, gosip, atau apapun yang dialami pasangannya tersebut selama bekerja. Bukan, bukan berarti Wakatoshi tertarik akan gosip remeh temeh kantoran–hanya saja dia menyukai saat Kenjirou bercerita, sebatas mendengarkannya, dan mungkin sebatas meringankan beban lelaki tersebut. “Engga, kenapa?” jawabnya singkat sambil bertanya balik dan dapat Wakatoshi lihat dari sudut matanya yang tengah sedikit melirik ke arah Kenjirou, raut wajah laki-laki tersebut nampak sedikit kesal namun juga–entahlah, dirinya pun cukup sulit mendefinisikannya, “Duh ya sumpah! ADUUUUUUH!” gerutunya membuat Wakatoshi kebingungan. Apa maksud dari keluh kesah kekasihnya itu? Bagaimana dirinya harus merespon?

“Kenapa?” dan hanya itulah balasan yang dapat ia lontarkan kepada Kenjirou.

“Kamu tau kan dokter Ishiyama? Konsulen aku”

“Iya tau, kamu banyak cerita soal dia, kenapa emangnya dokter Ishiyama?”

Dan Kenjirou pun kembali menghela nafas berat, membuat Wakatoshi mengangkat sebelah alisnya–menunjukkan raut wajah kebingungan. “Kayaknya beliau ga suka sama aku deh,” jelasnya yang semakin membuat Wakatoshi pun semakin heran dipenuhi banyak pertanyaannya dalam pikirannya. Namun, sebelum Wakatoshi bertanya, Kenjirou pun melanjutkan ceritanya. “Kayak aku tuh ga paham pola pikir beliau, yang aku lakuin kayak salah semua sampai aku ada di titik di mana aku mikir ‘aku layak gak ya jadi dokter rehab medik’,” jelasnya. “Kamu jangan mikir begitu,” hanya itulah hal yang dapat terucap dari bibir Wakatoshi, sebelum menikah, dirinya sudah menjalin hubungan lama dengan Kenjirou–dan mengenal pasangannya sejak SMA menyadari bahwa di saat seperti ini Kenjirou hanya perlu didengarkan, tidak perlu diberi saran ataupun hal lainnya karena Wakatoshi paham dan percaya bahwa Kenjirou dapat ‘membawa’ dirinya sendiri dari keterpurukan.

“Terus aku cerita ya ke Chikara kayak aku cerita ke kamu sekarang,” hening sejenak di antara mereka. Wakatoshi sedikit mengenal lelaki bernama Chikara–atau mungkin saat SMA ia tau dengan nama Ennoshita–dari cerita Kenjirou yang ternyata merupakan rekan kerjanya selama ini. “Oh ya? Terus gimana kata Ennoshita? Apa responnya?” tanyanya kembali, masih fokus pada kemudinya, menuju kediaman Ushijima untuk mengantar mereka berdua pulang. “Ya…, dia bilang itu hal yang normal sih…, dia juga ngerasain gitu waktu praktik kerja lapangan.., jadi aku nanya alasan dia buat bertahan apa…” ujar Kenjirou sedikit menggantung, sedangkan itu, Wakatoshi tidak merespon–dirinya masih fokus sama kemudinya, diam dan mendengarkan dengan seksama, memberi ruang bagi Kenjirou untuk berkeluh kesah, “Well ya…, jawaban Chikara ngga terlalu penting buat dibicarain…, tapi dari ngobrol sama dia aku jadi keinget alasan aku ambil spesialis ini.”

Wakatoshi pun memakirkan mobil mereka tepat di depan pagar jati besar kediaman Ushijama–lebih tepatnya kediaman mereka berdua–setelah perjalanan kurang lebih dua puluh menit. Ia tolehkan pandangannya ke arah Kenjirou yang tengah duduk di sampingnya. Teranam lampu pinggir jalan di depan rumahnya masuk tipis-tipis dari kaca mobil miliknya, memberikan kesan artifisial pada wajah Kenjirou yang tengah menatapnya lekat sembari tersenyum, “Emangnya apa alasanmu?” tanyanya karena Kenjirou tak kunjung melanjutkan ucapannya. Tangan lelaki yang lebih muda itu bergerak untuk mengenggam tangan besar dan juga kasar milik Wakatoshi–ditatapnya lekat perbandingan ukuran kedua tangan mereka–dengan cincin yang tersemat di masing-masing jari manis, sebelum Kenjirou kemudian tersenyum sembari menatap Wakatoshi, “Karena aku pengen jadi satu-satunya orang yang bisa dukung dan support kamu, baik disaat kamu fit dan prima ataupun di saat kamu cidera,” ujarnya sembari menggenggam erat tangan Wakatoshi, “Aku tau dokter tidak boleh berkata seperti ini, tetapi jika suatu saat kamu luka atau cidera, aku janji, aku bakalan ada buat kamu dan mastiin kamu bisa benar-benar sembuh,” ujarnya mantap. Wakatoshi yang mendengarnya pun ikut tersenyum sebelum kemudian mengelus lembut pucuk kepala Kenjirou sebelum kemudian mengecup lembut kening lelaki itu. “Aku akan jadi atlet yang hebat,” ucapnya, “Dan aku akan jadi dokter yang hebat!” dan mereka berdua pun terkekeh satu sama lain.

Kenjirou mengeratkan genggaman tangan mereka, membuat Wakatoshi pun menatapnya dengan penuh tanya, dimainkannya kedua tangan mereka dan dapat Wakatoshi liat semburat merah muda di kedua sisi wajah Kenjirou, “Tadi aku ngobrol sama Chikara juga..., soal kondisi kita,“ jelasnya, “Kalau kamu khawatir akan pernikahan kita karena kamu yang sibuk residen dan aku milih retire sementara kan sudah aku bilang dari awal,“ jelas Wakatoshi berusaha menenangkan Kenjirou yang nampak risau. Meskipun demikian, dapat Wakatoshi tangkap raut ketidak puasan dari wajah Kenjirou atas ucapannya tersebut, ia salah bicara kah. “Bukan gitu..., maksud aku..., mungkin ga ada salahnya aku ambil cuti sekali dalam setiap satu bulan...,“

“Emangnya kamu gapapa? Bukannya kamu yang bilang takut menghambat masa residenmu?“

“Tapi aku juga punya suami..., yang harus aku temenin kan...,“ jelas Kenjirou malu-malu.

Wakatoshi bukanlah pria polos yang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. “Baiklah,“ balasnya yang membuat Kenjirou sedikit kesal karena respon dingin suaminya tersebut. Namun, belum sempat Kenjirou melayangkan protesnya Wakatoshi sudah menempelkan bibir mereka satu sama lain. Ciuman tersebut kemudian menjadi dalam dan penuh gairah. Kenjirou pun mengalungkan kedua tangannya di leher Wakatoshi, kedua tangannya sibuk membawa wajah Wakatoshi untuk memperdalam ciuman mereka. Sementara Wakatoshi pun sibuk menyisir setiap bagian bibir Kenjirou dengan lidahnya. Terdengar leguhan dan desahan tertahan dari ciuman mereka. Tangan Wakatoshi pun perlahan bergerak ke bagian bawah, memainkan sesuatu di balik celana Kenjirou yang sudah menonjol sejak cumbuan mereka di mulai.

Namun dengan kesadaran yang mulai ditutupi oleh nafsu libido yang ada Kenjirou menahan pergerakan Wakatoshi, sembari berkata lirih, “Aku lebih suka kalau kita lanjutin di dalam, sama nanti aku kabari Chikara dulu buat ambil cuti besok..., kita bisa main seharian,“ dan Wakatoshi pun terkekeh mendengarnya sebelum mencubit pelan hidung Kenjirou, “Aku ga akan biarin kamu kecapekan karena kita main seharian, paling tidak kamu juga harus istirahat. Tapi biarkan aku yang ngurus itu, kita urus bagian ini saja dulu,“ ujarnya sembari meremas pelan kemaluan milik Kenjirou membuat lelaki iku mendesah tertahan.

— — —

Papa Shirabu yang tengah sibuk menyiram mencuci mobil di pekarangan depan rumahnya nampak terkejut melihat figur lelaki tinggi besar nan familiar bagi dirinya selama sepuluh tahun terakhir. Panik dan tergopoh-gopoh, tanpa sadar ia menjatuhkan selang airnya, membiarkannya mengalir begitu saja sebelum masuk kembali ke dalam rumah untuk memanggil anak lelakinya itu.

“Kenjirou! Kenjirou!” serunya panik, membuat Kenjirou yang tengah sarapan di hari libur dari jadwal jaganya itu sedikit jengah, ada kehebohan apalagi di pagi hari ini.

“Kenapa Pa?”

“Kamu kok ga bilang kalau Wakatoshi balik Jepang? Bukannya dia ada di Poland ya?”

Kenjirou menatap sangsi sang ayah dengan mulut ternganga, “Hah?” serunya singkat. Sang ayahanda pun melambaikan tangannya ke arah sang putranya tersebut, “Malah bengong, coba itu liat ke depan, mana ada keluarganya juga. Duh papa sama mama belum nyiapin apa-apa lagi,”

Kenjirou pun mendecih kesal, dalam hati dirinya bergumam, ‘Ngaco,’ karena dipikir-pikir ngga mungkin kan Wakatoshi tiba-tiba sudah ada di Jepang begitu saja. Namun rasa skeptis tersebut kemudian ditepis dengan keterkejutan yang sama dengan sang ayah manakala sepasang netra kecoklatannya itu mendapati sosok familiar dari kekasihnya yang jika dirinya ingat-ingat terakhir ketemu kurang lebih tiga tahun lalu. “KOK BISA WAKATOSHI ADA DI JEPANG?! DI DEPAN KEDIAMANNYA?! DAN BERSAMA KEDUA ORANG TUANYA?!” serunya, tentu saja dalam hati.

— — —

“Maaf kalau kedatangan kami sekeluarga begitu mendadak tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya,” ujar mama Ushijima dengan santun sembari membungkukkan badannya. Meskipun demikian, tentu saja keluarga Shirabu itu menerima kedatangan keluarga dengan senang hati, walau hanya mampu menyediakan kudapan seadanya.

Tepat setelah kedua belah pihak keluarga itu duduk berkumpul di ruang tamu. Baik ayah dari Wakatoshi maupun sang ibu saling bertukar pandang, sebelum menoleh kepada sang putra yang kemudian atmosfer di sekitar mereka pun berubah menjadi serius dan sedikit menegangkan. Bahkan bagi Kenjirou, keadaannya saat ini jauh lebih menegangkan dibandingkan harus berhadapan dengan residen.

Wakatoshi menarik nafas pelan sebelum kemudian dirinya mulai berbicara, “Saya mohon maaf sekali lagi atas kunjungan mendadak kami sekeluarga tanpa pemberitahuan sebelumnya,”

“Jadi, maksud dan tujuan saya mengajak kedua orang tua saya untuk berkunjung ke kediaman Shirabu adalah untuk menyatakan niat dan keseriusan saya. Saya ingin membawa hubungan saya dan Kenjirou ke jenjang serius jika Kenjirou, dan bapak ibu berkenan,”

Dan ketiga orang dengan marga Shirabu di sana hanya bisa membulatkan matanya terkejut atas hal tersebut. Sungguh, dunia itu sibuk sekali ya? Dan ada saja gebrakannya.

— — —

Kali ini sang ayahanda dari Kenjirou yang lebih cenderung mengambil alih percakapan terkait lamaran yang tak pernah dirinya bayangkan sebelumnya (siapa yang akan menyangka ketika lagi asik membersihkan mobil tiba-tiba ada yang melamar anakmu). Lelaki paruh baya tersebut berdeham sejenak sebelum mulai berbicara.

“Saya menghargai niat baik nak Wakatoshi dan sekeluarga untuk membawa hubungan ini ke jenjang serius dan menjadi satu keluarga besar. Tentu saja, saya senang mendengar kabar tersebut. Tetapi izinkan saya bertanya terlebih dahulu, apakah nak Wakatoshi telah mempertimbangkan semuanya? Karena baik nak Wakatoshi dan Kenjirou sama-sama sedang merintis dan berada di puncak karirnya. Khususnya nak Wakatoshi yang saat ini terikat kontrak di tim di–,”

“Poland, tuan,”

“Ah iya, Poland, maafkan orang tua ini,”

Sang ayah Shirabu menggaruk pipinya kikuk berusaha mencairkan suasana sebelum kemudian melanjutkan ucapannya, “Di tambah lagi, nak Wakatoshi juga kapten dari timnas Jepang bukan? Apakah sudah memikirkan konsekuensi lanjutannya apabila ingin melanjutkan hubungan kalian ke jenjang serius?”

Apa yang diucapkan oleh ayah Kenjirou sangatlah masuk akal dan memang perlu dipertimbangkan. Dari posisinya ia duduk, dirinya menoleh sekilas ke arah Wakatoshi yang masih duduk tegap dan juga tenang di posisinya. Entah mengapa, justru Kenjirou yang merasa gugup. Di sisi lain, Wakatoshi sebenarnya sudah mengantisipasi datangnya pertanyaan tersebut, dirinya menoleh sekilas ke arah Kenjirou sebelum kemudian tersenyum kecil dan kembali menoleh kapada ayah dari Kenjirou, masih dengan sikap tenangnya.

“Saya mengerti kekhawatiran ayahanda terkait hal tersebut. Saya dan Kenjirou pun sempat mendiskusikan hal ini. Bagi saya untuk saat ini, hubungan saya dan Kenjirou adalah prioritas saya, tidak hanya itu, Jepang adalah negara asal saya sehingga tentu saja saya akan kembali memilih pulang ke rumah.

Untuk karir voli saya, saya pun memutuskan untuk hiatus tepat setelah Olympic, karena selama ini dalam hubungan saya dan Kenjirou, Kenjirou sudah banyak mengalah untuk saya. Sekarang gantian, saya ingin mendukung Kenjirou, mengingat Kenjirou juga sempat mengatakan keinginannya untuk melanjutkan studinya. Selama masa hiatus saya, saya bisa kembali ke tim di Divisi 1 di Jepang seperti Adlers yang memiliki homebase di Miyagi,”

Kenjirou dapat merasakan kedua pipinya memerah mendengar ucapan Wakatoshi tersebut. Sementara itu sang ayahanda dan ibunda dari Kenjirou hanya bisa tersenyum lembut sembari menatap ke arah putranya penuh sayang karena sang anak mendapatkan kekasih yang begitu mengerti dan menyayanginya. Sedikit bernostalgia sedikit akan masa muda mereka. Ayah Kenjrou pun kembali berdeham untuk melanjutkan pembahasan tersebut.

“Terima kasih nak Wakatoshi atas niat baiknya. Saya dapat melihat keseriusan nak Wakatoshi dan baggaimana nak Wakatoshi menyayangi Kenjirou. Saya turut bahagia mendengarnya,” pujian dari sang ayah itu tidak membantu sekali dan justru membuat Kenjirou semakin salah tingkah dengan rona bersemu hingga ke ujung telinga.

“Tapi, bagaimana pun, jawaban tersebut di luar ranah saya untuk menjawab. Sudah seharusnya nak Wakatoshi mendengar langsung jawaban dari Kenjirou, sebagai orang tua, saya hanya bisa mendukung pilihan anak saya. Selama itu yang terbaik bagi anak saya dan bisa membuatnya bahagia maka itu lebih dari cukup bagi saya dan istri saya sebagai seorang orang tua,”

Kenjirou ingin berteriak dalam hati, ia sangat malu akan ucapan ayahnya tersebut. Namun, terlepas dari itu, rasa harunya begitu membuncah hingga membuatnya ingin menangis. Dirinya teramat sangat bersyukur, dan juga beruntung. Karena memiliki seorang kekasih yang perhatian, sayang, dan memprioritaskan dirinya, serta keluarga yang begitu menyayanginya dan menghargai setiap keputusan untuk langkah yang ia ambil kedepannya.

— — —

———

And since that day, Sakusa sees Iizuna in different view. He looks way more stunting than as he remembered.

———

Pintu GOR ekskul klub voli laki-laki SMA Itachiyama itu terbuka dengan sedikit suara gebrakan yang menggema seisi ruangan, sukses mengalihkan puluhan anggota klub yang sedang sparring yang ada, begitu pula dengan Sakusa yang biasanya nampak tak acuh. Lelaki berambut ikal legam itu hanya menggumam dalam hati, siapa gerangan yang ceroboh hingga membuat keributan seperti itu. Sebelum akhirnya prasangkanya berakhir dengan sebuah rasa sedikit kesal ataupun bersalah pada diri sendiri mendapati salah seorang dari dua figur yang baru saja tiba itu. Lelaki bersurai kehijauan yang nampak kontras dengan kulit putih pucatnya.

“Ha…ti-hati…,” ujarnya kepada rekan sebayanya, dengan potongan poni aneh dan rambut pirang yang memucat.

Seketika sorak sorai terdengar begitu genggap gempita di ruangan yang cukup luas tersebut, penuh kagum dan juga riang. “Ini dia idola kita,” “Seperti yang diharapkan dari Iizuna,” “Asik makan-makan gratis,”. Beti terus dengan ujaran lain yang saling saut-menyaut satu sama lain. Sepertinya pemandangan ini sudah umum dan familiar bagi anggota voli yang lain. Tetapi tidak dengan anak kelas satunya. Komori pun menyikut pelan pinggang Sakusa seraya bertanya dalam sebuah bisikan, “Ada apa?” yang dijawab kedikan bahu oleh sepupunya itu.

Balasan dari Sakusa tersebut membuat Komori mendengus kesal sebelum akhirnya lelaki beralis bulat tersebut bertanya kepada salah seorang senior kelas tiga yang tak jauh berdiri dari posisi mereka. “Ada apa sih senpai? Kok kayaknya seneng banget waktu Iizuna-san dateng,” tanyanya yang dibalas oleh kekeh kecil dari senior tersebut.

“Ah kalian masih kelas satu ya jadi belum tau?” jawabnya yang justru mengundang rasa penasaran, bahkan mampu menarik perhatian Sakusa yang selalu nampak tak acuh akan gosip remeh temeh semacam ini.

“Iizuna tuh udah terkenal dari tahun pertamanya, karena reputasinya. Aku ingat betul bagaimana dulu banyak senior tidak suka akan gayanya karena mereka pikir Iizuna hanya sok ramah tapi melebihi popularitas para seniornya. Bahkan aku pun merasa demikian, kayak HIIIIH,” Komori dan Sakusa saling bertukar pandang satu sama lain, seakan pikiran mereka menjadi satu dan bisa saling membaca satu sama lain. Sepertinya akan menjadi cerita nostalgia. “Yah tapi meskipun begitu talentanya tidak bisa dipungkiri lagi, di tahun pertamanya dia berhasil menjadi starter dan membawa medali emas saat turnamen nasional, tentu popularitas dan rasa tidak suka kepadanya. Tapi dia seakan bersikap tak acuh soal itu,”

Komori dan Sakusa saling bertukar pandang, sebelum akhirnya lelaki berambut coklat itu sedikit mendekat ke arah sepupunya untuk dapat berbisik, “Ini kalau di anime yang sering aku tonton udah masuk episode flashback yang satu episode sendiri,” ujarnya yang dibalas anggukkan setuju oleh Sakusa.

“Tapi Iizuna tetap tidak acuh dan bikin jengkel semua orang yang ga suka dia. Dia tetap latihan sampai larut, membersihkan GOR, dan menyelesaikan urusannya saat dirinya juga bisa membantu yang lain. Saat itu aku merasa ah aku tidak suka anak ini, kepribadiannya seakan palsu nanti pasti ketauan sendiri jeleknya, sampai akhirnya kalau aku tidak salah ingat waktu natal tiba,”

Oh! Cerita dari senior tersebut seketika terhenti, apakah ini memasuki bagian to be continue yang paling tidak pernah Komori suka? Sakusa pun melirik sekilas ke arah sepupunya yang tanpa sadar bertanya dengan menggebu dan penuh rasa penasaran, “Apa yang terjadi saat natal?” membuat senior tersebut tersenyum puas akan respon penasaran Komori tersebut sebelum kemudian berdeham dan mengubah air mukanya menjadi serius.

“Waktu itu Iizuna datang seperti ini, tetapi dirinya sendiri, dengan banyak kado dan makanan di tangannya. Wajahnya terlihat kikuk membuat beberapa orang menjadi sinis. Tetapi seakan dia tidak peduli, tidak peka, atau terlaku bodo amat ia justru berkata, ‘Maaf aku terlambat, aku dapat banyak makanan dan aku pikir tidak bisa menghabiskannya sendiri jadi aku rasa membagikannya kepada tim voli bukanlah ide buruk,’” yang seketika membuat seruangan diam dan dipenuhi akan kekehan konyol, “Astagaaa Iizuna kamu polos sekali,” itulah hal pertama yang aku katakan pada Iizuna. Sejak saat itu kita sadar memang seperti itulah kepribadiannya. Seakan kebencian kepada Iizuna seketika hilang, dan sejak saat itu Iizuna seakan menjadi jimat keberuntungan kita semua,”

Komori dan Sakusa saling menganggukkan kepalanua sembari menoleh satu sama lain, oh intinya cemburu toh sama junior yang populer, itulah yang ada di benak kedua sepupu tersebut. Tetapi Komori pun memahaminya. Cerita nostalgia tersebut berakhir dengan sebuah seruan, “OI AKU JUGA MAU DONG MAKANANNYA,” yang membuat Komori dan Sakusa pun turut terkejut sembari saling melirik ke arah satu sama lain. Kedua sepupu itu menatap bingung punggung figur seniornya yang berlari menghampiri Iizuna yang telah dikerumuni oleh banyak orang.

“Sakusa! Komori! Jangan diam aja! Nanti kehabisan loh!” seru salah seorang senior mereka yang nampak tengah melambaikan tangannya ke arah ke dua sepupu tersebut. Sakusa tentu merasa canggung dan tidak nyaman, mengingat ada banyak sekali orang di sana. Namun, Komori sudah lenih dulu menggandeng tangannya untuk menyeretnya ikut bergabung, “Iya!” seru lelaki yang lebih pendek itu dengan riang. Sementara itu, dari balik maskernya nampak memberengut sebelum akhirnya ia merasa lebih tenang saat melihat sosok Iizuna yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sembari tersenyum, “Ayo sini!”

Mungkin, tidak ada salahnya sesekali dirinya membaur dengan banyak orang

———

Raut wajah Sakusa makin nampak kecut dengan kerut yang terbentuk di antara kedua alis hitam tebal miliknya. Apalagi saat para seniornya seakan-akan menceramahinya yang menurutnya terdengar layaknya sebuah cemooh (walau sejatinya Sakusa paham betul itu hanyalah gurauan tetapi dirinya tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian seperti ini). Bahkan sepupunya sendiri, Komori, orang paling supel dan mudah bergaul itu pun nampak kewalahan, harus beberapa kali mengulang ucapannya bahwa Sakusa tidak seperti itu, Sakusa hanya merasa merepotkan jika terlalu banyak orang dan berbagai alasan mulai dari yang masuk akal hingga tanpa nalar agar orang-orang berhenti mengerumuninya. Meski begitu mereka tetap datang dan berkata, “Tapi serius deh, Sakusa, kamu beneran ga suka kalo dikerumunin banyak orang? Emang bener katanya kalo misalnya tanggal sekolah rame kamu milih lewat tangga darurat?”

“Kamu aneh ya, aku baru pertama kali nemu orang kayak kamu. Terus kok mau main voli? Kan main tim sama banyak orang,”

“Hei, berhenti membully Sakusa seperti itu,”

Seketika, perhatian yang tertuju padanya selama kurang lebih sepuluh menit tadi teralih saat mendengar suara bass lembut milik setter utama Itachiyama. Senter utama hari ini yang seketika perhatiannya dicuri oleh seketika. Kedua manik legam milik Sakusa pun saling beradu pandang dengan sepasang mata hazel dari lelaki bersurai jelaga yang nampak menghela nafas berat dan panjang. “Pantas saja anak-anak kelas satu pada jengah kalo kelakuan kalian seperti itu,” keluhnya yang justru ditimpali dengan kekehan serta senyum licik untuk menggoda Iizuna.

“Iya iya, yang mau jadi calon kapten~”

“Hei!”

Kedua senior kelas dua tersebut berlalu riang seakan tidak menyebabkan sebuah masalah di antara mereka. Sakusa harus berterima kasih kepada Iizuna, meskipun demikian raut wajah lelaki itu nampak tidak senang. “Maafkan kelakuan mereka ya, mereka hanya ingin akrab dengan kalian terutama Sakusa,”

Dan Sakusa, yang menjadi objek pembicaraan itu bingung harus membalas atau merespon seperti apa, “Seharusnya Iizuna-san tidak mengatakan hal tersebut di depanku. Seakan aku memang seperti yang mereka pikirkan,” baik Iizuna dan Komori nampak terkejut dengan runtutan rangkaian kalimat panjang yang terucap dari balik masker Sakusa. Meskipun demikian, seakan tak terlalu diambil hati, Iizuna justru terkekeh seraya mengedikkan bahunya, “Aku tidak pernah membicarakan orang di belakang,” jelasnya.

Sakusa tidak membalas, di sisi lain, sepupunya nampak berjalan mendekat ke arah Iizuna sebelum kemudian menjabat kedua tangan lelaki itu seraya berkata, “Selamat ulang tahun ya, Iizuna-san,” ucapnya yang dibalas kekehan pelan dari Iizuna sembari mengusap lembut rambut Komori. Bagi Sakusa pemandangan tersebut nampak lucu, di mana tinggi Iizuna dan Komori tidak jauh berbeda tetapi Iizuna seakan ingin menunjukkan sisi dewasanya yang membuatnya justru terlihat konyol (dalam nada positif) karena pose di antara mereka. “Hehe makasih ya Komori! Aku suka bodymist-nya!”

“Syukurlah! Itu Sakusa yang ngerekomendasiin loh!”

Dan pandangan Iizuna pun teralih kepada dirinya. Membuat ia seketika merasa canggung—lebih canggung jika dibandingkan harus berhadapan dengan banyak orang—diturunkannya masker wajahnya sembari sedikit memalingkan pandangannya, enggan menatap tepat ke arah sepasang mata bulat kecokelatan milik lawan bicaranya, “Yah…, aku pikir itu akan cocok dengan Iizuna-san,” ujarnya beralasan.

“Hahaha, makasih ya Sakusa, Komori! Aku suka banget baunya!”

“Semuanya! Ayo berkumpul untuk pemanasan!”

Lengking suara merdu feminim dari manager mereka pun seketika mengalihkan fokus ketiga orang tersebut, Iizuna undur diri terlebih dahulu untuk berkumpul bersama teman-temannya. Namun, sebelum dirinya beranjak pergi Iizuna berkata, “Oh iya Sakusa, aku tunggu setelah latihan ya! Kan sudah janji!”

———

“Zuna! Mau ikut makan ramen setelah latihan ngga?”

Walau seruan itu bukan tertuju kepada Sakusa, fokus dan pandangan tersebut tak bisa melepaskan perhatiannya dari sosok lelaki bersurai hijau yang tengah mengambil bola-bola voli untuk dimasukkan ke dalam keranjang yang ada. Dua pasang netra itu saling beradu pandang sebelum kemudian Iizuna kembali menaruh perhatiannya kepada teman-temannya, “Maaf aku gak ikut dulu soalnya aku udah ada janji,”

Seruan menggoda pun seketika menggema memenuhi GOR yang sudah mulai lenggang tersebut, menggoda Iizuna. Berujar pertanyaan seperti sudah punya pacar dan lain sebagainya pun saling menimpali satu sama lain sebelum kemudian berganti dengan seru cemooh tanda kecewa saat Iizuna bilang dirinya hanya ingin latihan tambahan. Sekelompok senior tersebut berpamitan dengan Iizuna, sementara itu, Komori, terlihat menghampiri Sakusa dengan penampilannya yang klimis—sehabis mandi—dengan jaket jersey yang ia resetling sampai di bawah leher. “Sakusa, ayok pulang!” ajak sang sepupu.

“Pulang duluan aja, aku mau latihan tambahan sama Iizuna-san,” ujarnya, tanpa membantah atau bertanya lebih lanjut Komori hanya mengangguk paham dan mengatakan untuk berhati-hati saat pulang nanti. Kepergian Komori menjadi tanda yang menyisakan Sakusa dan Iizuna di GOR besar Itachiyama. Mereka saling beradu pandang sebelum kemudian terkekeh satu sama lain.

“Coba kita lihat siapa yang paling terakhir bertahan di latihan tambahan ini,”

“Oh mau taruhan?”

Iizuna pun melemparkan sebuah bola voli yang ditangkap sempurna oleh juniornya tersebut, “Bold of you to assume, kalo aku bakalan nyerah atau lembut kepada adik kelas,”

———

Sakusa melirik sekilas ke arah yang ada dalam GOR. Pukul lima sore, sejatinya dirinya belum merasa lelah walau peluh sudah nampak membasahi kedua sisi pelipisnya bahkan kaos yang ia kenakan telah basah akan keringat. “Satu kali lagi!” mendengar seruan tersebut membuat Sakusa mengangkat kedua tangannya, ia menyerah, dan jika mereka berlatih lebih lama lagi maka semakin larut mereka pulang, “Aku kalah, sudah jam lima sore Iizuna-san, sudah waktunya kita pulang,”

Meskipun nampak enggan, dengan wajah yang memberengut tidak rela, tetapi yang dikatakan Sakusa ada benarnya juga. Mengingat dirinya juga harus mengejar jadwal kereta, semakin larut dirinya pulang maka akan semakin lama dirinya harus menunggu di stasiun. Mau tidak mau, Iizuna pun menurut, dan ini adalah pertama kalinya Sakusa melihat sisi Iizuna yang merengek, selama ini seniornya selalu nampak dewasa dan pengertian, tetapi ternyata ada sisi di mana Iizuna layaknya anak SMA pada umumnya, yang tidak ingin hari untuk segera berakhir.

Mereka pun melenggang bersama keluar dari GOR menuju ruang ganti untuk membersihkan diri, hal pertama yang mereka lihat adalah pemandangan lembayung senja layaknya permadani yang menyelimuti sang mentari sebelum hendak terlelap di malam singkat. Bias cahaya remang dengan langit jingga yang indah—tak lupa semilir angin hangat musim semi—untuk sesaat Iizuna terpaku dalam posisinya, membuat Sakusa yang sudah berjalan terlebih dahulu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang senior. “Ada apa Iizuna-san?”

Yang lebih tua hanya menggeleng sebelum kemudian menjawab, “Tidak apa,” ujarnya riang sebelum kemudian menyusul Sakusa, “Musim semi telah tiba,” celetuknya yang membuat Sakusa sedikit terdiam untuk sepersekian detik sebelum menimpalinya dengan anggukan pelan, seraya tersenyum “Iya,”

———

“Iizuna-san pulang ke arah mana?” tanya Sakusa saat mereka tengah berjalan bersama di pedestrian pusat wilayah Tokyo, yang tak jauh dari sekolah mereka. “Aku ke stasiun sih, rumahku di pinggiran Tokyo sama Sapporo,”

“Kenapa ngga nginep aja di asrama?”

Iizuna nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya terkekeh kecil mendengar pertanyaan dari Sakusa tersebut, “Sebenarnya aku sudah meminta untuk menginap di asrama tetapi orangtuaku bilang baru memberi izin ketika aku kelas tiga, entahlah aku juga tidak tau alasannya kenapa,” ujarnya.

Perjalanan mereka lebih banyak akan diam, tetapi entah mengapa Sakusa menyukainya, bagaimana Iizuna tidak berusaha mencari topik agar mereka dapat mengobrol, seakan memahami batsan Sakusa dan menghargainya, membuatnya merasa aman dan nyaman. Sesekali mereka bergurau, membahas hasil latihan merka tadi, dan obrolan ringan lainnya, tetapi bisa dibilang enam puluh persen waktu mereka dihabiskan dalam diam.

“Achoo!”

Sakusa menoleh sedikit ke arah Iizuna yang menghentikan langkahnya, membuatnya tertinggal beberapa langkah dari Sakusa. Tangan lelaki itu ia angkat untuk menutupi mulut dan hidungnya dengan bagian dalam tangan antara lengan atas dan bahunya—agar virus tidak tersebar di telapak tangannya. “Maaf,” ujarnya sembari menggaruk hidungnya yang sedikit merah.

Sementara itu Sakusa berjalan mendekat ke arah Iizuna, menghapuskan jarak di antara mereka sebelum kemudian menyeleretkan resleting jaket lelaki itu hingga menutup leher dan menyerahkan saputangan berwarna hitam miliknya kepada Iizuna. “Awal musim semi emang hawanya bikin gampang sakit, Iizuna-san harus jaga kesehatan,” ujarnya sembari tersenyum

Iizuna masih terdiam dalam posisinya, menatap Sakusa tak percaya, begitu dekat, membuatnya cukup terkejut dengan kedua mata yang membulat sempurna. Entah karena hidungnya yang gatal karena alergi perubahan suhu tiba-tiba atau apa tapi Sakusa dapat melihat rona tipis di sisi pipi kanan lelaki tersebut yang masih nampak termangu akan pemandangan di hadapannya.

“Iizuna-san, ayo. Jangan diem aja, kita harus buru-buru ke stasiun,” jelas Sakusa yang sukses membuyarkan lamunan Iizuna, dengan sedikit gelagapan Iizuna membalas, “Eh aku bisa pulang sendiri, bukannya arah rumahmu berlawanan dengan stasiun? Kita pisah di sini aja,”

Sakusa hanya menggeleng sembari membersihkan ujung pundak jaket yang dikenakan Iizuna, seutas senyum kecil terpatri di wajahnya, “Hari ini hari ulang tahun Iizuna-san, aku tidak punya apa-apa untuk diberikan, jadi sebagai kado, aku bisa menawarkan untuk menemani Iizuna-san… yah kalau Iizuna-san ngga keberatan,”

Mendengar ucapan dari Sakusa tersebut membuat Iizuna terdiam sejenak tidak langsung membalas. Namun, dapat Sakusa tangkap sebuah potret figur yang akan selalu ia simpan abadi dalam benaknya. Di mana Iizuna tersenyum cerah dengan bias sinar mentari yang dihiasi lembayung senja layaknya permadani, “Boleh,”

“Terima kasih ya Sakusa atas kadonya!”

———

———

Hesa melipat sajadah dan juga sarungnya setelah ia selesai menunaikan ibadah sholat asharnya tersebut. Menaruh kembali di atas tumpukan rak untuk barang-barang peribadatannya, yang mana bagian paling atas terdiri atas sajadah, sarung, dan beberapa peci lalu bagian bawahnya terdapat Al-Qur’an dan meja kecil kayu kecil serta beberapa buku bacaan doa lainnya. Lelaki itu menghela nafas pelan sebelum kemudian menggeret dus berisi paket kiriman orang tuanya dari Belanda. Di ambilnya cutter di atas meja belajarnya untuk menyobek selotip yang ada untuk memudahkan dirinya membuka paket tersebut. Ia tersenyum kecil melihat isi paket yang tertata rapi dan terdiri atas berbagai macam makanan instan maupun sasetan, serta beberapa peralatan untuk ibadah seperti sarung, baju koko serta gamis model terbaru (yang Hesa yakini adalah pilihan dari ayahnya mengingat gayanya sangat sang ayahanda sekali), beberapa buku do’a, dan juga Al-Qur’an mungil. Hesa letakkan barang-barang tersebut dan menyimpan semuanya sebagaimana dan di mana semestinya, ditepukkannya tangannya berulang kali sebelum kemudian ia reganggkan punggungnya. Aktivitasnya pun sedikit terintrupsi saat ponselnya menyala dan lantunan adzan pun terdengar dari sana, siapa menyangka sudah waktunya untuk berbuka puasa. Di ambilnya toples kurma ajwa kiriman keluarganya tersebut bersamaan dengan secangkir air mineral. “Bismillahirrahmanirrahim…,” Tepat di saat dirinya selesai berdoa untuk berbuka puasa dan hendak menyantap sebiji kurma tersebut dapat ia dengar ketukan pelan pintu kamarnya. “Astaghfirullah, gue baru mau buka puasa…,” keluhnya sembari menghela nafas berat. Ditenggaknya air mineral tersebut dan dengan sekali lahap ia masukkan sebiji kurma ajwa sebelum ia kunyah beberapa saat dan membuang bijinya. Hesa pun bangkit dari duduknya untuk membukakan pintu yang sendari tadi telah digedor lebih dari lima kali. Sungguh, sebenarnya kesabarannya sudah setipis tisu tapi dirinya terlalu lelah untuk berdebat ataupun marah karena berpuasa seharian. Tepat saat pintu kamarnya ia buka, dapat ia lihat perawakan tiga remaja laki-laki (yang lebih sering ia asosiasikan sebagai trio musangs berwujud manusia) jangkung berdiri di depan kamarnya. Hesa menaikkan sebelah alisnya, menatap mereka heran, di mana Iizuna berada di antara Komori dan Sakusa sembari membawa satu boks yang Hesa pun tidak dapat menebak apa isinya. Sedangkan Sakusa di sebelah kanan Iizuna tengah meneteng satu paperbag yang jika Hesa tebak dari ukurannya berisi minuman dengan reuseable cup untuk mereka berlima. “Hai, Hesa,” sapa Iizuna canggung. Tunggu, berlima? Hesa pun sedikit melongok dari untuk melihat salah seorang remaja laki-laki lain yang asing baginya namun dirinya pun merasa familiar juga, rambut rumah gadangnya terlalu iconic untuk dilupakan begitu saja, “Lah, ini siapa?” tanyanya langsung membuat Komori pun seketika cengengesan, “Oomf hehe”, dan Hesa pun manggut-manggut paham, “Oh Suna ya,” sapanya yang dibalas sapaan singkat dari Suna, “Yo, halo Hesa, salam kenal,” Beralih ke arah sang kapten menoleh bergantian ke arah dua sepupu tersebut sebelum kemudian berdeham untuk melanjutkan ucapannya, “Jadi…, uhm…, maksud kita di sini–” “Nganterin makan,” ucap Sakusa memotong ucapan Iizuna yang seketika kakinya diinjek oleh Komori, membuatnya mengaduh, “Emangnya gue salah?” protesnya, “Ih udah! Ucapannya Iizuna-san jangan dipotong!” ujar lelaki beralis bulat itu. Iizuna pun menghela nafas berat, “Yang diucapin Sakusa ngga salah kok…,” meskipun demikian ia kembali melanjutkan maksud dan tujuan mereka berempat malam ini yang mengintrupsi kegiatan berbuka puasa Hesa. “Kami sebenarnya khawatir sama kamu, karena seharian kamu pucet, lemes. Terus pas kamu nolak makan siang bareng jadi makin kepikiran apa kami ada salah karena selama ini ngerepotin kamu…,” jelas sang kapten. Sementara itu, Hesa masih terdiam sembari bersandar di pintu kamarnya, mendengarkan penjelasan sang kapten dengan seksama. “Terus ya kami mikir dong gimana caranya…, minta maaf…, terus Sakusa browsing deh di internet…, dan nemu artikel soal berpuasa… Jadi, kami pengen kasih kamu beberapa makanan buat berbuka,” belum sempat Hesa menjawab Komori pun sudah menimpali, “Kami cari yang ada logo halalnya kok! Atau paling ngga mastiin ngga ada babi sama nanya penjualnya!”. Suna yang berdiri di sebelah Komori itu pun ikut menambahkan, “Aku yang ngasih rekomendasi loh! Jauh-jauh dari Hyogo ke Tokyo,” wow sebuah intermezzo yang tidak pernah Hesa sangka sebelumnya, “Terima kasih atas dedikasinya,” ujarnya bercanda. Hesa mengerti sekarang, dirinya telah membuat ketiga remaja tersebut khawatir karena tidak menjelaskan apa-apa kepada mereka. Tentu saja, Hesa pun menghargai iktikad baik dari mereka berempat, “Oke, aku minta maaf karena sebelumnya ngga jelasin apa-apa ke kalian, dan kalian benar aku lagi berpuasa,” Lelaki itu pun mengizinkan mereka berempat masuk dan menawarkan mereka untuk makan bersama, “Aku ceritain aja di dalam, sambil buka bersama, anggap aja makan malam bersama,” — — — Selama mereka berempat menyantap kudapan yang ada, atau lebih tepatnya menemani Hesa berbuka puasa. Lelaki tersebut pun turut menjelaskan terkait bulan suci Ramadhan, di mana dia akan berpuasa selama satu bulan penuh sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta. Dirinya berusaha menjelaskan dalam konteks sesederhana mungkin yang dapat dimengerti oleh teman-temannya tersebut di mana sebagian besar masyarakat Jepang berbeda keyakinan dengan dirinya dan menganut kepercayaan Shinto. “Kamu yakin ga bakalan sakit? Sebulan itu lama loh,” tanya Iizuna khawatir dan dibalas kekehan kecil oleh Hesa, “Aku udah terbiasa puasa dari kecil, buktinya masih sehat bugar sampai sekarang. Toh aku ga sepenuhnya ga makan selama sebulan,” candanya, Malam itu mereka menghabiskan waktu untuk bercengkrama, hari pertama puasa Hesa di negeri orang, dengan budaya yang sangat bertolak belakang. Tetapi memiliki teman untuk berbagi dan menghabiskan waktu bersama saat berbuka sepertinya bukan ide yang buruk, walaupun saat siang dirinya sudah dihadapkan dengan banyak cobaan dari teman-temannya itu. “Sebentar, mau foto ngga? Mau aku kirim ke orang tua aku, biar mereka ngga terlalu khawatir aku puasa sendirian di Jepang,” Hesa pun mengeluarkan ponselnya, menampilkan kamera depan di mana ia berada di depan, dengan wajah datarnya ia membentuk tanda peace dengan kedua jarinya. Suna yang melihat usaha Hesa yang nampaknya juga canggung jika harus berselfie kemudian menawarkan diri untuk memotokan mereka berempat. “Kamu ga ikut?” tanya Hesa, “Gak usah, aku bukan anak Itachiyama. Sekalian kenang-kenangan buat kalian,” jawaban dari Suna tersebut membuat Komori sedikit kecewa dan memberengut sedih, “Udah-udah, kita ambil dua foto aja, pertama difotoin Suna habis itu selfie gimana?” usul sang kapten memberi usul yang seketika disetujui semuanya. “Oke ayo rapihin posisi dulu,” Hesa menatap ke arah kamera dengan ekspresi datar khasnya sembari menunjuk ke arah boks makanan yang diangkat oleh Komori sembari tersenyum lebar, bertujuan untuk memamerkannya di kamera.Sementara itu, Iizuna tersenyum cerah hingga matanya menyipit layaknya bulan sabit sembari merangkul akrab Sakusa yang terlihat enggan untuk menoleh ke arah kamera. “Satu… Dua… Tiga!” Foto tersebut pun terambil dan Suna pun kemudian menunjukkannya kepada mereka berempat yang terlihat puas akan hasilnya, “Nah sekarang gantian selfie-nya” ujar Suna sembari mengganti kamera ke arah kamera depan dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Hesaa saat ini berada di tengah-tengah antara Suna dan Komori serta Iizuna dan Sakusa. Suna tersenyum ‘mengejek’ ke arah kamera dengan Komori yang tersenyum cerah sembari masih mengangkat boks makanan dan menyenderkan kepala di pundak Suna. Sedangkan Iizuna terlihat santai menyesap minuman yang ia pegang sembari membentuk pose peace yang ia letakkan di sebelah mata kirinya dengan Sakusa yang mengambil jarak dekat di antara mereka, membuat kepala mereka saling bersentuhan satu sama lain. Tunggu dulu, apakah ini yang disebut dengan momen third wheeler dalam hidup Hesa yang tak pernah ada di bingo list-nya? Ah sudahlah, paling tidak dirinya memiliki memori indah untuk dikenang dan diceritakan selama di Jepang.