———
“Makannya mau satu porsi berdua apa pesen sendiri-sendiri? Satu porsi aja ga si? Ngehemat pengeluaran,” tanya Komori sembari membantu melepaskan helm yang dikenakan oleh Yukie tersebut. Dirapikannya anak-anak rambutnya yang sedikit berantakan
“Boleh sih, mau pesen apa? Nasi goreng rawut aja apa ya? Tapi minta tambah sosis sama ga usah pake timun,”
“Pedes ngga?”
“Engga usah deh,”
Mereka berdua pun berjalan sembari bergandengan tangan menuju warung nasi goreng 24/7 langganan mereka tersebut. Yukie mengambil salah setempat lesehan dekat kipas yang berada sedikit masuk dan diujung sana. Cukup strategis karena dingin, bisa duduk bersandar sembari mengecas ponsel dan juga sembari menonton siaran berita.
Sementara itu Komori berjalan ke mamang nasi goreng, memesan makanan mereka meski demikian ia teringat sesuatu sebelum akhirnya kembali berlari kecil menuju Yukie.
“Yang!”
“Apa sih yang? Gupuh amat, kenapa?”
“Minumnya apa? Lupa!”
Dan Yukie menghela nafas pelan, kirain apa ternyata cuma minum!
“Aku teh tawar anget aja deh,”
“Sama air putih ga?”
“Sama air putih,”
“Oke,” Komori pun mengangguk paham sebelum kemudian kembali berlalu. Sementara itu Yukie mengambil duduknya sembari sedikit bersandar. Dieratkannya jaket miliknya sembari memperhatikan siaran berita malam yang ada di televisi.
———
Komori kembali sembari membawakan sebotol air mineral tanggung sebelum kemudian mengambil duduk di hadapan Yukie. Meskipun demikian ia ubah posisinya sedikit menyerong untuk ikut memperhatikan siaran berita malam ini.
“Dunia udah gila, ga ada aturannya blas,” gumam Yukie sembari sedikit menggerutu.
Televisi kotak dengan siaran sedikit buras karena posisi antena yang tidak tepat mendapat sinyal itu sedang menayangkan berita terkait kasus bunuh diri dan juga pembunuhan di salah sebuah desa. Penyebabnya adalah kesulitan ekonomi, dan mirisnya adalah pelakunya merupakan sang kepala keluarga yang tega membunuh istri dan juga tiga anaknya yang masih kecil. Di mana anak tetuanya baru kelas 6 SD.
Usut punya usut dari catatan harian terakhir yang menjadi bukti investigasi saat ini untuk menyelidiki motif di baliknya. Sang bapak diduga mengalami depresi akibat resesi ekonomi dua tahun terakhir.
Sang bapak merasa frustasi—tertekan dengan biaya hidup yang melambung tinggi untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Sang bapak di duga adalah seorang pemilik toko kelontong yang beberapa bulan terakhir tidak mendapatkan pemasukan yang signifikan.
Biaya sekolah tinggi, usaha di ujung tanduk, dan perilaku belanja konsumen yang rendah di pasaran akibat inflasi yang ada. Dalam surat itu juga dituliskan bagaimana sang istri yang terus-terusan marah, mengomel akibat kondisi ekonomi mereka hingga mengancam untuk bercerai. Membuat sang bapak nekat untuk melakukan aksi tidak manusiawinya itu karena dirinya tidak ingin kehilangan keluarganya—lebih baik mati bersama.
“Ngeliat berita kayak gini jadi makin takut nikah deh jujur. Our society is not supportive both for male and female,” komentarnya.
“Menurutmu gimana deh beb? Siapa yang salah? Tuntutan sang istri? Atau sang suami yang ga bisa memenuhi tanggung jawabnya? Atau justru sistem sosialnya?”
“Satu teh tawar hangat dan satu jeruk hangat,”
“Oh iya, makasih pak,”
Sheeesh
Suara gesekan yang terjadi antara spatula dan wajan penggorengan nasi goreng itu bergema, beradu dengan deru kipas angin dan suara presenter televisi yang sudah melaporkan berita selanjutnya. Komori tidak langsung menjawab, disesapnya jeruk hangat miliknya, ‘Aaah’ suara kecapan yang tidak boleh terlupa sebelum ia menjawab pertanyaan kekasihnya itu.
“Kita ga bisa bilang salah atau benar, karena satu keluarga itu semuanya adalah korban. Sayangnya berita kayak gini malah seakan ‘mendorog’ penonton untuk berasumsi salah satu dari mereka salah karena perilaku kejinya. Kalo menurutku ya, yang salah adalah sistem kita. Ga bisa menciptakan perekonomian yang sejahtera,”
Dan Yukie pun menyesap minumannya karena tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.
“Bener, sistem masyarakat yang kayak gini juga pada akhirnya ga bisa mencapai masayarakat yang sejahtera dan juga adil,” keluhnya membuat Komori sedikit terkekeh.
“Ide akan keadilan, atau equality juga menurutku terlalu utopis. Sebagian besar beranggapan bahwa adil itu berarti harus setara dan seimbang lima puluh banding lima puluh, tetapi mengabaikan hak dan kewajiban. Tapi ya kalo kasus tadi beb, itu tuh udah jauh lebih kompleks lagi masalahnya, ekonomi dan pendidikan punya pengaruh besar,”
Yukie menghela nafas pelan sembari menopang dagunya dengan tangan kanannya, pandangannya masih menatap nanar televisi tersebut, memikirkan betapa mengenaskannya nasib keluarga tersebut hanya karena sistem yang ada.
“Kalo diliat dari laporan investigasinya, kenapa ya bapaknya ga cerita atau mengobrolkan kondisinya dengan istri,” tanya Yukie dengan nada memelas, dan juga pasrah. Entah mengapa setiap kali ia mendengarkan, menonton, ataupun membaca beruta seperti ini dirinya menjadi semakin pesimis, untuk semua hal.
“Masyarakat kita ngga memberi tempat bagi laki-laki untuk melakukannya—ah salah, masyarakat membuat laki-laki tidak dapat melakukannya,”
Seporsi nasi goreng rawut pun tersaji di hadapan mereka, asapnya masih mengepul lebat, dan sembari menciun aroma harum nasi goreng tersebut nafsu makan Yukie seketika naik dan berselera.
“Fragile of masculinity ya? Budaya patriarki ini kira-kira bisa hilang ga ya menurutmu,” keluhnya sembari menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya, puh! Masih panas!
“Udah tau masih panas langsung dimakan kamu aneh,” ledek Komori yang dibales gerutuan kesal oleh Yukie, “Laper!”
Disendoknya sesuap nasi sembari sedikit di-‘angin-anginkan’ sebelum kemudian menyuapkannya kepada Yukie. “Sulit kalo kata aku, budaya patriarki itu lahir karena adanya konflik kelas dari zaman kita masih jadi manusia nomaden, dan ya… it’s already become our culture,”
Menurut Komori, budaya patriarki ini kemudian tentu saja menciptakan opresi terhadap perempuan, sebagai kelompok yang dipandang ‘lemah’ hanya karena dianggap mereka membawa sifat feminim—namun di satu sisi juga memarginalkan laki-laki. Pada akhirnya laki-laki yang dianggap lemah akan kuasanya juga akan ditindas. Parahnya lagi perempuan pun juga turut meminggirkan mereka.
“I’m a man and I acknowledge kalo cowo itu emang bajingan keparat, and I salute women karena mereka profresif banget. Cowo tuh ngerasa gerakan perempuan tuh upaya mereka take control everything mereka paranoid duluan apa yang harusnya jadi milik mereka. Dalam tanda kutip ya. That’s a fragile of their masculinity tapi aku juga ga suka perempuan yang dalam kedok ‘feminis’ itu justru apa ya bahasanya, membolehkan perilaku yang sama kurang ajarnya,”
“Contohnya apa?”
Komori pun bercerita, bagaimana sistem masyarakat mereka ini benar-benar kacau dan berantakan. Dan dia berterima kasih atas gerakan feminis alasannya karena memberikan perspektif baru, new male or masculinity is exist tapi dia kurang suka perempuan dalam tanda kutip, mereka mengaku sebagai seorang feminis pada kenyataannya hanya sebatas membenci laki-laki (walau perilaku tersebut masuk akal mengingat banyak laki-laki bajingan di luar sana).
“Perempuan itu bisa dicintai apa adanya, tapi laki-laki ga bisa, they are not allowed to show their weakness alasannya ya karena stigma yang ada. Itu lah kenapa kalau laki-laki mengalami pelecehan dan lain sebagainya, mereka kelompok rentan, baik di mata sesama laki-laki maupun perempuan,”
Yukie mengangguk paham, dirinya pernah membaca artikel akan hal tersebut dan dia setuju akannya. “Mungkin itu sebabnya ya, kalo ada perubahan kebijakan atau ekonomi laki-laki akan merasa ter-pressure sekali,”
“Eh tapi ngomongin soal society ya sebenarnya aku juga kurang suka sih sama oknum ‘perempuan’ dalam tanda kutip ya, sama seperti laki-laki yang menindas mereka yang dianggap lebih lemah kuasanya. Perempuan tuh… ya balik lagi, masih dalam kedok ‘feminis’ ya… kenapa sih terkadang mereka mengurusi atau easily judgemental to other women?”
Komori menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, obrolan mereka tanpa sadar telah menbuat nasi goreng itu menjadi dingin. Meskipun demikian porsinya bahkan belum berkurang menjadi setengahnya.
“Contohnya gimana?”
“Banyak sih, kayak perdebatan perempuan memutuskan menjadi ibu rumah tangga, mereka beranggapan kalo perempuan itu sorry ya mendapat pressure and control over dominance dari pasangannya, dan sesama perempuan marah—padahal ya suka-suka mereka, dibilang pendidikan tinggi-tinggi kok cuma jadi ibu rumah tangga. It seems some kind of social function not valuable enough in your society,”
“Ini tuh juga kayak perempuan yang memilih memakai pakaian tertutup karena pilihan mereka, bagaimana masyarakat memandang mereka dan fungsi sosialnya ga sih?”
“Bener,”
Dan Komori kembali terkekeh.
“Kadang tuh emang lucu, bagus sih masyarakat menjadi aware bahwa sistem masyarakat tuh ga bener. Tapi semudah itu memberi asumsi dan melabeli orang lain yang ga dianggap sesuai sama nilai yang mereka yakini juga salah. Jatuhnya bukannya sama aja mencoba mendapat dominasi dari kelompok yang dirasa rentan?”
Yukie pun melanjutkan, memberikan permisalan. Bagaimana di kampus, nongkrong, dan di tempat lain ia berbusana berbeda-beda menyesuakin situasi kondisi tetapi tetap memberikan ‘nilai’ serta ‘makna’ dari pakaian yang dia kenakan bahwa dia adalah ‘Yukie’.
Di mana hal tersebut berasal dari nilai-nilai yang ia peroleh, pengalamannya, atau cerita dan pengetahuan yang ia dapatkan.
“I’m open with a discussion tapi ketika menjadi semacam dikte baru, kayak apasih kan this is how i want to represent,”
“Nah terus gimana pendapatmu beb, kan rame tuh di TikTok cara berpakaian dan banyak yang debat sopan ga sopan dan akhirnya saling menggurui,”
Pertanyaan Komori tersebut kemudian mengundang kekeh kecil dari Yukie. Ia pun menegak minumannya untuk membasahi tenggorokannya yang seketika terasa kering. Bahkan teh tawarnya pun sudah menjadi anyep karena terlalu lama dibiarkan.
“Kurang kerjaan,”
Komori pun ikut tergelak mendengarnya.
“Cuma ya from what I believe kamu gapapaloh berpakaian sesuai apa yang kamu mau, kamu pengen dilihat seperti apa, tapi ada tapi ya. Kita hidup bermasyarakat, juga harus menghargai budaya yang ada. Ga boleh berbenturan agar harmonis,”
Sepasang insan sejoli, yang harusnya penuh cinta itu justru berakhir tanpa sengaja memulai debat kusir. Meja kecil di warung nasi goreng dua puluh empat jam tersebut seketika berubah menjadi meja debat. Topik baru pun terus bermunculan dan percayalah mungkin saat ini mereka sudah membahas nilai filsafat stoictism ataupun buku filosofi teras secara tiba-tiba.
Dua jam berlalu, kudapan mereka pun mulai habis, televisi pun hanya menampilkan titik-titik hitam putih abu-abu tak beraturan tanda seluruh program siaran telah habis. Meskipun demikian percakapan mereka masih bergulir.
———
Saat ini pukul setengah satu malam, dan mereka telah bersiap-siap untuk pulang. Yukie menerima helm yang disodorkan oleh Komori tersebut, sembari mengenakannya dipanggilnya kekasihnya itu.
“Beb, menurut kamu kehidupan kita beneran bisa equal ga sih?” tanyanya tiba-tiba.
“Utopis banget, ngayal!” jawabnya sambil menoyor dahi kekasihnya itu.
“Ih tapi kan bagus kalo semua baik-baik aja!” keukeuh Yukie dan membuat Komori tertawa kecil.
“Kalau misalnya hidup baik-baik aja kayaknya manusia juga ngga bakalan bisa bercerita kayak kita tadi deh beb,”
“Tapi—,”
“Udah udah, ini emang jam-jam ngaco, mending kita pulang karena udah malem banget,”
———