komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🍂🍂🍂

“Loh? Itu kak Tsukasa ga sih? Kak Tsukasaaa!”

Mendengar namanya yang diserukan berulang kali itu, Iizuna yang baru saja keluar dari hotel dengan mengenakan topi untuk menutupi sebagian wajahnya itu menoleh. Mendapati Atsumu, Bokuto, Hinata, Sakusa, Joffee, dan juga Shion yang tengah berkumpul—sepertinya tim MSBY baru saja pulang dari makan malam bersama.

“Hai,” sapanya singkat.

“Mau kemana malam-malam sendirian?” tanya Atsumu.

Iizuna tidak langsung menjawabnya, ia sedikit berpikir sebelum kemudian ia mengatakan ingin mencari makan atau sebatas jus untuk mengisi tenggorokannya yang kering.

“Sendirian aja?”

“Iya, tadi mau ngajak Oikawa tapi dia udah keluar sama Kageyama. MSBY baru aja makan malem bareng di luar?” tanyanya berbasa-basi.

Atsumu pun mengiyakan, dan Bokuto menimpali bahwa tak jauh di sini ada rumah makan rumahan yang menyediakan daging dan juga okonomiyaki yang enak.

Iizuna pun tertawa kecil mengatakan mungkin lain kali ia akan mencobanya—tidak bisa dipungkiri jika malam ini dia makan terlalu banyak besoknya sepertinya ia akan muntah.

“Makasih ya rekomendasinya, kalau gitu aku pergi duluan ya—,”

“Mau bareng kak? Aku mau mampir ke minimarket soalnya, tadi kelupaan mau beli sesuatu,”

Apa?

“Eh ide bagus tuh, daripada kak Iizuna pergi sendiri mending sama Omi sekalian,”

Belum sempet Iizuna menjawab ataupun menolak tawaran tersebut, Atsumu dan rekan-rekan MSBY lainnya sudah meninggalkan mereka berdua. Tidak lupa dengan Hinata yang menyerahkan kunci kartu kamarnya dengan Sakusa agar Sakusa bisa masuk jika Hinata sudah tidur terlebih dahulu.

Sementara itu, Iizuna masih diam di posisinya, sedikit tidak percaya dirinya kembali terjebak dalam kecanggungan bersama Sakusa setelah insiden tadi sore. Dan belum sempat Iizuna berkata apa-apa untuk kesekian kalinya Sakusa sudah berjalan duluan dan memanggilnya.

“Tadi ada minimarket dua puluh empat jam deket sini, kayaknya juga jual makanan berat. Kita bisa mampir ke sana kalo kak Iizuna ga bisa makan terlalu banyak,”

“…Ah… iya, sebentar,”

Dan Iizuna pun membawa langkahnya untuk menyusul Sakusa.

🍂🍂🍂

Sudah hampir lima menit Iizuna terdiam menatap kosong lemari es berisi buah-buahan yang ada di minimarket tersebut. Pikirannya tidak fokus dan seketika membuat rasa laparnya pun hilang. Bahkan ia lupa tujuannya bahwa ia ingin mencari pengganjal perut atau bahkan jus tetapi akhirnya ia berdiri lama di depan kulkas memilih buah apa yang hendak ia makan.

Iizuna pun mengambil asal sekotak buah peach yang telah dipotong beserta air mineral sebelum membayarnya di kasir. Ia segera berjalan menuju Sakusa yang telah memilih tempat kereka untuk duduk di areal luar minimarket dengan semangkuk makanan yng telah dihangatkan dan juga dua buah gelas kosong.

“Kamu… makan lagi?” tanya Iizuna seraya mengambil duduk di hadapan Sakusa. Lelaki itu tidak menjawab, melainkan memilah-pilah isian daging yang menjadi topping makanannya dan meletakkannya di atas piring plastik yang ia minta di kasir.

Tidak lupa ia menuangkan jus stoberi botolan ke masing masing gelas sebelum memberikan sah satunya kepada Iizuna.

“Dagingnya buat kak Iizuna aja, tapi kalau kak Iizuna masih laper ini makan nasinya sedikit juga gapapa. Sisanya aku habisin. Terus ada jus stoberi juga buat kak Iizuna,” jelasnya.

Iizuna tidak berkata atau membalas apa-apa. Dirinya hanya diam sebelum kemudian mengeluarkan sekotak buah peach potongan yang baru saja ia beli.

“Aku… cuma beli buah peach…, kamu mau?”

Dan Sakusa pun tersenyum, “Boleh,”

🍂🍂🍂

Mereka saling bertukar makanan satu sama lain—lebih tepatnya semua hidangan tersaji untuk Iizuna, Sakusa telah memilah-milahnya sendiri yang hanya empat puluh persen bagian dari keseluruhan.

Sementara itu Iizuna masih diam dalam posisinya, belum tertarik untuk menyantap kudapan di hadapannya.

“Kak Iizuna ngga makan?” tanya Sakusa membuat Iizuna sedikit gelagapan sebelum kemudian menyuapkan satu suapan ke dalam mulutnya.

Satu kunyahan, dua kunyahan, hingga kunyahan terakhir dan sebelum ia menyantap suapan berikutnya ia sudah terkekeh kecil terlebih dahulu, membuat Sakusa sedikit kebingungan.

“Kamu ini… benar-benar ya…,” gumamnya sembari menutupi wajahnya. Sakusa nampak kebingungan atas gelagat Iizuna tersebut sebelum akhirnya lelaki itu kembali angkat bicara.

“Lucu banget ya kita?” tanyanya.

“Apanya yang lucu?”

“Kita, sekarang,”

Dan seketika nafsu makannya pun hilang seketika. Iizuna asik memainkan garpu yang ada ditanyannya, untuk mengaduk-aduk makanannya. Jika dalam situasi biasa mungkin Sakusa akan memarahinya, tetapi tanpa dijelaskan pun situasi saat ini sedang tidak biasa-biasa saja dan Sakusa harunya tau akan itu.

“Aku merasa jadi orang yang jahat karena ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan, maaf ya,”

“…”

“Aku ga ngerti maksudnya,”

Iizuna menghela nafas pelan sebelum kemudian melepaskan topinya lalu menopang wajahnya dengan tangan kirinya.

“Sejak kita putus, aku selalu berusaha baik-baik aja, tapi aku selalu mikir gimana ya besok? Maksudku kita udah lama-lama bareng tau kan?”

“Ah maaf nadaku seperti menyalahkanmu,” potongnya, takut apabila Sakusa salah paham akan maksudnya sebelum Iizuna kembali tersenyum.

“Aku hanya mau bercerita,”

“Keluarin aja kak, unek-uneknya,”

Mendengarnya, hati Iizuna terasa sedikit lega, ia pun tersenyum, “Terima kasih,”

🍂🍂🍂

Dan Iizuna pun menceritakan semuanya, berbagai macam skenario dan kemungkinan sejak setahun lalu hubungan mereka berakhir.

Setelah semua ini berakhir bagaimana aku bertemu dan jatuh cinta dengan orang lain kalau semua perasaan itu udah abis di Sakusa?

“Yah…, kalau boleh jujur, waktu kamu mutusin aku… aku ngerasa semuanya ga nyata. Tapi seiring aku berjalan pulang aku sadar kalo emang udah selesai…, sampai sekarang mungkin, ‘oh udah selesai ya’,”

“Maaf,”

“Hei, ga usah minta maaf, aku cuma mau cerita,”

Dan Iizuna kembali menghela nafas pelan, ditatapnya Sakusa hangat, masih dengan seutas senyum di wajahnya.

“Kadang aku juga mikir, gimana ya besok? Terus kalo ketemu kamu reaksi apa yang harus aku berikan? Tapi ngeliat kamu baik-baik aja bikin aku ngerasa…,”

Kalimatnya tergantung. Jika boleh jujur Iizuna tidak mengerti apa yang dirasakan. Semua perasaan itu terlalu berkecamuk dan menderu sehingga tumpang tindih satu sama lain.

“…aku ngerasa… aku kesel? Senang? Kecewa? Aku gatau…,”

Dan Iizuna kembali menyanggahnya lagi sebelum Sakusa salah paham.

“Alasan kita putus emang ga baik, menurutku, tapi aku ga bisa menyalahkanmu… ngeliat kamu bisa nemuin cinta di orang lain bukan di hubungan kita bikin aku seneng, oh berarti Sakusa masih bisa merasakan perasaan itu…,”

“Tapi…, ngeliat kamu baik-baik aja dan cuma aku yang merasa sakit aku jadi marah dan kecewa. Ada satu sisi dalam diriku bilang ‘aku pengen Sakusa juga ngerasain ini’ tapi itu nggak mungkin, aku minta maaf akan hal itu,”

“Aku kira hubungan kita ini spesial, pada akhirnya hanya kisah cinta biasa yang bisa berakhir dan menyisakan kenangan,”

Cerita panjang dan keluh kesah Iizuna berakhir di sana, jujur Sakusa tidak mengerti bagaimana meresponnya dan sepertinya Iizuna tidak terlalu membutuhkan respon Sakusa. Ia hanya ingin mengatakannya, dan mengobrol dengan Sakusa sudah cukup baginya.

“Aku waktu itu belum mengatakannya, tapi terima kasih untuk sepuluh tahun terakhir untuk semua cinta yang kamu berikan. Aku bersyukur orang itu kamu Sakusa,”

🍂🍂🍂

Dan sekarang Iizuna bisa mengatakannya

Selamat tinggal cintanya yang telah lama hilang

🍂🍂🍂

🍂🍂🍂

“Ah! Itu Tsukasa-chan! Tsukasaaaaa-chaaaan haloooo,” sapa Oikawa girang sembari melambaikan tangannya, Iizuna yang tengah mengobrol bersama Ushijima itu pun membalas sapaan lelaki bersurai cokelat keunguan tersebut dan berjalan mendekat ke arah sekelompok jejaka yang tengah berkumpul di cafetarian.

“Siapa ya?” tanya Iizuna sedikit bercanda kepada Oikawa membuat lelaki itu nampak tak terima karena dilupakan begitu saja.

“Bercanda, bercanda. Nice to meet you ya Ik, baru pertama ketemu kan?” sapanya sembari menyalami tangan lelaki itu dan memberinya pelukan persahabatan.

“Kak Iizuna! Halooo!”

“Komoriiii!!! Halooo!!”

Kedua lelaki itu berpelukan akrab, selayaknya dua teman baik yang sudah lama tak bertemu—tapi juka boleh diingat-ingat memang terakhir ia bertemu dengan Komori adalah bulan Januari tahun lalu, saat perayaan tahun baru.

“Kok bisa sama bang Ushi deh? Duduk sini aja kak,”

No thanks gue abis lari kalo langsung duduk kaki gue kesemutan,” tolak Iizuna pada tawaran Atsumu tersebut, lelaki itu berdecak pinggang sembari melirik ke arah Ushijima sejenak.

“Tadi kita ketemu di jalan ga si?”

“Iya,”

“Ketemu di jalan? Gimana ceritanya? Lagi di supermarket?”

“Engga, tadi Iizuna sama aku lagi jogging, kita ketemu di persimpangan, ambil jalan yang beda soalnya,”

Beneran ketemu di jalan ternyata

Sementara itu, Sakusa, masih di posisinya masih sibuk memperhatikan sembari mendengarkan. Fokus pandangannya tak bisa luput dari sosok Iizuna yang sedikit berkeringat. Lelaki itu tersenyum, bersenda gurau dengan sumringah kepada teman-teman lainnya.

Membuat Sakusa sedikit tersenyum simpul, ternyata Iizuna masih bisa tertawa setelah apa yang terjadi di antara mereka. Seketika pikiran tersebut ia singkarkan jauh-jauh. Ayolah Sakusa Kiyoomi, mungkin saja dirinya tidak sespesial itu, tentunya juga tidak aneh jika Iizuna dapat menemukan seseorang yang lebih baik darinya.

“Mi! Omi omi! Yeee, ngelitin kak Tsukasanya biasa aja kali itu sampe matanya kering diliatin mulu,”

Dan Sakusa pun gelagapan, tanpa sadar ia dapat merasakan sepasang matanya yang berair, teguran dari Atsumu tersebut sontak mengundang tawa di antara mereka, kecuali Iizuna yang hanya tersenyum kecil.

“Aduh duh, ini ada apa ya antara Tsukasa-chan sama Kiyoomi-chan,”

Dan Sakusa pun bergedik ngeri, “Gak usah manggil Kiyoomi,”

Iizuna yang mendengar protes Sakusa itu hanya bisa menghela nafas pelan.

“Kenapa kak?”

“Gapapa sih, eh kalian ga ada yang mau pesen apa gitu? Apa cuma mau caw doang apa gimana deh?”

“Ya kan gue nungguin elo,”

“Ciee nungguin,”

“APASIH STOP ASBUN,”

Dan Iizuna kembali tergelak karena reaksi Oikawa, cukup menyenangkan rupanya menggoda lelaki itu apalagi di hadapan Kageyama. Sepertinya Oikawa tidak ingin Kageyama salah paham ataupun tersinggung akibat interaksi mereka.

“Kenapa Oikawa nungguin Tsu—kak Iizuna?” tanya Kiyoomi yang seketika membuat seluruh mata menaruh perhatian ke arahnya.

“KAK OIKAWA gue seangkatan sama Iizuna!” protesnya.

“Lu sih kurang bermusabah diri agar nampak seperti senior yang patut dihormati Ik,” ledek Iizuna.

“Btw gue sekamar sama Oikawa, Sak, kuncinya gue bawa dia ga bisa masuk pas tadi gue jogging,”

Oh…

“Omi lu sekamar sama siapa deh? Sama Motoya-kun?”

“Sama Hinata,”

“Enaknya sama Shoyo…,”

Arah topik pembicaraan tersebut seketika berganti, membuat Iizuna lebih banyak diam karena mereka lebih tertarik untuk membicarakan Hinata dan juga Sakusa.

Tanpa sadar, Iizuna melipat kedua tangannya di depan dada, sembari mengetuk-ketukkan kaki sebelah kanannya secara berulang. Pikirannya seketika kalut dan kacau—tanpa sadar ia mendecih sesekali.

Entah apa yang membuatnya seperti ini, tapi Iizuna dapat merasakan sesuatu yang menderu dalam dirinya. Ia ingin segera pergi dari sini.

Ia tidak menyukai perasaannya saat ini.

“Ik, kamu masih mau di sini apa gimana?”

“Lu udah mau balik ke kamar?”

Sementara itu Sakusa di posisinya masih diam memperhatikan.

“Iya, mau mandi, udah keringetan, risih,”

“Yaudah deh ntar gue nyusul. Pas gue gedor denger ya gue gamau nunggu di luar!”

“Ke kamar aku dulu juga bisa kak,”

“Aku boleh bareng ga kak? Mau balik ke kamar juga,”

Pertanyaan Sakusa tersebut membuat Iizuna diam sejenak, ada selang waktu sekitar tiga detik sebelum dirinya pun menjawab.

“Boleh,”

🍂🍂🍂

Di sinilah mereka sekarang, terjebak di dalam lift dengan kebisuan dan keheningan yang menyelimuti. Untungnya mereka menuju satu lantai yang sama. Sakusa menekan tombol nomor 8 dan menutup pintu lift tersebut yang perlahan mulai naik.

“Kamu sampai di sini tadi jam berapa?” tanya Iizuna yang berdiri di belakang Sakusa.

Lelaki itu tak berani menoleh atau sekadar berdiri berjejeran dengannya. Ia masih diam di posisinya, memandangi nomor-nomor lift yang sejatinya tidak menarik itu.

“Jam tujuh pagi, sama anak-anak BJ lainnya,”

Dan Iizuna hanya menggumam pelan sebagai jawaban.

“Kak Iizuna apa kabar?”

Basa basi yang basi banget

Meskipun demikian Iizuna hanya terkekeh pada upaya Sakusa untuk membuka pembicaraan di antara mereka.

“Ya…, gak jauh beda dari setelah kita putus. Kamu apa kabar?”

Satu pernyataan ambigu bagi Sakusa. Karena sejatinya Sakusa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Iizuna.

Jika melihat kondisi lelaki itu setahun lalu, yang mana bahkan mereka saling membelakangi untuk bertolak arah satu sama lain Sakusa tidak mengerti apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baik atau buruk.

“Aku…, baik…,”

Dan itulah satu-satunya jawaban yang dapat ia berikan.

“Baguslah,”

Mereka masihlah orang yang sama dengan setahun lalu, Iizuna tetaplah Iizuna, dan Sakusa tetaplah dirinya. Meskipun demikian perasaan di antara mereka tak lagi sama.

Begitu pula hubungan mereka

Sakusa dapat merasakannya, walau Iizuna masih nampak ramah kepada ornag lain, tapi sikapnya begitu dingin dan juga acuh. Ia mengeratkan kepalan tangannya.

“Kak Iizuna—,”

Ting

Pintu lift pun terbuka, mereka telah tiba di lantai delapan. iizuna pun melangkah keluar terlebih dahulu.

“Aku senang kamu baik-baik aja Sakusa, semoga kita bisa bermain voli dan menyelesaikannya dengan senyuman ya,” ujarnya di depan pintu lift sambil tersenyum kecil sebelum kemudian Iizuna berbalik arah, menuju koridor yang berlawanan arah dengan tujuannya.

🍂🍂🍂

Jadi, apakah sungguh telah berakhir?

🍂🍂🍂

🍂🍂🍂

Kala itu adalah akhir di bulan April, lebih tepatnya tiga hari setelah ulang tahun Iizuna. Musim semi yang hampa dan juga dingin bagi sepasang sejoli yang menjalin kisah setengah dari masa hidup mereka.

Sepuluh tahun itu bukanlah waktu yang sebentar

Dan mereka duduk berhadapan dengan rasa canggung teramat besar seakan tak pernah menjalin kasih sekali pun dan berbagi cinta satu sama lain. Terlampau canggung.

Hingga akhirnya Sakusa pun mengatakannya,

“Aku mau kita putus,”

Dengan alasan yang terlampau sepele namun akal Iizuna berusaha memakluminya. Karena bara cinta yang ada di hati Sakusa untuk dirinya sudah tidak meninggalkan jejaknya. Gairah itu telah hilang.

“Aku mengerti,”

Aku mengerti, katanya

Kisah cinta yang awalnya ia kira istimewa pada kenyataannya hanyalah kisah cinta biasa yang dapat berakhir begitu saja.

Dan mereka pun berbalik arah, sudah tidak ada Iizuna yang pulang ke kediaman Sakusa, ataupun Sakusa yang mengantarkan Iizuna pulang. Sekarang, mereka menapaki jalan pulang ke rumah masing-masing.

Meskipun demikian, bagi Iizuna semuanya nampak tidak nyata, dirinya bahkan tidak menangis ataupun bersedih… hanya saja hatinya terlampau kosong untuk sekadar kecewa.

Baginya, presensi Sakusa sudah selayaknya kebiasaan, dan ketika kebiasaan tersebut hilang dari hidupnya, seakan segalanya telah direnggut dalam hidupnya.

Bohong jika dirinya berkata bahwa ia baik-baik saja. Namun, semuanya nampak seperti mimpi di mana membuat Iizuna berharap bahwa eksistensi Sakusa Kiyoomi tidak pernah ada dalam hidupnya.

Dan langkahnya pun terhenti, di salah satu rindang pohon sakura pada pertigaan menuju rumahnya.

Iizuna tidak apa-apa, Iizuna harus tidak apa-apa.

Ia berhenti sambil berdiri terdiam, tangannya pun tanpa ia sadari terangkat untuk meremas baju di bagian dada kirinya.

“Bagaimana aku bisa baik-baik saja kalau segalanya sudah tidak ada…?”

Bagaimana Iizuna kemudian menemukan cintanya di saat seluruh cintanya telah pergi?

Rasanya sakit, dan begitu menyesakkan tapi di satu sisi ia pun mati rasa

Setiap kali ia mengatakan pada dirinya untuk baik-baik saja, bayang-bayang Sakusa pun hadir, kenyataan bahwa hubungan mereka pun telah berakhir dan gelora cinta dalam dirinya pun telah habis.

Bagaimana ia nanti bertemu dengan orang lain? Bagaimana nanti dia harus mencintai orang lain? Bagaimana ia harus tersenyum di saat cintanya telah direnggut?

🍂🍂🍂

Jika sakusa kehilangan geloranya pada hubungannya dan Iizuna, paling tidak ia masih bisa merasakan indahnya jatuh cinta

Sedangkan pijar dalam hati Iizuna telah sepenuhnya padam, bagaimana caranya ia jatuh cinta jika bara itu telah tak bersisa?

🍂🍂🍂

💙💙💙

Miwa masih duduk berpangku tangan di tepian dipan kamar apartemen milik kekasihnya itu. Sejak dikabari oleh adiknya, Tobio, kalau Tsukasa baru saja kolaps, Miwa pun tepat setelah menyelesaikan projeknya buru-buru pamit undur diri karena ada kepentingan mendesak.

Sejujurnya ia sudah menebaknya akan berakhir seperti ini, terlepas kekasihnya itu adalah seorang atlet professional, Tsukasa itu sangat lemah terhadap infeksi virus—itulah mengapa Miwa sangat memantau betul konsumsi gizi dan protein dari sang terkasih—memastikan agar tidak memberikan reaksi sensitif ataupun alergan pada Tsukasa.

Miwa kembali mengecek suhu tubuh kekasihnya itu, suhu tubuhnya telah menurun di banding siang tadi saat Tobio meneleponnya—di mana membuat Tsukasa pun sampai mengigil karenanya—dan Miwa pun menghela nafas lega sembari mengusap peluh di dahi Tsukasa.

Sementara itu, raga lelaki berusia dua puluh enam tahun itu nampak menggeliat tidak nyaman di atas tempat tidurnya—sesekali mengeluarkan erangan serak khas orang mengigau di tengah tidurnya—kedua kelopak matanya itu pun perlahan terbuka.

Pandangannya pun nampak mengabur dan berair, kepalanya masih sedikit pusing dengan nafas yang terengah. Sementara itu Miwa masi berada di posisinya sembari menggenggam erat tangan kekasihnya.

“…Mi…wa… ya?”

Gadis itu tak menjawab, ia hanya mengusap lembut tangan kekasihnya itu—seakan memberikan jawaban ia atas pertanyaannya sebelumnya.

Tsukasa pun menghela nafas panjang (dan ia dapat merasakan hangat nafasnya sendiri).

“Aku… udah lama tidur?”

“Dari siang, jam sebelas atau dua belas. Sekarang udah jam tujuh malam,”

Tujuh jam

“Kepalaku… pusing banget…,”

“Kamu mau makan? Aku panasin bubur kalau gitu,”

Tsukasa tidak menjawab, ia hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Miwa pun beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makanan dan obat bagi kekasihnya itu.

💚💚💚

Tak berselang lama, gadis itu kembali dengan senampan mangkuk berisi bubur yang baru dipanaskan, segelas air mineral hangat, dan juga obat yang telah diresepkan dokter untuk Tsukasa.

Ia pun membantu Tsukasa untuk terduduk bersandarkan bantal di kasurnya. Dengan telaten, Miwa pun menyuapkan bubur itu kepada kekasihnya.

“Kamu demam karena radang, terus pas di cek tadi tensimu juga rendah. Kayaknya kamu kecapekan makanya jadi ngedrop gini,”

Dan Tsukasa pun hanya berdeham panjang. Pandangannya masih mengabur tapi ia dengan nurut menerima setiap suap yang ditunjukkan kepadanya dari kekasihnya itu.

“Kepalaku… pusing banget… aku juga lemes banget…,”

“Makanya makan, minum ibat, terus tidur,”

“Waktu tidur… aku juga ngerasa ga nyaman… kalo semisalnya aku kenapa-napa…atau besok ga ada…,”

Ah mulai kan, Tsukasa akan ngelantur kalo sudah demam begini

Biasanya Miwa akan membantahnya, mengatakan Tsukasa untuk tidak drama karena pekara sepele. Tapi kali ini ia memilih untuk diam mendengarkan. Membiarkan Tsukasa merancau seperti orang gila.

“Kalo aku ga ada… kamu cuma boleh sama yang sama kerennya kayak aku… kalau ngga aku hantui kalian,”

Iyain aja

“Emang siapa yang lebih keren dari kamu?”

“Ngga ada, makanya ga boleh punya cowo lagi,”

Tuh kan

Dan Miwa pun terkekeh pelan sembari kembali menyuapkan sesendok bubur kepada Tsukasa.

“Kalo aku balikan sama Oikawa gimana?”

Dan Tsukasa pun seketika melotot, tidak terima.

“Emangnya Oikawa lebih keren dari aku?”

“Iya kali? Dia bisa main di Olympic,”

Dan Tsukasa pun seketika murung

“Maaf kalo misalnya aku buat kamu kecewa…,”

Dan tawa Miwa pun pecah karenanya. Begitu renyah membuat suasana hati Tsukasa yang muram itu sedikit terobati—walau belum bisa menyembuhkan lara akan kenyataan ia tidak bisa mewakili Jepang di Olympic.

“Bercanda, kamu lebih keren kok kemana-mana, coba tanya Bio deh,”

Gadis itu pun memanggil adiknya yang tengah bermain game di ruang TV Tsukasa. Tobio pun segera datang menghampiri kakaknya.

“Loh? Kak Tsukasa udah bangun,”

“Loh? Tobio kamu kok di sini?”

Iya, bukanny dijawab Tsukasa malah nanya balik.

“Kak Miwa minta tolong bantuin jaga kak Tsukasa pas kak Miwa belum dateng,” jelasnya sembari mengambil duduk di sebelah kakaknya itu.

Dan sekarang situasiny nampak lucu, Tsukasa yang tengah tak berdaya itu tengah dirawat oleh dua orang Kageyama di rumahnya.

“Kenapa manggil kak?” tanya Tobio kepada Miwa yang masih menyuapi Tsukasa tersebut.

“Kamu lebih milih Tsukasa apa Oikawa?”

Dan wajah Tobio seketika berubah sensi.

“Kak Tsukasa lah kemana-mana,” ujarnya

“Tuh, dengerin,”

“Tapi aku ga kepilih tim nasional dan ikut Olympic kayak kamu sama Oikawa loh,”

“Elah kak, kalo disuruh bandingin sama kak Atsumu juga yang lolos Olympic aku sih lebih milih kak Tsukasa kemana-mana,” jelasnya tungkas.

“Kenapa tuh?”

“Males ah sama kak Oikawa sama kak Atsumu. Iya mereka hebat tapi sengak, kalo kak Tsukasa baik,”

Wow terdengar personal sekali ya

“Terus siapa yang lebih keren dari aku menurutmu Bio?”

“Aku kak,”

Dan tawa Miwa serta Tsukasa pun pecah seketika mendengar jawaban penuh percaya diri dari Tobio tersebut. Menggemaskan sekali, batin mereka.

Flat yang tidak terlalu luas itu pun seketika dipenuhi oleh suara tawa hangat dan bincang akrab antara mereka bertiga. Tobio sesekali menceritakan (atau lebih banyak menggerutu) terkait tingkah menyebalkan Oikawa ataupun Atsumu dulu yang berakhir melebihkan Tsukasa di matanya.

Sementara itu sesekali Miwa menyindir Tsukasa yang tak bisa mengalahkan mereka jika masih sering acuh akan kondisi kesehatannya ini. Tentu saja Tsukasa merasa sangat tersendir. Tapi di sisi lain ia ingin pemandangan seperti ini abadi selamanya. Dirinya ingin menghabiskan sisa hidupnya dan menjadi bagian keluarga dari kedua kakak adik Kageyama ini.

💙💙💙

“Beb kalo misalnya kamu aku lamar gimana?”

“Tsukasa stop ngaco deh, kamu kalo lagi demam gini hobi ngelantur,”

“Aku serius Miwa,”

Dan Miwa pun menghela nafas pelan.

“Kamu sembuh dulu, habis itu selesein liga besok baru ketemu mama papa ya?”

💚💚💚

⭐️⭐️⭐️

Camera?

Ready!

Sound?

“Aman!”

“Oke! Clapper ready ya!”

“Siap!”

Scene lima take satu and action!”

CLAP

⭐️⭐️⭐️

Lelaki jangkung bersurai pirang itu menatap seksama pengambilan gambar yang ada dalam layar kecil kamera perekam yang ada. Mata hazelnya menatap tajam penuh konsentrasi, memperhatikan layar kecil yang menampilkan pengambilan gambar dua insan sejoli yang tengah bersenda gurau di salah satu sudut kafe yang telah disewa untukshooting.

Good, keep rolling,” ujarnya kepada sang kameramen.

Tangannya ia arahkan untuk menghadang punggung lelaki yang lebih pendek yang tengah menumpu kamera DSLR dengan posisi tangan tegak lurus dan posisi tubuh sedikit dicondongkan ke belakang.

“Oke, mundur pelan-pelan,”

Dan dalam langkah kaki perlahan dan seremtak kedua lelaki itu mundur secara perlahan, sementara kru film yang lain masih diam di posisi masing-masing tanpa membuat suara dan kegaduhan tak berarti.

Kafe luas itu pun begitu senyap terlepas volume manusia yang membeludak, hanya terdengar suara deru kipas AC di sana.

Sementara itu, Yachi dalam posisinya masih duduk diam sembari memperhatikan—memperhatikan Tsukishima yang masih fokus pada pekerjaannya dan tanpa Yachi sadari kedua matanya itu memancarkan binar penuh kekaguman yang tak pernah luput dari sosok lelaki itu.

Good… keep rolling… oke tahan sepuluh detik lagi… aaand… CUT!

Satu ruangan pun seketika dipenuhi oleh helaan nafas lega, para make up artist, wardobe, dan talent coordinator pun seketika menuju ke arah para aktor untuk sebatas merapikan anak rambut, riasan, baju, atau sebatas mengelap keringan dan memberi minum.

Yachi pun berdiri dari posisinya dan berjalan ke arah Tsukishima yang masih sibuk menonton ulang adegan yang berhasil ia ambil sebelumnya. Sedikit terkejut ketika semilir angin kecil menyapa wajahnya. Ada Yachi di sana—sedikit mengangkat tangannya tinggi—yang tengah menyodorkan kipas portabel kepada Tsukishima.

“Kerja bagus pak!” pujinya dengan wajah yang berderi. Tsukishima pun sedikit menggeser posisinya dan memberi ruang bagi Yachi untuk melihat pengambilan gambar barusan.

“Coba kamu liat deh, udah oke apa belum, aku sih udah oke kalo kamu juga oke kita bisa wrap sekarang,”

Yachi pun ikut bergabung dengan lelaki itu, bersama dengan Ennoshita, seorang DOP yang bertanggung jawab pada setiap proses pengambilan gambarnya.

Satu impresi yang berada di benaknya adalah indah, sungguh Tsukishima selalu sukses memvisualisasikan gambaran adegan yang ada dalam pikirannya dengan sempurna bahkan jauh lebih indah.

“Bagus, aku oke, bungkus,”

Dan Tsukishima pun tersenyum. Ia pun bertepuk tangan yang kemudian disusul oleh anggota kru yang lainnya. Finally its a wrap.

⭐️⭐️⭐️

“Makasi banyak kak Alisa, makasi banyak kak Iizuna,” ujar Yachi sembari sedikit membungkukkan badannya, sementara itu kedua talent-nya itu pun turut membungkukkan badan dan juga berterima kasih atas kerja keras seluruh kru film selama ini.

“Zuna, lo langsung balik apa gimana?” tanya Alisa.

“Nunggu Miwa kelar gue, lo gimana?”

Mengerti bahwa Iizuna dan Alisa butuh waktu untuk beristirahat ataupun sekadar privasi untuk mengobrol Yachi pun pamit untuk undur diri karena ada beberapa hal yang harus ia urus (walau sebenarnya itu hanyalah alasan semata).

“Oh iya oke, makasi ya Chi! Oh iya kalo ketemu Miwa bilangin aku tunggu di dalem ya!”

“Siap kak! Nanti aku sampein!”

Dan ia pun sedikit berlari dengan langkah kecilnya meninggalkan dua insan tersebut. Sedikit celingukan, pandangnya ia edarkan ke sana dan ke mari sebelum akhirnya mendapati Tsukishima yang tengah mengecek audio mereka.

“Kamu dicariin deh,” ujar Semi, soundman mereka sembari menepuk pelan bahu Tsukishima.

Tsukishima pun mengalihkan pandangannya ke mana arah Semi mengarah. Ia pun melepaskan headphone yang ia kenakan sebelumnya.

“Udah oke belum? Kalo udah oke aku bungkus,”

“Kirimin dua file terakhirnya aja kak, nanti juga tolong dibuat file acc-nya bareng sama Akane sama kak Enno sekalian aja ya, makasih loh,”

Dan Semi pun hanya terkekeh pelan sembari kembali menepuk pelan bahu lebar Tsukishima beberapa kali. “Aku yang makasih, kalo gitu aku bantu si Futa beberes dulu yak,”

“Oke kak! Ntar aku nyusul,”

“Oit Chi, thanks ya!”

“Eh iya kak Semi! Makasih yaa!”

Lelaki bersurai kelabu dengan sedikit bayang hitam di bawahnya itu pun berlalu meninggalkan mereka berdua, menyisakan sedikit perasaan tak enak dalam diri Yachi.

“Aku ganggu ya?”

“Engga kok, udah beres juga. Btw, kamu dah makan belum?”

Dan Yachi pun menggeleng.

“Yuk ke dalem, makan malem dulu abis itu bantuin yang lain beberes,”

⭐️⭐️⭐️

Dan di sinilah Tsukishima serta Yachi berakhir, di salah satu meja di sudut ruangan indoor kafe yang mereka sewa untuk produksi film pendek. Jam dinding di cafe tersebut menunjukkan pukul sebelas lebih sembilan belas menit. Terlampau larut—tapi untung saja mereka sudah menyewanya jadi masih bisa digunakan untuk memesan makanan.

Meskipun demikian keheningan seketika menyeruak di memenuhi mereka—terlepas di luar sana Yachi dapat mendengar sendagurau dari kru ataupun talent mereka.

“Kei… shot terakhir, bagus banget deh! Aku suka!” ujarnya berusaha memecahkan keheningan.

“Ah? Iya, aku juga suka shot itu, priceless kak Miwa pinter banget nyari talent-nya,”

“Iya! Dapat talent kayak kak Alisa itu hoki banget deh,”

Kembali hening

Yachi menggaruk pipinya tak nyaman, sementara itu tangannya yang lain nampak tak nyaman karena berkali-kali ia remas sendiri di bawah meja sana.

“Kei…,” panggilnya lirih, sementara itu, lelaki itu masih diam dalam posisinya duduk, tidak bergeming ataupun menjawab. Namun yang pasti dirinya dengan seksama memperhatikan.

Do you still have soft spot for me…?” tanyanya pelan dan juga samar. Meskipun demikian Tsukishima dapat mendengarnya dengan teramat jelas.

Lelali itu pun tersenyum simpul.

Always has been,”

Dan Yachi pun merasa lega.

⭐️⭐️⭐️

How to love and be loved someone else

It is by having soft spot for them

Having a soft spot that can erase the uncertainty, anxious, and make you feel all worthy

⭐️⭐️⭐️

Judul meet-cute

Sinopsi

Tentang pertemuan seorang gadis bernama Bintang dengan seorang lelaki bernama Mentari, pertemuan sederhana tetapi juga mengesankan. Meninggalkan sebuah kesan bagi sang Bintang

Sepertinya aku telah jatuh cinta

⭐️⭐️⭐️

Scene 1

Namanya Bintang, seorang mahasiswi semester empat, kehidupannya biasa saja justru terkesan monoton, diisi dengan kelas dan juga organisasi. Meski demikian sirkumtasi gerigi kehidupan Bintang seakan menghadapi ‘kemacatan’ saat suatu ketika ia mendapat tugas membuat film pendek dengan tema ‘cinta’

Sebuah konsep yang cukup abstrak dan interpretatif. Meski demikian Bintang tak dapat mengurainya. Baginya tema tersebut terlalu klise namun pada nyatanya begitu tricky, ia tidak mengerti apa yang harus ia tulis

Bulan Tulis aja soal kisah cinta remaja yang klise

Masalahnya, Bintang tidak pernah memiliki kisah cinta dalam kehidupannya selama ini. Masa hidupnya yang sudah memasuki awal kepala dua itu begitu lurus tanpa warna warni merah jambu

Bintang Ngomong doang gampang

Bulan Ga usah terlalu dibuat ribet, kamu bisa loh ambil kisah cinta di dekatmu, di sekitarmu.

Masalahnya itu tidak ada

Bulan Dua minggu lagi aku butuh sinopsis buat draft awal pitching ide! Semangat ya!

Bintang Eh yah?! KOK GITU?! HEI MINIMAL DISKUSI!!!!

Dan Bulan salah seorang sahabatnya itu meninggalkannya. Dengan beragam tanya dan benang kusut, sebenarnya apa bentuk ‘cinta’ yang ingin ia gambarkan dalam film itu

⭐️⭐️⭐️

Scene 2

Muara Bintang, kamu sibuk ngga?

Sebuah pesan singkat masuk, gawai yang tergeletak di atas sprei merah jambu bergambar stoberi itu menampilkan notifikasi pesan dari kontak bernama Muara

Bintang Engga kak Ara, kenapa?

Muara Tolong bantuin buat desain poster dong, soalnya aku ada handle project lain

Cukup anti-klimaks namun tidak klise. Bintang pun mengiyakan tawaran Muara berhubung dia juga lagi tidak ada kerjaan. Dari sana ia bertemu dengan Mentari, selaku PIC dan dari sana tanpa diduga mereka pun menjadi dekat satu sama lain

Ada banyak kesamaan di antara mereka, kalau berbincang pun nyambung satu sama lain. Terlalu banyak yang sama dan siapa sangka pesan singkat dari Mentari pun menjadi salah satu rutinitas Bintang yang teratur secara autopilot. Di mana pasti balasan dari Mentari akan selalu ia tunggu.

⭐️⭐️⭐️

Scene 3

Mentari Menurut kamu ini desainnya mirip desain caleg ga sih?

Bintang tertawa kecil membaca notifikasi pesan masuk di ponsel pintarnya itu. Jam waker di kamarnya menunjukkan pukul setengah dua malam—sudah terlalu larur untuk tidur—namanya juga mahasiswa dan desainer, inspirasi datang di dini hari (jangan salahkan Bintang)

Satu pesan singkat, sebuah komentar lucu terkait desainnya, dirinya tidak tersinggung sama sekali namun justru terhibur karena ia merasa demikian pula. Dan siapa sangka sebuah pesan singkat sederhana dapatmenjadi momen meet-cute dalam sekuens kisah romansanya?

⭐️⭐️⭐️

Scene 4

Black Screen What is love? Do I deserved to be loved?

Bintang sedang duduk termangu di sudut kasurnya sembari memengang gawai kecilnya yang menyala menampilkan beranda pesan singkatnya dengan Mentari.

Tiga bulan telah berlalu sejak perkenalan mereka, ingatannya pun berputar pada momen mereka bersama

Cutscene Black and White

Saat berboncengan di malam hari hanya sebatas mencari makan ataupun susu segar di Karmen, atau sebatas mereka tengah berbincang santai sembari tengah berkeliling di salah satu museum di kota tua.

Bintang menikmati kebersamaan mereka, meskipun demikian terkadang seutas senyum tipisnya memudar digantikan sebuah keraguan dalam benak atau pikirnya

Black screen Do I deserved to be loved? Why me? What is love anyway?

Cutscene black and white

Bintang pun menarik ujung jaket oren yang dikenakan oleh Mentari, membuat langkah lelaki itu terhenti, mereka tengah mengunjungi salah satu taman di alun-alun kota

Mentari? Kenapa?

Bingang Menghela nafas berat Kenapa aku dari sekian banyak orang?

Mentari Because you deserve to be loved

Bintang Kenapa?

Mentari Karena kamu punya tempat spesial di aku. Tidak kurang dan tidak lebih

⭐️⭐️⭐️

Scene 5

Cutscene menampilkan Bintang dan Mentari yang tengah berbincang santai sembari bersenda gurau di salah satu cafe di pusat kota

Kamera pun perlahan menjauh, menampilkan sekuens frame dengan Bintang dan Mentari di sisi kanan dan pijar lampu teranam kota di sisi kiri dengan rasio perbandingan dua pertiga

Credit scene di sebelah kiri

⭐️⭐️⭐️

Scene 6

Black screen

Love can be formed with a simplest way

It can be formed by only having soft spot for your loved one and realized it

End

⭐️⭐️⭐️

“Yacchan! Kamu mau pesen apa?” tanya Runa saat mereka telah berada di depan kasir untuk memesan kudapan mereka. Gadis mungil bersurai kepirangan itu membolak-balikan selembaran kertas tipis berisi menu makanan dan minuman yang disediakan.

“Uhm… satu strawberry cheesecake sama chocolate signature, no sugar deh,”

“Eh? Ga pesen chocolate lava?”

“Engga deh, lagi pengen yang asem-asem gitu,”

Runa mengangguk mengerti, sebelum kemudian memesankan pesanan mereka. Setelah dirinya membayar pesanan mereka (yang tentu akan diganti oleh Yachi via QRIS, maafkan cashless perdon satu ini) kedua gadis muda itu melongok ke dalam cafe, sedikit celingukan mencari tempat ‘strategis’ bagi mereka untuk sejenak bersantai.

“Dalam aja ga si ya? Di pojok itu pas bawah AC ada charger-nya,” saran Yachi yang dibalas anggukan setuju oleh Runa, “Boleh, aku juga gamau outdoor banyak yang ngerokok,”

⭐️⭐️⭐️

Yachi menghela nafas panjang sembari mendudukkan dirinya di kursi sofa yang tersedia—ia menyandarkan tubuhnya, berusaha melepaskan lelah dan penat setelah kuliah tamu siang tadi. Runa yang melihat kelakuan temannya itu hanya bisa terkekeh kecil.

“Ayo dong baru hari pertama kuliah setelah libur panjang kok udah loyo gitu,” seru Runa berusaha menyemangati.

Yachi hanya mendengus kecil, kenyataan bahwa libur demesternya cukup menguras mental dan emosinya itu sudah menjadi alasan jelas mengapa ia pun nampak tak bersemangat. Bukan, bukan karena harus menulis skrip dan revisi setiap hari—tapi tau kan, masalah perasaan yang tanpa sadar menguras perasaan dan juga pikirannya.

“Mau satu dunia bilang semangat kalo aku loyo ya bakalan loyo,” keluh Yachi yang dibalas kekehan kecil Runa, “Makanya makan manis biar semangaaat!”

“Atau… kamu bakalan semangat kalo semangatin Hinata anak HI itu?”

Seketika Yachi langsung terlonjak kaget dan tanpa sengaja membuat dirinya membenturkan lututnya dengan meja kafe. Tidak hanya sakit namun juga malu, ia pun mengaduh kecil membuat Runa sedikit panik karena reaksi gadis tersebut.

“Kok tiba-tiba Hinata sih?!” tanya Yachi sembari sedikit memprotes, “Ih, udah nyebar tau beritanya kalo kalian deket,”

KATA SIAPA?!

DAN KOK BISA?!

YAchi hanya bisa menepuk dahinya sembari menggeleng kecil, astaga jaman sekarang pesebaran informasi dan juga gosip di dunia seluas daun kelor ini tak main-main.

Meskipun demikian Runa pun kemudian turut mendekatan dirinya ke arah Yachi sembari sedikit membungkuk, “Tapi emang iya kalian deket atau ada apa-apa?”

Runa yang bilang sendiri tapi dia juga yang penasaran, aneh. Yachi pun seketika membetulkan posisi duduknya, “Ya… deket sih emang kita, deket biasa temenan gitu… tapi ya… bingung deh…,”

Runa pun turut membetulkan posisi duduknya, atmosfer di antara mereka pun seketika berubah menjadi serius. Tentu saja karena membang membahas permasalahatan serius saat ini (baca: hubungan asmara).

“Kenapa bingung?”

Yachi pun kembali menghela mafas berat, ini akan menjadi cerita yang cukup panjang pikirnya.

⭐️⭐️⭐️

Dan gadis itu pun menceritakan semuanya, bagaimana ia kemudian dekat dengan Hinata, bagaimana akhirnya setelah sekian lama hatinya merasakan sesuatu yang menggetarkannya—seakan ada percikan kecil di sana, berisikan sebuah antusiasme.

Tanpa sadar ada perasaan tak sabar dalam diri Yachi, bagaimana dirinya selalu menanti balasan pesan singkat dari sang lelaki yang sepertinya menjadi ‘pujaan hati’.

“Tapi sejujurnya aku takut kalo ternyata cuma fling aja, jujur… makin ke sini perasaan itu semakin bikin aku ragu, takut pada akhirnya attachment issue,”

Gadis bersurai pirang itu kembali menghela nafas panjang, “Dan ya, aku tau kalo emang si Hinata mulai flirting dan pas tau kayak takut dan seketika avoidant,”

“Atas nama Runa?”

Kedua gadis itu menolehkan kepalanya saat salah seorang pelayan menghampiri meja mereka untuk mengantarkan pesanan mereka. Kedua gadis sedikit menjauhkan badan mereka, mempersilahkan sang pramusaji meletakkan pesanan mereka sebelum mengambil papan nomor meja mereka dan berlalu. Dengan tak sabaran (dan penuh kekesalan) Yachi pun menyomot satu sendok kecil strawberry cheesecake miliknya.

“Aturan ya masuk ilkom tuh belajar maintain relationship bukannya avoidant,” gerutunya.

“Ya makanya kamu masuk ilkom,” ledek Runa.

Di sisi lain, Runa merasa sisi sahabatnya yang satu ini cukup menggemaskan, layaknya muda-mudi ataupun ABG yang tengah salah tingkah—berakhir salah kaprah—dirinya menduga mungkin kebingungan Yachi berasal ketidakjujuran gadis itu pada perasaannya sendiri.

“Tapi kalo aku boleh tau, kenapa kamu jadi bingung dan aboidant gitu deh? If you like him then let those feeling be that way,”

“Itu dia masalahnya Runa…, if these feeling called crush why the butterflies in my stomatch makes me all nauseous? Dan ya aku ngerasa semuanya itu terlalu rushed maksudku, kenapa Hinata suka aku? Do i deserved to? Apa aku bisa ngasih afeksi yang sama besarnya kayak yang dikasih ke aku, terus—“

Hold on! Stop! Kalo kayak gitu kamu ga bakalan selesai-selesai Yachi!” ujar Runa sedikit kesal.

Oh ayolah, sahabatnya ini hanya kurang percaya diri dan tentu saja layak untuk mendapat afeksi! Dia gadis imut, manis, dan menawan! Tidak hanya itu kemurahan dan kebaikan hatinya juga menjadi nilai plus tersendiri.

“Sekarang kira berandai deh, kalau misal Hinata jelasin kenapa dia suka kamu dan menjawab semua keraguanmu kamu sendiri bakalan gimana?”

Pertanyaan sulit, skip aja bisa ngga?

“Gatau…, menurut aku… semuanya terlalu rushed…,”

“Kamu ini cuma perlu diyakinin ya? Oke kita ganti pertanyaannya. Kamu sendiri suka ngga sama Hinata?”

Keheningan seketika menyeruak, gadis bersurai pirang itu pun menunduk sembari memaikan jemarinya—tanda bahwa dirinya tengah dilanda kegugupan, “Aku… ga yakin soal itu.. MAKSUD AKU! Aku suka… perhatiannya, kita menghabiskan waktu bersama… tapi kayak… tau ga sih… belum yakin aja,”

Rasa-rasanya Runa merasa gregetan namun ia juga memahami betul apa yang dirasakan oleh Yachi.

“Yachi, mungkin jawaban dari apa yang kamu rasakan tuh sederhana tapi sulit buat dicari. Tapi jawabannya adalah kamu harus ketemu sama orang yang ketika kamu nanya ke mereka do i deserve to be loved dia akan jawab sesuai apa yang kamu inginkan,”

“Maksudku, ayolah, fall in love should be make you happier, not got all the anxious tension masked behind the butterflies in your stomatch, right?,”

Dan Yachi hanya diam termangu.

⭐️⭐️⭐️

Seseorang yang mampu menjawab pertanyaannya,

Do I deserve to beloved

⭐️⭐️⭐️

———

Kiyoomi hanya bisa mendecih nafas kesal, sejak dari dirinya membelikan sushi dan minuman untuk kencan mereka hari ini, Tsukasa, kekasihnya itu sama sekali tidak membalas pesannya. Apakah kekasihnya itu ketiduran lagi? Belum bangun? Atau justru lagi asik grinding game-nya untuk memulangkan Kinich-Kinich yang ngga oke itu? Kalau memang kemungkinan ketiga itu benar adanya maka bisa Kiyoomi jamin ia akan merasa sangat kesal dan jengkel. Apalagi mengingat ini hari jadi mereka, Kiyoomi hanya ingin menghabiskan waktunya dengan sang terkasih tetapi Tsukasa-nya itu lebih memilih untuk fokus dengan ‘lelaki’ lain.

Pacaran aja sama si Kinich itu, kalau gitu

Dan Kiyoomi lagi-lagi mendengus kesal, duh, gerutunya sembari menggeretakkan giginya dilanda rasa sebal! Tangannya ia lipat di depan dada sembari mengetuk-ketukkan kaki secara tak nyaman. Sebenarnya Kiyoomi membenci ini, tetapi kekasihnya itu juga membuatnya kelewat khawatir karena hilang tanpa kabar.

Tangan Kiyoomi pun ia bawa untuk menggapai kenop pintu rumah kekasihnya itu dan dirinya sedikit terkejut manakala kenop pintu tersebut tidak terkunci—menyisakan tanya di benak Kiyoomi.

Aneh, tidak seperti biasa Tsukasa lupa mengunci pintu, seharunya ia sudah bangun, tapi mengapa tidak membalas pesan ataupun telepon sama sekali?

“Tsukasa? Sayang?”

Dan yang menyambut Kiyoomi pertama kali adalah kelenggangan. Kiyoomi menautkan kedua alisnya dalam kebingungan. Kemana kekasihnya itu, tidak mungkin kekasihnya akan sesembrono itu membiarkan rumahnya lenggang dan tak terkunci.

“Sayang?”

Kiyoomi pun membawa langkahnya masuk, selayaknya telah terbiasa dan familiar dengan kedemian keluarga Iizuna, Kiyoomi tau ke mana langkahnya harus membawanya. Diletakannya belanjaan bawaannya di ruang tamu kediaman Iizuna, sembari mencari kekasihnya itu ia keluarkan telepon pintarnya untuk menyambungkan panggilannya.

“Angkat dong,”

Dan semakin lama Kiyoomi pun merasa gelisah, ke mana kekasihnya itu pergi. Langkah Kiyoomi pun ia bawa menuju lantai dua—kamar kekasihnya itu—dan hasilnya nihil, ia sama sekali tak mendapati presensi kekasihnya itu di mana pun.

“Tsukasa, kamu kemana sih?” gumamnya kesal, langkahnya pun kemudian ia bawa kembali menuju lantai satu, menyusuri ruang tengah dan ruang makan kediaman Iizuna. Dan masih sama hasilnya pun nihil.

Tetapi penciumannya dapat menangkap bau manis dari bumbu vanila yang cukup samar—berpadu dengan aroma bubuk cokelat dan juga pisang—seperti seseorang yang baru saja membuat kue. Langkahnya pun ia bawa menyusuri dapur, yang pertama ia tangkap adalah pemandangan berantakan di mana tatakan kue, dan bahan-bahan yang berserakan dengan loyang yang baru saja di keluarkan dari oven—Kiyoomi dapat menebaknya dari aroma wangi yang ada. Tapi tetap saja, ia tidak mendapati kekasihnya di sana.

“Tsukasa kamu di mana?”

Dilanda panik Kiyoomi pun menyusuri lantai satu kediaman keluarga Iizuna tersebut dan betapa terkejutnya dirinya saat menyusuri koridor dekat tangga yang menghubungkan dengan kamar mandi, sosok Iizuna yang tengah terduduk lemas sembari bertumpu dengan tembok di sebelahnya.

“Astaga! Kamu kenapa?!”

Dengan segera Kiyoomi membopong tubuh kekasihnya itu, meski demikian Tsukasa segera menampisnya, membuat Kiyoomi yang sudah khawatir itu sedikit terluka dengan respon Tsukasa tersebut.

Sementara itu, Tsukasa yang terkulai lemas berusaha memfokuskan pandangannya yang buram itu untuk melihat raut khawatir dari kekasihnya itu. Tsukasa pun tersenyum kecil, “Ki… yoo…, hai…,”

“Kamu kenapa…?”

Kiyoomi mengenggam erat tangan kekasihnya yang terasa dingin dan basah akan keringat, tangannya ia bawa untuk mengusap bulir-bulir keringat sebesar biji jagung di dahi dan pelipis lelaki itu. Suhu badan Tsukasa lebih panas dari biasanya. Kekasihnya itu tengah demam.

“Aku… tadi… lagi bikin kue… terus aku mual… tapi semuanya muter-muter…,”

Kiyoomi hanya bisa mengeratkan genggamannya pada Tsukasa yang berbicara dengan nafas terengah dan hangat. Sembari sesekali mengusap peluh yang ada di dahi kekasihnya itu.

“Kamu masih mau muntah…?”

Dan Tsuaksa pun menggeleng pelan, Kiyoomi kemudian menggendong tubuh lemas kekasihnya itu. Di mana Tsukasa pun hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Kiyoomi sembari mempertahankan posisinya untuk sedikit tegap.

“Mau ke kamar? Tidur?” dan Tsukasa masih menggeleng sebagai jawaban, “Kalau tidur… pusing… semua muter… mual….,”

“Kita ke sofa ya?”

“Heum,”

Kiyoomi pun mendudukan kekasihnya itu sebelum kemudian mendudukan dirinya di sebelah Tsukasa, lelaki itu pun menyenderkan kepalanya di bahu lelaki itu, nafasnya terengah berat.

“Maaf…, aku semalem… ngga tidur…,”

Kiyoomi pun hanya bisa menghela nafas berat akan kebiasaan buruk kekasihnya itu. “Kamu keasikan main game,”

“Heum…, terus… aku mau bikin kue… buat anniv kita… aku lupa… baru keinget tadi… jam tiga…, ternyata pas bikin… aku ga kuat…,”

“Kamu udah minum obat?”

“Belum…,”

Kiyoomi pun mengambil bantalan sofa untuk senderan kekasihnya itu—mengantikan bahunya, “Aku ambilin dulu sushinya, makan satu potong terus minum obat ya? Obat vertigomu masih ada?”

“Ada…, di kamar…,”

Kiyoomi pun mengangguk paham, mempersiapkan makanan Tsukasa, tak lupa mengambil segelas air, tablet obat, serta saputangan. Kiyoomi pun kembali berjalan ke arah dapur, mencari baskom kecil untuk jaga-jaga jika kekasihnya itu mengeluarkan isi perutnya.

“Kalau mau muntah bilang ya, terus makan sushi satu potong aja gapapa abis itu kamu minum obat,”

Tsukasa pun hanya bisa menurut, mulutnya ia buka kecil untuk menerima sepotong sushi yang ternyata masih terlalu besar untuknya. Dengan telaten Kiyoomi memotongkannya sembari sesekali mengusap peluh Tsukasa dengan sapu tangan yang sudah ia siapkan.

“Udah…,”

Tsukasa pun mengambil segelas air yang ada dan meminum obatnya, sebelum kemudian menyenderkan kembali kepalanya pada bahu Kiyoomi.

“Maaf ya… kuenya… kita juga—,”

“Sstt.., kamu istirahat aja,”

Tsukasa pun hanya menurut, keheningan pun mengisi di antara mereka dengan Kiyoomi yang dengan lembut dan penuh kasih sayang mengusap uraian rambut kekasihnya.

“Kiyoomi,”

“Ya?”

“Maaf ya… jangan marah…,”

Kiyoomi tidak menjawab, selain menghela nafas pelan. “Aku ngga marah,”

Iizuna pun terkekeh pelan, “Aku sayang kamu…,”

Dan Kiyoomi pun mengeratkan genggaman tangan mereka.

“Lebih dari Danheng… Kinich…,”

“Aku tau,”

Usapan tangannya pada rambut Tsukasa pun terhenti, ia bawa dagu lelaki itu untuk menghadap ke arahnya. Dan dalam pandangannya yang mengabur itu Tsukasa dapat menangkap sosok Kiyoomi yang mendekat ke arahnya sebelum kemudian mengecup dahinga, panjang dan lama.

“Aku juga sayang kamu, semoga kamu cepet sembuh biar kita bisa pacaran lagi, inget kamu utang pacaran sama aku karena si Kinich itu,”

Dan Tsukasa hanya terkekeh, sebelum kemudian terlelap di bahu kekasihnya.

———

Selamat hari jadi, Iizuna Tsukasa Aku sayang kamu

———

———

Sakusa berjalan menghampiri sosok Iizuna yang tengah duduk di bangku taman. Seniornya itu nampak asik memandangi taman bunga dan juga air mancur taman sekolah mereka, berhubung telah memasuki sore hari dan sebagian besar siswa yang tersisa adalah anggota klub, taman belakang Itachiyama nampak lenggang dari huru-hara siswa dan siswi yang biasanya menghabiskan waktu untuk makan siang bersama ataupun mencuri waktu dengan sang terkasih untuk berduaan (walau berakhir ditegur oleh guru atau dijadikan bahan cengan oleh teman lainnya).

“Iizuna-san,” sapa Sakusa, lelaki itu pun tersenyum ramah, “Hai! Sini-sini duduk,” ujarnya sembari menepuk-nepuk sisi sebelahnya yang masih kosong.

Sakusa pun mendudukkan dirinya tepat di sebelah Iizuna, menuruti perintah seniornya itu. Kelenggangan pun seketika menyeruak di antara mereka sebelum kemudian Iizuna memecahkannya terlebih dahulu, “Eh btw gimana Komori? Dia nunggu apa gimana?”

“Aku bilang dia bisa pulang duluan soalnya mau ngobrol sama Iizuna-san dulu,”

“Hmmm,”

Sepertinya Komori tidak membicarakan yang tidak-tidak perihalnya ke Sakusa, gunam Iizuna pada dirinya sendiri. Paling tidak hal tersebut kemudian membuatnya merasa sedikit tenang.

Meskipun demikian entah mengapa Iizuna tidak memiliki cukup keberanian untuk membawa obrolan mereka kemarin, padahal ide bertemu dan bicara hanya berdua dengan Sakusa adalah idenya namun ia dibuat bungkam seribu bahasa karenanya.

“Iizuna-san,”

“Ya?”

“Kalau Iizuna-san juga ngga naksir aku gapapa kok, maksudku, jangan dijadikan beban untuk membalasnya, aku bilang kayak gitu cuma karena ingin Iizuna-san tau perasaanku,”

Iizuna terdiam sejenak, pandangnya fokus pada wajah Sakusa yang mengatakan hal tersebut selayaknya bukan masalah besar. Bahkan ekspresi juniornya itu tidak berubah setitik pun. Lucu pikirnya, karena jika di mana-mana (dari dorama yang Iizuna tonton) momen pernyataan cinta adalah momen yang menggetarkan hati, dengan perasaan membuncah dan sedikit malu-malu. Tetapi kini Sakusa berada di hadapannya, membicarakannya dengan raut wajah yang terlampau serius.

Meskipun demikian, memang begitu lah peringai sosok di hadapannya, seketika membuat Iizuna terkekeh kecil, menarik.

“Apanya yang lucu?”

“Kamu, kamu lucu Sakusa,”

Dan sekarang gantian, Sakusa yang menatap bingung dengan kedua alis bertaut. Sementara itu Iizuna masih menatap lekat Sakusa, tangan kanannya ia bawa untuk memangku dagunya sembari sedikit menundukkan tubuhnya—berpangku pada tangan kanan yang ia letakkan di atas kedua kakinya yang ia silangkan satu sama lain.

“Tapi kenapa deh kamu tiba-tiba bilang kamu naksir sama aku? Apa karena beberapa hari lalu aku iseng nanya ke kamu?”

Sakusa tidak langsung menjawab, dirinya seakan berusaha mengingat sesuatu sebelum kemudian memgangguk, “Iya, tapi beberapa hari terakhir aku menyadari ada yang berbada setiap kali aku berada di dekat Iizuna-san,”

“Oh ya? Apa tuh?”

Dan Sakusa pun menceritakannya, bagaimana jantungnya terasa berdebar hanya berada di dekat sosok Iizuna. Membuatnya kemudian terlewat ‘parno’ takut jikalau ada sesuatu yang buruk menimpa kesehatannya.

Kemudian bagaimana sudut pandangnya pun seketika berubah, bagaimana sosok Iizuna entah mengapa di mata Sakusa terlihat nampak begitu menggemaskan. Lucu terlepas rentang usia mereka. Dan fakta di mana Sakusa menyukai kehadiran presensi Iizuna di sekitarnya. Sakusa adalah tipe yang tidak suka berbicara banyak dan tak masalah jika pun tidak diajak bicara. Tapi hanya dengan bersama dan kepada Iizuna, Sakusa seakan ingin menceritakan banyak hal.

Dari sana ia menyadarinya bahwa ia melihat Iizuna dari sudut pandang yang berbeda, dengan perasaan asing yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Yang kata Komori dikatakan sebagai ‘naksir’.

Mendengar pernyataan Sakusa tersebut Iizuna hanya diam terpaku selayaknya sebuah patung batu. Tanpa ia sadari semburat merah pun seketika memenuhi kedua sisi wajahnya dan menjalar ke belakang telinganya. Ah suaranya tercekat dan bibirnya terasa kering. Iizuna tidak percaya akan apa yang ia dengar sebelumnya.

“Aku naksir Iizuna-san,” jelas Sakusa mantap dengan wajah begitu serius yang seketika membuat Iizuna salah tingkah.

Ayolah penyataan tersebut terdegar lucu di telinganya, “Kamu tau Sakusa, kamu bisa sebatas bilang kamu suka aku loh,”

“Kata Komori rasa suka dan naksir itu beda, dan yang aku rasakan ke Iizuna-san sudah lebih dari rasa suka,”

NGGA SALAH SIH TAPI… AARGH

Itu adalah erangan Iizuna yang saah tingkah namun juga kelewat gemas akan jawaban Sakusa tersebut.

Dan kalau boleh jujur, Iizuna pun memiliki sudut pandang yang berbeda—melebihi caranya melihat Komori ataupun juniornya lainnya—terhadap Sakusa. Jika sebelumnya Iizuna melihat Sakusa sebagai seorang jenius voli dengan bakat mengagumkan dan sulit untuk didekati.

Maka beberapa hari terakhir ia melihat Sakusa lebih dari itu. Bagaimana Sakusa dengan sifat terus terang dan jujurnya justru di mata Iizuna begitu menggemaskan. Siapa sangka jika Sakusa punya sisi seperti itu, begitu serius walau hanya perihal perasaan yang dirasakannya.

“Tapi Sakusa, aku ngga tau… lebih tepatnya aku masih ragu akan apa yang aku rasakan,”

“Iya, ngga apa-apa,”

Keheningan seketika kembali menyeruak di antara mereka, sebelum Iizuna kembali memanggilnya.

“Hei…, tapi… aku ngga keberatan kok, kalau semisal kita mau pendekatan gitu… biar kenal satu sama lain,” jelas Iizuna malu-malu sembari menggaruk pipi kirinya canggung.

Dan Sakusa pun tersenyum mendengarnya, “…aku ngga keberatan kok,”

———

Tanpa mereka sadari, kedua tangan mereka tidak sengaja saling bersentuhan, menyisakan sensasi menyengat dan juga menggelitik di hati masing-masing

Indahnya masa muda yang tengah jatuh cinta

———

———

“Loh Sakusa? Belum pulang?” tanya Iizuna yang sosoknya baru saja muncul dari balik tembok sekolahnya—mendapati sosok Sakusa yang masih diam termangu di gapura sekolah mereka. Lelaki itu mengangguk kecil, memberi salam kepada yang lebih tua, “Belum, tadi habis nyari Komori,”

“Terus? Komorinya kemana?”

“Aku ditinggal,”

Jawaban singkat, padat, dan seharusnya kasihan dari Sakusa tersebut justru mengundang gelak tawa bagi yang lebih tua. Membuat Sakusa menatapnya bingung, apa yang lucu? Ia sedang tidak melawak.

“Sori, sori, aduh kasihan banget sih kamu, kok bisa ditinggal sama Komori sih?”

“Dia ngira aku udah pulang duluan, padahal aku tadi bantuin Iizuna-san, ya udah ditinggal gitu aja deh,”

Iizuna manggut-manggut mengerti, “Mau ke stasiun bareng ngga?”

“Sebagai ucapan permintaan maaf juga, secara ngga langsung turut andil kamu ditinggal Komori,”

Belum sempat Sakusa menjawab lelaki bersurai hijau itu sudah memotongnya terlebih dahulu, “Aku ga menerima penolakan loh!”

———

Kedua remaja menginjak dewasa atau bisa dikenal dengan anak baru gede itu berjalan beriringan di bawah lembayung senja. Keheningan mengisi sela di antara mereka yang menolak untuk bersuara satu sama lain. Sakusa yang memang terbiasa akan kesendirian dan juga Iizuna yang juga sepertinha tidak masalah akan kesunyian di antara mereka.

“Sakusa,”

Panggilan Iizuna itu memecahkan keheningan di antara mereka berdua, Sakusa hanya berdeham pelan sebagai jawaban.

“Kamu marah sama aku?”

Asumsi dari mana lagi ini?

Sakusa tidak langsung menjawab, tetapi raut wajahnya berubah drastis dengan kedua alis memberengut. Meski sebagian besar ekspresi wajahnya terhalangi oleh masker yang ia kenakan tetapi Iizuna dapat melihat perubahan titik air wajah lelaki itu dan selang beberapa detik (setelah dirinya berpikir) Sakusa pun menjawab, “Engga,”

Dan Iizuna terkekeh kecil walau sedikit sebal karena tipikal Sakusa sekali, kelewat singkat, padat, dan jelas.

“Habisnya kamu kayak ngejauhin gitu…,”

“Kalau aku ngejauh aku ga bakalan mau pulang bareng Iizuna-san,”

Ah iya, benar juga…

Dan Iizuna kembali terkekeh canggung. Terkadang dirinya bingung, apa memang sesulit ini berkomunikasi dengan juniornya atau memang dia yang tidak tau bagaimana menanggapi Sakusa?

“Aku ga marah sama Iizuna-san, justru malah aku ngerasa Iizuna-san yang marah ke aku,” celetuk Sakusa pelan.

Hah?

“Kok malah aku yang marah ke aku?” tanya Iizuna balik.

“Habisnya, Iizuna-san kayak ngejauh…, aku minta maaf kalo emang bikin Iizuna-san ngga nyaman, tapi aku ga pengen dijauhin sama Iizuna-san,”

Eh? Hah? LOH?!

Aduh entah kenapa Iizuna yang mendengarnya sedikit tersipu karenanya.

“Aku… gak marah kok…, maaf kalo bikin salah paham…,” ujar Iizuna kikuk, Sakusa pun hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Maaf juga Iizuna-san jadi canggung gini…, sebenarnya aku kayak ada banyak yang mau aku omongin sama Iizuna-san tapi aku bingung mau ngomong apa,”

Hah?

Tunggu, tunggu, gimana?

Iizuna seketika menghentikan langkah kakinya, sedikit terkejut dan tidak percaya atas apa yang baru saja yang ia dengar barusan, sementara itu Sakusa, lelaki itu nampak menunduk sembari memainkan jemarinya, menolak kontak mata langsung dengan seniornya itu. Seketika membuat Iizuna tersenyum senang. Imutnya…

“Haaah??? Kamu?? Kenapa canggung sama aku?? Santai kalii! Hahaha,” ujarnya merancu sembari terkekeh

“Soalnya Iizuna-san orangnya supel…, kayak Motoya. Kalau aku sering dibilang bosenin,”

“Tapi kamu ga canggung gitu sama Komori! Kenapa harus canggung sama aku?”

Sakusa tidak menjawab, meski demikian mendengar pernyataan juniornya itu seakan membuat beban besar di pundak Iizuna seketika terangkat, ia menjadi lebih rileks sekarang.

“Astaga! Jangan-jangan kamu naksir aku?!” ujarnya jahil yang seketika membuat Sakusa menolehkan pandangannya ke arah Iizuna—menatapnya dengan raut bingung. “Naksir?”

Namun Iizuna tidak menjawabnya, ia justru melambaikan tangan berulang kali di depan wajahnya, seakan memberikan gestur untuk mengabaikan ucapannya barusan, “Aku bercanda! Kamu tuh lucu juga ya ternyata!”

Kamu tuh lucu juga

Entah mengapa ucapan tersebut begitu terngiang di benak Sakusa, membuatnya menyunggingkan seutas senyum simpul di balik maskernya. Ia dapat merasakan hawa tubuhnya (khususnya di area pipi hingga telinga) memanas dan seakan ada sesuatu yang membuncah dalam dirinya. Jantungnya pun seketika berdegup kencang.

———

Sakusa ngga sedang sakit kan?

———