- hujan yang tak kunjung reda
Komori menatap pantulan dirinya, dengan sweater dan celana training milik Suna yang begitu kebesaran pada dirinya. Wajahnya bersemu, aroma yang menguar dari pakaian yang ia kenakan sekarang begitu khas dengan milik Suna (tentu saja, karena pada dasarnya pakaian tersebut memang milik Suna). Tangannya ia dekatkan pada penciumannya, meresapi, mencecapi tiap rasa dan aroma yang ada, aroma itu tidak pernah berubah dari dulu. Aroma yang selalunya membuatnya tenang dan memabukkannya.
Memalukan, kenapa ia harus bersikap layaknya stalker mengerikan hanya demi bisa merasakan kembali sensasi ini di saat sang pemilik berada tepat dalam jangkauannya.
“Motoya? Kamu gapapa? Kok lama banget”
Ia tersentak kaget, sedikit terkejut sebelum kemudian merapikan penampilannya (yang seharusnya sudah tidak perlu diapa-apakan lagi) sebelum kemudian kembali untuk menemui Suna yang sudah menunggunya.
***
Seharusnya Suna menaruh atensinya pada acara televisi di hadapannya, tapi ia justru tak bisa mengalihkan pandangnya dari sosok yang duduk tept di sebelahnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka begitu dekat seperti ini? Mungkin ia harus berterima kasih kepada Tuhan, takdir, atau siapapun dan apapun itu di atas sana yang mengatur hujan dan membiarkannya tak kunjung reda hingga sekarang, membuatnya berhasil terjebak bersama sosok Komori di kamar apartemennya seperti saat ini.
Merasa ada yang memperhatikannya Komori pun menolehkan kepalanya, mendapati sosok Suna yang menatapnya begitu lekat dan juga dekat bahkan mereka bisa merasakan hangatnya deru nafas satu sama lain.
Komori dapat merasakan jemari lentik Suna bergerak dan merapikan rambut-rambut berantakan pada wajahnya, kepalanya digerakkan, seolah meneliti setiap bagian dari wajahnya dan sesekali mengusap lembut pipi putihnya. Tangan itu berhenti tepat di bawah bibirnya, berhenti sejenak sebelum mengelusnya beberapa kali.
“Motoya”
Komori tidak menjawab sapaan tersebut, bersamaan dengan Suna yang perlahan memajukan dirinya dan mendekat kearahnya ia pun memejamkan matanya hingga ia dapat merasakan bibir Suna bertemu dan menyapa miliknya. Mereka hanya terdiam satu sama lain, tepat di saat Komori hendak membuka matanya Suna semakin maju dan mendekat, memperdalam ciuman mereka.
Tangan Suna yang semula bertumpu pada empuknya kasur itu pun bergerak membingkai kedua wajah Komori, lidahnya mulai bergerak, menginvansi. Bermain-main pada bibir bagian bawahnya, meminta izin untuk boleh masuk dan menjelajah ruang hangat di dalam sana.
“Euum”, leguhannya tertahan, membuatnya tidak sengaja membuka mulutnya yang kemudian dimanfaatkan oleh Suna untuk melesakkan lidahnya ke dalam sana. Mengabsen barisan giginya yang rapi dan juga berusaha menjangkau bahkan bagian terdalam dari mulutnya.
Suna bergerak maju hingga membuat Komori terbaring pada kasur kamarnya, ia memiringkan kepalanya agar mampu mendapat akses lebih di dalam sana dan mengajak lidah Komori untuk ikut berkelit dengannya.
Dengan ragu-ragu Komori membalas ajakan tersebut. Oh ayolah, Komori bukanlah pemula dan tentu saja dia sering melakukan hal ini dengan Suna, tetapi dengan kondisi hubungan mereka saat ini, ciuman yang ia lakukan terasa begitu canggung. Mengerti akan apa yang dirasakan lawannya itu Suna bergerak dengan lebih perlahan, berusaha agar terkesan tidak terburu-buru dan memaksa Komori.
Bibirnya tertarik membentuk seutas senyum kala Komori dirasa mulai terbiasa dan membalas ciumannya. Lidak mereka saling bergerak, melesak, dan berkelit satu sama lain. Berusaha untuk menjelajah ruang ataupun memberi perlawanan terhadap satu sama lain.
Leguhan demi leguhan sesekali lolos dari bibir Komori, bersamaan dengan entah saliva milik siapa yang menetes dari sudut bibirnya.
Komori menepuk dada Suna berulang kali, menandakan bahwa dirinya kehabisan pasokan oksigen. Dengan enggan Suna mengakhir ciuman mereka, bertingkah jahil dengan mengigit bibir bawah Komori membuat lelaki itu mengaduh tertahan.
Benang saliva tercipta di antara mereka sebelum kemudian terputus kala Suna menarik dirinya menjauh. Lelaki yang mengukungnya itu tersenyum, mengusap sudut bibir Komori yang basah dan sedikit memerah karna gigitannya.
“Sakit tau”, keluh yang di bawah, membuat Suna terkekeh.
Mereka saling bertukar pandang satu sama lain, dari atas sana Suna mampu melihat kedua netra jernih milih Komori, wajahnya memerah entah karna ciuman mereka barusan atau karna dinginnya pendingin ruangannya. Dari posisinya sekarang ia dapat melihat jenjang dan putih bersihnya leher hingga bahu milik Komori di bawah sana. Ia meneguk ludah, kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.
Sial, ia dapat merasakan sesuatu di bawah sana mengeras kala mendapati tatapan polos dan penuh tanda tanya dari Komori di bawah sana, ia mendecih tidak suka.
“Kamu kenapa?”, tanya Komori, bisa-bisanya lelaki itu mempertanyakan itu padahal jelas-jelas dirinya terlihat frustasi.
Berusaha terlihat baik-baik saja, ia bergerak cepat memberikan ciuman ringan diantara kedua alis bulat milik Komori, kebiasaannya sendari dulu.
“Gapapa kok, kamu tidur ya udah malem”, jelasnya seraya bangkit dari posisinya, diikuti dengan Komori.
“Kamu ngga tidur juga?”
“Aku bisa tidur di sofa kok”
Suna mengusak lembut pucuk kepala lelaki itu, sebelum berlalu dan meninggalkannya seorang diri.
***
Komori menyentuh bibirnya, mengingat apa yang baru saja ia dan Suna lakukan sebelum lelaki itu pergi dan meninggalkannya. Ia mengigit bibir bawahnya hingga berdarah, merasa heran kenapa dia harus merasa sekesal ini, tetapi melihat gelagat Suna tadi, apa lelaki itu merasa bersalah? Menyesal atas ciuman mereka barusan?
Ia tersenyum miris, mungkin saja. Lagian apa yang ia harapkan dari Suna dengan hubungan mereka yang tidak baik-baik saja ini. Jelas saja Suna bersikap dingin seperti itu. Iya, apa yang ia harapkan.
***
Sementara itu Suna hanya bisa menghela nafas frustasi. Kesal terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri, hingga sampai mencium Komori tiba-tiba seperti tadi. Ditambah dengan tatapan kecewa Komori kala ia meninggalkan lelaki itu tiba-tiba seperti lelaki brengsek yang tidak bertanggung jawab.
TENTU SAJA IA HARUS PERGI ATAU PALING TIDAK TIDAK SATU RUANGAN DENGANNYA ATAU IA JUSTRU BERAKHIR MEMPERKOSA PACARNYA ITU.
Astaga...
Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, wajahnya kusut, bagaimana ia bisa bertemu, menjelaskan pada Komori dan meminta maaf, ia sudah tidak punya muka di hadapan lelaki itu. Semoga saja hubungannya tidak semakin memburuk karena kecerobohannya itu.
Untuk sekarang ia harus melupakan itu, pikir nanti saja. Ada sesuatu yang lebih mendesak yang harus ia lakukan, hasratnya sudah di puncak dan harus di keluarkan.
Sungguh Suna yang malang, justru berakhir bermain seorang diri seraya mendesahkan nama Komori berulang kali dengan frustasi.