written by Khairunnisa Han
[Rekomendasi Lagu: Haiiro to Ao (+ Masaki Suda) by Kenshi Yonezu]
.
.
.
Dia berjalan dengan pelan di tengah kerumunan orang-orang. Shibuya tampaknya tidak pernah tidur, atau pada dasarnya Tokyo memang tidak pernah tidur. Tangannya yang satu dimasukkan ke dalam saku, sementara satu lagi melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Berpikir untuk mampir warung ramen atau soba sebelum kembali ke apartemennya.
Shibuya jelas berbeda dengan Kodama dan perbedaan itu yang memaksanya untuk beradaptasi. Termasuk mengubah kebiasaan bicaranya. Sekarang, dialeknya justru terasa aneh di lidah. Shibuya seperti mengubah segalanya dalam dirinya, namun tidak sepenuhnya. Masih ada yang belum berubah.
Warung ramen yang didatanginya sepi, mungkin karena sudah terlalu malam. Sambil menyuapkan lembaran-lembaran mie itu ke dalam mulutnya dia berpikir banyak hal. Masa mudanya misalnya, saat semuanya masih terasa ringan dan dia melakukan sesuatu tanpa harus berpikir keras.
Tangannya sibuk dengan ponsel layar sentuhnya, membuka galeri, melihat foto masa kecilnya yang blur. Ayahnya terkadang buruk mengambil gambar, tapi dia tetap menyimpan foto blur itu. Dirinya sendiri yang masih kecil dan seorang anak perempuan yang giginya tanggal dua. “Kamu di mana sekarang?” bisiknya pada kuah ramen, tentu saja kuah ramen tidak menjawab.
Hari itu ketika matahari sedang terik-teriknya, mereka mengendarai sepeda. Anak perempuan itu belum lancar menaikinya, dan dia yang laki-laki menggowes sepedanya lebih dahulu meninggalkan si anak perempuan yang kepayahan. “Yuu-chan! Tunggu!” seru anak perempuan itu.
Yuuta, si anak laki-laki menghentikan gowesannya, menengok ke belakang dan tersenyum menang. “AOI PAYAH SIH!” teriaknya tanpa rasa bersalah. Tapi Yuuta menggowes kembali sepedanya untuk menemani Aoi, si anak perempuan yang wajahnya merah karena kesal.
Pada akhirnya, Yuuta turun dari sepedanya sendiri dan membantu Aoi untuk naik sepedanya. Setidaknya, kalau Aoi sudah lancar bersepeda, mereka bisa bersepeda bersama melewati komplek perumahan, melalui komplek perbelanjaan tanpa takut. Tapi sekarang, Aoi masih payah dan Yuuta mau tidak mau mengulurkan tangannya.
Kembali kepada Yuuta dewasa dengan mangkuk ramen dan ponsel layar sentuhnya. Yuuta tersenyum kecil, kecut seperti bau badan seseorang. Itu sudah lama terjadi namun masih begitu segar di ingatannya seperti baru terjadi kemarin. “Waktu itu kamu jatoh, terus nangis. Aku jadi harus gendong kamu ke rumah.” Yuuta menutup monolognya dengan tertawa kecil dan meninggalkan warung ramen, kembali ke apartemen kecilnya yang hangat sambil bernostalgia.
Dia tidak tahu di mana anak perempuan bernama Aoi itu sekarang berada. Jepang cukup besar. Mungkin dari Kodama, Aoi pergi ke Hokkaido atau mungkin Kyuushu, barangkali Okinawa, pergi ke Tohoku juga bisa menjadi kemungkinan. Sementara Yuuta yang hanya beredar di sekitar Shibuya tentunya tidak memiliki harapan untuk bertemu secara kebetulan. Yuuta sadar dia tidak hidup di dalam novel atau anime yang bisa membawa kebetulan itu datang kepadanya.
Lampu apartemen kecil itu dinyalakan. Tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Jelas. Orang tua dan kedua saudara perempuannya masih di Osaka, sementara dia merantau ke Shibuya, Tokyo. Cukup jauh apabila diukur dengan jarak.
Yuuta membaringkan tubuhnya di atas kasurnya, menatap langit-langit apartemennya yang bisu. Banyak hal yang baru-baru ini disadarinya. Bahwa dia sudah dewasa, sudah bukan anak kecil, sudah tidak bermain melainkan bekerja. Bahkan tinggi badannya melebihi tinggi ayahnya sekarang. “Kamu juga pasti nambah tinggi. Dulu sih, tinggian kamu, Aoi. Kalo sekarang, mungkin aku.” Yuuta berbicara sendiri lagi. “Kalo sekali lagi aku dikasih kesempatan ketemu sama kamu, aku pasti bersyukur banget. Apa aku harus ke kuil buat berdoa ya?” Yuuta kembali menutup monolognya dengan tawa kecil dan senyuman pahit.
Menutup matanya, pergi ke alam mimpi, Yuuta menutup harinya dengan satu hal yang pasti. Di mana pun dia dan Aoi berada, sejauh apa pun mereka berpisah, bagaimana pun mereka tumbuh, mereka masih melihat langit yang sama.
.
.
.
Fin.