kr-han

Who? written by Khairunnisa Han

.

.

.

Neraka ternyata berbeda dengan apa yang dibayangkan Taeyong sebelumnya. Sama sekali tidak sama dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Taeyong tidak mengerti kenapa dia harus dibawa ke tempat yang seperti ini. Mungkin saja otak seseorang—iblis—bernama Mammon itu sedang rusak. Tempat ini, baginya hanya padang pasir tanpa akhir, sejauh matanya memandang yang dapat dilihatnya hanyalah pasir.

“Manusia.” Mammon memanggilnya dengan suaranya yang aneh, tapi mirip dengan Johnny. Tubuhnya, wajahnya juga mirip sekali dengan Johnny. “Ini bukan Neraka,” katanya, “tapi aku ada cerita menarik.”

Taeyong mengerjapkan matanya. Dia mendengar, dia bahkan tidak yakin bahwa dia dapat berbicara selama di sana. Rasanya seperti Mammon mengendalikan seluruh inderanya. Tapi dia mendengarkan apa yang dikatakan Mammon, seluruhnya, tentang Johnny. Bagaimana kekasihnya itu bisa kembali ke dalam pelukannya, hidup, bernapas, tertawa, dan tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa apun. Termasuk alasan Mammon mengembalikan ponsel Johnny—yang ini konyol, jujur saja.

Mammon tersenyum dengan aneh, Taeyong tidak mengerti maksudnya apa. “Aku kembalikan kamu ke dunia manusia dengan menukar ingatanmu. Siapa pun yang datang ke alam ini sebelum mati tidak diperkenankan kembali dengan sempurna. Keringanan untukmu, kau tidak akan mengingat siapa aku, kenapa kita bertemu, dan apa yang kukatakan padamu. Kembali.”

×××

Johnny menghabiskan paginya dengan menunggu kopinya selesai dan microwave-nya berbunyi, menandakan makanannya bisa segera disantap. Tidak ada bunyi apa pun di dalam apartemennya, tadinya. Tapi sekarang dia menjadi waspada begitu mendengar langkah kaki yang ringan, dan matanya terbelalak begitu melihat rambut berwarna merah menyembul di depan pintu.

“Taeyong, is that you?”

“John—“

“Taeyong!”

“Kamu siapa?”

Johnny tidak mengerti apa yang ditanyakan Taeyong dan bagaimana dia harus menjawabnya. Johnny berharap dia dapat mengerti dirinya sendiri sehingga dapat menajwab Taeyong. Tapi bahkan sekarang, dia tidak merasa bahwa dirinya masih sama seperti dulu. Hanya satu yang tidak pernah berubah, dia masih menyayangi Taeyong seperti sebelumnya. Sosok Taeyong baginya masih sangat berharga dan akan terus seperti itu.

Taeyong bertanya lagi, “Kamu bukan Johnny. Kamu siapa?”

“Aku harap aku tahu siapa yang ada di dalem aku.”

(draft) written by Khairunnisa Han

×××

Jaehyun kehilangan kontak kedua adiknya sejak bertahun-tahun lalu. Masih segar dalam ingatannya ketika anak itu datang dibawa papanya, masih mentah, bahkan mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Jaehyun bahkan masih ingat nama anak itu, Mark. Itu nama yang diberikan papanya, sama seperti namanya. Mereka memiliki nasib yang sama. Jaehyun juga masih ingat adiknya yang masih bayi, kecil, dan menggemaskan, Haechan namanya.

Jaehyun tidak tahu di mana mereka berdua. Jaehyun bahkan tidak tahu di mana papanya. Dia sudah mencoba bertanya berkali-kali kepada tangan kanan papanya, tapi tidak ada jawaban. Dia tidak boleh tahu. Jaehyun juga tidak tahu apakah nama kedua adiknya itu diubah lagi atau tidak, karena papanya bisa saja berlaku demikian.

Tapi setidaknya, Jaehyun tahu nama papanya. Jaehyun juga menyandang nama yang sama, dan itu terasa berat untuknya.

“Johnny Suh, kita lihat nanti.”

Who? written by Khairunnisa Han

.

.

.

Johnny membuka pintu apartemennya tepat ketika bel dibunyikan. Dia mendapati Jaehyun, Doyoung, dan seseorang yang asing di matanya berdiri di depannya. Tapi, orang yang tidak dikenalnya itu mundur. Johnny tidak mengenalnya, tapi mungkin dia tahu, jadi Johnny memutar otaknya untuk mengingat. “Ten?” ujarnya dengan pelan.

Oh my God.” Ten mengambil langkah mundur panjang-panjang. Jelas itu bukan reaksi yang diinginkan oleh yang lainnya, karena itu artinya sesuatu yang buruk. “Gua … enggak bisa…. Kalo model begini, gua angkat tangan.” Ten tersenyum kecil, senyuman yang tidak terlihat seperti senyuman.

Johnny memiringkan kepalanya dan bertanya, “Kenapa? Ada apa?”

Tapi dua yang lainnya tidak paham apa yang terjadi. Mereka hanya tahu ada hal yang buruk dank arena itu Doyoung merapatkan tubuhnya ke Jaehyun. Tidak ada sugesti apa pun. Itu karena tubuh Jaehyun lebih besar darinya jadi mungkin dia dapat menjadikan Jaehyun tamengnya, atau sesuatu.

“Kamu bukan Johnny.” Gaya bicara Ten berubah, meskipun dia masih menjaga jarak. Namun Ten sendiri tidak yakin walaupun dia sudah menjaga jaraknya, dia masih dapat kabur ke dunia manusia dengan selamat. “Kenapa tempat ini jadi perbatasan?” tanyanya, sesopan mungkin.

“Oh, kau sadar ya, Manusia?”

Nada bicara Johnny berubah dan Jaehyun mengambil langkah mundur, meskipun dia tidak yakin dia dapat kabur. “Sorry,” bisiknya pada Doyoung, “gua enggak tahu kita bisa kabur apa enggak kalo gini caranya.

“Kalian, kenapa jauh-jauhan gitu? Enggak mau masuk?”

Ketiga manusia itu bertatapan, mereka menyadari nada bicara Johnny yang biasa kembali. Entah bagaimana ceritanya, mereka tidak tahu. Ten tiba-tiba terduduk di lantai dan memegang pelipisnya dengan tidak percaya. “Terus yang tadi itu apa?” tanyanya, entah kepada siapa.

Johnny tidak mengerti apa yang teman-temannya takutkan. Kenapa Ten di depannya terlihat seperti habis melihat hal yang menyeramkan. Kalau itu dirinya, dia tidak mengetahui apa pun. “Kalian, habis lihat sesuatu ya?” tanyanya pelan dan Johnny menunggu jawaban dengan sabar.

“Kalo Taeyong balik, tolong kabarin. Gua … kita … enggak bisa ngelawan makhluk itu.” Ten mulai berdiri dan menepuk-tepuk bokongnya dengan pelan. Ten mengangkat tangannya, menunjuk Johnny tepat di wajahnya dan berkata, “Lu bukan Johnny. Mau lu pikir lu Johnny, lu bukan Johnny. Enggak ada Johnny di sini. Johnny udah mati dan itu kenyataannya. Lu harus balik ke alam baka.”

Sebelum ke part selanjutnya, aku mau ngomongin kenapa aku pilih Mammon dan bukan iblis lainnya. Alesannya karena aku nonton Nanatsu no Taizai (disingkat NnT, anime) yang judul inggrisnya Seven Deadly Sins. Nah, di NnT ini ada karakter yang namanya Ban, dia mewakili dosa greed atau tamak.

Ban mewakili dosa greed karena dia kepengen abadi gitu. Karena kupikir alesannya agak mirip sama Johnny bikin perjanjian sama Mammon, jadi aku pake Mammon deh. Begitu.

Who? written by Khairunnisa Han

.

.

.

Doyoung tidak mengerti, dia berada di titik yang sangat membingungkan, dia tidak dapat merasa tenang sama sekali, otaknya seperti tidak berfungsi. Namun di sisinya, Jaehyun melakukan semuanya dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa, atau seolah dia tahu apa yang akan terjadi sehingga dia bisa mengantisipasinya. “Lu aneh banget,” ujar Doyoung begitu mereka memasuki apartemen Jaehyun. Doyoung melepas sepatu dan jaketnya, namun tidak ada balasan dari Jaehyun.

Sementara Jaehyun pergi masuk ke dalam mendahului Doyoung dan kembali dengan dua buah kaleng minuman. “Soda,” katanya sambil menaruh minuman itu di meja. Jaehyun kemudian menepuk-tepuk bagian sofa di sampingnya. “Duduk sini,” katanya, “kalo berdiri terus nanti pegel.” Jaehyun lebih dulu membuka kaleng soda dan Doyoung menyusulnya untuk duduk di sisi Jaehyun.

“Kenapa lu bisa tenang banget?”

“Kata siapa?”

“Kata gua.”

Jaehyun menggeleng. “Permisi,” katanya sambil mengambil tangan Doyoung dan menempelkannya di dada kirinya. Memberitahukan pada Doyoung bahwa dirinya juga sama dengan Doyoung, hanya lebih diam. Doyoung dapat mendengar degub jantung Jaehyun yang sama tidak karuannya dengan dirinya. “Kalo gua keliatan panik juga, nanti lu tambah panik. Enggak ada yang nenangin lu. Semuanya harus seimbang kan? Karena lu suka panik, jadi gua berusaha setenang mungkin.”

Doyoung terkesiap, menarik kembali tangannya, dan membuang wajahnya jauh dari Jaehyun. Dia tidak ingin menatap wajah Jaehyun untuk sementara. Lagi pula sekarang bukan waktu yang tepat untuk menumbuhkan suatu rasa, pikirnya. Itu pun, kalau perasaan mereka sama. Kalau ternyata seksualitas Jaehyun tidak sesuai ekspektasinya, semuanya akan percuma. Tapi, tidak sopan juga baginya untuk menanyakan soal seksualitas, itu privasi seseorang, dan akan sangat menganggun apabila ditanyakan. Dia sendiri tidak suka.

“Doyoung.”

“Iya?”

“Gua tau ini enggak sopan sama sekali. Gua tau mungkin waktunya enggak tepat. Gua juga tau mungkin lu enggak nyaman sama apa yang bakal gua tanyain. Jadi, lu boleh untuk enggak jawab pertanyaan gua. Tapi gua beneran pengen nanya ini. Kalo enggak, gua bisa gila mikirin ini doang. Terus, gua tau gua aneh.”

Doyoung tidak mengerti ke arah mana pembicaraan dengan Jaehyun ini akan berlanjut. Bukankah mereka di sini karena dia mengkhawatirkan Taeyong? Bukankah mereka di sini karena mereka ingin tahu siapa Johnny? Bukankah harusnya ini bukan tentang mereka?

“Lu suka sama cowok enggak?”

Who? written by Khairunnisa Han

.

.

.

Mereka berkenalan bukan dalam suasana yang baik. Di depan ruang operasi, saat sahabatnya menangis hebat dan terus mengepalkan kedua tangannya hanya untuk berdoa. Saat itu mereka hanya saling pandang, tidak mengucap nama masing-masing, tapi mereka sudah saling tahu.

Doyoung pikir, tidak ada yang tidak kenal Jung Jaehyun. Wajahnya terkenal karena berkali-kali ditampilkan di media sosial milik kampus sebagai salah satu wajah yang paling tampan. Setelah melihatnya secara langsung, Doyoung paham kenapa orang-orang menyebutnya tampan. Tapi di lain sisi, Jaehyun tidak berbeda dengan laki-laki yang lain. Sama saja, hanya dengan wajah yang lebih baik.

Sementara di sisi lain, Jaehyun tahu mungkin seluruh kampus mengenali Kim Dongyoung yang lebih nyaman dipanggil Doyoung. Namanya berkali-kali diumumkan sebagai mahasiswa berprestasi. Doyoung terkenal dengan otaknya yang cemerlang. Entah mengapa mereka bisa bertemu di depan ruang operasi, dengan suasana yang menyedihkan seperti ini.

Pada dasarnya, dunia ini memang aneh.

Setelah itu mereka lebih sering bertemu, untuk urusan yang melelahkan. Mereka mengurus ini-itu, membantu keluarga Johnny yang berada di Korea, menjemput orang tua Johnny di bandara, menangani Taeyong dan mentalnya yang tak stabil. Doyoung dan Jaehyun tumbuh semakin dekat dalam kondisi yang aneh.

Jaehyun berdiri di luar, menghisap rokoknya, dan mengembuskan asapnya dengan pelan. Dia berkali-kali menghela napas dengan berat. Pikirannya bercabang, tubuhnya berat, dia sedih, dan ingin beristirahat.

“Lu ngerokok?” Doyoung bertanya dan sebagai balasannya Jaehyun menyodorkan kotak rokoknya, berniat berbagi, namun Doyoung menolak dengan halus. “Pemakamannya selesai,” katanya, “sekarang Taeyong lagi sama keluarga Johnny. Makanya gua keluar. Ngomong-ngomong, baru kali ini gua ngeliat lu ngerokok.”

Jaehyun tertawa kecil, kemudian kepalanya menunduk menatap sepatunya. “Well, kalo lagi suntuk aja sih. Biasanya bareng Johnny.” Jaehyun menghela napas lagi setelah berbicara. “Kehilangan sahabat ternyata bisa sedih juga ya, lebih parah daripada diputusin pacar.”

Doyoung tidak menjawab. Dia tidak tahu rasanya. Tidak mau tahu. Tapi membayangkan dirinya ditinggal oleh Taeyong, mungkin dia akan sedih juga. Hanya saja, Jaehyun bersikukuh untuk tidak menangis meskipun matanya memerah karena tidak berkedip. Boleh jadi, kalau dia berkedip, nanti ada air mata yang jatuh, dan Jaehyun menghindari itu.

Doyoung mengambil satu langkah lebih dekat dengan Jaehyun, menepuk punggung Jaehyun dengan pelan, dan berkata, “Nangis. Nangis aja kalo lu mau nangis. Enggak ada salahnya buat nangis kok. Jangan ditahan terus, enggak baik.”

Tangan Doyoung tetap berada pada punggung Jaehyun selama beberapa saat. Hanya untuk menepuk-tepuk pelan dan mengelusnya dengan lembut, memberikan sebanyak mungkin kehangatan yang bisa disalurkannya. Tidak akan ada yang mengira bahwa Jung Jaehyun menangis dengan hebat, mengeluarkan air mata yang sudah ditahannya, tanpa suara sama sekali.

Hari itu Doyoung tidak membawa kendarannya, dan berakhir dengan Jaehyun yang mengantarnya pulang. Setelah sebelumnya, mereka berdua mengantar Taeyong pulang. Sebelum Doyoung melepas seatbelt-nya, Jaehyun menahan tangan Doyoung dan menggenggamnya erat. “Jangan bilang-bilang kalo gua abis nangis,” katanya.

“Iya.” Doyoung menjawab dengan senyuman, kemudian dia turun dan mobil. Berdiri selama beberapa saat sambil melambaikan tangan sampai mobil Jaehyun tidak lagi terlihat oleh matanya.

“Siapa yang nganter?” Pertanyaan itu didapat Doyoung tepat setelah dia baru masuk rumah dan yang bertanya adalah Donghyun, kakaknya.

Doyoung tidak langsung menjawab, dia melepas sepatunya kemudian menghela napas panjang. “Kenalan,” jawabnya singkat.

Kenalan, ya?

Who? written by Khairunnisa Han

.

.

.

“Cari apa?”

Suara itu datang saat Johnny sedang bingung di basement gedung apartemen yang ditinggalinya. “Mobil,” jawabnya. Meskipun dia tidak yakin mobilnya berada di sana. Tapi mungkin Jaehyun, temannya, tahu sesuatu. “Lu tau di mana mobil gua?” tanyanya kemudian.

Jaehyun menghela napasnya, tahu itu akan terjadi karena Johnny tidak menyimpan memori apa pun. Tidak ada jawaban dari Jaehyun secara vokal, tapi Jaehyun menunjukkan layar ponselnya. Sebuah portal berita dengan headline mengenai kecelakaan beruntun seminggu yang lalu dan Johnny dapat melihat jelas mobilnya sudah tidak berbentuk lagi. “Kecelakaannya berat,” kata Jaehyun, “dan bukan cuma satu mobil doang. Lu masih berharap mobil lu utuh apa gimana?”

Mereka terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya Johnny menyilangkan tangannya di dada. “Gua pikir bakal ada. Soalnya entah gimana hp gua ada.” Johnny berkata pelan, tapi cukup untuk didengar oleh Jaehyun. “Jadi gua pikir mobil gua mungkin balik seperti semula. Tapi semuanya bener-bener aneh.” Pada akhirnya Johnny hanya menggendikkan bahunya.

“Naik mobil gua. Kita omongin sambil jalan ke kampus.” Jaehyun memiringkan kepalanya untuk menunjukkan ke arah mana mereka harus berjalan. “Sekalian ngecek namalu di kampus masih terdaftar apa enggak. Semua orang tahunya lu mati. Kalo tiba-tiba hidup ini pasti kampus geger.”

Johnny tidak menjawab, dia hanya mengikuti Jaehyun dari belakang sambil berpikir dan bertanya-tanya soal eksistensinya. Dipikirkan bagaimanapun memang pada dasarnya kehadiran dirinya di dunia untuk kedua kalinya itu tidak masuk akal. Tapi pada saat seperti ini, dengan mengetahui perasaan Taeyong dengan jelas, Johnny rasanya tidak ingin membuat Taeyong sedih lagi. Dia rasa sudah cukup.

Mereka tenggelam dalam sunyi. Keduanya berpikir dengan keras mengenai penjelasan yang masuk akal mengenai kembalinya hidup Johnny Suh. Tapi mereka tidak menemukan apa pun meskipun sudah berpikir dengan keras. Jaehyun merasa kepalanya panas karena berpikir sekuat yang dia bisa. Dia benci berpikir.

“Lu … enggak bikin perjanjian apa pun kan sama setan?” Jaehyun bertanya sambil memakirkan mobilnya di parkiran kampus. “Sorry, gua enggak bisa mikirin alasan yang lebih waras lagi. Selain, lu mungkin nuker sesuatu sama setan.”

Johnny menggeleng, dia turun dan menutup pintu mobil. Mengatur kembali rambutnya di depan spion mobil, Johnny berkata, “Gua udah bilang sama lu kemaren gua enggak inget apa pun.” Johnny kembali berdiri tegak, menatap temannya dengan pandangan yang jujur—dan Jaehyun tahu mata tidak berbohong.

Sesuai dengan apa yang mereka duga. Berita itu cepat tersebar. Banyak orang berkumpul di sekitar Jaehyun, Johnny, Taeyong, dan Doyoung secara kompak hanya untuk bertanya bagaimana yang mereka sendiri tidak mengerti. Mereka tidak menjawab, melainkan mengabaikan semua pertanyaan itu. Mereka juga ingin tahu.

Who? written by Khairunnisa Han m/m pair; Johnny Suh/Lee Taeyong, Jung Jaehyun/Kim Doyoung

.

_mostly would be written in Doyoung's POV

.

.

.

Masih segar dalam ingatan Doyoung bahwa seminggu lalu dia harus bersusah payah untuk menenangkan sahabatnya yang menangis hebat, kehilangan nafsu makan, tidak bisa tidur, dan lain-lain. Dia juga sedih, sama seperti sahabatnya itu, namun dia menahan dirinya dan berusaha menjadi sandaran yang pantas untuk sahabatnya itu.

Taeyong tidak pernah menangis. Dia adalah pemuda yang ceria, baik hati, dan disukai semua orang. Tapi seminggu terakhir, Taeyong berubah menjadi sosok yang lain. Doyoung pikir itu wajar, Taeyong butuh waktu untuk menata kembali hati, pikiran, dan kehidupannya. Taeyong baru saja kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Doyoung membayangkan, seandainya saja dia yang berada di posisi Taeyong, dia akan melakukan hal yang sama persis.

Itu karena Taeyong terlalu mencintai kekasihnya, Doyoung pikir begitu. Ketika kita terlalu mencintai sesuatu atau seseorang, sakit yang kita rasakan saat kehilangan tidak akan mudah hilang tergantikan rasa yang baru.

Seminggu yang lalu, Taeyong meneleponnya dengan suara yang gemetar dan serak, hampir tidak terdengar sama sekali. Doyoung tahu saat itu Taeyong dan kekasihnya sedang berkencan, jadi dia juga menghabiskan waktunya juga. Dia awalnya tidak tahu kenapa Taeyong meneleponnya dengan suara yang seperti itu, Doyoung tidak dapat mendengar semuanya dengan jelas. Doyoung memilih untuk segera pergi menemui Taeyong karena dia tahu pasti ada yang tidak beres.

Ketika Doyoung sampai di sisi Taeyong, Taeyong sedang berada di rumah sakit. Taeyong menundukkan kepalanya, mengepal kedua tangannya, dan memejamkan matanya erat-erat. Taeyong berdoa, hal yang jarang Doyoung lihat. Doyoung tidak banyak bicara, dia duduk di samping Taeyong, mengelus punggung sahabatnya dengan pelan. Tidak ada kata yang tepat untuk diucapkan di saat seperti ini.

“Doyoung,” panggil Taeyong dengan suara yang serak, “Johnny ada di sana.” Taeyong menunjuk pintu ruang operasi dengan jarinya yang gemetar hebat. “Johnny … enggak bakal kenapa-kenapa kan?”

Doyoung tidak dapat menjawab, dia hanya mengelus punggung sahabatnya itu sekali lagi dan memeluknya erat. Tidak ada yang mengira kalau mobil yang dikendarai Johnny akan mengalami kecelakaan beruntun, yang itu artinya bukan hanya Johnny yang menjadi korban. Mungkin, kecelakaan ini akan dibahas selama 3 hari ke depan di portal berita (atau mungkin lebih). Doyoung justru berpikir bagaimana supaya sahabatnya tetap bisa waras.

Mereka tenggelam dalam kesunyian sampai seseorang datang lagi dengan wajah panik dan napas yang berat. Mungkin, orang itu berlari, atau entahlah. Kejadian seperti ini akan memakan banyak emosi. Siapa pun yang mengalaminya akan kehabisan tenaga dalam sekejap.

“John—Johnny, gimana?”

“Jaehyun!” Taeyong berdiri, dia mengenali siapa yang datang.

Jaehyun, teman baik Johnny. Wajahnya sama paniknya dengan Taeyong. “Its okay. Itll be okay. Johnny kuat kok.” Jaehyun mengatakan itu sambil menepuk-tepuk bahu Taeyong, memberinya sebanyak mungkin kekuatan yang dia sanggup. Walaupun dia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya.

Mereka bersitatap, Doyoung baru pertama kali bertemu dengan Jaehyun. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jadi Doyoung hanya membungkuk kecil yang disambut juga oleh Jaehyun. Mereka kembali ditelan oleh sunyi sebelum Taeyong memecah suasana dengan tangisannya yang tanpa suara.

Aneh kalau memikirkan ini terjadi. Karena semuanya masih begitu jelas di kepala Doyoung. Tidak ada yang baik dari hari itu. Sehari setelahnya, mereka harus melakukan kremasi. Bahkan tidak menunggu keluarga Johnny yang berada di Chicago. Jaehyun dan Doyoung yang mengurus, karena Taeyong tidak sanggup.

Aneh kalau memikirkan ini terjadi. Doyoung memandangi layar ponselnya lekat-lekat. Benar-benar aneh. Dia masih ingat kalau tubuh Johnny berubah menjadi abu. Tapi sekarang, akun twitter yang sudah seminggu tidak aktif itu aktif kembali dan muncil di mention tab-nya dengan cara ajaib yang menakutkan.

Aneh kalau memikirkan ini terjadi. Apa benar itu Johnny? Atau hanya sesuatu yang mengaku sebagai Johnny? Bagaimana kalau Taeyong dalam bahaya? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak punya banyak informasi dan semua kejadian itu di luar akal sehat manusia.

Aneh….

Tapi dengan memikirkannya saja, dunia ini memang penuh dengan keanehan dan banyak yang manusia biasa sepertinya tidak mengerti.

written by Khairunnisa Han

.

tw // major character death // angst

.

Rekomendasi Lagu: One Direction – Moment

.

.

.

Hidup itu apa? Aku hidup untuk apa? Kenapa aku diciptakan? Bukankah semua yang di dunia ini diciptakan dengan maksud tertentu? Lalu kenapa aku di sini? Kenapa aku? Aku tidak mengerti konsep hidup, kehidupan, dan lainnya. Aku tidak tahu mengapa aku diberi bangun di pagi hari.

“Suga,” katamu, “kamu boleh jadiin aku alesan kamu.”

“Buat apa?”

“Hidup.”

Kamu, Daichi, kamu tersenyum seolah itu bukan hal yang besar. Tapi kamu melakukan sesuatu yang besar. Kamu bilang, aku boleh menjadikanmu sebagai alasanku. Maka kamu adalah alasanku, Daichi.

“Panggil aku Koushi dong.”

“Kalo itu—“

“Aneh ya? Kamu biasa manggil Suga sih….”

“Aku coba, tapi aku enggak bisa tiba-tiba gitu. Enggak masalah kan?”

“Makasih.”

Percakapan kita tidak pernah panjang. Terkadang hanya seperti itu. Sederhana dan pendek. Tapi aku menyukainya. Terlebih ketika kamu melingkarkan tanganmu di bahuku, tanpa kata apa pun, aku tahu kalau itu artinya aku boleh bersandar di bahumu. Aku tidak menemukan tempat menyandar paling nyaman selain dirimu. Tidak ada tempat bersandar yang membelai rambutku dengan lembut kecuali kamu.

“Daichi tangan kamu kasar….”

“Kamu enggak suka?”

Kamu menarik tanganmu dari wajahku, dan aku mengambilnya kembali untuk menempelkannya di wajahku, di pipiku. “Aku suka,” jawabku pelan. Aku suka. Aku selalu suka. Bagian mana dari dirimu yang membuatku tidak suka? Tidak ada. Aku suka semuanya darimu. Hanya kamu yang membuatku seperti ini.

Aku ingin selamanya bersama kamu, Daichi.

“Daichi?”

“Hm? Kenapa?”

“Kamu percaya sama reinkarnasi?”

“Enggak sih…. Kenapa emang?”

“Aku percaya, nanti aku mau reinkarnasi jadi kucing putih. Terus aku mau dateng ke kamu. Aku mau main sama kamu, hehe.”

Kamu mencubit hidungku. Wajahmu memerah tapi aku tidak mengerti artinya apa. Pada akhirnya kamu hanya membelai rambutku seperti biasa. Memberiku kehangatan seperti biasa. Kamu seperti biasa dan aku menyukaimu yang biasa itu.

***

Kamu mencari alasan, karena itu kuberi. Aku sendiri tidak paham sepenuhnya. Tapi hidupku tidak istimewa. Aku hanya mengharapkan semuanya berjalan seperti biasa, seperti pada tempatnya, meskipun aku tidak begitu paham maksudnya apa. Aku hanya bersikap seolah-olah aku memahami semuanya. Sehingga aku bisa menjadi tempatmu bersandar.

Hidupku biasa dan kamu datang padaku, hidupku masih biasa saja. Tidak berubah. Kegiatanku hanya bertambah sedikit. Aku menyukai saat-saat kau bersandar padaku, ingin tahu apa yang aku lakukan, membuatku menjadi bantalmu bahkan kasurmu. Aku menyukai saat aku membelai rambutmu. Aku menyukai saat aku menciummu. Aku harap aku bisa melakukannya setiap hari.

Tapi nyatanya tidak. Kenyataan itu kejam ya?

Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang. Tanganku kosong. Tubuhku kosong. Hatiku kosong. Kamu bilang kamu menjadikanku alasanmu. Tapi kamu bahkan tidak di sini. Aku … alasan untuk apa? Sekarang, hidupku bagaimana?

Koushi….

Aku ingin memanggil namamu.

Aku menghabisan waktuku di luar, duduk menatap langit, dan diam. Aku tidak bertanya, karena tidak aka nada yang menjawab. Aku memilih diam, karena semua yang ada di dunia ini diam. Aku tidak tahu mengapa aku harus merasa sedih sementara dunia masih berjalan seolah tak terjadi apa-apa.

Aku sama sekali tidak berbicara. Tidak. Sampai seekor anak kucing datang, melompat ke sampingku dan mengelus-eluskan kepalanya di pahaku.

Kucing….

Kucing, ya?

Kucing!

…terlebih warnanya putih.

Koushi, aku tidak percaya reinkarnasi, kamu tahu 'kan?

“Koushi…. Kalo itu kamu, kamu harusnya bilang selamat tinggal dulu sama aku. Aku kangen kamu….”

.

.

.

.

.

Fin

Gadis itu tersenyum, yang lain juga ikut tersenyum. Gadis itu tertawa, yang lain juga ikut tertawa. Seolah gadis itu adalah sumber kebahagiaan semua orang yang ada di sana. Tapi apa ysng berkecamuk di dalam diri seseorang, tidak ada yang tahu. Bagi mereka yang melihat, gadis itu hanya tersenyum, tertawa, bercengkrama seperti gadis pada umumnya. Mereka percaya bahwa gadis itu adalah orang yang ceria.

“Bohong.”

Seseorang menginterupsi. Laki-laki, berdiri di depan gadis yang sedang dikerumuni. Dia menatap wajah gadis itu lurus-lurus.

“Maaf, Mas?” Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali, bertingkah seolah tak percaya tudingan dari laki-laki itu. “Maksud Mas Jehan apa ya?”

“Kamu bohong, Dek. Kamu enggak jujur sama perasaan kamu.”

“Mas tahu dari mana aku bohong? Mas bukan aku. Lagian yang tahu diriku ya aku, bukan Mas. Mas enggak—“

“Dek, lain kali jujur sama diri kamu sendiri ya.”

Laki-laki yang dipanggil Jehan itu kemudian pergi dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gadis itu memandangi punggung Jehan yang perlahan menjauh. Aneh, karena dia tidak tahu dari mana Jehan tahu tentang dirinya.