kr-han

74 Johnny dan Hara

.

.

.

Semua orang pergi, makan di kantin, bersantai di taman sekolah, belajar di perpustakaan, menyelinap ke gedung olahraga, berpacaran, dan entahlah. Sementara Hara hanya duduk diam di dalam kelas. Menunggu seseorang untuk datang. Dia dengar dari Taeyong, bahwa orang itu akan datang di siang hari karena sengaja melewati kelas paginya. Hara tidak mengerti, sesungguhnya apa yang dipikirkan oleh orang itu di tahun ketiganya sekolah yang harusnya sangat krusial.

Orang itu menampakkan dirinya di depan pintu. Rapi dengan seragam dan menyampirkan tasnya di bahu. Wangi, seperti yang sudah Hara duga. Mereka berdua bertatapan untuk beberapa saat. Hara dari tempat duduknya dan orang itu di depan pintu. Sampai orang itu masuk, duduk di kursinya, bahkan tidak menyapa Hara walaupun dengan sebuah 'hai'.

Hara menarik dirinya, duduk di kursi depan orang itu. Bertatapan lagi. “Mau lu apa?” tanya Hara. “Karena lu tau gua enggak bakal ngizinin lu pergi, makanya yang lu chat Karen kan? Karena Karen masih baru dan enggak tau apa-apa kan? Lu sadar gak sih—”

“Kalo mau ngomongin soal tanggung jawab gua, gua sadar. Sorry.” Orang itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Masih menatap Hara. “Cuma pelarian kok. Pas kebetulan Bang Yeol manggil gua karena DJ yang biasa di sana enggak bisa manggung. Jadi selesai latihan gua langsung ke sana aja. Terus tadi pagi, gimana?”

“Huh.” Hara mendengus, wajahnya masih marah. Tapi orang yang di hadapannya terlihat begitu santai. “Gua enggak tau kenapa lu masih bisa sesantai ini, Johnny Suh. Tapi tadi Qian Kun ikut marah, Lee Taeyong ngambek, dan Nakamoto … males banget ngomonginnya.”

Johnny, yang mendengar penuturan Hara, tertawa kecil. Mereka seperti itu. Ada kekuatan yang saling tarik-menarik antara mereka sehingga membutuhkan satu sama lain. Jadi dia menunggu sebentar, barangkali Hara akan melanjutkan dialognya.

“Lu itu, satu-satunya pitcher kelas 3. Paham dong harusnya gimana? Mereka semua butuh lu. Kim Jungwoo, dia catcher tapi dia masih kelas 2, apalagi dia yang terus jadi battery-lu setahun ini. Tunggu sampe musim panas selesai, abis itu terserah lu mau ngapain. Gua enggak ngelarang, yang lain enggak ngelarang.”

Johnny diam. Masih menatap Hara. Wajahnya tak berekspresi. Hara pun ikut diam. Masih tidak tahu lagi.

“Kalo kita enggak masuk nasional tahun ini—”

“Jangan dilanjutin.” Johnny menyelak. Dia tahu apa yang akan dikatakan Hara. Bahkan, dia memahaminya. “Semua orang mau masuk ke nasional, gua, bahkan kalian manajer. Kalo ada gua nge-DJ lagi, gua bakal tetep latihan pagi kok, gua usahain. Ini bakal jadi musim panas terakhir, dan kalo enggak masuk nasional, apa artinya musim panas gua selama 3 tahun. Sedikit lagi summer camp. Pak Pem juga udah mulai bikin janji latih tanding. Tenang, gua tau tanggung jawab gua. Jangan khawatir lagi, Hara. Musim panas tahun ini, lu harus bahagia. Kita harus bahagia.”

74 Johnny dan Hara

.

.

.

Semua orang pergi, makan di kantin, bersantai di taman sekolah, belajar di perpustakaan, menyelinap ke gedung olahraga, berpacaran, dan entahlah. Sementara Hara hanya duduk diam di dalam kelas. Menunggu seseorang untuk datang. Dia dengar dari Taeyong, bahwa orang itu akan datang di siang hari karena sengaja melewati kelas paginya. Hara tidak mengerti, sesungguhnya apa yang dipikirkan oleh orang itu di tahun ketiganya sekolah yang harusnya sangat krusial.

Orang itu menampakkan dirinya di depan pintu. Rapi dengan seragam dan menyampirkan tasnya di bahu. Wangi, seperti yang sudah Hara duga. Mereka berdua bertatapan untuk beberapa saat. Hara dari tempat duduknya dan orang itu di depan pintu. Sampai orang itu masuk, duduk di kursinya, bahkan tidak menyapa Hara walaupun dengan sebuah 'hai'.

Hara menarik dirinya, duduk di kursi depan orang itu. Bertatapan lagi. “Mau lu apa?” tanya Hara. “Karena lu tau gua enggak bakal ngizinin lu pergi, makanya yang lu chat Karen kan? Karena Karen masih baru dan enggak tau apa-apa kan? Lu sadar gak sih—”

“Kalo mau ngomongin soal tanggung jawab gua, gua sadar. Sorry.” Orang itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Masih menatap Hara. “Cuma pelarian kok. Pas kebetulan Bang Yeol manggil gua karena DJ yang biasa di sana enggak bisa manggung. Jadi selesai latihan gua langsung ke sana aja. Terus tadi pagi, gimana?”

“Huh.” Hara mendengus, wajahnya masih marah. Tapi orang yang di hadapannya terlihat begitu santai. “Gua enggak tau kenapa lu masih bisa sesantai ini, Johnny Suh. Tapi tadi Qian Kun ikut marah, Lee Taeyong ngambek, dan Nakamoto … males banget ngomonginnya.”

Johnny, yang mendengar penuturan Hara, tertawa kecil. Mereka seperti itu. Ada kekuatan yang saling tarik-menarik antara mereka sehingga membutuhkan satu sama lain. Jadi dia menunggu sebentar, barangkali Hara akan melanjutkan dialognya.

“Lu itu, satu-satunya pitcher kelas 3. Paham dong harusnya gimana? Mereka semua butuh lu. Kim Jungwoo, dia catcher tapi dia masih kelas 2, apalagi dia yang terus jadi battery-lu setahun ini. Tunggu sampe musim panas selesai, abis itu terserah lu mau ngapain. Gua enggak ngelarang, yang lain enggak ngelarang.”

Johnny diam. Masih menatap Hara. Wajahnya tak berekspresi. Hara pun ikut diam. Masih tidak tahu lagi.

“Kalo kita enggak masuk nasional tahun ini—”

“Jangan dilanjutin.” Johnny menyelak. Dia tahu apa yang akan dikatakan Hara. Bahkan, dia memahaminya. “Semua orang mau masuk ke nasional, gua, bahkan kalian manajer. Kalo ada gua nge-DJ lagi, gua bakal tetep latihan pagi kok, gua usahain. Ini bakal jadi musim panas terakhir, dan kalo enggak masuk nasional, apa artinya musim panas gua selama 3 tahun. Sedikit lagi summer camp. Pak Pem juga udah mulai bikin janji latih tanding. Tenang, gua tau tanggung jawab gua. Jangan khawatir lagi, Hara. Musim panas tahun ini, lu harus bahagia. Kita harus bahagia.”

56 Karen Menjadi Manajer

.

.

.

Tepat setelah bel berdering nyaring, Chenle langsung pergi meninggalkan kelas, dan mata Karen mengikuti gerak tubuh Chenle. Tanpa Chenle menyadarinya. Karen tidak ingin kalau Chenle melihatnya mendaftar menjadi bagian dari klub bisbol. Baginya, biarlah nanti jadi kejutan untuk Chenle. Sementara itu, dia mengingat-ingat wajah Park Jisung di kepalanya, kalau-kalau tidak sengaja bertemu. Masih segar diingatannya ketika Jisung menyapanya via twitter.

“Oh hai Karen, gundulmu!” Karen mengumpat, memasukkan buku-buku tulisnya dalam tas dengan sembarangan. Masih kesal. Kemudian dia berjalan keluar dari ruang kelasnya, sedikit mengendap-endap. Tidak boleh ketahuan Park Jisung dan Zhong Chenle pokoknya.

Tapi untuk apa Karen? Nanti kalian juga bertemu lagi, 'kan?

Karen berjalan mengikuti instingnya, walau sebenarnya dia tidak tahu pasti ruangan klub ada di mana. Setidaknya sekarang, dia harus pergi ke lapangan bisbol di sekolahnya. Begitu tahu tujuannya, alis Karen bertaut, kembali bingung. “Lapangan baseball di sekolah ini ada 3 atau 4 gitu. Mereka latihan di lapangan sebelah mana? Terus manajernya sebelah mana? Kalo daftar ketemu siapa?”

Oh tidak. Karen memutuskan tanpa merencanakan apa pun. Itu buruk. Sangat buruk.

“Terserah deh, pokoknya muter-muter aja dulu.”

Meskipun memang memakan waktu, ketika sampai ke lapangan bisbol ketiga yang dihampirinya (meskipun Karen tidak yakin sebenarnya itu lapangan berapa), dia menemukan seseorang yang bisa ditanyai. “Permisi, Kak.”

Orang yang disapa oleh Karen, seorang pemuda, tinggi, besar, tapi wajahnya imut. Tidak sinkron. Bahkan Karen dapat mengakui kalau pemuda itu lebih imut darinya. “Iya, ada apa?” tanya si pemuda.

“Kak, maaf, aku mau daftar jadi manajer. Kira-kira, aku harus ketemu siapa ya?” tanya Karen dengan gamblang.

Pemuda itu berdecak kagum, lalu tersenyum dengan lebar. “Wah pasti diterima sih,” katanya. “Kenalin dong, kan nanti satu tim. Gua Kim Jungwoo. Lu?”

“Karen Bloom.”

“OH!” Kim Jungwoo, memutar otaknya, dan tersenyum. Pasalnya, siapa yang tidak ingat anak baru yang tiba-tiba saja berinteraksi dengan perempuan bernama Karen via twitter? Tidak ada. Seluruh anggota mengingat itu dengan jelas. Jungwoo memutar kepalanya, melihat kanan dan kiri seperti mencari sesuatu.

Karen melihati Jungwoo dengan tatapan heran. Entah apa yang dicari Jungwoo. “Ngapain Kak?” tanyanya, lagi.

“Nyari manajer. Ke mana ya?” Jungwoo masih menggelengkan kepalanya, kanan dan kiri bergantian. “Oh itu dia. JELENA! AHNJEL! SINI JEL!!” teriaknya sambil melambaikan tangan. “AHNJEL INI ADA YANG MAU DAFTAR JADI MANAJER!! BAWA KE KAK HARA SAMA PAK PEM GIH!! GUA MAU LANJUT LATIHAN NANTI DICARIIN BANG JOHN!! TITIP ANAKNYA YA JEL!!!” Jungwoo selesai berteriak, dia tersenyum kepada Karen sebelum akhirnya memutuskan untuk berlari pergi.

Tinggal Karen sendiri, yang sekarang ditemani oleh orang yang dipanggil Jungwoo dengan Ahnjel, Jelena Ahn. “Halo, kamu mau jadi manajer baru ya? Ikut yuk kita ketemu sama manajer yang lebih senior sama Pak Pembina. Gua masih baru jadi mungkin kita sama-sama belajar aja ya. Nama gua Jelena Ahn.”

“Karen Bloom.”

“Tenang, enggak udah gugup. Pasti keterima kok. Emang kita lagi nyari yang kelas 1 buat jadi manajer. Sama, tadi maaf ya kelakuan Jungwoo emang begitu. Sebenernya, semuanya sih agak-agak gitu lah kelakuannya. Yang normal kayaknya cuma yang namanya Kak Kun aja. Nanti juga kenalan kok. Eh, maaf ya gua cerewet.”

“Enggak apa-apa kok Kak.”

21 Pendaftaran

.

.

.

Hara duduk di kursinya untuk menunggu pendaftar, harusnya ada yang menemaninya. Tapi orang itu justru pergi karena anak-anak kelas 2 tidak bisa ditinggal tanpa pengawasan. Sebagai gantinya, Winwin duduk bersama Hara. Namanya Dong Sicheng, untuk panggilan Winwin itu, entahlah datangnya dari mana, tidak ada yang ingin ambil pusing dengan sebuah nama.

“Yang daftar banyak ya,” kata Winwin sambil memegangi formulir pendaftaran yang sudah dikumpulkan. “Lagian anak kelas 2 ada-ada aja sih, enggak bisa ditinggal sebentar, jadi kan Kapten enggak bisa di sini.”

Sudut mata Hara menangkap Winwin yang bicara pada lembaran formulir. Sementara dirinya sendiri sibuk berbincang dengan adik kelas. Memang, harusnya dia di sini bersama sang Kapten. Sayangnya itu, anak-anak kelas 2 memang tidak bisa ditinggal barang sebentar saja. Ada saja ulahnya. Sudah benar mereka sekarang memiliki 2 orang manajer dari kelas 2.

“Nama kamu siapa tadi, Dek?”

“Park Jisung, Kak,” jawab si adik kelas dengan pelan. “Ini langsung keterima atau gimana Kak? Abis ini aku harus apa?” tanya Jisung, lagi-lagi dengan pelan. Walaupun tubuhnya cukup tinggi dan agak kurang sinkron antara volume suaranya yang pelan dengan tipe suaranya yang berat.

Hara tersenyum dan berkata, “Nanti sepulang sekolah kumpul perdana ya Dek. Kenalan sama yang lain-lain juga. Untuk latihan kayaknya mulai besok. Dibiasain bangun pagi soalnya kita latihannya pagi sama sore. Apalagi kalo kamu mau masuk tim reguler kita. Banyak makan protein ya Dek, kamu kurus banget gini. Kalo mau minta tips yang gitu nanti coba cari yang namanya Johnny deh. Oh, sama pesen aku tuh sering-sering mandi dan jangan lupa pake deodorant ya.” Tidak salah lagi, Hara memang menyinggung masalah bau badan anggota tim bisbol. Memangnya apalagi yang dipermasalahkan olehnya?

Sementara mendengar penjelasan Hara, Jisung tersenyum kecil sambil menunduk, karena Hara lebih pendek darinya, maka dia harus menunduk sedikit. Dia sedang sibuk mencerna seluruh perkataan Hara dan berusaha mengingat semua hal itu. “Makasih ya Kak, nanti aku dateng pas sore,” kata Jisung lalu berbalik sambil mengepalkan tangannya senang. Dia berhasil mendaftar ke klub impiannya. Sekarang, dia sedang berusaha mengingat. “Makan protein yang banyak, tanya ke yang namanya Johnny, rajin mandi, pake deodorant.” Alisnya bertaut, Jisung mencoba mencium ketiaknya, wajahnya berubah aneh. “Emangnya aku bau?”

Oh Jisung, Sayang, kamu enggak bau, setidaknya sekarang, nanti kamu juga bakal tau sendiri kok kenapa.

Setelah menghadapi Park Jisung, Hara masih harus menjawab beberapa pertanyaan dan memberi arahan pada anak-anak yang baru mendaftar masuk klub. “Kamu siapa namanya Dek?” tanya Hara pada anak di depannya.

“Zhong Chenle.”

“Zhong Chenle ya. Okay.” Hara kembali mengulang apa yang dikatakannya pada Jisung, termasuk perihal kurus itu. “Paham kan Dek?”

Chenle mengangguk kecil.

“Oh ya, kamu ada temen perempuan yang belum daftar klub apa pun? Kalo ada, tolong banget dibantu soalnya baseball club butuh manajer dari kelas 1. Kita kekurangan manajer,” ujar Hara, lagi-lagi dijawab anggukan oleh Chenle. “Dek, kamu denger?”

“Denger Kak? Sekarang udah belom Kakak ngomongnya? Aku mau cabut terus main game lagi. Mau push rank,” ujar Chenle dengan jujur.

“Oh, udah kok Dek.”

Begitu mendengar kata sudah dari Hara, Chenle langsung pergi begitu saja. Entah sebenarnya dia tadi mendengarkan pesan Hara secara penuh atau tidak.

Hara duduk di samping Winwin. Dia melirik tumpukan formulir. “Banyak ya,” ujarnya pelan. “Tapi belom dapet manajer lagi. Kasian Xia sama Je di sana berdua doang. Kapten marah enggak ya sama kelakuan anak-anak kelas 2?”

“Marah kayaknya. Belom lagi Coach Jung pasti marah juga. Oh, Pak Jeongsu juga pasti ikutan. Mereka tuh, sok tau nyalain mesin yang buat ngelempar bola. Mana pas picher semuanya lagi masuk bullpen.” Winwin menceritakan kejadian tadi, disambung dengan helaan napas berat Hara. “Manajer yang baru itu tadi namanya Je?”

“Iya, namanya Jelena Ahn. Panggilannya Je. Tapi enggak tau cowok-cowok bisa panggil dia Je juga apa harus gimana gitu.”

“Kalian yang cewek ribet sih. Lu aja kan enggak ngebolehin cowok manggil pake nama Aoi. Udah gitu lu juga ribet banget harus panggil nama kita lengkap. Dong Sicheng lah. Enggak apa-apa lho panggil gua Winwin aja kayak yang lain.”

“Enggak nyaman. Enakan begitu. Terus, kalo mau ngatain gua ribet, jangan dua kali.”

“Maaf.”

.

.

.

-o-

Aku jelasin lagi ya, kenapa Hara harus dipanggil Hara. Karena kultur Jepang itu memang gak panggil nama langsung gitu, pasti manggil nama keluarga. Makanya dia panggil Yuta juga pake Nakamoto kan.

Oh, sama setelah ini ada tweet yang memperkenalkan siapa coach mereka dan siapa Pak Jeongsu itu. Terima kasih sudah membaca.

09 Latihan Hari Ini

.

.

.

Johnny mengangkat kakinya tinggi-tinggi, namun dalam sekejap diturunkan lagi kakinya. Berdiri. Tidak jadi melempar bolanya. Dia melihat ke sudut lapangan, lagi, sekali lagi. Masih sama menyakitkannya. Johnny melepas topinya, menaruhnya di dada melihat sosok itu meninggalkan arena latihan, diikuti oleh yang lainnya juga.

Sudah menjadi rahasia umum, tidak ada yang heran lagi. Tapi semua orang masih menyimpan perasaan sedihnya. Tidak peduli seberapa dalam terkubur, tetap saja akan mencuat sewaktu-waktu.

“JOHNNY!! ENGGAK ADA WAKTU BENGONG!!! JUNGWOO SIAP DI POSISI!! TAEYONG PEGANG BAT DENGAN PERCAYA DIRI!!!” Pelatih mereka berteriak, meskipun dia tahu betul perasaan anak didiknya. “Melihat rekan setim yang cidera memang menyakitkan, tapi kalian harus tetap fokus latihan,” ujarnya dengan pelan kemudian. Entah didengar, entah tidak.

Mereka semua mengambil istirahat, Wu Xia, salah satu manajer membagikan minum dan handuk ke masing-masing anggota. Sampai dia menyerahkannya tepat kepada Yuta.

“Hara mana?” tanya Yuta sambil menerima minuman dan handuk yang disodorkan.

“Nemenin Kak Kun, Kak,” jawab Xia pelan. “Maaf Kak, aku harus bagiin ini ke anggota yang lain, permisi.” Xia mengundurkan dirinya dari hadapan Yuta. Membagikan handuk dan minuman lagi. Gadis itu tampak kesusahan karena sendiri.

“Kita harus cari manajer lagi enggak sih?” tanya Doyoung tiba-tiba. “Hara juga harusnya enggak main ninggalin Xia sendirian cuma buat nemenin Kun. Terus muka lu jangan ditekuk gitu, jelek,” ucapan itu ditujukan kepada Yuta yang menekuk wajahnya sehingga air mukanya sama sekali tidak menyenangkan.

Banyak yang ingin dibincangkan, namun tidak bisa. Ketika masing-masing dari mereka kembali dipanggil oleh pelatih, dan Xia membereskan botol-botol minuman juga handuk yang berserakan seorang diri. “Kak Aoi harusnya enggak lama,” gumamnya pelan. “Harus ajak orang lagi jadi manajer. Susah banget kalo sendirian. Berdua aja susah.”

Mereka semua berbaris dengan rapi. Menunggu pelatih mereka memberikan titah. “Johnny, Lucas, Hendery, Jungwoo, dan Jeno masuk ke bullpen. Yang lainnya hari ini latihan batting lawan mesin. Kita mulai dari kecepatan 140 km/jam sampe 160 km/jam. Siap?”

“SIAP COACH.”

.

.

.

NOTE

Bullpen itu tempat latihan untuk pitcher, yang biasanya latihan ditemani sama catcher.

Untuk bagian ini, pitcher-nya Johnny, Lucas, dan Hendery. Sementara Jungwoo dan Jeno itu catcher-nya.

Posisi lainnya seperti fielder, baseman, dan shortstop akan aku beri penjelasan nanti pelan-pelan karena aku juga masih belajar🧡

Guide to Baseball Club AU Mostly inspired by Diamond no Ace (anime series)

written by Khairunnisa Han (seorenji on Twitter)

Genre(s): Friendship, School Life, Sports, dan mungkin akan bertambah Rating: 15+ (pastikan kalian sudah 15 tahun atau lebih ya).

WARNING!!!!! akan ada banyak kata-kata kasar mengacu pada karakter.

-o-

SETTING Lokasinya bukan di Korea, bukan di Amerika, bukan di Indonesia, bukan di Jepang juga. Tapi mungkin akan lebih mirip ke Jepang karena aku ambil referensi dari anime ya. Intinya, nikmati ada lokasi bernama Neo City ini.

Setting waktunya juga mengikuti di anime, alias Jepang, tapi aku enggak bisa sebut ini total lokasinya di Jepang ya. Jadi, awal semester di mulai di musim semi. Libur semesternya 2x di musim panas dan musim dingin. Seragamnya ganti tergantung musimnya juga. Tapi aku enggak terlalu yakin bakal dapet visualisasi buat seragamnya ini.

TOURNAMEN Sejujurnya, aku kurang yakin mau masukin turnamen ke dalam plot. Tapi, mau enggak mau harus dimasukin juga kan? Mungkin aku enggak begitu jago. Tapi akan aku usahakan yang terbaik untuk ini. Ketika masuk plot turnamen, kemungkinan akan ada banyak narasi. Jadi harus banget baca nih. Nanti kuberikan sedikit visualisasi dari anime juga ya ahaha.

CHARACTERS Tadinya, aku cuma mau pake cast anak 127 aja, tapi setelah belajar, ternyata tim reguler itu sampe 20 orang. So, aku putuskan untuk pakai semua member 127, DREAM, dan WayV. Untuk pembagian kelasnya, aku bagi seperti ini biar mudah.

Kelas 12 = 94L – 97L (Taeil, Johnny, Taeyong, Yuuta, Kun, Doyoung, Ten, Jaehyun, dan Winwin. Total 10 orang).

Kelas 11 = 98L – 00L (Jungwoo, Mark, Lucas, Hendery, Xiaojun, Renjun, Jeno, Haechan, Jaemin, dan Yangyang. Total 10 orang).

Kelas 10 = 01L – 02L (Chenle dan Jisung. Total 2 orang).

Kenapa kok pembagiannya seperti itu? Karena untuk kelas 10, masuk ke tim reguler itu bukan hal yang mudah, jadi aku ambil yang kelas 10 hanya 2 orang saja. Tentunya, aku sudah memikirkan ini matang-matang ya.

Kan tim reguler ada 20 orang tapi kan semua member ada 21? Terus gimana? Yuk lihat nanti ceritanya akan jadi seperti apa.

ANOTHER Akan ada banyak istilah yang masing-masing juga sambil aku pelajari lagi. Jadi, jangan segan untuk mengoreksiku ya. Aku terbuka untuk setiap koreksi. Istilah-istilah yang akan muncul nanti akan aku beri penjelasan sesuai dengan kemunculannya masing-masing.

Sejauh ini, yang aku sudah ketahui pasti posisi di tim baseball itu ada Pitcher, Catcher, dan Batter. Tapi masih ada banyak lagi!

Karena aku memang into sports anime dan sudah banyak sports anime yang aku tonton, aku akan berusaha untuk membuat plot dengan vibes yang masuk ke vibes sports itu sendiri.

Kalau kalian membaca, jangan lupa beri aku dukungan melalui komentar (di kepala thread, DM, atau curiouscat). Aku akan sangat menghargai dukungan kalian itu!

Regards, Khairunnisa Han

Ruang Keluarga part of Keluarga Sadaab S2 by Khairunnisa Han

-o-

Ruang keluarga, sebetulnya, ruang ini paling dihindari oleh ketiga anak pasangan Siwon dan Sooyoung. Pasalnya, kalau tidak penting mereka juga tidak akan berkumpul di ruangan ini. Apalagi tepat setelah Jaehyun mengatai Junmyeon dengan salah satu binatang. Jaehyun paling tidak ingin mendengar hal itu.

Sementara Jenny berjalan di belakang Jaehyun, mengamati gerak-gerik Jaehyun yang gelisah. “Abang,” panggilnya pelan, namun Jaehyun tidak menjawab. Bahkan ketika mereka menaiki elevator, Jaehyun masih diam saja menatap ujung kakinya. “Abang.” Jenny menarik lengan pakaian Jaehyun untuk mendapatkan perhatian. “Abang takut dimarahin sama Ayah ya?” tanyanya pelan.

Jaehyun menatap adiknya dengan mata yang sayu. Di satu sisi dia bahagia setelah keberaniannya mengungkapkan sedikit perasaannya. Namun, di sisi lain, dia terbayang wajah Siwon dan Sooyoung, orang tuanya. “Abang emang salah,” katanya, “tapi harusnya Bang Jun enggak ngirim itu di grup keluarga.” Jaehyun menunduk. “Nanti kalo kartu kredit Abang dibekuin gimana? Masa Abang harus bawa cash ke mana-mana? Ribet banget. Dompet mana cukup. Enggak mungkin juga kan Abang bawa-bawa koper duit ke kampus? Gila aja.”

Jenny menautkan jari-jarinya, dia paham gelisan yang dialami Jaehyun. Membawa uang tunai lebih menyulitkan dibanding kartu kredit. Masalahnya, uang tunai yang diberikan oleh orang tuanya untuk satu hari itu cukup banyak apabila untuk ditaruh di dompet. Membawa uang tunai adalah mimpi buruk anak-anak Keluarga Choi. Bahkan Junmyeon juga merasakannya meskipun dia tidak bersama kedua adiknya.

Ruang keluarga masih sepi ketika datang. Baru ada Junmyeon yang duduk dengan ponsel di tangannya dan kopi yang terhidang di depannya. Matanya melirik begitu melihat Jaehyun dan Jenny datang. Jaehyun dengan wajah lesunya, dan Jenny dengan ekspresi yang tidak bisa dijabarkan oleh kata-kata. Dalam lubuk hati yang dalam, Jenny ingin menyalahkan Jaehyun, tapi Jaehyun tahu kalau dia salah. Lagipula, dia sudah dibelikan es krim oleh Jaehyun. Jadi rasanya tidak baik jika dia masih protes. Jenny merencanakan untuk diam dan mendengarkan saja.

Siwon dan Sooyoung masuk ke ruang keluarga bersamaan. Siwon masih lengkap dengan setelah kerjanya, sementara Sooyoung tentu dengan gaunnya yang cantik, entah habis dari mana. Mungkin kumpul dengan teman-temannya atau keliling Korea untuk makanan?

“Jadi, pasti Jun ngelakuin sesuatu ya sampe Jae bisa ngatain Jun kayak gitu?” Siwon berkata to the point. Junmyeon hampir saja melempar ponselnya saking kaget. “Kamu ngapain Jun? Atau, Ayah tanya Jae, kamu ngapain?”

“Adek tadi minta jemput waktu Jae lagi siaran. Jae minta Adek buat tunggu, tapi enggak enak juga biarin Adek nunggu sendirian. Jae enggak bisa nitipin sama Johnny juga soalnya Johnny kan sama Jae lagi siaran. Jadi Jae minta tolong Bang Jun, tapi Bang Jun enggak bales. Cuman dibaca. Malah update tweet katanya itu urusan Jae, bukan urusan Bang Jun. Padahal kan Adek bukan adeknya Jae doang, adeknya Bang Jun juga. Jae tau Bang Jun itu sibuk, makanya Jae juga minta teleponin supir gitu kalo Bang Jun enggak bisa jemput. Tetep aja. Makanya kan, Adek pulangnya sama Jae,” ujar Jaehyun panjang lebar.

Sooyoung menatap Junmyeon lalu bertanya dengan nada yang rendah, “Jun, bener yang dibilang Jae?”

Junmyeon tidak bisa menolak. Benar. Seperti itu. Jadi dia mengangguk kecil.

Siwon dan Sooyoung sama-sama menggelengkan kepala. “Ayah sebenernya enggak ngerti apa yang ada di pikiran kalian. Jun, kamu itu udah dewasa, pimpinan yayasan lagi. Kalo kelakuan kamu kayak begini, kamu mengharapkan kelakuan mahasiswa Neo City University itu kayak apa?” Siwon melipat lengannya di bawah dada.

“Udah ya, Buna enggak mau ngeliat kalian berantem kayak anak kecil. Kalian udah pada gede. Coba untuk lebih akur lagi. Bisa?” tanya Sooyoung yang disambut anggukan ketiga anaknya dengan kompak. “Bubar. Masuk kamar. Junmyeon beresin kerjaan yang belom selesai. Jaehyun belajar, kamu sekarang semester 5. Jenny, belajar juga. Enggak ada waktu santai. TAPI, sebelum itu makan malem bareng dulu yuk? Jarang-jarang kan. Buna bawa Kyungsoo dong ke rumah buat masak sama makan malem, hehehe.”

“Seriusan Bun, Kyungsoo?” tanya Junmyeon.

“Iya.” Siwon yang menjawab pertanyaan Junmyeon. “Temen kamu tuh baik banget, masakannya juga enak banget. Enggak salah.”

Sementara Junmyeon kebingungan bagaimana Kyungsoo mau diajak Sooyoung untuk masak dan makan di rumahnya, Jaehyun bersyukur dari dalam lubuk hatinya bahwa dia tidak perlu membawa uang tunai yang merepotkan.

Pembicaraan Serius (2) part of Yuta Yakuza AU by Khairunnisa Han

-o-

“Aniki, Aniki, Aniki.”

Yuuta menoleh setelah panggilan berkali-kali itu. Dia sedang berjongkok dan memandangi isi kolam ikan di halaman rumah ketika dirinya dipanggil dengan heboh. Yuuta mendongak, melihat teman-teman sepekerjaannya yang menatapnya dengan wajah serius. “Ada apa?” tanyanya.

“Aneki manggil, kayaknya penting banget deh. Disuruh Bos juga.”

Yuuta berdiri, menepuk-tepuk celananya. Dia tidak tahu harus memasang wajah apa. Pun dia tidak menjawab perkataan itu. Dia pergi, berlalu sendiri menyusuri lorong-lorong kayu. Sampai dia menemukan Akari yang berdiri bersandar pada dinding kayu, menunggunya dengan tangan terlipat di bawah dada.

“Lama lu,” keluh Akari.

Yuuta memutar bola matanya. Menyebalkan. Dia selalu melalui perdebatan dengan Akari setiap kali harus bersama. Namun kali ini, rasanya dia tidak ingin berdebat. Dia berdiri tepat di depan pintu kamar bosnya, Kakek Hasegawa.

“Kakek mau ngomong sesuatu,” kata Akari, “tapi sebelum itu, gua duluan yang mau ngomong.” Akari menatap langsung mata Yuuta, walaupun dia harus sedikit mendongak. “Sekarang, berapa umurlu?” Akari bertanya, kali ini nadanya serius.

“Dua puluh lima tahun, Aneki.” Pun Yuuta, menjawab dengan serius. Hanya karena dia tahu dia tepat di depan kamar bosnya. Tidak ada seorang pun yang ingin dipecat dengan alasan yang bodoh, bukan?'

Akari berdecak pelan. Dia tahu dia sedikit lebih tua dari Yuuta, tapi begitu mendengar usia Yuuta, dia merasa dirinya lebih tua lagi. “Kalau soal nikah, gimana? Udah siap?” tanyanya lagi. Tanpa basa-basi. Tanpa canggung.

Kedua alis Yuuta bertautan bingung. Dia tidak tahu korelasi antara usia dan menikah sama sekali. Maanya melirik ke kanan dan ke kiri untuk menemukan jawaban yang tepat. Namun rupanya dia tidak menemukan jawaban yang tepat. “Nikah?” Yuuta justru balik bertanya.

“Iya. Nikah. Apa jangan-jangan, lu mau ngikut goukon ya?”

Kali ini, rasanya Yuuta ingin mengundurkan diri. Pertanyaan Akari menyebalkan. Apalagi harus dijawab tepat di depan pintu kamar bosnya. Yuuta berdoa dalam hatinya supaya posisinya dalam pekerjaannya ini aman. “Aneki,” panggilnya pelan.

“Ya?”

“Gua emang jomblo, tapi enggak gitu juga mainnya,” jawabnya kemudian. Dia benar-benar memberanikan diri. Padahal jantungnya benar-benar berpacu cepat. Menyebalkan sekali rasanya. “Sebenernya, ada apa sih?” Yuuta ikut-ikutan Akari untuk melipat kedua tangannya.

Akari berhenti melipat tangannya, dia menyibak poninya ke atas dan berkata, “Masuk. Kakek mau ngomong pribadi sama lu.”

Yuuta mengangguk, dalam taraf seperti ini dia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah. Mungkin perintah Akari tidak semutlak perintah Kakek Hasegawa, namun kalau Kakek Hasegawa yang berkehendak demikian, maka itu menjadi mutlak untuk Yuuta. Tangannya menggeser shouji dengan pelan, bunyi gesekan kayu halus terdengar, bosnya duduk di atas bantal duduknya dan tersenyum begitu Yuuta masuk. Yuuta tidak mengerti kenapa bosnya tersenyum seperti itu.

Dengan tindakan yang hati-hati, Yuuta menaruh tangannya di samping badannya, membungkuk 45 derajat sambil mengucap salam. “Duduk,” ujar Kakek Hasegawa. Jadi Yuuta mengambil sikap, menekuk kaki kirinya terlebih dahulu kemudian disusul dengan kaki kanannya. Dia duduk bertumpu pada kedua kakinya, dan menaruh kepalan tangannya tepat di atas paha.

“Maaf, tapi, ada urusan apa sehingga saya perlu menghadap kepada Anda?” Yuuta menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah bosnya. Barangkali di balik senyuman itu tersimpan sesuatu entah apa.

Tapi Kakek Hasegawa masih tersenyum. Senyumannya semakin lebar kemudian dia berkata dengan nada yang terdengar ceria, “Cucu saya mau nikah,” katanya, “saya mau nikahin dia sama kamu.”

“Iya Bos,” sahut Yuuta dengan cepat. Namun sepersekian detik berikutnya dia mendongak untuk menatap wajah Kakek Hasegawa dengan mata yang terbelalak. “SAMA SAYA??” tanyanya dengan nada kaget. “Maaf, saya tidak bermaksud berteriak. Maksudnya, yang mau dinikahin Aneki? Sama saya???”

Kakek Hasegawa memukul meja di depannya, tertawa dengan heboh, kemudian terbatuk-batuk. “Akari masih enggak jelas bentukannya gitu kok dinikahin. Ya sama Kaoru lah. Gimana? Kamu keberatan?”

Napas Yuuta tercekat, rasanya rahang bawahnya baru saja lepas. Dia tidak berpikir bahwa yang akan dinikahkan dengannya adalah Kaoru. Hasegawa Kaoru itu sendiri. Tuan Putri keluarga Hasegawa yang sangat berharga, justru diberikan ke berandalan seperti dirinya.

“Kamu boleh mikir-mikir dulu. Tapi enggak ada yang dirugikan kalau kamu mau nikah sama Kaoru. Baik kamu, atau Kaoru sendiri.”

Hati Yuuta menjerit keras sekali. Tidak ada yang dirugikan? Oh tidak. Mungkin dia harus merelakan semua anting-antingnya menganggur, memangkas rambut, dan menjadikan rambutnya berwarna hitam selamanya.

'Wahai Kami-sama yang katanya enggak tidur, kalo begini modelnya nasib baik apa buruk nih?'

Americano dan Asa part of Keluarga Sadaab S2 by Khairunnisa Han

-o-

Jaehyun berdiri di depan kelas adiknya, menjadi tontonan yang memanjakan mata bagi orang-orang di sekelilingnya. Ada yang sudah tahu dia sedang apa, ada yang sibuk bertanya-tanya mengapa. Pemuda itu tidak peduli, dia hanya melihat jam tangannya berulang lagi sambil menunggu adiknya keluar.

“Abang?”

“Temenin Abang,” kata Jaehyun begitu adiknya keluar dari kelas. “Abang enggak mau masuk akun menfess kampus lagi gara-gara main sama cewek gitu. Jadi kamu temenin Abang ya. Enggak apa-apa kan?” tanya Jaehyun.

Jenny, adik Jaehyun, menggendikkan bahunya. “Tadi Adek mau main sama temen-temen lho padahal,” ujarnya. “Tapi ya udah. Nanti Adek bilang sama temen-temen kalo Adek gak jadi main. Emang Abang mau ke mana?”

“Universe Café.”

Mobil melaju dengan pelan, mereka memang sejatinya tidak terburu-buru. Jaehyun juga belum lama mendapat kabar dari Doyoung bahwa Doyoung sudah sampai di kafe, namun Aleena Kim dan kawannya belum kelihatan. Jenny memerhatikan wajah Jaehyun yang pipinya menimbulkan sedikit semburat merah. Tidak, Jenny tidak mengerti apa arti semburat merah itu. Tapi dia tahu kalau Jaehyun sedang bersemangat akan sesuatu. Entah apa sesuatu itu.

Bel kecil di atas pintu berdenting begitu dibuka. Jaehyun dan Jenny masuk ke dalamnya, menuju Doyoung yang melambaikan tangannya. Tak berselang lama, Aleena Kim dan Dong Shiceng menyusul. Jaehyun berdiri hanya untuk menyambut kedatangan Aleena.

“Bukannya kalian bertiga?” Shiceng bertanya, bahkan sebelum dia duduk di kursinya.

“Iya,” jawab Doyoung dengan cepat. “John lagi ada urusan sebentar. Nanti dia nyusul. Kemungkinan bawa staff lain juga.”

Aleena menatap lurus Jenny yang duduk tepat di seberangnya. Tapi wajah Jenny tidak terlalu terlihat jelas karena tertutup gelas parfait yang tinggi dan duduknya yang….

“Enggak sopan.”

“YA?” Jaehyun dan Doyoung menimpali bersamaan.

“Ah.” Aleena tidak sadar telah megeluarkan suaranya seenaknya sendiri. “Bukan apa-apa kok. Jadinya gimana?”

“Soal akun menfess,” kata Jaehyun, “tadinya mau ditutup aja. Tapi ada kemungkinan bikin lagi. Jadi mau saya beli terus nanti biar staff kami yang mengoperasikan dan memantau akunnya. Menurut kalian gimana?”

“Enggak masalah, asal bener aja. Leen enggak pernah salah dan baru kali ini dia keseret-seret. Harusnya Leen—”

“Enggak apa-apa kok.” Aleena memotong dialong Shiceng. Bagaimana pun, dia tidak ingin Shiceng melanjutkan kalimatnya. “Gua kan lagi PDKT sama Mas Ganteng,” bisik Aleena pada Shiceng.

Shiceng memutar bola matanya dan balik berbisik, “Gua males sama dia. Ganti gebetan aja.”

“Enggak!” tolak Aleena.

Mereka terus berbicara, sementara Jenny memilih tidak mendengarkan karena tidak mengerti. Namun sosok Johnny juga belum terlihat sampai pembicaraan hendak selesai dan parfait Jenny hampir habis.

“Temen kalian enggak jadi dateng?” Shiceng kembali bertanya.

Doyoung menggeleng dan menjawab, “Mungkin urusannya lebih ribet dari yang kita kira.” Dia lalu tersenyum penuh percaya diri. “Gimana? Kalian mau kan? Enggak ada paksaan kok.”

“Saya mau cepat selesai sih masalahnya, jadi dari saya iya,” ujar Aleena.

“Gua juga iya,” tambah Shiceng.

Jaehyun menyesap americano yang dipesannya. Pun Aleena kembali memasukkan potongan red velvet ke dalam mulutnya. Mata mereka saling tatap. Mengabaikan pandangan Doyoung yang entah mengapa terlihat putus asa, Shiceng yang jengah, dan Jenny yang bingung.

Ting!

Sebuah notifikasi berbunyi.

Pembicaraan Serius part of Yuta Yakuza AU by Khairunnisa Han

-o-

Mereka pergi memang tak lama, dan itu pun habis dengan perdebatan tidak penting antara Akari dan Yuuta. Mereka berdebat dan terus berdebat hingga Kaoru jengkel. Tapi sekarang, masing-masing berpisah. Kaoru masuk ke dalam kamarnya, Yuuta berkumpul dengan anak-anak buah Kakek Hasegawa yang lain, dan Akari menghadap kakeknya.

Akari tahu apa yang akan dibicarakan. Oleh sebab itu dia ada di sini. Datang kembali ke Osaka, kalau tidak ada urusan untuk apa?

“Kalo mau langsung, aku udah siapin. Kru aku nanti berangkat untuk persiapan acaranya. Tinggal nunggu Kakek aja ini.” Akari duduk di depan kakeknya sambil memakan semangka yang baru saja keluar dari kulkas dan dipotong-potong.

Kakek Hasegawa menyilangkan tangannya di depan dada. Berpikir. “Kakek harus ngomong sama Nakamoto gimana?” tanyanya. “Enggak yakin. Ngomong sama Kaoru juga gimana ya enaknya?”

“Bilang aja.”

“Kamu itu enggak pernah ngebantu sama sekali jawabannya.”

“Ya gimana? Kakek ribet sih. Bilang tinggal bilang aja kok.”

“Ya udah kamu panggil Nakamoto ke sini.”

“Aku Kek?”

“Iya.”

Akari mendengus. Tapi mau tidaj mau dia harus melakukannya. Dia hanya menggeser pintu kamar kakeknya, berjalan beberapa langkah dan memanggil anak buah kakeknya yang berada di dekat situ. “Heh,” panggilnya, “sini kamu.”

“Iya, Aneki?”

Panggilan aneki itu sudah disepakati. Akari sendiri yang meminta untuk dipanggil Aneki dan meminta anak-anak buah kakeknya untuk tidak kaku kepadanya. “Panggilin Yuutan,” katanya kemudian.

“Siapa?”

“Yuutan.”

“Yuu—”

“Bukan. Bukan. Nakamoto. Panggilin Nakamoto.”

“Iya siap Aneki.”