kr-han

Red Velvet dan Sepotong Cerita part of Keluarga Sadaab S2 by Khairunnisa Han in Winwin's POV

-o-

Sebenernya gua enggak paham pemikiran Leen. Gua enggak ngelarang dia buat naksir cowok, cuman bukannya dia harus nyari latar belakang cowoknya? At least, dia harus tau siapa cewek yang bikin dia masuk ke rentetan masalah enggak jelas ini. Tapi dia justru enggak mau tau dan lebih mau makam red velvet. Terserah.

Rumah Leen itu buat gua juga rumah. To be honest gua tinggal di apartemen yang sebenernya lumayan sih. Cuman gua sendirian. Enggak ngerti kenapa orang tua gua enggak mau ngirimin at least 1 aja ART buat gua karena ngurus apartemen sambil kuliah susah. Terus kolam renangnya juga umum. Enggak suka. Mending ke rumah Leen aja. Makanya gua akrab sama Leen.

Enggak. Salah.

Sebenernya lebih karena orang tua gua duluan akrab sama orang tua Leen, makanya gua akrab sama Leen dan rumah Leen berasa kayak rumah sendiri. Nah. Singkatnya gitu. Iya, gua udah lama bareng-bareng sama Leen. Tapi masih banyak tentang Leen yang gua enggak tau. Termasuk, kenapa dia manggil gua Winiwini. Kalo gua tanya kenapa, she would definitely say that Winiwini sounds cute, cuter, cutest. Kayak sebelumnya.

Rumah Leen ini luas. Kamarnya sekalian sama home theatre. Padahal dia punya home theatre di ruangan sendiri tapi dia mageran, udah gitu papanya sayang banget sama dia makanya bikin home theatre lagi sekalian sama kamarnya Leen jadi satu. Di dalem kamarnya sendiri udah ada mini bar, dan lain-lain soalnya gua males nyebutinnya satu-satu. Banyak. Kamarnya dia luas banget.

Terus, mau masuk kamarnya dia ini butuh perjuangan karena jauh dari gerbang. Untung dianterin.

“Nih, gua bawain redvel-nya.” Gua taro kotak red velvet itu di depan hidung dia. “Sekarang cerita dulu sama gua.”

“Soal Mas Ganteng garis besarnya udah tau kan? Hm. Gua lagi PDKT sama dia ceritanya. Terus tau-tau mentab gua rame tuh, pada mention yang ncityfess itu. Gua juga heran bisa-bisanya. Padahal lu ngejemput gua waktu itu.”

“Terus lu udah tau itu siapa?”

“Enggak peduli juga sih. Males ngurusin. Toh masalahnya bakal selesai. Kayaknya yang ngirim menfess bakal di DO atau seenggaknya diskors sih.”

“Kalo itu pacarnya gimana?”

“Katanya Jaehyun jomblo.”

“Lu percaya?”

“Kenapa gua enggak boleh percaya?”

Sumpah. Gua enggak ngerti lagi pikirannya Leen ada apa.

Alasan di Balik Air Mata part of Yuta Yakuza AU by Khairunnisa Han

-o-

Kaoru menikmati suasana pesta, berbeda dengan Yuta yang terus menunduk dan melirik sekitarnya dengan galak. Hanya karena dia tidak ingin tuan putrinya ini kenapa-kenapa. Bukan karena alasan romantis, tapi bohong kalau Yuta tidak takut dengan bosnya yang lebih galak lagi.

“Nakamoto-kun,” panggil Kaoru pelan.

Yuta mengangkat kepalanya, menatap wajah Kaoru yang perlahan memerah. “Ada apa Nona? Ada yang salah? Nona salah makan? Kenapa wajah Nona merah?” Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari bibirnya. Khawatir menyelimuti diri Yuta.

Sementara Kaoru menjawab semua pertanyaan itu dengan gelengan pelan dan singkat. Kaoru tersenyum kecil dan berkata. “Saya mau pulang sekarang,” katanya sambil berjalan melalui Yuta. Membuat Yuta harus mengikuti di belakang Kaoru dengan menatap lurus-lurus punggung Kaoru.

Di dalam mobil, Kaoru menumpahkan air matanya, dan Yuta tidak berbuat apa-apa selain memegangi sekotak tissue yang barangkali diperlukan oleh Kaoru. Malam itu, Kaoru pulang dengan menangis.

Memasuki rumah dengan terburu-buru, melempar sepatu asal dan berlari di sepanjang lorong kayu rumah bergaya tradisional itu. Anak-anak buah kakek Kaoru yang berjaga di rumah terheran-heran, jelas mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka melihat Yuta dengan pandangan penasaran.

“Ngapain ngeliatin gua?” tanya Yuta, kembali pada gaya biacara sehari-harinya.

“Aniki, Kaoru-sama kenapa?”

“Mana gua tau. Lagi di pesta tadi terus dia tiba-tiba nangis. Abis itu minta pulang, jadi gua anterin pulang. Yang jelas bukan gara-gara gua.”

Anak-anak buah kakek Kaoru itu mengangguk-angguk. Lalu Yuta pergi dari depan rumah besar itu. Meski di balik punggung yang kuat itu tersimpan rasa takut akan dihabisi.

-o-

Kaoru tahu kalau tangisannya akan membawa malapetaka untuk Yuta. Jadi dia mengirim sejumlah pesan pada Yuta dan bersiap diri untuk pergi ke kamar kakeknya. Kaoru menarik napasnya dan membuangnya, lalu dia membulatkan tekat untuk menggeser pintu kamar.

Kakeknya memasang wajah yang tidak sedap dipandang. “Ngapain kamu ke sini? Saya minta Nakamoto yang ke sini. Kenapa kamu? Nakamoto ini juga tumben enggak sopan telepon saya enggak diangkat. Bisa-bisanya cucu saya—”

“Oji-sama,” panggil Kaoru, “bukan Nakamoto-kun yang bikin Kaoru nangis. Jadi jangan cari dia. Ya? Dia enggak salah. Kaoru nangis soalnya ngeliat mantan Kaoru di sana. Masih keinget sedihnya makanya nangis. Nakamoto-kun bahkan enggak tau kenapa Kaoru nangis. Begitu, singkatnya.”

Kakeknya itu mengangguk-angguk sambil membelai janggut putihnya. “Bukan karena Nakamoto jadinya?” tanyanya dsn dijawab gelengan pelan oleh Kaoru. “Okelah. Kalo sampe beneran Nakamoto, bisa saya tebas kepalanya itu. Syukurlah dia beneran bisa dipercaya.”

“Ya … kan makanya Oji-sama suka sama kinerja Nakamoto-kun kan?”

“Iya, sampe sekarang belom pernah buat salah.”

Universe Café part of Keluarga Sadaab S2 by Khairunnisa Han

-o-

Jaehyun datang dengan mobilnya tepat di depan Gedung C Fakultas Kedokteran Neo City University. Mobilnya meluncur dengan mulus, dan Aleena sudah menunggu di depan gedung dengan sebuah senyuman canggung yang terulas di wajahnya.

“Halo,” sapa Aleena.

Jaehyun tidak turun dari mobilnya, tapi dia menurunkan kacanya lantas berkata, “Masuk sendiri ya? Saya males banget kalo harus masuk akun menfess kampus.”

Aleena mengangguk mendengar penuturan Jaehyun. Sama. Dia juga malas dengan hal itu.

Mobil Jaehyun kembali bergerak dan parkir manis di depan sebuah kafe bergaya estetik, cocok untuk foto-foto dan diunggah ke media sosial. Bel kecil di atas pintu kafe berdenting nyaring begitu pintu di buka. Jaehyun dan Aleena masuk ke sana, disambut dengan senyuman hangat para pelayannya.

“Wah, kafenya cantik banget.”

“Iya kan? Saya sering ke sini sama temen-temen. Terus, ya, karena kenal yang punya kafe juga sih makanya sering-sering.” Jaehyun mengantre rapi diikuti Aleena di sampingnya. “Mbak, pesen yang kayak biasa ya. Tau kan?”

“Tau banget. Kalo Mbaknya yang ini mau pesan apa?”

Aleena membelalakkan matanya. Bingung. “Cappucino aja lah,” katanya kemudian, mengambil jalan pintas paling gampang. “Ada red velvet enggak? Saya mau red velvet juga ya,” tambahnya.

“Nanti tolong diantar ya,” kata Jaehyun. Mereka berdua lalu mencari tempat duduk, namun Jaehyun menangkap wajah bingung Aleena. “Kamu penasaran kenapa saya enggak bayar dan langsung duduk udah gitu minta dianterin?”

Aleena mengangguk cepat dan Jaehyun mendapati itu menggemaskan.

“Kan saya bilang, saya kenal yang punya kafe. Jadi lebih santai gitu. Pelayannya juga udah hafal sama saya gitu,” ujar Jaehyun dan lagi-lagi Aleena mengangguk-angguk. “Kalo kamu kayak gitu terus nanti saya bisa mati diabetes lho, Aleen.”

“Hah? Gimana?”

“Soalnya kamu manis banget, Aleen.”

“Mas—”

“Jangan panggil saya Mas.”

“Iya, maksudnya, Jaehyun, kamu jangan gitu dong ke saya. Nanti saya bisa jantungan kalo kamu kayak gitu terus.”

Mereka duduk, di hadapan kopi yang mengepulkan uapnya, dan sepotong red velvet yang cantik. Tidak ada pembicaraan tertentu. Hanya hening yang menyelubungi. Jaehyun dengan pelan menyesap kopinya, sementara Aleena menyuapkan red velvet ke mulutnya dengan pelan. Tidak ada pembicaraan sama sekali.

“Saya—”

“Kata Mama kalo lagi makan enggak boleh sambil ngobrol.”

“Okay.”

Jadi mereka melalui sepotong red velvet tanpa pembicaraan apa pun, dan kemudian Aleena menyimpulkan sebuah senyuman yang lebar dan manis di mata Jaehyun. “Saya baru tau di sini red velvet-nya enak banget. Mungkin harus rekomendasi ke Mama juga. Siapa yang punya kafe ini? Bisa kamu kirimin kontaknya ke saya?”

“Bang Minseok, temen abang saya. Nanti saya mintakan kontaknya ke abang saya dulu ya. Syukurlah kalo kamu suka di sini.”

“Iya, saya suka. Oh ya, tadi mau ngomong soal apa?”

“Soal saya yang baru kenal kamu. Untuk seterusnya, saya boleh enggak kalo deket sama kamu?”

Aleena tiba-tiba memalingkan wajahnya. Terkejut. Lalu dia menjawab dengan wajah yang masih berpaling, “Bo—boleh kok. Tapi nama saya Aleena, bukan Aleen. Panggil Leen aja.”

“Saya lebih suka Aleen. Soalnya lucu, kayak kamu.”

Party part of Keluarga Sadaab S2 by Khairunnisa Han in Aleena's POV

-o-

Ini tempatnya rame banget. Enggak suka. Kenapa Mama seneng banget kegiatan kayak gini? Isinya ibu-ibu semua. Enggak ada yang seumur—eh ada mas ganteng. Kayaknya seumuran deh. Pengen ajak kenalan, tapi nanti kalo ngomongnya enggak nyambung gimana? Enggak semua cowok kalo diajak ngomong kayak Win 'kan?

Tapi serius sih, ganteng.

Terserah, sekarang harus ikut Mama buat kasih salam ke semua undangan. MALES BANGET!!!! Mama tuh kenapa sih? Aku 'kan pengen di rumah aja, rebahan di kasur sambil nonton film.

“Halo Om.” “Halo Tante.”

“Aleena ikut? Ya ampun, cantik banget. Ini pasti mama kamu yang pilihin dress-nya 'kan? Cocok banget!!”

Tante-tante kenapa berisik banget sih? Serius. Kayaknya kuping aku sakit deh.

“Aleena cantik gini enggak mau jadi menantu Om aja? Anak Om ganteng tau.”

Duh, Om, kalo anak Om seganteng mas yang di sana aku mau. Kalo enggak, makasih banget lho mendingan jadi perawan tua.

“Ma, Leen udah boleh pergi 'kan? Mau ke pojok aja main hp.” Aku berbisik ke Mama, dan untungnya diiyakan. Jadi aku pergi ke pojokan, deket meja kue-kue, main hp sambil senderan tembok. Payah sih katanya party orang kaya tapi kursi sama mejanya cuma di tengah hall doang, di pinggir gini enggak ada jadi terpaksa berdiri. Mana enggak boleh makan sambil berdi—

“Kok Mbaknya enggak gabung sama yang lain?”

Mampus aku disapa Mas Ganteng.

“Enggak ada yang seumuran, Mas. Males gabung sama orang tua.”

“Kalo gitu kita sama.”

Sekarang Mas Ganteng ikutan senderan tembok, mana sebelahan lagi. Duh. Enggak sehat ini mah buat jantung. Tapi kalo pergi gitu aja enggak sopan. Susah banget sih hidup jadi orang kaya.

“Nama Mbaknya siapa?”

“Aleena Kim.”

“Oh…. Saya Choi—”

“Masnya suaranya familiar deh. Jangan-jangan Masnya kuliah di Neo City University ya?”

“Eheheh, iya Mba, saya Choi Jaehyun.”

“Choi Jae—YANG DJ RA—maaf teriak—yang DJ radio bareng sama John Suh dan Kim Doyoung??? Serius?? Eh. Maaf, excited banget jadi lupa kalo kelakuan saya enggak sopan.”

Aleena. Aleena. Aleena. Bodoh banget sih? Bisa-bisanya enggak tau muka Choi Jaehyun yang paling terkenal sekampus. Choi Jaehyun yang kakaknya megang yayasan kampus—eh tapi Papa kan salah satu donatur yayasan.

“Baru sekali ikut party ya?”

HAH APASIH KALO NANYA JANGAN DADAKAN YA ENGGAK SEHAT BUAT JANTUNG!!!

“Enggak sih, tapi emang jarang.”

Tapi ditanggepin juga. Ah enggak tau lah. Aleena bodoh.

“Sama, saya juga jarang ngikut party. Tapi tadi dipaksa Buna ikut. Biasanya yang ikut kalo enggak Abang, ya Adek.”

“Oh…. Sibuk ya Masya?”

“Dibilang sibuk juga gimana ya, paling main doang sih. Emang males aja ikut party gini.”

Enggak tau mau ngomongin apa lagi. Syukur banget ini juga lancar gini ngobrolnya. Pengen nangis. Jaraknya deket banget mana kulitnya shining shimmering splendid gitu jadi minder aku. Untung aja kebetulan ketemu.

“Oh ya.”

“Apalagi Mas?”

“Boleh minta nomor whatsapp?”

Hah?

Gimana?

Melihat

Part 111 of Keluarga Sadaab written by Khairunnisa Han in Nana's POV

-o-

Nana … lihat semuanya. Mungkin, waktu Haechan pertama kali ketemu sama Jenny, Nana enggak lihat. Tapi, semua kejadian antara Haechan sama Jenny, Nana tahu. Nana inget, mata Haechan selalu bersinar terang ngeliat Jenny dan Nana 100% yakin kalo Haechan suka sama Jenny bukan karena Jenny anak orang kaya atau apa, Haechan cuma suka sama Jenny. Enggak kurang, enggak lebih.

Tapi kan, Jenny enggak mau pacaran. Sebenernya, waktu itu, antara Haechan sama Jenny enggak ada yang salah. Nana sendiri juga enggak tahu pasti bedanya temenan dan pacaran. Di balik itu, Nana bisa denger hati Haechan hancur. Haechan biasanya rame, berisik, suka teriak-teriak bareng Nana, Renjun, Jeno. Tapi setelah itu Haechan lebih sering diem. Mungkin banyak yang Haechan pikirin.

Jenny pergi jauh, ke benua seberang. Kita sempet nganterin Jenny naik jet pribadinya. Ya, untuk apa kan beli tiket pesawat? Nana masih inget waktu naik jet pribadi, rasanya keren banget. Seenggaknya, Nana pernah ngerasain jadi orang kaya. Tuxedo yang dikasih Jenny waktu itu juga, Nana masih simpen baik-baik.

Haechan juga, masih simpen baik-baik perasaannya ke Jenny. Nana lihat berkali-kali, ada adek tingkat yang deketin Haechan, tapi enggak ada satu pun yang jadi. Haechan, enggak pernah move on dari Jenny.

Kalo lagi enggak tidur, kadang kita berempat video call. Jenny bukan Jenny yang polos lagi. Dia sudah lebih dewasa dan wawasannya juga tambah luas. Nana bangga ngeliatnya. Apalagi orang tua Jenny kan?

Jenny sudah jadi orang keren sekarang. Karena Haechan juga sudah jadi orang keren—Nana juga! Renjun dan Jeno juga. Kita berlima, mau ketemu lagi. Mau 'main' kayak dulu waktu masih semester satu dan enggak tahu apa-apa.

Nana sekarang, lagi siap-siap.

Main

Part 106 of Keluarga Sadaab written by Khairunnisa Han in Haechan POV

-o-

Pusing enggak sih lu disuruh ketemu gebetan padahal sebenernya lu tuh enggak mau ketemu? Haha, iya, pusing banget. Gua lagi susah payah, bener-bener susah payah buat ngelupain dia tapi kenapa coba di saaat kayak gini dia muncul? Muncul terus???

Gua rasa, biar ini jadi terakhir kali gua ketemu dia aja deh. Enggak lagi-lagi. Gimana pun, gua harus ngehindar. Okay, Haechan, lu harus move on dari Jenny. Liat si Johnny, dia udah berusaha ikhlas kan? Yap, lu juga Chan. Lu bisa. Ayo.

Tapi jujur, ini kedua kalinya gua ke rumah Jenny bareng anak-anak. Gila. Super gila. Rumahnya gede banget dan luas banget. Ini bukan cuma satu rumah doang. Di dalem aja perlu naik mobil lagi dan ada yang nganterin. Kali ini ke mana coba? Gua sama anak-anak enggak berani nanya, soalnya gini aja kita udah norak.

Tebak kita dibawa ke mana? Kolam renang. Gila. Enggak ngerti lagi gua. INI APAAN? LUAS BANGET ANJING. Ini yang kecil, gua yakin banget ini tuh cuma yang kecil.

“TEMEN-TEMEN!! SEBELAH SINI!!!”

Ah, sialan lu Jen, cantik banget kayak biasa. Gua cuma bisa senyum dan diem sampe Nana narik tangan gua biar jalan sama yang lain. Kayaknya anak-anak pada tau kalo gua lagi enggak beres. Renjun bisikin gua, “Biasa aja Chan.” Terus Jeni nepuk-nepuk pundak gua.

“Iya, gua usahain.”

Gua enggak nyangka suasananya bakal kayak gini. Gua pikir kuenya bakal mewah, tapi rasanya familiar banget ini mah. Kayak pernah makan.

“Kayak kue yang di Universe Café enggak sih?”

Anjing Jeno enggak sopan anjing kalo ternyata ini kue mahal.

Tapi, Jenny senyum bahagia banget. Dia ngangguk. “Iya,” katanya, “yang punya kafe itu temennya Bang Jun jadi pesen sama dia. Chef yang masak di sana itu chef kepala di tempat temennya Bang Jun juga. Masakannya enak kan??”

Renjun, Nana, Jeno, gua juga, cuma bisa ngangguk-ngangguk aja alias emang bener anjir ini enak banget sampe pengen nangis. Bayangin. Bisa enggak? Enggak bisa? Ya udah bodo amat.

“Jen,” panggil Nana, “Nana boleh coba berenang enggak?”

Jenny ngangguk dan jawab, “Boleh. Renjun, Jeno, sama Haechan juga kalo mau berenang boleh. Terus itu, di ruang sana ada baju renang. Aku udah siapin, pake aja ya….”

Malaikat banget enggak ngerti lagi gua….

Nana, Renjun, dan Jeno, berenang. Gua enggak ikutan. Tetep duduk berdua sama Jenny. Canggung banget. Saking canggungnya gua sampe inget kalo gua pernah ada keinginan buat nembak Jenny. Apa gua tembak?

“Jen—”

“Chan—”

“Eh?”

Anjing pake barengan kek sinetron basi.

“Haechan dulu aja.”

“Jen, gua mikir keras buat ngomong ini. Seriusan. Tadinya gua enggak mau ngomong, tapi kalo enggak, kayaknya bakal jadi beban buat gua.”

“Ada apa?”

“Jen, gua enggak sengaja ketemu sama lu. Gua juga cuma iseng ngajakin lu main. Ngajarin ini-itu murni iseng, tadinya. Tapi, ternyata, gua jatuh. Jatuh cinta sama lu.” Kali ini gua beraniin ngeliat muka dia, dan gua yakin itu cecunguk tiga biji lagi ngeliatin gua juga. “Gua suka, sayang, cinta sama lu. Lu mau jadi pacar gua?”

Jenny diam. Nunduk. Gua buang muka. Malu ANJING!!!

“Kalo pacaran itu ngapain nanti, Chan? Aku … enggak tau.”

“Jalan-jalan, nonton bioskop, makan bareng, liburan, banyak sih.”

“Tapi kita temenan, dan kita juga jalan-jalan bareng, makan bareng, liburan bareng, cuma belom pernah nonton bioskop aja? Apa bedanya sama temenan?”

ANJING GUA ENGGAK BISA JAWAB!!!!!!!!!

“Haechan, aku juga, suka sama Haechan. Sayang sama Haechan. Tapi sebenernya aku belom terlalu ngerti. Boleh enggak aku belajar dulu?”

HAH? APA ANJIR?? BELAJAR APA????

“Ya lagian enggak apa-apa kok enggak pacaran. Gua cuma—ya—biar lega aja kok.”

“Percuma juga enggak sih?”

“Apaan?”

“Aku enggak kuat kuliah di kampus Abang. Mau pindah. Ke luar negeri. Udah disetujuin sama Ayah, Buna, Bang Jae. Nanti tinggal di sana sama Bang Jun. Aku mau kasih tau ini ke kalian. Tapi tapi tapi—”

“Tapi apa?”

“Aku bakal ngehubungin kalian sering-sering kok.”

Gua kehabisan kata-kata. Apa? Apaan deh? Ke luar negeri? Tiba-tiba? Orang kaya suka aneh gini apa gua yang norak? Harusnya gua seneng enggak sih? Bisr gua bisa move on? Tapi apa-apaan anjing? Sedih banget? Dada gua sesek??? Ini apaan anjir? Kenapa gua kayak gini?

“Hae—”

“Iya, lu harus sering-sering ngehubungin ya Jen.”

“Iya….”

Gila Jen. Kayaknya move on dari lu enggak bakal segampang itu deh.

Kim Jungwoo

Part of Kita (Tidak) Bertepuk Tangan written by Khairunnisa Han

-o-

Bertemu dengan tidak sengaja, aku tidak tahu kita bisa begitu dekat. Bukankah aneh? Kita ternyata cocok satu sama lain. Kau mengerti apa yang kukatakan, dan aku mengerti apa yang kaukatakan. Wajahmu juga lucu, aku senang melihatnya. Kau tersenyum padaku, bagaimana mungkin aku tidak tersenyum kepadamu?

Hari kian berganti, aku tahu aku menghabiskan banyak waktu denganmu. Karena itu menyenangkan. Aku tidak lupa aku memiliki kekasih. Tapi kau tahu sendiri bukan kekasihku sibuknya seperti apa? Aku juga, cukup sibuk, dan bukan berarti kau tidak sibuk. Bedanya, kau meluangkan waktu untukku.

“Hari ini ke kampus pusat lagi?” tanyamu.

Aku menjawab, “Iya Woo. Nanti sore gua ada latihan SEF.”

“Jangan naik bus,” katamu, “gua yang anter. Nanti gua juga yang jemput. Bawa helm aja ya.”

Aku mengiyakan. Sementara kekasihku bahkan tidak membalas pesan dariku. Kim Jungwoo, bukankah kau terlalu baik untukku.

Malam ini pun, aku berada di belakangmu. Kau kembali mengantarkanku pulang. Setelah aku turun dan melepas helm, rencanaku hanya sekedar berpamitan denganmu. Namun rasanya kau tidak membiarkanku untuk sekedar berpamitan.

“Lu tuh cantik.”

“Hah?”

“Jin, lu tuh cantik. Tapi kalo lebih cantik dari ini, saingan gua nanti makin banyak. Beruntung ya, cowok yang bisa dapetin hatilu.”

“Apa sih, Woo?”

“Gua sayang samalu. Saking aja lu udah ada yang punya.”

“Woo—”

“Gua pamit ya, bye.”

Aku tidak bisa membalasmu dan hanya melihat motormu menjauh, hilang ditelan jarak. “Siapa pun cewek yang dapetinlu dia juga beruntung kok. Tapi bukan gua. Gua punya Jaehyun.”

Kemarin, Hari Ini, Esok

Part of Kita (Tidak) Bertepuk Tangan written by Khairunnisa Han

-o-

Mark, Lucas, dan Jinhee berkumpul di ruang tengah kos-kosan mereka. Di depan mereka masing-masing ada setumpuk buku, gawai, dan kopi. Jinhee menaikkan kakinya ke atas kursi, menekuknya dan membolak-balikkan buku demi menemukan topik yang sesuai. Sama halnya dengan Mark, bedanya, dia melihat layar ponselnya lekat-lekat. Nampaknya membaca jurnal. Lucas? Dia memandang langit-langit kosan, sedang memikirkan harus mengarang apalagi untuk tugasnya.

“Gua pernah cerita belom sih?” Keheningan di antara mereka buyar. Jinhee menurunkan kakinya dan menatap kedua temannya kemudian melanjutkan, “Soal Lee Taeyong.”

Lucas memandangi Jinhee dengan alis yang bertaut. “Enggak tuh,” jawabnya.

“Perasaan belom lama kita udah ngomongin Jaehyun deh. Siapa lagi coba? Lee Taeyong? Selingkuhanlu?” tanya Mark bertubi-tubi, dan sedikit menuduh.

Gadis itu tertawa kecil dan menggeleng. Bukan. “Jaehyun emang sekarang lagi ngeselin, tapi gua masih sayang sama dia. Gua lagi enggak mau ngomongin Jaehyun aja sih. Ini soal Lee Tae—”

“Siapa sih?” Lucas tampaknya tidak sabaran.

“Dibilang mantan juga, gimana ya. Gua sama Lee Taeyong enggak pernah pacaran. Cuma dia itu suka sama gua. Gua juga, suka sama dia. Apa namanya? Hubungan tanpa status? Ah, itu. Hubungan kayak gitu gua jalanin ada 2 tahunan kali ya. Terus dia hilang, maksud gua, hilangnya tuh tanpa ngasih tau dia ke mana. Kontaknya ganti kali, dia lupa ada gua.” Jinhee menjeda kalimatnya dengan tawa kecil. “Gua kangen aja tiba-tiba, sama Lee Taeyong. Walaupun sekarang gua punya Jaehyun dan udah pacaran 2 tahun sama dia, tetep aja, Lee Taeyong itu terlalu spesial. Hm, orang bilang cinta pertama itu selalu paling susah dilupain. Iya kan?”

Lucas menghela napasnya berat. Sementara Mark mendaratkan pukulan di paha Jinhee dengan sebuah buku tulis tipis. “Tau ah. Gua sama Lucas jomblo anjir mana tau rasanya kek lu gimana. Lu kan cowoknya banyak!”

“Banyak gimana sih?”

“Pacarlu Jung Jaehyun, kating di FEB. Terus lu punya tukang ojek yang siap nemeninlu ke mana aja, Kim Jungwoo dari FT. Nah, apa gua sama Lucas juga enggak mau diitung sekalian cowoklu nih??” Mark lagi-lagi mendaratkan pukulan kecil di paha Jinhee.

Lucas menyesap kopinya dengam cepat. “Kalo punya temen cewek cantik, kenalin dong. Gua bosen jomblo,” ujar Lucas. “Kalo jalan berdua mulu sama Mark nanti gua dikira gay. Nge-gay sama Mark is BIG NO.”

Mereka bercengkrama dan tertawa tentang ini dan itu, banyak hal. Jinhee benar-benar tidak tahu bagaimana dia tiba-tiba bisa memikirkan Lee Taeyong dalam otaknya. Kemarin, hari-hari yang telah lalu itu dilaluinya dengan Lee Taeyong. Sekarang, hari ini, hari-hari yang sedang berjalan diisinya bersama Jung Jaehyun. Sebanyak apa pun kekurangan Jung Jaehyun, perasaannya tak berubah. Sementara esok hari, entahlah dengan siapa dia akan menghabiskan harinya.

Malam, Kopi, dan ...

Part of NCT 95L, Perantauan, dan Kos-kosan Tua written by Khairunnisa Han

-o-

Selepas serangkaian kegiatan perkuliahan dan sebelum mereka tenggelam oleh tugas di kamarnya masing-masing, Taeyong, Yuta, dan Johnny menghabiskan sedikit waktu dengan mengobrol dan minum kopi di teras ditemani semilir angin malam. Masing-masing dari mereka menghela napas, menyesap kopi, dan menghela napas lagi.

“Gua enggak paham tugasnya,” tukas Yuta, lalu menyesap kopi lagi. “Capek juga gua minum kopi mulu, pengen tidur gua tuh.”

Johnny berdecih pelan. “Bro, lu mau tau? Gua minum kopi saban hari tidur mah tidur aja.” Dia menyesap kopinya lagi. Berpikir mungkin akan membuat secangkir lagi untuk menemani malamnya dengan tugas-tugas. “Udah kayak aer putih kopi tuh,” lanjutnya.

Sementara Taeyong memutar bola matanya. Lagi. “Enggak usah berantem kenapa sih perkara kopi doang,” katanya, dan rasanya enggan ingin meminum kopi lagi.

Mereka berbincang ini dan itu, banyak. Terkadang membicarakan adik tingkat yang manis, dilanjut dengan obrolan laki-laki pada umumnya.

“Bro,” kata Johnny, “western atau Jepang?”

Taeyong membulatkan matanya. Dalam hati dia berharap untuk tidak menjawab pertanyaan semacam ini. Sementara Yuta tersenyum kecil penuh makna dan menjawab, “Jepang lah. Imut soalnya Bro.”

“Gua tetep. Western,” kata Johnny.

Taeyong mengalihkan pandangannya. Tidak ingin menjawab. Bukannya dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan seperti itu. Lagipula, apa yang diharapkannya dari pikiran laki-laki? Ah, dirinya juga laki-laki.

Dari mengalihkan pandangannya itu, Taeyong melihat mata Yuta yang sejenak fokus pada satu titik. Matanya mengikuti pandangan Yuta dan dia mengetahui mengapa Yuta memandang titik itu dengan penuh perhatian. Sementara Johnny masih sibuk dengan haha-hihi setelah menjawab pertanyaannya sendiri.

Apa yang dilihat Yuta dan Taeyong?

How They Met Each Other

Part of NCT 95L, Perantauan, dan Kos-kosan Tua written by Khairunnisa Han

-o-

Mulai hari ini Yuta menempati kamar kosnya yang baru. Kos-kosan ini sudah tua, tapi bangunnya masih kokoh dan bagus. Sayangnya, memang tidak ada fasilitas kamar mandi dalam. Ya, kalau dilihat dari harga pun, patut untuk dimaklumi. Yang paling penting menurut Yuta saat ini adalah harga kamar kosnya masuk akal dan dapat dibayar per bulan.

Ketika selesai membereskan barang-barangnya, Yuta keluar dari kamar untuk menyapa tetangga kamarnya. Sebenarnya juga, mereka sudah saling kenal karena berada pada jurusan yang sama. Jadi, ya, sekedar main? Kurang lebih begitu yang Yuta pikirkan. Dia juga berharap, semoga kedatangannya tidak menganggu.

Tetangga kosnya, sekaligus teman sejurusannya yaitu Lee Taeyong dan John Suh (mereka memanggilnya Johnny). Sekarang ketiganya duduk di ruang makan yang ada di kos-kosan mereka.

Kos-kosan itu dari luar terlihat seperti rumah tua biasa. Tidak ada yang istimewa. Pepohonan di depannya rindang dan terlihat sejuk. Namun di saat yang bersamaan juga menimbulkan kesan gelap. Kamar mereka berada berdekatan. Kamar Taeyong tepat di samping kamar Yuta, dan kamar Johnny berada di depan kamar Yuta.

Ketiga sekarang sedang menikmati kopi yang baru saja mereka seduh. Tentunya kopi instan. Sebagai anak kos, uang harus mereka hemat dan membeli biji kopi adalah sebuah pemborosan. Meskipun Johnny bisa mengolah biji kopi itu sekalipun.

“Mau pesen makanan enggak?” tanya Johnny memecah keheningan mereka. “Sebentar lagi waktunya makan malem.”

“Masak aja gimana? Mama aku bawain sayur sama bumbu-bumbu soalnya,” sahut Taeyong.

Yuta menautkan kedua alisnya dan bertanya, “Lu bisa masak emangnya?”

“Bisa dong!” jawab Taeyong dengan bangga. “Kalo enggak enak, besok-besok gua enggak masak lagi. Janji.”

“Okay. No problem. Gas. Lumayan ngurangin pengeluaran, hehe.” Johnny menjawab, kemudian kembali menyesap kopinya.

Tidak. Tidak ada yang aneh pada kosan mereka. Sejauh ini, seperti itu. Entah esok hari bagaimana.