kr-han

Katanya, cinta pada pandangan pertama itu tidak ada. Tapi, cinta itu sesuatu yang tidak masuk akal jadi itu mungkin saja terjadi. Misalnya, saat kamu sedang minum kopi dengan temanmu di sebuah kafe sambil mengobrol santai, lalu ada seseorang dengan rambut berwarna biru yang tiba-tiba ‘mencuri’ temanmu darimu.

Seperti yang dirasakan oleh Johnny. Johnny tidak tahu cara pasti untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Mungkin, terpesona. Mungkin juga, jatuh cinta. Tapi itu akan terdengar aneh, bisa jadi justru gila. Jatuh cinta pada pandangan pertama itu harusnya tidak ada. Harusnya….

Johnny menyesap kopinya pelan sambil memperhatikan temannya yang mengobrol dengan si rambut biru mengenai sesuatu yang tidak terlalu dimengertinya. Namun apa yang dibicarakan terdengar seperti hal yang menyenangkan namun di saat bersamaan juga membingungkan di saat tertentu.

“Maaf ya, aku nyelak obrolan kalian. Urgent soalnya. Makasih ya udah mau pinjemin Ten,” kata si rambut biru dengan senyuman di wajahnya.

Mungkin, wajah Johnny terlihat agak memerah. “Ah, no problem,” jawabnya dengan canggung. Semakin Johnny memperhatikan, si rambut biru memiliki mata besar yang berbinar-binar seolah di dalamnya ada alam semesta lain yang Johnny tidak tahu.

Setelah si rambut biru itu pergi, Johnny menatap temannya dengan intens. “Ten,” katanya, “dia tadi … siapa namanya?”

“Hm?” Ten bergumam dengan alis yang terangkat sebelah. Dia memperhatikan wajah Johnny dengan seksama. “Lu naksir?” tanyanya yang langsung dibalas dengan pelolotan Johnny. “Namanya Lee Taeyong. Kalo mau kenalan—“

“Kenalin ke gue!”

“O—okay….”

Kamu tahu cinta yang manis dirasakan namun pahit saat ditelan? Mungkin kamu tahu, mungkin juga tidak. Tapi seseorang dengan gula kapas di atas kepalanya tahu dengan jelas bagaimana rasanya mencintai dan dicintai, namun begitu sakit bagi dirinya. Tapi dia hanya tahu rasanya saja, tidak tahu kenapa dia merasa seperti itu.

Dia mengenal seseorang yang begitu mencintainya dan begitu dicintainya. Sosok yang terlihat kuat namun sangat rapuh. Dia ingin mencintai orang itu selama yang dia bisa dan dia ingin terus mendapatkan cintanya. Tapi dia bingung, tidak mengerti apa yang harus dilakukannya agar semua itu terwujud.

Cinta adalah hal misterius yang mungkin tidak akan pernah sepenuhnya dimengerti. Dia menimbang-nimbang setiap hari mengenai keputusan hari ini dan esok sambil menyesali keputusannya kemarin. Berada di tengan kondisi dilematis membuatnya cemas akan apa yang akan terjadi hari ini dan bagaimana dia melaluinya, serta akan jadi apa hari esok. Semua kecemasan dan kebingungannya berasal dari cinta.

Hey Babe, can we talk?” Suaranya bergetar dan tangannya mengepal sangat erat demi menahan emosi. “It actually is,” jawabanya pelan. Telepon ditutup, dia menghela napas panjang dan merasa takut. Tapi ketakutan itu bagaimana pun harus dilaluinya.

Han turun dari ojek online yang mengantarkannya tepat di depan gerbang rumah Ale. Biasanya dia langsung masuk ke dalam seperti rumahnya sendiri. Namun langkahnya berhenti karena ada seorang laki-laki yang berdiri di depan gerbang sama sepertinya. Laki-laki itu sibuk menunduk menatap layar ponselnya dan Han melakukan hal yang sama.

“Nyari siapa Mas?” tanya Han dengan nada sesopan mungkin.

Laki-laki itu tersenyum dan berkata, “Lino.”

“Masnya … temennya Mas Lino?” tanyanya lagi.

Laki-laki itu menjawab lagi, “Iya.”

“Oh…. Mas Lino lagi ke Indoapril sih. Masuk ke dalem sama aku aja,” katanya. Berbicara kepada orang asing memang canggung sekali. Terlebih, jika orang asing itu adalah laki-laki.

Mereka memasuki rumah itu dengan langkah yang canggung. Ale pun menunggu di ruang tamu dengan sama canggungnya. Masalahnya, Ale belum berkenalan secara resmi dengan teman kakaknya itu. Dia bahkan tidak mengetahui namanya sama sekali.

“Oh, kenalin. Nama aku Chandra.” Laki-laki itu mengenalkan dirinya dengan cara yang sopan dan senyum tipis di wajahnya. “Aku temennya Lino, sekarang sih temen bisnis gitu. Kalian … namanya siapa?”

“Ale, adeknya Mas Ino.”

“Han, temennya Ale.”

Chandra mengangguk, Ale dan Han tersenyum canggung. Perkenalan antara ketiganya selesai dan mereka duduk di sofa tanpa berkata apa-apa lagi. Mereka bertiga tenggelam dalam layar ponsel masing-masing. Atmosfer yang canggung menggantung di antara mereka dan tidak begitu nyaman bagi mereka untuk duduk di situ berlama-lama.

“Kalian … masih kuliah ya?” tanya Chandra dengan pelan. Chandra sering mengobrol, tapi mungkin tidak sesering itu dengan perempuan. Kalau diingat-ingat dia lebih sering bicara dengan Lino. “Semester berapa?” Chandra melanjutkan pertanyaannya.

“Ale semester 7, udah akhir gitu lah. Kalo aku masih semester 5, tapi aku seumuran sama Ale. Cuman kuliahnya aja belakangan,” jawab Han.

Chandra mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. “Capek ya, kuliahnya?” tanyanya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. Terdengar seperti seorang kakak yang mengayomi dan mengerti beban yang ditanggung orang lain.

“Capek.” Ale menjawab dengan singkat. “Capek banget,” tambahnya lagi. Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya, tapi matanya yang berbicara. Matanya merah, sedikit bengkak, dan kosong. Tatapan mata yang memang betul menyatakan bahwa dia kelelahan.

Chandra melihat wajah Ale dan Han bergantian. Ale terlihat seperti orang yang menghabiskan malamnya dengan menangis, sementara Han terlihat seperti orang yang tidak memiliki cukup waktu tidur. Hal yang akrab dengannya dulu, karena Chandra tahu rasanya menjadi mahasiswa di tahun akhir perkuliahan.

Melihat kedua anak di depannya rasanya seperti berkaca kepada dirinya beberapa tahun lalu. Lelah, tugas yang menumpuk, dan skripsi yang sudah di depan mata. Kalau bisa, Chandra tidak ingin melihatnya lagi. Tapi hari ini, dia terpaksa berkaca kepada keputusasaan yang pernah dihadapinya sendiri.

Tidak mudah menjalani hidup. Akan selalu ada hal-hal yang ingin membuat seseorang berhenti dan menyerah. Chan pikir, mereka beruntung karena mereka memiliki satu sama lain. Setidaknya, ada orang yang mendukung mereka. Setidaknya, mereka sekarang masih tertawa kecil melalui bisikan-bisikan yang tidak ingin diperdengarkan kepadanya.

“GUA PULANG!!!”

Teriakan heboh terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu. Lino masuk ke dalam rumah dengan menenteng tas ramah lingkungan yang besar. Dia terlihat seperti membeli seluruh isi minimarket. Senyuman terpatri lebar di wajahnya. Tampaknya sangat bahagia.

“Eh ada Han,” kata Lino dengan nadanya yang jahil.

Han tersenyum kecil dan membalas, “Eh ada Mas Lino. Aku ke kamar sama Ale ya Mas…. Bye!” Han lalu menarik tangan Ale untuk menyelamatkan diri dari kecanggungan. Di kamar nanti, mereka bisa santai.

-o-

“Wah parah tadi awkward banget.” Han mengeluh, menghela napasnya panjang dengan tangan berkacak pinggang. “By the way, lu masih sedih? Mau cerita enggak hari ini?” tanyanya dengan nada yang lebih pelan dari bicaranya yang biasa.

Ale menghela napasnya panjang dan berat. Dia ingin bercerita, tapi tidak tahu dari mana. Mungkin Han juga sudah menduga apa yang akan diceritakannya. Tidak menutup perasaan bahwa Ale masih ingin menumpahkan semuanya yang membuat bahunya menjadi kaku dan berat.

“Mau pesen kopi sama toast dulu?” Han menawarkan.

“Boleh,” jawab Ale dengan suara yang pelan.

“Lu santai aja. Boleh cerita kalo lu mau dan lu siap. Kalo enggak, ya enggak apa-apa juga. Kalo lu masih mau nangis, lu boleh nangis. Kalo enggak mau nangis, ya udah enggak apa-apa. Kadang-kadang, kita emang bisa sedih dan nangis tanpa sebab dan itu normal. Itu wajar.” Di akhir kalimatnya, Han tersenyum. Dia tidak mungkin ikut menangis dalam situasi seperti ini.

“Rambut lu diwarnain sama siapa?” tanya Ale, mengalihkan topik.

“Mak gua. Ngapa?” balasnya.

Ale tersenyum kecil dan kemudian berkata, “Gue mau dong. Warna ijo.”

“Boleh, ntar ke rumah gua aja.”

Kadang kita tidak perlu memiliki banyak teman. Hanya satu, itu cukup. Selama teman yang kita pilih, betul-betul seorang teman yang menemani kita di saat terburuk dan ikut bahagia bersama kita di puncak kehidupan kita. Ale hanya punya Han, dan Han hanya pula Ale. Tapi meskipun mereka hanya berdua, itu cukup untuk mereka.

Pribahasa berkata, rumput tetangga terlihat hijau. Itu lucu karena dalam beberapa situasi, pribahasa itu terasa nyata dan lekat pada diri. Kenapa kita harus selalu melihat orang lain dan merasa kurang pada diri sendiri? Kenapa kita harus sedih terhadap apa yang orang lain capai dengan kerja kerasnya? _Seharusnya, kita ikut merasa senang. Namun rasa senang itu tidak tumbuh begitu saja dalam tubuh.

Ale memandang pantulan dirinya lagi di cermin. Semakin ditatap, semakin dia tidak ingin melihat. Lingkar hitam menggantung di bawah matanya dan semakin hari semakin hitam. Tidak bisa tidur sudah menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini. Ale memikirkan banyak hal. Contohnya, bagaimana teman-temannya sudah mulai melakukan penelitian sementara dirinya bahkan belum menemukan judul untuk skripsinya. Padahal, sudah dua bulan berlalu dan Ale masih termenung di kamarnya, bingung.

Ke mana lagi kaki harus melangkah? Mundur? Tidak mungkin. Maju? Tidak tahu bagaimana. Ale tidak tahu apa yang harus diajukan, apa yang harus ditulisnya supaya dosennya nanti mengaminkan dan dia bisa memulai penelitian dengan nyaman. Tapi, dia belum tahu apa-apa. Setiap kali dia merenung dia memikirkan sebetulnya apa yang dipelajarinya dari kuliahnya kalau menentukan judul skripsi saja masih belum bisa? Ale, untuk sekarang, belum tahu.

Sekarang ini, setidaknya kakinya dapat melangkah ke dapur untuk mengambil minum dan mengisi perutnya yang kosong. Dalam situasi seperti ini, Ale sangat tidak ingin bertemu dengan kakak laki-lakinya yang berisik. Hatinya berbisik semoga kakaknya sedang berada di luar atau di mana pun selama mereka tidak bertemu ketika Ale ingin mengisi perutnya yang kosong.

“Ale!”

Mimpi buruk terjadi.

“Ke luar juga lu. Abis bertapa?”

Ale menghela napasnya dan berkata, “Mas Ino bisa diem enggak? Aku lagi pusing tau.”

Namanya El Nino, panggilannya Lino dan Ino untuk Ale. Kesibukannya akhir-akhir ini adalah mengelola sebuah studio bersama temannya dan menjahili adiknya. “Ada temen Mas di depan, mau kenalan?” tanyanya. “Dia orangnya—“

“Enggak mau. Lagi capek. Bye.” Ale pergi meninggalkan kakaknya yang belum selesai dengan kalimatnya. Kakinya langsung menuju dapur sambil berdoa sekali lagi semoga saat dia kembali ke kamarnya, dia tidak harus bertemu dengan Lino.

“—ganteng lho.” Lino menghela napasnya panjang. Dia kenal tabiat adiknya jika sedang lelah. Jadi, sebetulnya tidak apa-apa. “Kebiasaan banget enggak dengerin orang ngomong sampe selesai.” Tapi dia tetap mengeluhkan hal itu.

Ale menyeduh teh panas dan meminumnya perlahan. Berharap bahwa pahitnya teh yang diminumya dapat menghayutkan perasaan pahit yang tertinggal di tenggorokan akibat perasaan iri yang terus dirasakannya. Ale mengutuk asam lambungnya yang mudah naik. Padahal kalau tidak begitu, dia bisa menikmati ice Americano ukuran large yang mungkin lebih pahit dari tehnya sekarang.

Melihat orang lain produktif membuat hatinya berdenyut sakit. Ale menginginkan hal itu tapi dia tidak mampu. Untuk sekarang, Ale tidak mampu. Dia ingin menangis setiap kali memikirkan hal ini. Tapi menangis tidak akan menghasilkan judul untuk diajukan. Tetap saja, Ale menangis. Tehnya ternyata tidak cukup pahit untuk menutupi pahit yang lainnya.

Hidup sebagai mahasiswa tingkat akhir yang masih belum mengerti harus melakukan apa benar-benar menyiksanya. Kalau seperti ini, dia tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Mungkin juga tidak ada yang akan menolongnya. Ale ingin kembali, setidaknya, ke semester awal kuliahnya dan akan memikirkan ulang untuk melanjutkan atau tidak. Sayangnya, dia tidak bisa kembali dan tidak akan bisa.

Ale mengangkat ponselnya, menempelkannya di telinga dan berkata, “Tolong gue…. Gue nangis lagi….”

Character Appearance: Johnny Suh and Ten Lee

Air kolam berpijar memantulkan cahaya lampu yang remang-remang, musik terdengar keras menyesakkan gendang telinga. Semua orang berteriak namun tidak ada yang terdengar jelas. Mereka sibuk berteriak satu sama lain sambil menyesap sampanye di tangan mereka. Berbicara satu sama lain dengan berteriak dan menggerakkan tubuh mereka mengikuti musik.

Kolam dalam ruangan itu terlihat penuh oleh mereka yang bersenang-senang. Tapi Johnny memilih untuk bersandar di kursi santai dan tidak berbaur. Tidak terdengar seperti dirinya, memang. Tapi itu karena dia belum lama ini baru turun dari pesawat dan pergi ke sini. Johnny memilih pergi ke pesta temannya karena dia tidak ingin langsung pulang.

Pesta itu akan diadakan semalam suntuk, Johnny tahu. Karena itu dia memilih menghabiskan malamnya di sana. Lagipula, dia juga tidak akan bisa tidur. Matanya sibuk menyapu ruangan dari sudut ke sudut. Mencari sesuatu yang mungkin menarik perhatiannya. Dia tidak menemukannya. Pesta yang tidak menyenangkan, tapi tidak buruk untuk menghabiskan waktu.

Dont you wanna dance?” Ten datang menghampiri Johnny. Dia yang mengadakan pesta dan mempersilakan Johnny bergabung alih-alih pulang. “Ill be super sad, ya know,” sambungnya. Ten berpikir untuk apa datang ke sebuah pesta kalau tidak bersenang-senang.

Can you just leave me alone?”

Whatever. Enjoy, I guess?”

Johnny memutar bola matanya dan memberikan isyarat untuk pergi dengan tangan. Ten meninggalkan Johnny dengan wajah kesal, padahal dia ingin memperkenalkan pacarnya pada Johnny atau paling tidak mengobrol sebentar karena mereka sudah lama tidak bertemu.

Mata Johnny masih menyapu ruangan yang luas itu. Mencari sesuatu atau seseorang yang mampu membuatnya beranjak dari posisi malasnya sekarang. Johnny hampir mengumpat kesal karena bosan, namun tidak karena dia melihat sepasang bola mata yang bulat dan berpendar. Terlihat seperti mata yang tidak memiliki dosa.

Dia memperhatikan orang itu dari jauh, dari rambut sampai ke mata kaki. “I’ve never seen him before. Ten’s got a very pretty friend.” Johnny kembali melihat sosok itu dan tenggelam dalam netra yang berpendar teduh seperti purnama.

Kakinya mengajaknya melangkah, dia ingin menghampiri orang yang dimaksudnya. Johnny ingat bahwa rambutnya berwarna biru dan dia adalah satu-satunya yang memiliki rambut berwarna biru. Namun mencarinya dalam keramaian adalah hal yang sulit. Tidak jarang dia harus menabrak seseorang.

Oh, sorry,” katanya ketika menabrak seseorang. “Have you seenoh nosorry, lu liat orang yang rambutnya biru enggak?”

“Hah?”

Orang-orang tidak mendengar suaranya.

Johnny kehilangan jejak.

.

.

.

.

.

To be continued….

Donghyuck tidak ingat kapan tepatnya dia diadopsi, kata Taeyong dia diadopsi saat usianya 4 tahun dan itu setahun setelah mereka mengadopsi Minhyung. Beruntung baginya, dia tidak mengingat apa pun di panti asuhan. Mungkin lebih tepatnya, Donghyuck kecil memilih untuk melupakan ingatan itu dan menggantinya dengan ingatan bersama keluarganya.

Bagian terburuk dari hidup Donghyuck bukanlah karena dia tidak diinginkan oleh orang tua biologisnya, siapa pun itu. Bukan juga karena dia tidak memiliki sosok ibu, atau kenyataan bahwa dia tidak jadi mendapatkan PC gaming yang diidam-idamkannya.

“Oi anak pungut!”

“Orang tua lu tuh enggak sayang sama lu makanya lu dibuang!”

“Najis orang tuanya kan gay!”

Bagian terburuk dari hidupnya adalah ini. Mendengarkan olok-olok yang tidak pernah berhenti di dengarnya sejak dia sekolah dasar. Donghyuck tahu kalau Johnny memintanya untuk menceritakan yang terjadi di sekolah. Tapi dia tidak ingin menceritakan hari-hari buruknya. Minhyung juga pernah berkata padanya, kalau ada yang bisa mereka urus sendiri mereka tidak akan merepotkan Johnny dan Taeyong.

Donghyuck menghela napasnya dengan berat. Olok-olokan itu tidak membuat para perisak puas. Di kelas, mereka masih melempari Donghyuck dengan kertas dan sampah, mencoret-coret meja Donghyuck dengan sumpah-serapah, mengambil barangnya dengan sengaja, dan lainnya. Donghyuck lelah, tapi dia tidak akan menambahkan bebannya menjadi beban orang tuanya.

“Pinjem dong!” ujar salah satu dari mereka ketika mengambil switch dengan paksa dari tangan Donghyuck. “Lu anak pungut tapi barang-barang lu bagus-bagus banget sih. Orang tua angkatlu pasti sayang banget ya? Kalo gitu ini switch buat gua aja. Lu kan bisa minta lagi.”

Sungguh, Donghyuck lelah. “Balikin.” Donghyuck menatap langsung mata si perisak sambil menegadahkan tangannya. “Balikin punya gua,” ulangnya. “Orang tua kandunglu pasti terpaksa banget ya punya anak kayak lu? Sampe lu kepengen switch aja mereka enggak tahu. Apa enggak mau tahu?”

“Apa?”

“Masalahnya,” kata Donghyuck dengan pelan, “itu punya gua dan yang beliin papa gua. Jadi balikin. Papa gua beli switch bukan buat lu yang mainin.”

“Lu bilang apa tadi? Orang tua gua enggak sayang gitu maksud lu?”

“Iya.”

Bagian terburuk hidup Donghyuck boleh jadi adalah perisakan yang dialaminya. Tapi tidak begitu buruk karena selalu ada orang-orang yang mau mendengarkannya, yaitu teman-temannya. Orang yang menyahuti si perisak tadi adalah Renjun, salah satu dari teman-temannya.

“Jangan macem-macem lu kalo enggak mau digebuk Jeno!” Renjun bicara lagi dengan nada yang lebih galak. Sementara Jeno di belakangnya hanya melambai dengan senyuman kecil. “Balikin punya Hyuck buruan!” lanjutnya.

Donghyuck tertawa kecil. Teman-temannya selalu datang di saat yang tepat. Itu sebabnya dia juga tidak begitu perlu memberitahukan orang tuanya. “Biarin deh. Kasian dia enggak dibeliin sama orang tuanya. Gua nanti bisa minta lagi sama Papa kok.”

“Mending jangan macem-macem deh,” kata Jaemin, “kalian enggak tahu ya kalo donatur terbesar yayasan sekolah kita tuh papanya Hyuck?”

“NANA!” Jeno, Donghyuck, dan Renjun berteriak bersamaan.

Jaemin menatap temannya dengan mata yang bingung. “Kenapa? Emangnya enggak boleh dikasih tahu ya? Mau sampe kapan ditutupin? Kalo enggak diomongin gitu nanti Hyuck diganggu terus kayak waktu SMP.”

Donghyuck sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dengan hal itu. Dia tahu papanya memang melakukan apa saja untuk kebahagiaannya, tapi Donghyuck tidak merasa perlu untuk semua orang mengetahui hal itu. “Ya, gitu deh pokoknya. Denger kan? Tapi tenang, papa gua yang gay itu orangnya baik kok.” Donghyuck mengatakannya dengan senyumannya.

Tidak sekali pun Donghyuck malu dengan fakta mengenai orang tuanya. Benar bahwa dia adalah anak adopsi dan benar bahwa orang tuanya adalah gay. Sama seperti saudara-saudaranya, Johnny dan Taeyong tidak pernah berhenti mengingatkan bahwa mereka berbeda dan mungkin akan mengalami kesulitan. Apa yang dilaluinya sekarang tepat seperti yang mereka katakan.

“Oh ya,” kata Donghyuck, “gua emang diadopsi kok. Lagian emang laki-laki enggak bisa hamil. Jadi papa sama papi gua adopsi anak. Itu bener. Bener juga soal gua dibuang, tapi gua enggak peduli sama orang tua biologis gua yang enggak becus. At least gua punya orang tua yang bertanggung jawab sekarang. Orang tua gua milih gua untuk jadiin gua anak mereka. Sementara orang tualu itu enggak bisa milih punya anak kayak lu. Kasian deh … orang tualu.”

Mereka berempat keluar dari ruangan kelas. Mungkin setelah ini perisak itu tidak akan mengganggu Donghyuck lagi. “Kalo ganggu lagi besok-besok aduin aja sama kepsek langsung,” kata Jeno.

“Iya sih, lagian juga paling lu yang menang,” sahut Renjun.

“Enggak usah. Kasian Papa udah sibuk sama kerjaan…. Papa enggak perlu repot ngurusin masalah gua.”

“Papa enggak lihat itu deh.” Johnny yang tiba-tiba masuk ke kamar Donghyuck sibuk mengabsen satu per satu barang yang ada di kamar itu. “Switch yang sebulan lalu Papa beliin kok berapa hari ini enggak keliatan? Ke mana? Rusak? Ilang? Biasanya kalo ada apa-apa Kakak ngerengek minta dibeliin yang baru—“

“Paaa … bisa enggak sih kalo masuk kamar Kakak ketok pintu dulu?” Donghyuck mengeluh dengan kehadiran Johnny di kamarnya.

Johnny menggeleng dan berkata, “Enggak … Papa cuma mau tau switch kamu ke mana?” Johnny menunggu jawaban dari anak tengahnya. Tapi melihat raut wajah Donghyuck, Johnny menghela napasnya pelan. “Papi kamu udah siapin makan malem. Keluar yuk, makan. Ceritain sama Papa dan Papi ada apa sama kamu di SMA.”

Ajakan makan malam itu tidak bisa ditolaknya. Makan malam berlangsung hening. Tidak ada yang berani bicari. Taeyong memberikan sinyal kepada anak-anaknya untuk tidak bersuara. Kemudian setelah selesai makan, Taeyong berkata, “Abang sama Adek masuk kamar dulu. Nanti, habis Papa sama Papi ngomong sama Kakak. Papa sama Papi juga mau ngomong sama kalian satu-satu.”

Datang lagi hal yang tidak bisa dihindarinya. Donghyuck mau tidak mau menceritakan semuanya, bagian terburuk sampai terbaik. “Tapi Kakak beneran enggak apa-apa kok. Temen Kakak semuanya baik makanya Kakak enggak apa-apa. Enggak ada main fisik juga—“

But still….” Johnny tidak dapat melanjutkan kalimatnya. “Yong, kamu lanjutin. Aku enggak tahu mau ngomong apa. Aku mau bikin kopi aja.”

“Suh Donghyuck, Kakak, Papa dan Papi bukan orang asing. Papa sama Papi itu orang tua Kakak. Makanya, masalah Kakak itu bukan masalah orang lain. Masalah Kakak itu juga masalahnya Papa sama Papi.” Taeyong menjeda kalimatnya. Dia melihat anak tengahnya dengan senyuman tipis di wajahnya. “Kalo Kakak punya masalah, cerita ya. Papi enggak minta kamu langsung cerita. Tapi Papa sama Papi cuma enggak mau kalo kita tahu masalah Kakak justru dari orang ketiga.”

“Iya Pi….” Donghyuck menunduk dalam-dalam, menahan air matanya untuk tidak jatuh. Inilah mengapa dia tidak pernah menyesal. Karena orang tuanya adalah orang tua terbaik yang bahkan dia tidak berani bayangkan sebelumnya. “Tapi, dari mana Papa sama Papi bisa tahu soal Kakak di sekolah?”

“Orang dalem,” jawab Johnny.

“Oh iya, Kakak lupa. Hehe.”

Donghyuck tidak ingat kapan tepatnya dia diadopsi, kata Taeyong dia diadopsi saat usianya 4 tahun dan itu setahun setelah mereka mengadopsi Minhyung. Beruntung baginya, dia tidak mengingat apa pun di panti asuhan. Mungkin lebih tepatnya, Donghyuck kecil memilih untuk melupakan ingatan itu dan menggantinya dengan ingatan bersama keluarganya.

Bagian terburuk dari hidup Donghyuck bukanlah karena dia tidak diinginkan oleh orang tua biologisnya, siapa pun itu. Bukan juga karena dia tidak memiliki sosok ibu, atau kenyataan bahwa dia tidak jadi mendapatkan PC gaming yang diidam-idamkannya.

“Oi anak pungut!”

“Orang tua lu tuh enggak sayang sama lu makanya lu dibuang!”

“Najis orang tuanya kan gay!”

Bagian terburuk dari hidupnya adalah ini. Mendengarkan olok-olok yang tidak pernah berhenti di dengarnya sejak dia sekolah dasar. Donghyuck tahu kalau Johnny memintanya untuk menceritakan yang terjadi di sekolah. Tapi dia tidak ingin menceritakan hari-hari buruknya. Minhyung juga pernah berkata padanya, kalau ada yang bisa mereka urus sendiri mereka tidak akan merepotkan Johnny dan Taeyong.

Donghyuck menghela napasnya dengan berat. Olok-olokan itu tidak membuat para perisak puas. Di kelas, mereka masih melempari Donghyuck dengan kertas dan sampah, mencoret-coret meja Donghyuck dengan sumpah-serapah, mengambil barangnya dengan sengaja, dan lainnya. Donghyuck lelah, tapi dia tidak akan menambahkan bebannya menjadi beban orang tuanya.

“Pinjem dong!” ujar salah satu dari mereka ketika mengambil switch dengan paksa dari tangan Donghyuck. “Lu anak pungut tapi barang-barang lu bagus-bagus banget sih. Orang tua angkatlu pasti sayang banget ya? Kalo gitu ini switch buat gua aja. Lu kan bisa minta lagi.”

Sungguh, Donghyuck lelah. “Balikin.” Donghyuck menatap langsung mata si perisak sambil menegadahkan tangannya. “Balikin punya gua,” ulangnya. “Orang tua kandunglu pasti terpaksa banget ya punya anak kayak lu? Sampe lu kepengen switch aja mereka enggak tahu. Apa enggak mau tahu?”

“Apa?”

“Masalahnya,” kata Donghyuck dengan pelan, “itu punya gua dan yang beliin papa gua. Jadi balikin. Papa gua beli switch bukan buat lu yang mainin.”

“Lu bilang apa tadi? Orang tua gua enggak sayang gitu maksud lu?”

“Iya.”

Bagian terburuk hidup Donghyuck boleh jadi adalah perisakan yang dialaminya. Tapi tidak begitu buruk karena selalu ada orang-orang yang mau mendengarkannya, yaitu teman-temannya. Orang yang menyahuti si perisak tadi adalah Renjun, salah satu dari teman-temannya.

“Jangan macem-macem lu kalo enggak mau digebuk Jeno!” Renjun bicara lagi dengan nada yang lebih galak. Sementara Jeno di belakangnya hanya melambai dengan senyuman kecil. “Balikin punya Hyuck buruan!” lanjutnya.

Donghyuck tertawa kecil. Teman-temannya selalu datang di saat yang tepat. Itu sebabnya dia juga tidak begitu perlu memberitahukan orang tuanya. “Biarin deh. Kasian dia enggak dibeliin sama orang tuanya. Gua nanti bisa minta lagi sama Papa kok.”

“Mending jangan macem-macem deh,” kata Jaemin, “kalian enggak tahu ya kalo donatur terbesar yayasan sekolah kita tuh papanya Hyuck?”

“NANA!” Jeno, Donghyuck, dan Renjun berteriak bersamaan.

Jaemin menatap temannya dengan mata yang bingung. “Kenapa? Emangnya enggak boleh dikasih tahu ya? Mau sampe kapan ditutupin? Kalo enggak diomongin gitu nanti Hyuck diganggu terus kayak waktu SMP.”

Donghyuck sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dengan hal itu. Dia tahu papanya memang melakukan apa saja untuk kebahagiaannya, tapi Donghyuck tidak merasa perlu untuk semua orang mengetahui hal itu. “Ya, gitu deh pokoknya. Denger kan? Tapi tenang, papa gua yang gay itu orangnya baik kok.” Donghyuck mengatakannya dengan senyumannya.

Tidak sekali pun Donghyuck malu dengan fakta mengenai orang tuanya. Benar bahwa dia adalah anak adopsi dan benar bahwa orang tuanya adalah gay. Sama seperti saudara-saudaranya, Johnny dan Taeyong tidak pernah berhenti mengingatkan bahwa mereka berbeda dan mungkin akan mengalami kesulitan. Apa yang dilaluinya sekarang tepat seperti yang mereka katakan.

“Oh ya,” kata Donghyuck, “gua emang diadopsi kok. Lagian emang laki-laki enggak bisa hamil. Jadi papa sama papi gua adopsi anak. Itu bener. Bener juga soal gua dibuang, tapi gua enggak peduli sama orang tua biologis gua yang enggak becus. At least gua punya orang tua yang bertanggung jawab sekarang. Orang tua gua milih gua untuk jadiin gua anak mereka. Sementara orang tualu itu enggak bisa milih punya anak kayak lu. Kasian deh … orang tualu.”

Mereka berempat keluar dari ruangan kelas. Mungkin setelah ini perisak itu tidak akan mengganggu Donghyuck lagi. “Kalo ganggu lagi besok-besok aduin aja sama kepsek langsung,” kata Jeno.

“Iya sih, lagian juga paling lu yang menang,” sahut Renjun.

“Enggak usah. Kasian Papa udah sibuk sama kerjaan…. Papa enggak perlu repot ngurusin masalah gua.”

“Papa enggak lihat itu deh.” Johnny yang tiba-tiba masuk ke kamar Donghyuck sibuk mengabsen satu per satu barang yang ada di kamar itu. “Switch yang sebulan lalu Papa beliin kok berapa hari ini enggak keliatan? Ke mana? Rusak? Ilang? Biasanya kalo ada apa-apa Kakak ngerengek minta dibeliin yang baru—“

“Paaa … bisa enggak sih kalo masuk kamar Kakak ketok pintu dulu?” Donghyuck mengeluh dengan kehadiran Johnny di kamarnya.

Johnny menggeleng dan berkata, “Enggak … Papa cuma mau tau switch kamu ke mana?” Johnny menunggu jawaban dari anak tengahnya. Tapi melihat raut wajah Donghyuck, Johnny menghela napasnya pelan. “Papi kamu udah siapin makan malem. Keluar yuk, makan. Ceritain sama Papa dan Papi ada apa sama kamu di SMA.”

Ajakan makan malam itu tidak bisa ditolaknya. Makan malam berlangsung hening. Tidak ada yang berani bicari. Taeyong memberikan sinyal kepada anak-anaknya untuk tidak bersuara. Kemudian setelah selesai makan, Taeyong berkata, “Abang sama Adek masuk kamar dulu. Nanti, habis Papa sama Papi ngomong sama Kakak. Papa sama Papi juga mau ngomong sama kalian satu-satu.”

Datang lagi hal yang tidak bisa dihindarinya. Donghyuck mau tidak mau menceritakan semuanya, bagian terburuk sampai terbaik. “Tapi Kakak beneran enggak apa-apa kok. Temen Kakak semuanya baik makanya Kakak enggak apa-apa. Enggak ada main fisik juga—“

But still….” Johnny tidak dapat melanjutkan kalimatnya. “Yong, kamu lanjutin. Aku enggak tahu mau ngomong apa. Aku mau bikin kopi aja.”

“Suh Donghyuck, Kakak, Papa dan Papi bukan orang asing. Papa sama Papi itu orang tua Kakak. Makanya, masalah Kakak itu bukan masalah orang lain. Masalah Kakak itu juga masalahnya Papa sama Papi.” Taeyong menjeda kalimatnya. Dia melihat anak tengahnya dengan senyuman tipis di wajahnya. “Kalo Kakak punya masalah, cerita ya. Papi enggak minta kamu langsung cerita. Tapi Papa sama Papi cuma enggak mau kalo kita tahu masalah Kakak justru dari orang ketiga.”

“Iya Pi….” Donghyuck menunduk dalam-dalam, menahan air matanya untuk tidak jatuh. Inilah mengapa dia tidak pernah menyesal. Karena orang tuanya adalah orang tua terbaik yang bahkan dia tidak berani bayangkan sebelumnya. “Tapi, dari mana Papa sama Papi bisa tahu soal Kakak di sekolah?”

“Orang dalem,” jawab Johnny.

“Oh iya, Kakak lupa. Hehe.”

# Tentang Abang

Tumbuh dewasa ternyata berbeda dengan yang Taeyong bayangkan. Taeyong pikir, menua berdua dengan Johnny sudah cukup baginya. Tapi tidak seperti itu. Mengingat hari-hari yang sudah lalu, mereka selalu menjadi mahasiswa yang bahagia, lulus dengan bangga, bekerja dengan harga diri yang tinggi, dan sekarang Taeyong memilih untuk berhenti bekerja karena pekerjaan Johnny sudah cukup menutup seluruh kebutuhan mereka.

Taeyong bisa saja pergi ke luar dan menghabiskan waktunya sendiri, tapi itu tidak begitu menyenangkan sekarang. Dia memikirkan dengan keras bagaimana dia bisa mengisi hari-harinya yang abu-abu. “Oh….” Taeyong bergumam kecil sambil mengelap kompornya. “Tunggu Johnny pulang dulu deh.”

Suara pintu yang terbuka terdengar pelan, Taeyong bergegas pergi ke depan pintu untuk menyambut suaminya pulang. “Johnny!” panggilnya dengan antusias. “Johnny, denger, aku—“

Wait, wait, wait, aku ganti baju dulu ya.”

“Oh, okay.”

Johnny mengganti setelannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Dia duduk di samping Taeyong dan merangkul suaminya seperti biasa. “Jadi, ada apa?” tanyanya dengan lembut. Dia masih ingat antusiasme Taeyong beberapa menit yang lalu dan Johnny yakin bahwa Taeyong memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan padanya.

“Aku mau punya anak,” kata Taeyong. “Akhir-akhir ini aku bosen di rumah, bosen belanja sendiri, Doyoung sibuk kerja, semua orang kerja. Sebenernya salah aku sih berhenti kerja, ternyata di rumah bosen. Jangan ngomongin art and craft¬ lagi, aku juga udah bosen. Terus, aku pikir, aku mau punya anak.”

Setelah mendengar penuturan Taeyong, Johnny terdiam untuk beberapa saat. Ada beberapa cara agar mereka bisa memiliki keturunan dan Johnny tidak yakin apa yang akan dipilih oleh Taeyong. Tapi di samping itu, Johnny lebih memikirkan masa depan calon anak mereka nanti. Salahnya sendiri karena tidak membicarakan soal anak sebelum mereka menikah.

“Kita bisa cari surrogate mother sebenernya, atau adopsi. Aku enggak tahu mana yang kamu mau.”

“Adopsi aja,” jawab Taeyong dengan cepat. “Ada banyak anak-anak yang terlantar, jadi kita bantu mereka aja.” Taeyong menatap Johnny yang tampak penuh dengan asumsi-asumsi yang muncul di benaknya. “Aku tahu apa yang kamu pikirin,” kata Taeyong, “kamu mikirin kata-kata orang soal anak yang tumbuh sama orang tua gay kan?”

Seharusnya, tidak ada yang menakutkan bagi mereka. Tapi di antara semua hal-hal yang menakutkan, asumsi-asumsi yang dibuat oleh manusia adalah yang paling menakutkan. Mereka tidak akan pernah terbiasa. Hidup sebagai pasangan sesama jenis saja sudah cukup sulit untuk mereka, apalagi harus memiliki anak.

“Kita pikirin pelan-pelan ya,” ucap Johnny sambil menarik Taeyong lebih erat dengan rangkulannya. “Aku enggak mau kalo anak kita harus ngalamin hal-hal yang gak menyenangkan. Kalo kita punya anak, kita harus pastiin dia bahagia.”

Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan. Tapi pada akhirnya mereka menghabiskan hari demi hari berkunjung dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya sampai menemukan anak yang cocok dengan mereka. Taeyong menginginkan anak yang usianya sudah cukup besar dengan kemungkinan lebih mudah untuk diajak bicara dan Johnny menyetejuinya.

Mereka menghabiskan satu tahun untuk menemukan anak yang tepat. Sampai mereka datang ke panti asuhan yang tepat dan anak yang tepat. Mereka juga menghabiskan tiga bulan penuh untuk meyakinkan anak yang akan mereka adopsi sampai akhirnya mereka berani bertanya kepada anak itu, “Minhyung, kamu mau jadi anak kami?”


Lee Minhyung tumbuh selama 8 tahun tanpa orang tua, tapi dia tumbuh dengan bahagia di panti asuhan bersama teman-temannya. Pengasuh di panti asuhan mengatakan bahwa Minhyung ditemukan di depan gereja. Tidak ada yang tahu siapa orang tuanya dan Minhyung tidak lagi mencoba mencari karena tidak berguna.

Sudah berkali-kali orang tua yang ingin mengadopsi datang ke panti asuhan. Tapi anak-anak yang lebih kecil lebih disukai dibanding dirinya. Minhyung belajar untuk menurunkan impiannya diadopsi. Dia belajar untuk tidak memimpikan sebuah keluarga yang bahagia. Juga, belajar untuk melupakan kemungkinan betapa bahagia dirinya jika mendapat kesempatan memanggil seseorang dengan ayah dan ibu.

Minhyung hampir kehilangan impiannya sampai sepasang suami dan suami menghampirinya dan mengajaknya berbicara. Minhyung baru tahu kalau dua laki-laki ternyata bisa menikah berkat mereka. Nama mereka adalah Johnny Suh dan Lee Taeyong, salah satunya memiliki nama yang sama dengannya. Sementara yang satu lagi terlihat sangat tinggi dan kuat.

Menurutnya aneh melihat mereka dua. Tapi seiring berjalannya waktu mereka menjadi akrab dan banyak bicara. Lee Taeyong adalah orang yang menyenangkan dan berbakat dalam membuat camilan-camilan yang lezat. Minhyung menyukai semua camilan yang dibuat oleh Taeyong. Sementara Johnny Suh adalah orang yang tahu segalanya, setiap Minhyung bertanya dia pasti bisa menjawabnya.

Mereka berdua dapat menjadi orang tua yang keren, Minhyung pikir begitu.

“Minhyung, kamu mau jadi anak kami?” Taeyong yang bertanya dengan senyuman dan matanya yang berbinar.

Minhyung tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu akhirnya dapat didengarnya. Dia mengangguk dengan cepat sebagai balasan. Dalam hatinya yang terdalam, Minhyung benar-benar bersyukur dapat menemukan orang tuanya.

“Minhyung,” panggil Johnny dengan pelan. Johnny berjongkok, berusaha menyejajarkan dirinya dengan Minhyung. “Kamu tahu, aku dan Taeyong berbeda dengan yang lain. Kami laki-laki dan laki-laki. Kalo kamu jadi anak kami, ada kemungkinan kamu bakal dicap aneh punya orang tua gay. Kamu … enggak masalah?”

“Aku enggak masalah kok. Orang tua aku kan keren.”

Orang tua aku kan keren.

Johnny bukan orang yang mudah menangis, tapi dia menangis mendengar kalimat polos itu keluar dari mulut Minhyung. Tangannya meraih Minhyung dan membawanya ke dalam dekapan yang hangat. “Aku habis ini bakal ngurus berkas-berkas adopsi kamu. Mulai sekarang, kamu harus panggil aku Papa.”

“Kalo aku Papi.”

Memang bukan panggilan ayah dan ibu seperti yang Minhyung impikan sebelumnya. Tapi papa dan papi terdengar jauh lebih keren. Dia belajar satu hal lagi, bahwa hidupnya mungkin tidak akan mudah ke depannya. Tapi dalam hatinya yang terdalam, Minhyung berjanji tidak akan pernah menyesali pilihannya untuk menjadi anak dari Johnny Suh dan Lee Taeyong.

.

.

.


p.s. this gonna need part 2! wdyt?

# Tentang Abang

Tumbuh dewasa ternyata berbeda dengan yang Taeyong bayangkan. Taeyong pikir, menua berdua dengan Johnny sudah cukup baginya. Tapi tidak seperti itu. Mengingat hari-hari yang sudah lalu, mereka selalu menjadi mahasiswa yang bahagia, lulus dengan bangga, bekerja dengan harga diri yang tinggi, dan sekarang Taeyong memilih untuk berhenti bekerja karena pekerjaan Johnny sudah cukup menutup seluruh kebutuhan mereka.

Taeyong bisa saja pergi ke luar dan menghabiskan waktunya sendiri, tapi itu tidak begitu menyenangkan sekarang. Dia memikirkan dengan keras bagaimana dia bisa mengisi hari-harinya yang abu-abu. “Oh….” Taeyong bergumam kecil sambil mengelap kompornya. “Tunggu Johnny pulang dulu deh.”

Suara pintu yang terbuka terdengar pelan, Taeyong bergegas pergi ke depan pintu untuk menyambut suaminya pulang. “Johnny!” panggilnya dengan antusias. “Johnny, denger, aku—“

Wait, wait, wait, aku ganti baju dulu ya.”

“Oh, okay.”

Johnny mengganti setelannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Dia duduk di samping Taeyong dan merangkul suaminya seperti biasa. “Jadi, ada apa?” tanyanya dengan lembut. Dia masih ingat antusiasme Taeyong beberapa menit yang lalu dan Johnny yakin bahwa Taeyong memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan padanya.

“Aku mau punya anak,” kata Taeyong. “Akhir-akhir ini aku bosen di rumah, bosen belanja sendiri, Doyoung sibuk kerja, semua orang kerja. Sebenernya salah aku sih berhenti kerja, ternyata di rumah bosen. Jangan ngomongin art and craft¬ lagi, aku juga udah bosen. Terus, aku pikir, aku mau punya anak.”

Setelah mendengar penuturan Taeyong, Johnny terdiam untuk beberapa saat. Ada beberapa cara agar mereka bisa memiliki keturunan dan Johnny tidak yakin apa yang akan dipilih oleh Taeyong. Tapi di samping itu, Johnny lebih memikirkan masa depan calon anak mereka nanti. Salahnya sendiri karena tidak membicarakan soal anak sebelum mereka menikah.

“Kita bisa cari surrogate mother sebenernya, atau adopsi. Aku enggak tahu mana yang kamu mau.”

“Adopsi aja,” jawab Taeyong dengan cepat. “Ada banyak anak-anak yang terlantar, jadi kita bantu mereka aja.” Taeyong menatap Johnny yang tampak penuh dengan asumsi-asumsi yang muncul di benaknya. “Aku tahu apa yang kamu pikirin,” kata Taeyong, “kamu mikirin kata-kata orang soal anak yang tumbuh sama orang tua gay kan?”

Seharusnya, tidak ada yang menakutkan bagi mereka. Tapi di antara semua hal-hal yang menakutkan, asumsi-asumsi yang dibuat oleh manusia adalah yang paling menakutkan. Mereka tidak akan pernah terbiasa. Hidup sebagai pasangan sesama jenis saja sudah cukup sulit untuk mereka, apalagi harus memiliki anak.

“Kita pikirin pelan-pelan ya,” ucap Johnny sambil menarik Taeyong lebih erat dengan rangkulannya. “Aku enggak mau kalo anak kita harus ngalamin hal-hal yang gak menyenangkan. Kalo kita punya anak, kita harus pastiin dia bahagia.”

Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan. Tapi pada akhirnya mereka menghabiskan hari demi hari berkunjung dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya sampai menemukan anak yang cocok dengan mereka. Taeyong menginginkan anak yang usianya sudah cukup besar dengan kemungkinan lebih mudah untuk diajak bicara dan Johnny menyetejuinya.

Mereka menghabiskan satu tahun untuk menemukan anak yang tepat. Sampai mereka datang ke panti asuhan yang tepat dan anak yang tepat. Mereka juga menghabiskan tiga bulan penuh untuk meyakinkan anak yang akan mereka adopsi sampai akhirnya mereka berani bertanya kepada anak itu, “Minhyung, kamu mau jadi anak kami?”


Lee Minhyung tumbuh selama 8 tahun tanpa orang tua, tapi dia tumbuh dengan bahagia di panti asuhan bersama teman-temannya. Pengasuh di panti asuhan mengatakan bahwa Minhyung ditemukan di depan gereja. Tidak ada yang tahu siapa orang tuanya dan Minhyung tidak lagi mencoba mencari karena tidak berguna.

Sudah berkali-kali orang tua yang ingin mengadopsi datang ke panti asuhan. Tapi anak-anak yang lebih kecil lebih disukai dibanding dirinya. Minhyung belajar untuk menurunkan impiannya diadopsi. Dia belajar untuk tidak memimpikan sebuah keluarga yang bahagia. Juga, belajar untuk melupakan kemungkinan betapa bahagia dirinya jika mendapat kesempatan memanggil seseorang dengan ayah dan ibu.

Minhyung hampir kehilangan impiannya sampai sepasang suami dan suami menghampirinya dan mengajaknya berbicara. Minhyung baru tahu kalau dua laki-laki ternyata bisa menikah berkat mereka. Nama mereka adalah Johnny Suh dan Lee Taeyong, salah satunya memiliki nama yang sama dengannya. Sementara yang satu lagi terlihat sangat tinggi dan kuat.

Menurutnya aneh melihat mereka dua. Tapi seiring berjalannya waktu mereka menjadi akrab dan banyak bicara. Lee Taeyong adalah orang yang menyenangkan dan berbakat dalam membuat camilan-camilan yang lezat. Minhyung menyukai semua camilan yang dibuat oleh Taeyong. Sementara Johnny Suh adalah orang yang tahu segalanya, setiap Minhyung bertanya dia pasti bisa menjawabnya.

Mereka berdua dapat menjadi orang tua yang keren, Minhyung pikir begitu.

“Minhyung, kamu mau jadi anak kami?” Taeyong yang bertanya dengan senyuman dan matanya yang berbinar.

Minhyung tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu akhirnya dapat didengarnya. Dia mengangguk dengan cepat sebagai balasan. Dalam hatinya yang terdalam, Minhyung benar-benar bersyukur dapat menemukan orang tuanya.

“Minhyung,” panggil Johnny dengan pelan. Johnny berjongkok, berusaha menyejajarkan dirinya dengan Minhyung. “Kamu tahu, aku dan Taeyong berbeda dengan yang lain. Kami laki-laki dan laki-laki. Kalo kamu jadi anak kami, ada kemungkinan kamu bakal dicap aneh punya orang tua gay. Kamu … enggak masalah?”

“Aku enggak masalah kok. Orang tua aku kan keren.”

Orang tua aku kan keren.

Johnny bukan orang yang mudah menangis, tapi dia menangis mendengar kalimat polos itu keluar dari mulut Minhyung. Tangannya meraih Minhyung dan membawanya ke dalam dekapan yang hangat. “Aku habis ini bakal ngurus berkas-berkas adopsi kamu. Mulai sekarang, kamu harus panggil aku Papa.”

“Kalo aku Papi.”

Memang bukan panggilan ayah dan ibu seperti yang Minhyung impikan sebelumnya. Tapi papa dan papi terdengar jauh lebih keren. Dia belajar satu hal lagi, bahwa hidupnya mungkin tidak akan mudah ke depannya. Tapi dalam hatinya yang terdalam, Minhyung berjanji tidak akan pernah menyesali pilihannya untuk menjadi anak dari Johnny Suh dan Lee Taeyong.

.

.

.


p.s. this gonna need part 2! wdyt?

Tumbuh dewasa ternyata berbeda dengan yang Taeyong bayangkan. Taeyong pikir, menua berdua dengan Johnny sudah cukup baginya. Tapi tidak seperti itu. Mengingat hari-hari yang sudah lalu, mereka selalu menjadi mahasiswa yang bahagia, lulus dengan bangga, bekerja dengan harga diri yang tinggi, dan sekarang Taeyong memilih untuk berhenti bekerja karena pekerjaan Johnny sudah cukup menutup seluruh kebutuhan mereka.

Taeyong bisa saja pergi ke luar dan menghabiskan waktunya sendiri, tapi itu tidak begitu menyenangkan sekarang. Dia memikirkan dengan keras bagaimana dia bisa mengisi hari-harinya yang abu-abu. “Oh….” Taeyong bergumam kecil sambil mengelap kompornya. “Tunggu Johnny pulang dulu deh.”

Suara pintu yang terbuka terdengar pelan, Taeyong bergegas pergi ke depan pintu untuk menyambut suaminya pulang. “Johnny!” panggilnya dengan antusias. “Johnny, denger, aku—“

Wait, wait, wait, aku ganti baju dulu ya.”

“Oh, okay.”

Johnny mengganti setelannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Dia duduk di samping Taeyong dan merangkul suaminya seperti biasa. “Jadi, ada apa?” tanyanya dengan lembut. Dia masih ingat antusiasme Taeyong beberapa menit yang lalu dan Johnny yakin bahwa Taeyong memiliki sesuatu yang penting untuk dikatakan padanya.

“Aku mau punya anak,” kata Taeyong. “Akhir-akhir ini aku bosen di rumah, bosen belanja sendiri, Doyoung sibuk kerja, semua orang kerja. Sebenernya salah aku sih berhenti kerja, ternyata di rumah bosen. Jangan ngomongin art and craft¬ lagi, aku juga udah bosen. Terus, aku pikir, aku mau punya anak.”

Setelah mendengar penuturan Taeyong, Johnny terdiam untuk beberapa saat. Ada beberapa cara agar mereka bisa memiliki keturunan dan Johnny tidak yakin apa yang akan dipilih oleh Taeyong. Tapi di samping itu, Johnny lebih memikirkan masa depan calon anak mereka nanti. Salahnya sendiri karena tidak membicarakan soal anak sebelum mereka menikah.

“Kita bisa cari surrogate mother sebenernya, atau adopsi. Aku enggak tahu mana yang kamu mau.”

“Adopsi aja,” jawab Taeyong dengan cepat. “Ada banyak anak-anak yang terlantar, jadi kita bantu mereka aja.” Taeyong menatap Johnny yang tampak penuh dengan asumsi-asumsi yang muncul di benaknya. “Aku tahu apa yang kamu pikirin,” kata Taeyong, “kamu mikirin kata-kata orang soal anak yang tumbuh sama orang tua gay kan?”

Seharusnya, tidak ada yang menakutkan bagi mereka. Tapi di antara semua hal-hal yang menakutkan, asumsi-asumsi yang dibuat oleh manusia adalah yang paling menakutkan. Mereka tidak akan pernah terbiasa. Hidup sebagai pasangan sesama jenis saja sudah cukup sulit untuk mereka, apalagi harus memiliki anak.

“Kita pikirin pelan-pelan ya,” ucap Johnny sambil menarik Taeyong lebih erat dengan rangkulannya. “Aku enggak mau kalo anak kita harus ngalamin hal-hal yang gak menyenangkan. Kalo kita punya anak, kita harus pastiin dia bahagia.”

Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan. Tapi pada akhirnya mereka menghabiskan hari demi hari berkunjung dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya sampai menemukan anak yang cocok dengan mereka. Taeyong menginginkan anak yang usianya sudah cukup besar dengan kemungkinan lebih mudah untuk diajak bicara dan Johnny menyetejuinya.

Mereka menghabiskan satu tahun untuk menemukan anak yang tepat. Sampai mereka datang ke panti asuhan yang tepat dan anak yang tepat. Mereka juga menghabiskan tiga bulan penuh untuk meyakinkan anak yang akan mereka adopsi sampai akhirnya mereka berani bertanya kepada anak itu, “Minhyung, kamu mau jadi anak kami?”

Lee Minhyung tumbuh selama 8 tahun tanpa orang tua, tapi dia tumbuh dengan bahagia di panti asuhan bersama teman-temannya. Pengasuh di panti asuhan mengatakan bahwa Minhyung ditemukan di depan gereja. Tidak ada yang tahu siapa orang tuanya dan Minhyung tidak lagi mencoba mencari karena tidak berguna.

Sudah berkali-kali orang tua yang ingin mengadopsi datang ke panti asuhan. Tapi anak-anak yang lebih kecil lebih disukai dibanding dirinya. Minhyung belajar untuk menurunkan impiannya diadopsi. Dia belajar untuk tidak memimpikan sebuah keluarga yang bahagia. Juga, belajar untuk melupakan kemungkinan betapa bahagia dirinya jika mendapat kesempatan memanggil seseorang dengan ayah dan ibu.

Minhyung hampir kehilangan impiannya sampai sepasang suami dan suami menghampirinya dan mengajaknya berbicara. Minhyung baru tahu kalau dua laki-laki ternyata bisa menikah berkat mereka. Nama mereka adalah Johnny Suh dan Lee Taeyong, salah satunya memiliki nama yang sama dengannya. Sementara yang satu lagi terlihat sangat tinggi dan kuat.

Menurutnya aneh melihat mereka dua. Tapi seiring berjalannya waktu mereka menjadi akrab dan banyak bicara. Lee Taeyong adalah orang yang menyenangkan dan berbakat dalam membuat camilan-camilan yang lezat. Minhyung menyukai semua camilan yang dibuat oleh Taeyong. Sementara Johnny Suh adalah orang yang tahu segalanya, setiap Minhyung bertanya dia pasti bisa menjawabnya.

Mereka berdua dapat menjadi orang tua yang keren, Minhyung pikir begitu.

“Minhyung, kamu mau jadi anak kami?” Taeyong yang bertanya dengan senyuman dan matanya yang berbinar.

Minhyung tidak pernah berpikir bahwa pertanyaan itu akhirnya dapat didengarnya. Dia mengangguk dengan cepat sebagai balasan. Dalam hatinya yang terdalam, Minhyung benar-benar bersyukur dapat menemukan orang tuanya.

“Minhyung,” panggil Johnny dengan pelan. Johnny berjongkok, berusaha menyejajarkan dirinya dengan Minhyung. “Kamu tahu, aku dan Taeyong berbeda dengan yang lain. Kami laki-laki dan laki-laki. Kalo kamu jadi anak kami, ada kemungkinan kamu bakal dicap aneh punya orang tua gay. Kamu … enggak masalah?”

“Aku enggak masalah kok. Orang tua aku kan keren.”

Orang tua aku kan keren.

Johnny bukan orang yang mudah menangis, tapi dia menangis mendengar kalimat polos itu keluar dari mulut Minhyung. Tangannya meraih Minhyung dan membawanya ke dalam dekapan yang hangat. “Aku habis ini bakal ngurus berkas-berkas adopsi kamu. Mulai sekarang, kamu harus panggil aku Papa.”

“Kalo aku Papi.”

Memang bukan panggilan ayah dan ibu seperti yang Minhyung impikan sebelumnya. Tapi papa dan papi terdengar jauh lebih keren. Dia belajar satu hal lagi, bahwa hidupnya mungkin tidak akan mudah ke depannya. Tapi dalam hatinya yang terdalam, Minhyung berjanji tidak akan pernah menyesali pilihannya untuk menjadi anak dari Johnny Suh dan Lee Taeyong.

.

.

.


p.s. this gonna need part 2! wdyt?