Donghyuck tidak ingat kapan tepatnya dia diadopsi, kata Taeyong dia diadopsi saat usianya 4 tahun dan itu setahun setelah mereka mengadopsi Minhyung. Beruntung baginya, dia tidak mengingat apa pun di panti asuhan. Mungkin lebih tepatnya, Donghyuck kecil memilih untuk melupakan ingatan itu dan menggantinya dengan ingatan bersama keluarganya.
Bagian terburuk dari hidup Donghyuck bukanlah karena dia tidak diinginkan oleh orang tua biologisnya, siapa pun itu. Bukan juga karena dia tidak memiliki sosok ibu, atau kenyataan bahwa dia tidak jadi mendapatkan PC gaming yang diidam-idamkannya.
“Oi anak pungut!”
“Orang tua lu tuh enggak sayang sama lu makanya lu dibuang!”
“Najis orang tuanya kan gay!”
Bagian terburuk dari hidupnya adalah ini. Mendengarkan olok-olok yang tidak pernah berhenti di dengarnya sejak dia sekolah dasar. Donghyuck tahu kalau Johnny memintanya untuk menceritakan yang terjadi di sekolah. Tapi dia tidak ingin menceritakan hari-hari buruknya. Minhyung juga pernah berkata padanya, kalau ada yang bisa mereka urus sendiri mereka tidak akan merepotkan Johnny dan Taeyong.
Donghyuck menghela napasnya dengan berat. Olok-olokan itu tidak membuat para perisak puas. Di kelas, mereka masih melempari Donghyuck dengan kertas dan sampah, mencoret-coret meja Donghyuck dengan sumpah-serapah, mengambil barangnya dengan sengaja, dan lainnya. Donghyuck lelah, tapi dia tidak akan menambahkan bebannya menjadi beban orang tuanya.
“Pinjem dong!” ujar salah satu dari mereka ketika mengambil switch dengan paksa dari tangan Donghyuck. “Lu anak pungut tapi barang-barang lu bagus-bagus banget sih. Orang tua angkatlu pasti sayang banget ya? Kalo gitu ini switch buat gua aja. Lu kan bisa minta lagi.”
Sungguh, Donghyuck lelah. “Balikin.” Donghyuck menatap langsung mata si perisak sambil menegadahkan tangannya. “Balikin punya gua,” ulangnya. “Orang tua kandunglu pasti terpaksa banget ya punya anak kayak lu? Sampe lu kepengen switch aja mereka enggak tahu. Apa enggak mau tahu?”
“Apa?”
“Masalahnya,” kata Donghyuck dengan pelan, “itu punya gua dan yang beliin papa gua. Jadi balikin. Papa gua beli switch bukan buat lu yang mainin.”
“Lu bilang apa tadi? Orang tua gua enggak sayang gitu maksud lu?”
“Iya.”
Bagian terburuk hidup Donghyuck boleh jadi adalah perisakan yang dialaminya. Tapi tidak begitu buruk karena selalu ada orang-orang yang mau mendengarkannya, yaitu teman-temannya. Orang yang menyahuti si perisak tadi adalah Renjun, salah satu dari teman-temannya.
“Jangan macem-macem lu kalo enggak mau digebuk Jeno!” Renjun bicara lagi dengan nada yang lebih galak. Sementara Jeno di belakangnya hanya melambai dengan senyuman kecil. “Balikin punya Hyuck buruan!” lanjutnya.
Donghyuck tertawa kecil. Teman-temannya selalu datang di saat yang tepat. Itu sebabnya dia juga tidak begitu perlu memberitahukan orang tuanya. “Biarin deh. Kasian dia enggak dibeliin sama orang tuanya. Gua nanti bisa minta lagi sama Papa kok.”
“Mending jangan macem-macem deh,” kata Jaemin, “kalian enggak tahu ya kalo donatur terbesar yayasan sekolah kita tuh papanya Hyuck?”
“NANA!” Jeno, Donghyuck, dan Renjun berteriak bersamaan.
Jaemin menatap temannya dengan mata yang bingung. “Kenapa? Emangnya enggak boleh dikasih tahu ya? Mau sampe kapan ditutupin? Kalo enggak diomongin gitu nanti Hyuck diganggu terus kayak waktu SMP.”
Donghyuck sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dengan hal itu. Dia tahu papanya memang melakukan apa saja untuk kebahagiaannya, tapi Donghyuck tidak merasa perlu untuk semua orang mengetahui hal itu. “Ya, gitu deh pokoknya. Denger kan? Tapi tenang, papa gua yang gay itu orangnya baik kok.” Donghyuck mengatakannya dengan senyumannya.
Tidak sekali pun Donghyuck malu dengan fakta mengenai orang tuanya. Benar bahwa dia adalah anak adopsi dan benar bahwa orang tuanya adalah gay. Sama seperti saudara-saudaranya, Johnny dan Taeyong tidak pernah berhenti mengingatkan bahwa mereka berbeda dan mungkin akan mengalami kesulitan. Apa yang dilaluinya sekarang tepat seperti yang mereka katakan.
“Oh ya,” kata Donghyuck, “gua emang diadopsi kok. Lagian emang laki-laki enggak bisa hamil. Jadi papa sama papi gua adopsi anak. Itu bener. Bener juga soal gua dibuang, tapi gua enggak peduli sama orang tua biologis gua yang enggak becus. At least gua punya orang tua yang bertanggung jawab sekarang. Orang tua gua milih gua untuk jadiin gua anak mereka. Sementara orang tualu itu enggak bisa milih punya anak kayak lu. Kasian deh … orang tualu.”
Mereka berempat keluar dari ruangan kelas. Mungkin setelah ini perisak itu tidak akan mengganggu Donghyuck lagi. “Kalo ganggu lagi besok-besok aduin aja sama kepsek langsung,” kata Jeno.
“Iya sih, lagian juga paling lu yang menang,” sahut Renjun.
“Enggak usah. Kasian Papa udah sibuk sama kerjaan…. Papa enggak perlu repot ngurusin masalah gua.”

“Papa enggak lihat itu deh.” Johnny yang tiba-tiba masuk ke kamar Donghyuck sibuk mengabsen satu per satu barang yang ada di kamar itu. “Switch yang sebulan lalu Papa beliin kok berapa hari ini enggak keliatan? Ke mana? Rusak? Ilang? Biasanya kalo ada apa-apa Kakak ngerengek minta dibeliin yang baru—“
“Paaa … bisa enggak sih kalo masuk kamar Kakak ketok pintu dulu?” Donghyuck mengeluh dengan kehadiran Johnny di kamarnya.
Johnny menggeleng dan berkata, “Enggak … Papa cuma mau tau switch kamu ke mana?” Johnny menunggu jawaban dari anak tengahnya. Tapi melihat raut wajah Donghyuck, Johnny menghela napasnya pelan. “Papi kamu udah siapin makan malem. Keluar yuk, makan. Ceritain sama Papa dan Papi ada apa sama kamu di SMA.”
Ajakan makan malam itu tidak bisa ditolaknya. Makan malam berlangsung hening. Tidak ada yang berani bicari. Taeyong memberikan sinyal kepada anak-anaknya untuk tidak bersuara. Kemudian setelah selesai makan, Taeyong berkata, “Abang sama Adek masuk kamar dulu. Nanti, habis Papa sama Papi ngomong sama Kakak. Papa sama Papi juga mau ngomong sama kalian satu-satu.”
Datang lagi hal yang tidak bisa dihindarinya. Donghyuck mau tidak mau menceritakan semuanya, bagian terburuk sampai terbaik. “Tapi Kakak beneran enggak apa-apa kok. Temen Kakak semuanya baik makanya Kakak enggak apa-apa. Enggak ada main fisik juga—“
“But still….” Johnny tidak dapat melanjutkan kalimatnya. “Yong, kamu lanjutin. Aku enggak tahu mau ngomong apa. Aku mau bikin kopi aja.”
“Suh Donghyuck, Kakak, Papa dan Papi bukan orang asing. Papa sama Papi itu orang tua Kakak. Makanya, masalah Kakak itu bukan masalah orang lain. Masalah Kakak itu juga masalahnya Papa sama Papi.” Taeyong menjeda kalimatnya. Dia melihat anak tengahnya dengan senyuman tipis di wajahnya. “Kalo Kakak punya masalah, cerita ya. Papi enggak minta kamu langsung cerita. Tapi Papa sama Papi cuma enggak mau kalo kita tahu masalah Kakak justru dari orang ketiga.”
“Iya Pi….” Donghyuck menunduk dalam-dalam, menahan air matanya untuk tidak jatuh. Inilah mengapa dia tidak pernah menyesal. Karena orang tuanya adalah orang tua terbaik yang bahkan dia tidak berani bayangkan sebelumnya. “Tapi, dari mana Papa sama Papi bisa tahu soal Kakak di sekolah?”
“Orang dalem,” jawab Johnny.
“Oh iya, Kakak lupa. Hehe.”