kr-han

Alkisah, ada seorang laki-laki yang dikutuk karena dosa yang diperbuatnya. Kutukannya adalah, dia harus hidup abadi dan menyaksikan orang yang dicintainya pergi meninggalkannya satu per satu.

Kutukan itu terdengar mudah dan memang mudah pada awalnya. Karena kekasihnya juga mendapat kutukan. Bedanya, kekasihnya mendapat kutukan untuk bereinkarnasi secara terus-menerus.

Lelaki itu tidak kuat, dia muak. Setelah berkali-kali melihat kekasihnya meninggalkannya dengan berbagai cara, dia memutuskan untuk tidak lagi mencari kekasihnya.

Tapi kutukan itu menyebalkan. Karena untuk kesekian kalinya, dia harus bertemu lagi dengan kekasihnya. Meskipun dia tidak mencari.

Tidak berada di mana-mana, tidak merasa, tidak mendengar, tidak melihat. Dia tidak tahu di mana dia berpijak, yang dapat dilihatnya adalah hitam yang kosong. Kehampaan yang meliputinya membuatnya semakin cemas tentang apa yang akan muncul tiba-tiba. Dia tidak mendengar apa pun, kecuali detak jantungnya yang kian kencang.

“Arin!”

Sebuah suara terdengar, memanggil namanya dengan jelas tapi tidak tahu dari mana asalnya.

“Arin!”

Suara itu memanggil lagi, semakin jelas namun tidak terlihat wujudnya.

“Arin, sebelah sini.”

Kepalanya menoleh dan dia mendapati sesosok yang jelas bukan manusia berdiri di dekatnya. Dekat sekali. Tapi Arin tidak tahu apakah itu depan, belakang, kanan, atau kiri. Inderanya tidak bisa digunakan, rasanya seperti menghilang.

“Arin masih belom inget sama Bel ya? Atau Arin inget sama … Lee Taeyong?”

Tidak. Tidak keduanya.

Tidak ada percakapan lagi, hanya diam. Belphegor tiba-tiba pergi entah ke mana dan lewat mana, Arin tidak tahu. Rasa cemas yang mencengkram jantungnya lebih terasa dibandingkan kehadiran Belphegor di dekatnya. Atau mungkin, Lee Taeyong. Arin merasa tidak tahu tentang nama itu, namun nama itu terasa begitu dekat dengannya.

Belphegor kembali ke ruangannya. Tenaganya habis dan dia ingin tiduran saja sekarang tanpa melakukan apa pun. Mungkin, jika yang lainnya tidak berpikiran untuk mengusik apa yang sedang dikerjakannya. Dia sudah lelah mendengar ocehan Amon dan Lucifer soal—

“BELPHEGOR!”

“Apa lagi?”

“Aku sudah bilang berapa kali untuk berhenti membawa manusia ke Gehenna. Terlebih masuk ke dalam Istana Hades ini. Ini bukan tempat untuk manusia!”

—hal seperti ini. Protes tentang proses yang dilakukan Belphegor untuk membawa manusia itu, Arin, ke dunia mereka.

“Bel, dengar. Eden, Assiah, dan Gehenna itu berbeda. Makhluk di dalamnya tidak bisa hidup berdampingan dan itulah kenapa kita berusaha untuk kembali ke Gehenna. Kenapa sekarang harus membawa manusia ke sini? Kamu mau menghancurkan dunia ini atau???”

Telinganya panas. Belphegor tidak suka mendengar semua hal itu. Lucifer mungkin akan datang sebentar lagi membicarakan bagaimana dia tidak ingin tinggal bersama manusia. Tapi memang betul kalau ketiga dunia tidak bisa bersatu.

Oh, apa kalian tahu?

Eden adalah tempatnya para malaikat tinggal dalam Kerajaan Langit dan membantu Kehendak Langit untuk mengatur keseimbangan dunia, Assiah adalah tempat manusia dan makhluk hidup lain tinggal, dan Gehenna adalah tempat para iblis tinggal dalam Istama Hades bersama jiwa-jiwa manusia yang terkutuk.

Betul, ¬jiwa-jiwa manusia. Jiwanya saja. itu artinya, sosok manusia memang tidak diperuntukkan tinggal dalam Istana Hades. Masalahnya adalah Belphegor berusaha membawa manusia masuk ke dunia mereka.

“Kalau Eden tahu—“

“Aku paham.” Belphegor memotong dialog Amon. “Aku tahu, aku paling tahu, aku akan bertanggung jawab. Pasti.”

Amon masih belum puas, sejujurnya. Dia harus bisa menghentikan eksperimen yang dilakukan. Meskipun mereka tidak tahu pasti apakah satu manusia saja dapat merubah tatanan dunia atau tidak, tapi manusia tidak akan bisa bertahan tinggal di dalam kegelapan sama seperti mereka. Amon sedikit banyak mengasihani manusia, tapi mungkin dia lebih mengasihani diri sendiri.

Beberapa manusia mempercayai keberadaan Surga dan Neraka, lainnya tidak.

Beberapa manusia mempercayai keberadaan malaikat dan iblis, lainnya tidak.

Beberapa manusia bahkan memilih untuk tidak memilih.

“Kalo lu pada, gimana?” pertanyaan itu hadir dalam topik diskusi mereka kali ini. Tentu saja yang mengajukan topik adalah Arin. Akhir-akhir ini mereka membahas hal yang hampir sama secara terus menerus. Tentang keberadaan satu dan banyak hal yang berada di luar nalar mereka.

Chenle menggeleng dan berkata, “Lu mending selesaiin tugas lu dulu deh.” Dia sudah tidak ingat berapa kali mengulang kalimat yang sama karena lagi-lagi dan lagi-lagi Arin selalu datang dengan pemikiran-pemikiran baru yang sesungguhnya tidak ekstrem tapi mengganggu mereka yang berkumpul karena ingin mengerjakan tugas.

Bullshit.

Betul. Tidak pernah bisa bersatu kata berkumpul dengan frasa mengerjakan tugas. Keduanya bergabung hanya akan menghasilkan obrolan-obrolan tidak penting yang seolah penting dan tugas mereka hanya akan terbengkalai, tidak terurus, tidak dikerjakan. Arin sudah dari tadi menyingkirkan laptop-nya, disusul Rena yang kemudian meluruskan kakinya.

“Jadi,” katanya sambil menenggak minuman bersoda, “gua sih pengennya enggak percaya ya. Tapi tuh hati gua yang paling kecil tuh bilang kalo gua harus percaya as if I ever experienced it.”

“Apaan? Masuk Neraka?” Jisung bertanya dengan alisnya yang terangkat. Dia membalas itu setengah bercanda, setengah serius, atau tidak dua-duanya.

Rena mengambil kaleng kosong dan melemparkannya ke kepala Jisung. “Bangsat!” umpatnya.

Mereka tertawa untuk sesaat dan Chenle lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Untuk sekarang, dia akan fokus pada tugasnya dulu. Mungkin memang pilihan yang buruk untuk bergabung dengan ketiga temannya yang tidak normal. Tapi, ya, dia sendiri tidak mengakui dirinya normal dan memang dia harus menanggung sendiri risiko dari semua pilihannya.

Sepuluh menit kemudian, tidak ada lagi laptop yang dipegang oleh tangan-tangan manusia lagi. Mereka berempat sepakat untuk menyerah dengan tugas-tugas mereka dan memilih memakan camilan yang mereka beli bersama sambil menghela napas panjang-panjang. Terkadang, hidup sebagai mahasiswa berat juga.

“Denger.” Arin memulai lagi pembicaraannya, lagi. “Akhir-akhir ini gua mimpi aneh banget. Kayak, gua tuh ada di suatu tempat yang gua enggak tahu itu di mana. Semuanya gelap, serem, terus sepi banget. Saking sepinya gua bisa denger detak jantung gua sendiri. Parah, serem banget itu tempat.” Arin menjeda kalimatnya dan yang lain diam menunggu lanjutan cerita Arin. “Ada orang di situ dan dia senyum ke gua. Tapi serem banget. Katanya, namanya Belphegor.”

Rena menautkan kedua alisnya dengan bingung, “Prince of Sloth? Seven Deadly Sins?” balasnya dengan suara yang tidak yakin. Sama seperti apa yang disampaikan oleh Rena, sebagian dari dirinya ingin mempercayai cerita itu benar. Tapi sebagian lainnya menolak karena memang tidak masuk di akal.

“Kata gua, lu mending nulis novel fantasi deh Rin.” Chenle menyelesaikan diskusi mereka dalam satu kalimat. “Bukannya gua menginvalidasi perasaan lu. Kalo lu ngerasa serem ya wajar. Cuman lu sendiri harus inget kalo itu cuman mimpi, bunga tidur, enggak nyata.”

Bukannya Arin tidak tahu dengan kenyataan itu. Faktanya, dia paling mengetahui bahwa itu hanyalah bunga tidur. Tapi dia juga tahu tidak ada mimpi yang terasa begitu nyata. Semua yang dirasakan oleh kelima inderanya adalah benar dan nyata. Arin masih dapat merasakan kehampaan itu meski sekarang dia duduk di antara teman-temannya.

“Rin….” Jisung mengguncang bahu Arin dengan pelan. “Enggak apa-apa? Mau minum? Mau tidur?” tanyanya, tapi Arin menjawab dengan sebuah gelengan.

Mereka masih berbicara tentang beberapa topik tidak penting, kemudian mereka pamit dari tempat mereka berkumpul atau lebih tepatnya dari apartemen Arin. Jisung yang terakhir meninggalkan apartemen itu setelah dia memantapkan diri. Jisung berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama dan Arin juga menjawab dengan jawaban yang sama, tapi hati Jisung tetap tidak tenang.

“Rin, gua nginep ya?”

“Enggak usah Ji, enggak apa-apa.”

“Nanti kalo mimpi buruk lagi gimana?”

“Gua telepon lu….”

OK.”

Jisung tidak mengenali kecemasan yang menyelimuti dirinya. Jisung tidak tahu apakah dia bisa tidur atau menunggu telepon dari Arin semalam suntuk. Dia berharap kalau dia bisa mengetahui mengenai kecemasannya, tentang apa yang dia—atau mereka—lewatkan dan lupakan. Satu hal yang Jisung tahu bahwa kecemasannya itu ada hubungannya dengan mimpi Arin yang belum berakhir.

Aku adalah gadis yang paling tidak beruntung di dunia ini. Usiaku 20 tahun saat aku mempunyai seorang adik yang masih bayi dan aku harus merawatnya seorang diri. Orang tuaku kecelakaan. Ayah tewas di tempat, dan Bunda sekarang tidak sadarkan diri. Tapi adikku bukan prematur.

Aku tidak bisa menceritakan lengkapnya. Tapi, aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Hanya aku dan adikku yang belum punya nama. Hanya karena aku sudah dewasa, aku harus merawatnya sendirian.

Masalahnya, aku juga kuliah dan harus pergi ke kampus.

Kawan, hidup ini berat.

.

.

.

Untungnya, aku punya kalian.

Jo akan pulang tiga hari lagi, itu yang dikatakan kepada ibunya. Tapi Matt, adiknya, tahu betul bahwa kakaknya akan pulang lebih awal. Karena Jo adalah laki-laki yang manis meski tidak sesuai dengan bagaimana dia tampil di muka umum. Jo suka membuat kejutan dan melihat orang-orang di sekitarnya tersenyum bahagia. Karena itu, dia pulang lebih awal.

Liburan semesternya dihabiskan di Chicago, tempat neneknya yang sudah tua. Itu juga karena neneknya yang meminta. Karena pergi ke Negeri Paman Sam itu membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Jo sudah menyiapkan semuanya mengenai kepulangan. Dia membawa oleh-oleh untuk orang tuanya, Matt, dan temannya yang bernama Esra. Tidak ada yang lain dalam pikiran Jo kecuali bayangan orang yang disayanginya tersenyum dengan bahagia melihat kepulangannya. Dia tidak sabar untuk pulang.

This would be the best day ever, Jo memikirkan hal itu.

Dia sibuk dengan ponselnya, setidaknya sebelum masuk ke pesawat. Esra mengiriminya pesan. Jo memang mengatakan kalau dia akan menaiki taksi setelah landing nanti. Tapi mungkin mempertimbangkan Esra yang menjemputnya bukan pilihan yang buruk.

See you guys at home.”


Dirga baru saja berpamitan dengan Cinta melalu chat. Dirga ingin menemui Cinta, atau setidaknya mereka bisa bicara melalui telepon mereka. Tapi Cinta tidak membuka jendelanya seperti biasa. Bahkan gorden kamarnya juga tidak terbuka. Cinta terlihat tidak ingin diusik. Dirga hanya berharap semoga Cinta tidak marah padanya.

Koper dan barang lainnya yang sudah dikemasnya dimasukkan ke dalam taksi yang dipesan ibunya. “Ma, nanti titipin salam buat Cinta ya. Sama, Dirga mau bilang ke Cinta kalo Dirga salah sama Cinta jadi Dirga minta maaf,” pesannya sebelum masuk ke dalam taksi. “Mama jaga diri ya. Maaf ya Dirga jadi jauh sama Mama,” tambahnya.

Perasaan berat itu masih menghantuinya. Dirga merasa mungkin dia akan menyesal seumur hidup karena tidak memberitahu Cinta lebih awal. Mungkin Cinta masih marah padanya, tapi Dirga juga tidak dapat memastikannya. “Maaf ya, Cinta. Jangan marah lagi…. Aku pergi dulu ya,” bisiknya pelan.


Jalanan yang bising dan penuh dengan mboil berlalu-lalang. Tidak jarang ada truk-truk besar yang melintas juga. Semua orang sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Tapi macet sore itu tidak seperti biasanya. Mobil-mobil berhenti, tidak bisa lewat. Orang-orang bertanya kenapa, tidak ada yang tahu kenapa.

Seseorang dalam mobil akhirnya membuka ponselnya, mencari kebenaran dari macet luar biasa yang dirasakan oleh banyak orang ini.


I just wanna go home…. and I just wanna pursue my dream….

Cinta pikir, melabeli hari ini sebagai hari terakhir adalah sesuatu yang berlebihan. Tapi dia tidak ingin protes. Karena dia sibuk melihati Dirga yang sibuk mengengkol motor tuanya sekuat tenaga supaya bisa menyala dan digunakan. Pemandangan seperti itu bukan momen langka, tapi selalu menarik untuk dilihat.

“Hari ini mau ke mana?” tanya Dirga sambil masih mengengkol motornya. Keringat tampak meluncur dari balik topi yang dikenakannya. Dalam sudut hati terdalamnya, Dirga menyesal karena mengenakan kemeja. Harusnya dia menggunakan kaus saja.

“Terserah.” Jawaban standar dari kaum hawa itu yang diberikan oleh Cinta. Pada dasarnya, dia tidak keberatan untuk pergi ke mana pun. Bahkan jika hanya berakhir di dapur salah satu rumah mereka dan mengotori peralatan milik ibu mereka juga tidak masalah.

Tidak penting menghabiskan waktu di mana, tapi dengan siapa waktu itu dihabiskan jauh lebih penting. Untuk Cinta, hari ini harus dihabiskan dengan Dirga entah itu di restoran bintang tiga, warung kaki lima, pasar malam dadakan, atau … ya … dapur.

Cinta mengerutkan dahinya, tampaknya motor itu sulit sekali dinyalakan. “Kita di rumah aja deh, bikin kukis yuk?” ajaknya kemudian. “Kalo enggak salah mama kamu punya resep yang enak deh. Bikin itu aja.”

“Enggak.” Dirga masih bersikeras untuk mengengkol motornya. “Hari ini spesial. Gua maunya jalan-jalan. Lagian ini motor emang udah tua sih, tapi gua terlanjur jatuh cinta, hahaha.”

Tiga puluh menit berlalu dan motor tua itu akhirnya berhasil dinyalakan. Dirga tersenyum dengan lebar. Bukan salah motor itu juga. Mereka akhirnya bisa pergi dengan motor kesayangan Dirga yang usianya lebih tua dari usia Dirga sendiri. Tapi mungkin alasan Dirga bersikeras seperti itu karena hari ini bukan hanya hari terakhir Dirga menghabiskan waktu dengan Cinta, tapi juga dengan motor kesayangannya.

“Kita mau ke mana?” tanya Cinta di tengah-tengah perjalanan mereka. “Hah?”

“Kita mau ke mana?”

“HAH??”

“KITA MAU KE MANA???”

“KAN KEMAREN GUA BILANG GUA KE JEPANG!!”

Tidak nyambung. Cinta menyerah. Angin di sekitar telinga mereka dan helm yang ketat menutup kepala membuat mereka sulit mendengar kata-kata. Cinta sedikit menyesal sudah bertanya. Harusnya dia ingat kalau dia yang menjawab terserah saat ditanya mau pergi ke sana.

Dirga memberhentikan motornya di depan sebuah warung. Dia turun dengan senyuman di wajahnya, berbanding terbalik dengan Cinta dengan dahi yang berkerut. “Makanan favorit Cinta dari warung favorit Cinta,” katanya. Mereka hidup bersama selama 18 tahun, tentu sudah tidak asing dengan kebiasaan dan kesukaan masing-masing.

“Lu bukannya enggak terlalu suka?”

“Enggak apa-apa,” katanya, “tapi nanti kalo gua pulang, lu harus temenin gua makan di tempat favorit gua juga. Titik.”

Ah, ada maunya. Wajar.

“Anjay,” panggil Cinta dengan pelan, “makasih.”

Terkait panggilan Anjay yang diberikan Cinta untuk Dirga, itu karena nama lengkap Dirga yaitu Dirgantara Jaya Sakti. Cinta menemukan panggilan itu tiba-tiba tanpa tahu makna kata anjay yang sebenarnya. Dirga awalnya tidak suka karena terdengar aneh, namun lama-lama dia terbiasa. Dia pun jarang memanggil Cinta dengan nama Cinta meskipun itu namanya.

“Cin, makan yang banyak ya….” Begitu cara Dirga menyampaikan perhatiannya.

Orang-orang bilang, pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu semu. Pertemanan antargender tidak pernah dekat dengan kata teman itu sendiri, lebih tepatnya adalah rasa suka yang ditutupi dengan kata teman. Cinta pikir, dia tidak akan pernah percaya omongan orang-orang dengan mudah. Tapi cepat baginya untuk menjilat ludahnya sendiri.

Cinta suka dengan Dirga, teman masa kecil yang tinggal di sebelah rumahnya. Betapa lucunya perasaan bernama cinta, dan namanya sendiri adalah Cinta. Tapi bukan hidup kalau tidak lucu. Dirga mungkin tinggal tepat di sebelah rumahnya, tapi Cinta tidak berani mengubah status mereka. Dibanding perasaan yang tak bersambut, dia lebih takut untuk kehilangan Dirga sebagai temannya.

“Gua punya good news dan bad news. Lu mau denger enggak?” Dirga sedang berdiri di dekat jendelanya. Dengan tangan yang berada di bingkai jendelanya. Jendela kamar itu berhadapan dengan jendela kamar Cinta dan mereka berbicara dengan telepon yang terbuat dari gelas dan benang.

Cinta mengangkat kepalanya. Tadinya dia ingin memotong kuku tangannya yang mulai panjang. “Good news dulu?” jawabnya setengah ragu. Cinta menjawab demikian karena ingin melihat raut bahagia Dirga, tapi yang dilihatnya justru wajah yang bingung.

“Gua keterima scholarship,” kata Dirga. Dia belum melanjutkannya. Tangannya memutar-mutar telepon itu. “Bad news-nya, itu scholarship ke Jepang. Jadi, gua bakal pergi,” sambungnya. Dirga tersenyum getir di ujung sana. Dia tidak berharap reaksi apa pun dari Cinta.

Tangan Cinta terasa berat ketika ingin membalas Dirga. “Congrats.” Hanya itu yang bisa diucapkannya, untuk sementara. Dia tidak bisa memikirkan hal lain karena kepalanya penuh dalam sekejap karena pernyataan Dirga. Harusnya, dia merasa senang. tapi dia tidak begitu senang.

Karena mereka harus berpisah.

Dirga menarik gelas di tangannya, mengisyaratkan kalau dia akan mengatakan sesuatu lagi. Tepat setelah Cinta menempelkan telepon itu di telinganya Dirga bertanya, “Lu enggak mau nanya sesuatu gitu? Atau ngomong apa?”

“Berangkatnya kapan?”

“Lusa….”

“Kenapa lu bilangnya dadakan sama gua?”

Dirga diam. Karena dia sendiri melewati waktu-waktu yang sulit dalam memutuskan untuk mengatakannya atau tidak. Tapi dia tidak mungkin tiba-tiba hilang begitu saja. Menyiapkan rangkaian kata-kata untuk disampaikan sangat sulit, bahkan lebih sulit dibanding wawancara beasiswanya. “Maaf,” bisiknya.

Tidak ada yang bisa dikatakan dan disampaikan. Cinta tersenyum getir dan berbisik, “Good luck.” Kata itu terdengar sakit. Cinta melempar telepon itu ke arah Dirga, seperti biasa, dan menutup jendela lalu gordennya. Dia butuh waktu sendiri.

Mobil melaju dengan pelan. Johnny sudah meninggalkan rokoknya, dia tidak merokok saat menyetir. Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Johnny sesekali melirik Taeyong yang sibuk melihat ke luar jendela dengan ekor matanya.

Semua orang akan berubah seiring berjalannya waktu. Tidak terkecuali Taeyong. Dengan rambut merah mudanya itu, Johnny tahu bahwa dia bukan Taeyong yang dikenalnya dulu. Tapi dengan seperti itu, Taeyong terlihat jauh lebih cantik. Tapi jelas dia tidak akan mengatakan hal itu di depan Taeyong. Johnny memang menyadari bahwa Taeyong berubah, namun ada satu hal yang tidak berubah dari Taeyong.

“Lu masih pake parfum yang sama ya?”

Taeyong akhirnya menoleh ke Johnny. Bukankah Johnny juga sama? Taeyong juga menyadari hal itu, sebanyak Johnny berubah, dia menggunakan parfum yang sama seperti dulu. Dia hafal dengan parfum yang Johnny kenakan dan Taeyong pernah berkata bahwa itu aroma parfum Johnny favoritnya. “Kamu juga sama,” balasnya.

Johnny tertawa kecil. Benar, dia mengenakan parfum yang sama. karena Taeyong pernah mengatakan itu adalah parfum favoritnya, Johnny juga menjadikan parfum itu favoritnya. Sisa-sisa hubungan yang mereka bangun masih tersisa. Meski mereka tidak berpikiran untuk kembali seperti dulu.

Pergi ke suatu tempat dengan mobil seperti ini mengingatkan Taeyong saat Johnny dengan sangat niat mencuri mobil milik ayahnya dan mereka pergi ke pantai untuk berkencan. Kalau dipikir-pikir ini adalah hari yang aneh. Mereka tidak pernah bertemu setelah memutuskan hubungan, lalu sekarang justru menghabiskan waktu bersama sekaligus mengingat masa lalu.

“Waktu itu kita juga naik mobil kayak gini ya,” kata Johnny, “dan gua ngambil mobil bokap. Kita ke pantai ya dulu. Terus pulangnya gua dimarahin sih, hahaha.” Johnny tertawa kecil. Ternyata dia mengingatnya.

Taeyong memainkan jemarinya. “Aku pikir kamu enggak inget,” katanya.

“I don’t know how to get rid of those memories,” jawab Johnny. “Sorry, kebiasaan sekarang suka pake bahasa Inggris. Enggak apa-apa kan?”

“Aku ngerti kok, bahasa Inggris.”

Itu karena Johnny tidak pernah mengghunakannya dulu ketika mereka masih bersama. Kalau Taeyong tidak salah ingat, setelah mereka putus, Johnny pindah ke Amerika dan menghabiskan waktunya di sana. Bahkan Taeyong tidak tahu kapan pastinya Johnny kembali dan dia tidak ingin menanyai hal itu.

Mereka berhenti dan Johnny keluar dari mobil lebih dahulu, Taeyong mengikuti. Taeyong tidak tahu ke mana mereka pergi sebelumnya sampai akhirnya menyadari bahwa mereka berhenti tidak jauh dari pantai tempat mereka menghabiskan waktu dahulu. Mereka hanya menikmati pemandangan pantai dari jauh, di depan mobil yang terparkir.

Johnny kembali menyalakan rokoknya, dia mengembuskan asapnya ke udara. “Back then, we don’t have anything, but it was fun. I have no regrets.” Dia masih sibuk mengembuskan asap rokoknya.

Benar, mereka tidak memiliki apa-apa dulu. Hanya sebuah cinta yang naïf dan prasangka baik bahwa hubungan mereka akan bertahan selamanya. Mereka yang dulu, berlari-lari di pinggir pantai ditemani deburan ombak dan tawa yang tak pernah berhenti. Namun waktu berjalan dan mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa terus bersama. Tapi meski begitu, tidak ada penyesalan yang tersisa.

“Sejak kapan kamu ngerokok?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Taeyong. Karena Johnny yang Taeyong ingat sangat peduli dengan kesehatannya dan hidup dalam idealismenya.

Johnny tersenyum kecil dan menjawab, “Setelah tahu kalau hidup itu pahit, ternyata.” Taeyong mengangguk kecil, berusaha memahami. “Iya ya,” katanya, “hidup enggak pernah seindah waktu kita SMA. Itu juga yang ngebuat kamu keliatan kosong?” Taeyong bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan Taeyong yang blak-blakan membuat Johnny tertawa dengan kencang. Rasanya sudah lama dia tidak tertawa selepas itu. “Ya,” jawabnya singkat. Sudah lama sejak Johnny tidak pernah menunjukkan ekspresi yang sebenarnya. Dia hidup di balik topeng, tapi Taeyong membuka topengnya. “As expected, lu emang beda.”

“EH?”

Don’t get me wrong, it’s not like gua ngajakin lu balikan atau apa. Enggak.” Johnny bersandar pada mobilnya, menatap langit sebentar lalu dia menatap Taeyong lagi, langsung di mata. “Hey, I know it’s rude, but, may I kiss you?”

Tidak ada situasi yang lebih canggung daripada datang ke acara renuian dalam waktu yang bersamaan. Mereka tidak saling berjanji untuk datang bersamaan. Tapi semuanya terlanjur terjadi dan sudah menjadi bahan pembicaraan dalam acara reuni itu. Semua orang bertepuk tangan, bersiul, dan tersenyum-senyum menggoda.

“Awet banget kayaknya. Udah berapa tahun?”

Keduanya tersenyum canggung. Memang tidak semua orang tahu kalau hubungan mereka sudah berakhir. Johnny mengibas-kibaskan tangannya ke udara dan berkata, “Udah lama putus. Ini kebetulan aja kok.” Johnny kemudian mengambil tempat kosong tak jauh dari situ, bergabung dengan natural bersmaa semua orang.

Taeyong menghela napasnya, Dia masih menyesal karena tidak membawa Doyoung. Tapi setidaknya dia tidak harus menjawab pertanyaan sendiri. Taeyong tidak buruk dalam bersosialisasi, namun tidak sebaik Johnny. Untuk sekarang, mungkin dia hanya akan banyak mendengar dibanding berbicara. Ada sedikit penyesalan dalam hati kecilnya saat datang ke acara reunian tersebut.

Penyesalan itu datang bukan karena dia tidak ingin bersosialisasi, tapi mungkin, karena Johnny duduk tepat di depannya dan seringkali melemparkan senyumannya yang terlihat sama seperti dulu. Tapi mungkin Taeyong tidak menyesal, karena yang dilihatnya bukan Johnny yang sama seperti yang dulu dia kenal.

Johnny yang duduk di depannya dengan kemeja lengan panjang yang digulung dan dasi yang terikat asal, terlihat seperti dia baru selesai dari kantornya dan langsung menuju ke sini terlihat kosong. Tidak hidup, tidak seceria yang Taeyong tahu. Tapi manusia memang berubah, jadi Taeyong tidak terlalu memusingkan perubahan yang terjadi, seharusnya.

“Sejak kapan lu ngecat rambut?” tanya Johnny setelah selesai mengobrol dengan orang lain. Matanya menatap langsung mata Taeyong, mungkin itu yang tidak berubah dari dia.

Sampai sebelum Johnny bertanya, Taeyong tidak ingat kalau dia sudah lama tidak pernah kembali ke warna rambut aslinya. “Udah lama,” jawabnya singkat.

Mereka tidak bicara lagi. Johnny menarik dirinya mundur, bersandar pada kursi dan tidak melakukan apa pun untuk sementara. Dia ingin mengatakan bahwa rambut merah muda itu cocok untuk Taeyong dan terlihat cantik untuknya, tapi mungkin dia tidak akan mengutarakannya dan hanya akan menyimpannya sendiri. Lagipula itu tidak ada artinya sama sekali.

Johnny merogoh sakunya, mengeluarkan rokok dan korek yang biasa. Dia menyalakan rokoknya dan mengisapnya. Tidak ada larangan untuk merokok di ruangan itu. Beberapa teman mereka juga merokok dengan santainya. Johnny mengembuskan asap pertamanya bersamaan dengan helaan napas yang berat. Dia tidak berhenti untuk sesekali melirik Taeyong yang sibuk dengan ponselnya. Dirinya juga sama, sibuk dengan ponselnya sendiri.

“Lu lagi apa?” tanyanya sambil memajukan tubuhnya lagi.

Taeyong tersenyum kecil dan menjawab, “Main twitter.” Beberapa saat setelah menjawab Taeyong berpikir bahwa Johnny akan menanyakan username-nya. Tapi ternyata tidak. Johnny hanya tersenyum kecil.

“Bosen enggak?” tanya Johnny, lagi. Dihitung-hitung, sudah tiga kali Johnny bertanya padanya, dan Taeyong mengangguk. “Let’s go out then! Kita cari tempat lain, berdua aja.”

Taeyong tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia mengiyakan dan mereka meninggalkan tempat reuni bersama.

Eden adalah dunia di mana malaikat tinggal dalam Kerajaan Langit dan membantu Kehendak Langit untuk mengatur keseimbangan antara ketiga dunia.

Assiah adalah dunia di mana manusia, hewan, dan tumbuhan tinggal.

Gehenna adalah dunia di mana para iblis tinggal dalam Istana Hades dengan jiwa-jiwa manusia yang terkutuk karena dosa-dosa yang mereka lakukan.

Gerbang menuju Eden terbuka setiap matahati terbit, sementara gerbang menuju Gehenna terbuka setiap matahari tenggelam. Ketika matahari sudah tinggi atau sudah menghilang di ufuk Barat, maka gerbang akans menutup dengam sendirinya. Namun, tidak semua malaikat dan iblis tahu bagaimana caranya menyebrangi gerbang itu, apalagi manusia.


Catatan: Istilah-istilah ini aku ambil dari anime Blue Exorcist.


“Selamat datang di Gehenna, Arin.”

“Hah? Gimana?”

“Arin, mulai sekarang, tinggal di Gehenna sama Bel ya? Please?”

Enggak mungkin. Manusia harusnya enggak bisa ke sini, 'kan?