Rina

(Universe: My Page)

“Kak Renjun!!!” teriak Ryujin saat memasuki kamar Renjun tanpa ketukan.

Renjun yang tengah sibuk merevisi script untuk konten Youtube hanya menoleh sekilas, lalu mengembalikan fokus pada ketikan yang belum rampung. Dengan rambut sedikit panjang berantakan dan kacamata berbingkai emas tipis, Renjun terlihat begitu mempesona di mana Ryujin.

Tunangan Renjun itu langsung saja memeluk sang kekasih dari belakang. Hidung otomatis bersarang pada ceruk leher Renjun, menikmati bau badan khas milik si lelaki.

“Yang, geli!” omel Renjun.

“Gitu aja masa geli?!”

Renjun mendecih. “Udah ih sana dulu! Aku masih kerja ini, biar cepat selesai. Abis itu kita ke W.O sesuai janji.”

“Nanti ajalah selesain!” rengek Ryujin.

“Enggak bisa, sayangku. Besok udah harus recording sama diedit Jaemin, lusa sore udah harus upload. Jadi aku harus nyelesain ini sekarang. Kalau nanti pasti bakal malam baliknya. Kita masih harus ke W.O, terus ke tempat catering karena Mama kita mintanya yang di luar saran W.O. Belum lagi fitting dress setengah jadi punyamu dan tuxedo punyaku. Kapan selesainya aku?” balas Renjun mendumal.

“Ya udah, tapi aku mau dipangku!”

“Yang! Yang bener aja deh kamu!” omel Renjun.

Ryujin menulikan pendengaran. Ia angkat tangan kanan Renjun, lalu secepat kilap menyelipkan tubuh mungilnya, duduk di pangkuan Renjun. Tangan melingkar pada leher.

“Bodo!” balas Ryujin.

Renjun hanya bisa pasrah. “Ya udah, terserah kamu. Tapi diam ya! Kasih aku kerja dengan tenang,” ultimatum Renjun.

“Oke!” seru Ryujin.

Lain di mulut, lain lagi dengan pikiran. Ryujin yang terkenal jahil sejak kecil itu berulah. Pertama, ia tiup daun telinga Renjun. Kedua, gadis itu mulai nakal mengulum daun telinga Renjun. Setelahnya turun mengecup bagian leher di bawah telinga. Beres di sana, Ryujin raih tengkuk Renjun, mengalihkan fokus sang tunangan untuk berciuman. Sesekali Ryujin lumat bibir Renjun, memberi kode agar si lelaki lebih memerhatikan dirinya.

“Ryu!” amuk Renjun setelah Ryujin menjauh.

“Apa sih?!” balas Ryujin ketawa-ketawa.

“Kamu udah janji loh buat enggak ganggu!” protes Renjun.

“Aku enggak ganggu kerjaan Kakak kok! Aku mah gangguin Kakak,” ucap Ryujin ngeles.

Renjun yang kesal langsung saja mengecup leher Ryujin. Ryujin awalnya senang karena berpikir dirinya berhasil mengalihkan fokus Renjun. Namun pikiran itu sirna kala Renjun tiba-tiba saja menggigit kulit leher Ryujin keras.

“Ah!” teriak Ryujin. Bukan nikmat, rasanya sakit sekali. Menjalar ke seluruh tubuh Ryujin.

Ryujin segera bangkit dan berlari menuju cermin. Alangkah terkejutnya ia dengan bekas gigitan yang semakin merah setiap detiknya, terpampang jelas di kulit pucatnya.

“Kak Renjun! Ini visible banget! Gimana caranya aku keluar?! Nanti kita dikira abis aneh-aneh lagi! Huaaaaa!” rengek Ryujin.

Renjun memilih tidak peduli dan kembali pada pekerjaannya. Siapa suruh mengerjainya, batin Renjun.

Hari Senin.

Coba cari di mana ada orang pecinta hari pertama di setiap minggu ini? Ryujin berani jamin 99,9% orang membenci hari Senin. Lalu di manakah kedudukan Ryujin? Jelas saja ia ada di 0,1%, tidak membenci Hari Senin.

Ia justru suka Hari Senin. Setidaknya sejak menikah, Hari Senin selalu menjadi hari bagi Ryujin bereksperimen memadupadankan pakaian Renjun untuk bekerja. Selain itu, sang dara juga semangat menyiapkan bekal untuk dibawa Renjun ke kantor.

“Yang?!” teriak Renjun dari dalam kamar. Ryujin baru saja selesai menyiapkan kotak bekal berisi nasi rumput laut dilengkapi kimchi, ayam bumbu merica, dan telur mata sapi saat namanya dipanggil.

Renjun kemudian muncul beberapa saat kemudian. “Yang, aku telat banget nih! Ada meeting! Aku berangkat ya!”

Ryujin mengernyitkan alis. Segera Ryujin kekar Renjun, tak lupa dengan kotak bekal digenggaman.

Renjun sudah selesai memakai sepatu kala Ryujin menyusul. Ryujin langsung menyahuti, “Kak, ada yang ketinggalan nih!”

Renjun yang tangan sudah berada di handel pintu berbalik, meraih tengkuk Ryujin dan mencumbu bibir sang istri pelan. Melumat sedikit sebelum akhirnya menjauh.

“Udah nih!” ucap Renjun.

Ryujin awalnya bengong, namun beberapa detik kemudian ia langsung tertawa keras. “Kak! Bukan ketinggalan itu. Tapi ini, bekal Kakak,” ucap Ryujin sembari menyerahkan satu tas berisi makanan lengkap untuk makan siang Renjun.

“Yang, aku...” Renjun terbata-bata. Pria itu malu karena salah menangkap maksud Ryujin.

“Enggak usah gagap gitu lah! Aku suka kok dicium kayak tadi,” sela Ryujin.

Ryujin mendekat, kembali menyatukan bibir dengan sang suami. Hanya sebuah kecupan, tidak lebih dari itu. Karena kalau diberi lebih, Renjun akan lupa daratan dan berakhir tidak masuk kantor.

“Udah sana! Katanya ada meeting pagi,” goda Ryujin.

Netra Renjun melebar, ia tepuk dahinya. “Ah iya, astaga! Makasih Ryujin-ku sayang, aku pamit dulu!”

Renjun kecup kening Ryujin, lalu keluar dari apartemen, meninggalkan Ryujin yang tersenyum puas karena sudah mendapatkan perlakuan romantis di pagi hari.

cekrek

Chaeyeon buka pintu apartemen setelah memasukkan kode konfigurasi. Ia lepas pump heels dan mengganti alas kaki menggunakan slippers berwarna merah muda.

Chaeyeon meringis kala menemukan kondisi ruang tengah dan dapur yang berantakan. Ada banyak botol soju, kaleng bir, dan beberapa kotak bekas ayam bumbu dalam keadaan kosong yang membuat Chaeyeon mual mendadak.

Chaeyeon letakkan tas di kursi samping rak sepatu, menguncir rambut ke atas asal, baru setelahnya merapikan keadaan apartemen yang 11:12 dengan kapal pecah.

“Siapa lagi yang si bodoh ini undang ke apartemen?” dumal Chaeyeon sembari tangannya memilah sampah sesuai jenisnya.

“Setiap saat ada saja yang ia bawa ke apartemen, setiap saat pula aku harus membersihkan kehancuran ini. Ia pikir aku ini pembantunya?!”

Chaeyeon terus mengomel sendiri, dari memilah sampah bahkan sampai selesai mengepel lantai. Sesekali umpatan juga keluar dari bibir mungil sang dara. Namun sosok yang ia sebut tidak juga menunjukkan batang hidungnya.

Sejam berlalu, Chaeyeon selesai membersihkan apartemen dengan peluh mengalir deras. Saking pekatnya kulit, Chaeyeon putuskan untuk mandi.

Selesai mandi, Chaeyeon berbelok ke kiri memasuki kamar. Gorden masih tertutup rapat. Netra si gadis otomatis menatap tempat tidur dan mendengus kala menemukan sosok yang ia katai ‘bodoh’ masih menelungkupkan tubuh di balik selimut. Suara dengkuran terdengar jelas di pendengaran.

Chaeyeon putuskan mengambil pakaian dari lemari dan mengenakannya, baru setelahnya mendekati sosok yang masih tertidur pulas.

“Oppa, ayo bangun!” seru Chaeyeon sembari menggoyangkan bahu si lelaki.

Eugh, beri aku waktu lima menit,” balas lelaki itu pelan.

“Lima menit apaan? Tidak ada lima menit! Kau bilang lima menit, akhirnya satu jam!” omel Chaeyeon.

“Sayang, aku benar-benar butuh lima menit saja. Aku janji tidak akan lebih,” bujuk si lelaki dengan suara khas bangun tidur.

“Aku tidak percaya denganmu, Cho Seungyoun! Cepat bangun!” Chaeyeon tidak terpengaruh dengan bujukan Seungyoun, lelaki bodoh yang berstatus sebagai kekasih sang dara.

“Memang kita mau ke mana?”

“Ini bukan masalah mau ke mana, tapi aku ingin memarahimu karena selalu memberantakan apartemen setiap aku tidak pulang! Kau pikir aku babu-mu, hah?!”

Seungyoun yang malas diomeli langsung saja menarik Chaeyeon masuk ke dalam pelukan. Walau terlihat masih setengah sadar, Chaeyeon tidak bisa melepaskan diri dari jeratan Seungyoun.

“Lepasin! Aku masih marah sama oppa!” pekik Chaeyeon.

“Kenapa sih marah mulu? Baikin kek dikit. Kasih kecup di bibir, yang manis sedikit lah sama pacar sendiri,” goda Seungyoun.

“Aku bisa saja melakukan semua itu, tapi kau membuatku sebal! Siapa lagi yang kau undang semalam?! Tidak mungkin hanya Seungwoo-oppa!”

Seungyoun mengeratkan pelukan. “Tidak penting siapa yang aku undang, yang penting sekarang kita pelukan seperti ini saja. Aku suka memelukmu,” ucap Seungyoun.

“Tetap saj...”

Ucapan Chaeyeon terputus kala Seungyoun membungkam bibir dengan kecupan singkat.

“Simpan energimu itu dengan pasrah dalam pelukanku. Aku tahu kau pasti capai setelah merapikan apartemen. Lebih baik kau istirahat dan biarkan aku memelukmu,” ucap Seungyoun kemudian.

“Lagipula, kau tak merindukanku? Sudah seminggu lebih kita tak berjumpa, aku sangat merindukanmu. Karena aku rindu, kalau harus mebayar rasa itu dengan tidur berpelukan sampai tubuh pegal,” lanjut Seungyoun.

“Tapi...”

“Aku tidak menerima penolakan, Lee Chaeyeon!”

Charyeon hanya bisa pasrah menjadi objek yang dipeluk Seungyoun, entah hingga kapan. Sebangunnya lelaki itu? Entahlah, karena akhirnya Charyeong terlelap dan bergabung ke alam mimpi dalam pelukan Seungyoun.

cw // kissing

“Dasar pria menyebalkan!” gerutu Ryujin berulangkali seiring dengan langkahnya keluar dari salah satu hotel bintang lima di Kota Seoul.

Seharusnya Ryujin bisa menikmati makan malam romantis bersama kekasihnya Renjun. Namun semuanya buyar ketika mantan Renjun, Nakyung namanya, datang secara tiba-tiba bersama kekasihnya bernama Linyi.

Well, Ryujin sesungguhnya tidak peduli Nakyung sudah memiliki kekasih atau belum. Justru bagus kalau punya, berarti gadis itu tidak akan menggangu hubungannya dengan Renjun.

Yang jadi masalah kini adalah kebaikan hati Renjun yang membiarkan pasangan kekasih itu duduk bersama mereka. Batal sudah makan malam yang harusnya eksklusif untuk dua orang saja. Belum lagi sepanjang makan malam Renjun terus mengobrol dengan Linyi menggunakan bahasa Ibu mereka yaitu Bahasa Mandarin. Makin jengkel lah Ryujin.

Hal itulah yang membuat si gadis kini berjalan hingga tiba di lobi. Ternyata di luar hujan deras. Ryujin ingin segera pergi, namun dirinya tak membawa payung.

Ryujin langsung saja menerabas, berjalan cepat di bawah guyuran hujan. Kaki gadis itu melangkah menuju taman di samping gedung hotel. Dari belakang, terdengar teriakan dari Renjun yang mengejar.

“Sayang! Kau mau pergi ke mana?! Ayo kembali ke dalam! Nanti kau bisa sakit!” teriak Renjun.

“Diam, Huang Renjun! Aku sedang kesal denganmu!” balas Ryujin tanpa menoleh.

Renjun berlari secepat yang ia bisa, bergerak menghadang Ryujin agar gadis itu berhenti menjauh.

“Kau bisa minggir tidak? Atau aku pukul?”

Renjun tarik dan peluk tubuh sang dara. Lelaki itu eratkan pelukan walau Ryujin terus meronta, memukul bahu Renjun bergiliran minta dilepas.

“Lepas!” teriak Ryujin di bawah guyur hujan.

“Enggak akan! Kita harus kembali ke dalam. Aku tidak mau kau sampai sakit!” balas Renjun.

Ryujin dorong tubuh Renjun keras, membuat pelukan melonggar dan tubuh si lelaki menjauh. Keduanya terengah. Si gadis menatap nyalang, sementara si lelaki terlihat bingung dengan kemarahan Ryujin yang begitu tiba-tiba.

“Aku marah sama kamu. Ngapain kamu ngejerin aku?!”

“Ya, kau mengapa marah papaku? Kau harus beritahu aku, agar aku sadar di mana salahku, Sayang,” bujuk Renjun.

Ryujin menatap skeptis, namun akhirnya ia ceritakan juga apa yang membuatnya marah. “Aku tidak suka acara makan malam kita diganggu dengan kehadiran orang lain. Aku tidak suka kau mengabaikanku dan lebih memilih berbicara dengan Lini-Lini itu.”

“Lin Yi namanya.”

Whatever his name lah! Pokoknya aku enggak suka. Aku kan rindu, hanya ingin menikmati waktu berdua saja,” terang Ryujin.

Renjun terkekeh pelan. “Ku kira kamu cemburu pada Nakyung,” goda Renjun.

“Untuk apa aku cemburu pada Nakyung-unnie? Hubungan kalian terjadi di masa lalu, tidak akan kembali ke masa sekarang maupun nanti. Untuk sekarang dan ke depannya, hanya aku perempuan yang boleh bersanding denganmu,” balas Ryujin.

“Kau percaya diri sekali!” Tawa Renjun menggelegar setelahnya, namun suaranya teredam oleh hujan yang belum juga mereda.

Ryujin sudah melupakan kesalnya. Gadis itu justru melangkah mendekat. “Percaya diri itu diperlukan jika menjadi kekasih manusia sempurna sepertimu. Dan sepertinya kau tidak akan menolak jika aku dengan percaya diri melakukan ini.”

Ryujin raih kedua sisi rahang Renjun, menarik wajah lelaki itu mendekat. Hidung bergesek pelan, semakin dekat hingga bibir mereka bertemu.

Awalnya hanya menempel, perlahan berubah menjadi pagutan memabukkan. Di tambah kondisi dingin yang mendukung, tubuh semakin merapat, cumbuan semakin dalam.

Ryujin dan Renjun mencari dominasi, tidak lagi peduli dengan derasnya hujan mengguyur.

ting

Suara dua gelas berbenturan terdengar nyaring di telinga Ivy dan Vel. Keduanya tengah menikmati red wine yang termasuk jarang mereka minum jika tidak bertemu seperti saat ini.

”So, how’s life?” tanya Vel.

So far so good! Enggak ada kesusahan sama sekali pas sekolah di sana, paling pusing di sini aja nyari kerja,” balas Ivy.

“Kamu enggak kerja sama dosen S1 kamu lagi?”

“Ditawarin sih, tapi belum aku iyakan. Masih mau santai dulu aku, baru juga pulang dari studi setahun. Mau liburan dulu aku,” ucap Ivy.

“Ya juga sih ya! You really need a getaway to somewhere, maybe Bali or Lombok,” saran Vel.

Ivy meneguk kembali minumnya. “Bosen ah! Aku sih rencana mau ke Jogja, ngajakin Uji. Paling entar Naren ikutan,” balas Ivy.

By the way, aku kalau keinget Naren tuh pasti ketawa. Keinget dulu si Uji gegayaan enggak mau sama berondong, eh akhirnya jadian juga sama Naren,” cerita Vel mengenang masa lalu.

Ivy ikut tertawa mendengar cerita masa lampau. “Iya, enggak masalah lah. Timbang si Uji stay sama Kak Wahyu. Heran deh, Uji tuh kurangnya apa sampai diselingkuhin sama Kak Wahyu,” timpal Ivy.

“Eh iya, enggak ngajakin Marina?” tanya Vel kemudian.

“Aduh! Sulit deh ngajak itu Mama muda satu. Ngurusin suami sama anak aja udah keteteran, diajak pergi jauh. Kalau ngafe sih masih di gas sama Marina,” terang Ivy.

Vel turut meneguk minumnya, lalu menyambar, “Kalau kamu gimana? Masih betah sendiri?”

“Belum nemu aja yang pas, Vel.”

“Belum nemu atau masih berharap sama Alen? Mau sampai kapan? Sampai dia putus sama si Talitha? Bisa jadi malah udah pindah agama tuh orang, Vy. Kan dia bulol banget ke Talitha. You know the rest of the story,” sindir Vel.

Ivy mendengus sebal jika sahabatnya sudah membahas Alen, cinta pertama Ivy sejak jaman sekolah dasar. Karena tebakan mereka pasti benar, ada sedikit di sudut hati ivy, berharap pria itu menoleh padanya. Sayangnya, belasan tahun berlalu dan Ivy tidak juga nampak di mata Alen.

Andai Vel tahu, Ivy sesungguhnya tengah berjuang menghapus perasaan yang membelenggu bak mantra sihir tersebut.

Ivy ingin sekali, lepas dari bayang-bayang Agni Nalendra.