Chaeryeong jatuhkan tubuhnya ke kursi tepat setelah pintu mobil tertutup. Kepala ia lempar pelan ke sandaran, perlahan memejamkan mata kala rasa lelah terserap oleh lapisan kulit yang menutupi kursi. Tak lama suara helaan keluar.
“Kenapa? Capek ya?” tanya Haechan di balik kemudi.
Kekasih Chaeryeong ini semalam berjanji untuk mengajaknya jalan-jalan malam. Kebetulan promosi grup dari masing-masing sudah selesai, sehingga ada sedikit waktu yang bisa mereka curi untuk dihabiskan bersama.
Haechan memajukan mobil, keluar dari parkir bawah tanah dan kembali membelah jalanan kota Seoul. Lagu dari penyanyi legendaris Michael Jackson terdengar sayup-sayup dari pemutar media.
“Banget! Promosi aku ‘kan udah selesai dari dua minggu lalu, tapi kau tahu aku baru saja pindah asrama, jadi semingguan ini aku harus merapikan kekacauan yang terbengkalai.”
Chaeryeong ceritakan keluh kesahnya pada Haechan. Mulai dari kepindahan ke asrama baru yang mendadak dan serba terburu-buru karena bersamaan dengan jadwal rekaman, latihan, hingga comeback yang berentet tanpa putus.
“Kau bisa minta bantuanku, Chaeryeong-ah!” seru Haechan.
Tangan lelaki itu dengan asal mengacak surai merah sang kekasih. Entah mengapa, Haechan suka sekali dengan warnanya, Chaeryeong terlihat dewasa. Bukan yang aneh-aneh, Chaeryeong terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dengan rambut merah legam.
Chaeryeong menoleh dengan mulut mengerucut. Tubuhnya lantas mengikuti, miring menghadap Haechan yang pandangan lurus ke jalan.
“Kau baru selesai promosi dua hari yang lalu. Aku tidak mungkin mengganggumu. Lagipula, tidak ada yang tahu kita pacaran,” balas Chaeryeong.
Haechan menghela napas. “Iya juga ya! Aku lupa tidak ada satupun yang tahu kita pacaran kecuali keluarga kita.”
“Kau tahu? Waktu kita barter challenge buat diunggah ke Tiktok, rasanya ingin sekali aku memelukmu saat itu juga. Kau terlihat begitu cantik setelah tiga bulan lebih kita tidak bertemu,” lanjut Haechan.
Chaeryeong dan Haechan sudah berpacaran setahun lebih, namun keduanya memilih merahasiakannya. Ketimbang takut ketahuan media, keduanya menghindari pelanggaran kontrak di mana Chaeryeong baru bisa memiliki hubungan asmara setelah debut tiga tahun. Jatuh cinta memang bukan kesalahan, namun melanggar kontrak adalah hal terakhir yang keduanya hindari.
“Saat itu kau menyebalkan! Aku berulangkali mengajarkan tarian Mafia In The Morning, tapi kau selalu saja mengacau,” cibir Chaeryeong.
“Aku sengaja, sayang! Lagipula, kau sudah kirimkan video latihanmu padaku. Aku hapal gerakan lagumu di luar kepala,” balas Haechan, melempar senyum sekilas sebelum kembali menatap jalanan.
“Cih, alasan!” decih Chaeryeong.
Kedua lalu tertawa. Kalau dipikir lucu juga dinamika mereka berkomunikasi. Walau kadang merutuki satu sama lain, percakapan mereka selalu berakhir dengan tawa renyah seakan menertawai kebodohan mereka beberapa detik yang lalu.
“Terserah kau saja lah, hehe,” timpal Haechan.
Haechan lalu mengganti topik, “Oh iya, sayang, kita mau ke mana malam ini? Sepertinya tidak aman kalau ke Sungai Han sekarang. Banyak wartawan di sana.”
“Kenapa tidak menyetir keliling kota saja?! Ini pertama kalinya kau menjemputku dengan mobil pribadi. Kulihat-lihat, kau baru beli ya?!” selidik Chaeryeong, tubuh condong ke arah Haechan dan jari menunjuk pada sang kekasih.
“Haha, mana ada! Ini Ayah yang beli baru. Kebetulan Ayah tidak pakai hari ini, jadi aku pinjam saja,” elak Haechan, padahal pasti tagihan mobil listrik keluaran dalam negeri ini ia yang bayar seutuhnya.
“Maksudnya kau membelikan untuk Ayah, begitu bukan?”
Pertanyaan sarkastik Chaeryeong membuat Haechan tertawa. Membohongi Chaeryeong tidak ada gunanya, gadis itu terlalu pintar untuk menebak jalan pikiran orang lain.
“Okay, you win, Princess! Sebagai hadiah, aku ajak kau berkeliling kota,” balas Haechan.
“Yes!” seru Chaeryeong kegirangan.
Ini bukan pertama kalinya Chaeryeong berkendara, toh ia selalu bepergian dengan mobil setiap acara keluar atau setiap ada jadwal pekerjaan. Namun ini pertama kalinya Chaeryeong berkendara dengan Haechan.
Mobil Haechan melaju dengan kecepatan normal, tidak pelan tidak juga cepat hingga melanggar aturan laju maksimal dalam kota. Geraknya cukup untuk menyaksikan secara langsung hirup pikuk kehidupan di kota.
“Oppa, nanti mampir di Paris Baguette dekat agensimu ya! Aku ingin yang manis-manis,” celetuk Chaeryeong kala mobil memasuki kawasan Apgujeong.
“Creme brulle or fruit tarts?”
“Fruit tarts with white whipped cream. The one on the sliding fridge,” ucap Chaeryeong cepat.
Mobil berhenti tepat di depan toko dan Haechan bergegas keluar memasuki toko roti favorit keduanya. Sengaja ia yang turun, karena sebagian fans tahunya itu mobil Haechan. Kalau Chaeryeong yang turun, bisa langsung ketahuan. Tentu berbahaya!
Tak lama, Haechan kembali dengan dua cokelat panas dalam gelas kertas, satu kotak berisi kue permintaan Chaeryeong, dan satu roti keju kesukaannya.
“Woah! Hot choco!” pekik Chaeryeong sembari membantu mengambil bawaan Haechan. Satu ia taruh di bolongan gelas dekat pendingin, satu lagi ia berikan pada Haechan yang kemudian ditaruh pada bolongan dekat kemudi.
“Yang manis dulu apa yang asin?” tanya Chaeryeong.
“Yang keju aja dulu. Suapin ya!” pinta Haechan.
Chaeryeong mengangguk pelan. Untuk apa menolak, toh jarang sekali mereka bisa romantis seperti sekarang. Kesibukan menjadi alasan utama mereka sulit bertemu.
Chaeryeong sobek sedikit bagian roti, lalu ia masukkan ke dalam mulut Haechan yang terbuka lebar. Setelahnya merobek sedikit bagian lagi untuk lahap. Berulangkali hingga roti habis, kemudian dilanjut dengan kue pesanan si gadis.
Sembari makan di perjalanan, tak jarang Chaeryeong dan Haechan terlibat dalam sesi bernyanyi. Apalagi setelah lagu berganti ke daftar putar berisi lagu-lagu dengan kolaborasi antar-gender, mereka bernyanyi sepuasnya.
Sesekali diselipi dengan obrolan ringan hingga serius seperti berikut.
“Oh iya, kau kapan hari bilang mau mengurus deposito ke bank. Sudah beres?!” tanya Chaeryeong.
Kapan hari yang Chaeryeong maksud adalah dua bulan lalu. Kala itu Chaeryeong tengah mempersiapkan diri untuk comeback, sementara Haechan tidak begitu sibuk karena baru menyelesaikan promosi album Jepang. Haechan pun berinisiatif membantu Chaeryeong dengan bantuan pemindahan surat kuasa, sehingga urusan mudah untuk diselesaikan.
“Sudah. Punyamu juga sudah aku urus,” balas Haechan.
“Petugas bank-nya tidak curiga kau mengurus milikku?”
“Mereka tidak akan peduli privasi nasabah, sayang. Kau tak perlu khawatir,” balas Haechan menenangkan Chaeryeong.
Tak terasa dua jam lebih keduanya luntang-lantung di jalan. Kini mobil sudah kembali terparkir di lantai bawah tanah gedung apartemen di mana asrama Chaeryeong berada.
“Cepat sekali! Aku belum mau turun,” rengek Chaeryeong. Nyatanya waktu dua jam kurang baginya untuk dihabiskan beraama sang kekasih. Belum turun dari mobil saja Chaeryeong sudah rindu, apalagi nanti.
Haechan condongkan tubuh ke arah Chaeryeong, merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah si gadis. “Ya sudah, kita di sini saja dulu sampai kau puas,” tawar Haechan.
“Coba nyanyi, lagu apa aja!” pinta Chaeryeong mendadak.
“Sekarang?!”
“Iya, sekarang! Aku turun setelah kau bernyanyi,” balas Chaeryeong dengan nada menyakinkan.
Haechan tak punya pilihan, ia nyanyikan lagu Beautiful oleh penyanyi Crush yang merupakan lagu favoritnya dan sang kekasih. Hanya sampai chorus pertama selesai, karena setelahnya kedua sisi rahang Haechan ditarik pelan oleh Chaeryeong. Kecupan singkat di bibir adalah yang Haechan rasakan setelah itu.
“Terima kasih. Aku sudah puas! Kalau begitu aku turun dulu! Dah, oppa!” pekik Chaeryeong.
Secepat kilat, Chaeryeong ambil gelas berisi cokelat panas miliknya, keluar mobil, dan berlari menuju lift sembari tangannya melambai ke arah mobil.
Haechan ingin sekali mengejar gadisnya dan membalas perlakuan sang kekasih dengan cumbuan mematikan. Namun ada baiknya ia pulang sebelum manajer tahu dirinya menghilang.
Lee Chaeryeong, tunggu pembalasan dari Lee Haechan.