Rina

Haechan menekan bel rumah Chaeryeong. Tak lama muncul Chaeyeon yang membukakan pintu. Tanpa jeda Chaeyeon langsung saja menarik Haechan masuk, lalu meraih kedua sisi kerah kemeja si lelaki.

“Abis lo apaain adek gue sampai nangis begitu?!” tanya Chaeyeong dingin. Haechan membalas dengan nada ketakutan, “Gue cuma bercanda, Chae! Sumpah!”

“Lo tuh kebiasaan! Bercanda tuh batas normal aja kenapa?” omel Chaeyeon.

“Makanya itu gue ke sini mau minta maaf. Ryeong di kamarnya kan?”

Chaeyeong mengangguk pasrah, memberi Haechan akses menuju kamar sang adik. 'Ada-ada saja!' batik Chaeyeon.

Haechan buka pintu kamar Chaeryeong, menemukan si gadis duduk di atas tempat tidur dengan tubuh sepenuhnya tertutup selimut. Tanpa suara Haechan mendekat, duduk di samping sang kekasih, baru setelahnya berani menyibak selimut.

Haechan disuguhkan dengan mata tajam Chaeryeong berlinangan air mata. Mata gadis itu juga merah, membuat Haechan semakin merasa bersalah. Haechan tarik gadisnya dalam pelukan dan mengelus surai serta punggungnya.

“Jangan bercanda kayak gitu lagi,” gumam Chaeryeong yang terdengar bagai omelan.

“Iya, enggak akan. Maafin aku ya sayang. Aku enggak bakal main-main lagi sama hubungan kita,” balas Haechan.

Haechan sungguh menyesal membuat Chaeryeong menangis. Walau terlihat galak di video call dan chat, Chaeryeong sebenarnya mudah sekali menangis. Pasti gadisnya ini sudah menangis sejak sambungan video call terputus. Tidak lagi-lagi Haechan menjahili Chaeryeong.

“Janji?”

“Janji.”

“Sophia!”

Wanita bernama Sophia menoleh kala namanya dipanggil oleh salah satu teman kantor tempatnya bekerja.

“Yes, Betty?”

“Are you having a fling or something with Boss Johnny?”

Sophia memicing menatap Betty. Ia balas pertanyaan Betty sambil merapikan barang-barangnya, “What kind of question is that? I’m just his secretary. No more than that!”

Betty menganggap remeh balasa Sophia. “A secretary who also taken care of his crazy love life with many women? Yeah sure!” sarkas Betty.

“Are you throwing a sarcasm? Who hurt you, woman?” tanya Sophia.

“Lemme tell ya, babe! There is a woman want to see Boss downstair, but Boss told me to tell you to take care of that woman. Aren’t you tired with that errand?” ucap Betty.

Sophia kini paham mengapa Betty terdengar begitu sensitif. Johnny sang atasan lagi-lagi meminta Sophia membereskan sesuatu yang ia miliki dengan perempuan lain. Johnny tidak pernah serius dengan satu wanita, yang membuat Sophia tidak paham. Apa yang sebenarnya ada di dalam kepala si pria? Menyusahkan Sophia saja!

“Okay, tell the receptionist to tell the woman that Mr. Johnny is on a business trip and cannot be seen until next week,” ucap Sophia beberapa saat kemudian.

“Then what are you going to do?” tanya Betty.

Sophia berjalan menuju ruangan Johnny sembari berkata, “Kill his damn head!”

Sophia serius kali ini. Ia sudah lelah mengurusi masalah percintaan Johnny yang tidak ada ujungnya. Peduli statusnya hanya bawahan, Sophia tidak mau lagi ditindas seperti ini.

Sophia buka pintu tanpa mengetuk dan langsung membantingnya keras. Johnny tidak terlihat terkejut, seakan menunggu kehadiran Sophia.

“So, have you taken care that woman?” tanya Johnny.

Sophia berhenti di samping Johnny yang duduk membaca dokumen, lalu menggebrak meja keras. “Stop asking me to take care of your bitches! I am your secretary, not your maid!” bentak Sophia.

Johnny letakkan dokumen di meja, memutar kursi sedikit menoleh ke arah Sophia. “Why you so mad? You did it numerous time and suddenly you mad with it?” tanya Johnny.

Sophia terdiam mendengar pertanyaan Johnny. Benar juga, mengapa ia harus marah dengan Johnny yang suka berganti kekasih. Di bilang kekasih pun tidak, itu hanya fling semata di mana Johnny tidak peduli jika perempuan yang ia dekati berharap lebih atau tidak.

Johnny ambil kesempatan dengan berdiri dan mempersempit jarak antara dirinya dan Sophia.

“You know the answer, Sophia,” gumam Johnny.

Sophia berjalan mundur seiring dengan langkah maju Johnny. “What do you mean, Boss?” tanya Sophia terbata-bata.

“Don’t play naive, Sophia. Until when will you reject my proposal?”

Sedikit cerita, Johnny adalah adik tingkat Sophia saat kuliah. Sophia tentu tidak sekaya Johnny. Lulus kuliah, Johnny langsung mengambil perusahaan keluarganya. Sementara Sophia berakhir bekerja menjadi bawahan Johnny.

Johnny sudah menaruh rasa sejak di bangku kuliah. Sudah berulangkali pula meminta Sophia menjadi pacarnya. Saat mulai bekerja, Johnny makin gila dengan meminta Sophia menikah dengannya.

Sophia berulangkali pula menolak, padahal orang tua Johnny sendiri tidak masalah jika putra mereka berakhir bersama dirinya. Ketimbang gonta-ganti kekasih, mereka lebih suka jika Johnny settled down dengan Sophia.

Sophia menolak bukan karena ia tidak mencintai Johnny. Wanita bodoh kalau tidak terbuai dengan pesona sang atasan Sophia menolak karena ia merasa tidak sepantas itu bersanding dengan pria sehebat Johnny.

“Johnny, we have talked about this numerous time! I won’t accept it!” balas Sophia.

“Then I won’t stop changing girlfriends and ask you to take care of it every single time too!” ancam Johnny.

Sophia yang sudah terlanjur kesal mendekat dan meraih kedua sisi rahang Johnny. Menyatukan bibir si pria dengan miliknya, yang langsung dimanfaatkan oleh Johnny dengan memperdalam ciuman. Melumat pelan sembari tangan menahan tengkuk dan pinggang agar Sophia tidak menjauh.

Pasokan oksigen yang menipis membuat ciuman terlepas. Engahan napas terdengar, tanda bahwa ciuman mereka begitu agresif untuk ukuran atasan dengan bawahan.

“You kissed me first!”

“Because you are getting on my nerve!” hardik Sophia.

Johnny tertawa pelan. “Whatever, woman! Since you kissed me, you are mine now! Because you are mine, I’ll stop playing with girl! As what I promise to myself,” ucap si pria.

“You do-“

“I don’t take a no, babe! Now wait outside, then we will back together. We are going to have a date tonight!”

“Wha-“

“Just do what I asked you, Mrs. Suh,” potong Johnny sekali lagi.

“Its Miss Kim, boss!”

“We are going to marry each other, so its Mrs. Suh. Now go!”

Johnny usir Sophia sebelum wanita kembali protes. Sophia hanya bisa pasrah dan berakhir menuruti Johnny.

Sophia tidak akan pernah bisa melawan apapun perintah Johnny.

Haechan menutup pintu kamar dan meletakkan tas di pojokan. Ia banting tubuh ke atas kasur, membiarkan rasa lelah terserap oleh material kasur yang empuk. Desahan panjang terdengar dari mulut sang Adam.

“Kau lelah sekali nampaknya,” celetuk Johnny dari kasur sebelah, terlihat sibuk bermain dengan ponsel-nya.

“Ya begitu lah, hyung,” balas Haechan sekadar.

Dalam keadaan tengkurap, Haechan rogoh saku celana guna mengambil ponsel. Ia tekan layar dengan harapan ada notifikasi penyemangat. Namun nihil, tidak ada notifikasi sama sekali di ponsel. Desahan Haechan makin panjang.

“Sekarang apa lagi yang membuat kau mendesah seperti itu?” tanya Johnny.

Wajar Johnny bertanya demikian. Mereka sekamar dan suara desahan Haechan terdengar begitu keras, menggema ke seluruh ruangan. Johnny tentu saja khawatir.

“Chaeryeong tidak mengirimiku pesan hari ini, hyung,” lirih Haechan tanpa menoleh.

Hening sejenak hingga Johnny kembali menyahuti, “Kau sudah putus dengannya sejak sebulan yang lalu. Kau tidak lupa ‘kan?”

“Tapi aku merindukannya, hyung. Dua hari kemarin aku bertemu dengannya karena memiliki schedule yang sama, ia terlihat begitu cantik. Aku merasa ia masih milikku. Salahkah, hyung?” keluh Haechan.

Haechan tidaklah menangis. Lebih tepatnya, ia tidak mampu lagi menangis. Ia keluarkan semua tangisnya di tengah tawa kencang saat live NCT Dream berlangsung beberapa jam lalu. Orang mengira Haechan menangis saking kencangnya tertawa, padahal itu hanya alasan agar ia bisa menangis tanpa dicurigai.

Sementara Johnny hembuskan napas pelan. Mengenal Haechan bertahun-tahun, ditambah lelaki itu teman sekamarnya, Johnny sangat paham yang Haechan lalui dan rasakan pada gadis Lee itu. Namun situasi tidak semudah itu membuat keduanya kembali bersama.

“Kau tahu tidak semudah itu permasalahannya. Chaeryeong punya identity issue yang tinggi, gadis itu juga mudah sekali khawatir. Dia menangis semalaman saat membaca komentar jahat yang orang-orang berikan padamu karena rumor asal-asalan, tapi saat bertemu kau selalu saja menyakinkan kau baik-baik saja. Kau selalu tersenyum padahal kau bisa tumpahkan segala macam emosi padanya. Kau memilih tidak melakukan itu. Di mata Chaeryeong, kau tidak percaya padanya. Chaeryeong tidak salah kalau akhirnya meminta putus di saat kau sendiri juga terpuruk. Untuk apa bertahan pada seseorang yang tidak bisa mempercayainya,” ucap Johnny panjang lebar.

Haechan harus mengerti, nasi sudah menjadi bubur dan tidak ada yang bisa dikembalikan.

“Aku mengerti dan kini aku menyesal, hyung,” ucap Haechan.

Haechan melanjutkan, “Aku hanya tidak ingin Chaeryeong khawatir, tapi aku tidak sadar kalau ia ingin aku juga bertopang padanya. Chaeryeong tidak ingin selalu menyandar, ia ingin pula dijadikan sandaran. Bodohnya aku telat menyadari semua itu.”

Johnny bangkit dan mengacak surai Haechan pelan. “Penyesalan memang selalu datang belakangan. Sekarang tinggal kau pilih, mengejar kembali milikmu atau membiarkan ia lepas menemukan kebahagiaan yang tepat,” saran Johnny.

Johnny keluar kamar, meninggalkan Haechan yang semakin tenggelam dalam penyesalan. Karena Haechan tahu mereka tidak akan bisa kembali utuh seperti sedia kala.

Chaeryeong jatuhkan tubuhnya ke kursi tepat setelah pintu mobil tertutup. Kepala ia lempar pelan ke sandaran, perlahan memejamkan mata kala rasa lelah terserap oleh lapisan kulit yang menutupi kursi. Tak lama suara helaan keluar.

“Kenapa? Capek ya?” tanya Haechan di balik kemudi.

Kekasih Chaeryeong ini semalam berjanji untuk mengajaknya jalan-jalan malam. Kebetulan promosi grup dari masing-masing sudah selesai, sehingga ada sedikit waktu yang bisa mereka curi untuk dihabiskan bersama.

Haechan memajukan mobil, keluar dari parkir bawah tanah dan kembali membelah jalanan kota Seoul. Lagu dari penyanyi legendaris Michael Jackson terdengar sayup-sayup dari pemutar media.

“Banget! Promosi aku ‘kan udah selesai dari dua minggu lalu, tapi kau tahu aku baru saja pindah asrama, jadi semingguan ini aku harus merapikan kekacauan yang terbengkalai.”

Chaeryeong ceritakan keluh kesahnya pada Haechan. Mulai dari kepindahan ke asrama baru yang mendadak dan serba terburu-buru karena bersamaan dengan jadwal rekaman, latihan, hingga comeback yang berentet tanpa putus.

“Kau bisa minta bantuanku, Chaeryeong-ah!” seru Haechan.

Tangan lelaki itu dengan asal mengacak surai merah sang kekasih. Entah mengapa, Haechan suka sekali dengan warnanya, Chaeryeong terlihat dewasa. Bukan yang aneh-aneh, Chaeryeong terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dengan rambut merah legam.

Chaeryeong menoleh dengan mulut mengerucut. Tubuhnya lantas mengikuti, miring menghadap Haechan yang pandangan lurus ke jalan.

“Kau baru selesai promosi dua hari yang lalu. Aku tidak mungkin mengganggumu. Lagipula, tidak ada yang tahu kita pacaran,” balas Chaeryeong.

Haechan menghela napas. “Iya juga ya! Aku lupa tidak ada satupun yang tahu kita pacaran kecuali keluarga kita.”

“Kau tahu? Waktu kita barter challenge buat diunggah ke Tiktok, rasanya ingin sekali aku memelukmu saat itu juga. Kau terlihat begitu cantik setelah tiga bulan lebih kita tidak bertemu,” lanjut Haechan.

Chaeryeong dan Haechan sudah berpacaran setahun lebih, namun keduanya memilih merahasiakannya. Ketimbang takut ketahuan media, keduanya menghindari pelanggaran kontrak di mana Chaeryeong baru bisa memiliki hubungan asmara setelah debut tiga tahun. Jatuh cinta memang bukan kesalahan, namun melanggar kontrak adalah hal terakhir yang keduanya hindari.

“Saat itu kau menyebalkan! Aku berulangkali mengajarkan tarian Mafia In The Morning, tapi kau selalu saja mengacau,” cibir Chaeryeong.

“Aku sengaja, sayang! Lagipula, kau sudah kirimkan video latihanmu padaku. Aku hapal gerakan lagumu di luar kepala,” balas Haechan, melempar senyum sekilas sebelum kembali menatap jalanan.

“Cih, alasan!” decih Chaeryeong.

Kedua lalu tertawa. Kalau dipikir lucu juga dinamika mereka berkomunikasi. Walau kadang merutuki satu sama lain, percakapan mereka selalu berakhir dengan tawa renyah seakan menertawai kebodohan mereka beberapa detik yang lalu.

“Terserah kau saja lah, hehe,” timpal Haechan.

Haechan lalu mengganti topik, “Oh iya, sayang, kita mau ke mana malam ini? Sepertinya tidak aman kalau ke Sungai Han sekarang. Banyak wartawan di sana.”

“Kenapa tidak menyetir keliling kota saja?! Ini pertama kalinya kau menjemputku dengan mobil pribadi. Kulihat-lihat, kau baru beli ya?!” selidik Chaeryeong, tubuh condong ke arah Haechan dan jari menunjuk pada sang kekasih.

Haha, mana ada! Ini Ayah yang beli baru. Kebetulan Ayah tidak pakai hari ini, jadi aku pinjam saja,” elak Haechan, padahal pasti tagihan mobil listrik keluaran dalam negeri ini ia yang bayar seutuhnya.

“Maksudnya kau membelikan untuk Ayah, begitu bukan?”

Pertanyaan sarkastik Chaeryeong membuat Haechan tertawa. Membohongi Chaeryeong tidak ada gunanya, gadis itu terlalu pintar untuk menebak jalan pikiran orang lain.

“Okay, you win, Princess! Sebagai hadiah, aku ajak kau berkeliling kota,” balas Haechan.

“Yes!” seru Chaeryeong kegirangan.

Ini bukan pertama kalinya Chaeryeong berkendara, toh ia selalu bepergian dengan mobil setiap acara keluar atau setiap ada jadwal pekerjaan. Namun ini pertama kalinya Chaeryeong berkendara dengan Haechan.

Mobil Haechan melaju dengan kecepatan normal, tidak pelan tidak juga cepat hingga melanggar aturan laju maksimal dalam kota. Geraknya cukup untuk menyaksikan secara langsung hirup pikuk kehidupan di kota.

“Oppa, nanti mampir di Paris Baguette dekat agensimu ya! Aku ingin yang manis-manis,” celetuk Chaeryeong kala mobil memasuki kawasan Apgujeong.

“Creme brulle or fruit tarts?”

“Fruit tarts with white whipped cream. The one on the sliding fridge,” ucap Chaeryeong cepat.

Mobil berhenti tepat di depan toko dan Haechan bergegas keluar memasuki toko roti favorit keduanya. Sengaja ia yang turun, karena sebagian fans tahunya itu mobil Haechan. Kalau Chaeryeong yang turun, bisa langsung ketahuan. Tentu berbahaya!

Tak lama, Haechan kembali dengan dua cokelat panas dalam gelas kertas, satu kotak berisi kue permintaan Chaeryeong, dan satu roti keju kesukaannya.

“Woah! Hot choco!” pekik Chaeryeong sembari membantu mengambil bawaan Haechan. Satu ia taruh di bolongan gelas dekat pendingin, satu lagi ia berikan pada Haechan yang kemudian ditaruh pada bolongan dekat kemudi.

“Yang manis dulu apa yang asin?” tanya Chaeryeong.

“Yang keju aja dulu. Suapin ya!” pinta Haechan.

Chaeryeong mengangguk pelan. Untuk apa menolak, toh jarang sekali mereka bisa romantis seperti sekarang. Kesibukan menjadi alasan utama mereka sulit bertemu.

Chaeryeong sobek sedikit bagian roti, lalu ia masukkan ke dalam mulut Haechan yang terbuka lebar. Setelahnya merobek sedikit bagian lagi untuk lahap. Berulangkali hingga roti habis, kemudian dilanjut dengan kue pesanan si gadis.

Sembari makan di perjalanan, tak jarang Chaeryeong dan Haechan terlibat dalam sesi bernyanyi. Apalagi setelah lagu berganti ke daftar putar berisi lagu-lagu dengan kolaborasi antar-gender, mereka bernyanyi sepuasnya.

Sesekali diselipi dengan obrolan ringan hingga serius seperti berikut.

“Oh iya, kau kapan hari bilang mau mengurus deposito ke bank. Sudah beres?!” tanya Chaeryeong.

Kapan hari yang Chaeryeong maksud adalah dua bulan lalu. Kala itu Chaeryeong tengah mempersiapkan diri untuk comeback, sementara Haechan tidak begitu sibuk karena baru menyelesaikan promosi album Jepang. Haechan pun berinisiatif membantu Chaeryeong dengan bantuan pemindahan surat kuasa, sehingga urusan mudah untuk diselesaikan.

“Sudah. Punyamu juga sudah aku urus,” balas Haechan.

“Petugas bank-nya tidak curiga kau mengurus milikku?”

“Mereka tidak akan peduli privasi nasabah, sayang. Kau tak perlu khawatir,” balas Haechan menenangkan Chaeryeong.

Tak terasa dua jam lebih keduanya luntang-lantung di jalan. Kini mobil sudah kembali terparkir di lantai bawah tanah gedung apartemen di mana asrama Chaeryeong berada.

“Cepat sekali! Aku belum mau turun,” rengek Chaeryeong. Nyatanya waktu dua jam kurang baginya untuk dihabiskan beraama sang kekasih. Belum turun dari mobil saja Chaeryeong sudah rindu, apalagi nanti.

Haechan condongkan tubuh ke arah Chaeryeong, merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah si gadis. “Ya sudah, kita di sini saja dulu sampai kau puas,” tawar Haechan.

“Coba nyanyi, lagu apa aja!” pinta Chaeryeong mendadak.

“Sekarang?!”

“Iya, sekarang! Aku turun setelah kau bernyanyi,” balas Chaeryeong dengan nada menyakinkan.

Haechan tak punya pilihan, ia nyanyikan lagu Beautiful oleh penyanyi Crush yang merupakan lagu favoritnya dan sang kekasih. Hanya sampai chorus pertama selesai, karena setelahnya kedua sisi rahang Haechan ditarik pelan oleh Chaeryeong. Kecupan singkat di bibir adalah yang Haechan rasakan setelah itu.

“Terima kasih. Aku sudah puas! Kalau begitu aku turun dulu! Dah, oppa!” pekik Chaeryeong.

Secepat kilat, Chaeryeong ambil gelas berisi cokelat panas miliknya, keluar mobil, dan berlari menuju lift sembari tangannya melambai ke arah mobil.

Haechan ingin sekali mengejar gadisnya dan membalas perlakuan sang kekasih dengan cumbuan mematikan. Namun ada baiknya ia pulang sebelum manajer tahu dirinya menghilang.

Lee Chaeryeong, tunggu pembalasan dari Lee Haechan.

Taeyeon fumbled with Baekhyun’s delicate fingers while being hugged. They were watching Netflix shows over a box of seasoned chicken and two cans of cider.

Clock stroke past midnight minutes ago, means that Baekhyun’s birthday is arrived. Baekhyun himself was busy scrolling his phone, smiled so wide reading wishes from his members, friends, and fans around the world. He even gave a reply, hovering Taeyeon’s view because his other hand was clinging on her yet he could not type with one hand only.

“Baekhyun-ah! Don’t cover my face! I can’t see!” grumbled Taeyeon.

Not putting attention on his girlfriend, he proceeded kissing her temple while continue typing over his phone. His action made Taeyeon furious. What she did next was taking his phone and chased by Baekhyun cannot be avoided.

“Taeyeon-ah, give back my phone!”

“No! No before you promise you would care more about me before your enlistment this morning!” shouted Taeyeon, still ran away from being caught.

Baekhyun who already tired stop and flopped himself to the sofa. “Okay! I promise! Now give it back,” asked Baekhyun breathless.

Taeyeon put his phone one the dining table and sat beside Baekhyun fast. Hug his body tighter so he could not go taking the thin plate.

“Oh, come on, babe! Let me access it for awhile,” whined Baekhyun.

“Do it later! I am still sad you are going there in hours,” replied Taeyeong, hiding her face on the intersection within his neck and shoulder.

“It’s not like you can’t meet me for the whole eighteen months. You can come here basically everyday if you want to. You know I am assigned on the administrative instead of active soldier,” explained Baekhyun.

“Still though, I would be damn worry about you. I am afraid you get tired and fell sick. You get sick easily, you know that?” worried Taeyeon, slightly talking about his condition which make him easily tired and sleepy.

“Babe, being idol is more tiring than this enlistment. You know that. But at least, I can go and back like most civil workers, can enjoy my life like common people, can sleep on time. Eighteen months with that kind of routine is actually something that I’ve wanted after nine years of my career. Not that I hate my career now and everyone who push me, support me all this time, but I need a rest, right? I am human like everyone too. So, think this as a chance for me to take a bit rest before coming back as a better Byun Baekhyun.”

“For myself, for my family, for my members, for my fans, and of course for you,” closed Baekhyun, giving a peck on her nose.

Taeyeon sighed hard. She knew everything would be fine. Baekhyun got more rest time and he would go seeing the doctor as usual. But as someone whose been there since seven years ago and still counting, it would not be weird for her to worry. She saw everything Baekhyun’s been through and she was the one wiping his tears every time the world crushed him.

“You won’t believe me, will you?” asked Baekhyun afters seeing her stoic face.

“I...I believe you. But still...”

Baekhyun grasped both side of her jaw, her eyes met his. “Then stay calm. I am going to be fine. You know how strong I am. A sickness won’t kill me that easy,” calmed Baekhyun.

Taeyeon pushed down his hands and nodded. “Okay. But instead, I’ll be the one cooking you dinner, be the one accompanying you to the doctor. No excuses!”

Baekhyun laughed a little. “Please do, babe! I love you around me, so I am going to be so happy with your presence,” replied Baekhyun.

“Might as well you follow me to the office everyday,” teased Baekhyun.

If you heard a shout after that, it means Taeyeon just hit her boyfriend for being so cheeky.

Joohyun lepas sandal berhak miliknya asal dan menukarnya dengan slipper rumah, berjalan menuju ruang tengah. Ia jatuhkan tubuh ke sofa, menikmati bahan empuk yang menenangkan saraf punggung letih setelah seharian beraktivitas.

Sebenarnya tidak banyak yang Joohyun lakukan selain mengunjungi agensi untuk mempersiapkan comeback, itupun hanya memakan waktu tiga jam, tidak seperti biasanya yang bisa berlangsung seharian dari pagi sampai malam.

Setelah makan siang, Joohyun wajib mendatangi sesi konseling yang dijadwalkan untuknya setiap Hari Rabu. Hari ini. Konseling ini mulai Joohyun jalani setelah peristiwa yang menimpa dirinya tahun lalu.

Joohyun sangat paham, mulut adalah senjata paling mematikan. Mungkin tidak meninggalkan luka fisik, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah bisa yang mampu menyakiti hati seseorang. Joohyun tidak pernah bermaksud jahat untuk memarahi salah satu staf kala itu, ia hanya mengutarakan kekecewaan pada lelaki yang baru bekerja di tim yang selama ini mengurusi Red Velvet. Joohyun tidak akan mencari pembelaan, lelaki itu pasti sangat sakit hati sampai akhirnya membeberkan ke media. Sebanyak apapun orang lain membelanya, Joohyun tidak akan menghindar. Ini memang murni salahnya.

Satu hal yang Joohyun tidak sadari, pilihannya mengucap maaf dan mengaku salah tanpa menjelaskan dari sisinya justru membunuhnya perlahan. Jangankan mulut, jari-jari netizen jahat menggerogoti kewarasan. Kondisi psikis Joohyun tidak lagi sama.

Parahnya kondisi psikis Joohyun bahkan berefek pada fisik Joohyun yang melemah karena nafsu makan menurun. Bukannya memberi tubuh asupan makan yang cukup, Joohyun justru bergumul dengan membaca komentar-komentar jahat yang tidak seharusnya ia baca. Hingga pada satu momen, Joohyun ditemukan tergeletak pingsan oleh sang kekasih Donghae di salah satu ruang latihan. Stress mengambil alih kinerja tubuh hingga Joohyun tidak sadarkan diri. Pergi ke konselor adalah saran Donghae, karena pria itu tahu ia tidak punya kemampuan secara profesional untuk membantu kekasihnya sembuh total.

Joohyun tutup matanya dengan lengan, menutupi cahaya bulan yang merambat dari luar. Gorden ruang tengah tidak tertutup, sehingga cahaya dapat dengan mudah masuk menerangi apartemen yang gelap. Tak lama, pintu kembali terbuka dan lampu menyala secara bersamaan.

“Akh!” Joohyun berteriak karena merasa silau.

“Astaga Bae Joohyun! Kau membuatku terkejut saja. Kupikir kau belum pulang,” teriak Donghae.

Joohyun bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju dapur, tak menghiraukan keterkejutan Donghae. Bukannya tidak peduli, Joohyun sudah terlampau biasa dengan sang kekasih yang mudah kaget akan segala hal.

Joohyun mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral dari dispenser. Pelukan hangat dapat Joohyun rasakan setelah selesai meneguk habis isi gelas.

“Bagaimana hari ini? Lancar?” tanya Donghae mengeratkan pelukan, tak memberi celah untuk kabur sedikit pun bagi Joohyun.

Joohyun pasrah, ia sandarkan punggung pada dada Donghae. “Ya gitu aja,” balas Joohyun singkat.

“Gitu aja tuh apa? Mesti kalau ditanya tuh jawabnya gitu. Jangan main rahasia-rahasiaan sama aku,” ucap Donghae sedikit mengomel.

Joohyun tertawa pelan mendengar omelan sang kekasih. Biasanya ia yang suka mengomel, sekarang justru pria yang memberi kehangatan untuknya yang mengomel. Joohyun elus pelan lengan yang melingkar erat pada tubuhnya dan bersua, “Ya biasa, aku cerita gimana suasana hatiku akhir-akhir ini. Terus aktivitas yang sedang aku geluti apa, aku ceritain juga. Kayak yoga, terus belajar masak sama Mama, pergi ke pet cafe, macam-macam.”

“Kalau pergi ke Sungai Han setiap Sabtu pagi denganku, kau ceritakan juga tidak?” tanya Donghae.

“Tidak!” Joohyun menjawab tanpa ragu.

“Yah Bae Joohyun!” rengek Donghae, tak ayal melepas pelukan pada gadisnya.

Joohyun berbalik dan tertawa melihat ekspresi marah Donghae yang lebih pantas disebut sebagai wajah bayi merengek. Joohyun mendekat dan mengelus kedua sisi pipi Donghae. “Aduh! Anak bayinya siapa sih ini? Lucu banget!” goda Joohyun membuat bibir Donghae makin maju.

Joohyun jinjitkan kaki perlahan dan memberi kecupan singkat pada bibir Donghae. Setelahnya memeluk sang kekasih, mencari kehangatan yang ia sukai dari sang kekasih.

“Aku mana mungkin bilang pergi ke Sungai Han setiap Sabtu pagi dengan pria sehebat Lee Donghae. Bisa-bisa jari-jari netizen makin jahat padaku pada Kakak kalau info kita berpacaran ketahuan. Aku mengerti konselorku tahu aku kekasih Kakak, karena beliau juga konselor Kakak hingga sekarang. Hanya saja, aku tidak bisa menolerir ucapan jahat itu lagi, kau tahu itu,” terang Joohyun.

Donghae mengangguk pelan. Ia balas pelukan Joohyun lebih erat dari yang sang gadis berikan untuknya. “Baiklah, kalau begitu keputusanmu. Tapi begitu kontrak tujuh tahun kau berakhir, akan aku umumkan kau kekasihku dan juga tanggal pernikahan kita,” ucap Donghae.

Dapat Donghae rasakan anggukan Joohyun di atas dada. “Lakukan saja, ‘kan memang kita akan menikah awal tahun depan. Bahkan dipembahasan kontrak lanjutan minggu lalu, kau sampai memaksa Guru Lee Soo-man agar ada klausa khusus semua member boleh memiliki hubungan hingga ke tingkat pernikahan. Jadi lakukan yang menurutmu perlu dilakukan. Tapi sebelum aku benar-benar siap, jangan dulu ya, Kak,” balas Joohyun.

“Baik, Tuan Putri Joohyun!”

Donghae melanjutkan obrolan, “Lalu sekarang kau ingin apa? Makan malam? Atau ingin melakukan hal lain?”

“Aku ingin memeluk Kakak sedikit lebih lama, setelahnya akan aku masakkan Ayam Bumbu Gochujang kesukaan Kakak untuk makan malam kita,” pinta Joohyun.

“Apa pelukanku seampuh itu untuk kau menenangkan diri?” tanya Donghae.

Joohyun sudah biasa dengan tingkat kepercayaan diri Donghae. Ia tidak lagi protes melainkan mengangguk pelan, lalu menyelipkan sedikit rasa bersyukurnya pada Donghae.

“Terima kasih ya Kak, sudah menjadi satu dari sekian banyak orang yang setia berada di sisiku, apapun yang terjadi,” ucap Joohyun.

“Aku mencintaimu.”

Donghae tersenyum. Ia bubuhkan kecupan pada ubun-ubun, lalu berkata, “Aku juga mencintaimu. Sangat!”

“One, two! One, two!”

Seruan lantang nan antusias memenuhi ruang latihan. Yoo Jimin, yang lebih dikenal dengan nama panggung Karina, tengah berlatih gerakan tari baru untuk lagu comeback mereka. Selain dirinya, ada Aeri, Minjeong, dan Yizhuo yang dengan seksama mengikuti gerakan yang diperagakan koreografer.

“Kita ulang dua-tiga kali lagi! Setelah itu selesai, kalian bisa pulang,” ucap koreografer.

Latihan tidak lah lengkap satu lagu, tetapi hanya gerakan dari Verse 1 hingga Chorus 1. Dalam waktu sepuluh menit, latihan pun selesai dan mereka menghembuskan napas lega. Latihan selama lima jam akhirnya selesai tepat pukul sembilan malam.

Aeri menjadi yang pertama bangkit setelah koreografer pergi lima menit yang lalu. “Aku balik duluan ya! Taro sama Kak Yuta ngajakin makan malam bareng,” ujar Aeri.

“Kak, Kak Yuta tuh berasa bawa anak kembar enggak sih kalau pergi sama Kak Shotaro dan Kakak,” celetuk Yizhuo.

“Bukan mah! Kak Yuta tuh mak comblang-nya Kak Aeri sama Kak Shotaro lagi!” seru Minjeong.

“Mak comblang apaan deh? Aku sama Taro cuma temenan kok!” balas Aeri.

“Iki simi Tiri cimi timinan kik!” ejek Minjeong yang langsung membuatnya mendapat pukulan pelan dari Aeri.

“Diam ah! Ya udah, aku cabut ya!” Aeri pergi, lalu disusul oleh Minjeong dan Yizhuo yang ingin jalan-jalan memutari kawasan gedung SM sebelum kembali ke asrama.

Tersisa Jimin, yang kini menari dalam kegelapan. Hanya satu lampu yang gadis itu biarkan menyala, memberi sedikit pantulan terhadap lekukan tubuh yang bergerak tanpa hambatan. Permainan piano klasik terdengar memenuhi ruangan, memberi pengaruh terhadap gerak gemulai Jimin.

Jimin menari untuk mengalihkan pikiran kacau semenjak pagi. Tanpa gerakan terstruktur, Jimin liukkan tubuh sebebas-bebasnya, dengan harapan pikirannya bisa menjadi lebih jernih.

Nyatanya tidak mempan. Otak Jimin terus memikirkan sang kekasih yang tidak kunjung berkabar dalam beberapa jam terakhir. Kalau di hari biasa, Jimin masih bisa memaklumi. Namun hari ini ulang tahun Jimin, seharusnya lelaki itu mengunjungi atau setidaknya mengucapkan selamat ulang tahun melalui pesan singkat jika sangat sibuk. Jimin mungkin sudah merayakan hari ulang tahunnya tadi siang di lantai serbaguna sekaligus untuk dijadikan konten Youtube, namun tetap saja rasanya aneh tidak mendapat ucapan apapun dari sang pujaan hati.

Jika seperti ini, selain kesal karena serasa dilupakan, Jimin jadi khawatir. Sudah makan belum sang kekasih? Atau sudah cukup kah ia beristirahat? Banyak hal yang Jimin pikirkan dalam satu waktu.

Tenggelam dalam tarian serta lamunan, pintu ruang latihan terbuka. Suara engahan terdengar dari si pelaku. Si pelaku tersenyum kala menemukan gadisnya. Seakan hapal luar kepala, ia tahu Jimin pasti sedang memikirkan keberadaannya seharian ini, maka dari itu si gadis menari menggunakan alunan lagu karangan Mozart, Beethoven, Vivaldi, dan komposer klasik lainnya.

Melihat peluang, si lelaki meraih tangan dan pinggang Jimin dan lanjut menari. Jimin tidak punya waktu untuk sekedar protes, ia pasrah saja mengikuti tuntunan gerak kaki dan tangah sang kekasih. Awalnya kesal, Jimin kini menikmati kegiatan menari dengan si lelaki, hal yang jarang mereka lakukan semenjak memutuskan bersama dua tahun silam.

Lima menit berlalu, lagu terakhir dalam playlist Jimin mati dan gerakan pun otomatis berhenti. Napas keduanya terengah, berhenti dalam posisi si lelaki menggenggam erat kedua sisi pinggang gadisnya sementara tangan Jimin bertengger pada bahu si lelaki.

“Maaf, aku datangnya terlambat. Maaf juga karena enggak ngabarin kamu seharian,” ucap si lelaki.

Jimin diam menunduk, rasa kesal kembali menggerogoti. Tak ia tanggapi permohonan maaf sang kekasih.”

“Kamu marah banget ya?”

Pertanyaan selanjutnya lah yang membuat Jimin mendongak dan menatap sang kekasih nyalang. “Pertanyaan bodoh macam apa itu?!” ucap Jimin dingin, kedua tangan kini berada di samping tubuh.

“Kak, aku enggak bakal marah kalau setidaknya Kakak ngasih kabar ke aku. Aku enggak masalah kalau semisal Kakak enggak bisa ngerayain ultah aku. Aku masih bisa ngerayain sama yang lain. Aku tahu Kakak sibuk, tapi apa susahnya sih ngasih aku kabar? Selain aku jadi kesal, Kak Taemin tahu enggak sih, aku tuh khawatir sama Kakak. Kakak udah makan belum, udah istirahat cukup. Segila itu cuma karena Kakak enggak berkabar.”

Jimin keluarkan semua isi pikiran yang terbelenggu dalam beberapa jam terakhir. Tak ada satu bagian pun terlewat. Efek berhubungan dengan lelaki yang lebih tua tujuh tahun darinya, Jimin tidak perlu takut mengungkap unek-unek jikalau ungkapannya dapat menyakiti samg kekasih. Taemin lebih dari dewasa untuk menghadapi racauan sang kekasih.

Taemin tertawa pelan mendengar coletahan Jimin. Ia peluk gadisnya erat dan berbisik, “Aku janji, enggak bakal bikin kamu khawatir lagi. Janji bakal ngabarin rutin biar kamu enggak sedih lagi.”

“Beneran?!” gumam Jimin.

“Iya, beneran,” balas Taemin menyakinkan.

Jimin mendorong pelan tubuh Taemin guna melonggarkan pelukan dan menatap wajah tirus sang kekasih. Tangan bergerak naik mengusap pipi. “Kakak belum makan ya?”

“Belum. Mau makan bareng kamu, jadi abis schedule langsung ke sini. Syukur kamu masih ada. Kalau udah balik ke asrama, aku enggak mungkin ke sana,” terang Taemin.

Jimin reflek memukul bahu Taemin. “Tuh ‘kan! Mesti bandel! Aku suruh makan tepat waktu mesti enggak didengerin!”

“Jangan ngomel dulu ih! Hari ini doang, kemarin-kemarin aku enggak begitu!” seru Taemin membela diri.

Jimin mendegus sebal, yang justru terdengar menggemaskan bagi Taemin. Ia acak pelan surai Jimin, lalu membubuhkan kecupan singkat di kening. “Enggak usah bete gitu! Aku bawa kok makanannya ke sini,” ucap Taemin.

“Ke sini?!”

“Iya. Tadi aku tinggal di luar. Tunggu aku ambilin!”

Taemin berjalan cepat keluar dan kembali dengan satu kotak kue ulang tahun dan tas besar berisi burger dari restauran cepat saji kesukaan Jimin.

“Woah! Kok banyak?! Aku lagi diet, Kak! Nanti aku diomelin,” rengek Jimin.

Cheating lah hari ini! Lagian siapa ya yang kapan hari ngerengek minta burger sampai ngirimin stiker kucing berulangkali,” sindir Taemin halus.

Jimin kembali mendengus, namun tak lama mengikuti saran menyesatkan Taemin. Ia hidupkan lampu, baru kemudian bergabung dengan sang kekasih yang sudah duduk di bawah, sibuk menyusun lilin di atas kue.

“Dah hidup! Selamat ulang tahun kesayangan Kakak, Jimin-ah!” seru Taemin kala lilin berhasil ia nyalakan. Tangan merangkul bahu dan memberi kecupan cukup lama di pelipis Jimin.

“Sekarang, buat harapan dulu sebelum tiup lilin,” lanjut Taemin.

Jimin cakupkan kedua tangan di depan dada, memejam mata perlahan, dan mengucapkan harapan pada Yang Maha Kuasa.

”Tuhan, terima kasih sudah melahirkanku ke dunia. Terima kasih pula sudah mempertemukanku dengan lelaki yang menerimaku apa adanya. Yang mengajariku menjadi dewasa dan menjadi orang yang menerima sifat kekanak-kanakanku yang terkadang muncul. Semoga aku selalu bisa bersamanya hingga akhir hayat.”

Selesai memohon, Jimin membuka mata dan meniup lilin dalam sekali hembusan. Ia dan Taemin lantas bertepuk tangan setelah lilin mati dan tergantikan dengan asap-asap tipis bekas lilin.

Tangan nakal Taemin otomatis mencolek krim keju dari kue dan menorehkannya cepat pada pipi dan hidung Jimin.

“Kak!” teriak Jimin. Gadis itu tanpa pikir panjang melakukan serangan balasan. Keduanya berakhir dalam perang mengotori wajah dengan krim.

“Oke, berhenti! Nanti kue-nya enggak bisa dimakan kalau kita pakai main,” halang Taemin.

“Yang mulai duluan loh Kakak!” sungut Jimin.

“Iya, iya. Salahku sudah mengotori wajah cantik ini,” rayu Taemin sembari menghapus bekas krim pada wajah Jimin menggunakan tisu.

Beres membersihkan wajah sang kekasih, Taemin meraih rahang Jimin dan menyatukan bibir ke dalam ciuman memabukkan. Tidak ada nafsu atau hasrat lainnya, hanya berbagi rasa sayang yang menggebu-gebu.

Tak lama, tautan terlepas dan suara tawa keluar dari keduanya. Menertawakan kebodohan mereka beberapa menit yang lalu.

“Ya udah, ayo makan! Aku enggak mau dengar kamu ngomel lagi,” ucap Taemin.

Keduanya pun memakan burger sembari bercerita di sela-selanya, menceritakan apa yang mereka alami seharian ini. Tawa sesekali terdengar, tanda bahwa bersama dengan satu sama lain, Jimin dan Taemin akan selalu menjadi suatu kesatuan tak terlepaskan.

“Oh iya, kamu tadi berharap apa?”

“Rahasia lah!”

Konfigurasi kunci terbuka setelah Angga menekan enam digit kode apartemen di bilangan Karawaci. Ya, mereka tidak lagi tinggal bersama orang tua Angga di Jakarta Selatan. Terlalu jauh dari tempat kerja Angga dan juga kantor konsultan tempat Sisil terdaftar sebagai arsitek muda. Mereka putuskan untuk pindah setelah Rara memasuki usia empat tahun.

Kehadiran Angga setelah bekerja seharian di kantor disambut hangat oleh Sisil. Sang istri memeluknya erat, seakan memberitahu Angga bahwa satu hari melelahkan telah berhasil dilalui. Sekarang waktunya beristirahat.

Hmm, ini kamu keramas pakai shampoo-nya Rara?!” tanya Angga saat mengecup ubun-ubun Sisil.

Sisil menjauh seraya mengambil tas dari pundak Angga. “Hehe! Shampoo aku habis, mau beli ke bawah tapi enggak mungkin kan ninggalin Rara sendiri di rumah. Si mbak udah pulang pas aku mau mandi, ya udah deh aku pake aja shampoo-nya Rara. Lagian baunya wangi, wangi Rara,” terang Sisil.

“Kakak sekarang mandi dulu ya! Aku udah hidupin air panasnya, tinggal pakai aja. Jangan lupa matiin aja ya abis mandi,” ucap Sisil kemudian.

Sisil hendak melangkah masuk ke kamar, namun kembali mendekati Angga. “Oh iya, tadi aku masak menu kesukaan Kakak. Sapi lada hitam sama nasi yang agak lembek. Nanti aku piringin.”

Angga kalau sudah di rumah tidak lah terlihat sebagai pria berusia dua puluh sembilan tahun. Mungkin bisa jadi lebih bocah daripada Rara dengan merengek, “Aku mau main sama Rara dulu!”

Kalau dahulu Sisil takut durhaka sama suami, sekarang wanita itu tidak terlihat peduli dan memilih mencubit lengan Angga.

Ah! Aduh!”

“Aku suruh mandi, ya mandi! Kakak seharian di luar, bawa debu segala macam. Mau bikin Rara sakit apa gimana sih?! Lagian Rara masih ngerjain PR di ruang tengah, enggak boleh diganggu!” omel Sisil.

“Ya udah deh,” pasrah Angga.

Angga tidak ingin membuat pertikaian kecil dengan Sisil untuk kepentingan dan kebaikan Rara. Sejak menikah delapan tahun silam, secara otomatis fokus Angga dan Sisil adalah Rara. Rara adalah prioritas utama mereka. Lebih baik menurut saja ketimbang ribut.

Selesai mandi Angga jemur handuk di balkon, melewati Sisil dan Rara yang duduk di lantai di balik meja ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang menerima tamu.

“Mama sama Rara sudah makan?” tanya Angga. Kalau di depan Rara, Angga dan Sisil sepakat memanggil satu sama lain dengan sebutan Papa dan Mama.

Rara meletakkan pensil, lalu mendongak dan berseru, “Rara sama Mama sudah makan tadi, sebelum mengerjakan PR. Papa makan saja.”

Angga mendekat dan mengacak surai Rara gemas. “Siap tuan putri!” seru Angga.

“Papa sana makan dulu! Biar aku ngecek hasil kerjaan Rara dulu,” ucap Sisil yang lebih terdengar seperti usiran halus.

Angga berjalan menuju meja makan dan memulai makan malamnya yang terlewat lebih dari dua jam. Sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Angga bisa saja makan di restauran dekat kantor, namun ia lebih suka makan di rumah karena ia tahu bahwa Sisil selalu menyiapkan makan malam untuknya.

Sedikit cerita, bukanlah hal baru bagi Angga pulang malam seperti ini. Syukur-syukur kalau pukul tujuh bisa pulang, normalnya pukul delapan ia baru bisa meninggalkan badan pesawat yang perlu diperiksa dan dibenahi. Itu pun biasanya hanya satu bagian dari sekian banyak bagian dari satu badan pesawat. Melelahkan, namun pekerjaan ini yang memberi keluarganya makan.

Sisil sendiri memutuskan bekerja dari rumah setelah lulus kuliah dan sekolah profesi, agar lebih leluasa untuk membesarkan Rara. Angga awalnya tidak setuju, karena ia tidak mau Sisil berkorban terus menerus akan mimpinya. Namun bukan Sisil kalau tidak keras kepala. Ia bersikeras harus menjadi aktor utama dalam tumbuh kembang Rara. Maka dari itu, Angga sebisa mungkin memposisikan diri mendukung keputusan sang istri.

Netra Angga dengan sengaja melirik ke arah Sisil yang dengan sabar membantu Rara mengerjakan soal Matematika kelas 1 SD. Ujung bibir terangkat menampilkan senyum. Angga sekali lagi merasa beruntung bisa menjadi pendamping hidup Sisil, walau jalannya harus melalui ‘kecelakaan’ di masa lampau.

“Oke, sudah selesai PR-nya,” ucap Sisil pada Rara, membuyarkan lamunan Angga.

“Yey!” seru Rara.

Si cilik lantas berdiri untuk meregangkan tangan, lalu berjalan cepat ke arah Angga. Angga dengan sigap mengangkat tubuh Rara untuk duduk di pangkuan.

Yey! Anak Papa sudah selesai bikin PR! Susah?” tanya Angga.

Rara menggeleng. “Enggak, Pa. Soalnya Mama bantuin Rara ngerjain PR-nya. Sama Mama diperiksa satu-satu, terus kalau salah dikasih tahu cara ngitungnya, jadi enggak susah,” terang Rara tanpa ragu. Gadis ciliknya sudah sangat pintar berbicara.

Sisil yang sebelumnya sibuk di dapur kembali dengan dua cangkir teh hangat. Ia letakkan di meja makan, lalu berbicara pada Rara, “Rara sayang! Ayo tidur, Mama bacakan dongeng dulu.”

Rara turun dari pangkuan, bergegas masuk ke kamarnya. Sisil hendak menyusul, namun tangannya ditahan oleh Angga. “Udah, kamu duduk dulu istirahat. Biar aku yang bacain dongeng buat Rara,” tawar Angga.

“Tapi makanan Kakak...”

“Sebentar aja! Kamu tungguin aku sambil minum teh, aku enggak lama,” sela Angga.

Sepuluh menit berlalu, Angga keluar dari kamar Rara dengan lampu yang sudah mati. Ia tutup pelan, kembali duduk di meja makan bersama Sisil.

“Rara udah tidur?”

“Udah, tadi aku bacain dongeng pakai Bahasa Jerman, makanya dia cepat ngantuk terus tidur,” terang Angga yang sibuk mengunyah sisa makanan di piring.

“Kok yang Bahasa Jerman sih?!” sungut Sisil.

“Ya biar enggak lupa anaknya. Dia keseringan sama main sama Kakeknya, diajak ngomong Jerman terus. Jadi sekalian aja kita biasain dari kecil. Lumayan ‘kan buat belajar,” balas Angga.

Suapan terakhir habis, Angga letakkan sendok dan garpu dengan rapi di atas piring kosong. Masakan Sisil selalu enak, tidak mungkin Angga tidak habiskan. Sisil hendak bangun untuk mencuci piring, namun kembali ditahan. Angga justru menarik Sisil dalam pelukan hangat.

“Terima kasih atas kerja keras hari ini, Nyonya Cecilia Antoine Mahendra,” bisik Angga di telinga.

Sisil tertawa sembari memukul dada Angga. “Apaan sih, Kak? Geli ah!”

Angga menjauh dan tanpa aba-aba meraih kedua sisi rahang Sisil, menyatukan bibirnya dan bibir sang istri dalam cumbuan memabukkan. Sisil tanpa penolakan membalas lumatan Angga.

Kegiatan setiap Angga pulang kerja ini sesungguhnya merupakan hal rutin yang mereka jalani setiap harinya. Selesai menidurkan Rara, mereka akan bercengkrama tentang keseharian atau cerita lucu lainnya di meja makan atau balkon sembari menikmati teh hangat. Terkadang berbagi pagutan lembut nan manis seperti sekarang. Kalau ingin sekali, ya menyatukan cinta di dalam kamar. Kalian tidak perlu tahu detailnya.

Angga menjauh, memberikan kecupan berulang setelah sebelumnya menyasar bibir ranum Sisil. Angga lalu berkata, “Kamu sekarang tidur. Besok kamu bilang harus meeting online pagi. Ini piring biar aku cuci sendiri sekalian sama peralatan yang lain. Nanti aku juga yang mati-matiin lampu sama nutup balkon.”

“Tapi...”

“Enggak ada tapi, Sisil sayang!”

“At least, let me do something to pay your hard work,” tambah Angga.

Sisil menggangguk pasrah dengan senyuman bertengger di wajah. Tidak ada gunanya mendebat Angga, toh bagus ada suami yang membantu. Ia sesungguhnya juga lelah setelah seharian berkejar dengan deadline pekerjaan dan mengurus Rara. Ia teguk sisa teh hangat di cangkir, lalu berdiri dan mengecup pipi kanan Angga, baru setelahnya masuk ke kamar.

Angga angkat semua bekas peralatan makan ke tempat cuci piring. Dalam hati dan pikiran, Angga akan selalu menepati janjinya di hadapan Tuhan untuk menjaga dan memberikan yang terbaik untuk Sisil dan Rara sampai ajal menjemput.

🌼

Ivy loncat dari tempat tidur segera setelah membaca pesan terakhir Alen. Pesta kecil-kecilan dengan Uji dan ketiga saudara sepupunya sudah selesai beberapa jam yang lalu. Ivy kini sendiri di apartemen.

”Apalagi yang lelaki ini kirim? Pasti dia kirim aneh-aneh karena enggak bisa pulang tepat waktu,” dumal Ivy dengan rajutan langkah semakin dekat dengan pintu.

Ivy buka pintu, membuat dirinya berhadapan langsung dengan buket besar berisi banyak tangkai bunga matahari, bunga yang akhir-akhir ini mendapat afeksi berlebih dari sang dara.

“Dilihatin aja bunganya? Enggak diambil?” tanya seseorang yang menggenggam buket.

Ivy lantas mendongak dan terperanjat kala menyaksikan Alen berdiri dihadapannya. Reflek Ivy pukul pipinya.

“Buset! Aku enggak salah lihat ‘kan?”

“Perasaan tadi bilangnya masih di Paris.”

“Jangan-jangan hantu-nya doang lagi?!”

Gumamam Ivy membuat Alen tertawa. Ia tarik tangan Ivy masuk ke dalam apartemen sebelum suara sang calon istri terdengar oleh penghuni apartemen lain dan dikira tidak waras.

Alen acak surai Ivy setelah pintu tertutup. “Kamu mah ada-ada aja. Ya beneran lah aku dihadapan kamu. Aku bohong aja tadi bilang masih di Paris,” ucap Alen.

Alen lalu melangkah ke dalam, meninggal Ivy yang masih memproses apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Cukup lama gadis itu berdiri melamun hingga sadar kalau Alen sudah benar-benar pulang.

Ivy berlari mengejar Alen yang tengah meletakkan buket di atas meja makan. Ivy peluk tubuh Alen dari belakang erat.

“Jangan tinggalin aku lagi,” rengek Ivy.

Alen tertawa pelan. “Aku cuma ninggalin kamu karena kerjaan loh! Lagian aku kerja kan buat kita juga, bukan buat yang lain-lain. Bentar lagi kita mau nikah, jadi harus banyak tabungan aku siapin,” terang Alen, ucapan yang sudah ribuan kali Ivy dengar.

Namun dapat Alen rasakan gelengan pada punggung. “Enggak, enggak boleh. Kamu enggak boleh pergi jauh-jauh lagi. Cuma boleh ke bawah aja,” ucap Ivy. Maksud Ivy adalah apartemen Alen yang hanya berjarak satu lantai dengan milik si gadis.

Alen terkekeh pelan. Sudah hal biasa Ivy bersikap manja seperti ini. Sebenarnya Alen kaget waktu tahu betapa manjanya Ivy. Lucunya, Ivy hanya manja saat bersama Alen. Kalau sudah dihadapan banyak orang, gadis itu tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap manis. Lebih sering judes dan sinis, terutama pada orang-orang yang tidak ia sukai. Justru bagus, karena Alen tidak akan membagi sikap manis Ivy untuk dinikmati lelaki lain. Hanya Alen yang boleh!

Alen longgarkan pelukan Ivy, lalu memutar badan dan balas memeluk sang kekasih. Ia sembunyikan wajah pada perpotongan leher dan bahu yang sedikit terhalang helaian rambut, menghirup aroma khas tubuh Ivy.

“Gosh! I miss you so much, dear,” bisik Alen.

“Ih, Alen! Janji dulu kamu enggak bakal pergi-pergi lagi,” ucap Ivy, masih belum kelar dengan agenda membuat Alen tidak pergi ke mana-mana selain kantor dan apartemen.

Alen tidak memedulikan rengekan Ivy, melainkan sibuk memberi kecupan singkat pada bahu terbuka sang dara. Kebiasaan Ivy, hanya menggunakan nightgown katun dilengkapi dengan sweater yang sengaja dibiarkan jatuh ke belakang. Alen tentu sama dengan lelaki pada umumnya, tidak akan membiarkan kesempatan pergi begitu saja. Lagipula Ivy miliknya dan gadis itu tidak menolak perlakuan Alen.

Kecupan lalu beralih pada kening Ivy. Perpindah lagi ke dua sisi pelipis, hidung, dua sisi pipi, dan dua sisi rahang yang membuat Ivy kegelian.

“Ih, Alen! Geli ah!” pekik Ivy.

“Geli mah kalau ini yang aku sentuh,” ucap Alen sembari menyentuh pinggang sensitif Ivy. Sesuai tebakan, gadis itu langsung menjauh dari tangan Alen.

“Alen!” teriak Ivy. Lupa sudah gadis itu dengan permintaan anehnya.

Namun Alen tidak berhenti sampai di sana. Ia raih kedua sisi kepala Ivy dan membubuhkan kecupan pada ubun-ubun.

_“Happy belated 27th birthday, Ms. soon-to-be Agni Nalendra!” _ ucap Alen kemudian, menampilkan senyum terbaiknya dihadapan Ivy.

Ivy tersenyum kecut, namun reaksi tubuhnya tak bisa berbohong kalau ia suka cara Alen memberi ucapan selamat ulang tahun. Pipinya memerah, tanda bahwa ia suka dengan sikap manis Alen yang hanya diberikan untuknya.

Ivy pukul pelan dada Alen. “Apaan sih?! Cheesy banget!” pekik Ivy.

Alen tertawa mendengar gerutuan Ivy yang tanpa sadar ia rindukan kehadirannya. Tidak hanya Ivy yang rindu. Dua minggu berada di Paris, Alen juga rindu setengah mampus pada Ivy.

Dalam hati Alen terkadang merutuk, kenapa tidak dari dulu saja ia diberi jalan untuk bersama Ivy. Mengapa ia harus menjalani berbagai macam hubungan semu jika ia bisa merasa sebahagia ini saat bersama Ivy. Rasanya sungguh tidak adil, namun kini Alen sangat bersyukur teman sejak kecilnya ini memang dijodohkan oleh Tuhan untuknya.

Alen sapukan bibirnya pada bibir Ivy, membayar rasa rindu yang kian membuncah kala melihat sosok Ivy dari jarak dekat, setelah dua minggu hanya bisa berinteraksi melalui ponsel. Bermula dari menempel, Alen kulum bibir Ivy yang perlahan mengikuti intensitas gerak bibir sang adam. Tangan Alen mengcengkram erat namun lembut pada kedua sisi pinggang Ivy, sementara si gadis mengalung pada leher Alen guna memperdalam cumbuan. Ivy dan Alen tuangkan rasa rindu mereka dengan intensitas cumbuan yang semakin naik di setiap detiknya. Tak sadar, kini keduanya bercumbu mesra dengan tubuh Ivy tertidur di atas meja makan. Alen berada di atas dengan kaki berpijak di lantai, berada di antara kedua kaki Ivy.

Kalau bukan karena lenguhan Alen kala rasa sakit menyerang punggung bagian bawah, mungkin permainan mereka bisa berujung ke tahap yang lebih berbahaya. Alen bangun dan segera berlari ke kamar merebahkan punggung di tempat tidur.

Ivy bangun dengan tawa keras sembari mengejar Alen. “Sukurin! Kamu sih mesum!” ledek Ivy.

“Diam deh kamu! Kamu juga suka aja dimesumin. Timbang ketawa, mending kamu bantuin urut punggung aku sih ya,” dumal Alen.

Makin keras tawa Ivy. Alen yang Ivy kenal tidaklah manja, tapi lihat lelaki yang ada dihadapan. Bisanya mengomel saja!

Ivy berjalan menuju meja rias, mengambil gel dingin dari laci. Ia merangkak ke atas tempat tidur sembari meminta Alen tidur telungkup. Ivy singkap kaos Alen dan tanpa banyak omong mengoleskan gel dan mengusap pelan punggung Alen.

“Dasar Kakek!” ledek Ivy.

“Dasar Nenek!” Alen balas ledekan Ivy.

Tiga menit berlalu, Ivy selesai mengoles punggung Alen. Ia turun guna mengembalikan gel ke tempatnya.

“Sayang,” panggil Alen.

”Hmm?”

“Sini tidur sama aku,” tawar Alen yang sudah kembali pada posisi telentang sembari menepuk bagian tempat tidur yang kosong.

“Ih enggak mau! Kita belum nikah, jangan macam-macam kamu! Mau encok lagi?!” ancam Ivy.

“Ya Tuhan, kagak gue macem-macemin. Tidur pelukan kayak biasanya aja, aku butuh nge-charge. Kamu kan charger berjalanku,” balas Alen.

“Apaan charger berjalan?!” cibir Ivy.

Walau begitu, si gadis tetap saja menurut. Ia kembali naik ke tempat tidur, merebahkan diri di samping Alen. Si lelaki menarik Ivy dalam pelukan hangat.

“Other than happy birthday, what I wanna say to you every single time is I miss you. So much!” bisik Alen.

Ivy merapatkan tubuh, membuat Alen makin erat memeluk. “I miss you too! Especially your hug! The most comfotable place ever on Earth,” lirih Ivy.

Kedua terlelap, membayar rasa rindu dengan berbagi kehangatan.

Dua insan manusia duduk di atas atap tanah liat rumah Ryujin, dengan tangan sama-sama memegang mug berisi cokelat panas. Keduanya duduk dalam keterdiaman, tidak ada satupun yang memulai pembicaraan.

Berbicara dengan orang yang lama tidak dijumpai itu sulit. Selama tujuh tahun terakhir, setelah Renjun lulus SMA, ini adalah pertama kalinya mereka bertemu kembali.

Renjun sudah sukses menjadi pelukis seperti mimpinya. Tidak hanya terkenal di Korea Selatan dan Cinaㅡtanah kelahiran si lelakiㅡkarya Renjun juga terkenal hingga ke mancanegara. Saking terkenalnya, Renjun sampai memiliki panggilan ke-bule-an yakni Ronald Huang.

Ryujin sendiri sukses menjadi Youtuber kecantikan setelah lulus kuliah. Seperti hobinya di masa sekolah dulu, ada banyak kegiatan mulai dari me-review skin care dan produk kecantikan lain, mendandani bintang tamu, hingga memberi tips kecantikan bagi subscribers-nya. Tak tanggung-tanggung, Ryujin memiliki dua juta pelanggan lebih di Youtube.

Lalu bagaimana kedua manusia ini bisa ada di atas atap? Rumah Ryujin dan Renjun bersebelahan. Keduanya juga sering duduk di atap seperti saat masih sekolah. Sekadar mencari angin atau saling bercerita bukan hal asing bagi Renjun dan Ryujin. Jadi tidak aneh saat Ryujin yang hendak mencari angin dikejutkan dengan kehadiran Renjun di atas genteng rumah dan sekarang rasanya begitu canggung.

Ryujin tetap tinggal di Incheon, sementara Renjun sudah sejak lama tinggal di Seoul. Sejak kuliah hingga kerja, lelaki itu lebih sering berada di pusat kota negeri ginseng. Sekarang pun, lelaki itu justru lebih sibuk bekerja di New York. Sepertinya malam ini Renjun hanya singgah sementara sebelum pergi lagi ke Milan. Curi dengar obrolan Ibu dan Mama-nya Renjun, ada satu lukisan dipajang di pameran yang akan Renjun hadiri beberapa hari ke depan.

Cokelat panas di tangan mereka adalah inisiasi Ryujin. Gadis itu sengaja turun ke bawah untuk menenangkan diri sembari menyiapkan minuman. Namun sampai Ryujin kembali dan duduk disebelah Renjun, tidak ada juga obrolan terdengar.

Keheningan dipecah oleh pertanyaan Renjun. “Gimana kabar kamu, Ryu?”

“Baik-baik aja. Seperti yang Kakak lihat,” balas Ryujin sekenanya.

“Kamu baik-baik aja? Enggak kangen sama aku?! Udah berapa tahun kita enggak ketemu coba,” celetuk Renjun.

Ryujin tertawa sedikit memaksa. “Ih ya ngapain?! Kayak enggak ada kerjaan.”

“Serius? Padahal aku kangen banget sama kamu,” ucap Renjun sangat pelan.

“Apa? Aku enggak dengar, Kak!”

Renjun tegak sisa cokelat di mug. Ia letakkan di sebelah, lalu beralih menangkup kedua tangan Ryujin yang masih memegang mug.

“Aku kangen banget sama kamu, Ryujin. Boleh ‘kan aku kangen? Enggak ada yang marah ‘kan?”

“Enggak ada sih!”

“Bagus. Sekarang sini deketan!” titah Renjun.

“Buat apa?”

“Kamu kedinginan ‘kan? Sini deketan dulu, nanti aku kasih tahu gimana caranya biar ga kedinginan,” balas Renjun.

Ryujin ikut habiskan isi mug, baru setelah mendekat setelah menaruh gelas di posisi yang tepat agar tidak jatuh ke tanah. Renjun selipkan tangan melewati tubuh Ryujin, meraih kedua bahu dan menarik si gadis dalam pelukan hangat.

Pipi Ryujin memanas. Bagaimana tidak panas? Lelaki yang Ryujin cintai dalam diam itu memeluknya. Tuhan, bolehkah aku berharap Kak Renjun menyukaiku, batin Ryujin.

“Ryu, aku mau buat pengakuan,” ucap Renjun kemudian.

“Sebenarnya, aku udah suka sama kamu dari SMP. Tapi selama ini aku milih bungkam karena takut persahabatan kita berakhir. Satu wanita yang aku cintai itu cuma kamu, if you wanna know,” lanjut Renjun mengungkapkan isi hati.

Ryujin mendekatkan diri menelusup semakin dalam pada pelukan hangat Renjun. Tidak hanya tubuhnya yang hangat, hatinya juga menghangat karena ternyata rasa cintanya selama belasan tahun tidak lagi bertepuk sebelah tangan.