leavaile


brakk, Ran membuka pintu kamar Rindou dengan keras sehingga minimbulkan benturan keras di dinding kamar Rindou. Ia melengos masuk tanpa rasa bersalah dengan tenang sambil menenteng hoodie, dengan rambutnya yang sudah terkepang sebelah.

“Rusuh bang— KOK PAKE KAOS GUE?!” Teriak Rindou begitu melihat Ran memakai kaos hitam miliknya.

“Pinjem,” Ran langsung menghampiri cermin di kamar Rindou, menata kembali sisih rambutnya yang belum terkepang.

“Miskin banget jadi orang,” Ucap Rindou begitu mendengar Ran akan meminjam kaosnya,

“Lo mau ngecas, ya?” Pertanyaan Rindou membuat Ran menoleh, ucapannya barusan membuat ia tertawa dalam hati. Ran melempar botol parfume ke arah Rindou yang jatuh tepat di kepalanya, “Sakit, tai.”

“Mulut lo jelek banget, bau neraka.”

Anjing,” Merasa tak terima, ia membalasnya dengan melempar bantal ke arah Ran, “Pergi lo dari kamar gue, monyet.”

Ran menepis bantal yang hampir mengganggunya, “Rin, kalo kepang gue berantakan, lo gue pukul, ya.” Sebenarnya ia tak mungkin memukul Rindou, pasalnya bila Rindou mengadah kesakitan akan jadi masalah baginya.

“BUNDAAAAA.”

Rindou setan. Bahkan ia belum menyentuh Rindou-pun sudah menjadi masalah besar. Lihat saja sekarang Rindou berakting seperti korban yang telah dianiaya, ia memanggil Bunda dengan nada yang membutuhkan pertolongan.

“Rin gue belum ngapa-ngapain lo..”

“Lo ngancem gue, Ran.”

Kak,” Ran menitahkan Rindou agar memanggilnya dengan sebutan Kak. Bila Rindou sudah melupakan panggilan yang seharusnya, pasti memiliki sesuatu yang dia inginkan sebagai gantinya.

Rindou terkekeh, “Hus sana lo pergi, Ran.” ia mengusir Ran bagaikan anak ayam yang berkeliaran di sekitaran rumah.

“Oke, lo mau nitip apa?”

“Sanzu,”

“Sanzu gak ada di rumah Taka, ya, Rin. Lo mau gue pukul beneran?”

“Tuh 'kan bener mau ngecas di rumah Mitsuya,”

Rindou beneran setan batin Ran, ia merasa dibodohi oleh adiknya sendiri. Sekarang Rindou sudah mengetahui kemana Ran akan pergi, ini akan membuat sangat tidak menyenangkan karena Rindou pasti akan mengancamnya terus menerus.

“Astaga Rindou, yang bener aja.” Ia melapisi t-shirtnya dengan hoodie berwarna navy, “Jangan ganggu gue mau ngeca—date.”

“Mekdi, apa aja asal ada mc flurry, kentang, nasi ayam satu paket.”

“Ini pemerasan namanya,”

“Yaudah nanti ditengah-tengah lo mau cum gue telfon, mampus.” Ucap Rindou sambil menekan kata cum.

Rindou lebih dari setan, Ran menghembuskan napasnya gusar, dengan berat hati iya mengatakan, “Baik, adik bungsu yang paling manis,” begitu katanya dengan bibir yang membentuk kurva—dengan terpaksa.

“Oke kakak yang paling ganteng,” Rindou melempar senyum dengan sedikit mengejek, “Aman nanti kalau ditanya Bunda.”

Ran memutar bola matanya malas, memandang Rindou dengan tatapan dasar-anak-setan.

***

Ramai namun tak padat. Sabtu siang yang cerah dengan terik yang sedikit membakar kulit. Dua raga berjalan berdampingan di atas trotoar simpang jalan. Menceritakan bagaimana hari lampau kala Inupi tak menampakkan batang hidungnya.

“Iya, Pi. Terus kang Asep ketiduran,” gelak tawa terdengar nyaring di telinga Kokonoi, bahagia sekali lelaki di sampingnya kini. Padahal raut wajahnya sedikit pucat, Inupi mengaku ia hanya sedikit lelah karena berurusan dengan skripsi.

“Terus lo bangunin gak, Ko?”

“Iya, atuh. Kan gue mau pulang juga.” Langkahnya terhenti di depan pintu masuk Gramedia. Mengisyaratkan Inupi untuk masuk terlebih dahulu.

Mereka menyusuri rak-rak yang tersusun rapih. Kanan-kiri yang begitu indah dipandangan mata, membuat Inupi berlari berhamburan menuju ke pusat keindahan di sana.

“Lo mau cari apa sih?” Tanya Kokonoi penasaran begitu melihat Inupi berenti di rak yang penuh dengan origami menggemaskan, “Astaga, Tuhan. Lo berapa tahun mau beli itu, Seishu?” Betapa terkejutnya Kokonoi ketika melihat Inupi memasukkan barang-barang menggemaskan itu ke dalam keranjang.

“Sstt Koko jangan berisik.” Inupi masih memilah mana lagi yang akan ia beli, memasukkannya ke dalam keranjang. “Lihat deh, Ko. Ini lucu banget buat anak kecil, 'kan?”

Kokonoi sedikit menunduk, atensinya tertuju pada buku kecil dengan gambar boneka beruang, “Buat siapa?”

“Sepupu gue, Ko.”

“Yaudah, beli aja.” Ujar Kokonoi, kemudian melangkah mundur, “Gue mau lihat novel ya, Pi. Kalau lo udah selesai samperin aja.”

Bahunya mengecil dari pandangan Inupi. Sesaat keberadaan Koko benar-benar menghilang, ia mulai mencari hal yang menjadi tujuan utamanya ke sini.

Inupi melewati rak yang penuh dengan binder warna-warni, kemudian atensinya tertuju pada sebuah tabung dengan kertas-kertas yang memenuhi isinya, “Kalau pakai ini terlalu lebay gak, sih?” Ia bermonolog, menggenggam tabung tersebut kemudian membuka isinya, “Tapi kaya anak kecil, ah.”

Inupi masih berputar di sekitar rak tadi, memilah apa yang menarik pandangan matanya. Sebenarnya Inupi sendiri masih bingung bagaimana caranya ia mengungkapkan rasanya melalui tulisan. Menulis abstrak dalam skirpsinya saja ia sangat payah, lantas bagaimana caranya ia mengutarakan rasanya.

***

“Lama banget,” ujar Kokonoi setelah melihat presensi Inupi yang mendekat ke pintu keluar, “Sudah?” Ia melihat Inupi yang membawa dua paper bag dalam genggamannya, “Astaga Inu—”

“Ko, gue pulang aja, deh.” Inupi menginterupsi pembicaraan Koko, dengan wajah lesunya ia berujar ingin pulang.

“Okay, gue anter?” Koko sedikit mengerti, mungkin Inupi sangat lelah makanya ia memilih untuk pulang.

“Engga, arahnya 'kan beda.”

“Yaudah, hati-hati, Pi.” Kemudian, tak ada jawaban lagi di sana, hanya tubuh Inupi yang berputar membelakangi dirinya, berjalan hingga tubuhnya hilang dari pandangan.

“Okay, get well soon, Seishu.”

***

Hajime Kokonoi, dengan tumpukan buku di atas nakas, jemarinya yang sibuk membolak-balikan lembaran tak terhitung berapa halaman yang sudah ia jamah. Bergelut dengan pikirannya tentang riset yang akhir-akhir ini ia lakukan untuk bahan tulisnya.

“Ko, kok tumben sendirian?” Pandangannya teralihkan, mencari sumber suara. Terlihat Kang Asep, petugas perpustakaan yang biasa menemani dirinya dengan Seishu hingga larut di perpustakaan.

Kokonoi melipat halaman terakhir yang ia baca, kemudian ditutupnya buku tersebut. “Kayanya Inupi gak jadi datang,” ia melihat jam yang menempel di pergelangan tangannya, “tuh sudah jam segini, mungkin dia sibuk sama skripsinya, Kang.” Tutur Kokonoi dengan segala asumsinya.

“Mau menginap dengan buku sebanyak ini?” Tanyanya dengan intonasi terkejut. Pasalnya sejak senja belum menjemput Kokonoi sudah berkutat dengan buku-buku yang ia susun rapih di atas nakas, “Lagipula kau itu, lihat kantung matamu, seperti hantu.” Ungkapnya dengan jujur.

Kokonoi mengulas senyum di bibirnya, “Ya, gak apa 'kan nanti terbayar dengan hasilnya, Kang.” Ia yakin dengan karya tulisnya kali ini, meski sedikit menyiksa jiwa dan raganya, pasti akan terbayarkan.

“Kasihan Inupi kalau kamu tiba-tiba tak sadarkan diri karena terlalu asik dengan tumpukan buku itu,” Kang Asep memijat pelipisnya, “pasti dia kerepotan.”

Kokonoi mengernyitkan dahinya. Berbicara soal Inupi, mengapa harus Inupi yang kerepotan? Raut wajah Kokonoi berubah menjadi heran, dan menimbulkan tanya. “Atuh, Kang. Gak mungkin 'kan Inupi saya repotin?”

“Loh, Akang kira kalian pacaran. Memangnya enggak?” Tanya kang Asep penasaran.

“Enggak,”

“Tapi sepertinya Inupi jatuh cinta sama situ.”

Kokonoi tersentak, “Ah, mana mungkin. Lagian, saya 'mah masih terngiang sama masa lalu, Kang.”

“Ko, lihat sekitar juga, dong. Memangnya kamu gak membaca gerak-gerik Inupi?”

Memang benar, sih. Inupi terlalu sering berada di sampingnya pasca pertemuan pertama mereka enam bulan lalu. Namun, Kokonoi tak pernah berpikiran sejauh itu. Bahkan Inupi sudah seperti adik baginya, yang selalu merengek kala judul skripsinya yang tak kunjung disetujui dosen pembimbingnya.

“Enggak ah, Kang. Dia 'teh kayak adik saya sendiri.” Sebenarnya, Kokonoi tidak yakin dengan jawaban yang ia lontarkan. Namun, jawaban yang ia temukan hanya itu. Ia juga berpikir Inupi memiliki kekasih.

“Atuh yaudah, Ko. Akang mau lanjut beresin buku di belakang.”

“Iya, Kang, mangga.”

***

***

“Kamu kalah telak, Ken.” Jemarinya menggenggam pil, “Jelas aku lebih candu dengan ini.” Ia memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya.

Draken dengan sekuat tenaga menahan segala yang mencekat, berusaha membalas perkataan Mikey tanpa harus meruntuhkan pertahanannya di sana.

“Ah, pil itu kejam sekali mengganti posisiku.”

Mikey terkekeh, sangat manis.

Bagaimana mungkin lelaki yang sedang dihujam beribu-ribu luka dalam raganya dapat tersenyum bahagia, sedangkan Draken harus memperkuat pertahanannya sebelum membicarakan hal-hal perih itu?

Satu tahun lamanya, senyum di bibir Draken itu direnggut oleh kenyataan yang menikam kesadarannya. Berjalan gontai mengikuti kemauan sang semesta dan berada dalam kehausan pada sebuah penantian yang tak kunjung datang.

Mikey selalu menebar senyum semanis madu. Bagi Draken itu lebih dari cukup. Ia tak mampu membayangkan hari esok tanpa melihat senyum itu lagi.

“Oh ayolah, Ken.” Mikey menggenggam lengan Draken, “Jangan terus melamun.”

Kesadaran draken kembali, ia mendapati raga Mikey dengan wajahnya yang terlihat seperti memohon, “Kamu mau apa?”

“Bahkan kau tidak mendengar sedikitpun perkataanku, dasar bodoh.”

Bahkan ketika Mikey protes tentang Draken pun tetap menggemaskan. Ah, Tuhan, Draken ingin memeluknya.

Draken menarik lengan Mikey ke dalam peluknya, “Baiklah, masih berdiskusi perihal candumu, Mikey?”

Sang empunya membalas pelukan Draken, hangat. Bagi Mikey, dada bidang milik draken adalah tempat ternyaman untuk bersandar. Bahkan peluk yang diberikan kak Shin pun tak senyaman ini. Itulah mengapa Draken diberikan kepercayaan oleh Kak Shin untuk selalu berada di sampingnya.

“Kamu tetap canduku, Ken.” Ia memberi jeda, menarik napasnya dalam-dalam, menyesap aroma tubuh Draken, “Karena jiwaku terus meronta menginginkan pil itu untukmu.”

Draken mengerucutkan kening, “Untukku?”

Mikey melepas peluknya, ia merebahkan diri di samping Draken, “Kalau jiwa ini tak lagi menginginknan pil itu, artinya tak ada lagi candu padamu, Ken.”

“Aku benar-benar tidak mengerti.”

Draken menatap wajah Mikey yang sedang memandang langit-langit. Ia mengatensi tiap sudut wajahnya, mencari jawaban di sana, namun nihil. Sedetik kemudian Mikey terbangun dari posisinya, menunjuk ke luar jendela.

“KEN, HUJAN!”

Semangat sekali bayi ini. Netranya langsung berbinar pasca melihat rintik hujan di balik kaca jendela.

Hujan yang tenang membawa keduanya dalam keheningan sesaat. Draken membiarkan Mikey menikmati hujan dari balik jendela. Ia memandang wajah Mikey yang pucat, lekukan pada tulang pipinya yang tercetak jealas di sana. Ah, pilu sekali menyaksikan orang terkasih dalam perih yang tak kunjung pulih.

“Kamu belum menepati janji untuk membawaku menapakkan kaki di bawah rintikan hujan, Ken.”

Lagi dan lagi, Draken kehilangan kesadarannya sesaat. Ia lupa perihal janji yang dibuatnya dua bulan lalu.


“Aku akan membawamu mengelilingi taman saat hujan, Mikey.”

Netranya berbinar, “Kau harus menepatinya!”

“Sebelum itu, kamu harus rajin meminum obat, sayang.”

“Sebanyak apapun aku akan minum.”

“Sampai kamu sembuh, ya?”


Memorinya berputar kembali mengingat percakapan hari lampau, “Aku tidak akan ingkar, ingat itu.”

Mikey sedikit mengantuk, netranya sayup-sayup memandang rintik hujan. Ia menyandarkan kepalanya dengan kedua lengannya yang saling bertumpuk.

“Aku percaya kamu tidak ingkar,” Ia menarik napasnya perlahan, “Sepertinya aku yang ingkar.”

Menepis segala pikiran buruk sudah biasa dilakukan oleh Draken, bahkan itu seperti makanan sehari-harinya. Saat Mikey memulai obrolan tanpa ujung, Draken hanya menatap dengan tatapan kosongnya. Kemudian menyuruhnya tidur.

“Mau ku gendong?” Tawar Draken dan kemudian dibalas anggukan oleh Mikey.

Draken mengangkat tubuh kecilnya, merebahkan Mikey di atas ranjang. Menarik selimut hingga menutup setengah bagian tubuhnya, “Aku tahu kamu sudah mengantuk. Ayo tidur.”

“Aku mau dipeluk, Kenchin.”

Kenchin. Dalam beberapa keinginan, Mikey akan memanggilnya dengan sebutan kenchin. Ia mengingkan peluk sebelum terlelap dalam tidurnya.

Draken mengambil posisi, memeluk Mikey dari belakang, “Begini?”

“Kenchin, aku benar-benar akan tertidur.” Ia merekatkan lengan Draken pada tubuhnya, “Jangan bangunkan aku, ya. Aku ingin bertemu bunda.”

Seperti tertancap belati, sekujur tubuhnya menahan perih mendengar ucapan Mikey. Sesuatu mencekat tenggorokannya. Ia membenamkan wajahnya dalam tengkuk Mikey.

“Aku akan membangunkanmu lima menit lagi.”

“Sepertinya aku tidak akan terbangun, Kenchin.”

Draken semakin mengeratkan peluknya, “Aku akan menunggumu terbangun, tidurlah, Mikey.”

Mikey mengecup jemari Draken, “Jangan tunggu aku, Kenchin.”

Setelahnya hening, genggaman Mikey merenggang. Draken benar-benar mengerti sekarang.

Hujan yang datang tak membawa awan gelap. Rintiknya tenang, setenang jiwa yang terlelap. Kali ini tak mampu lagi seorang Ryuguji Ken menahan pertahanannya. Tak mampu lagi ia membendung segala lara dalam hatinya. Ia melepas tenggorokannya yang tercekat sangat kuat. Merintih dalam pedih melepas sang kekasih. Ia berusaha mengembalikan pertahanannya, namun nihil.

Draken telah menabung segala perihnya, dan ini saatnya membuka tabungan penuh pedih itu. Ia menangis dalam diam, menahan isaknya agar tidak terlalu keras.

“Sleep well, Mikey.”

*** —fin

Bagian Akhir : Caraphernelia

***

Berbicara perihal takdir, semesta-pun punya rencana. Dalam angan-angan yang telah terucap, semesta mampu membuatnya lenyap. Waktu tak lagi berpihak pada satu poros, ia meleburkan sisa-sisa harapan yang selalu didambakan.

Annie berjalan dibawah sang rembulan. Dinginnya angin setelah hujan sangat menusuk. Ia mencari kehangatan untuk digenggam dalam diamnya, melangkah maju meski tahu ia tak lagi memiliki sesuatu untuk dituju.

Langkahnya terhenti, atensinya mengarah pada amplop cokelat yang diberikan oleh ayah Armin, ia melihat membukanya selagi berjalan.


𝐴𝑛𝑛𝑖𝑒.. 𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑖𝑛𝑖, 𝑎𝑟𝑡𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟-𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘. 𝑀𝑎𝑎𝑓 𝑦𝑎 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑡𝑎 𝑗𝑢𝑗𝑢𝑟. 𝐴𝑘𝑢 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑢𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟, ℎ𝑒ℎ𝑒ℎ𝑒.

𝐴𝑑𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑐𝑎𝑛𝑑𝑢 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑚𝑢, 𝐴𝑛. 𝐴𝑘𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑏𝑖𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ. 𝐴𝑟𝑚𝑖𝑛 𝑐𝑎𝑛𝑑𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑏𝑢ℎ, 𝐴𝑛𝑛𝑖𝑒. 𝑇𝑎𝑝𝑖, 𝑡𝑢𝑏𝑢ℎ 𝑎𝑘𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑜𝑙𝑎𝑘, 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑙𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡, 𝐴𝑛.

𝑀𝑎𝑎𝑓 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑝𝑎𝑡𝑖 𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑖𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ ℎ𝑢𝑗𝑎𝑛, 𝐴𝑛𝑛𝑖𝑒. 𝐴𝑘𝑢 𝑡𝑎𝑘 𝑚𝑎𝑚𝑝𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑟𝑒𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘𝑚𝑢. 𝑀𝑎𝑎𝑓 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑎𝑘𝑢 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑏𝑒𝑙𝑖 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑚𝑢 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑘𝑢, ℎ𝑒ℎ𝑒.

𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑖, 𝑘𝑎𝑚𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑚𝑝𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑎𝑛𝑖𝑚𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟, 𝐴𝑛𝑛𝑖𝑒.

𝐴𝑟𝑚𝑖𝑛 𝐴𝑟𝑙𝑒𝑟𝑡.


Sejuta pilu mendobrak dinding pertahanan Annie, berusaha merenggutnya. Rasa sesak menyeruak di sekujur tubuhnya. Ia menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokannya.

“Kedepannya, aku hanya membersamai bayangmu, ya?”

*** —fin @leavaile

Bagian Satu : Petrichor

***

Saat-saat hujan, banyak rindu yang berkumpul menjadi satu. Rintiknya membawa segudang rasa rindu yang mengguyur setiap sudut kota. Kala mendengar gemuruhnya mampu menyembunyikan setiap jiwa yang menangis perihal rindu. Kemudian ditutup dengan aroma tanah di halaman pasca hujan.

“Cukup datang saat hujan menghilang, Armin.” Annie menutup telfonnya sepihak, “Aku tidak menerima penolakan.”

Annie rindu, lama ia tak bersua dengan hujan dan tuan. Dua bulan tuannya dirampas oleh kesibukan duniawi yang memabukkan. Kali ini ia benar-benar menginginkan temu.

Pukul sepuluh di hari minggu, hujan yang sedari tadi mengguyur kota telah mereda. Ini yang Annie tunggu sejak tadi, aroma setelah hujan—maksudnya aroma tanah yang hangat memenuhi indra penciuman. Bertepatan jua dengan sang objek rindu mengetuk pintu.

“Rindumu sangat menggebu, ya?” Tebak lelaki berusia dua puluh empat tahun pasca pintunya terbuka, “Sejak kapan kamu menjadi gadis yang menggebu, Annie?”

Sang empunya memandang dingin lelaki di depannya, “Kamu pikir, siapa yang sanggup menunggu dua bulan?”

“Kamu?”

Annie mencubit perut Armin, “Sakit, tahu.”

“Baik, nona. Apa maumu?”

Sang gadis menarik pergelangan tangan Armin, menuntunnya untuk duduk di kursi halaman rumahnya. Hujan benar-benar telah pergi, kini hanya menyisahkan dedaunan yang basah dan aromanya yang masih mengepul hangat.

Raut wajah Annie sedikit mengintimidasi, “Kamu sebenarnya tahu, kan?”

Sebenarnya Armin sangat tahu apa yang diinginkan Annie, ia hanya ingin melihat wajah manis Annie ketika marah.

“Jadi, apa yang spesial dari aroma ini, Annie?”

Annie memandang jauh ranting-ranting pohon yang mulai sedikit mengering. Menarik napasnya panjang kemudian dihembuskannya perlahan, “Aromanya mengingatkan kamu.”

Armin tersenyum, mengusap puncak kepala Annie, “Kalau gitu, saat hujan menghilang, aku akan datang, ya?”

***

@leavaile

Bagian Dua : Moonlight

***

Ramai, namun tak padat. Malam yang dingin di tengah taman dekat menara cantik yang terkenal di Paris. Duduk bersila berdampingan di bawah terangnya sang rembulan.

Angin malam yang menerpa permukaan kulit, membelainya dengan lembut. Hembusannya membersamai raga yang sedang bertukar pikiran mengenai banyak hal di sana.

“Annie, kalau bulan boleh bercerita, kira-kira hal apa yang mampu ia ucapkan dalam satu malam?”

Pandangan gadis di sebelahnya beralih, mengatensi setiap sudut raut wajah Armin. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Armin, “Hei, sejak kapan bulan boleh bercerita?”

“Aku hanya bertanya,”

Armin dengan segala isi kepalanya yang tanpa di duga-duga, membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Cara ia memberikan kehangatan melalui setiap tutur katanya dalam mengandai, merupakan satu dari banyak hal yang membuat Annie selalu jatuh cinta.

“Mungkin ia akan bercerita tentang indahnya sepanjang malam bersama bintang?”

Rasanya tak berbeda meski sudah empat tahun lamanya. Mereka masih bersama dalam ruang yang menghangatkan jiwa-jiwa penuh sendu kala itu. Menyatukan dua pikiran dalam satu tujuan tanpa ragu. Saling menggenggam erat meski badai menerjang dua raga tanpa ampun.

“Kalau begitu,” Armin bangkit dari duduknya, mengulurkan tangannya menjemput jemari cantik milik Annie, “Kamu mau?”

Sang empunya tak bergeming, memandangnya penuh tanya, “Kamu mau menyusul bulan?”

Armin terkekeh melihat netra Annie berbinar, “Kamu sanggup melintasi ribuan halangan di sana?”

Annie menerima uluran tangan Armin, “Sanggup,” Ia bangkit dan mengibaskan celana jeansnya, “Kan ada kamu.”

Armin membenarkan surai Annie yang tak lagi tertata karena hembusan angin, “Kalau aku mampu, aku akan membawakannya untukmu.”

***

@leavaile

Bagian Tiga : Limerence

***

Dinding-dinding ruang berwarna biru yang mendominasi ketenangan dua raga yang sedang berdansa. Dalam peluk hangat, Annie menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Armin. Tangan kanannya bercengkrama sedangkan tangan kirinya memeluk pinggang sang kekasih.

“Armin,” Annie mendongakkan wajahnya, “Kamu memiliki candu?”

Sang tuan berpikir sejenak, kemudian ia menghapus jarak antar wajahnya. Ia mengecup bibir Annie sekilas, “Ini.”

Gerakan Annie terhenti, ia terkejut bukan main. Pipinya merona lantaran afeksi yang diberikan atas bersatunya dua bongkahan lembut dalam hitungan detik.

“Tuan, sepertinya anda rindu saya cubit, ya?”

Armin terkekeh. Annie sangat menggemaskan, seperti kucing yang sedang marah ketika tidurnya diganggu.

“Aku candu memilikimu, Annie.” Ia merekatkan peluknya, “Sampai akhir, kamu tetap milikku.”

***

@leavaile

WARNING !! -angst -nsfw

enjoy ya, but don't expect too much :(

***

Dalam sebuah ikatan yang beralaskan sumpah suci di hadapan Tuhan dan para saksi untuk sehidup semati. Ada raga yang secara sadar mengucap janji bukan semata sebagai keinginan mutlak. Rasanya seperti menipu Tuhan, bukan?

Mengingat usia pernikahan yang menjelang tujuh bulan lamanya, Koko tidak pernah benar-benar menaruh atensi dalam sukma Inupi. Beberapa ungkap sulit diutarakan mengingat Koko dengan segala masa lalunya yang masih bersemayam dalam ingatannya.

Inupi pernah bertanya pada dirinya sendiri, tentang hal-hal manis yang ia dapatkan namun secara bersamaan tidak merasakan kenyamanan. Tujuh bulan, raganya bersama dalam satu tempat yang dinamakan rumah, namun berbeda dengan hatinya. Inupi dapat merasakannya dengan jelas ketika ia membersamai raganya, namun tidak dengan hatinya. Inupi tahu ini sangat egois jika ia bertahan dengan segala kesadarannya terhadap Koko dan masa lalunya.

Satu tahun lalu, kala Akane sedang menuju lokasi untuk fitting gaun yang akan ia kenakan di hari bahagianya, ia mengalami kecelakaan bersama Inupi. Seperti takdir yang sudah menulis semua ini, semesta seperti merestui keinginan terakhir dari Akane. Sebelum akhirnya Akane menutup usianya, ia menitipkan Inupi pada Koko. Ia berpesan pada Koko untuk menjaga Inupi dalam hidupnya. Namun siapa sangka bahwa Koko memilih untuk menikahi Inupi di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia Koko dan Akane. Pahit bukan?

Dalam malam-malam panjang, bayangan Akane selalu berputar diantaranya. Meski bersama dalam satu ranjang, hanya rasa dingin yang selalu menyelimuti malamnya. Tak ada peluk hangat, atau bahkan kecupan singkat, hanya punggung yang terlihat. Inupi menyayangi Koko bukan semata karena mereka sudah menikah, namun dalam hidupnya saat ini hanya Koko yang ia miliki setelah Akane.

***

Pukul dua dini hari, hawa dingin menusuk kulit meski Inupi mengenakan sweater yang amat tebal. Mengutak-atik ponsel miliknya, berharap ada secerah kepastian dari sana.

Koko adalah satu-satunya yang selalu Inupi genggam hangat dalam diam. Inupi menerima Koko dengan masa lalunya yang masih mengepul hangat dalam pikirannya. Rasa sakit yang ia terima dalam diam, meski ingin berontak namun Inupi tak mampu. Menikmati lukanya sendiri, membiarkan Koko memandangnya dengan netranya yang sulit diterka. Menjadi egois untuk menerima lukanya sendirian, ini sudah menjadi pilihannya.

Inupi membiarkan pikirannya yang berlalu-lalang tentang Koko yang tak kunjung pulang, meneguk kafein untuk menahan kantuknya. Ia sengaja mencampur gula yang lebih sedikit daripada bubuk kopinya, alih-alih untuk menerima sensasi pahit dalam tegukan terakhir.

“Oh ayolah, Koko.” Inupi bermonolog, menggigit ibu jarinya sembari memencet tombol panggilan di ponselnya.

Menjadi overthinker saat fajar ingin menjemput ia berharap hal itu tidak akan terjadi. Berbagai macam asumsi telah Inupi tepis, ia merebahkan tubuhnya di atas sofa, memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya yang gaduh.

Terlintas bayang-bayang Akane yang menyejukkan namun terasa pahit. Senyumnya yang manis terlihat bahagia ditengah rasa khawatir yang Inupi rasakan. Akane sangat cantik.

Dua puluh menit, lamunannya disadarkan oleh ketukan keras yang memecah keheningan. Dengan netra yang sedikit berlinang pasca mengingat Akane, Inupi bergegas untuk menyambut ketukan tersebut.

“Koko!” Teriak Inupi begitu melihat Koko dan Izana.

“Pi, maaf ya, Koko minum kebanyakan.”

Inupi mengambil alih tubuh Koko dari rangkulan Izana, “Gapapa, Kak. Makasih, ya.”

Inupi menuntun tubuh Koko dalam rangkulannya, menutup kembali kenop pintu setelah mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Izana. Meski tubuh Koko tidak terlalu besar, ia sedikit kesulitan untuk menuntun Koko menuju kamar mereka di lantai dua. Semerbak aroma alkohol menyengat indra penciuman Inupi, ia memilih untuk merebahkan Koko di sofa. Melepaskan sepatu dan kancing kemejanya yang sudah sedikit kusut.

Setengah dari kesadaran Koko diambil alih oleh alkohol. Inupi mencoba untuk membangunkan Koko, mengusap wajahnya perlahan, namun hanya erangan yang Inupi dapatkan.

Dinginnya malam benar-benar menerobos masuk menyerang dua raga di ruang yang sama. Inupi merasakan dinginnya yang sangat tajam, ia melihat Koko yang berusaha mencari kehangatan dengan mengusap bahunya sendiri dalam matanya yang terpejam. Inupi bergegas mengambil selimut dan membawa segelas air putih untuk sedikit menetralisir alkohol dalam tubuh Koko.

“Koko, minum dulu.”

Inupi menyelimuti Koko, ia meraih jemari koko, kemudian diusapnya untuk memberi kehangatan pada Koko. Inupi menggenggam jemari Koko erat-erat, menempelkan pada pipi dingin miliknya.

“Akane..”

Inupi mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, ia melihat Koko yang setengah sadar memanggil nama Akane dengan lembut. Akane lagi, ya?

Ini bukan yang pertama kalinya Inupi mendengar Koko memanggil nama Akane dihadapannya. Ia terlampau terbiasa dengan hal ini, tanpa berat hati Inupi menerimanya. Menurutnya, Koko sedang tidak berada dalam kesadaran penuhnya, jadi bukan masalah besar untuk Inupi.

Ketika Inupi hendak melepas genggaman tangannya, namun tertahan, lengannya ditarik kembali oleh Koko.

Inupi membantu Koko mengubah posisinya, “Ko? Minum dulu, ya?” Ia menyodorkan segelas air putih yang disambut dengan lesu oleh Koko.

“Akane, kenapa belum tidur?”

Sial. Akane lagi.

“Nunggu Koko pulang.”

Koko memeluk tubuh Inupi, hangat. Inupi membalas pelukannya, mengusap lembut punggung Koko. Sejenak ia lupakan rasa pedihnya ketika Koko menyebut nama Akane. Peluk ini terasa berbeda, hangatnya mampu melawan dingin yang mencekam permukaan kulit Inupi.

“Happy anniversary, Akane!”

Ah, annive, ya?

Koko melihatnya sebagai Akane, ia memeluk Inupi dalam bayang-bayang Akane. Bagaikan tertusuk beribu-ribu jarum, sakit rasanya. Pilu menerpa disekujur tubuh Inupu, sesak yang menggebu-gebu ia tahan sekuat tenaganya.

“Happy anniversary, Ko..”

Inupi mengeratkan peluknya untuk menahan sakit yang diterimanya. Ia tak menangis, bukan ia tak mau, namun ia tak mampu.

“Ko, pindah ke kamar, ya?”

***

Dalam ruangan yang cukup luas seperti hotel berbintang di kota-kota besar. Untuk ukuran dua raga yang jarang menghabiskan waktu di rumah, kamar tersebut terlalu besar. Setengah hari dari kehidupan Koko berada di kantor, sisanya ia habiskan di ruang kerja. Bahkan tak jarang Koko sering tertidur di ruang kerjanya. Waktu mereka terlalu sering dihabiskan oleh kesibukan masing-masing.

Aroma manis mencuat kala Inupi membuka lemari, ia memilih pakaian satu set untuk Koko. Tangannya memilah tumpukan pakaian yang tersusun rapih. Ketika hendak menutup kembali lemarinya, ia merasakan adanya beban di belakang tubuhnya serta hembusan napas yang terasa di leher bagian kirinya. Pinggang rampingnya direkatkan dengan kencang oleh Koko dari belakang.

“Akane, wangimu berbeda.”

Inupi mematung, ia merasa sekujur tubuhnya seperti dipaku di satu titik, ia tak mampu menjawabnya. Pakaian yang Inupi bawa pun reflek ia lepaskan dari genggamannya.

“Ko—”

“Akane, aku suka wangi ini, manis.”

Koko mencumbui tengkuk milik Inupi, aroma sakura yang menempel di tubuh Inupi bagaikan candu bagi Koko. Inupi menggeliat, ia merasa asing dengan benda lembut yang meraba tengkuk miliknya.

“K-ko, geli.”

Koko membalikkan tubuh Inupi, berhenti sejenak memandang wajah Inupi. Ia mengatensi netra milik Inupi, berusaha mengembalikan kesadarannya.

“Sei?”

Inupi tersenyum, Koko menyebut namanya. Kesadaran Koko sudah kembali, ia tak lagi melihat Inupi sebagai Akane. Namun raut wajahnya tak dapat berbohong, ada sedikit kekecewaan di sana.

“Maaf, Sei.”

Inupi dengan hatinya yang lapang memeluk Koko, membenamkan kepalanya di sana, “Aku ini pasangan kamu. Just do it if you want.”

Koko membalas peluknya, aroma tubuh Inupi benar-benar membuatnya nyaman berada di dekatnya. Koko mengecup puncak kepala Inupi lama kemudian ia mengusap kepala Inupi, “Sei, can I?”

Inupi bingung, ia mencerna kata-kata yang baru dikatakannya. Koko menyadari wajah bingung Inupi yang kemudian ia jawab melalui kecupan singkat, “this.”

Inupi terdiam, rasanya seperti racun, lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Kecupannya memberi afeksi yang menjalar ke seluruh tubuh Inupi, ia tak mampu mengontrolnya sehingga tubuhnya reflek memeluk Koko.

“Sei, are you okay?

“Ko, kalau kamu lihat aku sebagai Akane—”

Koko menginterupsi pembicaraan Inupi. Dan lagi, Inupi tak bergeming, ia menerima rasa yang asing ketika Koko mulai menggigit bibir bagian bawahnya. Ia reflek—ah tidak, gigitan Koko memang sengaja dilakukannya agar Inupi membuka rongga mulutnya.

Setelah diizinkan oleh sang empunya, lidah tak bertulang milik Koko mulai mengabsen deretan gigi Inupi. Mengajak daging lembut milik Inupi berdansa dan bertukar saliva di sana.

Sunyi, hanya terdengar suara kecupan kecil yang dihasilkan dari kedua bibir yang berpagut. Koko bermain dengan sangat baik, ia membawa Inupi dalam permainan yang cukup memabukkan. Koko kepalang-pusing, Inupi seperti sudah terbiasa dengan lumatan-lumatan yang diberikan oleh Koko lantaran Inupi mampu membalas lumatannya, tak jarang juga ia berhasil membalas gigitan Koko.

***

Hampir sepuluh menit kedua bibir yang saling berpagut itu belum terlepas. Koko membawa Inupi ke atas ranjang besarnya, keduanya kini terbawa dalam suasana yang kian memanas. Inupi merasakan bagian perutnya dipenuhi rasa yang tak dapat dijelaskan kala Koko meraba junior miliknya yang sudah mengeras.

“H-hah, Ko..”

Aneh, rasanya seluruh tubuh Inupi bergetar hebat, seperti menginginkan sesuatu yang lain dari sentuhan tadi.

Koko mencumbui leher Inupi, berbisik di telinganya, “Ah, your smell so good.” Bibirnya meraba turun, ia melepaskan piyama yang dipakai oleh Inupi.

Seperti bayi, matanya berbinar kala melihat dua gundukan kecil yang sudah menegang di sana. Dalam hitungan detik, Koko mulai memainkan lidahnya di atas gundukan itu, dikecupnya kemudian dilumat—bahkan ia menggigitnya dengan sensual. Tangannya ia gunakan untuk memainkan nipple milik Inupi yang lainnya.

Sang empunya tak kuasa menahan rasa nikmat yang ia terima. Inupi meloloskan semua erangan dan desahannya. Tubuhnya menggeliat hebat kala Koko semakin sensual memainkan nipple milik Inupi.

Jemari Koko semakin nakal, pergerakannya sangat cepat untuk meleset turun meraba tubuh Inupi. Telapak tangannya meraih sesuatu yang sejak tadi sudah menegang di sana, dirematnya perlahan sehingga menimbulkan afeksi terhadap pemiliknya.

Pemandangan di depan mata Koko saat ini sangat cantik. Dengan Inupi yang hampir tak tertutup oleh sehelai kain, posisi yang menunjukkan lekukan tubuh indah Inupi serta pipinya yang sudah merona akibat perlakuan Koko sejak tadi.

“Cantik.”

Koko memasukkan jarinya ke dalam mulut Inupi, memintanya untuk membasahi jarinya. Lalu ia sentuh Inupi, mencari liang yang bersembunyi di bawah sana.

“Aw!” Inupi merasa asing dengan adanya sentuhan Koko. Ia menjerit kala Koko memasukkan dua jarinya di liangnya yang belum pernah dikunjungi.

“Tahan, ya?” Koko menenangkan, ia mengecup kening Inupi.

“It's hurt.”

“If you tried to relax, it wouldn't hurt as much.”

Jemari Koko mulai bermain di bawah sana, dihimpit oleh dinding-dinding sempit yang menyesakkan. Gerakannya masih perlahan dan beraturan sebelum akhirnya ia menjinakkan liang milik inupi hingga terbiasa. Koko menyambar bibir Inupi, memanjakannya untuk mengurangi rasa sakit yang diterimanya.

“Seishu, please let me taste you”

Untuk pertama kalinya setelah tujuh bulan, Koko memandang lelaki dengan wajahnya yang identik dengan luka itu benar-benar sebagai Inupi. Ia dimabukkan oleh aroma sakura dari tubuh Inupi, rasanya seperti candu yang selalu menginginkan untuk dicumbu.

***

Pukul empat, fajar hampir menjemput namun dua raga tanpa sehelai benang tersebut masih beradu dalam pemuasan birahinya. Keduanya berada dalam puncak kenikmatan yang membuatnya berkali-kali lipat menaikkan kecepatan permainannya.

“H-hah ahh h-uhh..” Napas Inupi mulai terbata-bata sebab pergerakan Koko seperti tiada ampun. Memaju-mundurkannya dengan sensual, membuat Inupi meloloskan desahan-desahan yang membuat Koko menggila.

Koko benar-benar berada dalam puncak kenikmatannya. Ia mencumbui Inupi, meninggalkan jejak merah disekujur tubuh Inupi. Yang membuatnya frustasi adalah ketika Inupi secara tidak sadar mengunci tangannya sendiri di atas kepalanya, membuat lekukan tubuhnya terlihat sangat cantik, benar-benar seperti Akane.

Bersatu dalam satu malam adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Inupi. Setiap sudut bagian tubuhnya sudah ditaklukan oleh sentuhan-sentuhan sensual Koko, entah mengapa Inupi juga menggila dibuatnya.

“H-ahh aku mau cumh, Ko.”

Koko masih terfokus dalam kenikmaatan di bawah sana. Junior miliknya dihimpit dengan kencang oleh liang Inupi, membuatnya terangsang kenikmatan dan menambah kecepatan dari gerakannya.

“Ahh.. Akane...” Koko melumat bibir Inupi, sang empunya hanya terdiam, tak membalas lumatan Koko. Ia mencerna kembali apa yang barusan didengarnya. Apa? Akane?

Sesak kembali memenuhi dada Inupi, ia menahan sesuatu yang mencekat di tenggorokannya. Koko dengan segala sentuhannya, itu bukan semata untuk Inupi. Pikiran Inupi berputar kesana-kemari, ia tak sanggup lagi membalas sentuhan-sentuhan dari Koko. Untuk menikmatinya sungguh tak mampu, dirinya membiarkan Koko dengan segala rasa sesak yang diterimanya.

“H-ahh I'm coming.”

Semburat hangat milik Koko melesat sempurna di dalam liang Inupi bersamaan dengan miliknya yang memenuhi perutnya. Koko merebahkan dirinya di atas tubuh Inupi, wajahnya tepat berada di samping telinga kiri Inupi.

“I love you, Akane..” ucap Koko tepat ditelinga Inupi dan kemudian terlelap.

Samar-samar terdengar isak tangis di bawah sana. Air mata yang ia tahan selama ini berhasil ia keluarkan setelah Koko menyelesaikan permainannya yang ditutup dengan menyebut nama Akane. Inupi tak lagi mampu menahan sesak di dadanya kala Koko selalu melihatnya sebagai Akane.

Semesta, haruskan sejahat ini kepadanya? Bahkan dalam puncak kenikmatannya, Inupi harus dihajar oleh kenyataan pahit perihal Koko yang masih mengingat Akane. Disela-sela isaknya, ia merasa perih disekujur tubuhnya, benar-benar terasa sangat menyakitkan.

Fajar benar-benar akan tiba, malam yang cukup panjang bagi Inupi. Banyak rasa yang tak mampu ia katakan tentang malamnya. Ia menghapus air matanya, berusaha melupakan segala yang membuatnya sesak.

“I love you too, Kokonoi.”

***

-fin

balikan?

**

Dalam sedetik, Chifuyu dikejutkan oleh pesan terakhir dari Baji—mantan kekasihnya yang hampir enam bulan tidak bersama lagi.

Chifuyu benar rindu, namun ia menyadari keadaan antara dirinya dan Baji. Mereka bukan lagi sepasang kekasih yang saling menjadikan diri dari satu sama lain sebagai tempat pulang.

**

“How?” Tanya Baji begitu melepas pertemuan kedua bibir mereka.

Setelah dua puluh menit kedatangan Baji yang disambut hangat oleh Chifuyu meski merasa canggung. Berbeda dengan Baji yang dengan lantang menyambar Chifuyu dengan pelukannya.

Di sini lah mereka, sepuluh menit dihabiskan dengan berpelukan, kemudian Baji dengan brutal mendorong Chifuyu dalam ranjang milik Chifuyu dengan mengunci pergelangan tangan Chifuyu.

Chifuyu, dengan badan mungilnya menahan sakit di pergelangan tangannya akibat genggaman Baji yang sangat kuat. Dan juga, badan besar Baji yang menindih dirinya.

“Kak.”

“Hmm.”

“Berat.”

Baji melepas genggamannya, dan merebahkan diri di samping kanan Chifuyu. Ia menarik pinggang kecil Chifuyu dengan posisi membelakangi dirinya.

“Kak..”

“Apa lagi?”

“Kenapa lo beneran ke sini?”

Baji mendekatkan bibirnya pada daun telinga Chifuyu. Bernapas di sana seolah tidak mengganggu si pemilik telinga. Lantas berkata, “Mau ajak balikan.”

Chifuyu mendadak membisu, jantungnya berdebar. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Baji, menghapus jarak di antara keduanya. Kemudian Chifuyu menenggelamkan kepalanya di dada bidang Baji, ia memejamkan matanya untuk meraih ketenangannya.

“Puy jangan tidur gini, nanti gue malah nginep jadinya.”

Chifuyu masih diam, tak menjawab.

“Lo ga suka gue kesini?”

Diam lagi.

“Gue pulang deh, ya?”

Baji hendak membuat jarak antara dirinya dengan Chifuyu, namun ditahan oleh kedua tangan Chifuyu yang melingkar di pinggang Baji.

“Sebentar aja, biar aku peluk kakak kaya gini.”

Baji membalas pelukannya, mencium puncak kepala Chifuyu sekilas. Dinginnya malam terganti dengan hangatnya dekapan Chifuyu. Detak jantung Baji yang terdengar di telinga Chifuyu membawanya dalam ketenangan dikala ia memejamkan matanya.

Baji mengusap surai Chifuyu, “Puy, tidur?”

Chifuyu beralih memandang Baji, mengusap bibir bagian bawah milik Baji kemudian dikecupnya singkat.

Baji sedikit terkejut dengan perlakuan Chifuyu, kemudian menarik kembali tenguk Chifuyu untuk kembali menautkan bibir mereka. Dilumatnya sedikit lembut—lumatan yang berbeda saat Baji baru tiba. Gigitan-gigitan kecil yang Baji berikan diterima dengan manis oleh Chifuyu.

Tangan Baji tak mau kalah, ia meraba masuk ke dalam punggung Chifuyu kemudian beralih ke bagian depannya. Menjelajahi secara detail, mencari puncak nikmat yang akan Chifuyu nikmati di sana, kemudian disentuhnya dengan hangat.

Entah bagaimana sekarang Baji sudah berada di atas sana, di atas tubuh mungil Chifuyu—lagi sambil menikmati hidangan yang sedang ia lahap.

Chifuyu dengan tidak sadar melepas lumatannya, mengerang kenikmatan kala tangan Baji yang semakin nakal memainkan kedua nipple miliknya. Tubuh Chifuyu menggeliat, hendak mengeluarkan suara namun Baji kembali melumat bibirnya.

Desahan kecil berhasil Chifuyu loloskan ketika jemari Baji mengusap sesuatu yang menegang di bawah sana.

“H-ahh, K-kak..”

Baji mengusapnya, memijatnya dengan seksama meski masih dalam balutan celana. Sementara itu, lidahnya asik bermain di atas sana, memainkannya dengan rinci nipple milik Chifuyu, berganti dari kanan ke kiri.

Chifuyu menerima sensasinya, ia melepaskan suara indahnya kala Baji semakin sensual memainkan segala titik sensitif miliknya.

“H-ahh mau keluar, Kak.”

“Do it, sayang.” Ucap Baji tepat di telinga Chifuyu.

Baji semakin kuat memijat milik Chifuyu di bawah sana agar Chifuyu mencapai pelepasannya. Ia mencumbu tubuh mungil Chifuyu, meninggalkan bekas merah untuk menandai kepemilikannya.

Baji berhenti melakukan kegiatan memijatnya ketika celana Chifuyu terasa hangat. Dikecupnya kening Chifuyu, kemudian berbisik, “You're mine.” Ia mengecup bibir mungil chifuyu, “Again.”

Baji merebahkan dirinya, membawa Chifuyu dalam peluknya. Memberikan ketenangan dan kehangatan pada Chifuyu.

“Kok ga di lanjut, Kak?”

“Kalau dilanjut, besok kamu gak bisa kuliah, mau?”

“Kebiasaan sih main kasar.”

“Loh tapi kamu suka, kan?”

Chifuyu menenggelamkan wajahnya dalam dada Baji. Ia malu ketika Baji masih mengingat segala kesukaannya. Namun benar adanya, puncak nikmat yang Chifuyu inginkan hanya ia dapatkan dari Baji seorang.

“Makasih ya, Kak.”