WARNING !!
-angst
-nsfw
enjoy ya, but don't expect too much :(
***
Dalam sebuah ikatan yang beralaskan sumpah suci di hadapan Tuhan dan para saksi untuk sehidup semati. Ada raga yang secara sadar mengucap janji bukan semata sebagai keinginan mutlak. Rasanya seperti menipu Tuhan, bukan?
Mengingat usia pernikahan yang menjelang tujuh bulan lamanya, Koko tidak pernah benar-benar menaruh atensi dalam sukma Inupi. Beberapa ungkap sulit diutarakan mengingat Koko dengan segala masa lalunya yang masih bersemayam dalam ingatannya.
Inupi pernah bertanya pada dirinya sendiri, tentang hal-hal manis yang ia dapatkan namun secara bersamaan tidak merasakan kenyamanan. Tujuh bulan, raganya bersama dalam satu tempat yang dinamakan rumah, namun berbeda dengan hatinya. Inupi dapat merasakannya dengan jelas ketika ia membersamai raganya, namun tidak dengan hatinya. Inupi tahu ini sangat egois jika ia bertahan dengan segala kesadarannya terhadap Koko dan masa lalunya.
Satu tahun lalu, kala Akane sedang menuju lokasi untuk fitting gaun yang akan ia kenakan di hari bahagianya, ia mengalami kecelakaan bersama Inupi. Seperti takdir yang sudah menulis semua ini, semesta seperti merestui keinginan terakhir dari Akane. Sebelum akhirnya Akane menutup usianya, ia menitipkan Inupi pada Koko. Ia berpesan pada Koko untuk menjaga Inupi dalam hidupnya. Namun siapa sangka bahwa Koko memilih untuk menikahi Inupi di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia Koko dan Akane. Pahit bukan?
Dalam malam-malam panjang, bayangan Akane selalu berputar diantaranya. Meski bersama dalam satu ranjang, hanya rasa dingin yang selalu menyelimuti malamnya. Tak ada peluk hangat, atau bahkan kecupan singkat, hanya punggung yang terlihat. Inupi menyayangi Koko bukan semata karena mereka sudah menikah, namun dalam hidupnya saat ini hanya Koko yang ia miliki setelah Akane.
***
Pukul dua dini hari, hawa dingin menusuk kulit meski Inupi mengenakan sweater yang amat tebal. Mengutak-atik ponsel miliknya, berharap ada secerah kepastian dari sana.
Koko adalah satu-satunya yang selalu Inupi genggam hangat dalam diam. Inupi menerima Koko dengan masa lalunya yang masih mengepul hangat dalam pikirannya. Rasa sakit yang ia terima dalam diam, meski ingin berontak namun Inupi tak mampu. Menikmati lukanya sendiri, membiarkan Koko memandangnya dengan netranya yang sulit diterka. Menjadi egois untuk menerima lukanya sendirian, ini sudah menjadi pilihannya.
Inupi membiarkan pikirannya yang berlalu-lalang tentang Koko yang tak kunjung pulang, meneguk kafein untuk menahan kantuknya. Ia sengaja mencampur gula yang lebih sedikit daripada bubuk kopinya, alih-alih untuk menerima sensasi pahit dalam tegukan terakhir.
“Oh ayolah, Koko.” Inupi bermonolog, menggigit ibu jarinya sembari memencet tombol panggilan di ponselnya.
Menjadi overthinker saat fajar ingin menjemput ia berharap hal itu tidak akan terjadi. Berbagai macam asumsi telah Inupi tepis, ia merebahkan tubuhnya di atas sofa, memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya yang gaduh.
Terlintas bayang-bayang Akane yang menyejukkan namun terasa pahit. Senyumnya yang manis terlihat bahagia ditengah rasa khawatir yang Inupi rasakan. Akane sangat cantik.
Dua puluh menit, lamunannya disadarkan oleh ketukan keras yang memecah keheningan. Dengan netra yang sedikit berlinang pasca mengingat Akane, Inupi bergegas untuk menyambut ketukan tersebut.
“Koko!” Teriak Inupi begitu melihat Koko dan Izana.
“Pi, maaf ya, Koko minum kebanyakan.”
Inupi mengambil alih tubuh Koko dari rangkulan Izana, “Gapapa, Kak. Makasih, ya.”
Inupi menuntun tubuh Koko dalam rangkulannya, menutup kembali kenop pintu setelah mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Izana. Meski tubuh Koko tidak terlalu besar, ia sedikit kesulitan untuk menuntun Koko menuju kamar mereka di lantai dua. Semerbak aroma alkohol menyengat indra penciuman Inupi, ia memilih untuk merebahkan Koko di sofa. Melepaskan sepatu dan kancing kemejanya yang sudah sedikit kusut.
Setengah dari kesadaran Koko diambil alih oleh alkohol. Inupi mencoba untuk membangunkan Koko, mengusap wajahnya perlahan, namun hanya erangan yang Inupi dapatkan.
Dinginnya malam benar-benar menerobos masuk menyerang dua raga di ruang yang sama. Inupi merasakan dinginnya yang sangat tajam, ia melihat Koko yang berusaha mencari kehangatan dengan mengusap bahunya sendiri dalam matanya yang terpejam. Inupi bergegas mengambil selimut dan membawa segelas air putih untuk sedikit menetralisir alkohol dalam tubuh Koko.
“Koko, minum dulu.”
Inupi menyelimuti Koko, ia meraih jemari koko, kemudian diusapnya untuk memberi kehangatan pada Koko. Inupi menggenggam jemari Koko erat-erat, menempelkan pada pipi dingin miliknya.
“Akane..”
Inupi mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, ia melihat Koko yang setengah sadar memanggil nama Akane dengan lembut. Akane lagi, ya?
Ini bukan yang pertama kalinya Inupi mendengar Koko memanggil nama Akane dihadapannya. Ia terlampau terbiasa dengan hal ini, tanpa berat hati Inupi menerimanya. Menurutnya, Koko sedang tidak berada dalam kesadaran penuhnya, jadi bukan masalah besar untuk Inupi.
Ketika Inupi hendak melepas genggaman tangannya, namun tertahan, lengannya ditarik kembali oleh Koko.
Inupi membantu Koko mengubah posisinya, “Ko? Minum dulu, ya?” Ia menyodorkan segelas air putih yang disambut dengan lesu oleh Koko.
“Akane, kenapa belum tidur?”
Sial. Akane lagi.
“Nunggu Koko pulang.”
Koko memeluk tubuh Inupi, hangat. Inupi membalas pelukannya, mengusap lembut punggung Koko. Sejenak ia lupakan rasa pedihnya ketika Koko menyebut nama Akane. Peluk ini terasa berbeda, hangatnya mampu melawan dingin yang mencekam permukaan kulit Inupi.
“Happy anniversary, Akane!”
Ah, annive, ya?
Koko melihatnya sebagai Akane, ia memeluk Inupi dalam bayang-bayang Akane. Bagaikan tertusuk beribu-ribu jarum, sakit rasanya. Pilu menerpa disekujur tubuh Inupu, sesak yang menggebu-gebu ia tahan sekuat tenaganya.
“Happy anniversary, Ko..”
Inupi mengeratkan peluknya untuk menahan sakit yang diterimanya. Ia tak menangis, bukan ia tak mau, namun ia tak mampu.
“Ko, pindah ke kamar, ya?”
***
Dalam ruangan yang cukup luas seperti hotel berbintang di kota-kota besar. Untuk ukuran dua raga yang jarang menghabiskan waktu di rumah, kamar tersebut terlalu besar. Setengah hari dari kehidupan Koko berada di kantor, sisanya ia habiskan di ruang kerja. Bahkan tak jarang Koko sering tertidur di ruang kerjanya. Waktu mereka terlalu sering dihabiskan oleh kesibukan masing-masing.
Aroma manis mencuat kala Inupi membuka lemari, ia memilih pakaian satu set untuk Koko. Tangannya memilah tumpukan pakaian yang tersusun rapih. Ketika hendak menutup kembali lemarinya, ia merasakan adanya beban di belakang tubuhnya serta hembusan napas yang terasa di leher bagian kirinya. Pinggang rampingnya direkatkan dengan kencang oleh Koko dari belakang.
“Akane, wangimu berbeda.”
Inupi mematung, ia merasa sekujur tubuhnya seperti dipaku di satu titik, ia tak mampu menjawabnya. Pakaian yang Inupi bawa pun reflek ia lepaskan dari genggamannya.
“Ko—”
“Akane, aku suka wangi ini, manis.”
Koko mencumbui tengkuk milik Inupi, aroma sakura yang menempel di tubuh Inupi bagaikan candu bagi Koko. Inupi menggeliat, ia merasa asing dengan benda lembut yang meraba tengkuk miliknya.
“K-ko, geli.”
Koko membalikkan tubuh Inupi, berhenti sejenak memandang wajah Inupi. Ia mengatensi netra milik Inupi, berusaha mengembalikan kesadarannya.
“Sei?”
Inupi tersenyum, Koko menyebut namanya. Kesadaran Koko sudah kembali, ia tak lagi melihat Inupi sebagai Akane. Namun raut wajahnya tak dapat berbohong, ada sedikit kekecewaan di sana.
“Maaf, Sei.”
Inupi dengan hatinya yang lapang memeluk Koko, membenamkan kepalanya di sana, “Aku ini pasangan kamu. Just do it if you want.”
Koko membalas peluknya, aroma tubuh Inupi benar-benar membuatnya nyaman berada di dekatnya. Koko mengecup puncak kepala Inupi lama kemudian ia mengusap kepala Inupi, “Sei, can I?”
Inupi bingung, ia mencerna kata-kata yang baru dikatakannya. Koko menyadari wajah bingung Inupi yang kemudian ia jawab melalui kecupan singkat, “this.”
Inupi terdiam, rasanya seperti racun, lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Kecupannya memberi afeksi yang menjalar ke seluruh tubuh Inupi, ia tak mampu mengontrolnya sehingga tubuhnya reflek memeluk Koko.
“Sei, are you okay?
“Ko, kalau kamu lihat aku sebagai Akane—”
Koko menginterupsi pembicaraan Inupi. Dan lagi, Inupi tak bergeming, ia menerima rasa yang asing ketika Koko mulai menggigit bibir bagian bawahnya. Ia reflek—ah tidak, gigitan Koko memang sengaja dilakukannya agar Inupi membuka rongga mulutnya.
Setelah diizinkan oleh sang empunya, lidah tak bertulang milik Koko mulai mengabsen deretan gigi Inupi. Mengajak daging lembut milik Inupi berdansa dan bertukar saliva di sana.
Sunyi, hanya terdengar suara kecupan kecil yang dihasilkan dari kedua bibir yang berpagut. Koko bermain dengan sangat baik, ia membawa Inupi dalam permainan yang cukup memabukkan. Koko kepalang-pusing, Inupi seperti sudah terbiasa dengan lumatan-lumatan yang diberikan oleh Koko lantaran Inupi mampu membalas lumatannya, tak jarang juga ia berhasil membalas gigitan Koko.
***
Hampir sepuluh menit kedua bibir yang saling berpagut itu belum terlepas. Koko membawa Inupi ke atas ranjang besarnya, keduanya kini terbawa dalam suasana yang kian memanas. Inupi merasakan bagian perutnya dipenuhi rasa yang tak dapat dijelaskan kala Koko meraba junior miliknya yang sudah mengeras.
“H-hah, Ko..”
Aneh, rasanya seluruh tubuh Inupi bergetar hebat, seperti menginginkan sesuatu yang lain dari sentuhan tadi.
Koko mencumbui leher Inupi, berbisik di telinganya, “Ah, your smell so good.” Bibirnya meraba turun, ia melepaskan piyama yang dipakai oleh Inupi.
Seperti bayi, matanya berbinar kala melihat dua gundukan kecil yang sudah menegang di sana. Dalam hitungan detik, Koko mulai memainkan lidahnya di atas gundukan itu, dikecupnya kemudian dilumat—bahkan ia menggigitnya dengan sensual. Tangannya ia gunakan untuk memainkan nipple milik Inupi yang lainnya.
Sang empunya tak kuasa menahan rasa nikmat yang ia terima. Inupi meloloskan semua erangan dan desahannya. Tubuhnya menggeliat hebat kala Koko semakin sensual memainkan nipple milik Inupi.
Jemari Koko semakin nakal, pergerakannya sangat cepat untuk meleset turun meraba tubuh Inupi. Telapak tangannya meraih sesuatu yang sejak tadi sudah menegang di sana, dirematnya perlahan sehingga menimbulkan afeksi terhadap pemiliknya.
Pemandangan di depan mata Koko saat ini sangat cantik. Dengan Inupi yang hampir tak tertutup oleh sehelai kain, posisi yang menunjukkan lekukan tubuh indah Inupi serta pipinya yang sudah merona akibat perlakuan Koko sejak tadi.
“Cantik.”
Koko memasukkan jarinya ke dalam mulut Inupi, memintanya untuk membasahi jarinya. Lalu ia sentuh Inupi, mencari liang yang bersembunyi di bawah sana.
“Aw!” Inupi merasa asing dengan adanya sentuhan Koko. Ia menjerit kala Koko memasukkan dua jarinya di liangnya yang belum pernah dikunjungi.
“Tahan, ya?” Koko menenangkan, ia mengecup kening Inupi.
“It's hurt.”
“If you tried to relax, it wouldn't hurt as much.”
Jemari Koko mulai bermain di bawah sana, dihimpit oleh dinding-dinding sempit yang menyesakkan. Gerakannya masih perlahan dan beraturan sebelum akhirnya ia menjinakkan liang milik inupi hingga terbiasa. Koko menyambar bibir Inupi, memanjakannya untuk mengurangi rasa sakit yang diterimanya.
“Seishu, please let me taste you”
Untuk pertama kalinya setelah tujuh bulan, Koko memandang lelaki dengan wajahnya yang identik dengan luka itu benar-benar sebagai Inupi. Ia dimabukkan oleh aroma sakura dari tubuh Inupi, rasanya seperti candu yang selalu menginginkan untuk dicumbu.
***
Pukul empat, fajar hampir menjemput namun dua raga tanpa sehelai benang tersebut masih beradu dalam pemuasan birahinya. Keduanya berada dalam puncak kenikmatan yang membuatnya berkali-kali lipat menaikkan kecepatan permainannya.
“H-hah ahh h-uhh..” Napas Inupi mulai terbata-bata sebab pergerakan Koko seperti tiada ampun. Memaju-mundurkannya dengan sensual, membuat Inupi meloloskan desahan-desahan yang membuat Koko menggila.
Koko benar-benar berada dalam puncak kenikmatannya. Ia mencumbui Inupi, meninggalkan jejak merah disekujur tubuh Inupi. Yang membuatnya frustasi adalah ketika Inupi secara tidak sadar mengunci tangannya sendiri di atas kepalanya, membuat lekukan tubuhnya terlihat sangat cantik, benar-benar seperti Akane.
Bersatu dalam satu malam adalah hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Inupi. Setiap sudut bagian tubuhnya sudah ditaklukan oleh sentuhan-sentuhan sensual Koko, entah mengapa Inupi juga menggila dibuatnya.
“H-ahh aku mau cumh, Ko.”
Koko masih terfokus dalam kenikmaatan di bawah sana. Junior miliknya dihimpit dengan kencang oleh liang Inupi, membuatnya terangsang kenikmatan dan menambah kecepatan dari gerakannya.
“Ahh.. Akane...” Koko melumat bibir Inupi, sang empunya hanya terdiam, tak membalas lumatan Koko. Ia mencerna kembali apa yang barusan didengarnya. Apa? Akane?
Sesak kembali memenuhi dada Inupi, ia menahan sesuatu yang mencekat di tenggorokannya. Koko dengan segala sentuhannya, itu bukan semata untuk Inupi. Pikiran Inupi berputar kesana-kemari, ia tak sanggup lagi membalas sentuhan-sentuhan dari Koko. Untuk menikmatinya sungguh tak mampu, dirinya membiarkan Koko dengan segala rasa sesak yang diterimanya.
“H-ahh I'm coming.”
Semburat hangat milik Koko melesat sempurna di dalam liang Inupi bersamaan dengan miliknya yang memenuhi perutnya. Koko merebahkan dirinya di atas tubuh Inupi, wajahnya tepat berada di samping telinga kiri Inupi.
“I love you, Akane..” ucap Koko tepat ditelinga Inupi dan kemudian terlelap.
Samar-samar terdengar isak tangis di bawah sana. Air mata yang ia tahan selama ini berhasil ia keluarkan setelah Koko menyelesaikan permainannya yang ditutup dengan menyebut nama Akane. Inupi tak lagi mampu menahan sesak di dadanya kala Koko selalu melihatnya sebagai Akane.
Semesta, haruskan sejahat ini kepadanya? Bahkan dalam puncak kenikmatannya, Inupi harus dihajar oleh kenyataan pahit perihal Koko yang masih mengingat Akane. Disela-sela isaknya, ia merasa perih disekujur tubuhnya, benar-benar terasa sangat menyakitkan.
Fajar benar-benar akan tiba, malam yang cukup panjang bagi Inupi. Banyak rasa yang tak mampu ia katakan tentang malamnya. Ia menghapus air matanya, berusaha melupakan segala yang membuatnya sesak.
“I love you too, Kokonoi.”
***
-fin