leavaile

Hiraeth

Levi sama Hange nikah udah delapan tahun, terus mereka punya Udo, anak pertamanya.

Dalam delapan tahun menikah, mereka sama-sama jarang ketemu. Tugas negara sih mereka nyebutnya, sering beda jadwal pelayaran.

Kalau Hange libur, Levi ada dinas, gitu juga sebaliknya.

Terus Hange dapet jadwal dinas, jauh gak di tempat biasanya. Levi berat banget mau izinin, tapi ya gimana namanya juga tugas negara udah kewajiban ngabdi sama negara jadi Levi gak bisa apa-apa.

Sehari sebelum berangkat, Udo nangis, ngambek gak mau ditinggal.

Udo sampe ngumpetin kunci rumah biar bundanya gak berlayar.

Lumayan lama nangisnya, satu jam. Tapi akhirnya Hange bisa nenangin juga.

Levi yang ngeliat itu agak gak rela juga kalau Hange tugas sendirian, jauh lagi bukan di tempat biasanya.

Tapi ya, seperti yang kita tahu. Levi milih diem, nyembunyiin rasa khawatirnya biar Hange juga berlayar tanpa mikirin anak sama suaminya.

Malam sebelum berangkat, Hange ngajak Levi buat minum teh di balkon rumah. Levi mau nolak, tapi Hange maksa dengan alasan bakal pergi jauh.

Levi nikmatin tuh, teh yang dihidangin sama Hange. Kayanya malam itu dingin, Levi pikir mau turun hujan, eh tapi kok banyak bintang?

Hange buka obrolan, dimulai dari awal pertemuan mereka di atas kapal. Sampe memutuskan untuk menikah.

Banyak kejadian manis, tapi gak secara eksplisit. Hange pikir dulu Levi benci banget sama Hange. Padahal Levi udah jatuh cinta duluan sama Hange walaupun Hange tuh gak bisa diem.

Pokoknya gitu deh.

Hange bingung suka banget nanya hal-hal gak jelas, tapi aneh Levi selalu jawab.

Percakapan malam itu diakhiri dengan pernyataan dari Hange

“Lev walaupun aku pergi jauh, tolong jangan lupa aku bakal tetep pulang.”

Levi cuma diem, diem-diem bingung. Gak ngerti maksud Hange apa.

Hange juga bilang, “Aku titip Udo ya.”

Levi masih diem, gak tahu mau jawab apa. Karena tanpa diminta juga Levi bakal jagain, kan dia ayahnya.

Gitu, Levi lebih banyak diem. Dengerin Hange ngomong kaya rumus mtk, alias panjang x lebar x tinggi.

Akhirnya mereka tidur.

Besok paginya Hange berangkat, Udo nangis kejer banget, peluk bundanya erat-erat.

Levi berat hati mau antar Hange. Tapi, tetep di antar juga, sih.

Setengah hari setelah keberangkatan Hange. Udo ngajak ke toko buku, katanya mau beli komik baru gitu. Ya, Levi nurut aja daripada Udo keinget bundanya lagi.

Pas sampe di sana, lagi mau bayar komiknya, ponsel Levi getar.

Pas dilihat, ternyata telfon dari adiknya.

“Mas, dimana?”

“Toko buku, Sa.”

“Pulang dulu, bisa?”

Levi gak tahu kenapa Mikasa nyuruh pulang.

Habis bayar, Levi pulang sama Udo.

Sampe rumah, udah ada Mikasa sama Eren duduk di depan kursi rumahnya.

Levi punya perasaan gak enak, tapi tetep chill. Hawanya udah gak bagus banget.

Udo diajak masuk ke dalem sama Eren.

Mikasa di luar, sama Levi.

“Mas, tadi Kak Hange berangkat jam berapa?”

Levi sempet kaget, soalnya Mikasa nanya Hange.

“Tadi dari rumah jam tujuh, Sa.”

Terus Mikasa nunduk.

Levi heran lagi.

Saling diem, tuh.

Terus Levi buka ponselnya lagi, soalnya getar banyak notif chat masuk.

Levi cek grup, bacain bubble chatnya satu-satu. Terus tiba-tiba dia mandang Mikasa yang masih nunduk.

Levi manggil Mikasa, pas Mikasa balik mandang.

Matanya udah sembab, pipinya Mikasa basah, ingusnya udah meler.

Mikasa masih natap Levi tanpa ngeluarin kata-kata. Sampe akhirnya Levi lari, masuk ke dalam mobil.

Levi gak ngomong apa-apa.

Levi bawa mobil super ngebut biar cepet sampai.

Pas baru sampai, dia langsung nyamperin kerumunan orang-orang yang ramai.

Padahal baru tadi pagi Levi kesini, tapi sekarang ia sudah berdiri lagi disini—dengan suasana yang dia sendiri gak pengen ini terjadi.

Levi kelihatan tenang, tapi detak jantungnya berbanding balik.

Salah satu atasannya, nyamperin dia. Terus berdiri di sampingnya.

Awalnya hening, gak ada percakapan sedikitpun. Levi cuma lihat laut yang luas banget, dengan tatapan kosongnya.

Levi akhirnya buka suara, “Pak, Hange bertugas sejauh mana, ya?”

Atasannya membisu.

“Semalam Hange bilang walau dia pergi jauh, dia bakal tetep pulang, Pak.” Levi menghembuskan napasnya kasar, “Tapi pulang yang dia maksud itu bukan ke rumah ternyata.”

“Lev, kamu tahu siapa aja yang bertugas bareng Hange?”

Deg. Pikirannya sangat kacau. Mengingat para sahabatnya yang juga bertugas bersama Hange.

Erwin, Mike, Oluo, bahkan Petra, Levi tak mampu lagi berada di sini.

Levi gak nangis. Tapi pikiran dan tatapannya kosong.

Sampe akhirnya, Levi jalan, walau ia gak tahu mau kemana.

Di sepanjang jalan, ia cuma lihatin air laut. Kata-kata terakhir dari Hange masih mengepul hangat di kepalanya.

Levi berhenti, duduk dibebatuan.

“Han, kamu tahu yang paling perih dari jauh?” Levi memandang air laut yang menabrak batu-batu, “Saat dua jiwa tak lagi bersama, Han.”

Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat, bahunya bergetar. Levi meluapkan segala emosi yang sejak tadi ia tahan.

Ia tidak mengerti, apa yang harus dilakukannya.

Kapal dan laut, saksi bisu diantara pertemuannya dengan Hange—bahkan dengan para sahabatnya.

Lalu kini, kapal dan laut pula yang memisahkannya.

Tak mampu lagi di bendung, Levi menangis. Dalam tangisnya ia hanya berharap bahwa ini hanya mimpi.

Namun siapa sangka, dorongan ombak menyadarkannya. Rasanya, laut sangat tidak mengerti dirinya. Bahkan untuk sekedar berharap pun tak mampu.

“Han, aku takut akan membenci laut setelah ini.”

—Fin

Senyum

Mikasa, dengan senyum yang selalu mengandung perih. Setelah kepergian Tuan yang selalu ia jadikan alasan untuk tersenyum, hanya satu dari banyak alasan baginya untuk tetap bertahan dalam perih yang tak tertahan.

Pernikahannya yang menginjak usia sepuluh tahun, harus ia terima matang-matang tentang kenyataan yang berdiri tegak dihidupnya.

Untuk hal-hal seperih rindu, Mikasa hanya mampu mengobatinya melalui senyum Gabi yang bagaikan candu. Terdapat perih yang harus ia tahan saat anak gadisnya tersenyum.

“Ma, foto ini waktu Gabi umur berapa?” Gabi menunjuk sebuah foto. Disana, di sebuah taman pinggir kota, dua orang dewasa bercengkrama bersama balita yang sedang berdiri menunjukkan senyum manisnya.

“Itu waktu kamu baru bisa jalan,” Mikasa menunjuk pose Gabi, “Nih lihat kamu masih pegangan sama baju Ayah.”

“Ih Gabi lucu banget, ya, Ma?” Gabi tersenyum, sangat manis.

“Manis” Mikasa mengusap senyum yang terukir di wajah Gabi, “Mama selalu merindukan senyum semanis ini.”

Gabi menatap wajah Mikasa bingung.

“Ayah.” Mikasa tersenyum simpul, “Senyumnya selalu menari di benak Mama.”

Gabi membuka lembar album selanjutnya, “Senyum ayah?”

Mikasa tersenyum, “Bagi mama, ayah itu seperti lagu.”

“Mama sudah berulang-kali mendengarkan lagu yang sama.” Mikasa memberi jeda, “Namun, mama tidak pernah menemukan perbedaan di sana.

Meski tak lagi mampu tuk diraih, rasa yang Mama punya tak memiliki perbedaan sedikitpun setelah hari itu.”

Binarnya memandang bayang-bayang Eren yang masih sangat jelas dalam netranya. Sedikit memberi atensi terhadap sang Tuan yang telah lama hanya ia kenang dalam melodi.

Sam, maaf

***

Dengan hati-hati Osamu menuruni anak tangga yang pencahayaannya sedikit gelap. Ketukan pintu itu sangat mengganggu, bahkan sepertinya mampu membangunkan tetangga. Namun aneh, Atsumu tidak memanggil namanya.

“Tsum, lo tuh bacot bang— RIN??!!”

Di hadapannya berdiri lelaki yang sudah tidak karuan penampilannya. Surainya yang sangat berantakan serta aroma alkohol yang menyengat indra penciuman.

“S-sam....” Suna menjatuhkan dirinya pada tubuh Osamu, “A-ku tahwu, a-aku shlha” Suaranya terbata-bata, dan kian mengecil.

Osamu mengangkat tubuh Suna, dan mengunci pintu sebelum akhirnya menuntun Suna untuk menuju kamarnya.

Suna, wanginya, meski alkohol sangat menyengat di penciuman Osamu, namun wangi tubuhnya sangat melekat pada ingatan Osamu. Ahh, Osamu jadi ingin memeluknya sepanjang malam.

“Rin, lo minum sebanyak apa?”

“Eumh? Mashi banyakh cinth akh buat kamh.”

Sial, ingin sekali Osamu membungkam bibir lelaki yang sedang dalam pengaruh alkohol ini.

Osamu merebahkan Suna di atas ranjang miliknya. Ia melepaskan sepatu yang dikenakan Suna dan melonggarkan gesper yang mengikat kencang pinggangnya.

“Lo mabok sama siapa?”

“Omhih.”

“Hah sama Atsumu juga?”

Suna tak menjawab, hanya erangan saja yang terdengar di telinga. Sial, sekarang Osamu sangat ingin mengubur Suna karena menghasilkan suara yang membuatnya ingin sekali memeluk Suna dengan erat.

“Gue ambil air putih dulu, ya?”

Osamu bangkit dari duduknya, hendak mengambil air putih namun tangannya digenggam dengan kuat oleh Suna. Heran, saat dibawah pengaruh alkohol seperti ini mengapa ia masih memiliki tenaga yang cukup kuat?

“Gak butuh air putih, butuhnya Samu.”

Sumpah. Suna Rintarou gila.

“Lo minum seberapa banyak?”

“Gak sebanyak rasa gue buat lo, Sam.”

Osamu memutar bola matanya malas. Ia melepas genggaman Suna, namun kembali ditarik hingga Osamu jatuh diatas pelukan Suna.

“Rin..”

“Eummmhh”

Sial, Suna Horny Rintarou. Kini ia meraup bibir Osamu secara tiba-tiba.

Osamu menarik dirinya menjauh, “Bibir lo rasa alkohol.”

“I need a hug.”

“Gue masih marah kalo lo lupa.”

Suna memejamkan matanya, tangannya melukis pada angin, “Osamu, Suna Rin sudah sadar sama kesalahannya, maafin, ya?”

Osamu melihat tingkah Suna, it's simple thing but make him smile. Namun, Osamu masih belum memutuskan bagaimana caranya agar Suna merasa harus mengutamakan komunikasi, apalagi perihal rasa diantara satu sama lain.

“Gak mau, maunya putus.”

“Okay, kita putus.” Suna bangkit, mendekatkan dirinya, tangannya memegang tengkuk Osamu, “Yuk balikan lagi.”

“Lo gila?”

Osamu tak habis pikir, padahal Suna dalam pengaruh alkohol, namun sangat lantang ketika mengatakan hal itu.

“Iya gue gila karena lo bawel mau putus mulu.”

“Gak.”

“Yaudah gaapapa putus tapi balikannya nikah, ya, Sam?”

Suna Gila Rintarou. Gila. Bagi Osamu, Suna sangat gila. Meski ia sedang marah, kesadaran Osamu seperti diacak-acak oleh perilaku dan perkataan Suna.

“Rin, lo ga—” Belum selesai Osamu berbicara, perkataannya dipotong oleh pertemuan bibir mereka. Osamu tidak menolak, ia juga menginginkannya meski dalam keadaan yang sedang kecewa.

Pertemuan kedua bibir itu sangat berbeda dengan biasanya. Meski terlihat kasar, namun tetap memiliki kesan lembut disana. Rasa alkohol yang tertinggal disana bagaikan candu bagi Osamu.

Suna menggigit bibir bawah Osamu agar ia memiliki ruang untuk masuk dan mengabsen deretan gigi milik Osamu. Daging tak bertulang itu telah diizinkan masuk untuk menjelajah, dan berdansa disana.

Suna meraba tubuh Osamu yang masih dilapisi kaos. Ia mencari sesuatu di sana, saat menemukannya ia langsung memainkannya, memutarnya secara perlahan sehingga menimbulkan erangan dari Osamu.

Jam menunjukkan pukul 02:20. Rasa kantuk yang semula dirasakan Osamu, kini hilang. Penyebabnya adalah Suna Rintarou, ia kalap dengan bibir Suna yang memiliki rasa candu tersendiri.

Ruang kamar Osamu yang semula dingin, kini terasa panas akibat kegiatan dua pasang kekasih tersebut. Semakin memanas, keduanya semakin liar tanpa jeda, hingga keduanya kehabisan oksigen dan melepaskan bibir yang berpagut.

Suna mengusap junior milik Osamu yang sudah mengeras, “Sam, can I?”

“Eumh, y-yeah you can.”

Suna membuka resleting celana Osamu menggunakan giginya dengan wajah yang sangat menggoda. Osamu kepalang-pusing melihatnya. Sial, kenapa harus Suna Rintarou? Mungkin esok Osamu akan berjalan merangkak.

Suna membawa Osamu pada pangkuannya dengan posisi Osamu yang membelakangi Suna. Suna menaikkan kaos yang dipakai Osamu bersamaan dengan tangannya yang mengangkat, kemudian mengunci tangan Osamu diatas kepalanya dengan kaosnya.

Jari Suna mulai meraba tubuh Osamu, bermain dengan kedua nipple Osamu dan kemudian turun ke bawah, hingga sampai pada junior milik Osamu. Diremasnya perlahan sebelum akhirnya jari suna sampai pada bagian paling ujung.

Osamu mengadah kesakitan saat jari Suna mulai memasuki dirinya. Suna menunjukkan kelihaiannya dalam menaklukan setiap sudut bagian tubuh Osamu. Memainkannya dibawah sana, dimulai dengan perlahan hingga akhirnya jatuh pada tempo tercepat.

“R-rin!”

“Yes babe.”

“Pelan-pelan.”

Suna tidak mendengarkan permintaan Osamu, bahkan tangannya yang lain kini mulai memainkan junior milik Osamu.

“Ahh shit, Rintarou!”

“Of course, call me!”

“R-rin ahh m-mau keluar.”

“Do it.”

Suna mencumbu bibir Osamu tanpa melepaskan kegiatannya dibawah sana. Ia mempercepat gerakannya sampai akhirnya semburat cairan milik Osamu memenuhi perut miliknya. Tubuh Osamu melemas, dan menyandarkan dirinya di badan Suna.

“Sam, ini baru pemanasan.” Suna melepas pakaian Osamu yang tadi mengunci tubuh Osamu.

Suna, apakah pengaruh alkoholnya sudah hilang? Ia tampak lebih bergairah dari biasanya.

“Rin, lo dibawah pengaruh alkohol atau emang lagi horny parah?”

“Ini biar lo maafin gue, sih. I'll give u something, yang ga akan lo lupain setelah kita berantem.”

“Gue belum jawab kalo gue udah maafin lo.”

“Penerimaan tubuh lo udah menjawab semuanya.”

Sial, Osamu kalah telak.

Suna melepas pakaian miliknya, membalik tubuh Osamu agar berhadapan dengannya. Ia berdiri setengah badan dengan lutut sebagai tumpuannya.

“Sam.....” Suara Suna seperti bayi, “Mau...”

Tanpa dikatakan secara spesifik, Osamu pun sudah mengerti maksudnya, “I'll do for you.”

Osamu membenarkan posisinya, ia sedikit membungkuk di hadapan Suna. Ia meraih junior milik Suna, mengusapnya dan mengulumnya di dalam rongga mulutnya. Osamu memainkan lidahnya di sana, bagaikan ice cream yang akan mencair ia meraup secara rakus.

“Ahh-shit!” Suna mengerang kenikmatan ia mengusap rambut Osamu sebelum akhirnya ikut andil untuk menggerakkan kepala Osamu di bawah sana.

“Fh-astheer, Sam!”

Osamu mempercepat gerakannya dengan Suna yang turut membantunya. Junior milik Suna memenuhi rongga mulut Osamu, dimaju-mundurkan dengan tempo cepat tanpa ampun.

“Sam, i'll cum now.” Suna mengeluarkan cairan miliknya di rongga mulut Osamu. Osamu hampir tersedak lantaran cairan milik Suna yang tiba-tiba memenuhi rongga mulutnya.

“Ditelen, Sam.”

Osamu menelannya tanpa tersisa. Suna mengusap bibir bagian bawah Osamu saat melihat sisa-sisa cairannya di sana.

Suna meraih pipi Osamu, mencumbui bibirnya lagi dengan lembut. Dibawanya Osamu ke atas pangkuannya. Bibir Suna turun ke leher, kemudian tiba di depan nipple milik Osamu. Dikecupnya singkat sebelum akhirnya ia memainkan lidahnya di sana. Osamu mengerang kenikmatan, ia menjambak rambut milik Suna.

Suna merebahkan tubuh Osamu saat lidahnya bermain di atas nipple milik Osamu. Tangannya mengusap junior milik Osamu secara perlahan.

Suna membuka lebar kaki milik Osamu, mengangkatnya lebih tinggi sedikit. Mengusap juniornya disana.

“Shit, Rin masukin!” Pinta Osamu yang sejak tadi menunggu bagian ini.

Suna memasukkan juniornya, Osamu terhentak sedikit terkejut lantaran Suna menerobos tanpa jeda. Digerakkannya pinggul Suna, memaju-mundurkan dengan tempo yang pelan.

Osamu mengadah kesakitan, tangannya menngenggam speri dengan kuat ketika Suna mempercepat gerakannya. Suna meraih junior milik Osamu, dimainkannya tanpa menghentikan kegiatannya di bawah sana.

“Ahh-Rhin!”

Osamu kepalang-pusing dengan rasa nikmat yang saat ini ia rasakan. Ia mengeluarkan erangan dan desahan yang bila didengar di telinga sangat merdu. Suna menyukainya.

Suna mengubah posisinya, ia mengangkat Osamu di atas pangkuannya, “Sam, gerakin.”

Osamu menaik-turunkan tubuhnya, ia melingkarkan tangannya di belakang tengkuk Suna.

“R-rhin! I'll cumh.”

Suna meraih bibir Osamu, melumatnya singkat, “Do it.”

Napas keduanya sudah tidak beraturan. Osamu sudah mendekati puncaknya, ia mempercepat temponya. Menaik-turunkan dengan tubuh yang berada di atas pangukan Suna.

Osamu mengeluarkan cairannya, bersamaan dengan Suna yang juga sudah mengeluarkannya di bawah sana. Cairan milik Suna memenuhi sebagian tubuh Osamu.

Osamu jatuh di pelukannya, ia mendengar detak jantung Suna yang tidak beraturan. Suna memeluknya dengan erat, dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang.

“Sam, maaf.” Ia mengecup pucuk kepala Osamu.

Osamu memejamkan matanya, ia tersenyum di sana. Ntah, ia tak ingin menjawabnya.

“Sam?”

Osamu mendongak, mengecup bibir Suna singkat, “Bawel.”

Suna mengeratkan pelukannya, matanya sedikit mengeluarkan air mata. Ia memberi kehangatan untuk Osamu dalam peluknya.

“Sam, aku sayang..”

“Sayang siapa?”

Dikecupnya lagi pucuk kepala Osamu, “Kamu.”

Rin, ayo putus.

Beberapa dari kita berusaha keras untuk bertahan dan mempertahankan. Namun, ada beberapa yang berusaha lepas dan melepaskan.

Dalam peluk yang selalu dieratkan, kini perlahan mulai merenggang. Dua raga yang selalu berpadu kini tak lagi satu. Beribu tanya menyesakkan dada. Namun, hanya acuh yang menyapa.

Disinilah ia. Berada dalam ruang yang sama setelah menurunkan egonya untuk bertemu dengan kekasihnya.

“Sam?” Pria dengan surai cokelat itu memanggilnya penuh hati-hati. Ada satu hal yang menarik perhatian Suna. Netra itu, binarnya tak lagi sehangat dahulu, kurvanya tak lagi terukir indah di sana.

Setelah dua minggu lamanya Suna tidak menunjukkan batang hidungnya. Namun, pesan terakhir dari Atsumu membuatnya ingin segera melepaskan segala pikirannya pada Osamu.

Osamu memandang ujung kuku dengan tatapan kosongnya, “Pertemuan itu lucu ya, Rin?” Ia menghembuskan napasnya kasar.

“Ingat Your Lie in April yang pernah aku ceritain?” Osamu menatap wajah Suna dengan lekat, “Kalau pada akhirnya Kaori dan Kousei ga bersama, kenapa mereka dipertemukan?” Osamu merebahkan dirinya pada sandaran sofa di kamarnya. Ia memandang langit-langit kamar, melepaskan penatnya sejenak.

“Sam..”

“Jawab, Rin.”

“Maaf, Sam.”

“Aku harus salahin siapa?” Osamu frustasi, “Aku bahkan ga tahu apa yang terjadi diantara kita, Rin.”

Ketika dirinya berjuang untuk bertahan, namun pertahanannya diratakan oleh keadaan yang terang-terangan mendesak keduanya untuk saling meninggalkan.

“Maaf.”

“Kamu tahu letak salahmu dimana?”

“Untuk yang itu, maaf, Sam.”

Osamu diam, tenggorokannya tercekat, menahan sesuatu yang kapan saja dapat ia tumpahkan.

“Rin, ayo putus.”

Suna membeku. Lidahnya kelu. Dalam dua kata, mampu membuatnya membisu. Tidak, bukan putus yang diinginkannya. Suna hanya bosan, namun salahnya yang selalu menyepelekan rasanya.

Suna tak ingin. Ia tahu, putus bukan solusi terbaik dari rasa bosan.

“Sam, aku ga mau.”

“Kenapa? Kan kamu yang mulai semuanya, Rin.”

“Aku cuma bosan, Sam.” Suna meraih tangan Osamu, “Tapi bukan berarti aku ga sayang lagi.”

“Aku ga ngerti, Rin.” Osamu melepas genggamannya, “Bahkan aku lebih ngerti alasan dari perpisahan antara Kaori dan Kousei, daripada kita.”

“Aku ga tahu cara bilangnya, Sam.”

“Sesusah itu, ya, Rin?”

Lagi, Suna membisu. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Osamu. Ia tahu, ini salahnya. Hanya saja mungkin ia terlalu kalut dalam egonya.

“Sam, ini beneran?”

“Rin, jawab.”

“Aku takut.” Suna memejamkan matanya, “Aku takut kalo keadaan ini beneran misahin kita.”

“Maksudnya?”

“Aku sendiri ga bisa ngatasin rasa bosan itu, Sam.”

“Just tell me. Kenapa kamu ga percaya sama aku?”

Suna mengambil napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan, “Aku percaya, kok.”

“Terus?”

“Kak Kita.” Suna memberi jeda, ia menatap pasang mata milik Osamu, “Aku hampir jadiin dia pelarian.”

“Suna Rintarou.”

Osamu memanggilnya, lengkap. Mungkin ini sudah puncaknya. Tidak, Suna belum sempat menjadikan Kak Kita sebagai pelarian, ia bahkan belum memulainya. Saat melihat Kak Kita, ada beberapa pikiran yang terbesit di benak Suna. Namun, ia tak mampu mengutarakan pikirannya. Baginya, meski ia merasa bosan saat bersama Osamu, hanya Osamu yang memiliki tempat di hatinya.

“Aku tau, ini udah salah banget, Sam.”

“Aku gatau harus bilang apalagi, Rin.”

“Sam, maaf.”

“Rin, pulang.”