pridehyuck

Luna:r ——

“Kill this love before it kills me too.”

Sure, My lord, i will.

.......................................................

Tw: bxb, abo universe, fantasy, mcd, blood scene, harsh words

......................................................

Donghyuck hanya memasang raut santai ketika menerima pengusiran kesekian dari sosok laki-laki tampan di hadapannya.

Pun Donghyuck ingin meraung dan mencakar wajah rupawan itu, dia tak mampu.

Egonya berkata itu tindakan yang tidak berkelas. Tapi hatinya bilang bahwa Donghyuck tak boleh menyakiti pasangan hidupnya.

Tidak seincipun.

“Oke, aku pergi. Jaga dirimu Minhyung-ah, beberapa orang akan datang ke apartemenmu untuk menagih hutang mendiang ibumu. Panggil aku kalau kau sudah tidak mampu. Sampai jumpa,” ucap Donghyuck pelan dan datar. Lalu melenggang pergi seakan tak terjadi masalah apapun.

“Sial.”

Sebesar apapun ego seorang Minhyung, di setiap keadaan mendesak, hanya nama Donghyuck yang terlintas.

Dan lelaki itu akan muncul di depannya.

[OoO]

“Selamat siang, Tuan Lee.”

“Ya, siang.”

“Hari ini kami akan meminta baik-baik, jadi bayar hutang Ibumu itu.”

Minhyung mendecih. Lintah darat yang selalu mengganggu hidupnya sungguh membuat jengkel.

“Dengar keparat, aku sudah bayar lunas hutang mendiang ibuku beserta bunganya. Jadi segera pergi dari sini!” serunya marah. Minhyung tak bohong ketika mengatakannya.

Kecuali orang-orang di depan pintu apartemennya yang berbohong.

“Hooo? Sudah bayar? Tapi kenapa Bos bilang tidak ada, ya?” tantang lelaki itu dengan senyum remeh yang memuakkan.

“Itu karena kalian pakai uangku untuk menyewa perempuan murah di kelab kotor, bajingan.

Jika ingin menggelapkan dana dariku, bisakah digunakan untuk hal yang lebih bersih? Menjijikan.”

Kalimat provokator dari Minhyung menyulut emosi empat orang berbadan besar itu.

Lantas mereka menggeram, hendak melayangkan satu pukulan dan tendangan lain jika saja tubuh mereka tidak terpental jauh menghantam pembatas besi.

“Terlalu cepat seribu tahun bagimu untuk menyentuh mate dari Sang Alpha Pemimpin sari klan Suh, Donghyuck Suh. Enyah, manusia kotor.”

“M-m-monster!”

Minhyung menyeringai culas, berdiri bersidekap di belakang serigala besar berbulu seputih salju dengan mata semerah delima. Cakar kuat berwarna hitam dan taring tajam yang mengkilap.

Sedang keempat orang yang terluka parah itu langsung jatuh pingsan karena syok. Minhyung tak mau tahu urusan selanjutnya, Donghyuck akan menyelesaikannya untuknya.

Semudah itu hidupnya.

Tapi Minhyung tetap merasa kesusahan.

“Sudah kubilang, panggil aku,” kata Donghyuck sembari berubah wujud menjadi manusia—lelaki anggun berambut ash-grey.

“Kau akan datang sendiri.”

“Ya, tidak seorang—apapun yang boleh melukai mate-ku.”

“Katakan itu pada tanganku, menusia serigala. Aku bukan matemu. Cari saja beta atau omega lain.”

“Kau kira aku bisa rikues ke Dewi Bulan?” seru Donghyuck jengkel, tetapi raut wajahnya tidak menunjukkan kerutan apapun. Tetap datar bahkan ketika Minhyung menutup pintu apartemennya masa bodoh.

Donghyuck menghela napas lelah.

[OoO]

Namanya Lee Minhyung, seorang dentist di Green Medical Centre of Seoul. Namun dia sendiri membuka praktek di sekitaran Seoul, klinik dentist mahal yang tak pernah sepi pengunjung.

Uang bukan masalah untuk Minhyung. Mau sebanyak apa digelapkan uangnya untuk membayar hutang mendiang Ibunya, Minhyung tak masalah.

Baginya itu bentuk rasa terima kasih pada Ibunya.

Tapi Minhyung punya masalah dengan bedebah sialan itu. Minhyung tak suka diusik dan diganggu. Dia suka sendiri saja dan langsung pada intinya.

“Selamat siang Dokter Lee, saya mau kontrol kawat gigi saya.”

“Selamat siang, silakan duduk dahulu, Nona Kang.”

Ini pekerjaan biasa untuk Minhyung, kontrol, memeriksa, melakukan perawatan, lalu mendapat uang.

“Ayo makan siang bersama, Dokter Lee.”

Termasuk ajakan kencan dari Kang Mina. Sudah biasa, tapi Minhyung akan selalu menolak.

Penyebabnya adalah rasa sakit yang sudah Minhyung tahan selama bertahun-tahun. Rasa sakit itu muncul pertama kali ketika pubertasnya—mimpi basah pertama.

Itu saat bulan purnama dan rasa panas menjalar di sekujur tubuhnya. Angin malam bertiup kencang menerbangkan tirai kelabu jendelannya, seakan menunjukkan bahwa bulan purnama tengah menatapnya.

Lalu lolongan serigala terdengar di telinganya, dan sesosok wanita cantik muncul. Tersenyum manis dengan iris sewarna ametis yang menyala dalam gelapnya malam, kulit seputih salju yang bersinar. Dan rambut emas yang menjuntai lembut.

“Lee Minhyung, putra dari Lee Seunghyung dan Kwon Boah dari klan BoA, Sang Keturunan BoA, di Malam Suci ini aku memberkatimu sebuah tanda suci dari Alpha yang menjadi Matemu,

Sang Alpha Pemimpin dari klan Suh, Donghyuck Suh.”

Saat itu Minhyung tak mengerti ucapan wanita cantik itu, bahkan ketika seekor serigala sewarna salju dengan iris delima yang berpendar muncul dari balik wanita itu, Taeyong masih tak mengerti. Kecuali rasa sakit bercampur panas yang kini serasa melubangi dadanya.

Untuk pertama kalinya, Minhyung tahu bahwa dia bukan seutuhnya manusia.

“Tidak, terima kasih Nona Kang. Aku makan siang dengan karyawanku,” tolaknya sopan. Sembari melakukan kontrol dengan telaten.

Kang Mina hanya tersenyum tipis.

“Ya ... tak masalah.”

[OoO]

“Donghyuck .... ” panggil Minhyung pelan pada sosok serigala anggun yang sedang meringkuk damai di atas singgasananya. Bulu-bulu halus sewarna salju itu bergerak seirama dengan hembusan angin yang masuk dari celah celah gua. Mahkota emas kecil yang bersemayam di kepalanya nampak bersinar.

Pun singgasana Sang Serigala Putih Bermata Merah itu, nampak berkilau sekalipun hanya tumpukan batu berlumut yang dirimbuni semak belukar nan sulur menjuntai bunga.

Lalu kelopak mata itu terbuka seiring dengan panggilan pelan dari Minhyung, memperlihatkan iris semerah delima yang tajam dan menghanyutkan.

Untuk sejenak Minhyung terpana.

”.... ya, rajaku?” suara alpha Donghyuck mengalun di telinga Minhyung, membuat bulu khuduknya berdiri.

Panggilan itu membuat susuatu dalam diri Minhyung tersanjung—merasa disentuh dengan agung.

“Ada yang ingin aku katakan,” kata Minhyung lugas.

“Katakan, waktuku untukmu.” Donghyuck tak mengubah posisinya, hanya mengayunkan ekor sekali dan kepala terangguk. Sebuah gestur yang mana sangat Minhyung hapal—

“Tunggu sebentar.” Tapak kaki Minhyung menggema, menaiki satu persatu susunan batu menuju singgasana Donghyuck, lalu duduk dan memangku kepala Donghyuck, mengusap bulunya lembut dan mendayu.

Elusan sayang yang mendamaikan.

“Aku rindu sentuhan ini ....”

“Aku tidak bisa melanjutkannya lagi, Hyuck,” bisik Minhyung pelan, membuat kibasan ekor nyaman Donghyuck terhenti dan mengambang di udara.

Lalu geraman terdengar, ekor kembali dikibas nyaman.

“Apanya, rajaku?”

“Hubungan ini. Rasa sakit ini, aku tidak bisa menahannya lagi.”

“Maka jadilah omegaku sepenuhnya, jadilah mateku seutuhnya. Biarkan aku menandaimu dan menghilangkan semua sakitmu.”

Minhyung menggeleng tegas. Menolak keras perkataan Donghyuck dan elusannya terhenti di pipi serigala Donghyuck.

“Sampai seribu tahun lagipun, aku tidak akan mau, Hyuck. Tidak akan pernah!”

“Kenapa?”

“Kau masih bertanya? Aku tidak sudi menjadi bagian dari para pemburu daging sepertimu! Para pemburu daging yang hanya akan melenyapkan banyak nyawa!” Minhyung berseru marah, napasnya memburu. Kilat matanya asing.

Tapi Donghyuck tetap dalam posisinya. Rasa sabarnya menghadapi Minhyung memang butuh diapresiasi.

“Karena perang, Rajaku? Bangsaku tidak memburu manusia, Rajaku. Tidak juga berperang dengan manusia. Lalu apa yang membuatmu terluka?” Perlahan namun pasti, Donghyuck bangkit dari baringnya. Menjilati wajah Minhyung yang tak menolak, pun ekornya yang tetap mengibas lugas.

Wajah Minhyung pias. Itu memukulnya telak.

“Kau membunuh semua keluargaku,” desis Minhyung.

“Bukan, bukan aku Sang Alpha Suh yang membunuh keluargamu, rajaku. Perang 400 tahun lalu melibatkan Serigala dan Vampire. Lalu mendiang Kakek dan Nenekmu yang merupakan Werewolf dan Vampire berhasil kabur.

Ibumu lahir. Menikah dengan seorang manusia biasa. Manusia tidak hidup abadi, Rajaku. Meninggalnya ayahmu bukan salah siapapun.” Donghyuck menuruni singgasananya. Menatap setiap dinding gua yang berhias sulur tanaman dan bunga bunga indah, lalu kolam mata air jernih yang riaknya sedamai langit sore.

“Bohong! Lalu bagaimana bisa kakek, nenek, dan ibuku mati mengenaskan!?” Minhyung berseru, air matanya perlahan menetes. Rasa sakit akan kehilangan membuatnya menutup mata.

“Tentu, Vampire dan Werewolf tidak ditakdirkan bersama. Menurutmu, apa Dewi Bulan akan memaafkan Alpha yang membunuh matenya demi seorang Vampire? Itu hukumannya.

Dan Ibumu terkena imbasnya, menikahi manusia, tak bertemu dengan matenya, anak dari persilangan vampire dan werewolf,

Keluargamu rusak, Rajaku. Silsilahmu ternodai. Dan aku di sini untuk memperbaikinya,” ucap Donghyuck,  berjalan anggun menuju mulut gua dan menghadap luar, membelakangi Minhyung yang tengah menangis pedih.

“Omong kosong ... aku benci kau! Bangsamu! Serigala! Vampire! Persetan dengan rasa sakit!”

“Kau mau menolak anugrah cinta dari Dewi Bulan, rajaku?” Donghyuck menoleh, menatap Minhyung dari sudut ekor mata merahnya.

Mengirim sinyal bahaya.

“Cinta? Kau membual? Siapa yang mencintai siapa, huh?”

“Aku. Mencintaimu, rajaku.”

“Omong kosong!”

“Atas dasar apa? Jika aku memang mencintaimu, apa aku harus menolak juga?”

“Kalau begitu ... bunuh saja cinta itu. Aku tidak butuh.” Detik itu, Donghyuck memejamkan matanya, kakinya melangkah ke luar gua.

“Sebaiknya kau pulang, rajaku. Vampire dan succubus berkeliaran saat petang, hati-hati.” Lalu pergi meninggalkan Minhyung sendirian di sana.

[OoO]

Donghyuck benar-benar pergi. Dia menghilang dan tak kunjung kembali. Harusnya Minhyung senang.

Tapi ada yang mengganjal. Rasa sakit itu muncul semakin sering dan semakin menyiksanya. Minhyung seperti ditusuk ribuan kali dengan pisau panas dan dibakar dalam kobaran api unggun.

Tiap malamnya terasa diadili, peluh mengucur bersama ringisan pedihnya, ketika mata terpejam—hari berubah esok dan tubuhnya bugar seperti sedia kala. Minhyung tak mau lagi menatap remangnya rembulan, dia tolak eksistensi Sang Luna dan berharap tiap harinya adalah fajar yang dingin.

“Selamat pagi, Dokter Lee,” sapa Mina ramah. Hari ini jadwalnya mencabut dua gigi untuk membantu giginya rapi dan mundur usai pemakaian kawat gigi.

Seperti biasa, Mina akan menggoda.

“Selamat pagi Nona Kang. Mohon berbaring di sana,” perintah Minhyung. Mulai sibuk menghidupkan mesin dan menyiapkan peralatan seorang diri. Asistennya libur.

“Mari periksa dahulu.”

“Ya ... sayang, periksa yang benar,” bisik Mina, tangannya mulai mengelus lengannya. Minhyung tak goyah, ini hal biasa.

Tapi satu nama terlintas.

Donghyuck.

Bukankah ini hal yang pantas karena Donghyuck sudah menghilang tanpa sepengetahuannya? Bukankah membuat Donghyuck cemburu dan mendapat ganjarannya akan bagus?

“Tidak ... bukan cemburu. Ini cara agar dia berhenti mendekatiku dan memintaku jadi matenya ... ya, begitu.” Rapalan itu terus Minhyung ulang-ulang.

Ketika pada akhirnya mereka berakhir di apartemen Mina. Tak ada gigi yang dicabut, semua selesai di saat Mina mulai menggoda. Dan Minhyung yang duduk di atas ranjang menunggu Mina terus menggumamkan hal yang sama.

Hatinya gelisah seperti rakit di tengah samudra, banyak rasa yang dia artikan berbeda. Hidupnya berantakan seketika.

[OoO]

“Aku sudah bertemu dengan para alpha pemimpin dari tiga klan yang menguasai hutan ini.

Daerah Utara; klan Azzure Daerah Selatan; Klan Na, Dan Daerah Barat; Klan Strauss. Ditambah kita, Suh di Daerah Timur.

Mulai saat ini kita adalah aliansi untuk melindungi Hutan ini dari Vampire atau sesama Werewolf liar. Sudah ada perjanjian yang berlaku selama tiga ratus tahun, tidak ada yang bisa diubah.

Kita semua dalam lindungan surat perjanjian, para Alpha Pemimpin.” Jisung menggeram tak suka ketika Kakaknya, Donghyuck, menjabarkan hal penting di depan packs mereka.

Jisung tak suka ketika Kakaknya berubah menjadi sosok pemimpin seperti ini.

Karena pasti akan ada hal yang terjadi.

“Mulai sekarang, perang dan kekerasan dalam bentuk apapun dilarang, dan jika kita mendapat serangan, maka keempat klan akan maju. Tanpa Alpha Pimpimpun, kalian akan aman,” tutup Donghyuck, lalu menatap iris delima Jisung yang menatap kecewa. Serigala muda berbulu kelabu jenggala itu lantas berbalik dan berlari menjauh ke dalam hutan.

Menabrak semua eksistensi lewat di dalam hutan, menatapnya pias dan iba dalam suara-suara putus asa. Jisung tak mau berlama-lama di sana.

Dia melolong dan menyumpah serapahi kakaknya sendiri; Donghyuck Suh.

[OoO]

“Kau terlihat sedih,” katanya. Sosok cantik, tampan, anggun—parasnya tidak bisa dideskrisan dengan kata-kata, kosa kata kurang dan terasa tidak tepat bagai dewa dalam buku cerita. Ia terlihat bertelanjang dada dengan binar bias rembulan malam. Hanya sulur tanaman dan lumut berbunga yang menutupi area dadanya.

Bersandar pada pinggir Telaga di mana sosok serigala Donghyuck duduk mendongak menatap bulan—membingkai langit dalam lensa merah yang menduka.

“Ya.”

“Kenapa? Cintamu ditolak lagi?” Air terciprat secara acam akibat ekor berkilau yang diliukkan.

Rambut silver lepeknya memantulkan cahaya rembulan. Nampak berkilau bagai permata yang membuat silau.

Sang Putra Duyung—siren tengah menemani Sang Alpha Pemimpin menyenandungkan musik duka di bawah sinar rembulan purnama yang sinarnya lebih redup dari patah hati siapapun.

“Ya, setiap hari. Aku sedang mengingat semuanya,” kata Donghyuck tanpa memalingkan wajahnya.

“Apa yang perlu kau ingat?” Putra Duyung terakhir di Telaga luas nan dalam itu berenang-renang di sekitaran Donghyuck, baginya yang keturunan terakhir kaum Siren, Sang Alpha terasa begitu menderita. Wajahnya muram melebihi debu jelaga. Ia hanya berenang mencipratkan air dan meliukkan badan seolah menghibur Alpha Donghyuck.

“Semua, Renjun, semua.”

“Adikmu pasti sangat sedih. Yah ... lakukan apapun, Kau seorang Alpha Pemimpin paling ditakuti, pilihanmu yang terbaik,” Renjun berhenti, menggenggam kaki depan Donghyuck yang memaksa tegar dengan lembut, mengusapnya, lalu mengecup sayang leher berbulu lembut itu.

Memejamkan mata seolah meresapi setiap detik yang ada.

Perasaanya meluruh, antara suka dan duka jadi samar, Renjun tidak bisa menebak yang mana Donghyuck pilih. Alpha tegar itu terlalu rapuh untuk disentuh, kecupan sayangnya bahkan terasa dingin meskipun menapak pada bulu putih yang lebat.

“Kami saling menyakiti. Dia tersiksa ... akupun juga. Rajaku mungkin akan dalam bahaya,” kata Donghyuck. Memejamkan mata menikmati kecupan lembut temannya di leher berbulunya. Mengingatnya dengan baik dan menyimpannya dalam sudut hatinya.

Berusaha mengingat lebih keras karena takut terlupakan.

“Dia egois,” bisik Renjun, meraih telinga runcing Donghyuck dan mengusapnya, membelainya dengan sayang seolah rasanya lebih tinggi dari kasta manapun.

“Ya, aku mencintainya. Tidak ada yang salah.”

“Tidak ada yang salah di mata pria yang sedang jatuh cinta, Alpha ....”

Malam purnama itu, ketika para werewolf berubah wujud dan berburu di hutan, langkah kaki mereka seakan terhenti dipaksa hati.

Para kelelawar vampire yang terbang ke sana kemari dalam hutan bertengger di dahan pohon untuk berhenti dalam hening.

Semua akibat sebuah lolongan sarat kesedihan dan keputusasaan yang Donghyuck keluarkan. Lolongan emas dari Sang Alpha Berbulu Salju dan Bermata Delima; Donghyuck Suh.

[OoO]

“Kau tampan .... ” Napas dingin Mina berhembus di tengkuk Minhyung yang mulai bergetar.

Minhyung melakukannya agar Ia terbebas dari Donghyuck, kan?

“Tampan sekali ....” satu jari naik.

“Tampan ... sampai rasanya aku ingin .... ” Mina menjauh, memfigur sosok Minhyung tanpa kemeja yang hanya duduk diam tanpa ekspresi.

Mina sudah menantikan ini selama dua tahun. Hari ini Ia berhasil ... benar, harus jadi miliknya.

”... mencabik dadamu dan memeras jantungmu, jus darah yang segar!”

Minhyung terkejut, Mina tiba tiba melesat maju dengan jari berkuku tajam yang hendak menusuk dadanya, mencengkram jantungnya dan mengoyak dadanya;

“Monster!” pekik Minhyung dengan kejut, berguling ke kiri dan tersungkur.

“Keh. Kukira kau semahal itu, Lee Minhyung. Aku tidak perlu menunggu dua tahun hanya untuk darah langka nan menggiurkan darimu,” kata Mina. Taringnya mencuat, kawat gigi yang Minhyung pasang dua bulan lalu lepas bagai benang.

Mata semerah darah itu menyorotinya bagai lampu panggung.

Minhyung ketakutan.

“Darah langka apanya?!”

“Oh? Kau tak tahu? Keturunan BoA dan Qian—werewolf dan vampire. Anak dari persilangan dan manusia.

Sekarang kau adalah mate dari Alpha Pemimpin dari Suh. Betapa diberkatinya darahmu, tampan.”

Minhyung merangkak mundur untuk setiap kata yang Mina ucapkan. Semakim mencekam suasana dan kakinya bergetar gemetar.

“Kasihan sekali si serigala putih, ditolak oleh manusia setengah vampire serigala rendah sepertimu. Kau tak tau setinggi apa posisi matemu?”

Tidak. Minhyung tak mau dengar. Pun kilatan taring dan nyaringnya kuku tajam Mina.

Minhyung mulai bangkit, menuju pintu dan berusaha membukanya dengan panik. Terkunci!

“Kau tidak tahu? Dasar manusia bodoh. Dia Suh, klan paling ditakuti. Dia Alpha Pemimpin dari Suh, satu-satunya pria alpha yang memimpin packs dengan mewarisi bulu putih tanpa noda.

Dan kau menyia-nyiakannya.”

“Omong kosong! Aku tidak peduli bualanmu! Enyah kau! Pergi!!” Seru marah Minhyung, tak mau mendengar cerita tentang Donghyuck yang mana semakin menyudutkan hatinya.

Srat!

Tiba-tiba Mina sudah ada di depan wajahnya, menjepit kedua pipinya dengan tangan berkuku tajam. Menyeringai seram seolah Minhyung adalah anak kecil yang takut hantu.

“Kau tak tahu betapa merepotkannya kisah cinta werewolf, ya? Tidak mating setelah tahu mate adalah hal paling menyakitkan untuk omega sepertimu,” katanya, lalu tertawa remeh begitu mendapati wajah pias Minhyung.

“Aku tidak sudi mating dengan dia! Denganmu! Atau mahkluk mengerikan lainnya! Karenanya aku sakit!” serunya marah, menggeram dan menepis tangan Mina.

Mina tertawa keras—lugas seolah humornya tiada batas. Memegang kepalanya seolah itu adalah hal terlucu yang pernah dia dengar selama ratusan tahun hidup.

“Kau pikir setelah rasa sakit itu, kenapa kau masih bisa hidup, huh?

Oh, tentu, karena ketika kau terlelap tidur, kau tidak tahu kalau Si Alpha selalu menjilatimu dengan liur ajaibnya itu, kan? Dia mengawasimu dan menyembuhkan sakitmu. Menyebalkan, aku jadi tidak bisa menyentuhmu.”

Minhyung terdiam. Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin rasa sakitnya menghilang di pagi hari karena liur Donghyuck.

Omong kosong.

“Bedebah, enyah!” Minhyung mendorong Mina menjauh, berhasil membuka pintu dan berlari keluar. Dia panik, tak tahu arah dan tiba-tiba saja muncul di atap tinggi apartemen itu.

“Lari yang lambat, tampan. Aku sungguhan kasihan dengan Si Serigala, menahan sakit hanya untukmu,” kata Mina lagi. Tiba-tiba sudah berdiri di depan Minhyung. Memojokkanya hingga Ia tak lagi punya tempat untuk mundur.

“Kubilang diam!”

“HAHAHA!! Lihat wajahmu! Kau pasti tak tahu bahwa Donghyuck juga ingin jadi seorang Luna, kan? Biar aku yang membebaskan Donghyuck dari manusia hina sepertimu!”

Mina menerjang maju dengan kuku tajam yang siap menusuk dadanya—lagi. Siap mencengkram jantung Minhyung untuk diperas darahnya.

Darah terciprat di mana-mana. Rasa panas di dadanya kian terasa.

“Kau bilang, agar aku membunuh cinta ini, rajaku. Kau benar, kau tersiksa selama ini. Maka biarkan aku pergi dan membebaskanmu dari kutukan yang kau benci.

Alphamu sudah mati, omegaku, kau bebas. Aku sudah membunuh cinta ini—diriku sendiri.”

Mina gemetar bukan main. Matanya membola sempurna bersamaan dengan tangannya yang menghangat oleh rendaman darah.

Dada yang ia tusuk jauh meleset dari target—tangannya bersarang pada dada menusia serigala yang adalah Sang Alpha Suh, Pemimpinnya : Donghyuck Suh. Mina tak tahu secepat apa sosok lelaki anggun itu berdiri di depan Minhyung untuk melindunginya.

Donghyuck jelas akan langsung mati; kelemahan werewolf ada pada jantungnya, terlebih Mina yang seorang vampire memiliki racun di kukunya.

“Tidak ... tidak ... aku dalam masalah!” Mina menjerit histeris. Dia hanya vampire liar—dia akan mati! Nyawanya akan direnggut-

“Terlalu cepat seribu tahun untukmu menyentuh Omegaku, vampire rendah. Aliansi Hutan Hangang akan menghabisimu tepat setelah hembusan napasku berhenti.

Kau pikir, jantung siapa yang kau remas?” Perlahan namun pasti, tubuh ringkih Donghyuck berubah menjadi serigala putih bermata merah. Di depan Minhyung yang gemetar bukan main. Matanya membelalak penuh kejut, jatuh bersimpuh tanpa tenaga.

Bruk!

“Kkh ... Omegaku, cintaku ... mati di pangkuanmu ... terasa begitu menyenangkan. Maaf sudah membuatmu sakit. Alphamu akan mati, kau bebas .... ” Serigala Donghyuck terjatuh di pangkuan Minhyung. Air mata jatuh tanpa permisi, tangan bergetarnya mencoba meraih wajah Donghyuck, mengusap bulu putih yang ternoda darah.

Putih salju yang terekam begitu suci dan halus dalam ingatan Minhyung berubah laksana delima merah yang direndam cat merah. Terlalu kotor dan bernoda, Alphanya meregang nyawa.

“Hyuck ... Donghyuck ....”

“TIDAKK! SIALAN! BEDEBAH! AKU AKAN MATI! SIAL-

BRAK!!

Tubuh Mina terhempas dalam sepersekian sekon kedipan mata. Dikoyak kasar dan dienyahkan dari perputaran roda dunia—

Oleh seekor serigala alpha muda yang menangis, meraung pilu dalam lolongan penuh duka—Jisung Suh.

“Donghyuck, hyuck, bangun. Jangan bercanda!” Minhyung berseru panik. Tangannya mengguncang tubuh serigala yang sudah lemah.

“Darahku menodaimu, Rajaku,” katanya. Suara lemah alpha Donghyuck yang menyempatkan diri menjilat noda darah pada tangan Minhyung.

“Berhenti lakukan ini-berhenti lakukan ini ... aku tidak tahu! Aku tidak tahu harus apa, Donghyuck-ah .... ”

Jisung berjalan pelan, mendudukkan diri di depan kakaknya dengan kepala tertunduk, jiwa alphanya bersedih, pun dia yang berduka secara singkat—dia kehilangan alpha pemimpin sekaligus kakaknya. Serigala muda itu mengaing dengan pilu seolah tuli pada jeritan Minhyung yang kacau.

“Rajaku, aku masih ingin jadi seorang luna, tapi aku bukan alphamu lagi .... ”

Luna? Luna apa?

Minhyung tidak bisa berpikir rasional, jilatan serigala Donghyuck pada lengannya terasa makin dingin dan lambat, jantungnya tersendat dan lolongan Jisung makin memekakkan telinga.

Minhyung kalut, rasa sakit di hatinya kalah jauh dengan rasa takutnya.

“Donghyuck maaf, maaf aku-”

“Aku mencintaimu,” potong Donghyuck. Lidahnya berhenti menjulur dan kepalanya dengan lunglai terjatuh pada pangkuan Minhyung.

Dentist itu syok, tangannya mengambang, tak sempat mengelus bulu ternoda itu untuk terakhir kalinya.

Alpha Donghyuck gugur, demi Omeganya yang tidak mau menerima takdir.

“Kakak,”

Jisung mengendus feromon penuh duka yang tertinggal, menggoyangkan tubuh kaku itu dengan moncongnya berharap Donghyuck terbangun.

Sia-sia, Sang Alpha Pemimpin memisahkan diri dengan dunia. Minhyung terluka, Jisung dirundung duka.

Malam itu, Hutan Hangang terasa sepi dan dingin. Para serigala duduk menatap rembulan dari masing-masing tempat di hutan, menyorot luka pada cahaya remang yang seolah bilang ‘aku turut berduka.’

Alpha Tertinggi sudah pergi. Serigala Putih Bermata Merah sudah mati.

Sang Siren; Putra Duyung terakhir duduk di atas batu telaga, mendongak ke arah rembulan dengan mata terpejam, air mata yang mengalir jatuh menetes ke atas air telaga.

Teman alphanya sudah mati. Berkorban demi cinta. Dia ditinggal selamanya.

[OoO]

“Selamat siang .... “

Hari-hari biasa yang Minhyung alami. Monoton. Tak ada hal menarik.

“Sekali saja, aku ingin menjadi seorang Luna.”

Kalimat terakhir Donghyuck terus berputar di ingatan Minhyung.

Nyatanya ... Minhyung tak bahagia. Harusnya Minhyung tak membunuh cinta itu. Harusnya Minhyung jadi omega bahagia dengan seorang Luna yang cantik dan anggun.

| fin.

Pernah dipublish di wattpad dalam katakter berbeda.

Malvin nggak mengerti apapun tentang Januar. Motifnya berserta tujuannya; Januar cuma terlihat seperti orang yang dendam mati padanya.

Malvin jelas nggak mau melibatkan diri pada perkelahian tidak jelas ini.

Enggak sampai mulut Januar menghina Aksara—pacarnya.

“Lo ada masalah apa sama gue, gue tanya?” Ludah Malvin sudah berwarna merah, dibuang bersama geraman kesal di pinggir selokan.

“Ada, banyak.”

“Gak jelas lo tolol,” umpatnya. Melempar tas beratnya yang berisi kotak tupperware milik Aksa—iya, Aksa kemarin memberinya bekal makan siang. Semoga nggak pecah, ya.

“Harusnya lo sama Aksa nggak ada di dunia.” Januar terhuyung, tapi kembali bangun dan melempar satu tendangan yang telak membuat Malvin terjungkal.

“Kebalik bos.”

“Gara-gara lo, adek gue sekarat!” Januar berteriak marah, bogeman mentahnya sudah mendarat dua kali di wajah Malvian yang sedikit kelelahan.

“Ya siapa suruh malak.”

“ADIK GUE JAUH LEBIH BAIK DARI LO YANG HOMO! ADEK GUE CINTA AKSARA LEBIH DARI LO YANG MENJIJIKAN INI!!!”

Malvin nggak tahu adik mana yang Januar maksud. Jelas bukan yang dia pukuli tempo hari.

Siapa?

Malvin buram, dia sedikit patah hati mendengarnya. Apa Aksara sepopuler itu?

Nggak. Malvin tahu dia lebih tampan, jadi bukan masalah.

“Banyak bacot,” desisnya, menonjok wajah menyebalkan Januar. “Congor elu banyak omong, homo homo cangkemmu.”

Januar sempat limbung karena pusing. Dia berdiri lagi untuk air mata yang Sammy—adiknya kucurkan semalaman karena ditolak Aksara demi Malvian.

Januar sosok kakak yang peduli, terlalu peduli sampai punya dendam pribadi yang tidak akan hilang sampai mati.

“Enyah lo!”

Malvian lengah, dia berjongkok karena tali sepatu mengganggu dan Januar melayangkan satu pukulan kencang.

BUAGH!

“Anjing sakit.”

Sebuah ringisan familiar menyadarkan Malvin—Aksa merunduk memegang pipinya yang terasa ngilu kebas.

“Hah—NGAPAIN LO DI SINI GOBLOK??????!!!!!?????????”

“Kalau gue gak di sini, meninggal kali lo kena bogem monyet satu ini,” jawab Aksara dongkol, matanya melirik sekilas pada Januar dan tanpa jeda langsung memukulnya telak.

Aksara turun sebagai preman sma, Malvin yang tahu kalau pacarnya akan menang jadi berjongkok menonton. Januar sekarat di jalanan.

“Yang, bagi rokok.”

“Yang yang mata lo suwek, ngapain lo di sini hah?!”

Sore itu di perempatan, ada Malvian yang merokok usai berkelahi dengan Aksa yang mengomel. Mengantarnya pulang dengan amarah di dalam hati.

“Iya janji gak berantem diem-diem lagi. Guenya jangan dicuekin dong, Sar?”

“Dalam hitungan ketiga gue mau lompat satu, lima WOOP!”

“aNJING BERAT BANGET LO BABIIIII!!!”

Malvin mengerang sakit ketika Aksa melompat ke atas badannya, memeluk erat Malvin yang terlihat sekarat dengan tawa jahatnya.

“Lo jangan body shaming,” cercanya. Berguling lalu duduk bersila di hadapan Mavin yang menurutnya lebay; meraup napas rakus bak habis dicekik.

“Bukan body shaming, gue spitting fact,” jawab Malvin ketus

Alis Aksa menyatu,”split apa?”

“Udahlah lo itu bodoh jangan sok mikir.” Malvin kembali fokus pada hpnya, main game seolah tidak peduli Aksa manyun karena diejek.

Hening sepuluh menit yang mana Malvin nggak sadar, dia dapati Aksa masih menatapnya (sok) imut.

Geli sih, Malvin mau muntah sebenarnya.

“Apa?” tanyanya judes.

“Sensi banget, pms lo?”

“Hargai gender gue bisa gak?” Aksa tertawa keras, dia jatuhkan dirinya pada pangkuan Malvin. Kepalanya nyaman dalam lipatan kaki Malvin yang sibuk main game lagi, bersandar pada kepala ranjang nggak peduli pada berat di pangkuannya.

Rambut panjang Aksa dielus dan disisir tanpa sadar. Kebiasaan.

“Main apa sih lo sok sibuk banget,” komentarnya. Mendongak tapi dia malah melihat kerutan di wajah Malvin—pasti mau kalah.

“Cupu sih mainnya,” ejeknya kemudian.

“Banyak bacot.”

“aRfYYTTT LEPWAS BEGHIYOT!!!!!!!!”

Giliran Malvin yang tertawa keras, hpnya ditaruh di nakas, dia jepit hidung Aksa sampai si empunya susah napas dan bicara.

Dua anak adam itu tertawa lepas. Seolah lupa beban masing-masing.

“Udah ah capek.” Malvin menyerah dengan tawanya, dia menimpa tubuh Aksa yang tengkurap seperti paus terdampar, posisi mereka silang tumpuk, persis ikan teri yang dijemur.

“Lo buat hati putri orang patah, ya?” Sekian lama diam, Malvin buka suara. Tangannya merambat pada jemari Aksa yang dingin, diremat-remat dan digenggam gemas.

“Siapa?” tanya Aksa acuh, menikmati genggaman di tangannya sekaligus ngantuk berat.

“Adeknya Januar.”

“Januar siapa?”

“Ya kakak yang suka lo.”

“Elu kagak jelas bodoh,” maki Aksa. Dia berbalik cepat yang mana membuat Malvin terjungkal lalu bersiap memukul kepala Aksa kalau saja pacarnya itu tidak menarik tangannya cepat sampai kepalanya hampir menabrak wajah Aksa.

“Anarkis banget lo bangsat,” umpatnya, menatap sengit Aksa yang malah tersenyum lebar (bodoh banget di dalam pandangan Malvin.)

“Mau cium dong.” Aksa dan negosiasinya.

“Enggak lo jelek.” Malvin dan mulut jahatnya.

“Udahlah putus aja kita,” tanggap Aksa, dia tidak mood lagi untuk melanjutkan sesi pergaulan bebasnya, memilih merebahkan diri tidak peduli Malvin yang di depannya duduk bak anak anjing.

“Anceman lo jelek banget dasar remaja.”

Biar begitu, Malvin tetap meringsut pada tubuh Aksa, memeluknya erat-erat seolah hari esok terasa lebih berat. Berdoa dalam hati kalau waktu berdua tidak akan berakhir patah hati.

“Aksa, lo malem ini kelihatan lebih manis.”

“Berhenti berguru sama Kak Naka, lo cringe abis bos.”

Tawa renyah Malviano menggema di kamar Akasara, dia ditendang brutal oleh Aksa yang—hanya Tuhan yang tahu—sedang merona.

Tapi Malvin mana peduli, dia tarik leher Aksa, mendekapnya seolah sandra lalu memaksa tidur bersama bulan yang sudah menyapa lelah.

Sammy gugup. Keringat dinginnya menetes bahkan ketika di pinggir hamparan kebun yang Sammy sendiri nggak tau ada di tengah penatnya perkotaan.

“Gue mau nyebat, lo ke kiri aja anginnya dari sana.” Sammy bisa apa selain mengiyakan?

Dia pindah, berdiri di sebelah kiri motor tempat di mana Malvin duduk sambil merokok. Pandangan menerawang ke depan, Sammy di awang-awang.

“Suka sama Aksara?”

Terlalu tiba-tiba. Sammy tersedak ludahnya sendiri. Dia tertawa canggung menanggapinya.

Takut.

Sammy sedang takut.

“Gue tanya.”

“ .... iya.”

“Dari kapan? Beda sekolah, kan?”

Apa Sammy harus menjawab? Apa Sammy ingat?

Jawabannya enggak. Sammy nggak ingat dia kenal Aksara di mana, karena apa, dan kenapa. dia cuma tau ketika dia lihat mata jenggala Aksara, Sammy menyukainya.

Benar-benar suka.

“Aksara nggak kaya yang lo pikirin,” sela Malvin lagi. Menghisap batang rokok dan menghisapnya pelan. Sammy terpukul mundur.

“Tau, kok.”

Jeda sesaat.

“Terus kenapa masih suka?”

“Ya suka aja .... “

Malvin nggak menanggapi lebih. Dia menikmati momen di mana paru-parunya diracun nikotin. Diamnya Sammy cukup menghibur.

Dunia suka bercanda, ya?

“Aksa nggak suka perempuan. Yang duduk di motor sebelah lo ini pacarnya.”

Jawaban yang paling Sammy takutkan dilontarkan juga. Hatinya pecah dan berserakan. Sammy sudah kenal dengan resiko dan segala konsekuesi. Tapi kenapa tetap sakit, ya?

“Iya, tau.”

Putung rokok diinjak sepatu. Sammy menunduk, Malvin terbatuk. “Udah tau sakit kenapa masih dilanjut?

Kakak lo psikopat.”

Apa, ya? Sammy juga nggak tau. Dia jelas tahu kalau Aksara menolaknya. Tapi Sammy tetap suka, walau hatinya hancur karena kalah dengan seorang laki-laki, cintanya menang.

Sammy mengalah tapi nggak mau mundur juga. Apa nggak bisa Sammy tetap di sini?

Kagum saja cukup, kok.

“Apa gue harus jadi cowok cakep kaya lo biar Aksa suka gue?”

Malvin nggak menjawab. Cewek di sebelahnya sinting, kalau kata dia. Tapi manusia mana yang waras kalau sedang jatuh cinta?

“Dunia emang banyak mau, tapi lo jangan mau-mau aja disuruh ini itu,” katanya. Terkekeh lalu menepuk-nepuk jaket.

“Lo udah sempurna jadi diri lo sendiri, jangan cuma karena dunia maunya lo jatuh sama Aksa, lo mau-mau aja jadi bego, ya?”

Ya?

Pertanyaan? Pernyataan?

Sammy jelas paham, Malvin memberitahunya untuk berhenti berharap dan membual. Sammy nggak bisa kalau nggak menangis di sini.

“Dunia emang suka bercanda, isinya aja manusia lawak kaya lo sama Aksara,” jawab Sammy. Meredam lukanya dengan tawa hambar yang mana ditangkap Malvin sebagai pengalihan semata.

“Udaha ya? Gak capek lo?”

Iya, Sammy capek. Banget.

Dia lelah dengan perasaannya sendiri.

“Aksara, biar sama gue yang nggak sempurna ini. Lo yang udah sempurna, kasi kita kesempatan hidup, ya?”

Malvin tersenyum getir. Dia membaca semua keadaan dari tempo lalu, lalu dia pikir semua harus dibicarakan.

Tapi Sammy cuma diam menunduk, bagi Malvin cukup. Dia berjongkok guna mengambil sampah putung rokoknya—Aksara yang ajarkan. Harus cinta lingkungan, katanya.

“Gue pesenin grab car aja ya, pulangnya.”

Sammy, gadis patah hati yang diminta berhati-hati oleh si pematah hati.

Malvin baru menginjakkan kakinya di lapangan depan sekolah usai urusannya dengan sammy, baru mau melangkah ke lobby sebelum kerahnya ditarik dari belakang dan wajahnya dihantam kepalan tangan sampai terjerembab.

Dia bisa dengar jeritan orang-orang—pekikkan perempuan dan seruan kaget lainnya. Pandangannya memburam sedetik.

“MASALAH LO APA ANJING?!” serunya marah, bangun dan mendorong kasar Januar—si penyerang.

“MASALAH GUE SAMA LO DAN PACAR HOMO LO ITU!”

Januar berteriak, Malvin membelalak. Pandangan orang-orang seakan memusat dan Malvin pening seketika.

“Banyak bacot!”

Adu pukul itu nggak terelakan karena orang-orang memilih mundur sambil menonton—takut terkena sasaran.

“Lo apain sammy tadi anjing?! Jawab nggak?!”

“LEBAY BANGET ELO SOK TAU!!”

Mungkin tetesan darah sudah berceceran, mereka sampai nggak sadar kalau sosok panglima jalanan membelah kerumunan menuju pusat.

Tangannya menarik lengan Januar kasar sampai pegangannya pada rahang Malvian terlepas, langsung dia layangkan pukulan keras sampai Januar tersungkur.

“Satu, lo buat masalah si sma kita. Dua, lo nggak jelas tolol main pukul. Tiga, siapa lo bisa terus-terusan ngelukain malv hah?” kata Aksa, bertubi-tubi pada Januar yang perlahan bangun, tertawa remeh meludahkan darah.

“Oh pacar sok jagoannya dateng. Kaya cewek aja perlu dibela sama pacarnya. Dasar lemah, abnormal-

—“MULUT LO JAGA BAJINGAN!!”

Nggak. Semua orang nggak pernah melihat Aksa semarah ini, nggak ada yang tahu kalau apa yang mereka dengar barusan itu kebenaran atau bualan.

Mereka kehilangan suara mereka—terlalu terkejut. Cuma memekik ketika bogeman mentah itu sungguhan menjatuhkan Januar tanpa ampun.

Aksara mengerikan. Mereka paham kenapa titel panglima jalanan tersemat di dadanya.

“Aduh, capek gue. Bisa-bisanya adek gue cinta mati sama modelan sampah kaya lo. Panglima jalanan? Cuih.

Hati adek gue patah buat banci kaya lo? Yang homo ini? Ngelawak-

-AGH!!”

Tutup mata. Semua cuma bisa menutup mata sembari memekik. Malvin tiba-tiba saja datang dan menendang Januar sampai tersungkur bak samsak tinju—mirip orang sekarat. Kilatan emosi di mata Malvian nampak macam belati.

Mereka nggak tau harus syok karena perkelahian atau percakapan panas ketiganya.

“BUBAR SEMUA!!!”

Malvin punya beban yang nggak bisa dia bagi pada siapapun—nggak juga pada Aksara yang sudah memikul banyak masalah di pundak lapangnya.

Di gang sempit belakang alun-alun, Malvin bercerita pada asap-asap polusi yang bergumul dari helaan napas nikotinnya. Malvin becerita bagaimana dunia sangat suka memaksa.

Dunia suka menyusahkan manusia, Malvin jadi bingung; harus tinggal di mana dia yang kurang sempurna ini?

“Nggak pulang kamu?” Tapak kaki samar yang mendekat membuat Malvin terdistraksi dari lamunannya, Pak Jo ada di depannya.

Dengan terburu, Malvin menjauhkan rokoknya, hendak menginjaknya kalau saja Pak Jo nggak berbicara.

“Bagi rokok, dong, Malvin? Ada lebih nggak?” katanya sambil melepas sepatu pantofel, menjadikannya alas duduk seola mereka anak senja yang santai.

“Ahaha, bapak bercanda? Tawa renyah Malvin disahuti tautan alis Pak Jo. Dia menggeleng sambil tangan meminta rokok.

“Pake jaket saya aja pak, takut difoto orang. Masa pakai seragam guru ngerokok sama anak sma kaya saya? Aduh, nggak deh,” kata Malvin. Bukan cuma memberi rokok tapi juga jaket yang diterima Pak Jo dengan baik.

Keduanya terlibat dalam keheningan panjang. Malvin bertanya-tanya tentang sikap Pak Jo.

“Ibu kamu bagaimana, nak?”

“Jauh dari bayangan saya, Pak. Bunda cerita banyak sama mendiang ayah saya, kayanya terlalu terpukul sampai-sampai kejadian kemarin kaya angin lalu aja.”

Satu tarikan napas berat,

“Kasihan bunda kamu ya,” jawab Pak Jo. Malvin enggak tersinggung karena dia juga merasa begitu. Matanya melirik Pak Jo yang memandangi langit kelam tanpa arti.

“Kasihan bapak ya punya siswa kaya saya sama Aksara,” katanya. Melankolis dan kelewat dramatis, padahal Pak Jo nggak menyinggung masalah hati.

“Iya, kasihan saya.”

Oh?

“Kasihan saya harus ngeliat anak didik saya kesusahan. Makanya, cepat lulus kalian. Cepat pergi dari sini, jangan harap bisa bahagia sampai mati di sini—

Enggak, nak, kamu nggak punya tempat yang bagus buat dihabiskan bersama sampai tua di sini. Cepat pergi, ya? Cari tempat di luar sana yang menerima kalian dengan lapang dada.

Pinjam korek, rokok saya mati,” kata Pak Jo. Dia berkata seolah sedang melepas anak yang akan menikah, kelewat lugas seolah norma yang berlaku sedang tidak ada. Seolah keduanya teman sebaya yang pulang sekolah main-main saja kerjanya.

Malvin nggak bisa menyangkanya. Guru rewel yang suka menarik mereka ke bk, ada di sampingnya, memberi petuah tabu sambil menyesap barang candu.

“Ngaco ah, bapak,” balasnya. Memberi korek sampai hatinya bimbang. Pak Jo malah tertawa garing.

“Nanti kalau kalian punya anak, mungkin adopsi atau bagaimana, bilang saya. Mau saya ceritakan, senakal apa orang tuanya dulu.

Juga, sehebat apa orang tuanya dulu bertahan di dunia yang banyak drama ini.”

Sore mendung itu dihabiskan Malvin dengan merekam obrolan asing dengan Pak Jo. Seakan dia tengah menyimpan dukungan moral yang barang kali dia gali ketika terkena sial.

Jadi ini yang namanya Tendra. Orangnya kelihatan kecil, tapi nggak sekecil itu. Pahatan wajahnya sempurna, senyumnya juga cuma-cuma.

Kelihatan ramah dan tenang.

“Halo, kak?”

“Oh, halo Malvian! Bisa ngecat putih satu dinding, nggak?”

Malvin langsung mengiyakan. Pikirannya cuma kerja, kerja, dan kerja. Pun Tendra terlihat lumayan asik diajak bercanda, Malvin nggak ada niatan untuk itu.

“Oh iya, Talisa ada nitip sesuatu buat Aksara.”

Sekarang, Malvin tertarik.

“Siapa, kak?”

“Oh, sorry, Talisa. Temen Ochie gebetannya Jeff. Dia suka banget sama Aksa—suka artian gemes mungkin ya? Soalnya dia yang ngebela Aksa di tl yang chaos masalah kemarin.”

Malvin baru ingat Tendra ini anak smk sebelah. Dia jadi tertawa geli pada takdir yang kalau sekalinya main, ya kelewat lucu.

“Lupa gue kalau lo temen kak jeff, temen juga sama si anjing dong ya?”

Tendra tertawa. Tangannya yang lugas mencoret tinta berwarna pada dinding putih polos terlihat sangat anggun. Coretan asal yang jadinya sangat indah, bukan sembarang mural atau sekedar lukisan, Malvin rasa, ada cinta di baliknya.

“Januar? Iya, duh ya anak itu gue juga gak paham deh jalan pikirannya.

Anyways, congrats, ya.”

Dua jam mereka di sini tanpa permisi, tau-tau sudah selesai melukis dinding. Tau-tau mereka sedang mengatur kursi dan meja.

“Buat apa?”

“Ya selamat aja udah menang ngelawan dunia walau masih level satu. Tapi lo tau nggak, sih? Kalian berdua itu keren.”

Senyum Malvin tertarik lebar, hatinya menghangat. Dia nggak menyangka, dukungan malah datang dari orang yang baru dia kenal.

Apa dia bilang.

Dunia suka bercanda. Sok lucu, banyak mau, memaksa, dan bajingan.

“Makasih, gue juga ngerasa keren.”

Lalu Tendra tertawa, bertepuk tangan sambil membereskan sisa pekerjaannya. Pun Malvin yang tengah mengepel lantai dengan santai.

“Sayang banget ya, dunia fana harus kehilangan pejuang sejati kaya lo sama Aksara. Semangat terus, okay? Kalau perlu validasi, gue sama Talisa turun jadi relawan.

Malvian belum pernah tahu kalau dalam kehidupan, sanjungan dan dukungan moral dari orang yang baru dikenal akan berdampak sangat besar.

Harinya ditutup dengan sempurna. Pikiran dan beban soal Bunda, dia kesampingkan karena Tendra terus mengapresiasi eksistensinya.

Kali ini Malvin merasa dicintai sebagai makhluk Tuhan.

“Gue terharu. Selama ini orang-orang bilang gue rusak, bukan anak Tuhan, salah jalan, keliru pergaulan, bahkan ketukar kehidupan. Tapi baru ketemu lo sekali, gue ngerasa gue bener udah dilahirin ke dunia.”

Tendra melebarkan senyumnya, kalimat Malvin yang pelan seperti memeluk keduanya erat. Dia tunjuk mural basah di belakangnya.

“Mural gue didedikasikan buat lo dan Aksara, jangan nyerah, okay? Ayo pulang.”

Malvin pandangi muralnya, Malvin tahan aliran air mata dan patahan hati yang perlahan merekat.

Aksara, kita punya tempat.

“Ayo pulang, gue ngantuk.”

Aksa yang kepalanya sudah penuh kosa kata bahasa jerman, cuma bisa mengiyakan. Dia kemasi sekotak rokok beserta koreknya, kamus tebal dan permen mint lalu segera keluar dari cafe yang sudah tutup.

“Kopinya perlu gue ganti?”

“Ya perlu lah.”

“Lo pelit banget.” Aksa menggerutu di belakang, angin malam nggak mengusik mereka yang berboncengan di bawah rembulan. Keduanya menikmati waktu yang mereka curi dari berpalingnya siang—

Ketika nggak ada satupun orang yang tahu kalau ada tangan saling menggenggam di dalam saku hoodie seorang Malvian.

“Di sini sebentar, bunda bilang beliau mau nonton drama malem,” kata Malvin. Jam sebelas malam, bunda masih mononton drama malam.

Malvin nggak akan pulang ketika bunda terjaga, pulang hanya untuk melihat tatapan penasaran bunda padanya.

“Malvin putra bunda, setiap malam kamu kerja di mana? Kamu enggak capek, kan? Biar bunda yang cari uang, Malvin cukup jadi anak berbakti.”

Nggak. Malvin tau dia nggak akan bisa jadi definisi anak berbakti, karenanya di sini dia sekarang.

“Lo nggak takut dibegal apa?”

“Buat apa? Otak begalnya ada sama gue ini,” jawab Malvin. Seharian nggak merokok, dia hidupkan pemantik. Bersandar pada pembatas jembatan yang gelap dan sepi. Keduanya berbagi emosi di atas sungai yang tenang.

“Kurang ajar.”

Hening, sunyi, tenang. Motor beat hijau punya Aksa distandar di pinggir, dua anak adam itu saling bersandar di dinginnya besi pembatas.

Sekedar melepas penat dan mengadu pada angin malam yang samar-samar memupuk suka mereka.

“Sar,” panggil Malvin. Aksa menyahut samar.

“Mau ambil jurusan apa?”

Aksa belum menjawab, menerawang awan yang tampak kabur karena malam. Matanya berbinar samar, dia bayangkan masa depan cerah ketika Malvin berdiri di sebelahnya.

“Mau jadi guru tk. Mau punya daycare, gue peduli lingkungan.

Oh, kita ke jerman, kan?” Aksa pindah, memeluk Malvin dari samping, lengannya hangat melingkupi pinggang rapuh yang bertumpu pada jembatan usang.

“Ya, semoga.”

Lalu pipi dingin yang berisi itu ditempel Aksa pada pipi tirus Malvin, menempelnya dengan penuh rasa sambil memandang jauh ke depan sana.

Jauh ke depan—di mana semuanya mereka harap baik-baik saja.

“Malvin, di sini enggak ada yang liat—

gue sayang banget sama lo, sumpah demi Tuhan.”

Kecupan basah yang Malvin lupa rasa manisnya, meninggalkan jejak pada kulit dingin Malvin. Terlalu dingin tapi Malvin kelewat menyukaimya.

Jeda panjang yang dia isi dengan debaran jantung dan dentuman adrenalin, kini terisi kekehan geli yang menjengkelkan.

“Geli, ah,” katanya. Mengusap jejak ciuman ringan Aksa di pipinya, memutar arah kepala lalu mata kucing Aksa jadi pemandangannya. “Demi Tuhan, aksa, cinta gue enggak pernah hilang.”

katanya. Tangan menarik leher Aksa, membenamkan kepala yang penuh berisi beban pikiran dalam dadanya yang bergemuruh, memeluknya erat sekali lagi, cuma mau bilang kalau mereka akan baik-baik saja.

Buat malam, tolong jangan bilang-bilang pada semesta, kalau dua insan yang kalian larang bertukar rasa, sedang beradu peluk di bawah kuasa awan dan bulannya.

“Malv di mana?”

“Kerja bentar, ada yang minta dieditin ppt nih.”

“Joki tugas, lo?”

“Biar kaya.”

Aksa mendengus geli. Jam menunjukkan pukul empat sore dan kediaman Malvin masih sepi. Aksa duduk di sebelah pagar rumah Malvin, nggak tahu buat apa.

Mungkin menunggu pacarnya?

Teh pocinya tinggal setengah, plastik kacang berserakan dan putung rokok berhamburan. Nanti, kalau Malvin pulang, dia akan bersihkan.

Selagi bunda belum pulang, Aksa bisa bebas ada di sini, kan?

____________________

“Malvin, ciuman itu rasanya gimana, ya?” Malvin sibuk mengedit power point. Dia nggak berbohong pada pacarnya, dia memang sedang bekerja.

“Ya gitu. Jawaban apa yang lo harapin dari gue? Yang pacaran sama Aksa? Kita sama sama cowok, Res.”

Iya, Resha. Fahresha teman dekat Aksa. Hubungan mereka semua rumit, Malvin tau.

Dia nggak mau memasukkan diri ke lingkar pertemanan Aksa. Malas, ah. Cukup sekedar tau saja.

“Gue pernah kok ciuman sama cowok.”

Yang ini berhasil buat Malvin tercekat. Nyaris meleset menekan tombol delete.

“Ya?”

“Sama Nathan.”

Malvin butuh seenggaknya setengah menit untuk tahu siapa itu Nathan—Benjamin Nathaniel. Seingat Malvin, dia juga teman dekat Aksa.

Tapi ada yang janggal.

“Kalau gitu, kenapa nanya gue?”

“Karena gue gak tau rasanya ciuman sama orang yang disayang.”

Ah, zona merah. Malvin nggak mau ikutan, biar Resha urus masalah cintanya, biar Malvin fokus pada Aksa.

“Jangan tanya gue, ya? Gue nggak mau terlibat”

“Haha, ya, oke. Udah sampai mana?”

Malvin diam-diam berpikir, apa Aksa menyayanginya seperti yang dia lakukan? Hubungan ini rumit, tapi dia tidak merasa sulit. Dia suka semuanya.

“Habis ini lo mau kemana?” tanya Resha. Pertanyaan pertama setelah keheningan lama. Malvin yang bersiap pulang diam sebentar—mengusap layar ponsel lalu melihat jam.

Pukul lima lewat empat puluh lima sore.

“Ya?”

“Temenin gue, ya?”

Lewat mata di balik lensa kaca itu, Malvin tahu kalau Resha sedang mencoba peruntungan. Sebagai lelaki yang tahu diri, biar dia luruskan;

“Iya, mau ngomong apa, sih?”

____________________

“Malvin, udah sampai mana?”

Pertanyaan Aksa dijawab seruan tunggu dari Malvin, suara gemuruh manusia terdengar ramai dan Aksa memilih memutus sambungan. Ini pukul tujuh malam dan rokok Aksa tinggal sebatang.

Celana abu-abunya berdebu, serbuk tanah menempel dan kakinya kebas berjongkok sembari meminum teh poci yang isinya tinggal lelehan tawar es batu.

Di saat sepi begini, yang Aksa pikirkan cuma rasa cintanya buat Malvin. Sebagai sesama lelaki, mudah baginya untuk tahu apa apa saja yang memancing pertengkaran antara keduanya—

Mereka nggak pernah saling merajuk. Apa sih, cringe.

Mereka saling tonjok. Aksa nggak pernah sudi martabat lelakinya diturunkan dan Malvin akan tegas bilang dia masih laki-laki terhormat keluarganya.

Nggak ada yang berbeda.

Ting!

Notifikasi dari twitter. Aksa nggak ingat kapan dia mengikuti base sekolah, tapi satu cuitan karena namanya dibawa Brian, cukup membuatnya terusik.

____________________

“Fahresha, berhenti, ya?” Malvin bilang begitu pada Fahresha yang sendu seperti belenggu kelam langit biru. Ekspresinya surut seperti air laut.

Mata di balik lensanya redup seperti orang gugup.

“Fahresha—“

“Gue cuma penasaran kenapa Aksa bisa beruntung dapetin lo, ngelawan dunia dengan pede dan aksinya keliatan keren. Gue cuma penasaran kenapa gue gak bisa ngerasain itu, Malvin.”

“Kenapa nggak coba sama Nathan-

“Enggak bakal.”

-masalahnya sama lo, berarti. Apa lo mikir gimana kalau Aksa tau ini?” Malvin lepas tarikan Resha pada kerahnya. Mereka nyaris berciuman di gelapnya lampu jalanan, sepi dan Malvin paham kalau Resha sedang tenggelam dalam masalah dirinya sendiri.

BUGH!

Iya, Malvin limbung dan lampu jalanan meredup.

“Wah brengsek ini main sama temen deket pacarnya? Dan apa ini Fahresha? Baru seminggu gue tau lo suka gue dan di sini, gue berusaha menangin hati gue atas ego susah payah dan ... lo? Sama Malvin?”

“Aduh, sakit, bos. Gue mager kelahi di sini jadi mending bawa pulang Resha biar beban pikirannya berkurang, deh, dia ngedown gara-gara lo, kali, ah,” kata Malvin. Bangkit berdiri dan menepuk pahanya cuma-cuma. Meludah saliva dan pergi begitu saja.

“Fahresha,”

“Iya gitu.”

“Gue gak habis pikir sama lo.” Dean menggeleng lemah, tangannya mendorong Fahresha sampai mundur dua langkah.

Resha dan pikiran abstraknya, nggak tahu kalau yang dia lakukan berujung panjang. Resha cuma mau tahu keberuntungan apa yang Malvin dan Aksa punya, sedangkan dia enggak.

Cuma mau tahu, Malvian sosok seperti apa dan apa dia bisa menyentuh kebahagiaan yang Aksa punya, tapi rasa-rasanya, langkahnya kelewat salah.

Aksa mungkin marah, tapi Dean makin jauh.

Resha cuma mau tahu tanggapan Dean di belakang mereka tadi, tapi ternyata lebih suram dari kelam.

____________________

“Dari mana aja, bro?” sapa Aksa lugas. Dia cuci tangannya sehabis makan ayam geprek hasil orderan gojek, dilap dengan tisu lalu kembali menyesap rokok terakhirnya.

Malvin pulang dengan helaan napas berat.

“Kerja.”

“Ya ya ya, siapa yang mukul lo?”

“Dean.”

Aksa menghembuskan asap tepat di depan wajah Malvin usai melihat ruam memar di pipinya. Pacarnya fokus pada serakan sampah hasil karyanya.

Berapa lama Aksa menunggunya pulang?

“Berapa lama nunggu gue, Sar?” Malvin ikut berjongkok di tempat tadi, Aksa menyusulnya tapi berdiri.

“Lo pikir aja gue pulang sekolah jam berapa.”

“Wah anjing lama.”

Kaki jenjang Aksa dipeluk erat, Malvin lelah dengan kehidupannya yang barusan, dia limpahkan pada Aksa yang diam-diam menahan emosi dengan sesapan batang rokok terakhir.

Telapak tangan Aksa mampir ke surai gelap Malvin. Mengusapnya sayang, tapi matanya memancarkan rasa kecewa.

“Resha lo apain?”

“Engga diapa-apain. Dia mau cium gue, Resha kenapa?” tanya Malvin balik. Dia mendongak menatap wajah Aksa yang menghalangi rembulan. Mata teduh itu masih sama dengan mata elang yang mengintai di jalanan.

Panglima jalanan ini banyak pengalaman.

“Dia nggak kenapa-kenapa. Masalahnya rumit karena dunia emang brengsek.

Malv,” panggilnya. Putung rokok dibuang jatuh, diinjak lalu Aksa membungkuk, menunduk sampai wajahnya sampai di depan Malvian.

“Sebenernya gue marah, gue nggak suka nunggu lo pulang sambil overthinking lo kenapa di jalan.

Gue gak suka kalau faktanya lo lagi jalan sama Fahresha, Malv.”

Malvin mengangguk, dia tahu kesalahannya dan tangannya tanpa permisi mampir pada pipi Aksa yang lumayan berisi.

Mata bertemu mata dan Malvin curiga pada tulang punggung pacarnya.

“Tapi Malv, gue lebih marah ketika orang-orang mulai ngehina lo. Gue laki-laki, lo juga. Nggak ada yang namanya peran cewek cowok.

Gue lebih marah sama lo yang cuma diem.”

Malvin tertawa. Dia dorong wajah Aksa jauh lalu dia berdiri. Meregangkan pinggangnya lalu membuka pagar.

“Ah, elah, kirain lo mau cemburu.”

BUAGH!

“ANJING?????? Biar apa????”

Pipinya berdenyut sakit, bogeman Aksa nggak main-main dan dia sempoyongan.

“Suruh siapa selingkuh sama Resha. Udah buru mana sapu sama serok gue mau bersihin sampah,” jawab Aksa jengkel. Enak saja mesra-mesraan dengan temannya sedang dia dikerubungi nyamuk di sini.

“Mata lo selingkuh. Tuh, yang bersih! Gue mau tidur, cepet pergi lo anjing.”

“Ya.”

Malvin buru-buru memeriksa ponselnya. Barang kali dia melewatkan sesuatu yang membuat Aksa marah.

Ketika Malvin dapatkan jawabannya, dia menyesal meninggalkan Aksa menyapu depan pagar lalu pulang begitu saja.

“Aksa, gue harus apa sama keadaan kita?”

Aksa nggak dengar, dia sibuk menangis dengan angin malam karena dibuat hancur oleh dunia dan pendapat penghuninya.

Mananya yang sempurna, Sar?

Sebelah mana yang sempurna? Aksa cuma dapati dunia fananya bersisi Malvian dan perjuangan—tapi, iya. Lumayan.

Tetap terasa sempurna walau memaksa. Jangan hina Aksa yang menangis dalam sapuan angin malam, dia juga punya hati walau dia pegang gelar Panglima Jalanan.

Resha nggak berani melangkah maju. Dia cuma pandangi meja outdoor tempat Aksa memandang lalu lalang.

“Sa,” panggilnya penuh paksa. Aksa mengangguk walau nggak menoleh. “Apa kabar?” katanya pelan. Satu sesapan kopi dingin tanpa rasa ingin menatap Resha.

“Lumayan.”

“Fahresha,” panggil Aksa. Mata jenggala itu mau berbagi pandang setelah menit terlewat, Resha surut dalam takutnya.

“Iya, Aksara. Gue minta maaf.” Maaf, Resha akhirnya bisa bilang maaf setelah semalaman terjaga. Bertanya pada angin malam atau bintang-bintang haruskah dia terima kenyataan atau satu pukulan Aksa tanpa beban?

“Fahresha, kenapa lo gini?”

Kalau ditanya kenapa, Resha mau jawab apa? Pikirannya buram, dia nggak bisa berpikir apapun selain rasa dicurangi dunia waktu itu.

“Gue marah. Dean nolak gue pakai alasan dia nggak kaya lo. Gue marah, memang lo kenapa?

Tapi begitu gue inget, Dean masih temenan sama lo sedekat itu, gue marah sama keadaan.

Apa yang lo punya, sedangkan gue nggak diizinkan ada?”

Aksa pahami tiap bait kalimat Resha, dia posisikan diri di sini walau hatinya lebih sakit dari patah manapun.

“Gue cepet sadar, kok, Sa. Gue paham perjuangan lo jadi gue maunya pulang. Tapi gue liat Dean di sana. Gue pikir, Dean harus paham kalau gue yang menyimpang, nggak akan ngemis cintanya.

Gue bisa cari yang lain.” Mata Fahresha buram karena air mata. “Dan kebetulan Malvin di sana sebagai orang lain.”

Buat tiap kata yang Resha keluarkan, dia siap untuk satu pukulan. Pantas, Resha pantas menerimanya. Dia egois dan Aksa harusnya enggak pasang tampang santai begitu.

“Salah pengertian, Resha.” Aksa jawab pertanyaan Resha, “nantang dunia nggak sekeren itu, ini bodoh—tapi namanya orang jatuh cinta, hati siapa sih, yang nggak luluh?” Aksa patahkan opini Resha.

Resha iyakan, dia dengarkan. Tapi matanya ada pada manekin-manekin gaun indah yang terpajang di etalase.

“Dean cuma belum terima, bukan nggak mau terima. Dean itu temen kita, gue paham luar dalemnya jadi jangan mikir pendek.

Resha, rumitnya lo, Dean, sama Nathan, tolong jangan persulit gue, ya?”

Baju-baju cantik di manekin tetap jadi pusat perhatian Resha, omongan Aksa dia masukkan ke hati dan dia simpan rapat-rapat.

Aksa ada benarnya.

“Aksa cuma belum suka gue, ya, Sa?”

“Iya.”

“Aksa, lo marah?”

“Banget, Fahresha. Gue maunya lo dicaci maki karena enggak punya hati. Maunya gue pukulin sampai nggak bangun lagi. Tapi warasnya gue, menang dari sakit hati,” kata Aksa. Kopinya habis di gelas, jaketnya dirapatkan karena tiba-tiba dia menggigil karena patah hati.

Resha masih pandangi manekin di depan.

“Sa,”

“Apa lagi?”

“Roknya cantik. Apa kalau gue pakai itu, Dean mau liat gue sebagai sosok cinta?”

Ketika meja berbalik dan kursi terlempar, orang-orang mendadak panik. Aksa bangun dan melempar satu kepalan tangannya cuma-cuma—telak merobek sudut bibir Resha yang nggak berekspresi apapun.

“Mikir yang waras anjing! Cukup gue aja yang hancur lebur. Lo jangan.

Lo nggak sekuat gue, gue tau.”

Orang-orang maunya telepon yang berwajib atau minta pertanggungjawaban dari Aksa, tapi Resha bilang enggak apa-apa.

Resha tahan semua umpatan kasar orang-orang, membiarkan Aksa yang matanya dikabuti duka dan luka.

Aksa pergi begitu saja, meninggalkan keputusasaan dan rasa bersalah yang makin dalam.

Tapi pertemanan mereka nggak dibangun dalam semalam, semuanya baik-baik saja. Sebenarnya.