viewTouching Your Dream (in the dark sky)
Tw // plane crash, harsh word, mentioning selfharm, bxb, long ass ride fiction, bear with it! <3
—————
Hatimu bagai langit hitam yang kelam.
Aku sering dengar itu dari orang-orang. Jangan khawatir, aku nggak sakit hati. Karena persis seperti yang mereka bilang, hatiku seperti langit hitam yang kelam. Hatiku mati.
Aku cuma berpikir, apa gunanya hatiku berwarna-warni kalau kakiku nggak berfungsi? Berpikir bisa berlari-lari menjiwai karakterku dalam drama kehidupan ini, duh, konyol. Aku nggak mau jadi bahan tertawaan ketika aku jatuh mencium hijaunya rumput karena kakiku seperti jeli kenyal tanpa tulang—iya, sebelum aku ingat, nggak ada jeli yang bertulang. Mereka makanan, oke, aku paham. Nggam usah berikan tatapan itu.
Hatiku nggak membantuku apa-apa kecuali menjadi salah satu alasan aku tetap hidup, jika hati dalam konteks organ tubuh yang kalian maksud. Jika dalam konteks drama, hatiku nggak ada gunanya.
Nggak usah merasa senang dengan hati, kalau suaraku saja sudah bisa menggemakan tawa. Nggak usah merasa marah dengan hati, kalau mulutku saja sudah bisa mengumpat dengan indah dan lancar. Nggak usah merasa sedih dengan hati, kalau air mataku saja sudah bisa mengalir sendu dan menipu.
Aku nggak perlu omong kosong semacam hati itu muara cinta. Aku nggak punya cinta, karena aku nggak punya hati, karena mimpiku sudah mati.
Persepsiku.
.
.
.
Dulu orang-orang selalu bertanya, apa aku punya mimpi? Aku selalu mengumpat dalam hati ngomong-ngomong, jika kalian penasaran dengan jawabanku tentu saja.
Pikirlah dengan otak, bung! Jangan termakan teori hati. Kamu pikir Si Lumpuh Tampan sepertiku bisa jadi model? Kamu pikir Si Lumpuh Pendek ini bisa jadi point guard? Kamu pikir ... kamu pikir ... aku bisa punya mimpi?
“Masih mau berlari?”
“Kulempar kamu kalau bertanya sekali lagi.”
“Seenggaknya, Mark, kamu harus bisa berdiri dari kursi roda itu kalau mau melemparku.” Dia orang idiot yang mau maunya menemani si pecundang macam Mark Lee ini selama lima belas tahun lamanya. Dia orang idiot yang mau maunya terbang ke belahan dunia lain demi kabar dokter berkualitas mahal.
Perkenalkan, dia Lucas Wong. Biasa dipanggil Lucas, dan aku sangat biasa memanggilnya si idiot brengsek berotak cumi cumi.
“Coba kamu pikir? Ada manusia nggak berkaki yang berlari-lari di lapangan hijau menggiring bola? Lucu? Iya. Miris? Jangan ditanya. Kurang ajar? Oh, sudah jelas.” Aku tentu bisa melihat guratan jenaka di wajah yang katanya tampan itu ketika mendengar ocehanku yang sangat sinis.
Dia tertawa, tapi bukan bahagia. Sudah kubilang, jangan pakai hati dalam setiap emosi. Nggak selamanya hati berfungsi untuk hal lain selain menyokong hidupmu.
“Tapi kamu punya kaki?”
“Yang nggak berfungsi. Garis bawahi itu, jangan sampai kamu lupa.”
“Makanya, ayo perbaiki .... ” Suaranya sudah mulai mengecil, lihat? Siapa yang bermimpi di sini.
Aku sudah mengubur jauh-jauh keinginanku untuk menggiring bola ke gawang lawan di tengah stadion megah, sampai aku lupa di mana tempatku mengubur mimpi itu. Aku dulu hanya bisa kagum melihat idolaku berlari ringan dengan lambaian tangan dan melempar ciuman cuma-cuma lewat angin.
Aku tahu, kok, aku nggak sempurna, terlepas dari ungkapan nggak ada manusia yang sempurna. Aku punya dua kaki lengkap yang untungnya memiliki visual bagus, jadi aku masih percaya diri menampilkannya buka-bukaan. Aku punya satu hati yang berfungsi sangat baik dan untungnya terbebas dari penyakit, setidaknya terakhir kali aku periksa hasilnya begitu.
Tapi aku nggak punya kaki yang bisa berdiri, aku nggak punya kaki yang bisa berlari. Aku cuma punya kaki yang setia saling sejajar berdampingan selama dua puluh tiga tahun aku hidup. Dan aku nggak punya hati yang dapat merasakan cinta, dapat memendam duka, dapat menjadi wadah ekspresi diri yang apa adanya.
Mimpiku hilang ditelan kenyataan, dan aku nggak sedikitpun berniat memburu takdir sebagai buronan. Aku nggak perlu cinta, itu omong kosong. Cinta yang datang padaku selalu pergi ketika melihat kakiku. Sungguh, kalau bisa silakan nikahi wajahku dan tinggalkan kakiku. Aku benci deskriminasi, tahu.
Tapi dia—Lucas seolah nggak pernah lelah berusaha. Dia menggali kuburan mimpi yang aku sendiri lupa di mana letaknya. Dia mencari jalannya sendiri, dia menggalinya sendiri, dan dia mencoba menghidupkannya sendiri.
“Lucas, sesuatu yang mati itu nggak bisa hidup kembali. Jangan bodoh.” Aku coba mengingatkannya akan fakta yang satu itu. Sekalipun Lucas mencoba tuli dengan memainkan rubik di dalam kursinya diam, aku tahu dia mendengarkan. Lihat saja mulutnya yang diam-diam menyumpahiku dengan nama-nama penuh sensor.
“Aku cuma mencoba mendapatkan kembali bonus dari Tuhan.”
“Aku lahir tanpa ayah, itu hadiah. Aku ternyata lumpuh total dari lahir, itu surprise. Aku punya mimpi lalu tertawa seperti orang gila karena mimpiku seperti bunuh diri, itu grand prize. Dan kamu apa? Mencoba mengambil bonus?” balasku mulai jengah.
Nah! Lihat? Dia cuma mengangkat bahu cuek. Sudah kubilang dia itu idiot, aku bgtak menerima bentuk protes macam apa pun yang menyangkut di mana aku menyembunyikan otaknya. Karena sungguh, di neraka sana pasti dia sedang dapat hukuman tambahan saat pembagian otak.
Dia masih bermain rubik, mencuri pandang pada pramugara di ujung sana, yang jelas sekali menatapiku dengan binar-binar lampu bohlam kelebihan watt. Mari ambil positifnya, pramugara itu nggak pernah melihat kursi roda yang tampak mahal begini. Terima kasih Lucas, kamu sudah kaya sekarang.
Oh, tunggu dulu. Bukannya kursi rodaku disimpan rapi? Lalu apa yang pramugara itu lihat? Wajah tampanku? Oke, deal.
“Aku menghidupkan mimpimu, kamu menemukan cintamu, dan aku hidup bahagia. Itu bonusnya. Jangan ganggu aku yang mencoba peruntungan bermain lotre, deh!”
“Oke! Terserah kamu saja. Aku tetap pada tempatku, dan kamu tetap pada lotremu. Terserah, Lucas, terserah.” Terlanjur lelah menanggapinya, aku memilih menyerah. Padahal ungkapannya tadi total drama, aku mual.
Ini bukan kali pertama aku ada di pesawat untuk meledeki tanah yang terlihat seperti kotoran semut dari atas sini—apa kalian pernah melihat rupa kotoran semut? Kalau aku sih, enggak. Maka jadikan saja itu sebagai gambaran, nggak apa, ini masih legal.—Lucas sering sekali mengajak aku untuk berobat, dia ingin aku berlari. Dia ingin aku berdiri. Ia ingin aku mengenakan seragam kesebelasan dengan nomor punggung delapan.
Saat aku sendiri sudah menyerah dengan mimpiku, kenapa masih ada orang lain yang mau peduli dan memperjuangkannya? Memang sepenting apa mimpi itu? Mimpi hanya wadah sok suci dari gambaran masa depan yang samar. Suram enggam, cerah juga enggah. Maka selagi belum terjadi, berfantasilah sesuka hati.
Aku sudah cukup muak juga, berlagak bak orang paling tersakiti di dunia ini. Aku jijik dengan diri sendiri yang terus-terusan menangisi mimpi dan kaki. Hei! Aku harus berpikir dua kali untuk membuat air mataku kering hanya karena dua onggok kata itu! Kalau aku nggak punya mata, aku rasa aku akan sudi menangis. Aku jadi nggak bisa melihat wajah sok simpati Lucas. Aku nggak bisa melihat wajahnya yang sedang melawak garing.
Aku nggak bisa melihat di cermin betapa menyedihkannya aku selama ini. Dan, betapa tampannya aku ini, oh astaga, satu-satunya motivasi hidup yang kupunya.
Tapi semua ungkapan itu benar; hatimu akan sakit. Rasanya sesak dan duniamu meledak. Aku nggak menghindar, aku sudah pernah sakit hati, tepat saat aku mengerti kenapa hari-hariku hanya diisi dengan roda di bawah kursi. Aku nggak mau lagi, itu sakit. Perihnya sampai saat ini.
Aku hanya belajar melupakan. Memakan kenyataan itu akan ada manisnya di akhir, ketimbang menelan bulat-bulat kebohongan, manis di awal, sepat di akhir. Sama seperti masakan Lufas yang rasanya labil.
Jadi aku hanya mencoba lupa bahwa aku pernah punya mimpi.
“Dia terus meliat ke arahmu, Mark!”
“Tunggu saja sampai dia ditegur. Lihat saja, nanti juga kamu terhibur.”
“Kurang ajar,” desisnya, “tapi dia jatuh hati!”
“Coba kau lihat, apa ada hati di bawahnya? Kalau enggak, hatinya masih pada tempatnya. Nggak jatuh apalagi lecet.” Lucas menarik kepalaku jengkel, apa? Aku benar, 'kan? Anggaplah leluconku murahan, sebatas uang receh, anggap lawakanku nggak berkelas, aku nggak mau peduli.
Kali ini dia merenggut sembari memanggil seorang pramugara, yang jelas-jelas menyalahi aturan karena nggak fokus.
“Bisakah temanku ini mendapatkan sesuatu?” Aku yakin sekali pramugara itu nyaris menjerit melihat Lucas yang menunjukku.
“Ah, tentu saja, Sir. Apakah ada yang anda inginkan?”
“Beri dia hatimu.” Lucas mulai flirting, itu mengaduk-aduk isi perutku. Sial, aku mau muntah. Bisa-bisanya kamu memasang wajah memohon seperti itu?! Dan kenapa pula pramugara itu tersenyum malu sok peduli?
Sekarang kenapa kamu malah mengedipkan sebelah matamu, wahai Tuan Wong? Hentikan itu dan jangan tunjukkan senyum sok menggoda! Mati saja kamu!
“Aku nggak tertarik mencarikan hatiku partner. Lucas, urusi saja rubikmu dan jangan goda pramugara di sini. Aku malu.”
“Aish, hati hitammu itu perlu cat pewarna tahu! Biarkan dia tersentuh sedikit!” Apa ini? Dia mengajakku bertengkar di atas langit? Di dalam pesawat yang sedang terbang melayang di atas sini? Maumu itu? Ayo, sini!
“Nggak ada yang bisa menyentuh hatiku. Enggak kamu, mimpiku, kakiku, atau bahkan pramugara ini. Terima kasih.” Aku masih saja bersikeras, nggak peduli lagi tatapan orang-orang yang memandang kami aneh dengan kilatan terganggu.
Apa? Aku salah lagi?
“Langit saja dapat kusentuh, apalagi hatimu?” Sampai pramugara itu buka suara. Dan pertahanku langsung rubuh diporak-porandakan senyum polosnya.
Sekarang aku ada di sini, tempat paling kurang ajar yang nggak pernah mau kukunjungi. Stadion sepak bola, dimana sebuah liga sedang berlangsung dan sialnya itu adalah dua tim yang sepertinya dulu sangat aku gilai.
Lucas sialan.
“Jangan begitu, kamu masih punya mimpimu.”
“Demi Tuhan, Lucas! Aku benci kamu ungkit-ungkit lagi tentang hal itu!” Aku kesal, benar-benar kesal. Atau aku hanya takut mimpiku bangun, aku hanya belum siap sakit hati lagi karena menyadari semua mimpiku akan sia-sia karena aku nggak punya kaki.
Oke, aku punya kaki. Tapi nggak berfungsi, dan jangan kasihani aku. Aku benci dikatakan cacat, katakan saja kakiku rusak.
Apa? Aku melawan takdir? Hei, bung? Pernahkan kamu berpikir apa yang kami—para penyandang gelar disabilitas—pikirkan? Pernahkah kalian bayangkan sebentar saja rasanya menjadi kami? Dilabeli cacat dan tak bisa ini dan itu? Jangan melabeli kami, jangan sok tau, jangan simpati, karena nggak selamanya manusia perlu simpati. Aku nggak masalah dengan empati, ngomong-ngomong.
Maka berhentilah, sebelum kamu melangkahi batasmu. Jangan bermain api, aish, apa, sih yang aku bicarakan? Kenapa malah melantur begini?
Tapi serius, jangan memandang orang sepertiku itu lemah, mereka juga punya mimpi. Iya, munafik, itu sepenggal quote dariku yang menyerah dengan mimpinya sendiri. Persetan, yang penting aku terlihat bijak.
“Pokoknya, Lucas. Aku benar-benar salut atas hidupmu yang gemar sekali menghamburkan uang demi terbang di langit dan berjumpa banyak rumah sakit untuk kakiku yang sakit. Aku benar-benar berterima kasih untuk semuanya,” kataku pelan dan serak, “tapi hentikan. Kamu tahu ini sia sia dan akupun tahu semuanya tidak berguna. Jadi, ayo pulang.” Lucas masih saja memandang lapangan lurus tanpa ekspresi berarti bahkan setelah aku menjabarkan isi hatiku.
Teman kurang ajar.
“Aku melihat sesuatu,” katanya.
“Apa?”
“Mimpimu, lihat! Bolanya bergulir!”
“LUCAS!” Cukup. Aku muak. Persetan ini di mana, ayo adu argumen denganku kalau kamu benar-benar memaksa.
Kulihat wajahnya pias dan matanya berair. Demi Tuhan, aku belum pernah menangisi Lucas dan lihat berapa liter air matanya yang keluar hanya untuk Si Pecundang macam aku?
Aku merasa jahat, sial.
“Berhenti berpura-pura, Lee! Kamu bilang kamu nggak punya mimpi tapi lihat betapa angkuhnya kamu? Aku cuma mau kamu membuka matamu! Kalau kamu mati nanti siapa yang kuajak pergi naik pesawat lagi?!” teriaknya penuh emosi. Aku ... aku, tunggu, kita jadi tontonan di sini!
“Ah, maaf! Permisi, maaf, tolong beri aku jalan!” Aku nyaris meledak kalau saja suara familiar itu tidak tertangkap gendang telingaku.
Itu si pramugara. DAN APA APAAN INI? KENAPA DIA DI SINI?!
“Maafkan teman-temanku, aku sungguh minta maaf!” katanya sambil membungkuk 90°, lalu menyeret Lucas dan mendorong kursi rodaku dengan beringas.
Tuan, anda siapa dan kenapa anda suka sekali cari masalah?
Akhirnya, kami berakhir di sini. Di antara batu batu persegi, kurasa aku bisa menganggapnya patung hiasan. Dan, ah, ya, kami duduk di tengah taman yang lumayan sepi. Setahuku jam segini itu jamnya anak sekolahan mengikuti kelas tambahan di Korea Selatan. Kami memang sedang di Korea Selatan, ngomong-ngomong.
Semua berawal dari Lucas yang mendapat brosur pengobatan tersohor rumah sakit entah apa namanya, yang jelas aku didorong kemari. Dan sialnya si pramugara itu berlibur ke Korea Selatan setelah bekerja di pesawat yang aku dan Lucas tumpangi untuk terakhir kali sebelum liburannya. Aku benar-benar mengumpat dan menganggapnya penguntit saat bercerita tadi.
“Aku tahu aku ini orang asing, tapi sebaiknya selesaikan masalah kalian baik-baik,” katanya sok menengahi. Cuih. Memang dia tahu apa yang kami peributkan?
Aku heran, memang wajahnya nggak kaku terus tersenyum begitu?
Tapi Lucas memberi respon berbeda, dia menatap tajam aku yang sekarang malah takut dan menatapi kakiku seolah sekarang itu sangat kukagumi. Padahal aku benci. Dobel sial.
“Berhenti berpura-pura mati rasa!” serunya.
“Ha?”
“Kamu pikir nggak tau? Berapa banyak obat anti depresan yang kamu punya? Berapa kali kamu mencoba bunuh diri?”
“Kamu bercanda?” tanyaku berbalik, menunjukkan wajah kebingungan yang kuyakini memuakkan di matanya. Pramugara itu cuma duduk diam memperhatikan kami, nggak ambil tindakan karena mungkin tau diri.
“JAWAB AKU!” Akhirnya dia membentak, yang entah bagaimana cara kerjanya mampu membuatku gemetar. Lucas nggak pernah marah, nggak pernah padaku. Dia konyol, brengsek, kurang ajar, sialan, idiot, temanku.
Sahabatku.
Teman hidupku.
Aku tanpa Lucas adalah mayat membusuk.
Iya, aku bodoh.
“Berapa kali Mark? Pagi kemarin, sebelum kita ke bandara, aku mendapatkan 3 silet. Kamu mau apa?” Aku nggak sanggup lagi berkata-kata, pramugara itu bahkan menatapku dengan pandangan penuh cinta. Aku nggak mengerti, semuanya serasa mencekikku.
“Kamu tahu aku lelah,” bisikku lirih. Bola mataku bergerak gelisah demi menjaganya tetap kering tanpa banjir. Aku nggak mau lemah di hadapan orang lain, di hadapan Lucas, di hadapan pramugara yang katanya sedang jatuh hati padaku.
Apa aktingku bagus? Siapa tadi yang bilang bahwa dirinya jijik merasa paling tersakiti? Nyatanya aku menyakiti diri sendiri. Munafik? Sok tegar? Apa? Itu aku, Mark Lee.
“Kamu tahu kamu punya aku, Lucas. Berhenti berlagak kamu nggak peduli! Kamu mau mati, ya, sana mati! Berarti kamu nggak pernah menganggapku penting, sialan!”
“BUKAN BEGITU!” Aku berteriak, aku tahu pramugara itu bahkan terkesiap nyaris terjungkal. Tapi sungguh, maksudku bukan begitu.
“Apa salahnya bermimpi? Kamu punya hakmu, Lucas,” katanya dengan wajah sedih, yang sialnya menambah nyeri di hatiku. Semuanya terbongkar, aku yang sok dan seolah nggak peduli lagi dengan mimpi, hanya melarikan diri dan depresi sendiri. Aku menjauh dan lari, padahal aku nggak punya kaki. Bodoh sekali.
“Salah, salah total, karena semuanya mustahil.”
“Kamu salah, Tuan Mark, kamu salah.” Pramugari itu akhirnya bicara, menatap lurus aku yang pura-pura nggak melihatnya, padahal jelas-jelas aku teriris dengan tatapan hangatnya. Melihatku yang pura-pura memikirkan alasan kenapa dia memanggilku Tuan Mark padahal ini bukan di pesawat—retorik, aku tahu.
Tapi kamu tahu apa? Kamu siapa? Cuma pramugara yang sedang jatuh hati. Percuma.
“Siapa bilang semua mimpimu percuma karena keterbatasan? Aku, Donghyuck, Si Tunanetra yang bermimpi menyentuh langit dan terbang di udara, sekarang hidupnya ada dalam pesawat.” Pelan-pelan tapi tegas, kata-katanya menyusup dan menyelinap masuk ke hatiku. Aku nggak mau tahu, nggak, aku ini pecundang.
Lucas memalingkan wajahnya, air matanya sudah hampir mengering dan wajahnya merah kacau. Semua karena aku. Aku ingin mengumpat, tapi hatiku rasanya kacau sekali. Sesak, aku sulit bernapas.
“Pembohong, nggak ada orang buta yang kerja di pesawat,” umpatku kasar.
Persetan, mau hatinya luka atau retak, aku nggak mau peduli. Aku lelah dikasihani.
“Nggak ada, karena aku nggak buta. Dulu iya, sekarang enggak. Dulu kakimu rusak, nanti enggak. Aku mau jadi suporter pertama yang berteriak dari stadion.” Omong kosong, katanya—si pramugara bernama Donghyuck—dia buta. Apa? Dia bisa melihat!
Aku nggak mungkin begitu, 'kan? Iya kan? Iya, pasti begitu.
“Sudah kubilang, itu fungsinya dokter, sialan. Pakai otakmu, kakimu nggak berfungsi setidaknya otakmu masih berisi.” Lucas mengumpat sambil mengomel lagi, sekarang wajahnya sudah lebih manusiawi ketimbang tadi.
Aku mau menangis tapi gengsi, di sini ada si pramugara. Malu.
“Berobatlah, raih mimpimu. Aku itu buta kornea, aku meminjam kornea orang lain, sebut saja malaikat baik hati, karena itu aku bisa melihat.
—Mimpiku jadi pramugara, ngomong-ngomong.”
“Lalu, di mana aku bisa bertemu malaikat baik hati yang sudi memimjamkan kakinya? Nggak ada, 'kan? Jadi semua sia-sia.” Itu aku yang masih berusaha kabur dari keinginan kembali mengecap mimpi.
Plak!
“SAKIT SIALAN!?”
“Biar!” Aku nggak tahu, sungguh, kenapa Lucas tega sekali memukul kepalaku sekeras itu? Sakit, bodoh, sakit!
Tapi aku tahu, Lucas, kamu sedang mengatakan kalau kamu menemukan kunci dari peti mimpiku, kan? Kamu sudah tahu tempatnya di mana. Kamu memenangkan lotremu?
“Kamu pasti belum pernah terapi, 'kan?” tanya si pramugara—aku tahu namanya siapa tapi aku lebih suka memanggilnya pramugara, mau apa?—padaku. Aku cuma menggeleng dan manatap Lucas yang malah melempar delikan tajam. Aku salah apalagi, sih?
“Bukannya belum pernah, tapi setiap diminta selalu kabur. Padahal dia cuma bisa lari dibantu kursi roda, tapi berlagak main kejar-kejaran. Kurang ajar sekali.”
“Aku dengar kau mengumpatiku, ya, Wong.”
“Kalian ini lucu sekali, sih? Aku gemas!” Si pramugara ini nggak henti-hentinya tertawa dan melempar tatapan penuh cinta padaku. Aku peka, aku masih manusia jadi aku sadar.
Tapi aku ragu, aku nggak percaya. Maksudku, bagaimana bisa?
“Kenapa kamu sebegitu maunya ikut campur urusanku, Tuan Pramugara? Padahal mimpiku mati, tapi kamu percaya diri sekali membangunkannya,” tanyaku akhirnya. Tapi garis wajahnya nggak berubah, masih cerah dan penuh senyum. Malah wajah Lucas yang seolah kesal luar biasa. Kenapa malah terlihat Lucas yang menyukai si pramugara ini?
“Pertanyaan retorik!” serunya—Lucas. Sambil mengacungkan jari telunjuk, aku bersumpah dia nyaris terpeleset ke jari tengah, kalau saja dia nggak ingat ada Si Pramugara di antara kami. Tipikal Lucas, suka jaga image di depan orang lain. Cuih.
“Enggan, aku nggak tahu jawabannya!” balasku nggak mau kalah. Sukses jadi tontonan gratis si pramugara, dan mengundang telak kekesalan Lucas lagi dan lagi.
“Sini, bicara sama tanganku! Jelas-jelas dia jatuh cinta padamu! Hatinya kamu ambil, bodoh!”
“Ya, karena itu aku tanya kenapa!?” Berdebat dengan Lucas itu menguras tenaga, air mataku yang tadinya mati-matian kutahan agar nggak keluar gagal total. Aku marah pada Lucas tapi aku menangisinya. Catat, menangisinya di depan si pramugara. Dobel kurang ajar.
“Kamu menarik. Aku dulu terpuruk, sama sepertimu. Bedanya, kamu sok kuat, aku disentuh sedikit langsung goyah. Tapi aku nggak mudah menyerah dan nggak suka memilih mati diam-diam,” katanya santai menatapi Lucas. Dia menyindirku, tapi ada ungakapan sayang terselip di sana. Dan Lucas masih saja memasang wajah sok garangnya dan mendelik nggak suka padaku. Persetan.
Tunggu, apa maksudnya dia lebih suka memilih mati terang-terangan?
“Apa pun yang kamu pikirkan tentangku dengan wajah seperti itu, jawabannya bukan,” kekehnya tertawa geli. Apa wajahku sejelas itu dibaca? Iya? Aku malu lagi, hh ...
“Aku bertemu jalan keluarnya, dan sekarang aku bisa melihat. Mimpiku tercapai. Kamupun bisa begitu, aku jatuh hati padamu! Suka sekali, Sir.”
“NAH! Itu! Dengar!” Lucas langsung melompat dan menunjuk-nunjuk wajah si pramugara dan wajahku bersamaan. Padahal aku masih menangis, dasar nggak berperasaan!
Jujur, aku mau kembali, aku mau bermimpi lagi, aku mau berandai-andai. Tapi aku takut, aku takut gagal dan berakhir nggak sengaja memilih mati. Nanti Lucas nggak ada yang merepoti. Nanti Lucas bingung bagaimana caranya menghamburkan uang lagi. Nanti Lucas keluar negri sendiri.
“Tapi, kurasa aku punya mimpi lain sekarang,” ucapnya tiba-tiba.
“Apa?” Itu bukan aku, itu Lucas yang sudah duduk kembali. Aku masih sibuk mengusapi kasar mataku yang berembun, kenapa air mata ini susah sekali berhenti?
“Jadi suami Tuan Lee?”
“Hah?” Aku melongo, apa-apaan? Lelaki ini gamblang sekali, sial, aku malu—untuk yang ketiga kalinya. Mulutku kasar sekali. Ini karena Lucas, pengaruhnya buruk, itu salahnya. Aku nggak mau tahu.
“Pokoknya, Tuan Mark ini harus terapi! Jangan berhenti bermimpi! Karena aku suka kamu.” Dia membungkuk lama lalu pergi sambil melambaikan tangan dan berteriak sampai jumpa lagi pada kami. Sampai bayangannya hilang seolah ditelan bumi. Jelas karena dia sudah jauh di depan sana.
Padahal dia bukan siapa-siapa, kenal saja belum ada dua puluh empat jam. Kenapa rasanya sesak sekali?
“Aku memenangkan lotrenya!” Lucas menggulung lengan kemejanya sampai ke siku, beranjak bangun sambil berucap lalu mendorong kursi rodaku melaju perlahan. Dia terlihat bahagia, apa aku juga?
Ini rasanya dicintai dan diberi kepercayaan? Hangat. Meledak-ledak, mengharukan, dan juga melankolis.
“Aku nggak bilang ingin kembali bermimpi,” sahutku datar, sedatar jalan aspal menuju keluar taman ini.
“Breng-”
“Mulutmu.”
“Tch.”
Aku memang nggak bilang ingin kembali bermimpi. Tapi seenggak aku ingin terapi. Aku mulai menyadari, walau rasanya mustahil sekalipun aku sembuh nanti, aku masih bisa memiliki mimpi lain.
Selama ini aku memang bersembunyi dan sok berlari. Aku jatuh sendiri dan Lucas selalu kuhindari.
Aku depresi, mimpiku mencekik dan obat-obatan itu rasanya kurang. Aku mau mati, tapi selalu enggak jadi. Karena aku berpikir di alam sana pun pasti enggan menerimaku.
Tapi semua goyah, Lifas selalu datang kembali menyusun aku yang berantakan. Dan di sinilah aku, berakhir menangis dan mendengarkan pengakuan seorang pramugara yang bagai mendongeng.
Aku mau jadi psikiater saja. Lumayan, menebus dosaku dengan membantu orang lain. Terdengar mulia. Kupikir aku juga sudah cukup bijak. Apa? Nggak perlu tertawa, hak orang untuk percaya diri.
Keterbatasanku memang bukan halangan, tapi rintangan. Aku nggak pernah tahu, kalau pramugara yang sedang jatuh hati akan sebegitu gamblangnya menyemangati. Ah, manis sekali.
Hari-hariku terlewati terlampau biasa. Selama beberapa bulan menetap di negeri orang dan menjalani terapi demi memperbaiki kaki. Lucas masih setia diam di sini, di sampingku menemani. Dia nggak lagi pulang untuk sekedar menghitung uangnya. Dulu dia cuma pegawai biasa, yang mana kutahu sekarang malah menjadi si pemberi gaji.
Dia kaya, iya, aku selalu meminta padanya. Dia bilang jangan sungkan, ya sudah, aku ringan saja padanya. Aku bukannya tidak mau bekerja, Ibu dan Ayah yang melarangku. Katanya mereka takut aku terluka. Ah, bahagianya menghabiskan uang orang.
“Kamu sudah lumayan berkembang.”
“Aku memang hebat.”
“Aku menyesal berbicara.”
“Oh, kasihan.” Aku tertawa memaksa, bosan menatapi layar persegi panjang ponselku. Beritanya masih sama—
“Tahu kamu hebat kenapa terapinya baru sekarang? Rugi uangku kubakar dengan avtur avtur itu,” sindirnya. Iya, kami memang sering pergi dengan tema berobat. Tapi aku menolak terapi dan berakhir periksa saja lalu jalan-jalan. Dasar orang kaya.
“Kau berisik, Ars. Aku habis didongengi jadi tersentuh.” Bola mata Lucas berputar jengah, ancang-ancang mengomel—
“Sudah ketemu?”
” .... belum. Dasar pramugara pembual, cih.” Mataku memanas, perih, aku ingin mengumpat saja rasanya. Lucas hanya menahan napas sementara lalu membuangnya perlahan. Aku nyaris jatuh ke dasar. Lagi, seperti dulu.
“Lalu, apa mimpimu?” tanyanya pelan, pelan sekali sampai-sampai rasanya aku tidak mau mendengarnya, perih.
“Mencari si pramugara. Kita kan mau menikah.”
Nanti, saat aku sudah bisa berdiri sempurna dan berlari, aku akan mencari si gadis pramugara. Sampai dapat, dan mencoba mewujudkan mimpinya.
Sudah kubilang, aku ingin melakukan tugas mulia, dan membantunya masuk dalam entri. Itu mimpi baruku.
Kakiku bukan masalah, aku bisa bermimpi lagi.
“Semoga kamu menemukannya,” bisik Lucas, lirih, halus, nyaris tidak terdengar.
Pesawat Giant Air yang menuju bandara Narita Jepang mengalami kebakaran dan jatuh di laut lepas Jepang. Tiga puluh penumpang beserta awak pesawat dinyatakan tewas, empat awak dinyatakan hilang. [03/20]
|tamat.
Pernah dipublish di ffn.