pridehyuck

“Malvin, makan dulu,” panggil bunda. Jam masih di angka enam tapi bunda sudah tata semua makanan di meja makan. Malvin yang siap menjemput Aksa jadi harus berhenti sementara.

“Wah banyak, bun?”

“Iya Bunda libur.”

Malvin jarang makan bersama bunda di meja makan, hangatnya sarapan keluarga agak sulit dia rasa. Apalagi yang dia temukan di atas meja lengkap dari nasi sampai buah segar.

Tapi enggak apa-apa. Malvin paham situasi.

“Semalam, hati-hati. Kalau tetangga lihat, Malvin bisa kena masalah.”

Tersedak.

Bunda buru-buru ambilkan Malvin segelas air, putranya nampak terkejut setengah mati. Wajah piasnya khawatir dan gugup.

Jemari Bunda menyusuri rambut hitam Malvin perlahan, membelainya dengan kasih sayang dan harapan.

“Bunda minta maaf, kalau aja kamu dibesarin di keluarga yang religius, mungkin kamu nggak berakhir seperti ini.

Maaf Bunda jarang ajarkan tentang doa.”

Nafsu makan Malvin terjun bebas ke jurang, rasa hangat yang dia simpan di dada lenyap jadi dingin beku. Dia tatap mata Bunda yang meredup putus asa, Malvin kecewa.

“Bunda, Malvin tau cara berdoa—

“Tapi kamu nggak di jalan Tuhan.”

—bunda! Jangan bawa-bawa Tuhan, Malvin mohon,” katanya. Meremat kuat sendok dan Bunda meremas dress tipisnya sambil meredam tangis.

“Tapi kamu Anak Tuhan .... “

Lalu diam. Jawaban Bunda kelewat lemah buat Malvin dengar, tapi terlanjur membuat hatinya berantakan seperti rumah kartu.

Malvin pernah kecewa, tapi nggak seluka ini.

“Bunda stop! Ini masih pagi, Malvin udah mohon-mohon tapi Bunda nggak pernah dengar. Malvin yang begini harus salahin siapa?

Malvin nggak ngerasa salah, tolong bunda jangan nyalahin,” serunya. Urat leher terlihat dan tangisannya susah ditahan. Merah wajah dan amarah menyala tapi Bunda tetap teguh dengan ego nalar ibunya.

Bunda kecewa tapi Malvin lebih menderita, kan?

“Malvin tolongin Bunda. Harus bilang apa sama Papa? Kalau anaknya bunda besarkan begini ... Malvin ayo berdoa sama Bunda.”

“Enggak.” Tegas. Malvin bilang dengan tegas soal perkataan Bunda yang merengsak jiwanya. Jiwa muda yang harusnya melihat merah muda kasamaran, cuma diisi gelisah dan resah penuh susah. Malvin yang harusnya ditolong.

“Malvin selalu berdoa, Malvin tau apa yang harus Malvin bilang ke Tuhan. Kalau ini dosa, Bun, Malvin yang pertanggungjawabkan.

Malvin sudah ngadu ke Tuhan, tapi kalau sudah cinta Malvin bisa apa?” Serak dan basah, paginya penuh sayatan luka yang dari semalam belum mengering.

Persis luka dibasuh darah, apa yang Malvin rasa seperti sakit gak berujung.

Tapi sudut kecil hatinya turut cemas; akan bunda yang memeluk dirinya di atas kursi makan. Bahu bergetar dan tangis mengisak pilu. Jam setengah tujuh terlihat mendung hujan bagi keduanya.

“Lalu Bunda harus bilang apa ke keluarga?!

Bunda harus bilang apa ke tetangga ... bilang apa ke mendiang Papamu, bunda ini harus bagaimana lagi bilang kecewa?!!” Akhirnya, bentakan jadi ujung. Emosi yang dipaksa terkubur meledak juga seperti bom waktu. Memporak-porandakan suasana dan perasaan.

Malvin nggak bergerak. Dia pangku tas ransel yang cuma isi satu buku dan sekotak rokok. Mengatur napas agar tidak berantakan.

“Bunda kalau mau bilang, tinggal bilang. Toh sakit hati sama penolakan, kan Malvin sudah tanggung sendiri dari awal,” katanya. Lalu pamit pergi, tetap menyalim telapak tangan dingin yang lemas di atas meja.

Pergi dengan patahan hati yang berserakan di jalanan. Meninggalkan Bunda yang sandarannya tinggal kursi makan, menutup lutut dengan dressnya, memeluk diri dengan kecewanya.

Bunda butuh waktu, tapi hatinya nggak mau tahu. Kecewanya Bunda, sama besar dengan khawatirnya orang tua.

Touching Your Dream (in the dark sky)

Tw // plane crash, harsh word, mentioning selfharm, bxb, long ass ride fiction, bear with it! <3

—————

Hatimu bagai langit hitam yang kelam.

Aku sering dengar itu dari orang-orang. Jangan khawatir, aku nggak sakit hati. Karena persis seperti yang mereka bilang, hatiku seperti langit hitam yang kelam. Hatiku mati.

Aku cuma berpikir, apa gunanya hatiku berwarna-warni kalau kakiku nggak berfungsi? Berpikir bisa berlari-lari menjiwai karakterku dalam drama kehidupan ini, duh, konyol. Aku nggak mau jadi bahan tertawaan ketika aku jatuh mencium hijaunya rumput karena kakiku seperti jeli kenyal tanpa tulang—iya, sebelum aku ingat, nggak ada jeli yang bertulang. Mereka makanan, oke, aku paham. Nggam usah berikan tatapan itu.

Hatiku nggak membantuku apa-apa kecuali menjadi salah satu alasan aku tetap hidup, jika hati dalam konteks organ tubuh yang kalian maksud. Jika dalam konteks drama, hatiku nggak ada gunanya.

Nggak usah merasa senang dengan hati, kalau suaraku saja sudah bisa menggemakan tawa. Nggak usah merasa marah dengan hati, kalau mulutku saja sudah bisa mengumpat dengan indah dan lancar. Nggak usah merasa sedih dengan hati, kalau air mataku saja sudah bisa mengalir sendu dan menipu.

Aku nggak perlu omong kosong semacam hati itu muara cinta. Aku nggak punya cinta, karena aku nggak punya hati, karena mimpiku sudah mati.

Persepsiku.

. . .

Dulu orang-orang selalu bertanya, apa aku punya mimpi? Aku selalu mengumpat dalam hati ngomong-ngomong, jika kalian penasaran dengan jawabanku tentu saja.

Pikirlah dengan otak, bung! Jangan termakan teori hati. Kamu pikir Si Lumpuh Tampan sepertiku bisa jadi model? Kamu pikir Si Lumpuh Pendek ini bisa jadi point guard? Kamu pikir ... kamu pikir ... aku bisa punya mimpi?

“Masih mau berlari?”

“Kulempar kamu kalau bertanya sekali lagi.”

“Seenggaknya, Mark, kamu harus bisa berdiri dari kursi roda itu kalau mau melemparku.” Dia orang idiot yang mau maunya menemani si pecundang macam Mark Lee ini selama lima belas tahun lamanya. Dia orang idiot yang mau maunya terbang ke belahan dunia lain demi kabar dokter berkualitas mahal.

Perkenalkan, dia Lucas Wong. Biasa dipanggil Lucas, dan aku sangat biasa memanggilnya si idiot brengsek berotak cumi cumi.

“Coba kamu pikir? Ada manusia nggak berkaki yang berlari-lari di lapangan hijau menggiring bola? Lucu? Iya. Miris? Jangan ditanya. Kurang ajar? Oh, sudah jelas.” Aku tentu bisa melihat guratan jenaka di wajah yang katanya tampan itu ketika mendengar ocehanku yang sangat sinis.

Dia tertawa, tapi bukan bahagia. Sudah kubilang, jangan pakai hati dalam setiap emosi. Nggak selamanya hati berfungsi untuk hal lain selain menyokong hidupmu.

“Tapi kamu punya kaki?”

“Yang nggak berfungsi. Garis bawahi itu, jangan sampai kamu lupa.”

“Makanya, ayo perbaiki .... ” Suaranya sudah mulai mengecil, lihat? Siapa yang bermimpi di sini.

Aku sudah mengubur jauh-jauh keinginanku untuk menggiring bola ke gawang lawan di tengah stadion megah, sampai aku lupa di mana tempatku mengubur mimpi itu. Aku dulu hanya bisa kagum melihat idolaku berlari ringan dengan lambaian tangan dan melempar ciuman cuma-cuma lewat angin.

Aku tahu, kok, aku nggak sempurna, terlepas dari ungkapan nggak ada manusia yang sempurna. Aku punya dua kaki lengkap yang untungnya memiliki visual bagus, jadi aku masih percaya diri menampilkannya buka-bukaan. Aku punya satu hati yang berfungsi sangat baik dan untungnya terbebas dari penyakit, setidaknya terakhir kali aku periksa hasilnya begitu.

Tapi aku nggak punya kaki yang bisa berdiri, aku nggak punya kaki yang bisa berlari. Aku cuma punya kaki yang setia saling sejajar berdampingan selama dua puluh tiga tahun aku hidup. Dan aku nggak punya hati yang dapat merasakan cinta, dapat memendam duka, dapat menjadi wadah ekspresi diri yang apa adanya.

Mimpiku hilang ditelan kenyataan, dan aku nggak sedikitpun berniat memburu takdir sebagai buronan. Aku nggak perlu cinta, itu omong kosong. Cinta yang datang padaku selalu pergi ketika melihat kakiku. Sungguh, kalau bisa silakan nikahi wajahku dan tinggalkan kakiku. Aku benci deskriminasi, tahu.

Tapi dia—Lucas seolah nggak pernah lelah berusaha. Dia menggali kuburan mimpi yang aku sendiri lupa di mana letaknya. Dia mencari jalannya sendiri, dia menggalinya sendiri, dan dia mencoba menghidupkannya sendiri.

“Lucas, sesuatu yang mati itu nggak bisa hidup kembali. Jangan bodoh.” Aku coba mengingatkannya akan fakta yang satu itu. Sekalipun Lucas mencoba tuli dengan memainkan rubik di dalam kursinya diam, aku tahu dia mendengarkan. Lihat saja mulutnya yang diam-diam menyumpahiku dengan nama-nama penuh sensor.

“Aku cuma mencoba mendapatkan kembali bonus dari Tuhan.”

“Aku lahir tanpa ayah, itu hadiah. Aku ternyata lumpuh total dari lahir, itu surprise. Aku punya mimpi lalu tertawa seperti orang gila karena mimpiku seperti bunuh diri, itu grand prize. Dan kamu apa? Mencoba mengambil bonus?” balasku mulai jengah.

Nah! Lihat? Dia cuma mengangkat bahu cuek. Sudah kubilang dia itu idiot, aku bgtak menerima bentuk protes macam apa pun yang menyangkut di mana aku menyembunyikan otaknya. Karena sungguh, di neraka sana pasti dia sedang dapat hukuman tambahan saat pembagian otak.

Dia masih bermain rubik, mencuri pandang pada pramugara di ujung sana, yang jelas sekali menatapiku dengan binar-binar lampu bohlam kelebihan watt. Mari ambil positifnya, pramugara itu nggak pernah melihat kursi roda yang tampak mahal begini. Terima kasih Lucas, kamu sudah kaya sekarang.

Oh, tunggu dulu. Bukannya kursi rodaku disimpan rapi? Lalu apa yang pramugara itu lihat? Wajah tampanku? Oke, deal.

“Aku menghidupkan mimpimu, kamu menemukan cintamu, dan aku hidup bahagia. Itu bonusnya. Jangan ganggu aku yang mencoba peruntungan bermain lotre, deh!”

“Oke! Terserah kamu saja. Aku tetap pada tempatku, dan kamu tetap pada lotremu. Terserah, Lucas, terserah.” Terlanjur lelah menanggapinya, aku memilih menyerah. Padahal ungkapannya tadi total drama, aku mual.

Ini bukan kali pertama aku ada di pesawat untuk meledeki tanah yang terlihat seperti kotoran semut dari atas sini—apa kalian pernah melihat rupa kotoran semut? Kalau aku sih, enggak. Maka jadikan saja itu sebagai gambaran, nggak apa, ini masih legal.—Lucas sering sekali mengajak aku untuk berobat, dia ingin aku berlari. Dia ingin aku berdiri. Ia ingin aku mengenakan seragam kesebelasan dengan nomor punggung delapan.

Saat aku sendiri sudah menyerah dengan mimpiku, kenapa masih ada orang lain yang mau peduli dan memperjuangkannya? Memang sepenting apa mimpi itu? Mimpi hanya wadah sok suci dari gambaran masa depan yang samar. Suram enggam, cerah juga enggah. Maka selagi belum terjadi, berfantasilah sesuka hati.

Aku sudah cukup muak juga, berlagak bak orang paling tersakiti di dunia ini. Aku jijik dengan diri sendiri yang terus-terusan menangisi mimpi dan kaki. Hei! Aku harus berpikir dua kali untuk membuat air mataku kering hanya karena dua onggok kata itu! Kalau aku nggak punya mata, aku rasa aku akan sudi menangis. Aku jadi nggak bisa melihat wajah sok simpati Lucas. Aku nggak bisa melihat wajahnya yang sedang melawak garing.

Aku nggak bisa melihat di cermin betapa menyedihkannya aku selama ini. Dan, betapa tampannya aku ini, oh astaga, satu-satunya motivasi hidup yang kupunya.

Tapi semua ungkapan itu benar; hatimu akan sakit. Rasanya sesak dan duniamu meledak. Aku nggak menghindar, aku sudah pernah sakit hati, tepat saat aku mengerti kenapa hari-hariku hanya diisi dengan roda di bawah kursi. Aku nggak mau lagi, itu sakit. Perihnya sampai saat ini.

Aku hanya belajar melupakan. Memakan kenyataan itu akan ada manisnya di akhir, ketimbang menelan bulat-bulat kebohongan, manis di awal, sepat di akhir. Sama seperti masakan Lufas yang rasanya labil.

Jadi aku hanya mencoba lupa bahwa aku pernah punya mimpi.

“Dia terus meliat ke arahmu, Mark!”

“Tunggu saja sampai dia ditegur. Lihat saja, nanti juga kamu terhibur.”

“Kurang ajar,” desisnya, “tapi dia jatuh hati!”

“Coba kau lihat, apa ada hati di bawahnya? Kalau enggak, hatinya masih pada tempatnya. Nggak jatuh apalagi lecet.” Lucas menarik kepalaku jengkel, apa? Aku benar, 'kan? Anggaplah leluconku murahan, sebatas uang receh, anggap lawakanku nggak berkelas, aku nggak mau peduli.

Kali ini dia merenggut sembari memanggil seorang pramugara, yang jelas-jelas menyalahi aturan karena nggak fokus.

“Bisakah temanku ini mendapatkan sesuatu?” Aku yakin sekali pramugara itu nyaris menjerit melihat Lucas yang menunjukku.

“Ah, tentu saja, Sir. Apakah ada yang anda inginkan?”

“Beri dia hatimu.” Lucas mulai flirting, itu mengaduk-aduk isi perutku. Sial, aku mau muntah. Bisa-bisanya kamu memasang wajah memohon seperti itu?! Dan kenapa pula pramugara itu tersenyum malu sok peduli?

Sekarang kenapa kamu malah mengedipkan sebelah matamu, wahai Tuan Wong? Hentikan itu dan jangan tunjukkan senyum sok menggoda! Mati saja kamu!

“Aku nggak tertarik mencarikan hatiku partner. Lucas, urusi saja rubikmu dan jangan goda pramugara di sini. Aku malu.”

“Aish, hati hitammu itu perlu cat pewarna tahu! Biarkan dia tersentuh sedikit!” Apa ini? Dia mengajakku bertengkar di atas langit? Di dalam pesawat yang sedang terbang melayang di atas sini? Maumu itu? Ayo, sini!

“Nggak ada yang bisa menyentuh hatiku. Enggak kamu, mimpiku, kakiku, atau bahkan pramugara ini. Terima kasih.” Aku masih saja bersikeras, nggak peduli lagi tatapan orang-orang yang memandang kami aneh dengan kilatan terganggu. Apa? Aku salah lagi?

“Langit saja dapat kusentuh, apalagi hatimu?” Sampai pramugara itu buka suara. Dan pertahanku langsung rubuh diporak-porandakan senyum polosnya.

Sekarang aku ada di sini, tempat paling kurang ajar yang nggak pernah mau kukunjungi. Stadion sepak bola, dimana sebuah liga sedang berlangsung dan sialnya itu adalah dua tim yang sepertinya dulu sangat aku gilai.

Lucas sialan.

“Jangan begitu, kamu masih punya mimpimu.”

“Demi Tuhan, Lucas! Aku benci kamu ungkit-ungkit lagi tentang hal itu!” Aku kesal, benar-benar kesal. Atau aku hanya takut mimpiku bangun, aku hanya belum siap sakit hati lagi karena menyadari semua mimpiku akan sia-sia karena aku nggak punya kaki.

Oke, aku punya kaki. Tapi nggak berfungsi, dan jangan kasihani aku. Aku benci dikatakan cacat, katakan saja kakiku rusak.

Apa? Aku melawan takdir? Hei, bung? Pernahkan kamu berpikir apa yang kami—para penyandang gelar disabilitas—pikirkan? Pernahkah kalian bayangkan sebentar saja rasanya menjadi kami? Dilabeli cacat dan tak bisa ini dan itu? Jangan melabeli kami, jangan sok tau, jangan simpati, karena nggak selamanya manusia perlu simpati. Aku nggak masalah dengan empati, ngomong-ngomong.

Maka berhentilah, sebelum kamu melangkahi batasmu. Jangan bermain api, aish, apa, sih yang aku bicarakan? Kenapa malah melantur begini?

Tapi serius, jangan memandang orang sepertiku itu lemah, mereka juga punya mimpi. Iya, munafik, itu sepenggal quote dariku yang menyerah dengan mimpinya sendiri. Persetan, yang penting aku terlihat bijak.

“Pokoknya, Lucas. Aku benar-benar salut atas hidupmu yang gemar sekali menghamburkan uang demi terbang di langit dan berjumpa banyak rumah sakit untuk kakiku yang sakit. Aku benar-benar berterima kasih untuk semuanya,” kataku pelan dan serak, “tapi hentikan. Kamu tahu ini sia sia dan akupun tahu semuanya tidak berguna. Jadi, ayo pulang.” Lucas masih saja memandang lapangan lurus tanpa ekspresi berarti bahkan setelah aku menjabarkan isi hatiku.

Teman kurang ajar.

“Aku melihat sesuatu,” katanya.

“Apa?”

“Mimpimu, lihat! Bolanya bergulir!”

“LUCAS!” Cukup. Aku muak. Persetan ini di mana, ayo adu argumen denganku kalau kamu benar-benar memaksa. Kulihat wajahnya pias dan matanya berair. Demi Tuhan, aku belum pernah menangisi Lucas dan lihat berapa liter air matanya yang keluar hanya untuk Si Pecundang macam aku?

Aku merasa jahat, sial.

“Berhenti berpura-pura, Lee! Kamu bilang kamu nggak punya mimpi tapi lihat betapa angkuhnya kamu? Aku cuma mau kamu membuka matamu! Kalau kamu mati nanti siapa yang kuajak pergi naik pesawat lagi?!” teriaknya penuh emosi. Aku ... aku, tunggu, kita jadi tontonan di sini!

“Ah, maaf! Permisi, maaf, tolong beri aku jalan!” Aku nyaris meledak kalau saja suara familiar itu tidak tertangkap gendang telingaku.

Itu si pramugara. DAN APA APAAN INI? KENAPA DIA DI SINI?!

“Maafkan teman-temanku, aku sungguh minta maaf!” katanya sambil membungkuk 90°, lalu menyeret Lucas dan mendorong kursi rodaku dengan beringas.

Tuan, anda siapa dan kenapa anda suka sekali cari masalah?

Akhirnya, kami berakhir di sini. Di antara batu batu persegi, kurasa aku bisa menganggapnya patung hiasan. Dan, ah, ya, kami duduk di tengah taman yang lumayan sepi. Setahuku jam segini itu jamnya anak sekolahan mengikuti kelas tambahan di Korea Selatan. Kami memang sedang di Korea Selatan, ngomong-ngomong.

Semua berawal dari Lucas yang mendapat brosur pengobatan tersohor rumah sakit entah apa namanya, yang jelas aku didorong kemari. Dan sialnya si pramugara itu berlibur ke Korea Selatan setelah bekerja di pesawat yang aku dan Lucas tumpangi untuk terakhir kali sebelum liburannya. Aku benar-benar mengumpat dan menganggapnya penguntit saat bercerita tadi.

“Aku tahu aku ini orang asing, tapi sebaiknya selesaikan masalah kalian baik-baik,” katanya sok menengahi. Cuih. Memang dia tahu apa yang kami peributkan?

Aku heran, memang wajahnya nggak kaku terus tersenyum begitu?

Tapi Lucas memberi respon berbeda, dia menatap tajam aku yang sekarang malah takut dan menatapi kakiku seolah sekarang itu sangat kukagumi. Padahal aku benci. Dobel sial.

“Berhenti berpura-pura mati rasa!” serunya.

“Ha?”

“Kamu pikir nggak tau? Berapa banyak obat anti depresan yang kamu punya? Berapa kali kamu mencoba bunuh diri?”

“Kamu bercanda?” tanyaku berbalik, menunjukkan wajah kebingungan yang kuyakini memuakkan di matanya. Pramugara itu cuma duduk diam memperhatikan kami, nggak ambil tindakan karena mungkin tau diri.

“JAWAB AKU!” Akhirnya dia membentak, yang entah bagaimana cara kerjanya mampu membuatku gemetar. Lucas nggak pernah marah, nggak pernah padaku. Dia konyol, brengsek, kurang ajar, sialan, idiot, temanku.

Sahabatku.

Teman hidupku.

Aku tanpa Lucas adalah mayat membusuk.

Iya, aku bodoh.

“Berapa kali Mark? Pagi kemarin, sebelum kita ke bandara, aku mendapatkan 3 silet. Kamu mau apa?” Aku nggak sanggup lagi berkata-kata, pramugara itu bahkan menatapku dengan pandangan penuh cinta. Aku nggak mengerti, semuanya serasa mencekikku.

“Kamu tahu aku lelah,” bisikku lirih. Bola mataku bergerak gelisah demi menjaganya tetap kering tanpa banjir. Aku nggak mau lemah di hadapan orang lain, di hadapan Lucas, di hadapan pramugara yang katanya sedang jatuh hati padaku.

Apa aktingku bagus? Siapa tadi yang bilang bahwa dirinya jijik merasa paling tersakiti? Nyatanya aku menyakiti diri sendiri. Munafik? Sok tegar? Apa? Itu aku, Mark Lee.

“Kamu tahu kamu punya aku, Lucas. Berhenti berlagak kamu nggak peduli! Kamu mau mati, ya, sana mati! Berarti kamu nggak pernah menganggapku penting, sialan!”

“BUKAN BEGITU!” Aku berteriak, aku tahu pramugara itu bahkan terkesiap nyaris terjungkal. Tapi sungguh, maksudku bukan begitu.

“Apa salahnya bermimpi? Kamu punya hakmu, Lucas,” katanya dengan wajah sedih, yang sialnya menambah nyeri di hatiku. Semuanya terbongkar, aku yang sok dan seolah nggak peduli lagi dengan mimpi, hanya melarikan diri dan depresi sendiri. Aku menjauh dan lari, padahal aku nggak punya kaki. Bodoh sekali.

“Salah, salah total, karena semuanya mustahil.”

“Kamu salah, Tuan Mark, kamu salah.” Pramugari itu akhirnya bicara, menatap lurus aku yang pura-pura nggak melihatnya, padahal jelas-jelas aku teriris dengan tatapan hangatnya. Melihatku yang pura-pura memikirkan alasan kenapa dia memanggilku Tuan Mark padahal ini bukan di pesawat—retorik, aku tahu.

Tapi kamu tahu apa? Kamu siapa? Cuma pramugara yang sedang jatuh hati. Percuma.

“Siapa bilang semua mimpimu percuma karena keterbatasan? Aku, Donghyuck, Si Tunanetra yang bermimpi menyentuh langit dan terbang di udara, sekarang hidupnya ada dalam pesawat.” Pelan-pelan tapi tegas, kata-katanya menyusup dan menyelinap masuk ke hatiku. Aku nggak mau tahu, nggak, aku ini pecundang.

Lucas memalingkan wajahnya, air matanya sudah hampir mengering dan wajahnya merah kacau. Semua karena aku. Aku ingin mengumpat, tapi hatiku rasanya kacau sekali. Sesak, aku sulit bernapas.

“Pembohong, nggak ada orang buta yang kerja di pesawat,” umpatku kasar.

Persetan, mau hatinya luka atau retak, aku nggak mau peduli. Aku lelah dikasihani.

“Nggak ada, karena aku nggak buta. Dulu iya, sekarang enggak. Dulu kakimu rusak, nanti enggak. Aku mau jadi suporter pertama yang berteriak dari stadion.” Omong kosong, katanya—si pramugara bernama Donghyuck—dia buta. Apa? Dia bisa melihat!

Aku nggak mungkin begitu, 'kan? Iya kan? Iya, pasti begitu.

“Sudah kubilang, itu fungsinya dokter, sialan. Pakai otakmu, kakimu nggak berfungsi setidaknya otakmu masih berisi.” Lucas mengumpat sambil mengomel lagi, sekarang wajahnya sudah lebih manusiawi ketimbang tadi.

Aku mau menangis tapi gengsi, di sini ada si pramugara. Malu.

“Berobatlah, raih mimpimu. Aku itu buta kornea, aku meminjam kornea orang lain, sebut saja malaikat baik hati, karena itu aku bisa melihat.

—Mimpiku jadi pramugara, ngomong-ngomong.”

“Lalu, di mana aku bisa bertemu malaikat baik hati yang sudi memimjamkan kakinya? Nggak ada, 'kan? Jadi semua sia-sia.” Itu aku yang masih berusaha kabur dari keinginan kembali mengecap mimpi.

Plak!

“SAKIT SIALAN!?”

“Biar!” Aku nggak tahu, sungguh, kenapa Lucas tega sekali memukul kepalaku sekeras itu? Sakit, bodoh, sakit!

Tapi aku tahu, Lucas, kamu sedang mengatakan kalau kamu menemukan kunci dari peti mimpiku, kan? Kamu sudah tahu tempatnya di mana. Kamu memenangkan lotremu?

“Kamu pasti belum pernah terapi, 'kan?” tanya si pramugara—aku tahu namanya siapa tapi aku lebih suka memanggilnya pramugara, mau apa?—padaku. Aku cuma menggeleng dan manatap Lucas yang malah melempar delikan tajam. Aku salah apalagi, sih?

“Bukannya belum pernah, tapi setiap diminta selalu kabur. Padahal dia cuma bisa lari dibantu kursi roda, tapi berlagak main kejar-kejaran. Kurang ajar sekali.”

“Aku dengar kau mengumpatiku, ya, Wong.”

“Kalian ini lucu sekali, sih? Aku gemas!” Si pramugara ini nggak henti-hentinya tertawa dan melempar tatapan penuh cinta padaku. Aku peka, aku masih manusia jadi aku sadar.

Tapi aku ragu, aku nggak percaya. Maksudku, bagaimana bisa?

“Kenapa kamu sebegitu maunya ikut campur urusanku, Tuan Pramugara? Padahal mimpiku mati, tapi kamu percaya diri sekali membangunkannya,” tanyaku akhirnya. Tapi garis wajahnya nggak berubah, masih cerah dan penuh senyum. Malah wajah Lucas yang seolah kesal luar biasa. Kenapa malah terlihat Lucas yang menyukai si pramugara ini?

“Pertanyaan retorik!” serunya—Lucas. Sambil mengacungkan jari telunjuk, aku bersumpah dia nyaris terpeleset ke jari tengah, kalau saja dia nggak ingat ada Si Pramugara di antara kami. Tipikal Lucas, suka jaga image di depan orang lain. Cuih.

“Enggan, aku nggak tahu jawabannya!” balasku nggak mau kalah. Sukses jadi tontonan gratis si pramugara, dan mengundang telak kekesalan Lucas lagi dan lagi.

“Sini, bicara sama tanganku! Jelas-jelas dia jatuh cinta padamu! Hatinya kamu ambil, bodoh!”

“Ya, karena itu aku tanya kenapa!?” Berdebat dengan Lucas itu menguras tenaga, air mataku yang tadinya mati-matian kutahan agar nggak keluar gagal total. Aku marah pada Lucas tapi aku menangisinya. Catat, menangisinya di depan si pramugara. Dobel kurang ajar.

“Kamu menarik. Aku dulu terpuruk, sama sepertimu. Bedanya, kamu sok kuat, aku disentuh sedikit langsung goyah. Tapi aku nggak mudah menyerah dan nggak suka memilih mati diam-diam,” katanya santai menatapi Lucas. Dia menyindirku, tapi ada ungakapan sayang terselip di sana. Dan Lucas masih saja memasang wajah sok garangnya dan mendelik nggak suka padaku. Persetan.

Tunggu, apa maksudnya dia lebih suka memilih mati terang-terangan?

“Apa pun yang kamu pikirkan tentangku dengan wajah seperti itu, jawabannya bukan,” kekehnya tertawa geli. Apa wajahku sejelas itu dibaca? Iya? Aku malu lagi, hh ...

“Aku bertemu jalan keluarnya, dan sekarang aku bisa melihat. Mimpiku tercapai. Kamupun bisa begitu, aku jatuh hati padamu! Suka sekali, Sir.”

“NAH! Itu! Dengar!” Lucas langsung melompat dan menunjuk-nunjuk wajah si pramugara dan wajahku bersamaan. Padahal aku masih menangis, dasar nggak berperasaan!

Jujur, aku mau kembali, aku mau bermimpi lagi, aku mau berandai-andai. Tapi aku takut, aku takut gagal dan berakhir nggak sengaja memilih mati. Nanti Lucas nggak ada yang merepoti. Nanti Lucas bingung bagaimana caranya menghamburkan uang lagi. Nanti Lucas keluar negri sendiri.

“Tapi, kurasa aku punya mimpi lain sekarang,” ucapnya tiba-tiba.

“Apa?” Itu bukan aku, itu Lucas yang sudah duduk kembali. Aku masih sibuk mengusapi kasar mataku yang berembun, kenapa air mata ini susah sekali berhenti?

“Jadi suami Tuan Lee?”

“Hah?” Aku melongo, apa-apaan? Lelaki ini gamblang sekali, sial, aku malu—untuk yang ketiga kalinya. Mulutku kasar sekali. Ini karena Lucas, pengaruhnya buruk, itu salahnya. Aku nggak mau tahu.

“Pokoknya, Tuan Mark ini harus terapi! Jangan berhenti bermimpi! Karena aku suka kamu.” Dia membungkuk lama lalu pergi sambil melambaikan tangan dan berteriak sampai jumpa lagi pada kami. Sampai bayangannya hilang seolah ditelan bumi. Jelas karena dia sudah jauh di depan sana.

Padahal dia bukan siapa-siapa, kenal saja belum ada dua puluh empat jam. Kenapa rasanya sesak sekali?

“Aku memenangkan lotrenya!” Lucas menggulung lengan kemejanya sampai ke siku, beranjak bangun sambil berucap lalu mendorong kursi rodaku melaju perlahan. Dia terlihat bahagia, apa aku juga?

Ini rasanya dicintai dan diberi kepercayaan? Hangat. Meledak-ledak, mengharukan, dan juga melankolis.

“Aku nggak bilang ingin kembali bermimpi,” sahutku datar, sedatar jalan aspal menuju keluar taman ini.

“Breng-”

“Mulutmu.”

“Tch.”

Aku memang nggak bilang ingin kembali bermimpi. Tapi seenggak aku ingin terapi. Aku mulai menyadari, walau rasanya mustahil sekalipun aku sembuh nanti, aku masih bisa memiliki mimpi lain. Selama ini aku memang bersembunyi dan sok berlari. Aku jatuh sendiri dan Lucas selalu kuhindari.

Aku depresi, mimpiku mencekik dan obat-obatan itu rasanya kurang. Aku mau mati, tapi selalu enggak jadi. Karena aku berpikir di alam sana pun pasti enggan menerimaku.

Tapi semua goyah, Lifas selalu datang kembali menyusun aku yang berantakan. Dan di sinilah aku, berakhir menangis dan mendengarkan pengakuan seorang pramugara yang bagai mendongeng. Aku mau jadi psikiater saja. Lumayan, menebus dosaku dengan membantu orang lain. Terdengar mulia. Kupikir aku juga sudah cukup bijak. Apa? Nggak perlu tertawa, hak orang untuk percaya diri.

Keterbatasanku memang bukan halangan, tapi rintangan. Aku nggak pernah tahu, kalau pramugara yang sedang jatuh hati akan sebegitu gamblangnya menyemangati. Ah, manis sekali.

Hari-hariku terlewati terlampau biasa. Selama beberapa bulan menetap di negeri orang dan menjalani terapi demi memperbaiki kaki. Lucas masih setia diam di sini, di sampingku menemani. Dia nggak lagi pulang untuk sekedar menghitung uangnya. Dulu dia cuma pegawai biasa, yang mana kutahu sekarang malah menjadi si pemberi gaji.

Dia kaya, iya, aku selalu meminta padanya. Dia bilang jangan sungkan, ya sudah, aku ringan saja padanya. Aku bukannya tidak mau bekerja, Ibu dan Ayah yang melarangku. Katanya mereka takut aku terluka. Ah, bahagianya menghabiskan uang orang.

“Kamu sudah lumayan berkembang.”

“Aku memang hebat.”

“Aku menyesal berbicara.”

“Oh, kasihan.” Aku tertawa memaksa, bosan menatapi layar persegi panjang ponselku. Beritanya masih sama—

“Tahu kamu hebat kenapa terapinya baru sekarang? Rugi uangku kubakar dengan avtur avtur itu,” sindirnya. Iya, kami memang sering pergi dengan tema berobat. Tapi aku menolak terapi dan berakhir periksa saja lalu jalan-jalan. Dasar orang kaya.

“Kau berisik, Ars. Aku habis didongengi jadi tersentuh.” Bola mata Lucas berputar jengah, ancang-ancang mengomel—

“Sudah ketemu?”

” .... belum. Dasar pramugara pembual, cih.” Mataku memanas, perih, aku ingin mengumpat saja rasanya. Lucas hanya menahan napas sementara lalu membuangnya perlahan. Aku nyaris jatuh ke dasar. Lagi, seperti dulu.

“Lalu, apa mimpimu?” tanyanya pelan, pelan sekali sampai-sampai rasanya aku tidak mau mendengarnya, perih.

“Mencari si pramugara. Kita kan mau menikah.”

Nanti, saat aku sudah bisa berdiri sempurna dan berlari, aku akan mencari si gadis pramugara. Sampai dapat, dan mencoba mewujudkan mimpinya. Sudah kubilang, aku ingin melakukan tugas mulia, dan membantunya masuk dalam entri. Itu mimpi baruku. Kakiku bukan masalah, aku bisa bermimpi lagi.

“Semoga kamu menemukannya,” bisik Lucas, lirih, halus, nyaris tidak terdengar.

Pesawat Giant Air yang menuju bandara Narita Jepang mengalami kebakaran dan jatuh di laut lepas Jepang. Tiga puluh penumpang beserta awak pesawat dinyatakan tewas, empat awak dinyatakan hilang. [03/20]

|tamat.

Pernah dipublish di ffn.

Ibu belum pernah seterkejut ini, begitu selesai menyusui Kirana, Ibu langsung bergegas memesan grab car.

Putranya minta dijemput. Putra kesayangannya yang Ibu harap selalu bisa dia usap kepalanya sebelum tidur, meminta sesuatu untuk pertama kalinya semenjak ditinggal.

“Ma,” panggil Yoga ketika Ibu baru saja membuka pintu. “Iya?” sahutnya.

“Titip buat Aksa, ini kumpulan latihan soal, Yoga punya dua.”

Ibu lalu tersenyum manis, anak tirinya begitu manis. Dia menyayangi Kirana dan Aksa yang bukan sudara kandungnya.

Yoga anak yang baik.

“Halo, Putra Ibu, capek?” Guratan bahagia di wajah Ibu nggak bisa disamarkan, Aksa bisa lihat lewat sudut matanya. Otaknya panas dipaksa berpikir tapi senyumnya tetap segar buat tampil.

“Ibu? Udah lama?”

“Engga. Jalan yuk?” Tangan yang lama Aksa lupa rupanya, kini menggenggam tangannya erat-erat.

Aksa yang dulu cuma bisa menggenggam tangan Ayah, kini bisa tahu rasanya hangat seorang Ibu.

“Bu.”

“Iya?”

“Kenapa cerai sama ayah?” Tapak kaki wedges Ibu terpaksa berhenti bergema di heningnya dunia malam. Ayunan tangan gembira Ibu turut berhenti seperti pikiran yang membeku.

Aksa cuma mau dibagi cerita. Bagaimana kisah saling cinta berakhir pada meja pengadilan.

Aksa nggak membeci ibu yang meninggalkannya berdua bersama ayah di umur sembilan. Aksa cuma kurang mengerti alasan kenapanya.

“Aksa, sayang, duduk, yuk?” Lalu, Ibu rasa malam ini akan jadi panjang. Maka dia tuntun Aksa pada sisi jalan, menumpang duduk pada kursi halte yang sepi. Menyandarkan kepala yang berat akan beban pada bahu anaknya yang terlihat tegar.

Aksa belum berbagi beban apapun hari ini.

“Aksa tahu, nggak, kenapa orang bisa berpisah?”

Aksa nggak tahu. Ketika ditinggal Ibu, Aksa belum tahu apa-apa. Aksa nggak tahu jawaban apa yang harus dia beritahu.

“Enggak.”

“Bukan, bukan karena nggak saling cinta. Tapi sudah percaya kalau keduanya dari awal memang salah.”

Rasa percaya diri Aksa dipatah bunda jadi banyak kepingan. Pecahannya berceceran di jalanan tapi sisiran di rambutnya terasa nyata.

Aksa suka menyiksa dirinya dengan cerita menyedihkan.

“Maaf, ya? Harus memisahkan diri dari kalian. Tapi sesuatu yang dipaksakan, enggak berujung baik, Aksara.

Begitu juga kamu. Tolong jangan terlalu dipaksa, hidup enggak seindah puisi-puisi pujangga.”

Aksa pernah bilang, Ibu akan mendengarkan segalanya walau hatinya nggak menaruh setuju yang sama. Tapi dipatahkan jadi debu duka, nggak masuk hitungan tabah.

Aksara nyaris menyerah.

“Aksa, Ibu enggak pernah menyesal mencintai Ayah. Enggak sekalipun dari hidup Ibu buat benci apa yang Ayah lakuin ke Ibu.

Tapi dipandang cuma sebagai Ibu dari kamu, lumayan kerasa sakitnya.”

“Ayah selingkuh?” Cuma pertanyaan itu yang terlintas di kepala kecil Aksa, cuma itu yang bisa dia simpulkan. Tapi Ibu malah tersenyum cantik sembari menggeleng.

“Bagaimana mau selingkuh, Aksa? Yang Ayah cinta dari awal sampai sekarang, nggak bisa dia pegang.

Menyukai sesama itu, enggak pernah mudah, Aksara. “

Lalu, darah beku di tubuh Aksa mencair terlalu cepat sampai rasanya dia mau muntah. Terlalu pening sampai rasanya Aksa mau menggelinding.

Terlalu mengejutkan, sampai-sampai air mata berdesakan di pelupuknya.

“Sayang, Ibu minta maaf, ya? Ibu egois, kalah sama rasa. Ibu enggak sanggup berdiri di sebelah Ayah yang jelas-jelas hatinya sama lelaki baik hati di rumah sakit.”

Tubuh kecil ibu limbung ketika Aksa memeluknya erat-erat. Anaknya nggak bicara apapun, tapi isakan sakit jelas dia dengar. Ibu nggak bisa lakukan apapun selain mengusak rambut berkeringat Aksa.

Seolah bilang semua baik-baik saja karena Ibu sudah bahagia.

“Aksa, dengar. Ibu enggak pernah senang dengan apa yang Ibu tahu tentang kisah cintamu.

Itu salah, jadi tolong.

Jangan seperti Ayah, ya? Kalau mau pergi, pergi aja, jangan coba-coba denial karena perpisahan enggak datang bilang-bilang. Tolong jangan seret wanita manapun yang cuma tahu, cinta itu lugu.”

Buat tiap kata yang Ibu bilang, Aksa resapi sakitnya sampai ke relung hati paling dalam. Dia rekam memori lama tentang kenapa rumahnya mendingin semenjak umurnya menginjak tahun keempat.

Mengingat jelas Ayah yang meratukan Ibu, tapi enggak mengagungkan Ibu. Bagaimana Ayah bertindak, dan Ibu enggak protes.

Harusnya Aksa sadar, dokter kandungan baik hati di rumah sakit, adalah alasan kenapa Ayah lebih frustasi dari biasanya.

“Semangat, ya, Aksa? Bunda nggak bisa bilang bunda rela, tapi namanya cinta, mau gimana?

Sayang, adanya kamu di dunia, itu Ibu jamin disebut anugrah. Enggak apa-apa kalau berbeda sedikit, toh Aksa tetap jadi Putra kebanggaan kami.”

Aksa nggak bisa hentikan laju air matanya. Dia terlalu rapuh seperti gelas kaca di ujung meja, disentuh sedikit akan langsung lebur di lantai.

Aksa mulai mengerti, kenapa Ayah lebih sedih dari yang dia kira. Kenapa Ayah selalu memintanya jadi orang sukses.

Aksa baru mengerti kalau keluhan Ayah pada malam adalah tentang karma.

Tolong jangan hukum Ayah lewat Aksa yang jalannya harus sama.

Aksa baru bisa mengerti, kenapa Ayah bisa mudah menerimanya walau terlihat sangat patah hati.

“Bu, katanya kami ini menyalahi etika. Katanya kami ini bukan khalayak pantas di dunia. Bu, kata mereka, Aksa ini enggak pantas disebut hamba Tuhan.” Aksa lepas keluh kesahnya, dia jatuhkan kepala di atas pangkuan ibu, kakinya yang kebas karena berjongkok di bawah Ibu enggak dia hiraukan.

Aksa sedang mengadu, Ibu memberi waktu.

“Aksara, Dirgantara yang kamu bawa, Ibu beri karena Ayahmu itu Johanes Dirgantara. Kalau bukan dia, Aksa enggak akan setegar ini, kan, ya?”

Lalu Aksa makin jatuh dari tebing putus asanya, nama Malvin menenggelamkannya dan usapan Ibu menyadarkannya kalau dunia masih berputar. Semesta masih bergerak dan Aksa punya banyak hal buat dikerjakan.

“Pulang, yuk? Coba bilang maaf sama ayah, terus peluk Ayah. Bilang makasih karena Aksa dibesarkan dengan cinta kasih. Ayah berkorban banyak, buat hidup Aksa.”

Ibu memang enggak setuju dengan pilihan hidup Aksa, tapi Ibu mohon kebahagiaan buat akhir dari perjalanan putranya.

. . .

Pintu dibuka. Televisi yang menyala di ruang tengah jadi pertanda kalau Ayah sudah pulang dan menunggunya. Siaran ulang dari pertandingan sepak bola kalah menarik dengan riak duka di mata Aksa, Ayah menatapnya dengan iba.

“Egoisnya Ayah, tolong jangan ditiru, ya? Pengecutnya Ayah, juga jangan diulang. Tolong berbahagia, Putra Ayah. Dunia sempurna kalau kamu bilang, Malvian segalanya.”

Aksa merasa dia bisu total dari pagi. Cuma bisa menjawab singkat dalam hati-hati. Aksa merasa dia orang paling patah hati sedunia, lupa kalau Ayah dan Ibu sempat berpisah karena cinta seperti apa yang Aksa rasa.

“Nangis, yuk? Kalau sudah berjodoh, ya namanya takdir Tuhan, kamu enggak salah apa-apa, nak,” kata Ayah, suaranya setenang danau tawar, seringan air dan selembut benang sutra.

Aksa di pelukannya, dia susun dari awal. Semoga sekuat tebing granit, setegar batu karang, juga seleluasa burung di alam bebas.

Aksa dimohon berbahagia, Ayah dan Ibu yang minta. Kalau berhenti di tengah jalan, bukannya kecewa mereka jadi lebih terasa?

Malvin, rumah kita, sebentar lagi jadi.

Bunda menggenggam tangannya dengan erat, nampak cemas tapi Malvin tepis semua takutnya. Lebur semua khawatirnya karena dia tahu, mereka akan baik-baik saja.

Mereka di depan pintu utama sudah seperti siap diadili rasa cemas.

“Halo, maaf baru sampai, ya. Ini ada buah sama makanan. Kakak udah mendingan belum?” Bunda meluruh bersama obrolan orang tua.

Malvin nggak punya teman sebaya di sini, oh, cucu laki-laki pertama. Sisanya cuma satu perempuan sudah menikah dan anak-anak kecil. Malvin nggak punya teman bicara.

“Malviano, sudah besar?” tanya Kakek. Pria tua itu menatap Malvin dengan tatapan dalam.

Sedikit takut.

Bunda diam-diam melempar senyum menenangkan.

“Sayang, menyimpang.”

Dengar retakan hati seseorang? Iya. Punya dua rekan. Satu punya Malvin, satu lagi Bunda yang punya. Dua hati rapuh itu Kakek hancurkan dengan satu kalimat saja.

“Pak, jangan ngomong begitu,” tegur Bunda. Harusnya Malvin tahu kalau acara keluarga ini maksudnya sidang. Sidang buat menghakimi Malvin yang katanya menyimpang.

“Kamu ngedidik anak kamu gimana sih, Teh? Kok bisa jadi salah pergaulan begini?” Bibinya muncul dari dapur. Mencemooh Bunda dengan tatapan menghina.

Malvian nggak ingat perasaan asing bernama jengkel. Bunda dihina dan Malvin cuma bisa diam.

“Iya salahku, soalnya aku jarang di rumah. Tapi jangan salahin Malvin-

“Bisa berdoa, kamu, inget Tuhan nggak? Inget keluarga? Kok bisa jadi banci begini? Bikin malu aja,” cemooh Kakek.

“Bapak! Jangan kasarin Malvin. Anak aku nggak salah apa-apa! Tolong tutur katanya dijaga!” Bunda berseru marah, tangannya memeluk Malvin yang cuma diam denga protektif.

Malvin dengar detak jantung Bunda. Malvin lihat tatapan keluarga yang menghakimi dan menghina mereka.

Bundanya, malaikatnya, kenapa harus terima perlakuan begini?

“Diem! Jelas anakmu ini sakit! Kamu ini becus nggak sih, Windi?! Sudah janda, ngedidik anak enggak bisa juga! Bikin malu bapak tau enggak?! Kalau Ibu kamu tahu, sudah nangis darah dia!”

Nggak. Jangan bawa-bawa Papa dan Neneknya. Jangan hina Bunda begitu. Hati Malvin enggak dicipta buat menerima semua caci maki dan hina dina itu.

Hati Malvin dicipta buat mencintai Aksa dan Bunda sepenuh jiwa.

“MALVIAN ENGGAK SAKIT!!!” jerit bunda. Suaranya menggema di rumah utama, tangis Bunda banjir di hati Malvin, pelukan gemetar bunda melindungi Malvin yang mengutuk alam semesta.

Jahatnya, segini saja, nggak bisa, ya? Malvin sudah terlalu lelah mencerca dunia.

“WINDI!”

“Apa?! Malvin anak aku sama mendiang Chandra, nggak usah ikut campur! Janda begini aku tetap sayangi Malvian! Kalau dia tersesat, aku bisa tuntun balik.

Nggak perlu hina Malvin! Aku aja, aku aja yang dimaki, anak aku jangan, tolong .... “

Malvin tarik tangan bunda, dia peluk Bunda dalam hancurnya perasaan kasih. Luruh bersama lara dan keluarganya menatap dengan pandangan jijik.

Hina Malvin nggak apa-apa, sudah biasa. Tapi menghina Bunda, tolong jangan.

“Terserah! Jangan balik sebelum anakmu sehat! Pergi aja sana! Bikin malu aja!” usir Kakek, menghela napas dan keluarga bubar meninggalkan pelukan dingin antar Bunda dan Malvian. Sofa jadi terasa dingin dan karpet beludru hangatnya nggak terasa.

Buat pertama kalinya, Malvin berpikir kalau lahirnya dia, cuma beban buat Bunda.

“Bunda, maaf,” kata Malvin.

“Bunda sayang Malvian, banget,” jawab Bunda.

“Hotel Golden Tulip, kak,” kata Aksa. Matanya setengah terpejam karena kantuk yang menyerang.

Terima kasih buat Nakara, kebiasaan begadang sampai subuh mengerjakan tugas kuliah, menyetir di pagi buta jelas bukan jadi masalah.

Masalah ada pada Aksa. Anak itu jelas berantakan, cuma pakai celana basket, hoodie saturnus abu-abu, dan wajah bantal.

Anak itu mau menangis, tapi egonya setengah mati bilang; jangan!

“Nangis aja gapapa kali, sa,” celetuk Naka.

“Enggak. Buat apa?”

“Buat lo sama malvian, lah.”

Lalu jendela mobil diturunkan, angin pagi yang menusuk bagai jarum mulai masuk. Asap rokok muncul karena jalanan sepi seakan memperbolehkan Aksa menangis diam-diam. Bercerita pada jalan tol dan angin, ditemani sebatang rokok dan Naka yang memanjatkan doa dalam hati.

. . .

Bukan tempat Naka buat berada di sini. Dia lajukan mobilnya pada minimarket 24 jam dekat hotel. Meninggalkan Aksa yang menenteng sepatu conversenya menyapa Malvin dengan wajah suntuk.

“Ya pagi orang bangsat.”

“Apa-apaan lo?” Malvin jelas nggak mengerti kenapa Aksa menyapnya dengan sinis. Anak itu hangat dalam setelan tidur dan jaket tebal—berbeda dengan Aksa yang mirip gelandangan.

B U A G H !

“ANJING KOK?!” Hantaman sepatu converse telak menggoyahkan Malvin, kepalanya pusing sebentar lantas menarik kerah leher hoodie Aksa dengan nyalang.

Kepala mereka berputar.

“Mau lo apaan?!”

“LO YANG MAUNYA APA ANJING!”

Malvin nyaris layangkan satu pukulan kalau mata merah digenang air enggak dia lihat dalam temaram lampu jalan.

Dibanding membuang kepalan tangan, Malvin memilih merengkuh tubuh lelah yang nampak kedinginan.

“Jangan di sini,” kata Malvin. Dia lihat mobil Naka terparkir di ujung sana, lalu dia seret Angkasa. Bertukar tempat dengan Naka. Mobil mungkin jadi tempat aman bertukar rasa.

“Ini jam lima pagi—mau jam enam, Sar. Kenapa lo nekat ke Bandung?”

Adalah kalimat pertama keduanya setelah hening panjang di dalam mobil. Cuma diisi isakan tangis sok tegar Aksa dan deru napas dingin Malvin.

“Ya lo pikir aja pacar gue nyerah sama hubungan yang susah payah dibangun di jam tiga pagi. Menurut lo gue bisa langsung tidur? Enggak lah tolol,” jawabnya. Aksa jelas kedinginan dan berantakan—tapi hatinya lebih hancur, cintanya lebih dingin karena Malvian nggak berucap apapun selain menghela napas berat.

“Tadi, bukan pertemuan keluarga. Tapi sidang penghakiman. Katanya, gue ini umur doang gede, tapi sayang, menyimpang.” Pandangan Malvin jauh menerawang ke tempat matahari masih malas menyapa. Dunia masih gelap dengan binar cahaya lampu-lampuan.

Insan masih tidur memeluk mimpi tapi Malvin di sini bersama Aksa berseteru luka. Masih sama-sama terjaga demi apa yang orang sebut cinta.

Apanya, cinta enggak, luka iya.

“Terus lo ciut digituin?”

“Ngelawan satu sekolah aja gue mampu, masa begini doang tumbang?” jawabnya sombong. Tertawa sambil bersidekap dada.

Iya. Malvin sudah menantang dunia, dikatai begitu saja jelas enggak mempan.

“Terus? Menurut gue lo enggak menyimpang, lo ada di persimpangan doang. Namanya cinta, memang semuanya satu arah?” Aksa hapus air matanya. Sedikit malu kenapa bisa-bisanya menangis lemah cuma buat seorang Malvian yang bahkan bilang kalau dia menyerah dengan semuanya.

Kenapa Aksa harus repot terlihat menyedihkan?

“Iya bener. Gue enggak apa-apa. Tapi mereka bilang, Bunda itu udah janda, ngedidik anak juga nggak bener.

Mereka ngehina Bunda. Bunda yang gue anggep semesta, Bunda yang gue puja sama cinta melebihi cinta gue ke lo. Bunda yang segala-galanya walau lo tetep sesuatunya gue,” jelas Malvin. Tangannya merambat pada jemari dingin Aksa yang bertaut seperti detak jantung. Mengusap kulit dingin yang disapa angin lebih dulu ketimbang pelukannya.

Tersenyum sedih pada rembulan yang siap-siap pulang—pulang seperti cinta mereka yang gagal dinaikkan ke singgasana.

“Dan lo nyerah, karena nggak tega ngeliat bunda dihina.”

“Iya.”

Aksa nggak tahu kenapa dia yang masih delapan belas harus merasakan patah hati hebat beberapa kali. Masih belum mengerti kenapa Tuhan suka menguji dan Aksa yang diuji hampir mati berkali-kali.

Aksa nggak tahu kenapa dia bisa jadi manusia paling tersakiti di saat ada Malvin yang deritanya sama dibagi.

Mencintai sesuatu nggak pernah terasa sesakit ini, enggak sampai umurmu menginjak angka empat belas.

“Malvin.”

“Kenapa, Sar?”

“Dari sekian manusia, kenapa gue yang nggak suka perempuan ini, bisa jatuh ke seorang lo?”

Semesta punya jawaban, tapi Malvian belum tentu. Jadi dia cuma dengarkan sambil memejamkan mata, menikmati detak nadi Aksa dalam melodi suram.

“Malv, ketika gue tau gue lebih cinta lo yang nyebat di gudang aja keliatan ganteng dibanding sepeda peninggalan Ibu, di sana gue paham, kalau takdir kayanya salah rencana karena ngetemuin kita berdua.

Gue pikir dulu pas tawuran, kenapa ada lo yang jelas-jelas manusia nggak ada semangat hidup?”

Ah, nostalgia. Bagaimana keduanya bertemu, sampai berani menjalin asmara.

“Gimana kita bisa jadi kita yang sekarang, lo sayang enggak sih Malv? Perjuangan kita bolos sekolah sampai lawan satu sekolah. Mertahanin sebungkus rokok sampai mertahanin keteguhan hati,

Buat semua usahanya, apa enggak sayang diserahin gitu aja?” Aksa pandangi wajah lelah Malvin. Masih dia ingat itu adalah wajah yang membuatnya pernah berpikir; sialan, ganteng banget lo, bujang? Manusia bukan?

Jemarinya masih dalam genggaman lemah, dia rasakan hangat kulit dan rasa Malvin. Pagi ini, dia sarapan duka bercampur cinta. Dia isi energi dengan sakit hati dan kisah sedih dini hari.

“Sayang.”

“Merjuangin lo—hal paling susah yang gue lakuin. Tapi sekaligus hal paling niat yang gue kerjain selama hidup. Malvin, tolong gue. Jangan tinggalin gue berjuang sendirian.

Gue enggak bisa apa-apa kalau sendiri,” katanya. Luruh juga rasanya, lemah juga raganya. Berakhir pada pelukan familiar yang sekarang nggak terhalang norma manapun. Pagi pura-pura nggak lihat, kalau di dalam mobil silver ada sepasang adam yang menukar duka dengan segenggam suka.

“Jangan nyerah, Malv, tolongin gue. Jangan nyerah, lo bilang itu ke gue hampir setiap hari. Jadi tolong, jangan nyerah. Rumah kita bentar lagi jadi—

otak kapitalis gue menolak harus jual rumahnya nanti.”

Malvin tergelak tawa, dia sentil dahi mengkerut Aksa, dia goyangkan tubuh ringkih yang butuh tidur.

Aduh, paginya dramatis. Tapi tentang menyerah—Malvin tetap akan lakukan.

“Tapi gue tetep nyerah, ya, Sar? Nyerah sama rasa percaya gue kalau bunda sekiranya bisa ngerti kita.

Gue nyerah sama ekspetasi, yaudah, paksain realita aja. Selagi sama lo, oke-oke aja, kok,” katanya. Tersenyum kecil yang mana mampu mencairkan khawatir Aksa. Mata merahnya meriakkan gelombang suka cita—setitik harapan yang tadinya hilang, perlahan naik ke permukaan.

Malvin pernah menyerah, dia tersesat lalu Aksa datang menyeretnya pulang. Cara kerja cinta, memang seunik itu.

“Bercanda lo jelek banget gue nggak suka. Jangan begini lagi, gue enggak mau mati muda,” sungutnya. Dia lepas pelukan antar raga, menyandarkan tubuh pada kursi dan memejamkan mata. Perjalanannya membawa Malvin pulang, cukum melelahkan. Aksa nggak akan bohong kalau dia sudah menyiapkan hati buat kemungkinan terburuk.

Kalau Malvin putuskan menyerah di tengah jalan—Aksa nggak akan bisa paksa buat kembali pulang.

Tapi Malvin, sepertinya secinta itu pada Aksa.

“Iya maaf, gue kalut. Rasanya semua mustahil sampai gue liat lo di sini, di depan gue—

nggak ada yang mustahil. Nyerahnya gue, tolong dimaafin. Enggak lagi kaya gini, maaf, Sar.”

Buat Jerman, mohon tunggu tautan mereka sampai di sana—cuma sebentar. Tolong jangan kesal karena penantian belum berakhir, ya?

Aksa nggak punya ide apapun ketika Kirana yang kecil ada di rengkuhannya.

Adik perempuannya yang manis, namanya Kirana. Masih kecil sekali, Aksa nggak mengerti bagaimana cara mengurus bayi.

Tapi yang Aksa tahu, dia mendoakan agar Kirana punya hidup lebih tertata ketimbang dia yang berantakan luar dalam.

“Tadi kenapa di bawa ke tongkrongan sih Sar?” tanya Malvin. Keduanya sampai di rumah Aksa dan hal pertama yang dilakukan adalah menyeduh susu dan mengganti pampers Kirana.

“Ki, tengkurep dong.”

“Elu pikir dia paham?” Aksa sinis, dia putar video di kanal youtube tentang kiat kiat memakaika pampers pada batita.

“Ini pelecehan seksual nggak sih?” tanya Malvin was-was. Dia pejamkan mata erat-erat sambil bersusah payah memakaikan pampers.

Aduh, Malvin nggak siap jadi seorang ayah.

“Otak lo pake coba ya agaknya gue capek meladeni ketololan lo. Minggir sana gue mau suapin dia bubur.

Kerjain ekonomi gue dong.”

“Si anjing.”

Lemparan sendok plastik telak menghantam dahi Malvin; kontrol bahasa katanya. Kirana sosok yang lucu, nggak rewel. Aksara akan sibuk menyuapi bubur bayi ketika Malvin fokus pada tugas ekonomi milik Aksa.

Cuma hening yang jadi penengah.

“Bahasa Jerman udah lancar?” Pertanyaan tiba-tiba Malvin membuat Aksa sedikit kaget, timangannya pada Kirana sedikit oleng tapi bayi itu masih tidur lelap.

Lucu.

“Berharap apa lo sama gue?”

“Segalanya.”

Aksa pandangi wajah fokus Malvin. Wajah yang bertahun-tahun menemani Aksa di jalanan, di sekolah, bahkan saat saat pelarian dalam kenakalan.

Malvin ... nggak terlihat berubah.

“Malv.”

“Hm?”

“Kita udah mau lulus aja, ya?

“Masih jauh dodol.”

-serius anying. Udah pertengah semester. Udah sibuk latihan soal, gue udah jarang turun ke jalanan. Bahasa jerman udah jadi makanan, sampai rasanya gue mau muntah.

Dua minggu lagi ada seleksi beasiswa, kita sesibuk ini, ya?”

Kalau ditanya, Malvin jelas tahu kalau sibuknya mereka sedang dalam masa puncak. Bernapas saja sulit, belum lagi segala tuntutan dan harapan.

Ada banyak beban yang belum dibagi, banyak ekspetasi yang harus digali. Tiap pagi Malvin makan nasi dan harapan, Aksa awali hari dengan hafalan kata dan perjuangan.

“Nggak apa-apa, Sar. Kalau akhirnya lo sama gue bisa bahagia, kenapa enggak? Capek sekarang biar nanti bisa santai,” jawabnya. Mengoreksi jawaban ekonomi Aksa lalu menutup buku. Dia buka kelas online di laptop sambil mendengar senandung kecil Aksa yang menidurkan Kirana.

“Iya nggak apa-apa. Lo sama gue udah ngerasain pahitnya perjuangan, segala lo nyerah, segala gue pasrah.

Dua minggu lagi, pas seleksi sama tes akhir, lo sama gue semoga lolos, ya?”

Malvin nggak telan semua kosa kata dan tes online buat gagal di tengah jalan. Malvin nggak memaksa dirinya tetap terjaga di tengah malam buat hasil sia-sia.

Aksa, yang diperjuangkan, akan tetap menang.

Pulang bimbel nggak akan jadi beban kalau saja Aksa nggak dengar remaja urakan di depan gedung membicarakan Malvin.

“Pft kasian siapa suruh menyimpang, bundanya becus ngedidik gak sih hahahah!”

Tawa mereka belum selesai mengudara karena Aksa lebih dulu menyeret keduanya ke gang lima yang termasuk jalan tikus.

Bocah SMA mereka memang bermulut murah. Aksa nggak suka ketika nama Malvian dan Ibunya dilecehkan begitu.

“Mulut lo pernah disekolahin nggak gue tanya?”

Perkelahian itu nggak terelakan. Jelas Aksa kewalahan karena dia lelah fisik dan pikiran—belajar non stop buat dua hal yang dia fokuskan nggak menyangka bisa mengubahnya jadi zombie pendidikan.

Ludah darah, ringisan pilu serta deru adrenalin berpacu—Aksa masih kuat walau banyak luka. Ada harga diri di bahunya.

“Nathan lama anjing,” gerutunya. Bersandar di tembok sambil meringis kecil-kecil, waktu hening yang tercipta dia gunakan untuk membongkar tas—

—ketemu. Catatan matematika. Aksa buka dan kerjakan dalam sempitnya gang lima juga remuknya tubuh setelah bertaruh memperjuangkan harga diri.

“Dek? Dek? Kamu gapapa? Ampunnnn ini luka-luka kenapa malah nyender belajar?!”

Aksa pusing, matanya buram dihalang lelah. Nggak mengerti kenapa ada dokter menenteng sebungkus nasi padang dan kerupuk berseru panik padanya.

“Haduhhh anak muda ayo cepet ke rs tempat saya kerja!”

Iya, Aksa dibawa begitu saja.

(Dibaca sambil dengar lagu Sorai -Nadin Amizah)

—————————————————

Motor beat hijau itu berhenti di pekarangan rumah Malvin. Keduanya masuk rumah karena Aksa mau pinjam kamar mandi.

Haus juga sih, jadi dia langsung melipir ke kamar mandi meninggalkan Malvin yang tepar di sofa.

“Malvin? Sudah pulang, nak? Gimana tesnya? Lancar? Bunda khawatir sekali kalau Malvin nggak fokus. Bisa, nak?” Hati yang tadinya damai sebentar, sekarang melonjak ganas ke luar dari zona aman.

Bunda keluar dari kamar.

“Malv gue pulang ya-

“Aksara?”

-eh, oh, halo, tante.” Raut wajah Bunda berubah. Binar hangat tadi seketika menjadi raut curiga penuh tanya.

“Kamu habis pergi sama Malvin?” tanya Bunda. Malvin bangun dari duduknya tapi Aksa memberi isyarat buat tetap diam—

Diam. Biar Aksa yang lakukan semua hari ini.

“Iya, tante. Saya habis seleksi sama Malvin tadi.”

“Seleksi?”

“Iya, beasiswa ke Jerman.”

Demi Tuhan, Malvin ingin pukul wajah sok santai Aksa, kepalan tangannya siap tapi seruan Bunda lebih dulu hinggap.

“Malvin! Kamu mau pergi ke jerman berdua sama dia? Bunda bilang pergi bukan kabur! Kenapa kamu enggak mau dengar bunda? Bunda sayang kamu makanya tolong dengar!” Pekikkan Bunda luar biasa pilu. Riak air mata di pupil yang tadinya sepekat eboni, kini menatap Malvin penuh kecewa dan khawatir.

“Bunda denger Malvin-“

“APA LAGI?! Kamu ngerti nggak Bunda nggak mau liat kamu dicaci maki, ayo kembali, balik ke bunda ya nak? Bunda mohon, kasian Alm. Papamu, jangan bebani Bunda lagi .... “

Aksa cuma berdiri di belakang. Isak tangis Bunda yang teramat sakit, seolah membisikkan caci maki padanya yang cuma bisa bernapas putus-putus.

Baru kemarin mereka membangun harapan. Apa sekarang harus diruntuhkan?

“Malvin ayo ngomong sesuatu sama Bunda, Malvin tolongin Bunda, Malvin rasanya sakit sekali .... “ Malvin jatuhkan diri pada sofa di belakang. Suaranya habis dipecah sesak, pun Bunda yang meraung nggak bisa dia sahuti.

Malvin hancur dalam naungan dua eksistensi. Bingung memilih yang mana.

“Aksara,” panggil Bunda, dia berbalik menatap nanar Aksa yang berdiri tegar di depan sana. Dia gapai kerah seragam putihnya, dia tarik hingga wajah saling bertatapan.

“Aksara ... Aksa, anak bunda, anak bunda kenapa bisa begini? Kamu tolong kasih tau bunda kenapa Malvian jadi begini ... tolong tanggung jawab kenapa Pradiga punya Bunda jadi begini, nak, tolong .... “

Cuma air mata, tatapan memohon dan putus asa, genggaman lecek pada kerah seragam dan tubuh bergetar Bunda yang jadi pemandangan Aksa. Tangannya mendingin kala tubuhnya digoyang Bunda menuntut balasan.

Memohon jawaban perihal putranya yang kenapa bisa jadi begini.

“Maaf ya, tante, kalau putra dirgantara yang tante banggakan, nggak sesuai dengan harapan.

Tapi tante, tolong relakan, ya? Kalau memang saya yang nggak sempurna ini jiwanya sudah bertaut sama putra tante yang setengah sempurna, direlakan, ya?

Dunia udah nolak kami, jangan sampai tante yang semestanya Malviano juga menolak,” katanya. Tangan naik bertanggar pada bahu yang nggak kokoh kepunyaan Bunda, wajah penuh air mata yang basah dan merah punya bunda menununduk dalam-dalam.

Hati mana yang nggak hancur, ketika apa yang kamu pertahankan sampai kiamat, nyatanya punya jalannya sendiri yang di luar kemampuan manusia?

Bunda yang tengah hancur, dan Malvin yang lebur di atas sofa—bukan kemampuan Aksa buat merengkuhnya.

Dadanya berdebar kencang, bukan karena kepala berat Bunda terkulai pasrah pada bahu tegapnya, bukan juga karena pukulan nyalang bertubi-tubi tangan Bunda pada dadanya yang nggak lebih sakit dari penolakan.

“Malvin, Aksa ini Malvin putranya Bunda, yang Bunda besarin sendiri. Bunda nggak bisa lepas, nggak bisa Bunda biarkan dicaci maki sendirian. Kemarin Bunda besarkan penuh kasih sayang supaya Bunda nggak sendirian.

Aksa, tolong, tolong kembalikan Malvin ke Bunda, Aksa Bunda mohon sekali,” mohon Bunda, tangan dicakupkan di dada, tubuh merosot lemas dan suara tercekat mati rasa.

Bunda memohon buat putranya, tapi Dirgantara nggak bisa lepas dunianya begitu saja. Egoisnya manusia, harus dipaksa.

“Tante, kami nggak ngerti kenapa akhirnya begini, boleh minta waktunya buat tuntun Malvian pelan-pelan? Sama-sama buat mengerti, dunia yang jahat ini punya sedikit ruang buat kami yang begini.”

Jeda sebentar, Aksa turut bersimpuh, memohon sujud pada Bunda yang raganya luruh bersama air mata dan harapan. Memohon ampunan dan kesempatan pada apa yang Malvian panggil semesta.

“Maaf kalau kehadiran dan kelahiran saya buat musibah yang hina kaya gini. Tapi tante, Malvin masih laki-laki, dia bisa ngehasilin uang sendiri, masih pantas disebut kepala keluarga, cocok dianggap panutan. Malviano masih putra kebanggaan Pradiga.”

Aksa jawab semua khawatir Bunda, semua pandangan miring Bunda dan semua risau yang belum pernah Malvin dengar. Putra Pradiga yang hancur cuma bisa menggaungkan duka lewat isakan samar tangisannya. Dia biarkan Bunda menangisi dia, menangisi dia yang menyerah akan cinta, menangisi dia yang lemah di depan Aksara.

“Tante, restu tante, bisa dibagi sedikit aja?”

Buat yang terakhir kali, Aksa memohon, meminta dan berharap. Rasanya sudah di kuras habis di depan Bunda yang nggak punya tenaga buat menjawab. Bunda tahan raungan pilunya dan cucuran air matanya.

Aksa seberani itu bicara, mengungkap rasa dan emosi lewat frasa-frasa patah hati. Bunda yang cuma punya satu hati, harus apa?

“Bunda, maaf, Malvin minta maaf tapi Jerman punya rumah buat kami,” kata Malvin akhirnya, berbisik serak di telinga yang belakangan ini menutup diri darinya. Beranjak dalam duduk frustasinya, berjongkok di sebelah Bunda dan memeluknya erat-erat.

Memeluk semesta yang mau dia curangi, karena dunianya menanti.

“Pamit, ya, maaf tante, Malvin nggak saya ambil, tapi pinjam buat sisa hidup saya, pamit, ya tante?”

Aksa pergi meninggalkan aroma berani dan patah hati. Menyisakan Malvin yang memeluk tubuh bergetar Bunda yang mulai menyerah pada teguhnya pendirian, pada dinginnya hati, pada dengkinya emosi.

Ketiganya tumpahkan air mata buat tiap-tiap insan, teguhkan pendirian buat tiap-tiap mimpi dan terpaksa melepas ikatan sementara dalam sepi.

Sekali lagi, kecewanya orang tua, jelas berbeda dengan patah hatinya seorang anak. Biar lengan yang saling memeluk di atas lantai dingin yang jelaskan; bahwa ikatan Ibu dan Anak nggak bisa dilepas begitu saja.

. . .

“Ayah, hari ini, Aksa buat malaikat orang patah hati sampai hancur, nangis kelewat sesak sampai mohon-mohon ke Aksa.”

Aksa mengadu, pada Ayah yang hatinya lebih lapang. Aksa mengadu, karena tadi dia nggak berikan ijin buat dirinya terlihat rapuh dan goyah—Nggak di depan semesta dan dunia yang tengah dia perjuangkan.

“Putra Ayah sama Ibu memang yang paling hebat, nangis enggak apa-apa, laki-laki juga punya air mata, nak,” kata Ayah, dia tarik kepala penuh beban Aksa, dia sandarkan pada dada lapang dengan detak jantung menenangkan, dia peluk Aksa yang air matanya baru lolos tumpah ruah.

Nggak ada yang bilang, berjuang semenyiksa ini. Nggak ada yang bilang, melawan takdir, artinya mematahkan hati orang lain.

#Rotterdam, Abad Dua Puluh

——— [ tw // mentioning suicidal thought, bomb, world war ]

*Rotterdam, abad ke-20

Hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah.*

———

“Noah, harimu indah?”

Enggak. Mereka bilang rambut biruku aneh.”

Lelaki kuno itu merenggut kesal, hutan terdengar sepi dan detak jantung Noah terlampau stabil.

Emosi Noah tidak bisa Hans baca, terlalu datar tanpa liku. Hans tidak punya kemampuan merasa emosi.

Belum.

“Bagus, kok. Cocok. Noah, senyum sebentar.”

Enggak mau, ini jelek. Kalau bukan Mama yang minta, aku juga nggak mau diwarna,” katanya. Bersandar pada pohon besar dengan napas lelah.

Rotterdam terlampau sepi buat Noah yang hari-harinya macam danau. Tenang tapi kelam.

“Noah, sedih?”

Banget. Kamu memang nggak pernah sedih? Aku setiap hari sedih. Setiap hari mau menangis tapi nggak bisa.

Setiap mau nangis, kamu selalu di sini. Memang nggak punya rumah?” Ditanya begitu, Hans cuma bisa terdiam memandang langit biru.

Tahun dua ribu berlalu dengan kelabu, Hans ragu.

“Rumahku kan di sini? Rotterdam.”

“Rotterdam luas.”

Hans tidak menjawab. Dia biarkan Noah berbaring pada bunga-bunga liar di hutan. Bocah Belanda itu selalu datang kemari untuk berkeluh kesah. Kadang memaki, kadang (nyaris) menangis, kadang hanya diam.

Noah tidak punya sedikit warna atau bahagia. Noah selalu datang atas nama duka, selalu menatap suram ke sekelilingnya.

“Hans,” panggil Noah. Jari menyusur kulit madu yang dingin disapu angin. Suara hewan dan serangga mulai mendominasi.

“Iya?”

“Aku benci orang-orang. Mereka cuma bisa menyakiti. Mereka nggak baik, Hans. Menurutmu, aku harus mati saja?”

“Jangan!”

Hans memekik. Alis anak itu memekik dan segera bangun lalu menatap sengit Noah yang cuma diam. Tidak ada ekspresi berarti seolah yang tadi itu sarapan pagi hari.

“Kenapa? Setiap hari cuma dibully dan disakiti. Mama bilang aku penyebab Papa pergi, Mama nggak bisa melihat lagi jadi dia minta aku jadi biru langit.

Papa nggak dikebumikan, dia dihanguskan sampai asapnya pecah bersama awan,” kata Noah. Muram di wajahnya makin kentara. Lalau Hans perhatikan lagi lelaki itu. Remaja enam belas tahun yang kulitnya penuh luka.

Hatinya hitam direndam sakit dan wajahnya tidak punya senyum berarti.

Lalu Hans baru ingat, dia bertemu Noah sewaktu anak itu mau melompat ke danau. Hans baru ingat, ikatan mereka tidak biasa.

“Noah, kamu indah.”

“Jangan bercanda. Aku ini hina,” elaknya. Segera berdiri mau pergi, tapi Hans tahan tangannya sampai remaja itu terperosok. Keduanya terjatuh dengan tatapan berbeda.

Hans yang memuja, Noah yang biasa saja.

“Enggak. Kamu indah, rambut biru kamu, wajah kamu, suara kamu, sampai langkah kaki kamu. Semuanya sempurna.”

Kalimat Hans menghipnotis, tapi Noah menolak dihipnotis. Senyum kelewat manis Hans tidak mampu membangkitkan gairah Noah yang lama disimpan rapi.

“Rotterdam sepi, lebih sepi dari hatiku yang lama mati.” Keduanya lalu bangun. Duduk saling berhadapan dengan tangan saling menggenggam. Tatapan menyelam sampai dasar dan hati jatuh sejatuh-jatuhnya orang jatuh cinta.

“Rotterdammu dulu, bagaimana? Hans, ayo cerita,” pinta Noah. Dia pasang telinga, dia pandangi Hans yang binar di matanya menggelap.

“Luluh lantak. Rotterdam 1940, pemakaman masal buatku.

Kamu pernah dengar perihal Rotterdam Blitz?” tanyanya. Jemari menyisir biru rambut Noah, menyisipkan anak rambut yang menghalangi pandangan. Angin siang yang segar membuat suasana mendadak nyaman.

Tapi senyum di wajah Noah tak kunjung terbit.

“Pernah. Jerman membombardir Rotterdam waktu itu, kan?” jawabnya. Mengambil jemari di wajahnya lalu digenggam erat. Erat sekali sampai rasanya Hans tidak mau pergi.

Noah begitu indah, Hans ragu kalau Noah adalah manusia. Remaja Belanda bernama Noah, terlalu sempurna.

“Iya. Di sini, di atas tempat kita duduk, kamu duduk di mana aku hangus dimakan api, Noah.”

Pegangan terlepas, Noah teteskan satu air mata samar di atas rerumputan. Jiwanya berkabung tanpa pematik, semakin suram karena Hans menceritakan masa lampau yang mengerikan.

“Rotterdam sekarang, sama suramnya buatku. Hans, jadi hantu, enak?”

Hans tertawa kencang. Perutnya melilit karena humor. Tapi Noah tidak menanggapi tawanya. Mata hitamnya fokus menuntut jawab.

Hans, kamu juga indah. Hans, Remaja Rotterdam 1940, kamu lebih indah dari Rotterdam 2000.

“Jadi hantu enggak enak, nggak ada yang mengajak bicara, nggak satupun yang bisa melihat. Kamu spesial, kamu satu-satunya. Cepat sembuh, Noah,” kata Hans. Tangan menangkup wajah Noah, menitipkan satu kecupan manis sedingin es di pipi porselen milik Noah yang membeku.

“Aku mau jadi kamu, boleh?” Kecupan tadi Noah kembalikan, tepat di telapak tangan milik Hans. Lalu pipi bersandar pada tangan-tangan dingin itu.

Noah yang lelah dengan rasa sakit, maunya kembali pada kekekalan abadi.

Enggak boleh. Noah, hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah,” bisik Hans. Kepala berat Noah dibawa bersandar pada dadanya yang kosong. Pada detak jantung mati yang Noah dengar alunkan melodi pemakaman.

Buat hati Noah yang gersang, mungkin sebentar lagi akan jadi taman bunga karena Hans berusaha.

“Kamu indah, Noah. Pakai ini, jadi makin indah.” Noah tidak sadar ketika dia memejamkan mata, mahkota bunga sudah tersemat di langitnya. Surai biru yang jernih itu dihias mahkota dari bunga.

Satu warna bertambah pada Noah, tapi Rotterdam masih terlihat sepi.

“Mau aku cium, enggak?”

“Mau,” jawabnya. Dia pejamkan mata lalu menerka-nerka, rasa apa yang sesosok hantu Belanda jaman perang dunia bisa hadirkan di bibirnya yang kering tanpa senyum.

“Noah, Rotterdam penuh cinta, kalau kamu tersenyum.”

Sedingin es, setipis kertas, semanis madu.

Hans Si Hantu Belanda ajarkan pada Noah, kalau Rotterdam yang suram bisa jadi riang kalau keduanya menabur cinta dan asmara.

“Hans, kamu lebih indah. Nanti aku susul, ya?”

Rotterdam Abad ke-20, Remaja Belanda beda dimensi berbagi afeksi dan rasa sakit. Noah tersenyum buat pertama kalinya, Hans menangis buat pertama kalinya.

Rotterdam, selesai.

#Rotterdam #Abad #Dua #Puluh

—- [ tw // mentioning suicidal thought, bomb, world war | Haechan as Hans, Jaemin as Noah ]

Rotterdam. abad ke-20

Hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah.

—-

“Noah, harimu indah?”

“Enggak. Mereka bilang rambut biruku aneh.”

Lelaki kuno itu merenggut kesal, hutan terdengar sepi dan detak jantung Noah terlampau stabil.

Emosi Noah tidak bisa Hans baca, terlalu datar tanpa liku. Hans tidak punya kemampuan merasa emosi.

Belum.

“Bagus, kok. Cocok. Noah, senyum sebentar.”

“Enggak mau, ini jelek. Kalau bukan Mama yang minta, aku juga nggak mau diwarna,” katanya. Bersandar pada pohon besar dengan napas lelah.

Rotterdam terlampau sepi buat Noah yang hari-harinya macam danau. Tenang tapi kelam.

“Noah, sedih?”

“Banget. Kamu memang nggak pernah sedih? Aku setiap hari sedih. Setiap hari mau menangis tapi nggak bisa.

Setiap mau nangis, kamu selalu di sini. Memang nggak punya rumah?” Ditanya begitu, Hans cuma bisa terdiam memandang langit biru.

Tahun dua ribu berlalu dengan kelabu, Hans ragu.

“Rumahku kan di sini? Rotterdam.”

“Rotterdam luas.”

Hans tidak menjawab. Dia biarkan Noah berbaring pada bunga-bunga liar di hutan. Bocah Belanda itu selalu datang kemari untuk berkeluh kesah. Kadang memaki, kadang (nyaris) menangis, kadang hanya diam.

Noah tidak punya sedikit warna atau bahagia. Noah selalu datang atas nama duka, selalu menatap suram ke sekelilingnya.

“Hans,” panggil Noah. Jari menyusur kulit madu yang dingin disapu angin. Suara hewan dan serangga mulai mendominasi.

“Iya?”

“Aku benci orang-orang. Mereka cuma bisa menyakiti. Mereka nggak baik, Hans. Menurutmu, aku harus mati saja?”

“Jangan!”

Hans memekik. Alis anak itu memekik dan segera bangun lalu menatap sengit Noah yang cuma diam. Tidak ada ekspresi berarti seolah yang tadi itu sarapan pagi hari.

“Kenapa? Setiap hari cuma dibully dan disakiti. Mama bilang aku penyebab Papa pergi, Mama nggak bisa melihat lagi jadi dia minta aku jadi biru langit.

Papa nggak dikebumikan, dia dihanguskan sampai asapnya pecah bersama awan,” kata Noah. Muram di wajahnya makin kentara. Lalau Hans perhatikan lagi lelaki itu. Remaja enam belas tahun yang kulitnya penuh luka.

Hatinya hitam direndam sakit dan wajahnya tidak punya senyum berarti.

Lalu Hans baru ingat, dia bertemu Noah sewaktu anak itu mau melompat ke danau. Hans baru ingat, ikatan mereka tidak biasa.

“Noah, kamu indah.”

“Jangan bercanda. Aku ini hina,” elaknya. Segera berdiri mau pergi, tapi Hans tahan tangannya sampai remaja itu terperosok. Keduanya terjatuh dengan tatapan berbeda.

Hans yang memuja, Noah yang biasa saja.

“Enggak. Kamu indah, rambut biru kamu, wajah kamu, suara kamu, sampai langkah kaki kamu. Semuanya sempurna.”

Kalimat Hans menghipnotis, tapi Noah menolak dihipnotis. Senyum kelewat manis Hans tidak mampu membangkitkan gairah Noah yang lama disimpan rapi.

“Rotterdam sepi, lebih sepi dari hatiku yang lama mati.” Keduanya lalu bangun. Duduk saling berhadapan dengan tangan saling menggenggam. Tatapan menyelam sampai dasar dan hati jatuh sejatuh-jatuhnya orang jatuh cinta.

“Rotterdammu dulu, bagaimana? Hans, ayo cerita,” pinta Noah. Dia pasang telinga, dia pandangi Hans yang binar di matanya menggelap.

“Luluh lantak. Rotterdam 1940, pemakaman masal buatku.

Kamu pernah dengar perihal Rotterdam Blitz?” tanyanya. Jemari menyisir biru rambut Noah, menyisipkan anak rambut yang menghalangi pandangan. Angin siang yang segar membuat suasana mendadak nyaman.

Tapi senyum di wajah Noah tak kunjung terbit.

“Pernah. Jerman membombardir Rotterdam waktu itu, kan?” jawabnya. Mengambil jemari di wajahnya lalu digenggam erat. Erat sekali sampai rasanya Hans tidak mau pergi.

Noah begitu indah, Hans ragu kalau Noah adalah manusia. Remaja Belanda bernama Noah, terlalu sempurna.

“Iya. Di sini, di atas tempat kita duduk, kamu duduk di mana aku hangus dimakan api, Noah.”

Pegangan terlepas, Noah teteskan satu air mata samar di atas rerumputan. Jiwanya berkabung tanpa pematik, semakin suram karena Hans menceritakan masa lampau yang mengerikan.

“Rotterdam sekarang, sama suramnya buatku. Hans, jadi hantu, enak?”

Hans tertawa kencang. Perutnya melilit karena humor. Tapi Noah tidak menanggapi tawanya. Mata hitamnya fokus menuntut jawab.

Hans, kamu juga indah. Hans, Remaja Rotterdam 1940, kamu lebih indah dari Rotterdam 2000.

“Jadi hantu enggak enak, nggak ada yang mengajak bicara, nggak satupun yang bisa melihat. Kamu spesial, kamu satu-satunya. Cepat sembuh, Noah,” kata Hans. Tangan menangkup wajah Noah, menitipkan satu kecupan manis sedingin es di pipi porselen milik Noah yang membeku.

“Aku mau jadi kamu, boleh?” Kecupan tadi Noah kembalikan, tepat di telapak tangan milik Hans. Lalu pipi bersandar pada tangan-tangan dingin itu.

Noah yang lelah dengan rasa sakit, maunya kembali pada kekekalan abadi.

“Enggak boleh. Noah, hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah,” bisik Hans. Kepala berat Noah dibawa bersandar pada dadanya yang kosong. Pada detak jantung mati yang Noah dengar alunkan melodi pemakaman.

Buat hati Noah yang gersang, mungkin sebentar lagi akan jadi taman bunga karena Hans berusaha.

“Kamu indah, Noah. Pakai ini, jadi makin indah.” Noah tidak sadar ketika dia memejamkan mata, mahkota bunga sudah tersemat di langitnya. Surai biru yang jernih itu dihias mahkota dari bunga.

Satu warna bertambah pada Noah, tapi Rotterdam masih terlihat sepi.

“Mau aku cium, enggak?”

“Mau,” jawabnya. Dia pejamkan mata lalu menerka-nerka, rasa apa yang sesosok hantu Belanda jaman perang dunia bisa hadirkan di bibirnya yang kering tanpa senyum.

“Noah, Rotterdam penuh cinta, kalau kamu tersenyum.”

Sedingin es, setipis kertas, semanis madu.

Hans Si Hantu Belanda ajarkan pada Noah, kalau Rotterdam yang suram bisa jadi riang kalau keduanya menabur cinta dan asmara.

“Hans, kamu lebih indah. Nanti aku susul, ya?”

Rotterdam Abad ke-20, Remaja Belanda beda dimensi berbagi afeksi dan rasa sakit. Noah tersenyum buat pertama kalinya, Hans menangis buat pertama kalinya.

Rotterdam, selesai.