stigma1/stig·ma/ n ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda
commission from anon, bxb, lokal, enemies to friends to lovers, memuat banyak kata kasar, umpatan, adegan kekerasan dan sedikit drama kehidupan.
Kim Doyoung as Pradiksa, Lee Taeyong as Antares, Johnny as Jordan, Yuta as Yudha, Jaehyun as Jendral.
Antares dan Diksa nggak akan tahu kalau takdir bisa bermain-main dalam semalam, bahkan stigma bisa patah dengan mudah olehnya.
“Antares, brengsek. Beneran lo gue pukul kalau ketemu.”
“Ya Allah, Dik. Ini mah salah lo kali, izin ke nyokap mau kerja kelompok malah kelayapan kek berandal. Yang begini mah memang kerjaan Antares, mana bisa lo emosi ketemu dia di tongkrongan?” Sahutan dari Jordan buat Antares mendelik kesal. Emosinya ada di puncak sebab bertemu dengan musuh bebuyutannya; Antares. Si tukang buat onar, nggak punya teman karena pendiam tapi suka buat masalah.
“Ini tugas masih gue kerjain, anjing. Kelar nugas baru kelayapan. Jangan samain gue kaya bocah urakan kaya dia, lah!” jawabnya keki. Harusnya Diksa bisa nongkrong santai usai selesai mengerjakan tugas. Keluyuran ke luar rumah tanpa ditanyai adalah sebuah anugrah, memangnya Diksa nggak boleh menikmati masa muda? Tapi sungguh sial, dia malah bertemu dengan Antares. si bocah banyak gaya tapi enggan bergaul. Bukannya saling diam seperti apa yang dia harapkan, Antares malah mencemoohnya kutu buku yang kebelet nakal.
Anak setan.
“Ya udah, sih. Sante napa? Lu kaya bocah aja dah diledek langsung ngambek. Tiati naksir, gue ketawa paling kenceng.” Giliran Yudha yang buka suara, sudah kepalang bosan mendengar ocehan nggak penting dari temannya yang menurutnya … ribet.
“Amit amit, Tuhan. Lo jangan aneh-aneh, bisa? Jaga omongan atau gue jejelin buku paket pkn,” katanya galak. Paradiksa sudah kepalang kesal, nggak ada lagi niatan untuk nongkrong bersama teman-temannya. Jordan yang merokok, Yudha yang main game, dan Jendral yang tidur tanpa merasa terganggu sedikitpun dia tinggal begitu saja.
“Hati-hati, dek. Awas dimarah mama!”
“BACOT LO BABI!!!”
Tawa pecah di belakang sana, Diksa nggak lagi pedulikan dan fokus berjalan pulang. Nggak membawa sepeda motor atau kendaraan lain, nggak juga memesan ojek online. Dia berjalan kaki guna menekan emosinya. Baru jam lima sore dan dia sudah terima banyak sekali panggilan juga pesan dari Mamanya untuk pulang.
Jujur, Diksa muak. Dia sudah besar, dia mau bebas dan berhenti jadi anak pintar yang luar biasa. Diksa masih bisa raih juara umum tapi bebas nongkrong sampai jam sepuluh malam bersama temannya, kan?
“Dek, hati-hati pulangnya. Nanti diculik, loh? Makanya denger mama jangan pulang malem. Bandel, sih!”
Langkah kaki malasnya lantas berhenti begitu dengar suara yang mengejek dari ujung sana. Matanya memincing begitu lihat sosok yang nggak asing duduk di atas kursi beton dekat pohon di pinggir trotoar. Si bajingan tengik yang sok keras itu lagi.
Larinya langsung jadi kencang, dengan emosi memuncak dan aura dingin menghampiri Antares di ujung sana. Tanpa babibu lagi, Diksa raih kerah seragam batik Antares dan membuat mata mereka bertemu dengan dekat.
“Gue peringatin lo sekali lagi ya, anjing. Stop ngerusuhin gue atau lo gue injek di muka,” desisnya marah. Antares dibuat lebih rendah, tersandar pada pohon sampai kehilangan kata-kata sebab wajah Diksa begitu dekat dengannya. Seketika otak membeku dan kalimat hilang di ujung lidah. Sial, Diksa membuatnya mati kutu.
“Jauh-jauh, anjing. Kaya gay!” teriak Antares. Dia lepas paksa cengkeraman Diksa dan segera meludah. Pergi begitu saja dan buat Diksa menggigit pipi dalamnya saking kesalnya. Antares persis hantu yang memang datang hanya untuk membuatnya kesal.
Ding dong!
“Ma, Kakak pulang!”
“Kakak, kenapa baru pulang? Dari mana aja kamu? Bener belajar kan tadi? Telfon mama kenapa nggak diangkat sih Kak?” Mama langsung mengoceh begitu Diksa menyapa. Nggak dia hiraukan, hanya sekedar maaf dan berlalu begitu saja melewati ruang tengah.
“Adeknya disapa, Kak!” teriak Mama kencang. Diksa memutar mata malas, melirik bingkai foto dari anak lelaki manis dengan sebuah guci antik di depannya.
“Dek, kakak pulang,” katanya malas. Langsung pergi ke atas untuk mandi. Mama yang melihat hanya bisa menghela napas berat. Nggak mampu berkata-kata dan membiarkan anaknya masuk kamar dengan langkah enggan.
“Adek, adek, adek. Gue jadi bocah nggak boleh main gara-gara lo. Tapi lo udah nggak ada, gue mana bisa marah, hhh. Dek, Mama stress. Kamu … yaudah lah.”
Malam itu, Diksa tetap turuti kata Mamanya untuk belajar sampai malam dibanding nongkrong di luar dan (mungkin) bisa celaka. Dan malam itu juga, Diksa diam-diam mengeluarkan sebungkus rokok yang dia simpan di bawah kasurnya. Menyelinap ke kamar mandi dan berdiri dekat ventilasi, mengisap rokok dengan khidmad. Menikmati nikotin sendirian supaya otaknya bisa lebih lega barang sepuluh menit.
Diksa juga ingin bebas.
“Lo bisa berhenti ganggu orang ngga, sih? Sumpah, kaya bocah. Kelakuan lo kaga ada lakinya gue liat-liat.” Cemoohan lain datang merundung Antares yang bebal. Dia sumpal telinga dengan headset dan menikmati kelas pagi dengan damai. Apalagi yang dia bisa lakukan selain abai?
Satu sekolah juga pasti membela Pradiksa si anak teladan—yang sebenarnya amat menyedihkan. Ingin nakal tapi terhalang restu Mama.
Siang ini pun, Antares nggak punya kegiatan lain selain menatap Diksa dengan jengah dari kejauhan. Anak itu masih sama. Penuh kepalsuan. Boleh jadi sungguhan kalem tapi amat sangat mudah tersulut emosi. Rajin dan teladan tapi tetap saja bengal di luar. Kalau ditanya kenapa Antares nggak suka dan benci pada Diksa; nggak ada jawaban khusus. Dia cuma terganggu dengan kepalsuan remaja itu, dan sepertinya Diksa juga cukup terganggu dengan eksistensi Antares.
“Sekali aja, lo pulang jam sepuluh deh, bos. Kaya bocah lo buru-buru mau pulang begitu ditelfon Mama,” cibiran menjengkelkan lainnya datang di tengah petang. Diksa menenteng tas dan menghela napasnya berat. Antares nggak membiarkannya bernapas dengan lega barang sedikitpun.
Tapak kaki mendekat ke ujung gang di mana Antares merokok santai dan memberinya tatapan meremehkan. Dipikirnya, Diksa hanya akan lewat dan mengabaikannya seperti biasa.
Buagh!!
“ANJING!”
“Lo mau berantem sama gue, ya, bangsat. Jangan kaya bocah lo ngajak rebut mulu!” seru Diksa usai menghantam Antares dengan tasnya sampai limbung. Mata remaja urakan itu menyalang, bangun dengan merintih dan menarik kerah Diksa, menyeretnya ke dalam gang dan perkelahian nggak bisa dihindar.
Diksa yang lelah dan hilang sabar, juga Antares dengan egonya yang terluka. Keduanya saling pukul dan menyerukan kalimat provokasi. Gang di petang hari yang gelap jadi arena tempur dua remaja laki-laki yang belum tahu makna hidup.
“Lo, bangsat, lo kenapa selalu cari gara-gara, sih?! Naksir lo sama gue?” tanya Diksa begitu berhasil memojokkan Antares di tiang listrik sebelum tikungan. Yang ditanya memasang wajah jijik.
“Idih? Naksir cowok mah pilih pilih gue. Lo kali yang naksir gara-gara sering gue gangguin-AGH!”
“Bacot,” desisnya marah. Berhasil membanting Antares ke atas tanah sebelum sebuah jeritan nyaring membuat keduanya membeku. Tubuh nggak bisa bergerak. Diksa pikir mereka bertemu hantu tapi Antares dengan reflek menengok ke tikungan.
“Anjing … hantu? Pantes Mama nyuruh pulang sore.” Bisikan horror dari Diksa membuat Antares makin kesal, keinginananya untuk menjambak rambut hitam cowok itu lenyap begitu matanya menangkap adegan mengerikan di depannya.
Perampokan. Seorang wanita dirampok dan disiksa oleh segerombol bajingan sampah dunia.
“Lo diem, lo diem … jangan berisik atau kita mati. Telfon polisi, Dik. Diksa brengsek, telfon polisi atau kita juga mati di sini?!”
“Lo ngapain ngerekam?! Jangan nyari gara-gara, kabur, Antares! Ini bukan drama di mana lo bisa jadi sok superhero!”
“Seenggaknya kita punya bukti!”
“Kita? Lo aja sana gue nggak mau!”
Mungkin keduanya nggak bisa merasakan marabahaya yang mengincar mereka di sana sebab terlalu sibuk beradu mulut. Ponsel pintar Antares merekam kejadian keji di depan mereka, nggak sempat melihat kalau wanita malang tersebut sudah embuskan napas terakhir dan gerombolan bajingan itu acungkan benda tajam ke depan mereka seakan sudah mengunci target selanjutnya.
“Asu, buang telfon lo atau mati sekarang?!” seru dia yang bermasker hitam. Diksa menahan napas. Dalam dua jam sudah siap dieksekusi mati. Kenapa hidup bisa jadi film dengan singkat, huh?!
“Kasihin telfonnya, Antares!”
“LARI LAH TOLOL!!” tanpa babibu, Antares mengantongi ponselnya yang masih menyala, menarik lengan Diksa dan berlari amat kencang ke luar dari gang. Tas Diksa terjatuh di tempat kejadian dan isinya berceceran. Pandangan berkunang-kunang sebab duanya terlibat perkelahian kecil sebelumnya—tapi Antares nggak melepas genggaman tangan mereka sedikitpun. Berlari kencang entah ke mana, seenggaknya mereka berdua bisa menghilang dan kabur dari bajingan tanpa hati di depan sana.
“Hah ... hah … lo, anjing, nggak ngotak. Sumpah! Lo harusnya kasih hp lo dan kita nggak perlu lari, goblok!” seru Diksa marah. Keduanya ada di sebuah kamar mandi minimarket 24 jam. Jalanan berliku dan berkelok-kelok, Diksa sama sekali nggak tau mereka ada di mana.
“Lo yang goblok! Mereka begal, pembunuh, lo mau sujud kasih hp juga bakal diabisin. Bukannya terima kasih gue bawa kabur ke tempat aman. Lagian gue heran. Rasa kemanusiaan lo tuh di mana, gue tanya?”
Diksa terdiam mati kutu. Nggak bisa menyahut—selain karena badannya tremor dan dada berdebar kencang. Raut marah Antares yang dia lihat dari atas sini buat dia terpaku. Bagaimana bisa? Antares yang urakan dan gemar mengganggunya punya rasa kemanusiaan yang tinggi. Tetap memikirkan keadilan bahkan ketika nyawa jadi taruhan.
“Tapi tetep, kita bakal mati gara-gara lo rekam pakai hp.”
“Makanya kita harus ke kantor polisi buat laporan supaya aman, tolol!”
Diksa berdecak emosi. Meski matanya fokus menatap wajah penuh keringat Antares di gelapnya kamar mandi belakang minimarket, otaknya masih menolak skenario pelarian ini.
“Lo pikir polisi di Indonesia itu kayak avengers?” elaknya lagi. Diksa cuma nggak mau nyawanya terbuang sia sia karena coba coba jadi superhero. Mama masih menunggunya di rumah. Seharusnya dia pulang, bukan terjebak bersama Antares yang menyebalkan di sini.
“Demi Allah, Pradiksa. Jujur gue emosi banget liat muka sok baik lo di sekolah padahal aslinya kayak begini tapi gue tetep salut soalnya lo patuh banget sama Mama lo tapi tetep aja lo ngeselin monyet,” katanya dengan mata memincing. Antares menarik napas lagi seolah ingin menyemburkan semua amarahnya. “Tapi jadi anak gak pedulian tuh liat situasi bisa gak? Gue nih blangsakan dan jarang diurus aja ngerti sepenting apa nyawa orang sama kepedulian buat bisa bertahan hidup. Lo kalau gak mau, ya udah, pulang ke Mama. Besok gue ke kantor polisi jam delapan pagi jadi saksi dan bawa barang bukti.
Gue nginep di kamar mandi ini, gih pulang!”
Kalimat panjang dari Antares membuat Diksa bungkam. Makin lama dia perhatikan wajah Antares, makin penuh isi kepalanya. Kagum yang tadi disisipkan dalam kalimat ceramah buat napasnya berhenti sejenak—Diksa suka dipuji sebab Mama nggak pernah memujinya. Diksa benci orang di depannya karena gemar mengganggunya tapi jujur saja, Diksa juga mau jadi seperti Antares yang punya rasa kepedulian tinggi dan sedikit rasa takut.
“Gue balik pas matahari terbit. Terserah lo mau ke kantor polisi modal rekaman hp doang,” sahutnya kemudian. Kini berjongkok di atas ubin kamar mandi karena kakinya pegal. Mereka nggak tau kenapa harus bersembunyi di sini—bisa saja pergi ke luar, tapi bagaimana jika para bajingan itu berkeliaran di luar?
“Terserah lo, berandal gini seenggaknya gue bisa bawa keadilan buat korban nanti, lo gak tau kan susahnya diabaikan waktu dibutuhin?”
Terjebak berdua bersama Antares semalaman buat Diksa sadar; sejatinya semua orang cuma butuh dimengerti dan diperhatikan—termasuk dirinya.
Antares nggak berharap apapun pada Pradiksa. Manusia itu terlalu acuh dan takut mengambil resiko. Auranya boleh jadi mengintimidasi dan terkadang buat dia ciut, dan katanya tampan (ew?), tapi acuh dan nol rasa kasihan.
Maka sesuai kalimat yang dia lontarkan semalam, Diksa pulang di jam enam pagi. Meninggalkannya sendiri di depan kantor polisi, hendak melapor kejadian mengerikan semalam bermodal rekaman ponsel yang batrainya sisa delapan belas persen.
Sial, dia panik. Baru masuk ke halaman depan tangannya sudah gemetar. Bagaimana kalau orang-orang nggak percaya? Apalagi tampangnya lusuh dan banyak luka belum kering. Apa televisi belum menayangkan berita ini? Apa Wanita itu dibuang begitu saja? Apa usaha Antares akan sia-sia?
Puk!
Antares terkesiap, reflek menengok dan matanya melotot begitu melihat Diksa yang sudah Kembali bersih dan wangi berdiri di belakangnya. Remaja itu tersenyum tipis dan satu alis terangkat—sok ganteng.
“Ngapain lo di sini?” tanyanya sinis. Denial kalau hatinya lega.
“Jadi saksi.”
Dua kata dari Diksa pancing senyum lebar dari Antares. Pradiksa itu …. Sebenarnya peduli. (Hanya waktu berpikirnya saja yang lama, ck.)
“Lo duduk. Tampang udah kaya gelandangan, luka sana sini. Makan gak lo sebenernya tadi? Orang lain diduluin, diri sendiri sekarat. Waras?”
Nggak akan ada yang menyangka pemandangan ini—Pradiksa dan Antares yang kalau bertemu akan pancarkan aura peperangan tengah duduk berdua di depan minimarket. Pradiksa yang mengomel dan Antares yang setengah cemberut menelan roti dari uang Diksa.
“Bangsat sakit—ya Allah pelan-pelan??!”
“Siapa suruh punya luka bukannya dicuci bersih. Infeksi gimana? Masih untung gue obatin. Diem, gak?” balas Diksa galak, langsung membuat Antares ciut dan terdiam. Dia makan dengan khidmad, membaca berita dari ponsel Diksa sembari lelaki itu mengobati lukanya dengan teliti.
“Lo kenapa mau jadi saksi?” tanyanya tiba-tiba. Diksa masih sibuk pada jari tangannya yang sobek, hanya berdeham sebagai respons.
“Lo bilang jadi manusia harus peduli. Karena gue udah lama nggak dipeduliin, gue mau jadi orang yang peduli,” jawabnya pelan. Diksa pulang dengan harapan Mama mau mendengar ceritanya. Dimarahpun enggak apa-apa, dia maklum. Tapi Mama hanya marah dan mengabaikannya begitu saja. Dia nggak dipedulikan dan Diksa teringat dengan kalimat bijak Antares.
“Sebenernya banyak yang peduli sama lo.”
“Siapa?”
“Gue.”
“Idih, geli.”
Yang di mulut belum tentu sama dengan yang di hati. Cukup lewati satu malam bersama, Diksa sudah punya euphoria sendiri—dia senang dipedulikan. Dan bagi Antares, dijaga dan diobati dengan hati-hati oleh Diksa cukup membuatnya tersentuh.
Dua remaja yang masih mencari jati diri ini nggak tau kalau takdir bisa bermain-main dalam semalam. Suka? Belum. Keduanya masih menduga-duga, masih menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis.
“Kalau pacaran mah gue kaga kaget,” kata Jordan pada Yudha di parkiran minimarket. Anteng melihat drama picisan di barisan kursi di depan sana.
“Memang benci sama cinta tuh tipis, setipis waktu kita buat sekolah alias buruan berangkat anjing, mereka kaga usah ditontonin????????”
Sekali lagi, perasaan dan takdir bisa berubah dalam semalam.
[ litaniraya.]
oneshot ini berpotensi punya kelanjutan.