pridehyuck

TW // suicide, mental ilness, mentioning someone with high suicide attemps

tags nomin, bxb, commission


“Nggak semua orang punya rumah, Jeno. Banyak dari kita yang tersesat di jalanan.”


Jaemin, ya?

Laki-laki itu kelihatan lesu sepanjang hidupnya, menurut Jeno. Aktivis lingkungan yang lumayan sering beraksi di tempat-tempat butuh perhatian.

Oh! Jaemin punya anjing. Siapa namanya? Nggak tahu. Jeno akan coba ingat.

“Americano!”

“Hah?”

“Oh, halo. Ini anjingku, Americano. Ame, say hi.”

Jeno cuma bisa tersedak ludahnya sendiri waktu Jaemin memperkenalkan anjing berbulu pendeknya. Namanya Americano, catat.

“Emm, Jaemin. Kalau kamu nggak keberatan, nanti malam ikut pesta … seratus ribu subscribers Youtubeku, mau? Kita kan sudah jadi tetangga apartemen lumayan lama … haha. Kalau kamu enggak sibuk aja, sih.” Detak jantung Jeno nggak stabil, bung. Bicara dengan Jaemin butuh mental dan psikis yang bagus, karena omongan laki-laki tanpa gairah hidup itu lumayan dingin.

Well, Jeno orang hangat. Terima penolakan dan jawaban dingin jelas membuatnya shock.

“Maaf, aku sibuk. Aku juga nggak kenal teman-temanmu. Aku juga gak tau kalau kamu Youtuber. Apa nama channelnya? Aku nggak tahu. Anyway, selamat. Permisi.”

Kan.

Jaemin itu menyebalkan. Setiap hari menuruni tangga apartemen dengan kibasan ekor anjing di belakangnya, dua sejoli itu selalu lewat dengan plastik sampah besar dan bekal air minum di botol transparan berkapasitas satu liter.

Kadang jalan kaki, kadang bersepeda. Ironis mengingat Jeno sangat mengerti kebiasaan tetangganya itu. Sedangkan Jaemin bahkan nggak tahu kalau Jeno itu Youtuber yang banyak iklannya.

Entah Jeno nggak penting, atau Jaemin yang nggak begitu peduli dengan kebutuhan manusia buat bersosialisasi.


“Americano, kerja bagus.” Tolong jangan tatap Jeno dengan pandangan menghakimi karena menguntit Jaemin yang sibuk memungut sampah di jalanan bersama anjingnya.

Jeno penasaran. Kenapa manusia setampan Jaemin sangat betah sendirian, enggan bertegur sapa dan jarang tersenyum. Sisi naif Jeno memberontak, mau lihat senyum Jaemin. Mau tahu kalau tetangganya itu masih manusia atau jelmaan setan yang gagal sebrangi neraka.

Jaemin, ayo katakan sesuatu.

“Kamu katanya Youtuber? Hari ini kontennya apa? Membututi tetangga apartemenku selama dua puluh empat jam? “ seru Jaemin dari dekat pohon maple, menguyah sandwich isi daging sambil minum americano—kopi, bukan anjingnya.

“Uh .. maaf. Nggak, aku nggak bawa kamera, kan? Anu … “

“Kalau nggak punya hal bagus buat dibicarakan, lebih baik pulang, aku alergi orang sok kenal,” katanya dengan dingin. Sudut hati Jeno yang lembut tersakiti, rupanya. Dia cuma penasaran dan mau berteman. Jaemin sendirian dan itu mengganggu sisi social butterflynya.

Bukannya hidup akan lebih berwarna kalau semua orang saling kenal dan berbahagia?

Oh .. Jeno yang naif. Belum mengerti kalau dunia diisi kaum pencari suka dan kaum penuh duka.

“Kamu kenapa, sih? Kita sudah jadi tetangga dari jaman aku iseng ngevlog dan Americanomu masih bayi yang suka merengek. Tapi sikapmu dingin sekali. Apa nggak mau bersosialisasi? Sekali-sekali bertegur sapa dan habiskan waktu bersama.

Hubungan itu indah, Jaemin.”

Hubungan itu indah, Jaemin. Katanya. Otak berkarat Jaemin bekerja dengan keras. Sisi gelap yang dia punya dipaksa naik ke permukaan. Perasaan aneh dan mengganjal kembali penuhi dirinya yang berusaha tenang selama bertahun-tahun.

Jaemin marah. Jaemin sedih. Jaemin susah. Jaemin bahagia. Jaemin terganggu.

Nggak ada bedanya, semua sama di mata Jaemin. Jeno ini bicara apa? Jaemin nggak mengerti tentang suasana hati dan apa yang dia rasa. Jeno, berhenti bicara omong kosong.

“Aku nggak bisa bedakan orang yang mau berteman atau orang yang mau datang buat jatuhkan aku ke lubang penderitaan. Semuanya sama. Maumu apa? Bilang.”

Americano menyalak karena aura Jaemin mendadak suram dan seram. Tatapan mata yang sayu itu melayu, remasan pada kantung sampah makin kuat.

“Maksudku baik. Serius! Jangan salah paham. Sesekali carilah teman, aku kasihan lihat kamu sendirian, jalan-jalan memungut sampah bersama anjing. Seenggaknya kamu harus punya rumah buat berpulang.

Misalnya … aku? Nggak. Maksudnya, kita bisa jadi teman dan berbagi banyak hal.” Nada suara Jeno menciut di akhir. Sadar salah bicara, tapi ego karena ditolak makin tinggi. Jeno nggak mau dipermalukan, itu saja, kok. Kalau Jaemin iyakan perkataannya barusan, dia akan segera pulang dan anggap ini semua nggak pernah terjadi. Sumpah!

“Nggak semua orang punya rumah, Jeno. Banyak dari kita yang tersesat di jalanan. Jangan bilang padaku kalau yang selama ini aku rasa enggak valid. Aku nggak tahu fakta apa yang aku coba curangi.

Tujuanmu apa, sih?”

Sebentar. Jeno merasa direndahkan. Dia cuma datang, mau mengajak Jaemin berteman karena merasa harga dirinya dilukai perihal … apa? Jeno juga nggak tahu kenapa dia merasa terluka sedemikian rupa.

Rumit. Jeno cuma mau Jaemin lebih memerhatian sekitar dan bergaul. Jangan abaikan dia yang mencoba meraihnya.

Oh, seseorang terdengar frustrasi karena ditolak dan diabaikan, huh?

“Kamu mau dengar fakta? Fine. Kamu butuh rumah buat pulang. Kamu butuh teman buat berkeluh kesah, kamu terlalu kesepian, kamu cuma peduli dirimu dan nggak mau lihat sekitar. Manusia hidup untuk masuk dalam sebuah hubungan, bukan menghindar dan menyalahi lingkungan.”

Jeno, chill. Jantungnya berdetak cepat karena Jeno sendiri nggak mengerti kenapa dia emosi. Fine. Jeno tersinggung karena Jaemin selalu menolak ajakan berteman dan sapaannya. Jeno lumayan suka kepekaan Jaemin terhadap lingkungan. Tapi benci setengah mampus dengan sikap tidak pedulinya.

Seenggaknya, Jaemin harus mengerti kalau mereka tetangga dan punya peluang bersama yang besar. Sekedar tegur sapa … apa Jaemin nggak mau?

“Berhenti jadi pecundang dan anggap semua orang sama. Banyak yang peduli tapi kamu abaikan. Selamat bersih-bersih lingkungan.” Dengan satu kalimat dingin, Jeno tinggalkan Jaemin yang memandang kosong jalanan.

“Ah … jadi aku hidup itu nggak ada tujuannya, toh. Yasudah. Hari yang cerah buat gantung diri. Aku bosan dengar alasannya.”


Pesta subscriber keseratus ribu milik Jeno nggak berjalan baik. Kamar apartemen di sebelah mendadak ramai karena Jaemin pilih akhiri semuanya waktu bir ditenggak dan musik dihidupkan keras-keras.

Jeno gagal selamatkan Jaemin yang putus asa tanpa emosi dan rasa untuk tetap bertahan hidup. Gagal lagi. Tindakan meyakinkan yang gagal kesekian kali. Jeno nggak bisa hitung sudah berapa kali dia beri kalimat motivasi dan nasehat.

Jaemin susah disentuh. Begitu tahu kalau hidup harusnya begini dan begitu, jiwa rusak yang lama dipaksa bergerak itu terperosok juga. Jaemin menyerah. Dia rasa hidupnya cuma sebuah beban berkepanjangan.

“Harusnya aku paksa dia diam di rumah dan kuhujani dengan cinta dibanding menuruti kemauannya untuk dikerasi. Harusnya aku sayangi dia agar tetap bertahan dibanding menjejalinya dengan banyak kalimat sok tahu.

Americano, menggonggong untuk bilang aku bodoh.”

Americano menggonggong siang itu. Jeno lalu paham, nggak semua orang punya tempat untuk pulang.

Sebagian memilih berpulang karena bertahan bukan lagi pilihan. Kalimat omong kosong sudah nggak ada harganya lagi, semua melayang.

[ litaniraya ]

305

Demi iga bakar enak di perempatan jalan besar. Mavrick nggak berniat melaksanakan prank sampai sebegini jauhnya, sumpah.

Egonya dipancing, bisa apa selain terpancing?

“Kakak mau ke mana?” Kalimat penuh tanya dari Cleo cuma dia jawab dengan lambaian tangan tanpa suara. Bergegas masuk ke mobil dan menuju hotel tertera.

Dia yang ngeprank, kenapa jadi dia yang merasa terkejut?

“Gue udah di depan 305. Ke luar lo monyet,” katanya. Perawakan angkuh Mavrick dasarnya cuma benteng supaya nggak tertangkap basah sedang gelisah. Mana tau sampai di dalam dia temui Juddith yang sedang telanjang .... maksudnya Ashley.

Cklek.

“Oh, hello there, Prank Boy.”

Satu sapaan dari Ashley mampu sadarkan Mavrick dari lamunannya. Oh, damn. Manusia gila mana yang manyambut tamu dengan tampang acak-acakan?

“Jangan bilang lo ngamar sama orang lain dulu baru sama gue?” “Kaya yang gue mau ngamar sama lo aja?”

Bangsat. Mavrick langsung bungkam melihat wajah puas Ashley, tawa tertahan tapi mata nggak bisa berbohong.

“Terus gue harus apa?” tanyanya. Pintu ditutup dan Mavrick pilih dudukkan diri di atas ranjang hotel. Peduli mati pada Ashley yang nampak menghakiminya.

“Lo bisa apa? Lagaknya sih yang paling oke kalau di twitter.” Jemari menyisir rambut. Mavrick bisa bilang kalau Ashley adalah seorang profesional. Caranya bicara dan caranya menyentuh ... Tuhan. Menyesal adalah hal paling konyol yang mau dia akui.

“I can make you wet using my fingers,” bisiknya. Jari balas menggenggam jari dan Ashley sudah di bawah kuasanya. Siapa bilang Mavrick suka kelembutan?

“Aduh, mainnya kasar. I can make you feel dizzy by only hearing my moan, gimana, tuh?” “Ash .... “

Mavrick dan semua skenario kotornya. Nggak ada lagi nama Cleo juga prank di otak kecilnya. Cuma ada bagaimana caranya membuat Ashley lemas dan menyerah di bawah kuasanya. Jangan main-main dengan Mavrick.

Bibir yang tadinya pasang seringai culas, kini habis tenggelam dibanjiri saliva. Tangan saling remas dan suara bersahutan di bawah langit-langit hotel yang remang.

Pakaian? Mereka nggak butuh itu kalau kulit bisa saling hangatkan diri. Keduanya bergelut dan buat ruangan jadi acak-acakan. Mavrick bisa tunjukkan kalau dirinya dominan tapi Ashley punya harga diri yang dipertaruhkan.

Prank? Bukan, mereka bersatu atas dasar ingin. Ha, jangan percaya laki-laki dengan ego dan hormon yang sedang tinggi-tingginya.

Malvin nggak pernah mengerti jalan pikiran Aksa. Mendengar cowok sangar itu berjualan cilok saja sudah aneh. Apalagi menghilang di tengah perkelahian hebat antara anak SMK sebelah dan SMA mereka?

Motor nmax itu menggilas aspal dengan emosi tanpa reda. Khawatirnya menang dibanding kewarasan. Adrenalin berpacu bersama roda yang ikuti alur detak jantungnya.

Aksara, tolong jangan terluka.

“Kok kosong .... “ herannya. Gang empat dekat perempatan sudah kosong dengan sampah berserakan. Yang dia lihat cuma para pedagang kaki lima ..... dan penjual cilok menarik atensinya.

“Bang. Di sini habis ada tawuran, ya?” tanyanya. Bang Hanan sibuk bermain Mobile Legend, terpaksa menengok lalu memasang senyum karena kenal dengan Malvian.

“Halo Kak. Hooh, udah kelar, sih,” katanya sambil tersenyum ramah.

“Aksara .... ada di mana, bang?” Bang Hanan mengerutkan dahinya tanda berpikir. Mungkin asing dengan nama cowok yang dia sebutkan. “Yang ganteng itu, yang bantuin abang jualan cilok,” tegasnya lagi.

“Oh! Si beat hijau? Dia mah udah pulang, Kak! Kakak temennya? Bah! Mau bilang makasih sama dia, soalnya cilok saya laku terus semenjak sama dia dijualin. Ibu-ibu hajatan juga beli di saya, tau!”

Kali ini giliran Malv yang mengernyit bingung. Pikirnya Aksa cuma main-main tapi lihat apa yang pacarnya lakukan di sini? Apa nggak semakin aneh?

“Dia kerja sama Abang?” “Lah iya katanya mau nambahin uang saku.”

Semakin aneh. Malvin sudah nggak bisa berpikir, perutnya mendadak lapar dan kepalanya pening. Aksara entah di mana dan semua makin runyam.

Saat yang tepat untuk mengumpat.

“Bang ..... mau cilok, dong. Lima ribu aja.” “Yah, kak. Udah sold out! Sama si beat hijau ditawarin ke yang tawuran terus pada bubar beli cilok.”

Malvin nggak berkata-kata lagi. Dia hela napas berat lalu sakunya mendadak bergetar. Nama Resha tertera di layarnya. Niat hati mau mangabaikan, tapi bagaimana jika Aksara ada bersama Fahresha?

“Aksara kan di rumah lo? Kaya biasa, nyebat sambil order ayam geprek di depan gerbang rumah nungguin lo pulang,” katanya. Percakapan usai tepat saat informasi diberikan. Malvin nggak memikirkan apapun selain menarik gas nmaxnya, putar arah dan segera sambangi rumahnya sendiri.

Aksara, harusnya ada di sana.

“Heh monyet, anak setan, manusia bangsat!” serunya. Malvin bahkan belum menurunkan standar motor tapi sudah bersumpah serapah. Emosinya mendadak terbakar melihat Aksa menyudutkan rokok sembari meminum teh pocinya. Kotak ayam geprek ada di atas serokan siap dibuang.

Malvin rindu ini.

“Ada apa sih kawan, marah-marah mulu nanti jadi jelek.” “Dari mana aja sih lo bang-“

Hening. Pertanyaan Malvin nggak terselesaikan sebab Aksa bangun dan serahkan satu kotak padanya. Pandangan saling menatap dan kini Malvin yang nggak punya jawaban apapun. Cowok itu bingung setengah mampus.

“Met ultah, ye,” katanya. Paras Malvin guratkan kata ‘hah’, kotak dengan cepat berpindah tangan dan Aksara tersenyum kecil.

“Kan lo ulang tahun kemarin? Maaf telat ngadonya, gue cari uang dulu. Iya sama-sama. I love you muahh.”

Dirgantara Muda nggak bilang apapun lagi kecuali ambil bungkusan sampah di serok dan membuangnya di bak sampah. Tepuk pundak Malvian dan tancap gas manghilang.

Kalau begini caranya, bagaimana Malvin bisa hilangkan rasa sayang pada Aksa?

Nggak akan bisa.

Semua adil dalam cinta dan balas dendam, Tuanku sayang.

Johnhyuck oneshot latar era victoria, Johnny as Baron Johansen Elliot Davis, Donghyuck as Dansel Wilson, Jaehyun as Judy. Baron dan Earl adalah gelar bangswan. cw // explicit mature scene. disclaimer hanya mengambil latar era Victoria, tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah manapun, hanya sebuah fiksi, nggak selamanya protagonis yang jadi pemeran utama.


Tidak semua yang bertemu ditakdirkan bersatu.

“Kalimat tadi itu lucu sekali tapi menurutku sangat benar, Baron.”

Dansel lupa etika berbicara yang diajarkan Johansen padanya hingga nyaris tersedak liur sendiri. Kalimat tadi sungguh lucu. Memang, memang benar. Tapi bukan berarti segala hal sulit untuk disatukan. Lihat dia sekarang.

Kan?

“Tutup mulut budak itu dan segera pergi minum teh dengan anak dari Earl Grey, Baron. Aku tidak habis pikir kenapa kamu mau memelihara budak menjijikkan yang cuma bisa menjilati harta dan tahktamu.” Johansen cuma mengedikkan bahu pada temannya di ujung meja. Lengan dengan nyaman memeluk Dansel seolah-olah pemuda lucu itu adalah satu-satunya harta yang dia punya. Pahanya tidak menolak memangku Dansel.

“Apa Charlotte bisa begini? Dansel, sayang, menggonggong untuk Baron Johansen, mm?” “Woof, woof!” “Good boy.

Judy tunjukkan wajah ingin muntah begitu melihat adegan tidak senonoh di depannya tersajikan dengan lugas. Lelaki itu tidak mampu paham dengan jalan pikiran Johansen, Baron yang seorang duda sebab ditinggal meninggal istrinya itu sudah jelas akan dinikahkan lagi dengan putri dari Earl Grey, mengapa main-main dengan budak buangan yang menjajakan wajah manisnya?

Charlotte yang malang, jatuh ke kaki Johansen tanpa bisa bangun lagi—jatuh tanpa bisa melihat ke atas sebab Dansel menginjak kepalanya.

“Menjijikkan,” umpat Judy. “Oh, Judy yang manis, Dansel adalah pemuda cantik. Kamu tidak bisa sandingkan Charlotte dengannya.” “Dansel adalah yang terbaik!”

Dansel bersorak senang. Tubuhnya ringan karena semua beban ditopang Johansen. Beban tubuh, beban hidup, dan beban masyarakat. Tinggal di mansion mahal sudah bukan impian lagi. Dansel yang malang sudah berubah jadi Dansel yang bersinar.

“Berhenti bertingkah menjijikkan. Charlotte sudah menunggu satu jam. Kalian akan menikah sebentar lagi, oh, Baron. Enyahkan wajah budak itu dari sini!” “Hhn …. Bilang pada Maid Charlotte kalau Baron Johansen akan turun sepuluh menit lagi. Sekarang, Judy yang manis, tinggalkan kami.”

Judy memutar bola mata jengkel sebelum berbalik menuju pintu dan turun ke meja perjamuan guna mengabarkan pesan dari Baron Johansen. Kaki baru melangkah dua kali, lengkingan muaknya menggema. “AKU LAKI-LAKI!!”

Sir Judy enerjik sekali, ya?” “Oh, sayangku. Lima belas menit sebelum bertemu Charlotte. Where’s my kiss, mm?”

Dansel bukan kotoran di tengah serbuk emas, dia adalah mutiara terakhir yang berhasil bertahan dari amukan badai bertahun silam. Kalau cinta dan martabat gugur di peperangan kasta, maka dia juga bisa buat bangsawan mabuk kepayang karena cinta dan melupakan kastanya.

“Oh, Tuanku. Semua adil dalam cinta dan balas dendam.”

Good Evening, Miss,” sapa Johansen dengan lembut. Wajah tegasnya nampak bersinar dan buat Charlotte tersipu malu. Wajah merah padam dan jemari gugup bergerak liar di bawah meja. Cangkir teh terlihat sepuluh kali lebih cantik dari satu jam sebelumnya.

“Uh … Baron Johansen …. Senang bisa minum teh dengan anda. Mungkin …. Mungkin kita bisa bahas pernikahan kita?” Mata sapphire itu berbinar seakan mengharapkan segalanya. Johansen tidak bisa lebih terhibur lagi dari ini. Dansel bilang keluarga Smith menjengkelkan, ternyata benar.

“Kenapa kita tidak nikmati teh ini sebelum membicarakan hal berat? Angkat cangkirmu, Miss.”

Charlotte menunduk malu, dadanya berdebar tiga kali lebih cepat. Baron menegaskan intonasi, suaranya jadi berat. Mungkin Charlotte sudah kurang ajar.

“Maaf, aku tidak bermasuk terburu-buru.” “Tidak apa-apa, hal indah memang kadang membuat kalap.”

Charlotte makin tersipu, kalimat tadi bawa kupu-kupu ke perutnya dan gaun mahalnya jadi lebih berat dari sebelumnya, dia tidak bisa menatap Johansen, terlalu mendebarkan.

Sedang Baron melempar tatapan ke atas, pembatas lantai atas penuh ornamen emas. Kalimat pujian tadi bukan untuk Charlotte, melainkan untuk Dansel yang berdiri dan menopang dagu di atas sana. Indah, terlalu indah sampai Baron rasanya mau mengurung Dansel dan memujanya seharian.

Sampai di mana kita tadi?

“Aku dengar anda sangat suka kebun anggur. Aku tidak punya barang berharga untuk dihadiahkan, jadi … jadi, kebun anggur di barat daya itu, aku hadiahkan untuk Baron, suratnya sudah diurus Medina, barang kali kita bisa mengunjungi kebunnya saat sudah menikah.”

Senyum ditarik tipis. Johansen bahkan tidak perlu berkata apapun dan uang sudah menghampirinya. Charlotte tergila-gila dan jadi bodoh, Medina sang pelayan cuma bisa menggeram dalam diam di belakang sana.

“Sejujurnya aku tidak butuh.” “Aku mohon terima. Aku merasa malu tidak bisa memberikan Baron apapun.” “Barang mahal kemarin kamu lupakan?” “Aku rasa itu … kurang. Apresiasi untuk eksistensimu harus lebih dari itu, ‘kan?”

Sekarang giliran Dansel yang tertawa dalam diam. Paru-parunya sesak, air mata di ujung karena perempuan konyol di bawah sana tunjukkan gelagat aneh. Dansel tidak peduli percakapan keduanya karena tidak terdengar. Yang jelas, Baron dapat uang dan Charlotte terlihat menyedihkan dari atas sini.

Dansel jadi ingat masa kelam di mana roti adalah anugerah baginya yang merupakan gelandang jalanan. Keluarga Smith membuang ibunya begitu saja. Jadi pelayan tidak semudah itu, ketika Bangsawan membuangmu seanaknya, jalananpun ikut memperlakukanmu seenaknya.

Pahitnya hidup sudah Dansel telan mentah-mentah, sakit dan caci maki menyiraminya dengan deras. Remaja bukan waktu menyenangkan buatnya. Dansel benci keluarga Smith.

Sir …. Baron yang tampan. Baron Johansen milik saya, saya kurang suka melihat Charlotte berdiri dengan gaun cantik. Harusnya dia menangis di depan banyak orang seperti Ibu saya dulu.”

Lagu klasik mengalun di ruangan luas yang romantis. Malam penuh bintang jadi saksi di luar. Biar tangan-tangan halus Baron yang jelajahi kulit penuh kalut dan cokelat memikat milik Dansel sendirian, jangan berbagi pada orang lain.

Atmosfer di antara keduanya panas, memikat, dan mahal. Baron tidak bisa terima satupun kalimat merendahkan untuk anjing manisnya yang imut, terlalu cantik untuk disia-siakan. Laki-laki penurut yang mahal. Indah, batu ametis yang langka.

“Mm, aku dengar kamu, Dansel. Kamu mau gaun pernikahannya warna apa?” bisik Johansen di telinga Dansel, dansa pelan-pelan berubah jadi sentuhan-sentuhan panas, pelukan seketika berubah jadi rengkuhan serakah. Oksigen dibagi sama rata, hak milik cuma punya dia seorang.

“Putih … marun, marun menyala, lalu malu sendirian. Ah, Smith yang malang seperti Ibu saya. Baron, anda mencintai saya, ‘kan?” Dansel menggantungkan tanya, Johansen menitipkan rasa. Malam dilebur bersama suka duka, Baron yang jatuh cinta terlihat jauh lebih berbahaya sebab Dansel jatuh tidak berdaya di atas ranjang. Keduanya bersatu atas nama cinta dan segalanya.

“Charlotte yang malang, Dansel yang rupawan. Anjing manis, menggonggong untuk tuanmu.” “Woof, Sir.

Pintu kamar tertutup, lilin padam. Malam gelap tidak menyesakkan sebab keduanya punya satu sama lain. Sedang Charlotte sendirian merangkai gaun pernikahan.


“Nona … Nona mohon dengar saya. Jangan menikah dengan Baron Johansen, beliau tidak mencintai Nona. Harta Nona nyaris habis, keluarga anda sudah menyerah. Mohon dengar saya.” “Medina, Baron mengirimkan gaun ini padaku. Dia mencintaiku dan besok kami menikah. Tutup mulutmu dan buatkan aku air hangat.”

Charlotte tersinggung dengan ucapan pelayannya. Dia satu-satunya pewaris harta dan dia sudah lakukan semua, sekarang harusnya keluarganya membiarkannya meraih cinta. Baron mengiriminya gaun pernikahan impian, berwarna marun cantik dan semua orang tahu kalau itu tanda cinta.

Besok hari pernikahan, Charlotte sudah kerahkan semua. Dia cuma punya dirinya dan Baron.

“Semua yang bertemu tidak selamanya akan bersatu, Charlotte.”

Kalimat budak terbuang yang dia benci terus-terusan terngiang di kepalanya. Altar begitu sepi karena Charlotte berdiri sendirian. Riasannya berantakan, air mata hancurkan cantiknya.

Baron tidak datang, dia terlihat menyedihkan dengan gaun marun ini. Baron Johansen tidak datang, dia menikah dengan bayangan.

“Nona, mari turun, Nona … Baron tidak datang, dia menipumu, Nona.” “Diam, Medina. Baron Johansen pasti datang. Aku akan menunggunya.”

Seluruh pelayan menunduk tanda berduka, air mata Medina basahi lantai altar. Charlotte tetap berdiri di tempatnya, malu dan sakit hati kalah dengan harapan. Perempuan malang dari keluarga Smith tetap menunggu mempelai prianya untuk datang. Gaun merah marun jadi satu-satunya hal cerah di tempat yang mirip permakaman.

Baron jelas tidak akan datang. Dansel jauh lebih berharga untuk dipandang.

“Baron, Tuan saya yang tampan tidak menikah dengan Nona Smith?” tanya Dansel pelan. Pakaian berceceran, kulit bertemu kulit. “Baron sibuk dengan anjing manisnya. Dansel adalah yang terpenting,” jawab Johansen dalam temaram ruangan.

Antagonis dalam cerita juga punya kisah romansa. Budak terbuang nikmati masa jayanya, Sang Tuan mabuk dalam cinta dan pesona. Ah, pasangan gila.

“Aku dapat harta, aku dapat Dansel Wilson, Baron Johansen tidak butuh hal lainnya.” “Aih, Tuan bermulut manis. Candu sekali.” Lalu Dansel memejamkan mata, dia nikmati semua dan keraskan tawa dalam benak. Charlotte yang malang sedang menunggu Baronnya datang ke altar, sayang sekali. Baron Johansen sedang berbagi cinta dengannya di sini.

Sudah dia bilang, semua yang bertemu tidak selamanya akan bersatu. Semua adil dalam balas dendam dan cinta.

[ litaniraya.]

Trigger Warning: sexual harassment, rape, suicidal thoughts, anxiety, panic attack.

[ ———— ]

Untuk kamu dengan tubuh yang dibasuh kenangan dan ingatan buruk. Badan yang setiap malam terpuruk. Kereta malam melintas di pikiranmu bersamaan dengan ingatan mengerikan perihal masa lalu.

Kamu membasuh kulit dengan air mata dan keringat tapi debu jalanan nggak juga menyingkir dari sana. Kamu mencuci tangan dan bola mata tapi dosa dan caci maki nggak juga berhenti menghiasi.

Kamu menutup diri dengan selimut, berharap nggak ada satu insan yang lihat kamu ditelanjangi keadaan, kamu memeluk diri, berharap nggak ada jari-jemari yang menarik rasa percaya diri, kamu berlindung di atas ranjang karena malam masih panjang. Kamu menangis karena hidup begitu tragis.

Kamu tersedak rasa malu, begitu takut dengan antagonis yang menyiksa tanpa pandang bulu. Kamu menunjuk sisi gelap berharap mereka mati dan membusuk di neraka, berteriak sekuat tenaga bagaimana kamu begitu membenci para bajingan itu. Tapi lidahmu kelu, bibirmu membeku. Suaramu direnggut takut. Kamu ketakutan menggenggam selimut.

Kamu menjerit dramatis, tangisanmu begitu melankolis, sempat berpikir kalau takdirmu dapat disusun ulang dengan kalimat puitis. Sempat berpikir kalau salah ada pada kamu yang terlihat sangat manis. Menangis, kamu menangis, fisik dan mentalmu begitu kritis.

Kamu marah, api merah berkobar di atas tubuhmu yang pasrah. Pohon-pohon begitu kecil dari atas sini, kamu berserah. Gedung pencakar langit amat megah, mereka mewah. Tapi kamu—entah kenapa, merasa diperlakukan seperti sampah.

Kamu kecewa, pertama pada diri sendiri, nggak berhenti memandangi cermin dan merasa ingin muntah. Kamu kecewa, pada orang-orang yang nggak bisa mengerti, kamu iri dengan tetanggamu yang jalani hidup nyaman. Kamu kecewa, kenapa para bajingan berjalan di atas jalan berbunga sedang kamu sekarat di atas ranjang kusam.

Kamu dirundung sana-sini, diperdom oleh dia dan mereka, dicaci maki dan dirisak depan belakang. Kamu begitu hancur, kamu amat lebur tapi kamu tetap ditegur. Ada yang salah dengan cara kerja dunia. Atau—kepalamu yang salah dalam hal berpikir dan memahami? Kurang tahu, kamu mulai melindur dan pandangan jadi kabur.

Kamu menatap jendela, angin malam menusuk tulang, seram pohon-pohon kecil seakan memanggil kamu untuk datang. Lantas kakimu berpijak di bingkai, menapaki dunia dan tunjukkan kalau kamu juga bisa terjun ke angkara murka, kamu nggak harus tanggung semua sengsara.

Kamu berpikir, sedikit susah tapi luka baru akan terus terukir. Kamu hanya segelintir tulang yang kurang mahir bermain dengan takdir. Kamu tersingkir, mangkir dalam babak penyelesaian hidup dan masih terus berpikir.

Kamu menatap cermin, berbicara sekali lagi dan terus berucap amin. Kamu belum yakin tapi pantulan di cermin tersenyum dan ulurkan tangannya yang dingin.

Kamu.

Kamu bersih, kamu begitu dicintai, kamu cantik, kamu dihargai. Noda biar memudar bersama dengan binar rembulan yang terus berpendar.

Kamu begitu putih, kamu sering letih dan sering dilukai sampai pedih, tapi kamu tetap tulang belulang yang disusun dari emas, tetap raga yang nantinya akan dikemas walau harus lemas. Kamu tetap intan permata yang jauh—jauh lebih mahal dari batu bara.

Kamu agni yang berani, kamu begitu mumpuni. Kamu adalah seni, kamu adalah maharani.

Suaramu yang nggak sampai di telinga bumi, biar digaungkan sampai musim gugur dan bersemi. Teriakanmu yang diredam tangan-tangan keji biar dihantarkan lewat jeruji-jeruji tidak terpuji.

Kamu begitu hebat dan dicintai, masih sama berharganya seperti saat dilahirkan, masih sama pentingnya seperti sedia kala, masih begitu mewah dan meriah. Kamu cantik sekali, kamu tetap satu tanpa dibagi, kamu tetap kamu.

Kamu. Kamu indah.

[ ———— ]

Surat pendek untuk diriku sendiri, untuk kamu jua. Cantik, cantik sekali. Dari dulu sampai sekarang, kamu nggak pernah salah, kamu berharga dan begitu mewah.


trigger warning mentions of death, suicide, suicidal thoughts, anxiety.

Jaemin as Jaeden, Donghyuck as Habel, You as no name. Putar lagu agar masuk ke latar cerita. Penggambaran latar suasana dan tempat difokuskan di sini.


Jaeden dan sepuntung rokok. Isi kepala melayang jauh, mengabaikan rasi ursa minor yang seakan mengajaknya bicara. Mana bisa fokus, asap rokok penuhi kamar, jendela berembun dan matanya tertutup kenangan-kenangan lalu. Alunan musik RnB samar-samar di belakang sana. Jaeden masih nggak berkutik.

“Kamu bisa mati cepat kalau ngerokok terus, loh,” kata sebuah suara. Tiba-tiba telinganya berdengung, sudut matanya tangkap bayangan abstrak lantas ia menghela napas berat.

That’s the point.” “Kamu kalau sudah mati pasti menyesal pernah ingin mati,” sahutnya lagi. Berpindah ke sebelah kiri. Jendela berembun lebih pekat, ursa minor nggak tampak lagi dari jendelannya. Asap buyar—alih-alih terbatuk karena terkejut, Jaeden dengan malas bangun untuk menghidupkan humidifiernya.

“Aku bukan kamu.” Jawaban cuek Jaeden membuat sosok tadi mendengus. Gantian dia yang duduk di dekat jendela, menatap langit dengan sendu. Asap rokok perlahan memudar, kini ruangan mulai wangi sebab humidifier bekerja dengan baik.

“Aku dulu juga mau mati.” “Dan kamu sudah mati.” “Tapi aku jadi hantu.” “Semasa hidup kamu beban.”

Habel terkikik geli dengan jawaban sarkas Jaeden. Masih nggak beranjak dari jendela kamar remaja itu. Langit amat cerah, ursa minor masih tergambar jelas di langit yang gelap, Habel terjebak di kamar hangat ini. Tapi presensi Jaeden sungguh dingin—mengalahkan dia yang sesosok hantu tanpa tujuan. Jaeden terlalu dingin untuk didekati.

Sraaat.

Suara renyah sobekan kertas mengalihkan pandangan Habel. Dia lihat Jaeden menggenggam kertas kalender yang sudak koyak, diremas-remas dan dibuang pada tempat sampah. Pandangan mata kosong Jaeden berubah jadi sendu. Humidifier mendengung—mungkin rusak, sudah setahun belum diganti dan satu hentakan kasar dari Jaeden membuatnya kembali normal.

“Baru tanggal tiga. Kenapa tanggal enam sudah dirobek?” tanyanya pensaran. Habel lantas muncul di sebelah tempat sampah. Memungut kertas kalender tadi dan melihat tulisan selamat ulang tahun ringsek di sana. Tatapan mata mereka bertemu. “Oh, selamat ulang tahun!”

“Aku nggak mau ulang tahun. Lebih baik tanggalnya dihilangkan,” jawabnya ketus. Badan kurusnya dilempar ke atas ranjang. Pendingin ruangan menteskan air, Habel nggak bisa melakukan apapun kecuali melayang dan menendang kaki Jaeden.

ACmu rusak!” “Biar.” “Ih? Orang sinting.”

Tanpa diberitahu pun Jaeden tahu dia sudah nggak waras. Hidupnya hampa, perasaannya kosong, sedih atau senang dia nggak bisa bedakan. Beban di pundak terasa berlipat kali lebih berat ketimbang masa kanak-kanak. Jaeden nggak mau jadi dewasa. Jaeden mau hidup di tubuh sembilan belas tahunnya. Pun kalau harus beranjak dewasa, Jaeden mau akhiri semua di tanggal lima.

“Jaeden. Jangan mati,” kata Habel lagi. Tubuh transparannya sudah duduk termangu di depan jendela lagi. Awan menghalangi rasi bintang. Bulan bersinar terang, dan Jaeden masih bungkam.

“Seberat apapun bebanmu, jangan mati. Jadi dewasa memang menyeramkan. Aku pergi karena mau menghindar dan terlalu sedih untuk berpikir. Dan lihat di mana aku sekarang? Terjebak di kamarmu yang seperti kuburan.”

Uap humidifier mengecil, semakin tipis nyaris menghilang. Udara yang tadinya segar perlahan jadi pengap. Bau tembakau menyebar, musik RnB mati, air AC menetes semakin deras. Jaeden menghela napas panjang lagi, dengan malas bangun dan mematikan pendingin. Menambah air minum dan menteskan scented oil pada humidifier serta menyalakan kipas angin. Harusnya Habel berhenti mengoceh sekarang.

“Aku masih mau mati, sih,” jawabnnya cuek. Kini mendekat ke arah jendela. Untuk kali ini, Jaeden memperhatikan ursa minor dengan serius, mencari-cari di mana letak sirius. Percuma, Jaeden nggak mengerti astronomi.

“Aku tahu nggak semua orang bisa mengerti khawatir dan penderitaan kita. Tapi mati bukan pilihan.” “Lantas kenapa kamu bunuh diri?” Pertanyaan singkat Jaeden membuat Habel menelan ludah cepat. Dia mengetuk jendela, telunjuk menunjuk rasi bintang yang entah apa namanya.

“Karena aku yang dulu adalah kamu yang sekarang. Jadi dewasa itu nggak enak, beban yang belum datang saja buat kita terjaga semalaman karena takut. Beban makin banyak. Aku gegabah dan putus asa. Waktu aku mau mati, aku nggak tau kalau aku akan berakhir di sini. Melihat manusia lain yang putus harapan hidup, bukannya lenyap seperti apa yang aku harapkan.

Aku masih di sini—jadi kekal abadi dan makin menyedihkan. Jangan mati, Jaeden.”

Jendela kamar Jaeden bercerita malam itu. Kisah pilu Habel dan waktu Jaeden yang terbuang sia-sia. Semua melebur dalam satu waktu. Jaeden masih ingin mati, masih putus asa dan menyerah dengan masa dewasa. Masih takut dan sedih—masih nggak mengerti kenapa dia hidup begini.

Dan Habel masih hantu tersesat yang menyesal.

“Kalau kamu mati di tanggal lima. Kamu akan menyesal. Dibanding tiup lilin di hari ulang tahun, lebih menyedihkan terjebak di tempat antah berantah karena gegabah. Hidup itu nggak ada yang mulus.” “Sembilan belas tahun dan hidupku nggak pernah mulus,” potong Jaeden cepat. Menyangkal nasihat Habel. “Barang kali bahagiamu ada di umur dua puluh tujuh. Kalau kamu mati sebelum dua puluh, ya, sia sia, ‘kan?”

Hening lama jadi penengah keduanya. Jaeden menatap lekat kertas kalender yang digenggam Habel. Sudah lecek dan risak tapi masih terbaca tanggal enam di sana. Matanya lantas menerawang ke atas langit lewat kaca jendela. Begitu cerah dan penuh bintang.

“Jaeden, jangan mati. Jangan menyerah pada masa depan yang kamu belum hadapi. Jangan dulu patah hati, ini masih hari ini. Belum besok.”

Habel nggak tahu kalau Jaeden meneteskan air mata di sebelahnya. Dada sesak yang dibungkam lama kini meledak. Emosi yang ditekan terus-terusan meluap juga. Sakit hati dan ketakutan mendalam yang dia sembunyikan akhirnya ke luar juga. Di depan jendela dia bersaksi, Jaeden sebenarnya nggak mau mati. Dia cuma mau didengarkan dan ditemani lawan hidup yang menyebalkan.

“Aku tau, kok, sebenarnya kamu takut mati. Tapi lebih takut lagi menghadapi hari. Enggak apa-apa, Jaeden. Aku sudah belajar, kamu jangan sampai menyesal.”

Sebuah kisah yang diceritakan leewat jendea. Jaeden Kembali tidur dan Habel kembali melayang bebas sambil melindur.


“Jaeden, jangan mati,” katanya. Buku cerita ditutup. Kisah Jaeden dan Habel dia simpan lagi di rak kayu. Lilin ditiup. “Selamat ulang tahun, aku. Jangan mati. Habel didn’t make it but Jaeden made it.

[ litaniraya. ]

stigma1/stig·ma/ n ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda

commission from anon, bxb, lokal, enemies to friends to lovers, memuat banyak kata kasar, umpatan, adegan kekerasan dan sedikit drama kehidupan.

Kim Doyoung as Pradiksa, Lee Taeyong as Antares, Johnny as Jordan, Yuta as Yudha, Jaehyun as Jendral.

Antares dan Diksa nggak akan tahu kalau takdir bisa bermain-main dalam semalam, bahkan stigma bisa patah dengan mudah olehnya.


“Antares, brengsek. Beneran lo gue pukul kalau ketemu.”

“Ya Allah, Dik. Ini mah salah lo kali, izin ke nyokap mau kerja kelompok malah kelayapan kek berandal. Yang begini mah memang kerjaan Antares, mana bisa lo emosi ketemu dia di tongkrongan?” Sahutan dari Jordan buat Antares mendelik kesal. Emosinya ada di puncak sebab bertemu dengan musuh bebuyutannya; Antares. Si tukang buat onar, nggak punya teman karena pendiam tapi suka buat masalah.

“Ini tugas masih gue kerjain, anjing. Kelar nugas baru kelayapan. Jangan samain gue kaya bocah urakan kaya dia, lah!” jawabnya keki. Harusnya Diksa bisa nongkrong santai usai selesai mengerjakan tugas. Keluyuran ke luar rumah tanpa ditanyai adalah sebuah anugrah, memangnya Diksa nggak boleh menikmati masa muda? Tapi sungguh sial, dia malah bertemu dengan Antares. si bocah banyak gaya tapi enggan bergaul. Bukannya saling diam seperti apa yang dia harapkan, Antares malah mencemoohnya kutu buku yang kebelet nakal.

Anak setan.

“Ya udah, sih. Sante napa? Lu kaya bocah aja dah diledek langsung ngambek. Tiati naksir, gue ketawa paling kenceng.” Giliran Yudha yang buka suara, sudah kepalang bosan mendengar ocehan nggak penting dari temannya yang menurutnya … ribet.

“Amit amit, Tuhan. Lo jangan aneh-aneh, bisa? Jaga omongan atau gue jejelin buku paket pkn,” katanya galak. Paradiksa sudah kepalang kesal, nggak ada lagi niatan untuk nongkrong bersama teman-temannya. Jordan yang merokok, Yudha yang main game, dan Jendral yang tidur tanpa merasa terganggu sedikitpun dia tinggal begitu saja.

“Hati-hati, dek. Awas dimarah mama!” “BACOT LO BABI!!!”

Tawa pecah di belakang sana, Diksa nggak lagi pedulikan dan fokus berjalan pulang. Nggak membawa sepeda motor atau kendaraan lain, nggak juga memesan ojek online. Dia berjalan kaki guna menekan emosinya. Baru jam lima sore dan dia sudah terima banyak sekali panggilan juga pesan dari Mamanya untuk pulang.

Jujur, Diksa muak. Dia sudah besar, dia mau bebas dan berhenti jadi anak pintar yang luar biasa. Diksa masih bisa raih juara umum tapi bebas nongkrong sampai jam sepuluh malam bersama temannya, kan?

“Dek, hati-hati pulangnya. Nanti diculik, loh? Makanya denger mama jangan pulang malem. Bandel, sih!”

Langkah kaki malasnya lantas berhenti begitu dengar suara yang mengejek dari ujung sana. Matanya memincing begitu lihat sosok yang nggak asing duduk di atas kursi beton dekat pohon di pinggir trotoar. Si bajingan tengik yang sok keras itu lagi.

Larinya langsung jadi kencang, dengan emosi memuncak dan aura dingin menghampiri Antares di ujung sana. Tanpa babibu lagi, Diksa raih kerah seragam batik Antares dan membuat mata mereka bertemu dengan dekat.

“Gue peringatin lo sekali lagi ya, anjing. Stop ngerusuhin gue atau lo gue injek di muka,” desisnya marah. Antares dibuat lebih rendah, tersandar pada pohon sampai kehilangan kata-kata sebab wajah Diksa begitu dekat dengannya. Seketika otak membeku dan kalimat hilang di ujung lidah. Sial, Diksa membuatnya mati kutu.

“Jauh-jauh, anjing. Kaya gay!” teriak Antares. Dia lepas paksa cengkeraman Diksa dan segera meludah. Pergi begitu saja dan buat Diksa menggigit pipi dalamnya saking kesalnya. Antares persis hantu yang memang datang hanya untuk membuatnya kesal.

Ding dong!

“Ma, Kakak pulang!” “Kakak, kenapa baru pulang? Dari mana aja kamu? Bener belajar kan tadi? Telfon mama kenapa nggak diangkat sih Kak?” Mama langsung mengoceh begitu Diksa menyapa. Nggak dia hiraukan, hanya sekedar maaf dan berlalu begitu saja melewati ruang tengah.

“Adeknya disapa, Kak!” teriak Mama kencang. Diksa memutar mata malas, melirik bingkai foto dari anak lelaki manis dengan sebuah guci antik di depannya.

“Dek, kakak pulang,” katanya malas. Langsung pergi ke atas untuk mandi. Mama yang melihat hanya bisa menghela napas berat. Nggak mampu berkata-kata dan membiarkan anaknya masuk kamar dengan langkah enggan.

“Adek, adek, adek. Gue jadi bocah nggak boleh main gara-gara lo. Tapi lo udah nggak ada, gue mana bisa marah, hhh. Dek, Mama stress. Kamu … yaudah lah.”

Malam itu, Diksa tetap turuti kata Mamanya untuk belajar sampai malam dibanding nongkrong di luar dan (mungkin) bisa celaka. Dan malam itu juga, Diksa diam-diam mengeluarkan sebungkus rokok yang dia simpan di bawah kasurnya. Menyelinap ke kamar mandi dan berdiri dekat ventilasi, mengisap rokok dengan khidmad. Menikmati nikotin sendirian supaya otaknya bisa lebih lega barang sepuluh menit.

Diksa juga ingin bebas.


“Lo bisa berhenti ganggu orang ngga, sih? Sumpah, kaya bocah. Kelakuan lo kaga ada lakinya gue liat-liat.” Cemoohan lain datang merundung Antares yang bebal. Dia sumpal telinga dengan headset dan menikmati kelas pagi dengan damai. Apalagi yang dia bisa lakukan selain abai?

Satu sekolah juga pasti membela Pradiksa si anak teladan—yang sebenarnya amat menyedihkan. Ingin nakal tapi terhalang restu Mama.

Siang ini pun, Antares nggak punya kegiatan lain selain menatap Diksa dengan jengah dari kejauhan. Anak itu masih sama. Penuh kepalsuan. Boleh jadi sungguhan kalem tapi amat sangat mudah tersulut emosi. Rajin dan teladan tapi tetap saja bengal di luar. Kalau ditanya kenapa Antares nggak suka dan benci pada Diksa; nggak ada jawaban khusus. Dia cuma terganggu dengan kepalsuan remaja itu, dan sepertinya Diksa juga cukup terganggu dengan eksistensi Antares.

“Sekali aja, lo pulang jam sepuluh deh, bos. Kaya bocah lo buru-buru mau pulang begitu ditelfon Mama,” cibiran menjengkelkan lainnya datang di tengah petang. Diksa menenteng tas dan menghela napasnya berat. Antares nggak membiarkannya bernapas dengan lega barang sedikitpun.

Tapak kaki mendekat ke ujung gang di mana Antares merokok santai dan memberinya tatapan meremehkan. Dipikirnya, Diksa hanya akan lewat dan mengabaikannya seperti biasa.

Buagh!!

“ANJING!” “Lo mau berantem sama gue, ya, bangsat. Jangan kaya bocah lo ngajak rebut mulu!” seru Diksa usai menghantam Antares dengan tasnya sampai limbung. Mata remaja urakan itu menyalang, bangun dengan merintih dan menarik kerah Diksa, menyeretnya ke dalam gang dan perkelahian nggak bisa dihindar.

Diksa yang lelah dan hilang sabar, juga Antares dengan egonya yang terluka. Keduanya saling pukul dan menyerukan kalimat provokasi. Gang di petang hari yang gelap jadi arena tempur dua remaja laki-laki yang belum tahu makna hidup.

“Lo, bangsat, lo kenapa selalu cari gara-gara, sih?! Naksir lo sama gue?” tanya Diksa begitu berhasil memojokkan Antares di tiang listrik sebelum tikungan. Yang ditanya memasang wajah jijik. “Idih? Naksir cowok mah pilih pilih gue. Lo kali yang naksir gara-gara sering gue gangguin-AGH!” “Bacot,” desisnya marah. Berhasil membanting Antares ke atas tanah sebelum sebuah jeritan nyaring membuat keduanya membeku. Tubuh nggak bisa bergerak. Diksa pikir mereka bertemu hantu tapi Antares dengan reflek menengok ke tikungan.

“Anjing … hantu? Pantes Mama nyuruh pulang sore.” Bisikan horror dari Diksa membuat Antares makin kesal, keinginananya untuk menjambak rambut hitam cowok itu lenyap begitu matanya menangkap adegan mengerikan di depannya.

Perampokan. Seorang wanita dirampok dan disiksa oleh segerombol bajingan sampah dunia.

“Lo diem, lo diem … jangan berisik atau kita mati. Telfon polisi, Dik. Diksa brengsek, telfon polisi atau kita juga mati di sini?!” “Lo ngapain ngerekam?! Jangan nyari gara-gara, kabur, Antares! Ini bukan drama di mana lo bisa jadi sok superhero!” “Seenggaknya kita punya bukti!” “Kita? Lo aja sana gue nggak mau!”

Mungkin keduanya nggak bisa merasakan marabahaya yang mengincar mereka di sana sebab terlalu sibuk beradu mulut. Ponsel pintar Antares merekam kejadian keji di depan mereka, nggak sempat melihat kalau wanita malang tersebut sudah embuskan napas terakhir dan gerombolan bajingan itu acungkan benda tajam ke depan mereka seakan sudah mengunci target selanjutnya.

“Asu, buang telfon lo atau mati sekarang?!” seru dia yang bermasker hitam. Diksa menahan napas. Dalam dua jam sudah siap dieksekusi mati. Kenapa hidup bisa jadi film dengan singkat, huh?!

“Kasihin telfonnya, Antares!” “LARI LAH TOLOL!!” tanpa babibu, Antares mengantongi ponselnya yang masih menyala, menarik lengan Diksa dan berlari amat kencang ke luar dari gang. Tas Diksa terjatuh di tempat kejadian dan isinya berceceran. Pandangan berkunang-kunang sebab duanya terlibat perkelahian kecil sebelumnya—tapi Antares nggak melepas genggaman tangan mereka sedikitpun. Berlari kencang entah ke mana, seenggaknya mereka berdua bisa menghilang dan kabur dari bajingan tanpa hati di depan sana.

“Hah ... hah … lo, anjing, nggak ngotak. Sumpah! Lo harusnya kasih hp lo dan kita nggak perlu lari, goblok!” seru Diksa marah. Keduanya ada di sebuah kamar mandi minimarket 24 jam. Jalanan berliku dan berkelok-kelok, Diksa sama sekali nggak tau mereka ada di mana. “Lo yang goblok! Mereka begal, pembunuh, lo mau sujud kasih hp juga bakal diabisin. Bukannya terima kasih gue bawa kabur ke tempat aman. Lagian gue heran. Rasa kemanusiaan lo tuh di mana, gue tanya?”

Diksa terdiam mati kutu. Nggak bisa menyahut—selain karena badannya tremor dan dada berdebar kencang. Raut marah Antares yang dia lihat dari atas sini buat dia terpaku. Bagaimana bisa? Antares yang urakan dan gemar mengganggunya punya rasa kemanusiaan yang tinggi. Tetap memikirkan keadilan bahkan ketika nyawa jadi taruhan.

“Tapi tetep, kita bakal mati gara-gara lo rekam pakai hp.” “Makanya kita harus ke kantor polisi buat laporan supaya aman, tolol!”

Diksa berdecak emosi. Meski matanya fokus menatap wajah penuh keringat Antares di gelapnya kamar mandi belakang minimarket, otaknya masih menolak skenario pelarian ini.

“Lo pikir polisi di Indonesia itu kayak avengers?” elaknya lagi. Diksa cuma nggak mau nyawanya terbuang sia sia karena coba coba jadi superhero. Mama masih menunggunya di rumah. Seharusnya dia pulang, bukan terjebak bersama Antares yang menyebalkan di sini.

“Demi Allah, Pradiksa. Jujur gue emosi banget liat muka sok baik lo di sekolah padahal aslinya kayak begini tapi gue tetep salut soalnya lo patuh banget sama Mama lo tapi tetep aja lo ngeselin monyet,” katanya dengan mata memincing. Antares menarik napas lagi seolah ingin menyemburkan semua amarahnya. “Tapi jadi anak gak pedulian tuh liat situasi bisa gak? Gue nih blangsakan dan jarang diurus aja ngerti sepenting apa nyawa orang sama kepedulian buat bisa bertahan hidup. Lo kalau gak mau, ya udah, pulang ke Mama. Besok gue ke kantor polisi jam delapan pagi jadi saksi dan bawa barang bukti.

Gue nginep di kamar mandi ini, gih pulang!”

Kalimat panjang dari Antares membuat Diksa bungkam. Makin lama dia perhatikan wajah Antares, makin penuh isi kepalanya. Kagum yang tadi disisipkan dalam kalimat ceramah buat napasnya berhenti sejenak—Diksa suka dipuji sebab Mama nggak pernah memujinya. Diksa benci orang di depannya karena gemar mengganggunya tapi jujur saja, Diksa juga mau jadi seperti Antares yang punya rasa kepedulian tinggi dan sedikit rasa takut.

“Gue balik pas matahari terbit. Terserah lo mau ke kantor polisi modal rekaman hp doang,” sahutnya kemudian. Kini berjongkok di atas ubin kamar mandi karena kakinya pegal. Mereka nggak tau kenapa harus bersembunyi di sini—bisa saja pergi ke luar, tapi bagaimana jika para bajingan itu berkeliaran di luar?

“Terserah lo, berandal gini seenggaknya gue bisa bawa keadilan buat korban nanti, lo gak tau kan susahnya diabaikan waktu dibutuhin?”

Terjebak berdua bersama Antares semalaman buat Diksa sadar; sejatinya semua orang cuma butuh dimengerti dan diperhatikan—termasuk dirinya.


Antares nggak berharap apapun pada Pradiksa. Manusia itu terlalu acuh dan takut mengambil resiko. Auranya boleh jadi mengintimidasi dan terkadang buat dia ciut, dan katanya tampan (ew?), tapi acuh dan nol rasa kasihan.

Maka sesuai kalimat yang dia lontarkan semalam, Diksa pulang di jam enam pagi. Meninggalkannya sendiri di depan kantor polisi, hendak melapor kejadian mengerikan semalam bermodal rekaman ponsel yang batrainya sisa delapan belas persen.

Sial, dia panik. Baru masuk ke halaman depan tangannya sudah gemetar. Bagaimana kalau orang-orang nggak percaya? Apalagi tampangnya lusuh dan banyak luka belum kering. Apa televisi belum menayangkan berita ini? Apa Wanita itu dibuang begitu saja? Apa usaha Antares akan sia-sia?

Puk!

Antares terkesiap, reflek menengok dan matanya melotot begitu melihat Diksa yang sudah Kembali bersih dan wangi berdiri di belakangnya. Remaja itu tersenyum tipis dan satu alis terangkat—sok ganteng.

“Ngapain lo di sini?” tanyanya sinis. Denial kalau hatinya lega. “Jadi saksi.”

Dua kata dari Diksa pancing senyum lebar dari Antares. Pradiksa itu …. Sebenarnya peduli. (Hanya waktu berpikirnya saja yang lama, ck.)


“Lo duduk. Tampang udah kaya gelandangan, luka sana sini. Makan gak lo sebenernya tadi? Orang lain diduluin, diri sendiri sekarat. Waras?”

Nggak akan ada yang menyangka pemandangan ini—Pradiksa dan Antares yang kalau bertemu akan pancarkan aura peperangan tengah duduk berdua di depan minimarket. Pradiksa yang mengomel dan Antares yang setengah cemberut menelan roti dari uang Diksa.

“Bangsat sakit—ya Allah pelan-pelan??!” “Siapa suruh punya luka bukannya dicuci bersih. Infeksi gimana? Masih untung gue obatin. Diem, gak?” balas Diksa galak, langsung membuat Antares ciut dan terdiam. Dia makan dengan khidmad, membaca berita dari ponsel Diksa sembari lelaki itu mengobati lukanya dengan teliti.

“Lo kenapa mau jadi saksi?” tanyanya tiba-tiba. Diksa masih sibuk pada jari tangannya yang sobek, hanya berdeham sebagai respons. “Lo bilang jadi manusia harus peduli. Karena gue udah lama nggak dipeduliin, gue mau jadi orang yang peduli,” jawabnya pelan. Diksa pulang dengan harapan Mama mau mendengar ceritanya. Dimarahpun enggak apa-apa, dia maklum. Tapi Mama hanya marah dan mengabaikannya begitu saja. Dia nggak dipedulikan dan Diksa teringat dengan kalimat bijak Antares.

“Sebenernya banyak yang peduli sama lo.” “Siapa?” “Gue.” “Idih, geli.”

Yang di mulut belum tentu sama dengan yang di hati. Cukup lewati satu malam bersama, Diksa sudah punya euphoria sendiri—dia senang dipedulikan. Dan bagi Antares, dijaga dan diobati dengan hati-hati oleh Diksa cukup membuatnya tersentuh.

Dua remaja yang masih mencari jati diri ini nggak tau kalau takdir bisa bermain-main dalam semalam. Suka? Belum. Keduanya masih menduga-duga, masih menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis.

“Kalau pacaran mah gue kaga kaget,” kata Jordan pada Yudha di parkiran minimarket. Anteng melihat drama picisan di barisan kursi di depan sana. “Memang benci sama cinta tuh tipis, setipis waktu kita buat sekolah alias buruan berangkat anjing, mereka kaga usah ditontonin????????”

Sekali lagi, perasaan dan takdir bisa berubah dalam semalam.

[ litaniraya.]

oneshot ini berpotensi punya kelanjutan.