Cangkir Rasa
Ambil hati Mark? Bukannya nggak bisa, tapi Mark nggak bersedia dibuat jatuh cinta. Haechan, semangat, ya?
tags bxb, markhyuck, roncom, 2k words, profanities
Kalau ditanya, kenapa, sih Haechan suka Mark?
“Ya nggak tau. Namanya suka ya suka aja. Lo kalau ditanya kenapa suka nonton turnamen futsal, jawab apa?” Kalimat sarkastik Haechan lempar di atas meja warteg. Anak kuliahan yang baru mencecap susahnya jadi mahasiswa tengah isi perut di rumah makan sederhana pinggir jalan. Lempar canda tawa sekalian senggol privasi sedikit.
“Ya karena hobi,” jawab Chenle sekenanya. Kunyah makanan cepat saji yang dia beli terpisah; nggak terbiasa makan makanan warteg.
“Ya sama.”
“Lo hobi naksir orang?”
“Enggak gitu goblok.” Satu pukulan main-main mendarat di kepala Jaemin, Haechan mendengus jengkel. Emosi dengan pemikiran dangkal Jaemin. “Ya rasa suka gue ini memang hobi aja nyangkut di Mark. Gue bisa apa, anying!”
“Bisa nggak berhenti jadi alay? Eneg.” Renjun yang sedari tadi diam sambil makan nasi campurnya, akhirnya buka suara. Seruput es teh manis Jeno yang nggak bisa bilang apapun selain senyum dengan tabah.
“Elu kalau nggak protes masalah hati gue sehari aja kayanya meninggal, ya?”
Renjun dan Haechan nggak bisa disatukan. Mereka tahu. Keduanya bukan teman dekat. Renjun adalah tetangga Jeno, yang ke mana-mana harus dengan Jeno, termasuk main dengan Haechan dan yang lainnya.
“Sia-sia banget hidup gue kalau berakhir gara-gara lo yang bucin tolol ini,” dengus Renjun. Haechan jelas akan lempar seenggaknya sendok stainless pilihannya pada Renjun kalau saja nggak ingat; warteg ini suka minta ganti rugi hal yang nggak jelas. Dan Renjun sudah terlampau jauh di depan sana.
“Ya … maafin tetangga gue, ya? Tapi ada baiknya lo pikirin juga, suka sama Mark sama aja kaya lo suka sama Hinata. Mustahil, kan nggak nyata.” Jeno ikut berdiri, maksud hati susul Renjun tapi pertanyaan Jisung membuyarkan atmosfer menyedihkan di meja pojok.
“Bang Mark nggak nyata, bang?” tanyanya dengan alis berkerut.
“Perasaannya Bang Mark ke Haechan yang nggak nyata.”
“Bajingan.” Dan lagi, meja pojok di warteg rusuh karena perkelahian Jaemin dan Haechan.
Haechan juga nggak mengerti kenapa dia bisa suka Mark yang terlihat biasa-biasa saja. Bergaul secukupnya, kakak tingkat normal buat mahasiswa baru (yang nggak terlalu baru juga.). Tapi Mark memang dikenal banyak orang karena dermawan dan suka turun ke lingkar pertemanan manapun; idaman.
“Oh. Bang! Mau pulang?” Senyum lebar Haechan makin terang, dia dapati Mark berjalan ke arahnya dengan menenteng seplastik boba.
“Loh Haechan? Belum pulang? Saya mau pulang, nih, habis beliin temen boba.”
Kan?
Bagaimana bisa Haechan nggak jatuh cinta pada sosok dermawan dan sopan seperti Mark? Pendamping sempurna buat dia yang blangsakan dan sangat berantakan.
“Waduh, asik banget beli boba. Saya juga mau, dong, bang?” Bicara formal jelas bukan gaya Haechan. Tapi kalau buat Mark, apa, sih, yang enggak?
Budak cinta, kata Chenle. Memang, sih.
“Boleh, boleh. Mau yang mana? Tinggal ambil!” senyum Mark mengembang sempurna. Hati Haechan makin terpana. Tuhan, ciptaanMu nggak punya celah buat dihina.
“Haha bercanda, bang!”
“Loh, saya seriusan. Mau minta tolong anter pulang nih, bayarannya boba. Boleh, nggak?” Dan siapa Haechan berani menolak permintaan pujaan hatinya?
“Waduh, nggak perlu dibayar juga saya anter sampai ke tangan orang tua, bang, kan kita bestfriend sejak saya maba,” jawab Haechan, tersipu malu tapi enggan memberi tahu. Keduanya lepas tawa dan aura ceria.
Hari ini biar dibayar boba, besok, bayar dia pakai cinta, ya, bang!
“Abang kok mau-mau aja dititipin boba sekresek gede gitu? Kalau saya sih males, tenaga saya terbuang sia-sia,” gerutuan Haechan diredam helm dan angin jalanan. Mark yang menumpu tangan pada pahanya jadi sedikit bingung.
“Hah???!? Nggak denger!!!!” pekiknya, suara kendaraan dan deru mesin-mesin berasap penuhi gendang telinga, Haechan tersenyum menang.
“ABANG GANTENG BANGET!!!” balas Haechan, berteriak karena yakin Mark nggak akan dengar kalimat memalukannya. Kalau Chenle tahu, jelas Haechan akan dibully sebulan penuh.
“HAHH??? APA SIH CHAN???”
“SAYA SUKA ABANG!!!”
“NGGAK DENGER!!!” Laju motor makin dipacu, angin memburu, mesin berderu, detak jantung bergemuruh dan nadi jadi taruhan. Haechan cuma pemuda jatuh cinta dan Mark cuma orang yang suka denial.
Mark dengar semua.
Kalau ditanya, apa Mark sejenis makhluk kurang peka yang nggak kenal kode dalam cinta dan asmara, maka Mark cuma bisa tertawa jenaka.
Semua cuma pura-pura. Mark paham tiap binar semangat Haechan, tensi menegangankan dari keduanya kala cuma berdua, juga semua perlakuan penuh perhatian yang secara natural terbentuk.
Orang jatuh cinta itu seperti buku terbuka. Mudah dibaca, mudah dibatasi.
Pertanyaan sesungguhnya adalah; apa Mark juga merasakan hal yang sama?
“Enggak, lah. Sinting. Gue masih suka perempuan, kok,” kilahnya sambil sesap batang rokok. Kaki dinaikkan satu ke atas meja. Asap putih kelabu bak cerobong asap penuhi ruangan dengan meja hijau biliar.
Mark sedang nikmati hidupnya jadi remaja abad terkini, pun, otaknya berkelana jauh mencoba mengenali perasaan asing yang dia punya akhir-akhir ini.
“Ye si monyet segala denial. Suka cowok mah ngaku aja, bukan aib, kali. Lo kaya sama siapa aja,” Hendery buka suara. Bola berwarna putih ditembak ke angka sebelas. Lubang terisi penuh dan suara bola bergulir jadi musik yang isi keheningan di arena judi.
“Gue gak suka, ya, lo asal label orientasi gue,” desis Mark sinis. Putung rokok dia matikan, dia injak bersama abu dengan sepatu beratnya.
“Wets, wets. Chill. Santai. Kalau nggak, ya, enggak. Jangan galak dong, bos.” Lucas yang sedari tadi sibuk tenggak bir pahit angkat bicara, lempar guyonan berharap atmosfer mendingin.
“Gue enggak gay. Gak usah sok tau perihal orientasi gue.” Kalimat Mark tajam menusuk, Hendery cuma angkat bahu karena baginya Mark cuma remaja denial yang takut diperdom dunia.
Padahal cinta nggak perlu validitas, baginya.
“Lo udah denger?” tanya Jaemin. Seret kursi kantin lalu duduk di sebelah Haechan yang tatapi ponsel dengan muram. “Katanya Bang Mark udah pacaran sama adek tingkatnya, gak tau deh siapa. Udah go public.”
“Enggak usah lo perjelas, bangsat, lo pikir dari tadi gue ngeliatin apa? Togel?” Haechan sewot. Kelewat sensi dan tahan mati-matian tetesan air mata yang menggenang di pelupuk mata.
Nggak lepas dari perhatian Jeno. Pemuda itu tahu kalau Haechan punya Hati kelewat lembut dan halus. Sedihnya menguar nyala seperti suar. Remaja patah hati, aromanya lebih menyedihkan dari drama picisan tentang perselingkuhan.
“Ya enggak usah dipandangin. Kaya yang kurang kerjaan aja. Nangis mah tinggal nangis,” katanya. Akhirnya angkat bicara karena kelewat sebal. Haechan terlalu bebal.
“Malu, tolol.”
“Kaya yang punya malu aja.” Celetukan Jaemin lepas di udara, pukulan kemeja flannel jadi cara Haechan ungkapkan kekesalannya.
“Gue sedang bersedi, di mana ungkapan bela sungkawa lo, hah?!” Haechan tuntut sebuah kalimat duka cita, Jaemin yang kelewat malas menjawab cuma angkat bahu sambil bilang;
“Move on, ya, bro. Sadar diri aja.”
Nggak perlu menunggu waktu lama, botol saus pedas melayang di antara kursi kantin padat penghuni. Seruan serapah Haechan menggema, dia bawa patahan hatinya jauhi kantin, menangis, bukan pilihannya hari ini.
“Ah, bangsat. Sedih banget, setan. Anjing, anjing. Gue sedih banget anjing, perkara cinta doang gue lemah.” Kursi di depan indomaret jadi pilihan Haechan melepas emosi, air matanya menggenang di pelupuk tapi dia nggak berikan ijin buat turun meluruh, egonya minta diberi makan. Haechan bilang, laki-laki nggak seharusnya menangis di depan umum.
Mark cuma terlalu sempurna buat dia titipi rasa, tapi mau bagaimana lagi, jatuh cinta kan nggak pilih-pilih?
“Kenapa bisa gue suka sama modelan tampang soft boy kelakukan bajingan macem Mark Lee, sih?” gerutu Haechan, gilas kacang telur dengan harapan rasa sesak di dada berkurang drastis. Satu kaleng soda dia tenggak sampai sisa setengah. Matanya memejam guna tahan derasnya air kesedihan.
“Loh, enggak pulang, Haechan?” Sampai sebuah suara familiar bangunkan dia dari rasa tertekan—Mark Lee. Berdiri di depannya dengan gandengan tangan terjalin di bawah. Pasangan anak kuliahan yang sedang kasmaran.
Ah, semesta, kenapa harus sekarang? Tepat ketika dia sedang berkabung buat hatinya yang patah?
“Oh, Bang Mark! Lagi rehat aja, panas banget saya enggak kuat.” Aduh, kalau ada penghargaan buat orang paling sok kuat, tolong beri pada Haechan. Senyum jenakanya dipasang seolah yang dia lihat bukan sumber patah hatinya.
Atensi jatuh pada genggaman tangan, dan Mark, bersumpah demi Tuhan, sama sekali nggak bermaksud buat melepas tautan pacarnya.
Mark nggak mengerti kenapa dia lakukan hal tadi.
“Kalau gitu saya duluan, ya?” Mark lambaikan tangan, hati berisik karena terusik. Pacarnya cuma pasang wajah bingung. Ada yang aneh dengan Mark—
Dan Haechan perhatikan semua.
“Lah anjing? Sia-sia dong air mata gue, anak setan.” Walau mengumpat penuh emosi, senyum nggak luntur dari wajah yang disiram cokelatnya madu. Siang hari yang terik, kalah panas dengan debaran jantung Haechan.
Laki-laki jatuh cinta itu, memang banyak tingkahnya.
“Kamu aneh banget,” kata si perempuan. Minggu ketiga jalin asmara, dia nggak bodoh buat pahami kalau sikap Mark kian mengherankan. Tiba-tiba romantis, tiba-tiba dramatis. Tiba-tiba anarkis (menyeretnya ke sana ke mari guna pamer kalau Mark punya pacar yang cantik.), tiba-tiba melankolis.
Tiba-tiba kehilangan minat padanya, kehilangan semua karsa dan rasanya.
“Aku gini-gini aja,” jawab Mark sekenanya. Tangan sibuk pasang helm pada spion motor, ngak menghindahkan raut bosan pacarnya.
“Udahan aja, yuk?”
Sampai satu kalimat buat Mark terdiam. Nggak, dadanya nggak sakit atau kaget karena patah hati, Mark cuma sedikit … nggak menyangka kalau dia diputuskan?
“Kok?”
“Ya kamu udah dapet jawabannya, kan? Bukan. Bukan aku yang kamu cari, bukan perempuan cantik. Mau buktiin apa lagi ke orang-orang? Udahan, aku juga udah bosen,” jelasnya. Rapikan poni, tepuk bahu kokoh Mark dan pergi begitu saja meninggalkan kata selesai.
“Ini gue diputusin? Jawaban apa, coba. Dasar aneh.”
Yang Mark nggak Mark pahami adalah, kalau selama menjalin hubungan, dia memang cari validasi dari orang-orang;
Kalau rasanya salah, dan dia bergerak ke tempat lain.
“Tumben nggak sama Bang Mark?” Haechan bukannya mau sok kenal atau berusaha jahit gelar fuck boy di lengannya. Murni penasaran, apapun yang menyangkut Mark akan dia perhatikan.
Termasuk tentang pacar Mark.
“Udah putus,” sahut si perempuan dengan gamblang.
“HAH?! YANG BENER LU??????????” Satu penghuni taman mendadak pasang atensi pada keduanya. Si perempuan pukul bahu Haechan, sadarkan sang empunya dari rasa terkejut.
“Enggak usah lebay. Baru aja putus, kok!”
“Nggak, maksudnya, kok bisa, anjir??????”
“Ya ngapain pacaran sama gue kalau di hatinya cuma ada lo?” Si Perempuan pergi tinggalkan Haechan dengan aura merah muda suram, dengan isi kepala saling bersahutan, dengan raga setengah nyala. Otak Haechan Cuma nggak bisa merangkai semua kejadian secara bersamaan.
“Bang Mark … apa?”
“Sukanya lo.”
“Ah, bercandanya nggak lucu. Jelas-jelas pernah pacaran sama lo, jelas dia nggak suka cowok. Mana mungkin, ah. Tau diri aja, gue,” kata Haechan. Tertawa renyah sambil acak rambutnya pasrah. Mereka sedang bicarakan Mark Lee yang sempurna itu, kan?
Tuhan, pernah berbagi satu motor dengannya saja, Haechan mau menyembah semesta yang kadang berlaku kurang ajar. Apalagi diasumsikan jadi tempat penitipan hatinya?
Enggak waras.
“Yeh, batu. Denger, ya. Yang namanya suka, ya suka. Mau lo cewek, cowok, atau yang lain, kalau suka, ya suka. Mau mark pacarin seratus cewekpun, kalau hatinya mau lo, ya artinya harus lo.
Cuma dia memang bego aja segala denial.” Panggil Haechan gila, karena secepat mantan Mark pergi, secepat itu juga dia berlari belah lalu lintas di kampus. Menahan rasa senang membuncah karena sepertinya, penantian akan segera usai, atau enggak sama sekali?
“Gue selengkat mau? Lari itu yang bener.”
Langkah kaki Haechan berhenti kala di depannya ada sosok Renjun yang menatapnya sinis. Malas berdebat, Haechan pilih buang arah dan tinggalkan Renjun—sungguhan mau pergi kalau saja pemua kecil itu nggak teriakkan hal serupa;
“Udah dapet apa yang lo mau, kan? Sekarang udahan sedihnya. Gak cocok, bangsat. Selamat merjuangin cinta!”
Mark bukan tipikal yang akan meratapi kandasnya hubungan. Dia cuma akan evaluasi segala hal di kepala, tentang apa yang salah dan apa yang dia lakukan.
“Gue nggak ngerti, nggak bisa paham isi kepala. Kenapa cuma ada Haechan, sih? Nyadar anjir. Dia temen lo. Adik tingkat yang lo dampingin.
Nggak lucu, Mark Lee.”
“Kata siapa?
“Anjing kaget!” Tawa renyah jadi sahutan, jantung Mark berhenti berdetak buat satu detik sebelum berdebar kencang karena Haechan berdiri di depannya dengan keringat mengucur dan tampang acak-acakan.
Lucu, tampan. Ganteng.
“Halo, Bang! Denger-denger udah putus, ya? Waduh. Itu sih pertanda harus jadi pacar saya, Bang,” katanya. Nggak kenal jeda, nggak kenal salam. Langsung muntahkan kalimat cinta dan buat Mark mati kutu.
“Hah? Nggak usah banyak gaya, bocah,” jawabnya. Mark akui dia gugup, dia nggak takut. Mark yakin seribu persen kalau dia nggak suka dengan adik tingkat yang selalu ada di sekitarnya ini. Teman baiknya.
“Hadah-hadah, nggak usah segala denial, sini saya anter balik lagi? Nggak usah bayar pakai boba. Bayar pakai afeksi dan suka balik aja, gimana? Saya suka abang, suka banget sampai sayang.
Jadiin saya pacar abang, dong?”
Enggak. Mark nggak jawab, dia cuma pakai helmnya, “bonceng gue ke rumah, bawa motor gue.”
Singkirkan rasa denial dulu, Mark mau pelajari perihal hati, barang kali, Haechan memang pujaan hati.
[ litaniraya. ]