pridehyuck

Cangkir Rasa

Ambil hati Mark? Bukannya nggak bisa, tapi Mark nggak bersedia dibuat jatuh cinta. Haechan, semangat, ya?

tags bxb, markhyuck, roncom, 2k words, profanities


Kalau ditanya, kenapa, sih Haechan suka Mark?

“Ya nggak tau. Namanya suka ya suka aja. Lo kalau ditanya kenapa suka nonton turnamen futsal, jawab apa?” Kalimat sarkastik Haechan lempar di atas meja warteg. Anak kuliahan yang baru mencecap susahnya jadi mahasiswa tengah isi perut di rumah makan sederhana pinggir jalan. Lempar canda tawa sekalian senggol privasi sedikit.

“Ya karena hobi,” jawab Chenle sekenanya. Kunyah makanan cepat saji yang dia beli terpisah; nggak terbiasa makan makanan warteg.

“Ya sama.”

“Lo hobi naksir orang?”

“Enggak gitu goblok.” Satu pukulan main-main mendarat di kepala Jaemin, Haechan mendengus jengkel. Emosi dengan pemikiran dangkal Jaemin. “Ya rasa suka gue ini memang hobi aja nyangkut di Mark. Gue bisa apa, anying!”

“Bisa nggak berhenti jadi alay? Eneg.” Renjun yang sedari tadi diam sambil makan nasi campurnya, akhirnya buka suara. Seruput es teh manis Jeno yang nggak bisa bilang apapun selain senyum dengan tabah.

“Elu kalau nggak protes masalah hati gue sehari aja kayanya meninggal, ya?”

Renjun dan Haechan nggak bisa disatukan. Mereka tahu. Keduanya bukan teman dekat. Renjun adalah tetangga Jeno, yang ke mana-mana harus dengan Jeno, termasuk main dengan Haechan dan yang lainnya.

“Sia-sia banget hidup gue kalau berakhir gara-gara lo yang bucin tolol ini,” dengus Renjun. Haechan jelas akan lempar seenggaknya sendok stainless pilihannya pada Renjun kalau saja nggak ingat; warteg ini suka minta ganti rugi hal yang nggak jelas. Dan Renjun sudah terlampau jauh di depan sana.

“Ya … maafin tetangga gue, ya? Tapi ada baiknya lo pikirin juga, suka sama Mark sama aja kaya lo suka sama Hinata. Mustahil, kan nggak nyata.” Jeno ikut berdiri, maksud hati susul Renjun tapi pertanyaan Jisung membuyarkan atmosfer menyedihkan di meja pojok.

“Bang Mark nggak nyata, bang?” tanyanya dengan alis berkerut.

“Perasaannya Bang Mark ke Haechan yang nggak nyata.”

“Bajingan.” Dan lagi, meja pojok di warteg rusuh karena perkelahian Jaemin dan Haechan.


Haechan juga nggak mengerti kenapa dia bisa suka Mark yang terlihat biasa-biasa saja. Bergaul secukupnya, kakak tingkat normal buat mahasiswa baru (yang nggak terlalu baru juga.). Tapi Mark memang dikenal banyak orang karena dermawan dan suka turun ke lingkar pertemanan manapun; idaman.

“Oh. Bang! Mau pulang?” Senyum lebar Haechan makin terang, dia dapati Mark berjalan ke arahnya dengan menenteng seplastik boba.

“Loh Haechan? Belum pulang? Saya mau pulang, nih, habis beliin temen boba.”

Kan?

Bagaimana bisa Haechan nggak jatuh cinta pada sosok dermawan dan sopan seperti Mark? Pendamping sempurna buat dia yang blangsakan dan sangat berantakan.

“Waduh, asik banget beli boba. Saya juga mau, dong, bang?” Bicara formal jelas bukan gaya Haechan. Tapi kalau buat Mark, apa, sih, yang enggak?

Budak cinta, kata Chenle. Memang, sih.

“Boleh, boleh. Mau yang mana? Tinggal ambil!” senyum Mark mengembang sempurna. Hati Haechan makin terpana. Tuhan, ciptaanMu nggak punya celah buat dihina.

“Haha bercanda, bang!”

“Loh, saya seriusan. Mau minta tolong anter pulang nih, bayarannya boba. Boleh, nggak?” Dan siapa Haechan berani menolak permintaan pujaan hatinya?

“Waduh, nggak perlu dibayar juga saya anter sampai ke tangan orang tua, bang, kan kita bestfriend sejak saya maba,” jawab Haechan, tersipu malu tapi enggan memberi tahu. Keduanya lepas tawa dan aura ceria.

Hari ini biar dibayar boba, besok, bayar dia pakai cinta, ya, bang!

“Abang kok mau-mau aja dititipin boba sekresek gede gitu? Kalau saya sih males, tenaga saya terbuang sia-sia,” gerutuan Haechan diredam helm dan angin jalanan. Mark yang menumpu tangan pada pahanya jadi sedikit bingung.

“Hah???!? Nggak denger!!!!” pekiknya, suara kendaraan dan deru mesin-mesin berasap penuhi gendang telinga, Haechan tersenyum menang.

“ABANG GANTENG BANGET!!!” balas Haechan, berteriak karena yakin Mark nggak akan dengar kalimat memalukannya. Kalau Chenle tahu, jelas Haechan akan dibully sebulan penuh.

“HAHH??? APA SIH CHAN???”

“SAYA SUKA ABANG!!!”

“NGGAK DENGER!!!” Laju motor makin dipacu, angin memburu, mesin berderu, detak jantung bergemuruh dan nadi jadi taruhan. Haechan cuma pemuda jatuh cinta dan Mark cuma orang yang suka denial.

Mark dengar semua.


Kalau ditanya, apa Mark sejenis makhluk kurang peka yang nggak kenal kode dalam cinta dan asmara, maka Mark cuma bisa tertawa jenaka.

Semua cuma pura-pura. Mark paham tiap binar semangat Haechan, tensi menegangankan dari keduanya kala cuma berdua, juga semua perlakuan penuh perhatian yang secara natural terbentuk.

Orang jatuh cinta itu seperti buku terbuka. Mudah dibaca, mudah dibatasi.

Pertanyaan sesungguhnya adalah; apa Mark juga merasakan hal yang sama?

“Enggak, lah. Sinting. Gue masih suka perempuan, kok,” kilahnya sambil sesap batang rokok. Kaki dinaikkan satu ke atas meja. Asap putih kelabu bak cerobong asap penuhi ruangan dengan meja hijau biliar.

Mark sedang nikmati hidupnya jadi remaja abad terkini, pun, otaknya berkelana jauh mencoba mengenali perasaan asing yang dia punya akhir-akhir ini.

“Ye si monyet segala denial. Suka cowok mah ngaku aja, bukan aib, kali. Lo kaya sama siapa aja,” Hendery buka suara. Bola berwarna putih ditembak ke angka sebelas. Lubang terisi penuh dan suara bola bergulir jadi musik yang isi keheningan di arena judi.

“Gue gak suka, ya, lo asal label orientasi gue,” desis Mark sinis. Putung rokok dia matikan, dia injak bersama abu dengan sepatu beratnya.

“Wets, wets. Chill. Santai. Kalau nggak, ya, enggak. Jangan galak dong, bos.” Lucas yang sedari tadi sibuk tenggak bir pahit angkat bicara, lempar guyonan berharap atmosfer mendingin.

“Gue enggak gay. Gak usah sok tau perihal orientasi gue.” Kalimat Mark tajam menusuk, Hendery cuma angkat bahu karena baginya Mark cuma remaja denial yang takut diperdom dunia.

Padahal cinta nggak perlu validitas, baginya.


“Lo udah denger?” tanya Jaemin. Seret kursi kantin lalu duduk di sebelah Haechan yang tatapi ponsel dengan muram. “Katanya Bang Mark udah pacaran sama adek tingkatnya, gak tau deh siapa. Udah go public.

“Enggak usah lo perjelas, bangsat, lo pikir dari tadi gue ngeliatin apa? Togel?” Haechan sewot. Kelewat sensi dan tahan mati-matian tetesan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Nggak lepas dari perhatian Jeno. Pemuda itu tahu kalau Haechan punya Hati kelewat lembut dan halus. Sedihnya menguar nyala seperti suar. Remaja patah hati, aromanya lebih menyedihkan dari drama picisan tentang perselingkuhan.

“Ya enggak usah dipandangin. Kaya yang kurang kerjaan aja. Nangis mah tinggal nangis,” katanya. Akhirnya angkat bicara karena kelewat sebal. Haechan terlalu bebal.

“Malu, tolol.”

“Kaya yang punya malu aja.” Celetukan Jaemin lepas di udara, pukulan kemeja flannel jadi cara Haechan ungkapkan kekesalannya.

“Gue sedang bersedi, di mana ungkapan bela sungkawa lo, hah?!” Haechan tuntut sebuah kalimat duka cita, Jaemin yang kelewat malas menjawab cuma angkat bahu sambil bilang;

Move on, ya, bro. Sadar diri aja.”

Nggak perlu menunggu waktu lama, botol saus pedas melayang di antara kursi kantin padat penghuni. Seruan serapah Haechan menggema, dia bawa patahan hatinya jauhi kantin, menangis, bukan pilihannya hari ini.

“Ah, bangsat. Sedih banget, setan. Anjing, anjing. Gue sedih banget anjing, perkara cinta doang gue lemah.” Kursi di depan indomaret jadi pilihan Haechan melepas emosi, air matanya menggenang di pelupuk tapi dia nggak berikan ijin buat turun meluruh, egonya minta diberi makan. Haechan bilang, laki-laki nggak seharusnya menangis di depan umum.

Mark cuma terlalu sempurna buat dia titipi rasa, tapi mau bagaimana lagi, jatuh cinta kan nggak pilih-pilih?

“Kenapa bisa gue suka sama modelan tampang soft boy kelakukan bajingan macem Mark Lee, sih?” gerutu Haechan, gilas kacang telur dengan harapan rasa sesak di dada berkurang drastis. Satu kaleng soda dia tenggak sampai sisa setengah. Matanya memejam guna tahan derasnya air kesedihan.

“Loh, enggak pulang, Haechan?” Sampai sebuah suara familiar bangunkan dia dari rasa tertekan—Mark Lee. Berdiri di depannya dengan gandengan tangan terjalin di bawah. Pasangan anak kuliahan yang sedang kasmaran.

Ah, semesta, kenapa harus sekarang? Tepat ketika dia sedang berkabung buat hatinya yang patah?

“Oh, Bang Mark! Lagi rehat aja, panas banget saya enggak kuat.” Aduh, kalau ada penghargaan buat orang paling sok kuat, tolong beri pada Haechan. Senyum jenakanya dipasang seolah yang dia lihat bukan sumber patah hatinya.

Atensi jatuh pada genggaman tangan, dan Mark, bersumpah demi Tuhan, sama sekali nggak bermaksud buat melepas tautan pacarnya.

Mark nggak mengerti kenapa dia lakukan hal tadi.

“Kalau gitu saya duluan, ya?” Mark lambaikan tangan, hati berisik karena terusik. Pacarnya cuma pasang wajah bingung. Ada yang aneh dengan Mark—

Dan Haechan perhatikan semua.

“Lah anjing? Sia-sia dong air mata gue, anak setan.” Walau mengumpat penuh emosi, senyum nggak luntur dari wajah yang disiram cokelatnya madu. Siang hari yang terik, kalah panas dengan debaran jantung Haechan.

Laki-laki jatuh cinta itu, memang banyak tingkahnya.


“Kamu aneh banget,” kata si perempuan. Minggu ketiga jalin asmara, dia nggak bodoh buat pahami kalau sikap Mark kian mengherankan. Tiba-tiba romantis, tiba-tiba dramatis. Tiba-tiba anarkis (menyeretnya ke sana ke mari guna pamer kalau Mark punya pacar yang cantik.), tiba-tiba melankolis.

Tiba-tiba kehilangan minat padanya, kehilangan semua karsa dan rasanya.

“Aku gini-gini aja,” jawab Mark sekenanya. Tangan sibuk pasang helm pada spion motor, ngak menghindahkan raut bosan pacarnya.

“Udahan aja, yuk?”

Sampai satu kalimat buat Mark terdiam. Nggak, dadanya nggak sakit atau kaget karena patah hati, Mark cuma sedikit … nggak menyangka kalau dia diputuskan?

“Kok?”

“Ya kamu udah dapet jawabannya, kan? Bukan. Bukan aku yang kamu cari, bukan perempuan cantik. Mau buktiin apa lagi ke orang-orang? Udahan, aku juga udah bosen,” jelasnya. Rapikan poni, tepuk bahu kokoh Mark dan pergi begitu saja meninggalkan kata selesai.

“Ini gue diputusin? Jawaban apa, coba. Dasar aneh.”

Yang Mark nggak Mark pahami adalah, kalau selama menjalin hubungan, dia memang cari validasi dari orang-orang;

Kalau rasanya salah, dan dia bergerak ke tempat lain.


“Tumben nggak sama Bang Mark?” Haechan bukannya mau sok kenal atau berusaha jahit gelar fuck boy di lengannya. Murni penasaran, apapun yang menyangkut Mark akan dia perhatikan.

Termasuk tentang pacar Mark.

“Udah putus,” sahut si perempuan dengan gamblang.

“HAH?! YANG BENER LU??????????” Satu penghuni taman mendadak pasang atensi pada keduanya. Si perempuan pukul bahu Haechan, sadarkan sang empunya dari rasa terkejut.

“Enggak usah lebay. Baru aja putus, kok!”

“Nggak, maksudnya, kok bisa, anjir??????”

“Ya ngapain pacaran sama gue kalau di hatinya cuma ada lo?” Si Perempuan pergi tinggalkan Haechan dengan aura merah muda suram, dengan isi kepala saling bersahutan, dengan raga setengah nyala. Otak Haechan Cuma nggak bisa merangkai semua kejadian secara bersamaan.

“Bang Mark … apa?”

“Sukanya lo.”

“Ah, bercandanya nggak lucu. Jelas-jelas pernah pacaran sama lo, jelas dia nggak suka cowok. Mana mungkin, ah. Tau diri aja, gue,” kata Haechan. Tertawa renyah sambil acak rambutnya pasrah. Mereka sedang bicarakan Mark Lee yang sempurna itu, kan?

Tuhan, pernah berbagi satu motor dengannya saja, Haechan mau menyembah semesta yang kadang berlaku kurang ajar. Apalagi diasumsikan jadi tempat penitipan hatinya?

Enggak waras.

“Yeh, batu. Denger, ya. Yang namanya suka, ya suka. Mau lo cewek, cowok, atau yang lain, kalau suka, ya suka. Mau mark pacarin seratus cewekpun, kalau hatinya mau lo, ya artinya harus lo.

Cuma dia memang bego aja segala denial.” Panggil Haechan gila, karena secepat mantan Mark pergi, secepat itu juga dia berlari belah lalu lintas di kampus. Menahan rasa senang membuncah karena sepertinya, penantian akan segera usai, atau enggak sama sekali?

“Gue selengkat mau? Lari itu yang bener.”

Langkah kaki Haechan berhenti kala di depannya ada sosok Renjun yang menatapnya sinis. Malas berdebat, Haechan pilih buang arah dan tinggalkan Renjun—sungguhan mau pergi kalau saja pemua kecil itu nggak teriakkan hal serupa;

“Udah dapet apa yang lo mau, kan? Sekarang udahan sedihnya. Gak cocok, bangsat. Selamat merjuangin cinta!”


Mark bukan tipikal yang akan meratapi kandasnya hubungan. Dia cuma akan evaluasi segala hal di kepala, tentang apa yang salah dan apa yang dia lakukan.

“Gue nggak ngerti, nggak bisa paham isi kepala. Kenapa cuma ada Haechan, sih? Nyadar anjir. Dia temen lo. Adik tingkat yang lo dampingin.

Nggak lucu, Mark Lee.”

“Kata siapa?

“Anjing kaget!” Tawa renyah jadi sahutan, jantung Mark berhenti berdetak buat satu detik sebelum berdebar kencang karena Haechan berdiri di depannya dengan keringat mengucur dan tampang acak-acakan.

Lucu, tampan. Ganteng.

“Halo, Bang! Denger-denger udah putus, ya? Waduh. Itu sih pertanda harus jadi pacar saya, Bang,” katanya. Nggak kenal jeda, nggak kenal salam. Langsung muntahkan kalimat cinta dan buat Mark mati kutu.

“Hah? Nggak usah banyak gaya, bocah,” jawabnya. Mark akui dia gugup, dia nggak takut. Mark yakin seribu persen kalau dia nggak suka dengan adik tingkat yang selalu ada di sekitarnya ini. Teman baiknya.

“Hadah-hadah, nggak usah segala denial, sini saya anter balik lagi? Nggak usah bayar pakai boba. Bayar pakai afeksi dan suka balik aja, gimana? Saya suka abang, suka banget sampai sayang.

Jadiin saya pacar abang, dong?”

Enggak. Mark nggak jawab, dia cuma pakai helmnya, “bonceng gue ke rumah, bawa motor gue.”

Singkirkan rasa denial dulu, Mark mau pelajari perihal hati, barang kali, Haechan memang pujaan hati.

[ litaniraya. ]

Ayah baru kali ini jadi seorang Ayah, tolong dimaafkan ya, Dirgantara Muda?


tags ayah POV, bagian dari per;fect, melokalverse, alur mundur dan acak, mentions of insecurity and anxiety, parenting issues, mentioning alcohol and smoking


Perihal Ayah, tentang semua duka dan resahnya. Duduk diam di bawah malam, tubuh dipeluk sedih dan mulut disumpal tembakau pahit. Tenggorokan dibalur bir kalengan, kepala dipenuhi sesal.

Ayah punya beban berat di bahu, Ayah cuma pria kesepian yang berharap berhasil didik seorang remaja hilang arah. Aksaranya gagal diukir rapi, berantakan karena Ayah baru kali ini jadi seorang Ayah.

Tanpa pengalaman, tanpa arahan. Sendirian membawa Aksa menghadapi dunia. Kalau ada salah langkah, tolong, tolong maafkan Ayah.

Ayah nggak mengerti kinerja alam dan semesta, ketika dia dewasa dan punya Aksara, dia cuma tahu rusuk dan belikatnya harus sekuat baja. Hati selapang halaman dan pikiran seluas samudra. Kalau Aksa jatuh, Ayah sudah pasti lebih dulu sakit tanpa boleh mengeluh.

“Malvin monyettttt!!!”

Malam itu, tubuh lelah yang dibalut kemeja kerja mematung di ruang tengah. Suara kamar Aksa menggaungkan suka cita yang jarang bisa Ayah dengar. Sepatu asing di depan rumah juga tawa renyah putranya, Ayah mengerti ada yang salah di rumah ini.

Ada yang berbeda dari Aksa, pun, Ayah sudah mengerti dari awal kalau putranya nggak sama dengan teman sebaya lainnya.

“Nak, Ayah cuma bingung harus jelasin apa ke Ibumu nanti,” katanya. Mata sendu perhatikan kotak pizza yang dia letakkan di atas meja. Kirim pesan singkat sebelum menutup pintu rumah.

Malam ini biar Ayah tidur di hostel, biar Aksa nikmati cinta remajanya secara diam-diam, klandestin abstrak, biar Aksa dan Malvinnya di kamar berdua. Ayah merelakan di kamar hostel sendirian.


“Nggak nyangka, ya? Anakmu sendiri punya kisah yang sama seperti ayahnya. Dunia ini memang lucu sekali bercandanya.”

Ayah sempat terkejut waktu nikmati kopi pahit di coffee shop dekat rumah sakit. Perhatikan seorang dokter kandungan yang lepas semua atribut dokternya, duduk di depannya sambil topang dagu penuh miris.

Perasaan Ayah terkikis, Althena hampir berhasil memicunya untuk menangis.

“Althena, katanya kita sudah selesai?”

Dokter Althena tertawa, tangan dikibaskan seolah yang tadi humor murahan. Ramainya tempat menyesap kopi nggak usik keduanya untuk berinteraksi. Dunia, semesta, coba lihat dua insan yang dulu kalian paksa berpisah. Sekarang duduk melingkar di meja tanpa resah juga gelisah.

Cuma ada dua raga dewasa yang sama-sama rela.

“Loh, memang. Kan nggak pernah dimulai dari awal? Jelas selesai. Tapi Jo, anakmu itu, kalau kamu sayang, dibiarkan berjuang. Aku belum jadi seorang Ayah, aku nggak tau susahnya, aku nggak tau sedihnya. Tapi sebagai Ayah, kamu maunya Aksa bahagia-bahagia aja, kan?”

Kalimat tadi menusuk jiwa mati Ayah. Menarik suram dan kusamnya perasaan Ayah, memberi sedikit lampu di gelapnya malam Ayah. Aksara, Dirgantara satu-satunya. Jalan berliku diterjang, tapi di hadapan norma, bisa apa?

Harusnya Ayah dulu nggak coba-coba. Paham cinta seharusnya selesai di aku suka kamu. Itu saja, kok, nggak lebih. Nggak memaksa diri buat ikatkan jiwa dengan perempuan malang yang nggak tau apa-apa.

Ayah adalah sebuah kegagalan, kegagalan nyata yang dia turunkan pada Aksa dan buat hidup putranya jadi berantakan.

“Jadi seorang Ayah nggak mudah. Apalagi ini pertama kalinya. Kamu belajar dari air mata Aksa sejak lahir, amati sekitar dari tumbuh kembang Aksa sejak pertama ada di dunia. Jadi Ayah nggak mudah, susah senang, kamu tanggung sendirian.

Tapi jadi Ayah, bukan berarti gagal dan duka kamu semua yang tanggung. Enggak, nggak ada yang namanya gagal jadi manusia. Kamu cuma susah ketemu jalan ke luar, kamu cuma perlu waktu buat belajar.” Dokter Althena perhatikan jam melingkar di pergelangan tangan, pamit tinggalkan Ayah yang merenung sendirian.

Tepukan di bahu, seolah menegarkan; kerja bagus, Jo. Sekarang istirahat sebentar. Biar Aksa yang putuskan dia mau ke mana.


“In, aku susah sendirian. Anak kita nggak suka perempuan. Jovinka, ini salahku dari awal, In, maafin aku. Aku gagal jadi Ayah.”

Aksara nggak akan pernah tahu kalau ada satu waktu, Ayahnya menangis di sambungan telepon di jam dua pagi. Hubungi mantan istrinya dan mengadu penuh sesal. Bercerita bagaimana Ayah merasa gagal sudah besarkan Aksara, tumpahkan semua karmanya pada putra satu-satunya.

“Jo … Jo, Dirgantaranya aku, Jo, kita ini sudah jadi orang tua. Kita lewatin manis pahitnya besarin anak walau bareng cuma beberapa tahun. Jo, apa-apanya Aksa, nggak melulu karena masa lalu kamu—kita.

Anak, ya anak. Pribadi sendiri, bukan hasil karya masa lalu orang tua, anak, ya anak. Punya hidup sendiri, jalan sendiri, kita cuma peta abstrak yang bantu mereka jalan sendiri,”

kata Ibu. Suaranya bergetar. Ibu sama hancurnya, sama berantakannya. Keduanya seperti puzzle usang yang menyebar di satu ruang. Sama-sama sakit, sama-sama menderita.

Aksara, satu-satunya harta yang dipertahankan tetap ada.

“Aku gagal. Aku nggak tahu harus apa, Dirgantara Muda kita, kasihan. harus lawan dunia sendirian, aku bisa apa selain bilang semangat dan terus berjuang? Anakmu, anak kita bilang mau ke Jerman.

Anak kita nanti lepas dari genggaman, sama temannya yang dia cinta. In, aku nggak tau kalau jadi orang tua artinya rela lepas anak di jalanan berduri sendirian.”

Hening di jam dua pagi, bir kalengan diteguk kalap, asap rokok cekik tenggorokan. Jangkrik malam makin berisik seolah minta Ayah buat tidur dan lupakan semua lara. Sekali saja, Ayah harus pejamkan mata tanpa khawatir tentang hari esok. Tanpa khawatir kalau Aksa besok akan tersandung duka atau dirundung luka.

Sekali saja, Ayah harus istirahat dan percaya semua akan baik-baik saja.

“Nggak apa-apa. Aku rela. Aksara kita, tolong jadi anak yang bahagia. Jo, nggak apa-apa. Kita nggak gagal, kita orang tua berhasil.

Anak kita bisa putusin pilihan seberat dan sesulit itu sendirian, Jo, kita berhasil. Berbangga hati, ya? Aku pamit dulu, Kirana kebangun,”

kata Ibu. Tutup sambungan telepon, tinggalkan Ayah yang jatuh bersandar pada dinding kusam.

Sesak. Sesak sekali. Bayangan kalau anaknya akan diperdom sana-sini oleh lingkungan, caci maki dari mulut kurang beradab dan bagaimana susahnya Aksa menjalani hidup nanti. Ayah nggak bisa berhenti menyalahkan dirinya.

“Aksa, Aksaranya Ayah. Maaf … maafin Ayah. Ayah jadi seorang ayah baru kali ini, salah langkah dan kurang pantasnya, tolong dimaafkan, ya? Tolong sukses dan tinggalin tempat ini dengan bahagia.

Tolongin Ayah, Ayah takut sekali kamu luka.”

Di rumah ini, cuma tembok yang tahu tentang air mata dan gemetar tulang Ayah. cuma jangkrik liar yang dengar takut dan kalut Ayah. Di rumah ini, cuma Ayah sendiri yang tahu bagaimana hidup amat menyakitkan di malam hari.


“Dirgantara Ayah, selamat pulang. Kalau gagal, tolong kembali ke Ayah. Jangankan istana, satu dunia juga Ayah bangun buat kamu. Tolong berbahagia putra Ayah.”

Bandara waktu itu beratus-ratus kali lebih menyedihkan. Ada seorang Ayah yang lepas putranya gapai mimpi, menjemput tambatan hati dan pulang ke rumah yang dibangun sendiri.

Di bandara itu pula, Ayah tumpahkan air mata yang dibungkus bersama buku tabungan juga kartu berisi sejumlah dana. Di bandara itu juga, Panglima Jalanan bersimpuh di bawah singgasananya. Memeluk kaki Ayah yang gemetar, hari itu, dua laki-laki rapuh nggak malu tunjukkan hancurnya mereka.

“Hati-hati pulangnya, nanti, Ayah tengok rumahmu, ya?”

“Ayah, janji sama Aksa ini air mata terakhir.”

Jadi seorang Ayah, artinya jadi tentara, benteng, sekaligus peluru itu sendiri supaya anaknya tetap berdiri gagah di bawah kuasa alam. Jadi seorang Ayah artinya siap jatuh bangun diterpa masalah. Jadi seorang Ayah artinya siap dengan segala musibah dan kuat berkawan dengan resah.

Menangis ... bukan hal tabu.

“Semoga, ya?” kata Ayah. Koper menjauh, raga makin rapuh. Dirgantara Mudanya pulang, Ayah bingung mau berpulang ke mana.

Ayah, terima kasih, ya? Ayo bahagia bersama?

[ litaniraya. ]

Rumpangnya takdir biar Bunda yang rampungkan. “Bunda nggak rela, tapi Bunda merelakan kamu.”

tags melokalverse, bagian dari per;fect, bunda's POV, alur mundur dan acak, mentions of anxiety, homophobic behavior, insecurity, kesedihan mendalam, heavy angst.


Ada satu waktu di mana Bunda benci dirinya yang selalu diselimuti kekhawatiran juga prasangka buruk. Ada satu waktu di mana Bunda benci dirinya yang jadi alasan Malvian nggak bahagia.

Bunda nggak pernah rela dengan pilihan hidup Malvin, tapi mau bilang apa? Restu dan relanya kunci bahagia kedua anak adam itu, Bunda sudah telan pahitnya dipisah ketika menjalin cinta. Malvin jangan.

“Papa, anakmu sudah besar. Sudah berani bawa pacarnya ke rumah. Papa, anakmu punya pacar,” kata Bunda. Hatinya berantakan mendengar kabar buruk dari sekolah. Sempat hilang sadar dengar bahwa Malviannya berkelahi hingga luka parah. Bunda cuma terlalu menyayangi satu-satunya lelaki yang dia punya … jangan salahkan Bunda.

“Tapi Pa, pacar anakmu … bukan gadis cantik yang punya rambut hitam panjang. Pacar anakmu … pacar anakmu laki-laki. Remaja urakan, namanya Aksara.

Pa, aku harus apa?”

Malvin nggak akan pernah tahu kalau sebelum berangkat kerja, Bunda selalu mengadu pada makam Papa. Menumpahkan air mata dan berkeluh kesah betapa susahnya jadi seorang Bunda sendirian, membesarkan remaja laki-laki yang punya pilihan hidup sendiri.

Malvin nggak pernah tahu sudah berapa liter air mata Bunda yang dipakai untuk menyuburkan rumput liar di permakaman umum.

“Aku sayang anak kita, aku nggak mau dia luka dan sedih. Tapi menyimpang begini jelas salah. Pa, aku kurang ajarkan agama? Aku kurang kenalkan dia dengan Tuhan? Pa, ini salahku kan, ya? Aku nggak pernah ada buat Malvin, dia tersesat sendirian.”

Denial adalah pilihan Bunda. Pura-pura semua hal nggak pernah terjadi dan perlahan tuntun Malviannya pulang.

Bunda cuma belum mengerti kalau rumah tempat Malvin pulang bukan lagi dirinya. Malvin punya Dirgantara Muda untuk istirahatkan badan, punya Aksara yang lebih mengerti tentang dia dibanding Bunda yang jarang ada dan suka menuntut.

Sekali lagi, gagalnya orang tua jelas tinggalkan luka mendalam di masing-masing hati.


“Tapi kamu anak Tuhan,” kata bunda waktu itu. Meja makan hening di pagi hari, sarapan yang kelewat dingin untuk dilalui. Bunda nggak mengerti kenapa dia selalu berlindung di balik kalimat kamu anak Tuhan. Bunda nggak mengerti kenapa segala kalimat yang ke luar dari mulutnya, cuma bisa menyakiti hati dan terkesan menyudutkan.

Bunda cuma mau Malvin pulang. Pulang ke jalannya, ke rumahnya, ke pangkuannya.

Tapi Bunda lupa, anaknya remaja gigih yang jarang letih. Bunda lupa kalau anaknya sudah besar dan sadar, jalan bisa ditempuh dengan peluh dan kukuh.

“Pa, anakmu besar seperti lelaki sejati. Khawatirku ini tolong dimengerti.” Waktu itu, Bunda buram dan kelam, diam di dalam mobil saksikan dua insan rapuh saling menyusun teguh. Di depan pintu cokelat itu, dua anak adam bagi peluk untuk samarkan pelik. Surutkan khawatir juga hilangkan lelah, malam itu Bunda saksikan keduanya luruh dalam cinta juga duka.

Bunda cuma bisa tahan sesak sendirian, kirim pesan pada nomor mati yang dia simpan, pada mendiang suami yang raganya sudah dikebumikan.

Malvian punya Aksa untuk dipeluk, tapi Bunda sendirian.


“Nak, putra Bunda. Kalau saja kamu tahu Bunda sayang kamu sedalam samudra, seluas nabastala, juga abadi tanpa mati, kamu nggak akan alami banyak susah. Hancurnya Bunda, biar Bunda saja yang tau. Kamu tolong tetap hidup.

Tolong tetap lanjut berjalan, Malvian. Sakit dan caci maki biar Bunda yang tanggung,” bisik Bunda. Kamar hotel senyap karena Bunda menyelinap. Bisikkan curahan hati usai hari panjang penuh penghakiman di rumah keluarga utama.

Bunda mana yang nggak hancur lihat anaknya dihina dina? Dicaci maki dan diperdom sana-sini seolah dosa paling nyata? Bunda jelas tolak semua hinaan, biar … biar dia saja yang dihina. Jangan anaknya, jangan Malviannya.

Jangan lukai Malvian yang dia besarkan sendiri susah payah, diberi cinta dan kasih sayang dengan susah.

“Bunda nggak bisa rela, Malvin. Bunda nggak bisa kamu tinggal sendirian … bunda belum siap liat kamu hadapin dunia luar, Bunda belum bisa lihat kamu dapat tatapan hina dan merendahkan dari orang asing.

Malvin, tolong Bunda, nak.”

Pagi buta itu, Bunda juga jadi penonton. Perhatikan Malvin dan Aksa yang saling menguatkan di dalam mobil. Angin pagi kelewat dingin, tusuk tulang bunda sampai menggigil. Bagaimana Bunda bisa pisahkan dua remaja yang saling menguatkan agar tetap bernapas di kerasnya dunia?

Sedihnya Bunda sampai pada tindakan impulsif, kirim pesan pada Malvin … barang kali anaknya bisa memilihnya dibanding Aksara.

“Nggak bisa … nggak bisa, nak. Bunda sayang kamu, kamu mau ke mana Bunda cuma bisa diam. Nak, jangan ke mana-mana, ayo kembali ke bunda?” Pesan ditarik, faktanya, mau sehancur apapun hatinya, Bunda tetap usahakan yang terbaik buat putranya.


“Papa, putramu mau ke Jerman. Mau kejar beasiswa. Aku nggak mengerti kenapa semua tiba-tiba. Papa, aku bisa apa selain dukung dia belajar?” Pusara makam Papa tetap sepi, cuma diusap halus oleh tangan bergetar Bunda yang kasar ditempa kerasnya hidup.

Curahan hati lainnya, tangisan lainnya. Cuma makam ini yang tahu sakit juga sulitnya Bunda.

“Aku … aku cuma nggak bisa bayangkan hidup Malvian kalau tetap menyimpang dan lawan norma. Caci maki … hina sama bullying, anak kita akan terima semua itu, Pa. Malvian kita. Aku bakal ditinggal, Malvian nggak akan bisa bawa Aksa ke rumah kita. Aku ditinggal sendiri, Pa. Sama siapa aku hidup kalau enggak sama Malvin?”

Tumpah juga khawatir Bunda, luruh juga semua keluhan dan cemasnya. Bunda memang terkesan dingin dan sulit menerima, Bunda cuma orang tua yang mudah sedih dengan pikiran ditinggalkan anak semata wayang.

Dunia keras, aturan mencekik, norma terlalu kasar buat anak muda yang kenal cinta baru-baru ini. Bunda berusaha rela, tapi susah. Bunda nggak akan pernah bisa rela.

Dirangkum semua duka dan lara Bunda; dia cuma wanita hangat yang jadi dingin karena digerogoti takut dan kesedihan mendalam. Bunda hanya khawatir.


“Papa … papa, anakmu di bandara. Papa … sesak, aku sedih, aku sesak sekali, Papa tolong, anakmu sudah berangkat ke Jerman sana. Papa, sebentar lagi dia jemput bahagianya, dia tinggalin aku, dia tinggalin kita, dia bangun rumahnya sendiri.

Papa, sedih. Sedih sekali.”

Dada Bunda timbulkan bunyi dentuman kecil sebab dipukul dan ditepuk berkali-kali, mencoba redam rasa sakit dan sesak yang mencekik, tangisan Bunda berubah jadi pekikan frustasi. Permakaman sepi mendadak ramai dengan air mata dan jeritan menyedihkan.

Papa di bawah sana, cuma bisa gaungkan hening, merengkuh Bunda yang kesepian dengan angin sore hari yang hangat. Bunda, tolong bersabar. Relamu, dibalas senyuman Malvian.

“Mbak … Mbak Windi, ini Jovinka. Ibunya Aksara pacar anakmu. Saya datang ke mari … Malvian titip Bundanya sebentar, maaf lancang, mari … pelukan? Dua Ibu kalau berbagi emosi, pasti saling mengerti.”

Bahu bergetar Bunda ditepuk perlahan, terkejut gak lebih berarti dari patah hatinya. Buket bunga lili diletakkan di pusara, Ibu bersimpuh dan rengkuh tubuh rapuh itu. Tepukan pelan juga usapan penuh sayang jadi sapaan.

“Nggak apa-apa, Mbak. Bundanya Malvian hebat, nanti, kita lihat bahagianya anak kita, ya?” kata Ibu menenangkan. Air mata menggenang karena paham perasaan Bunda. Bunda yang memilih menangis di makam mendiang suaminya dibanding mengantar Malvin di bandara.

Ibu sama hancurnya, tapi pengertian Ibu jauh lebih cepat. Ibu pulih lebih dulu, Bunda masih dirundung pilu.

“Saya nggak rela, nggak pernah rela. Tapi saya merelakan.”

Ibu jauh lebih paham. Tingkat paling tinggi dari kasih sayang orang tua ialah; merelakan hal menyakitkan. Bunda cuma merelakan, bukannya rela tanpa alasan.

“Kisah anak kita, kita juga yang bantu susun. Saatnya berbahagia, Bundanya Malvin.”

Bunda terima kasih sudah berusaha merelakan. Bunda, mari berbahagia?

[ litaniraya. ]

Donghyuck buka pintu usang dan tawarkan cahaya hangat untuk Mark yang kepalang gelap.

tags markhyuck, bxb, ghost


Kamar ini lagi. Kamar gelap ini lagi, kamar menyedihkan ini lagi.

Udara yang sama. Udara menyesakkan penuh debu. Ventilasi penuh jaring laba-laba dan jelaga, kain putih berubah hitam, setelan kuno berubah kusam. Mark masih pemuda yang sama. Pemuda tersesat yang terjebak di kamar kosong ini.

Sendirian—sejak hanya Tuhan yang tahu kapan. Tahun berapa ini? Hari apa ini? Di mana ini? Nggak tahu. Mark cuma tahu namanya adalah Mark. Pemuda dengan setelan kuno yang cuma bisa duduk menatap dinding kusam dengan pikiran kesepian.

Apa dia arwah? Dia mayat? Dia manusia nggak berakal?

Yah, nggak tahu. Mark ada di sini sejak kapan, untuk apa, dan kenapa; dia nggak ingat. Mark pernah bercermin sekali, bayangannya nggak muncul. Apa itu artinya dia hantu? Mungkin. Apa Mark kesepian? Sangat.

Saking kesepiannya, Mark sampai lupa bagaimana cara menyapa, bagaimana rasanya aura hangat seseorang. Mark pikir, dia akan tetap sendirian sampai ke kematian berikutnya. Senyum bukan lagi jawaban buat tetap tegar.

Ha, lelucon. Lihat pintu yang berderit itu. Terbuka perlahan dan—

“JESUS!”

“Bung, santai.” Pekikan terkejut Mark dijawab santai oleh pemuda yang menggeret koper, lempar tatapan heran dan terbatuk kecil akibat debu yang berterbangan. “Wow, suram,” sambungnya.

“Tunggu … kamu bisa melihatku?!” pekik Mark lagi—pemuda itu mengerutkan dahinya bingung.

“Kamu yang punya kamar ini, kan?”

“ …. Bukan? Aku hantu—sepertinya—kamar ini.”

“Oh, pantas lusuh. Minggir, aku mau bersih-bersih.”

Mark cuma bisa terdiam memperhatikan pemuda santai itu membereskan kamar lusuhnya, menyeret kain penutup putih sambil terbatuk berkali-kali. Hidupkan mesin penyedot debu dan mondar-mandir sendirian.

Sendirian dan sibuk. Di mata Mark … pemuda ini terang sekali. Lebih terang dari cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang tirainya berganti. Jendela yang tertutup sejak lama, kamar gelap dan suram ini terlihat manusiawi.

Dan terang. Terang benderang buat Mark yang rindukan cahaya sejak lama.

“Okay, siapa namamu?” tanyanya. Duduk di atas ranjang bersih yang seharian diatur. Mark gagu sementara. Bicara dengan orang bukan keahliannya.

“Err … Mark?”

“Mark? Okay, aku Donghyuck. Pertama, aku tau kamu hantu. Kedua, kamu lusuh dan kuno sekali. Ketiga, aku beli kamar ini murah sekali karena aku iya benar, aku miskin. Keempat, tolong jangan berisik saat aku tidur, please.

Kelima, Mark, mau jadi temanku, nggak?” kata Donghyuck. Pamerkan senyum serekah bunga mawar, kelewat berwarna macam pelangi, hangat persis senja. Mark jatuh ke dalam pesona dan kehangatan.

Belum pernah ada yang mengajaknya bicara, memintanya jadi teman dan mengatainya lusuh. Belum, Mark belum pernah rasakan ini sebelumnya.

“Donghyuck, mata kamu … dalam. Aku seperti berenang di sana, Donghyuck. Temani aku di kamar ini, ya?”

Mark nggak pernah menyangka kalau sosok Donghyuck akan tertawa lebar di depannya, bangun dari ranjang dan tepuk kepala berdebunya beberapa kali bak anak anjing. Usap pipi kusam itu dengan sapu tangan, lempar senyum menawan dan bilang;

“Mark. Sendirian itu menyakitkan, aku temani, ya?” Dan Mark nggak bisa nggak menyelam di iris cokelat itu. Nggak bisa nggak berharap kalau waktu akan lebih baik pada dia Si Arwah kesepian yang buta kehangatan.


“Cerita tentangmu, boleh? Aku mau dengar lebih. Mau bicara dengan kamu. Aku mau lihat kamu bercerita dan tumbuh dengan baik,” kata Mark. Duduk di atas piano rusak yang masih Donghyuck simpan di sudut. Perhatikan Donghyuck yang menjahit kain bekas dengan teliti.

“Mau dengar apa? Aku ini orang miskin, harus pintar manfaatkan barang bekas, harus pintar mengatur uang dan harus berbakat dalam pekerjaan kalau masih mau hidup. Kamu sendiri?” jawabnya. Nggak berbagi tatapan karena mesin jahit usang jauh lebih penting. Dengungan mesin jadi pengisi di antara keduanya.

“Nggak ingat … aku Mark. Aku penghuni kamar ini, aku sendirian. Aku … hantu?” Jawaban polos Mark undang gelak tawa Donghyuck. Pemuda itu sampai bergetar sambil menjahit manual lipatan kain.

Mark nggak bohong waktu bilang Donghyuck mirip bohlam—mirip lampu jalanan yang terang benderang. Mark yang suram diajarkan lihat cahaya. Rasakan hangat dan mulai percaya eksistensi cinta dan kasih sayang nyata adanya.

Mark nggak sendirian lagi.

“Ahaha, ouch! Ah, sial, aduh!” Pekikan kecil Donghyuck bawa atensi Mark kembali, tetesan darah mengalir dari telunjuk yang tertusuk jarum dengan brutal.

“Oh, ya ampun! Donghyuck hati-hati. Kemari, aku ingat begini caranya,” katanya dengan terburu, tarik telunjuk Donghyuck dan peragakan scene picisan; menghisap darah. Gunanya apa? Mark nggak tahu. Dia cuma sekedar ingat, entah ingatan kapan.

“Mark, anak baik. Di sini sudah terlalu lama, sendirian nggak menyenangkan, kan?” Donghyuck balik tarik jemari Mark. Titip kecupan lembut di sana sembari mata saling menyelam. Jingga senja masuk melalui celah ventilasi. Tinggal bersama selama beberapa minggu cukup menyadarkan Mark bahwa eksistensi Donghyuck teramat berarti, mengajarkannya banyak hal dan beri dia kehangatan, beri dia sedikit cahaya dan cinta.

Mark nggak tahu kalau dia bisa lepas dari kesendirian dan kesedihan. Nggak sampai Donghyuck buka pintu kamar dan menyapanya santai.

“Donghyuck. Kamu seperti laut. Dalam, biru, tapi airnya bisa hangat. Kamu tenang, kamu menyenangkan, Donghyuck, sepertinya aku sayang.” Tangan dingin Mark dibawa Donghyuck pada pipi madunya. Bersandar nyaman dan tatap wajah tampan yang pucat. Mark terlihat bahagia. Mark nampak nikmati tujuannya tersesat di kamar ini.

Donghyuck membantu Mark tumbuh dengan baik.

“Mmm, aku juga, kok! Aku memang nggak kaget waktu tahu ada hantu di sini, tapi aku kaget kita bisa hidup berdampingan dengan baik. Mark, sayangku sepertinya buatmu juga. Mark, berbahagia, ya?”

Cermin reflesikan Doghyuck yang memeluk eksistensi abstrak, cermin cuma perlihatkan Donghyuck yang sendirian, nggak ada gambaran dua pemuda tukar ciuman hangat yang sarat rasa hangat bercampur kekhawatiran.

Cermin nggak berbohong perihal apapun.

“Donghyuck, terima kasih, ya? Aku senang sekali. Aku nggak berteman dengan gelap lagi, aku nggak kesepian lagi,” kata Mark. Tepuk punggung Donghyuck dengan hangat, bagi peluk dan cermin masih bungkam. Hangat yang dirasa cuma milik Donghyuck, Mark dingin luar dalam.

Hantu, arwah gentayangan, pun makhluk astral lainnya. Mark adalah itu semua, tersesat dan terjebak sendirian di kamar usang ini, dan Donghyuck tiba-tiba datang bawa cahaya, ajarkan hangat dan warna, ajak Mark berteman dan hidup bersama berbagi sayang.

Donghyuck, laut dalam Mark. Sampai pergi akan selalu dikenang.

“Terima kasih ya, Donghyuck?” Ucapan terima kasih terakhir, paling kecil. Ranjang terima dua beban di atasnya, tapi ketika bangun, Donghyuck sendirian.

“Pergi yang tenang, Mark,” bisiknya kecil pada cermin. Air mata Donghyuck tahan walau sedihnya nggak terkira, dia cuma tarik kain yang dia jahit, selimuti piano usang dan tatap lagi cermin dengan muram.

Sampai jumpa, Mark. Berbahagia, ya?

[ litaniraya ]

Tiga Puluh Menit

tags johnten, bxb, fluff


Tiga puluh menit aku menyayangimu.


Hal sederhana yang dilakukan pasangan ketika berkencan?

Jalan-jalan. Ke pasar malam, maksudnya.

“Aku mau naik banyak permainan, tapi nggak, aku nggak mau asinan buah, manisan atau apapun yang tentang buah. Enggak, makasih.” Ocehan tadi meluncur cepat dari mulut kecil tuan manis di sebelah Johnny. Tentang tas belanja berisi makanan yang sedari tadi dikunyah. Pun, omelan dan keluhan yang senantiasa hadir.

Lucunya, Ten mirip malaikat.

“Iya, sayangku. Apapun buat kamu,” jawab Johnny kalem. Tangan cari pasangannya, genggam jemari dingin Ten dan nggak malu tunjukkan pada sekitar kalau mereka pasangan yang dimabuk asmara.

Biar, ayo lihat. Mereka sedang pamer kemesraan.

“Jangan gombal. Geli.”

“Iya sayang, iya.”

Ubah sudut pandang jadi milik Johnny seorang, pria dua puluh lima yang gemar jatuh cinta. Maaf, Johnny cuma suka jatuh pada pesona Ten. Dan di sini mari dia jelaskan betapa sempurnanya seorang Ten, pacarnya.

Bukan hal susah buat menyebutkan hal menarik dari Ten. Satu, dia Ten. Dua, karena dia Ten, tiga … hei, dia seorang Ten? Sudah pasti sempurna.

You are a simp,” kata Ten sembari sembunyikan tawa. Regangkan pinggang ketika belanjaan ada pada lengan kuat Johnny semuanya.

Yes I am. I’d do anything for you babe.

Cringe.

Tennya memang begitu, kalimat cintanya samar. Tapi mata berbicara dengan baik. Pancarkan syukur dan afeksi yang serasi, keduanya sama-sama memuja masing-masing eksistensi, keduanya tahu. Sama-sama jatuh, sama-sama cinta.

Dan biar semesta lantunkan kidung iri buat insan yang berdua di susah maupun senang—walau demi Tuhan, Johnny inginnya ajak Ten bersenang-senang saja tanpa susah.

“Ten, kamu cantik,” kata Johnny. Tangkap satu foto lewat kamera yang dikalungkan di leher, senyum manis dibingkai layar, dan tawa renyah mengudara dengan bebas. Ten suka pujian.

“Aku ganteng.”

“Iya, kamu ganteng. Kok mau sih jadi pacarku?” tawa Ten makin pecah. Johnny selalu lontarkan kalimat menggelikan, kalimat gombalan dan meyedihkan. Ten sampai bingung harus bereaksi apa.

“Menurut kamu kenapa aku mau jadi pacarmu?” tantang Ten balik. Badan disandarkan di pagar seolah nikmati semua kagum Johnny padanya, nikmati waktu menjadi model dari kamera kecil Johnny.

“Nggak tau, sumpah! Aku banyak kurangnya tapi kamu yang sempurna ini mau-mau aja jadi pacarku? Sekali jadi pacarku, nggak boleh lepas, sayangku,” jawabnya. Satu lagi tangkapan kamera dan mata Johnny binarkan cahaya silau. Menatap hasil dengan terpukau, macam orang sakaw. Tennya terlalu memukau.

“Sudah ah, bucinnya. Aku mau naik bianglala!”

“Iya, sayang. Hati-hati mmm?” Jajanan sudah habis, yang tersisa cuma rasa meletup-letup dan euforia berdua. Ten suka naik bianglala. Putari dunia dengan kerlap kerlip kota, Ten suka estetika.

“Dua tiket untuk pasangan,” kata Johnny. Tukar uang dengan dua lembar tiket sebelum gandeng Ten masuk ke pintu tunggu.

“Oh, iya. Pacar saya, memang seindah itu, saya lelaki beruntung.”

“Johnny, God! Stop it. Maluuuu,” protesan Ten undang kekehan geli dan senyum manis dari petugas tiket. Arahan singkat perihal keamanan didengar sembari tangan bermain karena salah tingkah.

“Selamat pacaran!”


Bianglala memang indah, tapi Ten jauh lebih indah. Putaran warna warni, kerlap-kerlip kota juga euforia tiap insan di pasar terasa sempurna. Jadi latar cantik buat Ten yang diam saja sudah mampu membuat Johnny bertekuk lutut.

Sekali lagi, demi Tuhan. Johnny yakin dulunya dia adalah salah satu petinggi atlantis yang berjasa—sehingga di masa kini bisa tautkan Ten dalam benang hubungan romansa.

Panggil Johnny pria aneh dan lemah, tapi Ten sungguhan separuh nyawanya.

“Eh? Kok? Oh my, Johnny! Mesinnya mati, holy fuck, aku takut, ini gimana?!”

Semua nggak bertahan lama karena permaiann mendadak berhenti, lampu mati dan wajah panik Ten adalah bukti konkrit kalau pujaan hatinya ketakutan setengah mampus.

Johnnya reflek berdirim perlahan pindah posisi, duduk di sebelah Ten dan genggam jemarinya dengan lembut.

“Nggak apa-apa, sayangku. Kita turun sebentar lagi mm? Ada aku di sini, kamu pikir aku akan biarin kamu jatuh dari sini? Nggak, selama aku masih napas, kamu nggak akan luka. Take a deep breath Ten. Aku di sini,” katanya lembut. Perlahan tarik arwah Ten yang merosot terjun bebas, perlahan kembalikan warna di wajah Ten. Pemuda itu tenang, jantungnya terkendali.

“Gila, jantungan aku. Kira-kira berapa lama?”

Not sure. Tunggu aja, yeah? Mumpung sepi dan tinggi, sambil lihat gemerlap kota, nggak mau denger aku cerita?” tawaran Johnnynya tampak menarik, fokus Ten berpindah, tatap wajah tampan pacarnya penuh minat. Bersiap dengar kisah cheesy lainnya.

“Kenapa?”

“Ini tentang gimana aku bisa sasayang ini sama kamu? Kaya???? Nggak tahu, susah dijelasin. Kamu napas aja aku beneran sayang. Kamu ini kasih aku pelet, ya?!”

“Sembarangan!” Tudingan Johnny Ten hempas dengan pukulan main-main di bahu, wajah cemberut seolah beri sinyal kalau Johnny bisa memujinya lagi dan lagi.

“Tapi Ten, serius … kota keliatan gelap kalau nggak ada kamu. Suram, seram. Gelap, pekat. Aku cuma laki-laki biasa di tengah kota sebelum ketemu kamu. Sebelum bisa punya kamu, aku bukan apa-apa.

Buat tiap langkah kaki kamu, buat tiap hembusan napas kamu, buat tiap aliran darah kamu, pun tiap detak jantung kamu, terima kasih, ya? Hidupku berantakan, kalau nggak ada kamu, aku makin berserakan.”

Ten masih diam, tatap iris berkaca kepunyaan Johnny, tengannya gemetar digenggam. Johnny terlihat siap menangis detik itu juga, heningnya malam seolah mengejek; lelaki akan jatuh ke ke bawah kerak bumi kalau berdiri di depan cinta sejatinya.

Sepertinya benar. Johnny jatuh dan enggan berdiri.

“Aku kira kamu mau ngelamar aku? Kamu tiga puluh menit cuma buat bilang itu?” Kalimat Ten pancing senyuman Johnny. Satu bulir air mata dihapus, diganti usapan lembut di dahu Ten yang berkeringat. Tuhan, pacarnya terlampau indah. Gelap malam bahkan nggak mampu samarkan. Gila.

“Nanti. Aku belum punya cukup uang dan masa depan yang nyata. Nanti aku ikat kamu, sekarang, temani aku dulu, ya?”

Dan baru kali ini, menunggu di ketinggian bermenit-menit nggak membuat Ten menangis ketakutan. Hatinya penuh dan meledak-ledak. Ingin melompat ke pelukan Johnny, tapi masih sayang nyawa. Sial, mereka masih terjebak di atas.

“Iya udah, kalau sudah punya banyak uang dan punya masa depan terjamin, lamar aku, ya?”

“Iya, sayangku.”

Dua sejoli bagi peluk mesra di bawah kuasa langit malam, dipayungi payoda redup dan diselimuti anila malam. Bulan ikut tersenyum seolah berkawan dengan semesta; insanmu yang ini tolong jangan dipisah. Cinta dan bahagia mereka bawa senyum ke seluruh jumantara.

“Eh … sudah gerak!” Dan turun adalah tujuan selanjutnya.

[ litaniraya. ]

I wrote this with tears and fear. Pardon my grammatical error(s) and typo(s), i cannot think.

Today is miu’s birthday. She’s getting older and i am worried about our future. As we both grow up older, being adult and face more struggle, i worry that someday she will leave me. I saw people wish her this and that, gave her this and that, doing favor and treat her like a princess. And here i am, being a sad bitch with unstable mental.

I can’t give her a good thing, a gift, or anything. I just cry and cry. What if she leaves me? I want to give her something, but it’s not special, right? She already got it from everyone, what else i can giver her?

I feel ... sad. I’m useless, it makes me anxious. I am not a good friend. I don’t deserve her. I am anxious. I deactived adorasei and konstielasi, locked all of my acc. I jus ... worry. I feel not safe.

Same goes as you, papi. Someday you might leave me, i might die and leave you. Which is i don’t want to. I love you, i really do. I am a asexual aromantic myself, but no one, no one can sit in my heart the way you do. No one can replace you. I love uou will all of my heart.

What if i loose you ....

Papi, whenever you feel sad, whenever you feel down everyone cheers you, send you food, giver you everything. And what did i do? I did nothing. I ... didn’t do anything for you papi. Do i really deserve you? I am awful, useless, the bad one. Anxiety and insecurity slaps me really hard. I am dying. I just too love both of you.

Papi, i am sorry, all i do is causing problem and makes you worry. Papi ... being here is makes me cold and lost. Papi, i wanna go home.

I wrote this with tears and fear. Pardon my grammatical error(s) and typo(s), i cannot think.

Today is miu’s birthday. She’s getting older and i am worried about our future. As we both grow up older, being adult and face more struggle, i worry that someday she will leave me. I saw people wish her this and that, gave her this and that, doing favor and treat her like a princess. And here i am, being a sad bitch with unstable mental.

I can’t give her a good thing, a gift, or anything. I just cry and cry. What if she leaves me? I want to give her something, but it’s not special, right? She already got it from everyone, what else i can giver her?

I feel ... sad. I’m useless, it makes me anxious. I am not a good friend. I don’t deserve her. I am anxious. I deactived adorasei and konstielasi, locked all of my acc. I jus ... worry. I feel not safe.

Same goes as you, papi. Someday you might leave me, i might die and leave you. Which is i don’t want to. I love you, i really do. I am a asexual aromantic myself, but no one, no one can sit in my heart the way you do. No one can replace you. I love uou will all of my heart.

What if i loose you ....

Papi, whenever you feel sad, whenever you feel down everyone cheers you, send you food, giver you everything. And what did i do? I did nothing. I ... didn’t do anything for you papi. Do i really deserve you? I am awful, useless, the bad one. Anxiety and insecurity slaps me really hard. I am dying. I just too love both of you.

Papi, i am sorry, all i do is causing problem and makes you worry. Papi ... being here is makes me cold and lost. Papi, i wanna go home.

Florist!Hyuck, Anthophile!Mark, Mark memaknai hidup ketika pulang dari kunjungan di permakaman.

tags markhyuck, hurt/comfort, au

Toko bunga itu tutup lagi. Mark merenung lagi.

Ini minggu ketiga dia mengunjungi toko bunga yang sama, papan tutup lagi-lagi jadi jawaban. Bosan, kesal. Bukan, Mark bukannya ada keperluan penting dengan toko bunga itu, nggak sama sekali. Mark cuma harus membeli bunga untuk mengunjungi makam—setiap hari.

Di sana terkubur semua harapan juga angan Mark, well, bercanda. Itu makam temannya. Mark selalu berkunjung untuk seenggaknya bertukar sapa. Hidup membosankan, Mark mau ceritakan duka-duka yang dia alami.

Mark nggak pernah kunjungi makan temannya tanpa bunga, nggak sama sekali. Setiap ceritanya selalu diwakili oleh bunga—sebagai seorang penggemar bunga yang amat sangat berat, Mark berani bertaruh ceritanya akan hampa tanpa bunga.

“Dan kapan toko bunga sialan ini buka … Tuhan, lama-lama aku stres, sumpah!” pekiknya frustasi. Memandang pintu geser kaca dengan tulisan tutup, menatapnya tajam, penuh dendam, juga kejengkelan. Yang benar saja?!

“Tuan, maaf, kamu menghalangi pintunya.” Selaan mampir ke telinganya, membuat Mark terkejut dan reflek memekik. Matanya memincing, tatap curiga orang asing di depannya seolah lempar pertanyaan abstrak; kamu siapa, hah?!

“Siapa?” tanya Mark, aura nggak bersahabat, nada ketus, wajah sinis. Orang di depannya miringis dengan tragis. Sungguh kasihan.

“Anda yang siapa? Ini toko bunga saya.”

Boom.

Alis camar Mark menukik drastis. Pasang wajah memalukan yang mana mengundang putaran bola mata dari Si Penyapa.

Apa, sih. Orang aneh. Kalau bathin bisa berbicara, yang tadi kilasan dialognya.

“OH!” Mark berteriak, Si Lelaki terkejut. “Apa?!” katanya menyahut.

“Aku sudah nunggu dari lama-lama hari cuma supaya bisa beli bunga di sini tapi kamu malah dateng-dateng nggak sopan begini? Mau berantem?” Nada Mark jelas menyurut emosi Donghyuck—Si Lelaki pemilik toko bunga. Manusia di depannya sinting, poin pertama yang bisa Donghyuck simpulkan.

“Ampun, deh. Pertama, aku nggak kenal kamu siapa. Kedua, yang nggak sopan itu kamu, ketiga, aku baru beli toko bunga ini dari pemilik sebelumnya, hari ini mau launching. Minggir atau aku siram pupuk?!”

Donghyuck mengomel. Kunci diputar dan tirai ditarik, bagaskara tanpa malu soroti toko bunga yang lama tutup dibungkus abu-abu. Bunga-bunga palsu jadi pemandangan pertama.

Dan—oh. Mark baru sadar kalau di belakannya sudah ada orang-orang yang membawa bunga segar menatapinya dengan jengkel.

“Apa?” tanyanya seolah nggak merasa kalau dia sumber kejengkelan orang-orang.

“Kamu kalau cuma mau marah-marah nggak jelas, mending pergi, deh. Aku sibuk, toko mau dirapiin,” kata Donghyuck. Matanya seolah bilang kalau kehadiran Mark sangat memuakkan. Konsentrasinya pada layar komputer langsung buyar. Wajah Mark yang tampan tapi menggelikan nggak mau minggir dari pikirannya. Donghyuck marah.

“Dih.”

Cuma satu kata, dan emosi langsung buyar seperti kaca pecah di atas marmer dingin. Lengan baju disingsingkan, apron yang disulam dengan tulisan Sunflower Shop ditepuk kasar.

“Manusia brengsek mana yang pagi-pagi sudah mancing emosi, huh? Kamu. Kamu doang manusia paling jengkelin di muka bumi. Pergi, gak?!”

“Enggak mau, aku mau beli bunga.”

Well, Donghyuck bukan orang penyabar, stok ramahnya sudah dikikis sejak satu jam lalu. Sayang dengan detak jantung dan tekanan darah, dia pilih abaikan Mark yang mengoceh betapa suramnya hidupnya tanpa bunga dan toko bunga kesayangannya. Mengoceh tanpa henti tentang arti bunga dan apa-apa saja yang dia suka.

“Fanatik, orang aneh,” bisik Donghyuck lelah. Dan Mark masih sibuk mengoceh.


“Sumpah, demi Tuhan. Baru kali ini aku nggak mau dapat pelanggan. Kamu mau aku kasih tau toko bunga lain, nggak? Aku capek banget denger kamu ngoceh.”

Adalah kalimat pertama Donghyuck pagi ini ketika toko bunganya resmi dibuka. Mark nggak menggubris, dia ambil sendiri batang bunga yang dia mau, ambil kertas cokelat dan letakkan semua di meja pengemasan.

“Dibungkus yang cantik. Aku mau kunjungi makam teman,” katanya. Mendorong kartu debit dan memerhatikan Donghyuck yang enggan tapi segan. Membuat buket bunga tulip putih yang cantik. Cantik sekali, Mark jatuh cinta dengan bunga-bunga putih itu.

“Kamu tau nggak kalau tulip putih itu artinya-”

“Tau. Nggak usah cerita, kunjungi temanmu sebelum dia minggat ke makam lain,” potong Donghyuck malas, Mark tertawa lepas.

“Aku suka humormu. Besok aku datang lagi.”

Mimpi buruk. Sumpah, ini mimpi paling buruk yang pernah dia alami.

“Artinya permohonan maaf, dan persahabatan.” Pintu toko ditutup, sayup gumamam Mark yang sendu dia tangkap, merambat dari daun-daun segar. Mark merindu, dengan sendu dia mengadu.

Dan Donghyuck lebih dari paham.


“Hari ini mau bilang apalagi ke temanmu?” Donghyuck topang dagunya di balik kasir. Menatap wajah Mark yang muram cenderung suram. Lelaki patah hati, Donghyuck diam-diam melabeli Mark dengan sebuah julukan.

“Entah, hari ini dia ulang tahun,” jawab Mark dengan lesu. Matanya tertuju pada bungkusan teh bunga yang asing. Etalase yang dulunya berisi kaset-kaset klasik kini bertambah beban. Mark jadi ingin coba.

“Sejak kapan kamu punya teh bunga?” Alis naik satu, Mark benar-benar nggak punya klu apapun tentang upgrade toko bunga kesukaannya.

“Kemarin. Kamu nggak datang kemarin, aku jual teh herbal mulai sekarang.”

“Hoo … kangen kalau aku nggak ke sini, eh?”

“Dih.”

Tawa Mark yang lepas mengudara bebas, pagi ini kelopak dan daun segar nggak disentuh duka, tapi diguyur suka. Mark sedang berbahagia walau tadinya terlihat sedih. Barang kali, bunga memang sumber semangat hidupnya.

“Hydrangea. Temanmu diberi seikat hydrangea. Sampaikan terima kasih karena sudah sudi jadi teman darimu yang menjengkelkan ini. Kalau seandainya temanmu itu aku, aku pasti bilang iya sama-sama, kamu aneh tapi nggak apa-apa, teman.” Donghyuck selesai merakit buket bunga, hydrangea biru keunguan yang terlihat segar.

Kata Donghyuck, Mark harus berterima kasih pada temannya lewat ini. Katanya, terima kasih sudah mau jadi temannya.

“Donghyuck, temanku itu ulang tahun, tapi umurnya nggak bertambah,” katanya. Sedih yang dicampur pasrah jelas terlihat dengan getar suara yang kentara. Gemetar jemari Mark yang membungkus seikat hydrangea juga nggak luput dari pandangan Donghyuck.

Lelaki patah hati, kasihan sekali.

“Mau teh lemongrass? Duduk dulu, aku mau siap-siap.”

Mark nggak mengerti kenapa Donghyuck menutup semua tirai dan mencabut kabel pemanas air, dia hanya memerhatikan Donghyuck yang sibuk sembari menyesap teh sereh dan lemon. Sesak di dadanya barang kali mulai melega, senyum di bibirnya barang kali sudah memudar. Donghyuck sibuk tutup tokonya, Mark sibuk buka hatinya.

“Ayo. Aku temani bilang terima kasih ke temanmu, aku takut kamu kolaps di tengah jalan. Berita tujuh pagi tentang lelaki sekarat dengan seikat hydrangea dari Sunflower Shop bukan berita yang mau aku dengar besok.”

Mark menahan kekehan gelinya, mencuci cangkir teh pada sink di belakang kasir dan bergegas ke luar toko, menatap jalanan sejuk sembari menunggu Donghyuck menutup pintu kaca gesernya. Papan penanda toko dibalik, keduanya menyambangi permakaman dengan maksud dan tujuan berbeda.

“Ibu, selamat ulang tahun.”

Donghyuck akui dia sedikit terkejut karena Mark sebut nama Ibu di depan sebuah makam tua yang terlihat cantik. Pun, dia nggak banyak komentar karena Mark terlihat khusyuk berdoa. Lelaki ini punya hati yang tulus walau kadang menyebalkan. Tiap paginya selalu ramai dengan ocehan Mark.

Lelaki ini punya tulus paling halus. Sayang rasanya digerus habis oleh rasa kesendirian.

“Kaget, ya? Mukamu aneh. Makam ini memang punya Ibuku. Aku panggil beliau teman karena memang eksistensinya seperti teman hidupku. Ibu pergi waktu aku mau ikut lomba musik, di sini terkubur impian dan harapanku. Ibu tidur dengan violin tua berpita putih.”

Dongeng menyedihkan dibuka, Mark duduk di sebelah nisan sambil menerka-nerka nabastala yang mendung. Dingin udara mengusik tulang sampai ngilu, Donghyuck ucapkan permisi buat rumput liar yang dia duduki.

“Oh? Kamu pemain violin?” tanyanya. Angin mendadak datang, menerbangkan debu juga air mata Mark yang dari tadi terbendung di kelopak mata. Lelaki itu sedih, tapi berusaha kuat supaya nggak hancur di depan florist kesukaannya.

“Mm. dulu. Tapi sekarang enggak, semuanya ngingetin aku sama Ibu, jadi aku kubur semua di bawah tanah. Hidup di dunia dengan bunga-bunga dan bilang ke orang-orang kalau temanku ada di makam, tiap malam kedinginan karena kesepian.

Aku cuma punya Ibu di bawah sini. Temanku satu-satunya.” Cermin-cermin semu terefleksi di iris jelaga Mark. Suara kecil yang berusaha tegar bercerita bagaimana rindu dinaikkan bersama bagaskara yang ditilap mendung.

Mark rindu, tapi nggak satupun orang mengerti. Mark sendu, dunia berputar di belakang dia.

“Mark, besok kasih ibumu anyelir merah muda, ya?” Kalimat kedua Donghyuck sejak tiba di sini. Mark lempar tatapan bertanya. Mark mengerti makna anyelir merah muda, dia suka bunga. Mark tahu semua makna dan warnanya.

Cinta abadi seorang ibu. Mark belum pernah suratkan kalimat itu lewat bunga. Mark belum seberani itu.

“Iya. Sahabat, kagum, terima kasih, semua sudah kamu bilang ke mendiang Ibumu. Perihal cinta, belum, ‘kan?” katanya. Bahu sok tegar Mark ditepuk pelan-pelan seolah bilang kalau hal berat inipun pasti akan berlalu. Jadi rapuh dan mudah jatuh sesekali enggak apa-apa. Air mata juga duka tanda berkabung nggak melulu menunjukkan kamu insan lemah.

Sesekali jadi lemah karena punya perasaan itu bukan larangan. Kamu masih manusia. Kamu berhak bersedih.

“Hidup nggak melulu tentang bahagida dan senang-senang aja, Mark. Ada fase kamu jatuh dan rapuh. Fase kamu kalah dan salah. Fase kamu marah dan menyerah. Ada fase kamu sedih, berduka, sakit, juga terluka.

Hidup terlalu kompleks untuk kamu isi senang-senang palsu. Ibu di bawah nggak akan sennag kalau kamu anggap cuma teman supaya nggak menangis waktu membeli bunga.”

Kalimat tadi tepat pukul Mark sampai runtuh. Sesak di dadanya langsung luruh. Ego lelakinya yang nggak mau terlihat lemah menangisi Ibu di toko bunga tersentuh juga. Ibu memang teman hidupnya, tapi Mark sangat ingin membeli bunga dengan bilang kalau dia ingin berikan sebuket anyelir merah muda untuk Ibunya yang sudah damai di bawah bumi.

Mark yang jenaka dan menyebalkan, Donghyuck yang terlewat peka.

“Kamu … puitis banget. Yakin florist?” kata Mark, tarik napas dan tertawa kecil namun bebas. Gundukan tanah dengan marmer tua dia tepuk, seolah menimang Ibu agar lelap tidurnya. Donghyuck perhatikan semua.

“Mimpi dan semua harapan yang kamu kubur, nggak mau digali aja? Aku mau dengan kamu main violin.”

Mark diam sebentar, hela napas berat lalu gelengkan kepala. Nggak hari ini, hidupnya masih berat. Dia belum siap.

“Nggak. Hidupku ini isinya cuma rindu dan sendu. Aku cuma bisa gagal lalu meratap. Aku nggak berbakat. Menjaga Ibu tetap ada di dunia saja nggak becus, apalagi mainkan melodi sumbang di jalanan. Aku nggak berani.”

Bilang Donghyuck melankolis tapi dadanya ikut sesak, air mata mendesak. Sedih yang Mark bagi sampai ke aliran darahnya, mengisi ruang kosong di hati. Mark alami banyak susah dan resah, pribadi menjengkelkan cuma palsu yang rajin dia tempa.

Mark, lelaki patah hati yang penuh hal menyedihkan.

“Mark, kamu mungkin bosan dengar ini apa lagi di hari ulang tahun ibumu. Tapi dengar;

Bakat dan berkat orang jelas berbeda. Kamu nggak bisa mengubur bakatmu waktu aliran darahmu ada seni di dalamnya. Sempurnanya kamu, nggak bisa dilihat orang lain karena kamu yang sembunyikan.

Aku ngerti kalau kamu sedih dan merasa gagal. Tapi kamu nggak mau kan tenggelam sama rasa yang janggal? Ganjil genapnya perasaan, makin rumpang kalau kamu nggak bisa menikmatinya.”

Mark tendang sepatu putih Donghyuck, undang pekikan jengkel karena di situasi serius pun Mark masih suka bercanda.

“Kamu ngomong apa sih, aku nggak ngerti, duh.”

“Bodohnya. Lama-lama kamu aku tinggal. Intinya, mimpi dan harapan yang kamu kubur di bawah bersama mendiang ibu, nggak akan pernah mati. Kamu bisa kenang Ibumu dengan melodi violin. Mau melodi paling sedih atau gembira, ibumu tetap senang karena putranya bisa bermain musik lagi.

Hidup sudah susah, jangan dibuat rumit lagi,” kata Donghyuck. Bangun berdiri dan tepuk celananya dari debu juga tanah merah yang menempel. Tapak kakinya menggema di permakaman sepi. Mark yang perhatikan dalam diam, terbitkan senyum tulus di wajah murungnya.

“Ibu, aku punya teman hidup baru,” katanya. Mengelus nisan pelan, bangun dan susul Donghyuck yang pulang ke toko bunganya.

Florist Donghyuck, aku mau dibungkuskan seikat bunga yang cantik. Barang kali hidup yang membosankan bisa disulap jadi menyenangkan. Capek bersedih, hidup juga butuh variasi.” Waktu toko bunga dibuka lagi, Florist ini mendengus, tangan memotong batang dan merangkai bunga dengan hati-hati. Si Penggemar Berat Bunga perhatikan dalam diam.

Merekam kelopak bunga aster dan menyimpan maknanya dalam hati. Mark mau sambangi ranjang Ibunya besok, mau pamer kalau di hidupnya, ada orang yang menganggapnya indah.

“Seikat aster buat Lelaki Patah Hati yang selama ini menjalani hidup penuh palsu. Bilang pada temanmu di makam kalau sekarang kamu nggak akan sendirian. Nanti kita cerita semua lewat bunga, bilang Ibumu kalau kamu tumbuh jadi pemuda yang bahagia.”

Sore itu, seikat aster diserahkan untuk Mark, aroma teh rosella menguar dan hangat merambat lewat jendela kaca yang berwarna keemasan. Hari itu, seorang florist dan anthopile berbagi rasa hangat yang memikat.

[ litaniraya ]

anthopile = seseorang yang sangat menyukai bunga.

Waktu Abang panggil keduanya dengan nada mengancam, Haechan dan Yena benar-benar turun dengan aura nggak menyenangkan. Petir imajinier saling sapa antar tatapan mata.

Abang pening seketika.

“Kalau masih tatap-tatapan gitu abang gedik satu-satu pakai raket nyamuk. Mau?” kata Abang dengan suara dingin. Yena yang hatinya memang lembut walau sok preman lantas terkesiap. Duduk dengan diam sembari menunduk dalam-dalam.

Haechan? Santai. Abangnya, ini. Nggak akan digelindingin di tengah jalan kok, dia.

“Kali ini karena apa? Berantem terus nggak malu? Udah gede. Kalian saudara ini loh. Mana kembar.

Terus berantemnya di sosmed. Keren begitu?”

Omelan lainnya dari Abang. Yena terenyuh. Dia nggak masalah harus berantem terus sama Haechan. Namanya juga saudara, toh?

Yang aneh itu Haechan. Nggak jelas.

“Anak gadis ini aja deh yang ditanya bang. Bilang mau kerja kelompok malah nongkrong. Mana sama Jeno. Lo tau gak Jeno cowok gak bener?” Haechan naikkan suaranya.

Well, simpel. Haechan sebal dan khawatir. Yena itu perempuan dan di matanya masih kecil. Lahir lebih dulu sekian menit nggak ada istilah dalam otaknya. Yena saudari perempuan yang harus dilindungi. Titik.

Yang tau teman-teman Haechan kan cuma dia sendiri? Jadi jelas, dia nggak akan biarkan Yena bergaul dengan mereka. Please, gak dulu.

Lantas, apa penjelasan tadi bisa Haechan jabarkan pada Abang?

“Lo jangan kompor, dong!” seru Yena menunjuk Haechan.

“Yena, bener kamu bohong? Kok berani nongkrong sama cowok gak bilang-bilang? Minimal ajak Haechan, dong?”

Mati kutu adalah Yena saat ini. Perasaan nggak adil seketika memenuhi hatinya. Kenapa sih cuma dia yang nggak boleh ini itu? Pilih kasih.

“Kenapa sih? Yena nggak boleh ini itu tapi Haechan sama Abang boleh! Nongkrong doang! Main sama jajan! Dipikir Yena bakal ngerokok minum-minum?!”

Cukup. Abang nggak suka dengan pembahasan ini. Semua di luar kendali.

“Abang nggak ngerti kenapa kamu begini, dek. Kami sayang kamu makanya mau dijaga seperti barang berharga yang gampang pecahnya. Kalau nggak mau ngerti, ya udah.” Usai berucap begitu, abang pergi dengan aura kekecewaan.

Raut wajah Yena seketika muram dan kusam. Haechan nggak bergeming.

“Ngeyel sih. Nangis kan sekarang? Cepet nangis. Gue tungguin lo sampai beler,” katanya. Hafal betul tingkah laku sang kembaran.

Benar. Yena rapuh dan langsung menghambur pada pelukan Haechan. Tumpahkan air mata penyesalan dan takutnya di sana.

“Maafin gue .... “

“Ngeyel sih. Jeno tuh bukannya nakal cuma pergaulannya gak bagus. Lo kalau keseret, ya mampus. Dijagain kok gamau? Nggak sayang diri sama keluarga?”

Tepukan singkat di bahu jadi pertanda kalau perang dingin keduanya usai. Namanya saudara, mau sekesal apa ya pasti sama sama menyesal ujungnya.

Sayang memang kadang suka gengsi.

“Iya maaf nggak gitu lagi.”

“Ingus lo jangan dilap ke gue bangsat!!”

Yadudah, ujungnya tetap saja bertengkar. Tapi abang diam-diam lega.

A drabble. Cause of death: people.

trigger warning // suicide, anxiety, hate speech, death.


Laki-laki itu terlihat normal. Seperti manusia lainnya, bersenda gurau juga berkata kasar waktu kesal. Dia terlihat biasa saja.

“Lagi ngapain, sayangku?” Renjun mungkin dapat satu pukulan ketika menyapa Donghyuck dengan kalimat yang menggelikan. Studio musik mendadak ramai.

“Ngomong sekali lagi, aku tendang bokongmu.”

“Blah, banyak drama. Cepet rekaman.”

Mark perhatikan, Donghyuck itu remaja biasa saja, terlihat normal dan biasa-biasa saja.

Ponsel coba lihat ponselnya?


Mark namanya, penulis lagu yang kerjanya cuma diam di dalam studio, tiap hari melihat para remaja banyak angan ini menyanyi dan menguras banyak energi. Dari semua remaja yang menyambangi, hanya satu yang menarik hati.

Lee Donghyuck, ceria luar dalam, jiwa suram dikubur dalam-dalam. Mark tahu, ada hal menyedihkan yang terjadi secara berulang pada jiwa muda kesepian itu. Tapi Mark … belum bisa simpulkan.

Donghyuck terlihat seperti remaja lainnya.


Suatu malam sendu, Mark buka pintu ruang latihan dan di sana sosok Donghyuck termenung tatapi ponsel sendirian. Cahaya menyakitkan mata penuhi satu ruangan, isak tangis juga usaha mengais oksigen jadi satu-satunya yang Mark dengar.

“Kamu oke?” tanya Mark, tutup pintu dan Donghyuck tersentak kaget. Mata merah yang sarat amarah juga sakit hati … Mark belum pernah ditatap semenyedihkan itu oleh orang lain.

“Enggak …. “ jawabnya kecil-kecil. Kepala menunduk dalam, jemari meremas celana training gemetaran. Donghyuck nggak terlihat biasa saja.

“Kamu lihat apa di ponsel malam-malam begini? Minum dulu, napas, Donghyuck. Hitung satu sampai sepuluh … bisa? Donghyuck bisa dengar aku? Aku di sini, kamu nggak sendiri,” katanya. Belum berani sentuh Donghyuck yang rapuh, peluh yang mengucur bersama air mata buat Mark sesak karena panik.

Mark belum siap kehilangan raga.

“Orang-orang … benci aku karena apa, ya?” Donghyuck lama diam usai lontarkan satu kalimat menyakitkan. Dia remas lagi ponselnya dengan takut. Nggak sadar kalau benda persegi panjang itu sudah berpindah tempat ke genggaman Mark.

Scroll.

Scroll lagi.

Scroll lagi dan lagi. Atas sampai bawah, dari ujung ke ujung, cuma ada ujaran kebencian dan kalimat menyakitkan. Orang-orang ini sinting, Mark mengumpat dalam hati kecilnya.

“Jangan dibaca lagi, tutup akun media sosialmu, pesan anonim jangan lagi dibuka. Kamu terlalu berharga buat dibawa jatuh ke dasar bumi. Kamu hebat, kamu luar biasa.”

Donghyuck terlihat normal dan biasa saja. Masih remaja yang pamornya tinggi karena bersuara emas, punya teman-teman menyenangkan juga dongkrakan popularitas karena bakat. Donghyuck remaja pada umumnya.

Ponsel coba lihat ponselnya?


“Sudah makan?” orang-orang mungkin bertanya kenapa Mark yang jarang berinteraksi jadi gemar turun lapangan. Hampiri Donghyuck untuk sekedar basa-basi atau terang-terangan beraksi.

Mark terlihat peduli, dan Donghyuck pun terlihat menikmati.

Sebentar ada apa ini?

“Kalian pacaran?” Renjun tanpa aba-aba ikut menengahi, merangkul bahu rapuh Donghyuck sambil lempar tatapan curiga pada Mark. Well Mark sus, that’s it.

“Hah? Mana ada!” Donghyuck mengelak, Mark nggak banyak komentar. Dia cuma fokus pada Donghyuck. Mungkin ini waktu yang tepat untuk bilang kalau Mark sudah terhubung pada Donghyuck secara emosional. Mark cuma mau pastikan Donghyuck menjalani hari dengan baik tanpa terpikirkan oleh kalimat jahat di ponselnya.

Mark mau pastikan hidup Donghyuck aman terkendali seperti sebagaimana harusnya dia hidup.

Donghyuck terlihat normal, nggak sampai Mark melihat ponselnya.


“Kenapa?” Pagi ini terasa aneh. Remaja pemimpi yang siap rekaman menatap Mark yang baru datang dengan pandangan takut.

Ada yang aneh, Good God, Mark mulai susah bernapas. Ah, setan, tolong jangan bilang Donghyucknya sedang dalam masalah.

“Donghyuck … nggak ada kabar dari semalam. Terakhir tanya orang-orang pilih satu atau dua … Kak Mark … dia nggak bisa dihubungi.” Chenle jadi satu-satunya yang menjawab, gemetar sampai jatuh terduduk. Satu ruangan hening sambil ponsel sahut-sahutan menghubungi.

Ini nggak akan selesai kalau yang dilakukan cuma panik sambil menunggu, kan?

“Terakhir Donghyuck mengeluh kalau inbox dan curious catnya makin penuh dengan hate spe-

Tubuh merinding, napas tercekat, keringat meluncur bak papan ski. Mark belum pernah menangis dengan keadaan terkejut dan mati rasa.

Suara debuman keras di luar gedung hentikan konversasi dan bungkam mati semuanya.

“Donghyuck … “

“SESEORANG LOMPAT DARI ATAS GEDUNG!! 119!!”

Donghyuck terlihat normal, terlihat biasa seperti remaja pada umumnya.

Temanku, coba lihat ponselnya?


Mark, aku pikir aku nggak bisa lagi baca semua kalimat menyakitkan ini.

Mereka mau aku mati, ya?

Kalau aku dengar kalimat “jangan dibaca, kamu cukup abaikan.” Sekali lagi, aku bisa lompat ke Sungai Han sekarang juga.

00:00, ada yang bilang aku hidup untuk cari perhatian.

Mark, pesan-pesan ini makin banyak penuhi ponselku.

Mark, aku takut. Mark, aku nggak bisa terima kalimat positif lagi, Mark, aku nggak kuat.

Odeng kuah pedas enak.

Aku kesepian, aku kedinginan.

Kalau aku pergi, tolong bilang pada yang lain jangan pernah penuhi ponsel orang dengan kalimat menyakitkan.

Mark, aku suka menyanyi, tapi kenapa orang-orang sangat keras padaku?

Kasihan mental dan psikisku, aku mau menangis.

Mark, aku nggak bisa.

Mark baca lagi tiap pesan di pukul dua belas malam yang Donghyuck kirimkan. Pesan putus asa yang cuma bisa dia baca dalam diam. Sambungan telepon selalu terhubung setiap malam, Mark selalu berbicara dengan isak tangis juga sesak napas Donghyuck di seberang sana.

Donghyuck, orang-orang memang kejam. Mereka mengerikan, Donghyuck, kerja bagus. Tidur yang nyenyak, ya?


Mark hidup dengan duka, nggak sebanding dengan Donghyuck yang pernah bertahan hidup dengan luka. Pakaian Mark adalah hitam, tanda berduka paling dalam.

“Kamu mungkin mengirim pesan menjatuhkan dan kebencian hanya perlu waktu satu menit atas dasar bosan. Tapi kamu nggak tahu kalau luka dan trauma yang didapat itu membekas seumur hidup. Hati-hati, kamu pegang banyak nyawa di lidah dan jarimu. Yang gugur karena kalimat jahatmu, semoga tenang, tapi kamu yang jadi penyebabnya, semoga membusuk di neraka.” Mark lisankan satu kalimat kontroversial pada sebuah wawancara majalah terkenal.

Malam itu dunia ramai dengan cuitan belasungkawa juga perdebatan atas dasar kemanusiaan. Malam itu Mark menangis sendirian di kamar mandi, sampaikan maaf pada Donghyuck yang sudah menyatu dengan bumi. Katanya;

“Donghyuck, maaf baru bisa bilang sekarang. Donghyuck, kerja bagus.”

Manusia ceria yang terlihat biasa saja itu coba kamu lihat ponselnya?

[ litaniraya. ]