pridehyuck

Puluh

#Rotterdam #Abad #Dua #Puluh

—- [ tw // mentioning suicidal thought, bomb, world war | Haechan as Hans, Jaemin as Noah ]

Rotterdam. abad ke-20

Hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah.

—-

“Noah, harimu indah?”

“Enggak. Mereka bilang rambut biruku aneh.”

Lelaki kuno itu merenggut kesal, hutan terdengar sepi dan detak jantung Noah terlampau stabil.

Emosi Noah tidak bisa Hans baca, terlalu datar tanpa liku. Hans tidak punya kemampuan merasa emosi.

Belum.

“Bagus, kok. Cocok. Noah, senyum sebentar.”

“Enggak mau, ini jelek. Kalau bukan Mama yang minta, aku juga nggak mau diwarna,” katanya. Bersandar pada pohon besar dengan napas lelah.

Rotterdam terlampau sepi buat Noah yang hari-harinya macam danau. Tenang tapi kelam.

“Noah, sedih?”

“Banget. Kamu memang nggak pernah sedih? Aku setiap hari sedih. Setiap hari mau menangis tapi nggak bisa.

Setiap mau nangis, kamu selalu di sini. Memang nggak punya rumah?” Ditanya begitu, Hans cuma bisa terdiam memandang langit biru.

Tahun dua ribu berlalu dengan kelabu, Hans ragu.

“Rumahku kan di sini? Rotterdam.”

“Rotterdam luas.”

Hans tidak menjawab. Dia biarkan Noah berbaring pada bunga-bunga liar di hutan. Bocah Belanda itu selalu datang kemari untuk berkeluh kesah. Kadang memaki, kadang (nyaris) menangis, kadang hanya diam.

Noah tidak punya sedikit warna atau bahagia. Noah selalu datang atas nama duka, selalu menatap suram ke sekelilingnya.

“Hans,” panggil Noah. Jari menyusur kulit madu yang dingin disapu angin. Suara hewan dan serangga mulai mendominasi.

“Iya?”

“Aku benci orang-orang. Mereka cuma bisa menyakiti. Mereka nggak baik, Hans. Menurutmu, aku harus mati saja?”

“Jangan!”

Hans memekik. Alis anak itu memekik dan segera bangun lalu menatap sengit Noah yang cuma diam. Tidak ada ekspresi berarti seolah yang tadi itu sarapan pagi hari.

“Kenapa? Setiap hari cuma dibully dan disakiti. Mama bilang aku penyebab Papa pergi, Mama nggak bisa melihat lagi jadi dia minta aku jadi biru langit.

Papa nggak dikebumikan, dia dihanguskan sampai asapnya pecah bersama awan,” kata Noah. Muram di wajahnya makin kentara. Lalau Hans perhatikan lagi lelaki itu. Remaja enam belas tahun yang kulitnya penuh luka.

Hatinya hitam direndam sakit dan wajahnya tidak punya senyum berarti.

Lalu Hans baru ingat, dia bertemu Noah sewaktu anak itu mau melompat ke danau. Hans baru ingat, ikatan mereka tidak biasa.

“Noah, kamu indah.”

“Jangan bercanda. Aku ini hina,” elaknya. Segera berdiri mau pergi, tapi Hans tahan tangannya sampai remaja itu terperosok. Keduanya terjatuh dengan tatapan berbeda.

Hans yang memuja, Noah yang biasa saja.

“Enggak. Kamu indah, rambut biru kamu, wajah kamu, suara kamu, sampai langkah kaki kamu. Semuanya sempurna.”

Kalimat Hans menghipnotis, tapi Noah menolak dihipnotis. Senyum kelewat manis Hans tidak mampu membangkitkan gairah Noah yang lama disimpan rapi.

“Rotterdam sepi, lebih sepi dari hatiku yang lama mati.” Keduanya lalu bangun. Duduk saling berhadapan dengan tangan saling menggenggam. Tatapan menyelam sampai dasar dan hati jatuh sejatuh-jatuhnya orang jatuh cinta.

“Rotterdammu dulu, bagaimana? Hans, ayo cerita,” pinta Noah. Dia pasang telinga, dia pandangi Hans yang binar di matanya menggelap.

“Luluh lantak. Rotterdam 1940, pemakaman masal buatku.

Kamu pernah dengar perihal Rotterdam Blitz?” tanyanya. Jemari menyisir biru rambut Noah, menyisipkan anak rambut yang menghalangi pandangan. Angin siang yang segar membuat suasana mendadak nyaman.

Tapi senyum di wajah Noah tak kunjung terbit.

“Pernah. Jerman membombardir Rotterdam waktu itu, kan?” jawabnya. Mengambil jemari di wajahnya lalu digenggam erat. Erat sekali sampai rasanya Hans tidak mau pergi.

Noah begitu indah, Hans ragu kalau Noah adalah manusia. Remaja Belanda bernama Noah, terlalu sempurna.

“Iya. Di sini, di atas tempat kita duduk, kamu duduk di mana aku hangus dimakan api, Noah.”

Pegangan terlepas, Noah teteskan satu air mata samar di atas rerumputan. Jiwanya berkabung tanpa pematik, semakin suram karena Hans menceritakan masa lampau yang mengerikan.

“Rotterdam sekarang, sama suramnya buatku. Hans, jadi hantu, enak?”

Hans tertawa kencang. Perutnya melilit karena humor. Tapi Noah tidak menanggapi tawanya. Mata hitamnya fokus menuntut jawab.

Hans, kamu juga indah. Hans, Remaja Rotterdam 1940, kamu lebih indah dari Rotterdam 2000.

“Jadi hantu enggak enak, nggak ada yang mengajak bicara, nggak satupun yang bisa melihat. Kamu spesial, kamu satu-satunya. Cepat sembuh, Noah,” kata Hans. Tangan menangkup wajah Noah, menitipkan satu kecupan manis sedingin es di pipi porselen milik Noah yang membeku.

“Aku mau jadi kamu, boleh?” Kecupan tadi Noah kembalikan, tepat di telapak tangan milik Hans. Lalu pipi bersandar pada tangan-tangan dingin itu.

Noah yang lelah dengan rasa sakit, maunya kembali pada kekekalan abadi.

“Enggak boleh. Noah, hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah,” bisik Hans. Kepala berat Noah dibawa bersandar pada dadanya yang kosong. Pada detak jantung mati yang Noah dengar alunkan melodi pemakaman.

Buat hati Noah yang gersang, mungkin sebentar lagi akan jadi taman bunga karena Hans berusaha.

“Kamu indah, Noah. Pakai ini, jadi makin indah.” Noah tidak sadar ketika dia memejamkan mata, mahkota bunga sudah tersemat di langitnya. Surai biru yang jernih itu dihias mahkota dari bunga.

Satu warna bertambah pada Noah, tapi Rotterdam masih terlihat sepi.

“Mau aku cium, enggak?”

“Mau,” jawabnya. Dia pejamkan mata lalu menerka-nerka, rasa apa yang sesosok hantu Belanda jaman perang dunia bisa hadirkan di bibirnya yang kering tanpa senyum.

“Noah, Rotterdam penuh cinta, kalau kamu tersenyum.”

Sedingin es, setipis kertas, semanis madu.

Hans Si Hantu Belanda ajarkan pada Noah, kalau Rotterdam yang suram bisa jadi riang kalau keduanya menabur cinta dan asmara.

“Hans, kamu lebih indah. Nanti aku susul, ya?”

Rotterdam Abad ke-20, Remaja Belanda beda dimensi berbagi afeksi dan rasa sakit. Noah tersenyum buat pertama kalinya, Hans menangis buat pertama kalinya.

Rotterdam, selesai.