CerealBunny

-Cinta yakin

Pernah merasakan yang namanya cinta yakin?

Sunghoon sampai bingung cara untuk menjelaskannya.

Intinya, ia mencintai Jake sampai ia yakin kalau dialah penempu hatinya yang terakhir.

“Kenapa natap gitu?”

Jake menatap Sunghoon aneh, agak bingung mengapa pacarnya menatapnya intens.

“Nggak... Cuma suka aja”

Mengedikkan bahunya, Sunghoon lalu kembali membaringkan badannya di kasur.

Jake yang berdiri di depan pintu tersenyum kecil, dengam cepat menaruh tasnya.

“Ikut dong”

Menoleh, Sunghoon lalu menepuk sisi kasur sebelahnya.

Jake tersenyum lebar, melompat ke kasurnya. Tak tanggung-tanggung menindih Sunghoon dari atas.

“Hehehe”

Sunghoon mengaduh, menepuk pantat berisi Jake keras.

“Kamu berat.” keluh Sunghoon.

Berdecak, Jake memeletkan lidahnya. “Siapa suruh suka aku, kamu harus nahan beban”

Geleng-geleng kepala, tangan Sunghoon terangkat untuk menyingkirkan rambut panjang Jake.

“Tadi kemana aja?”

Jake bergumam, mengembungkan pipinya. “Aku tadi ke supermarket, stok makanan. Kamu sih malas”

Mengangguk, Sunghoon tersenyum saat melihat Jake tiba-tiba tersenyum lebar kearahnya.

“Kenapa lagi?” tanyanya.

“Aku baru nyadar loh kamu punya mole di hidung” ujarnya, memakai telunjuk untuk mengusap tanda lahir Sunghoon.

Menatapnya lembut, Sunghoon berbisik pelan. “Kamu nggak perhatian berarti”

Mendengus, Jake langsung menubruk kepalanya di dada Sunghoon.

“Becanda kamu jelek”

Sunghoon tertawa. “Maaf ya, tapi aku nggak becanda”

“HEH, JAHAT”

Kini suara tawa Sunghoon lebih keras, cepat-cepat mengusap rambut Jake agar ia tak marah.

“Maaf hehe” dikecupnya kepalanya lembut.

Mendongak, Jake sedikit mendusel dada bidang Sunghoon.

“Aku sayang kamu”

“Aku juga”

Sunghoon berdecih.

“Aku lebih”

Jake langsung geleng kepala kuat. “Aku lebihh”

Ngotot, Sunghoon pun tak mau kalah.

“Aku lebihhhhh”

Tersenyum, Jake mengangguk. “Jangan bandel berarti.”

Gemas, Sunghoon menarik hidung Jake, membuat sang empunya mengaduh.

“Kamu yang anak kecil disini”

“Berarti kamu pedofil suka anak kecil” ujarnya memeletkan lidahnya.

Geleng-geleng kepala, Sunghoon yang gemas memeluk Jake erat sekali.

“Heh, nggak nafas akunya!” protes Jake.

Sunghoon tersenyum. “Mulut kamu nakal”

Kesal, kini Jake cepat-cepat berpindah tempat ke samping.

“Aku kesel bener nihhh” ucap Jake siap merajuk.

Terkekeh, Sunghoon mengecup ujung hidung Jake. “Tidur ya, pasti kamu capek”

Jake mengerucutkan bibirnya, memelas kepada Sunghoon.

“Usap kepalaku dong, sampe ngantuk”

Mengangguk, tatapan Sunghoon melembut.

“Iya”

Jake tersenyum bersemangat, mengambil posisi nyaman. Memeluk Sunghoon.

Segera menutup mata, Sunghoon lalu mengusap kepala Jake. Menatapnya tidur.

Hingga 15 menit berlalu, suara dengkuran pelan terdengar.

Mengusap pipi Jake lembut, Sunghoon menipiskan bibirnya.

“Jake, aku nggak bisa jelasin lagi seberapa besar cinta aku ke kamu. Aku dah yakin, kamu yang bakal jadi terakhir” gumamnya.

“Aku harap kamu bisa ngerasain itu”

-5 cm

“Jake, nih... pesanan lo”

“Makasih Noo”

Jay mengangkat alisnya, samar-samar mendengar suara seseorang yang kini tak lagi asing di telinganya.

Melirik ke belakang, Jay menemukan punggung Jake yang ternyata duduk di meja sebelah.

Lagi lagi. batin Jay.

“Kenapa Jay?”

Menoleh, Jay segera menggelengkan kepalanya.

“Nggak Hoon” jawabnya kepada sahabatnya.

Kembali fokus makan, Jay tanpa sadar memikirkan sesuatu.

Entah takdir atau kebetulan, Jay selalu menemukan Jake dimana-mana. Dimanapun dia berada, Jake akan selalu berada tak jauh darinya.

Mereka hanya selalu sejauh 5 cm.

“Jake?”

Mata Jay menangkap sosok Jake yang berada di belakang rak buku.

“Loh? Jay?” Jake tersenyum lebar, maju untuk mendapati Jay.

“Ke toko buku juga?”

Mengangguk, Jay menujuk komik di tangannya.

Jake ber-ohria, mengerti.

“Ummm lo masih disini?”

“Iya”

Tersenyum, Jake lalu manggut-manggut. “Gue duluan ya, mau singgah tempat lain”

“Oke” jawab Jay.

Tak lama, Jay melihat punggung Jake yang menjauh dari toko buku.

Jay kira ia tak akan bertemu dia lagi. Namun perkiraannya salah saat melihat Jake yang masuk ke dalam bus yang dinaikinya.

Duduk dua kursi jauh darinya.

Ia menatap Jake lamat, melihat pemuda itu tertidur di kursinya.

Jay yang tak habis pikir melihatnya.

Sampai di perhentian, Jay lalu turun dari bus.

“Jake”

“Hmm?” Jake tersentak, kelihatan kebingungan.

“Gue turun, lo jangan tidur lagi”

Jake yang masih melayang hanya tersenyum, mengangguk pelan.

Tersenyum, Jay tanpa sadar mengusak rambut Jake, lalu turun dari bus.

Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, berjalan masuk lorong ke jalan rumah.

“Jay!”

Langkah Jay terhenti, spontan berbalik. Ia melebarkan matanya saat melihat Jake yang berlarian kearahnya.

“Tunggu!” serunya, langsung menahan lengan Jay.

“Kenapa Jake?”

“I-ini, ini punya lo kan?” sodor Jake, menunjukkan kantong plastik putih berisi komik Jay.

“Ketinggalan di bus pasti, makasih ya Jake”

Ngos-ngosan, Jake mengangguk. Tangannya terlepas dari lengan Jay, membuat Jay meliriknya.

“Tadi bus terakhir, gue pulang gimana?” gumam Jake.

Menipiskan bibirnya, Jay menatapnya.

“Ortu gue lagi di luar rumah, mobilnya dibawa. Lo mau nginep di rumah gue aja?”

Mengerjap, Jake menciut. “... kalau dibolehin”

Jay spontan tersenyum, merasa Jake begitu menggemaskam.

“Ayo” ajaknya.

Tersenyum lebar, Jake lalu berjalan beriringan dengannya.

“Btw, gue mau bilang sesuatu nih”

Jay meliriknya sebentar. “Bilang apa?”

“Gue tuh iseng buka album foto lama. Terus, gue liat di setiap foto liburan selalu aja yang nyempil. Gue merinding dong pas tahu itu lo”

Jay mengerutkan dahinya. “Serius?”

Mengangguk kuat, Jake segera menjawab. “Serius. Apa jangan-jangan lo stalker?”

Mendengus, Jay geleng-geleng kepala.

“Nggak ya, gue aja kenal lo nanti masuk SMA”

Bingung, Jake menoleh kearah Jay. “Terus itu apa artinya?”

“Takdir”

Jay tersenyum miring, bersitatap dengan Jake.

“Kalau takdir maunya gitu, kenapa nggak sekalian aja kita lebih dekat?”

Jake mengerjap, gugup.

Perlahan, tangan Jay terulur, diam-diam memegang tangan Jake.

Tersentak, Jake melebarkan matanya.

“Ayo ngikis jarak” ujar Jay, tersenyum miring.

Jake tanpa sadar merona, gugup saat melihat tatapan Jay.

“Kita cuma sejauh 5 cm, gue bakal maju selangkah. Biar nggak ada jarak lagi”

Melangkah mendekat, Jake menahan nafasnya saat melihat Jay yang begitu dekat dengannya.

Jay terkekeh. “Terpesona gue liat wajah lo sedekat ini”

Cepat-cepat Jake memalingkan wajahnya. “Jangan sedeket itu juga kali” cicitnya.

Mengangguk, Jay menjauh sedikit.

“Bener, yang penting hatinya yang dekat”

Tertawa pelan, Jake dan Jay lagi-lagi terjebak dalam tatapan satu sama lain.

Berjalan seiringan, kini keduanya berhasil menghilangkan jarak diantara keduanya.

-Support sistem

“Seung, kenapa?”

Heeseung menghela nafasnya, mengusap keringat yang bercucuran deras.

“Nggak bisa Hoon, nggak bisa jadi kiper gue.” ujarnya, ngos-ngosan.

“Lo mending istirahat aja dulu, pucat banget”

Heeseung menoleh, menatap Sunghoon yang menyodorkan air mineral kearahnya dan langsung diterima.

“Makasih Hoon”

Berjalan, Heeseung dengan lesuh duduk di tangga. Sendiri, merutuk diri. Padahal pertandingan sudah dekat, namun Heeseung diminta coachnya untuk pindah posisi.

Kini dia yang kesusahan.

“Kenapa lo?”

Heeseung mendongak, menatap Jay yang berdiri di depannya memegang teh botol. Sedang minum pake sedotan.

“Ck nggak” decaknya, kembali mengusap wajahnya.

Terdiam, Jay lalu tiba-tiba duduk di sebelahnya.

“Masalah futsal lagi?”

Heeseung hanya bergumam, malas dan lelah.

“Kenapa? Coba bilang ke gue, siapa tahu lo lega” tanyanya lalu menyeruput tehnya.

Menghela nafas, Heeseung menipiskan bibirnya.

“Kayaknya gue nggak cocok jadi kiper, daritadi cuma jadi benalu pas latihan”

Jay mengangkat kedua alisnya, menoleh kearahnya.

“Loh? Kalau menurut gue lo cocok kok”

Ikut menoleh, Heeseung menatap Jay yang tersenyum miring kearahnya.

“Buktinya lo bisa nangkap hati gue”

HADEH

“Iya, kalau itu gue tahu!” Heeseung mencak-mencak, memukul paha Jay keras.

Jay mengaduh, mengelus pahanya.

“Punya pacar kok sangar amat” dumelnya.

“Bilang apa tadi?”

“Nggak” jawab Jay cepat, takut sang pacar marah- sebelum kembali menyeruput tehnya.

“Sini, nyander. Biar nggak pusing” ujar Jay, mengangkat bahu kanannya.

Heeseung menatapnya datar, sebelum akhirnya menyerah. Berdecak, Heeseung lalu menaruh kepalanya di bahu Jay.

Keduanya terdiam, hingga suara Heeseung terdengar.

“Serius cocok?”

Meliriknya, Jay bergumam. “Iya, pede aja. Gue percaya kok lo bisa”

Heeseung mendengus, namun tak bisa menahan senyumannya.

“Apa sih yang pacar gue nggak bisa”

“Lebay”

Tersenyum miring, Jay menyatukan kepala keduanya sesaat. “Nggak boong ye”

Heeseung bungkam, menatap lapangan dari kejauhan.

“Makasih”

Jay mengangguk kecil, tersenyum tipis.“Gue tuh bakal support lo selalu, jadi jangan lagi ngerasa sedih atau putus asa.”

Menipiskan bibirnya, Heeseung bergumam.

Keduanya kembali terdiam, menikmati pemandangan sore hari dari tangga sekolah, ada untuk satu sama lain.

-Punya Kamu

“Kak Jake!”

Jungwon berlari, tergesa-gesa untuk menghampiri Jake yang berdiri tak jauh darinya.

Menoleh, Jake yang menemukan Jungwon segera tersenyum. Membuka lengannya, langsung disambut Jungwon dengan pelukan.

“Hey, ngapain kamu disini, hm? Anak kecil nggak boleh main jauh-jauh” ucap Jake gemas, menyatukan dahi keduanya.

Tertawa, Jungwon mendorong kepala Jake.

“Nggak boleh? Kan Jungwon udah bilang mau nonton kak Jake main”

Tersenyum, Jake lalu melerai pelukan keduanya.

“Kamu duduk dimana?”

Tangan Jungwon terangkat, menunjuk tempat duduknya. “Disana”

Melebarkan matanya, Jake langsung menggelengkan kepalanya.

“Kamu sendirian? Di atas sana?”

Jungwon mengangguk. “Iya kak”

“Jangan duduk disitu, gimana kalau ada orang asing ngapa-ngapain kamu?”

Bergumam, Jungwon menciut kecil. “Yaudah, Jungwon duduk dimana dong?”

Menghela nafas, Jake langsung menarik Jungwon. Menaruhnya di dekat lapangan.

“Bang, gue titip Jungwon ya. Jagain.” ujarnya, menepuk pundak Heeseung.

Mengangguk, Heeseung lalu memanggil Jungwon untuk duduk di sebelahnya.

“Jake! Cepetan!” panggil coach, membuat Jake langsung menoleh.

“Abis ini kita ketemuan lagi ya” ujarnya terakhir kali, mengusak rambut Jungwon, membuat si lebih muda tersenyum.

Jungwon melihat punggung Jake yang menjauh, berkumpul bersama timnya.

“Kalian pacaran?”

Menoleh, Jungwon tak berkedip saat melihat Heeseung.

“Nggak kak” jawabnya.

Mengangkat kedua alisnya, Heeseung bergumam. “Kirain pacaran, kayak orang pacaran sih kalian”

Jungwon langsung tersenyum hambar, ini nih.

INI YANG BIKIN JUNGWON KESEL.

Deket iya, pacaran nggak.

Menghela nafas, Jungwon yang sudah dipatahkan semangat hanya menatap lapangan tanpa minat.

***

“Kak...”

“Hm? Kenapa? Mau pulang? Aku antar”

Beringsut, Jungwon mundur perlahan, menghindari Jake.

Jake tersentak di tempat, langsung bingung.

“Jungwon belum mau pulang?” tanyanya pelan, kembali mendekat.

Menggigit bibirnya, Jungwon dengan canggung mengusap tangannya.

“Jungwon pulang sendiri aja kak”

Jake semakin mengerutkan dahinya, bingung dengan perubahan perilaku Jungwon.

Takut kenapa-napa, Jake langsung meraih lengan Jungwon.

“Kamu sakit? hm?”

Menahan tangisnya, Jungwon mengeratkan pegangannya pada sweaternya.

“Capek”

Jake terdiam, bungkam.

“Aku capek ama hubungan kita kak” gumamnya.

“Aku bikin salah ama kamu?”

Menggelengkan kepalanya, Jungwon menunduk.

“Aku siapanya kak Jake sih? Kita tuh bukan sahabat, tapi kita juga bukan pasangan. Sebenarnya kita itu apa?”

”... siapa bilang kita bukan siapa-siapa?”

Tersentak, Jungwon mendongak, bingung.

Jake tersenyum.

“Maaf ya, aku kurang jelas mungkin”

Menatap Jungwon lamat. Jake menarik kedua tangan Jungwon.

“Masih ingat kapan pertama kali kita ketemuan?”

“Setahun yang lalu?”

Terkekeh, Jake mengangguk.

“Di otak aku, kamu udah jadi prioritas aku sejak saat itu. Mungkin karena aku senang kita udah dekat, aku sampai lupa kasih kepastian ama kamu.”

Jungwon menipiskan bibirnya, he got butterflies in his stomach.

“Aku sayang kamu, sayang banget.”

Jake mengecup kedua tangan Jungwon, tersenyum kearahnya.

“Aku kira selama aku punya kamu, kamu pun punya aku. Ternyata aku salah”

Menarik nafasnya, Jungwon hanya bisa bungkam.

“Kalau aku nanya kamu mau jadi pacar aku? Kamu masih bakal marah?”

Merenggut, Jungwon menutup wajahnya. Menangis.

“HUWAA”

INI NANGIS BAHAGIA KOK.

Kalap, Jake langsung menarik Jungwon ke dalam pelukannya.

“Maaf ya...” gumamnya, mengecup pucuk kepala Jungwon.

Mengangguk, Jungwon balas memeluk Jake tak kalah erat.

“Jadi mau pacar aku nggak?”

“Hiks! Iyaa, Jungwon mau”

Terkekeh, Jake mengelus kepala Jungwon lama. Membuat Jungwon betah lama-lama di pelukannya.

“Makasih...”

-Hari Pelukan

Jake berlari, melompat kecil saat melewati koridor sekolah.

Matanya berbinar, tersenyum lebar saat berhenti di depan kelas.

“Pagiii” sapanya.

“Semangat amat” ujar Sunoo, menatap temannya heran.

“Lo tahu ini hari apa?”

Sunoo geleng kepala. “Hari kamis?”

Melengos, Jake menatapnya datar. “Ini hari peluk nasional!”

Menatapnya heran, Sunoo berucap. “Jake, hari sumpah pemuda aja lo nggak tahu, ini hari pelukan lo mati-matian hafal?”

Jake menatapnya sinis. “Awas lo minta peluk ke gue”

Memeletkan lidahnya, Sunoo berjalan menjauh. “Nggak mau juga gue, dih”

Memanyunkan bibirnya, Jake menghentakkan kakinya ke tempat duduk. Duduk disana.

“Won”

“Hm”

Jungwon yang sedang sibuk dengan gamenya, meliriknya sesaat.

“Lo mau gue peluk?”

“Ha? Kerupuk?”

Jake memukul jidatnya, ternyata Jungwon sedang memakai headset.

“Pantesan budeg” gumamnya.

Kesal, Jake lalu menenggelamkan wajahnya diantara kedua lipatan tangan.

Tak ada yang mau memeluknya. Jake sedih.

***

Tak terasa hari berlalu dengan cepat, Jake kira hari ini setidaknya dia akan menerima satu pelukan dari temannya.

Namun nihil, orang malah menatapnya heran karna minta pelukan.

Jake berjalan ke halte bus, duduk disana sambil mendumel kesal.

Mana hujan lebat lagi! Suasana hatinya lebih buruk seketika.

“Tapi kan ini hari pelukan!” serunya, frustasi.

“Hari ini hari apa?”

Jake tersentak, langsung menoleh ke sebelahnya.

Dia mengelus dadanya, tak sadar kalau sedari tadi ada orang di sebelahnya.

“Astaga Hoon! Jangan bikin kaget gitu dong!” seru Jake, rasanya mau copot jantungnya.

Sunghoon mendengus, tersenyum geli.

“Tadi lo bilang hari apa ini?”

Mengerjap, Jake menipiskan bibirnya.

”... hari pelukan nasional” jawab Jake pelan, takut ditertawai.

“Owhh” ujarnya, mengangguk pelan.

Tersenyum, Sunghoon tiba-tiba melebarkan tangannya.

“Mana, gue juga mau dapat pelukan”

Mengerjap, Jake menatapnya tak percaya.

“Serius?”

Sunghoon mengerutkan dahinya. “Ya serius, kok nggak percaya?”

“Soalnya daritadi nggak ada yang mau gue peluk.” gumam Jake, menciut.

Menahan senyumnya, Sunghoon berdeham. “Yaudah, sini.”

Tersenyum lebar, Jake perlahan mendekat kearah Sunghoon.

“Spesial hari pelukan, gue kasih yang lama sama yang terhangat” ujarnya bersemangat.

Terkekeh, Sunghoon menatapnya lembut. Merentangkan kedua lengannya.

Jake tanpa lama langsung terjun masuk ke pelukan hangat, membuatnya terkikik.

Menutup matanya, Jake samar-samar mendengar suara hujan.

Sunghoon mengelus rambut Jake, melirik wajah Jake.

“Sayang banget ya Jake, lo bukan pacar gue” bisiknya pelan sekali.

“Hm?”

“Shhhttt, belum cukup lama meluknya, jangan dulu lepas”

Jake tersenyum, masih setia memeluk Sunghoon.

Ini namanya kasmaran beda tujuan.

-Peterpan

Jake lelah dengan kehidupan. Sangat lelah.

Tiap hari ia selalu berharap ada orang yang menjemputnya pergi dari hiruk pikuk hidup.

Ia terus bermohon, agar bisa dibawa ke tempat lain.

Dibawa, ke tempat yang lebih baik.

“Mau kemana?”

Mata Jake berkeliaran, sedikit terkejut saat melihat sang ayah.

“Keluar...” jawab Jake, tak bisa berbohong.

“Ke kamar kamu sekarang. Ayah nggak ajarin kamu untuk keluar-keluar malam. Mau sama kayak wanita itu?”

Menahan nafasnya, Jake menggigit bibirnya.

Tau betul siapa yang dimaksud dari 'wanita itu'.

“Jake, dengerin ayah” geram sang ayah, membuat Jake mundur perlahan.

Jake tak suka ayahnya.

Dia jahat.

Pemaksa.

Kasar.

Tak berperasaan. Itu sebabnya sang ibu pergi, meninggalkan mereka.

Atau lebih tepatnya, dijual ayah.

Jake menghela nafasnya, cepat-cepat mengunci pintunya.

Ia takut, jika ayahnya mulai minum-minum, saat ia tidur ayahnya naik ke kamarnya.

Melampiaskan emosi kepadanya.

“Bulan, bawa Jake pergi” mohonnya, duduk di pinggir jendela.

Membuka jendela lebar-lebar, Jake menatap bulan lekat.

“Bisa bawa Jake pergi? Jake nggak kuat disini”

“Bisa”

Mengerjap, Jake terdiam. Bingung mengapa ada suara yang menyahut.

“Gue boleh masuk?”

Seseorang muncul di depannya.

“Maling?!” teriak Jake.

Pemuda di depannya melotot. “Mana ada maling nyuri di depan tuan rumah?”

Bungkam, Jake tak berkedip.

“Terbang?”

Tersenyum, pemuda tersebut mengangguk. Segera masuk ke kamar Jake, duduk di kasurnya.

“Hai, gue Sunghoon.”

Jake megucek matanya, berharap ini mimpi.

“Kenapa bisa disini?” heran Jake.

Tangan Sunghoon terangkat, menunjuk bulan. “Bulan yang utus”

Jake terduduk, malah kehabisan kata.

“Gue bakal bawa lo pergi”

“Kemana?”

Sunghoon tersenyum tipis. “Ke Neverland, tempat dimana lo nggak bakal tua. Nggak ada tangis atau ratap. Kerjaan lo, berpetualang”

Menipiskan bibirnya, Jake berdiri. Mendekat kearah Sunghoon.

“Disana Jake bakal bahagia?” tanya Jake, dengan suara kecil.

Sunghoon berdiri, meraih tangan Jake.

“Disana lo bakal bahagia. Nggak akan pernah menangis lagi” bisiknya.

Mata Jake spontan berbinar, memegang erat tangan Sunghoon.

“Jake mau pergi!”

Tersenyum, Sunghoon mengangguk.

“Ayo” menariknya, Sunghoon dan Jake sudah berdiri di depan jendela kamarnya.

“Lo percaya kan sama gue?”

Jake menatapnya lamat, sebelum mengangguk yakin.

Tersenyum miring, Sunghoon lalu melirik ke belakang.

“Ada kata-kata terakhir sebelum kita pergi?”

Ikut menoleh ke belakang, Jake lalu tersenyum tipis.

“Semoga ayah bahagia.” gumamnya.

Saling bertatapan, keduanya lalu mengangguk kecil.

Sunghoon menuntun Jake, terbang bersama.

Akhirnya, Jake bisa bahagia. Akhirnya, bisa lari dari kehidupan menyakitkan.

***

“Breaking news! Pemuda 17 tahun, berinisial S.J dikabarkan tewas setelah melompat dari lantai dua. Diduga korban bunuh diri, akibat stress dan halusinasi berat-”

“Jake...”

Ayah Jake memukul meja belajar yang sering dipakai Jake.

Mata ayahnya mengabur, dengan bringas meraih buku kesayangan Jake.

“Gara-gara buku sialan ini” geramnya, merobek buku berjudul peterpan tersebut.

-Anon

“Halo, kembali lagi dengan kami. Dengan Enha radio station, radio sekolah BHL HS tercinta!”

Sunoo tersenyum, membaca lembar scriptnya.

“Jadi siang ini spesial banget, bener bukan Sunoo?” tanya Jake, selaku partner host.

Mengangguk, Sunoo menjawab antusias.

“Kita bakal menemani temen-temen yang sekarang sibuk belajar mandiri atau sedang baca di perpus, atau mungkin lagi eksul”

Jake mengangguk kuat.

“Benar sekali, kita juga udah buka section baru”

“Sesuai request dari anak-anak BHL, kita bakal baca love letters anonim!”

“Wuhuuu”

Keduanya bertepuk tangan, antusias.

“Kita bakal buka section siang ini setelah mendengarkan lagu berikut ini”

Tangan Jake terulur, memutar lagu 10 Months.

“Lo udah sortir kan?” tanya Sunoo.

Jake mengangguk. “Udah dong”

Tersenyum misterius, Jake menepuk pundak Sunoo pelan.

Sunoo heran. “Kenapa natap gitu?”

“Liat aja sendiri nanti”

Geleng-geleng kepala, Sunoo tak habis pikir dengan kelakuan Jake.

***

“Wih ada yang kirim nih, untuk Jungwon. Hai, jujur aja aku nggak bisa ngomong banyak. Tapi aku cuma mau bilang, jangan tampar aku pake tangan. Tampar aku pake cinta”

Keduanya geleng-geleng kepala.

“Haduh haduh, korban bucin ini”

Sunoo tertawa. “Lebih tepatnya korban pukulan Jungwon ini”

Jake langsung ngakak.

“Lupa kalau Jungwon anak taekwondo”

Tersenyum, Sunoo mendorong Jake pelan.

“Oke! Berikutnya, ini yang terakhir nih”

Membalikkan kertas, Sunoo membaca pesan terakhir tersebut.

“Dari P.J”

Jake spontan menahan senyumnya.

“Makasih udah tersenyum, aku suka senyum kamu. Kayak candu, nggak lengkap hariku tanpamu. Kamu layaknya mentari, mencerahkan hati saat awan gelap menghampiri.”

Haduh, Sunoo jadi malu bacanya.

Gemes, tapi cringe gimana gituuu

Jake di sebelahnya udah gigit tangannya. Merasa ngenes seketika.

KETERLALUAN DAMAGENYA.

“Untuk matahariku, pusat duniaku. Kim Sunoo-”

“ASTAGA”

Spontan, Jake tertawa terbahak-bahak.

“Cepat! Yang kirim ini harus ke ruang broadcast sekarang. Titik, nggak mau tahu.”

Sunoo membeku di tempat, mau teriak.

Ini puitis banget!!!

“Haha, baiklah segmen hari ini udah selesai!”

***

Sunoo berjalan, keluar dari ruang broadcast selesai menutupnya.

“Sayang”

Menoleh, Sunoo mendengus.

“Ngaku, tadi kamu kan yang ngirim?”

Tertawa, Jay menghampiri Sunoo. Merangkulnya.

“Skali-skali aku romantis”

Mencebik, Sunoo memanyunkan bibirnya.

“Ya tapi jangan pas broadcast! Kedengeran satu sekolah”

Jay bergumam, merapikan rambut pacarnya lembut.

“Biarin, biar satu sekolah tahu aku sayang kamu”

Tersenyum, Jay mengusak rambut Sunoo.

Tangannya beralih, mengambil tas Sunoo sebelum menyampirkan di bahunya.

“Mau makan?”

Mata Sunoo berbinar, mengangguk kuat.

“Makan soto ya?”

Jay meraih tangan Sunoo, menggenggamnya erat.

“Boleh dong”

Tersenyum, Sunoo yang semangat menggoyangkan kedua tangan mereka yang bertaut.

“Yang banyak boleh?”

“Hmm” Ikut tersenyum, Jay menjawab dengan gumaman.

“Kamu suka pedes?” tanya Sunoo.

“Hmm”

“Jawab yang bener” decak Sunoo.

“Iya sayangg”

“Bagus, hehe”

-Mate

Sejak kecil Sunghoon tahu setiap makhluk hidup punya pasangannya, apalagi vampir sepertinya.

Di dunia dimana mereka tinggal, vampir, serigala dan hybrid hidup berdampingan, harmonis. Dalam wujud manusia karena mereka berevolusi, namun berbeda ras.

Hari ini, bertepatan Sunghoon sudah berumur 18 tahun.

“Selamat ulang tahun anak mama!”

Tersenyum tipis, Sunghoon mengecup pipi mama dan papanya.

“Makasih ma, pa” ujarnya, memeluk kedua orangtuanya.

“Mama nggak percaya kamu dikit lagi bakal ketemu mate kamu!” seru mama Sunghoon, menepuk tangannya bersemangat.

Mengangguk, Sunghoon lalu menarik tasnya.

“Sunghoon harus balik ke akademi, udah mau terlambat” ucapnya.

Tersenyum kecut, mama Sunghoon mengangguk lesuh.

“Hati-hati nak” ujar sang papa, menepuk pundak putranya.

“Komunikasi sama mama kalau udah ketemu ya mate kamu!”

Tersenyum, Sunghoon mengangguk. Melambaikan tangannya, lalu menutup pintu.

Sunghoon menutup matanya, dan seketika ia sudah sampai di depan gedung akademi.

“Selamat datang kelas angkatan baru!”

Hari ini bertepatan angkatan baru dari akademi. Otomatis banyak anak baru.

Menoleh, Sunghoon memasukkan tangannya ke dalam saku hoodienya. Berjalan menuju papan pengunguman.

“Hoon”

Sunghoon menoleh, mendapati Jay. Teman sekamarnya.

“Gue udah dipindahin ke kamar lain”

Mengangkat kedua alisnya, Sunghoon menatap roomatenya bingung.

“Kenapa pindah?”

Jay tersenyum miring. “Ketemu mate gue”

Memukul kepalanya, Sunghoon menatapnya heran. “Serigala sialan! Lo mau aneh-aneh ama mate lo?!”

“Shtttttt bego! Malu diliatin” bisik Jay, menyikut lengan Sunghoon.

“Santai, dia becanda” ujar Jay, tersenyum kearah orang-orang yang menatap mereka heran.

“Tenang, gue dipindahin bukan karna mau gue. Ortu gue tahu gue ketemu mate gue, akhirnya dipindahin”

Sunghoon mendengus. “Lo kuat iman?”

Jay mengelus dadanya. “Lo ngerti nggak sih alasan ortu gue mindahin kamar?”

Spontan, Sunghoon menatapnya sinis.

“Biar gue lebih kenal ama mate gue lah!”

“Setan”

“Dih, lo yang vampir”

Mendengus, Sunghoon langsung berteleportasi. Matanya terbuka, menatap kamarnya.

“Udah ada orang” gumamnya. Pikirnya teman sekamarnya yang baru sudah tiba.

Membuka pintu, Sunghoon berjalan masuk ke dalam kamar asrama.

“Oh? Hai...”

Mata Sunghoon melebar seketika.

“Gue Jake, teman sekamar lo.”

“Lo... hybrid?”

Tersenyum, Jake memiringkan kepalanya. Tanpa sadar menggerakkan telinga berbulu coklat tersebut.

Mampus. batin Sunghoon.

Hybrid adalah salah satu makhluk yang paling sensitif, lemah dan paling terjaga.

Dan rata-rata vampir memiliki insting untuk melindungi mereka. Itu sebabnya hybrid paling dikenal sebagai kelemahan vampir.

“Gue Sunghoon”

Berjabat tangan, Sunghoon tanpa sadar mengerutkan dahinya.

”... Bau vanila?”

Mata Jake membelalak, spontan menutup hidungnya.

Keduanya saling berpandangan. Menatap tak percaya.

“LO MATE GUE?!”

-Piggyback ride

[ Hee : 13, Jake : 10 ]

“MAAAAA KAK HEE MULAI LAGI”

“Ma, bukan kakak!”

Heeseung berteriak, menatap kesal sang adik yang berumur 10 tahun, berdiri menatapnya nyalang.

“Mana kebabnya Jake!” teriaknya.

Memutar kedua bola matanya, Heeseung mendengus.

“Jangan kebanyakan makan, mau jadi gemuk?”

Melotot, Jake yang kesal melempar tasnya kearah Heeseung.

“Nggak kena” ejek Heeseung, memeletkan lidahnya.

“MAAA KAK HEE NIH”

Tertawa, Heeseung masih saja mengganggu adiknya tersebut.

“TURUN KALIAN BERDUA”

Keduanya spontan membeku, saling menatap satu sama lain.

“KAKAK, ADEK MAMA BILANG TURUN”

“Lari dek!” teriak Heeseung, menarik lengan Jake dan berlari bersama.

***

“Gendut”

Jake diam, masih sibuk memakan kebabnya. Tak menoleh sama sekali.

“HEH, gendut!”

Menghela nafasnya, Jake yang kini masih di taman bermain mulai membersihkan tasnya.

“GENDUT DIPANGGIL YA JAWAB”

Jake menatap heran teman-temannya, berdiri di depannya keliatan kayak jagoan tapi masih pipis di celana.

“Ha? Nama gue bukan gendut” jawab Jake cuek.

“Lo gendut kali” ucap lelaki bernama Ravi, tertawa terbahak-bahak.

Jake mendengus, heran sendiri.

Cih, humornya receh banget. Anjlok, kayak otaknya. batin Jake.

“Mau kemana lo gendut?” hadang mereka, saat Jake mau melewati gerombolan anak ingusan tersebut.

“Pulang, mau kemana lagi?”

“Songong banget lo gendut, gue tunggu lo di perosotan!”

Cuek, Jake lantas berjalan lagi.

Menatap Jake marah, gerombolan tersebut berlari untuk mendapatinya. Melempar tasnya dan kebab kesayangannya.

“Balikin kebab Jake!” seru Jake, menendang mereka.

Tertawa, pemimpin mereka menginjak kebab tersebut. Kini memukul Jake ganas. Berkerumun.

Ini anak kecil udah tahu adu tonjos woy!

Bergerak bringas, Jake pun membalas mereka. Walaupun setelahnya ia kehilangan kekuatan.

“WOY KALIAN APAIN ADEK GUE”

“MAMA KAKAKNYA DATANG”

“lARI LARI”

“Takuuttttt”

Berlari terbirit-birit, gerombolan tersebut menghilang sekejap mata saat melihat Heeseung yang baru pulang dari sekolah malah lewat.

“Jake”

Jake menoleh, ia tak menangis. Namun berdiri perlahan.

“Kak, Jake dipukul” lapornya.

Mengangguk, Heeseung berjongkok di hadapannya.

“Pulang, abis itu kita bikin strategi buat balas”

Tersenyum, Jake meraih tasnya dan naik ke punggungnya.

Berjalan, Heeseung melirik ke belakang.

“Nggak sakit?”

“Sakit kak”

“Kenapa nggak nangis?”

Jake bergumam. “Nggak mau jadi cemen. Kan kata kak Hee kalau Jake nangis berarti cemen”

Spontan, Heeseung terkekeh. “Kalau Jake nangis gapapa, kan Jake masih kecil. Gapapa kalau mau nangis”

Mengeratkan pelukan, Jake bersandar di punggung sang kakak. Perlahan, samar-samar suara tangis Jake terdengar.

Heeseung tersenyum tipis. “Sakit ya dek?”

“Hiks! Bukan kak!”

Mengernyit, Heeseung bingung.

“Terus kenapa nangis dek?”

“Jake baru ingat kebab Jake jatuh tadi! HUAAA”

Heeseung bungkam, hanya mampu hela nafas.

“BELIIN BARU KAK HEE”

Ini nih, derita punya adek kayak Jake. Suka bikin emosi.

-Still

Jake menghembuskan nafasnya, menatap kaca bus yang kini tertutup kabut karena suhu dingin yang ekstrim.

Hujan berat, sedangkan dia masih terjebak di dalam.

“Hujan berat ya”

Mengangguk, Jake melirik Jay yang duduk di sebelahnya.

“Lo sibuk?”

Jay menggelengkan kepalanya.

“Pulang palingan gue lanjut revisi skripsi buat kuliah”

“Susah ya kalau udah mau wisuda”

Tersenyum, Jay mengedikkan bahunya.

“Nggak ada yang gampang di dunia ini.” gumamnya.

Menipiskan bibirnya, mata Jake meneduh.

“Dari dulu nggak ada yang gampang”

Jay tersenyum tipis. “... Kayak kita”

Jake menghela nafas, memijit pelipisnya.

“Gue udah lupa semuanya, please jangan angkat-angkat lagi” ucapnya.

Mengangguk, Jay menoleh. Bersitatap dengan Jake.

“Akuin aja Jake, I am still the one you search for”

“Nggak. Udah lama nyerah cari”

Jay tersenyum. “I am still the person you wish for to be here with you”

Jake menggelengkan kepalanya.

“Nggak, lo salah”

Terkekeh, Jay menaruh kepalanya di pundak Jake. Bersandar disana. Meraih tangan Jake, memegangnya.

“Lo masih nyari gue kan? Belum nyerah buat pastiin gue masih ada?”

Membeku, Jake menutup matanya. Merasakan usapan lembut di tangannya.

“Lo udah lama pergi” lirih Jake.

“Tapi gue masih sayang, itu sebabnya gue masih ada”

Jake tersenyum tipis. “Lo yang pergi, kisah kita udah selesai lama.”

“Gue masih ada kok, buktinya gue masih jadi bayang-bayang. Gue masih peduli dan sayang sama lo-”

BRAK!

Tersentak, Jake tiba-tiba membuka matanya.

Tatapannya mengabur, menatap sekitarnya tergesa-gesa. Nafasnya memberat.

Jay tak ada dimana-mana. Dia panik hebat.

Keluar dari bus, Jake menutup telinganya saat suara sirine berdengung keras.

Bus yang dinaikinya hancur seperti sedang terhempas jauh.

Jake merasa berputar-putar di tengah kekacauan. Asap dimana-mana, kendaraan yang tak beraturan saling menabrak satu sama lain.

“Jay...” gumam Jake, berlari kearah kerumunan, hampir jatuh.

“Dia selamat”

Menoleh, Jake menatap sosok berpakaian hitam.

“Selamat?”

Tangan sosok hitam tersebut menunjuk sosok Jay yang berlari di ujung persimpangan, membeku. Seperti mayat hidup, pucat.

Jake ingin berlari kearahnya, namun tangannya ditahan.

“Kamu tidak selamat”

Menatapnya heran, Jake menggelengkan kepalanya.

“Ha?”

Menoleh, Jake melepas diri. Berlari kearah Jay yang masih diam di tempat.

“Jay!”

“Jake...” Jay luruh di tempat, tak sanggup. Menangis kencang.

“Jake! Bangun!” teriak Jay, memukul jalan.

Jake terdiam di tempat, matanya melebar. Itu dia. Itu tubuhnya, tergeletak tak bernyawa.

Seketika ada dorongan untuk muntah, tubuhnya bergetar hebat.

“Nggak, tadi gue baru abis ngomong sama dia!” teriak Jake tak menerima kenyataan.

“Gue belum pergi! Jay!” teriaknya berulang kali, mencoba memeluk Jay.

Namun percuma, dia sekarang hanya bayangan.

Menarik rambutnya keras, Jake menepuk dadanya sendiri berulang kali.

“Tadi cuma penggalan percakapan terakhir kalian”

“Pemuda itu turun dari bus, tapi tiba-tiba sebuah truk melindas bus yang kau naiki.” jelas pemuda berpakaian hitam tersebut.

Jake tak mendengarkan, masih sibuk menangis.

“Jake, gue masih sayang lo bego! Jangan pergi!”

Jay berteriak histeris, menangis sambil memegang tubuh berlumuran darah Jake.

Tim rumah sakit kesusahan untuk memisahkan Jay dari tubuh kaku Jake.

Menutup matanya erat, Jake kini menyembunyikan wajahnya. Terseok-seok kearah Jay, meraih wajahnya. Mengusapnya, berusaha menghilangkan air matanya.

Tersenyum miris, Jake berbisik. “Maaf, nggak bisa bilang lebih awal... Jay, I still love you”