-Backyard Boys
“Hei kerdil”
Jake mendengus, menatap nyalang si pemuda yang sering dia cap kekurangan darah putih, pucat banget soalnya. Mana tinggi terus kurus lagi, kurang makan kali.
“Natapnya nyatai dong” Sunghoon terkekeh, menatap Jake dari pagar sebelah.
Jake yang sedang mengambil tong sampah diam-diam mengutuk Sunghoon yang tersenyum jahil kearahnya.
“Mau apa lo?” desak Jake, dengan intonasi tak ramah sama sekali.
Tangan Sunghoon ditaruh di atas pagar, bersandar nyaman.
“Besok lo mau ke Aussie kan? Nitip oleh-oleh ya?”
“Cih, kagak. Gue nggak bakal balik lagi disini.” tegasnya.
Sunghoon spontan mengangkat kedua alisnya, mengangguk kecil.
“Nggak seru dong”
Jake mengerjap, apa katanya?
“Maksud lo?”
“Ya nggak seru kalau lo nggak ada lagi, siapa lagi sih yang bisa gue ganggu? Dari kecil kan gue kerjaannya ngerjain lo mulu, lo nggak kasian ama gue? Nggak punya temen lagi,”
Jake malah terdiam di tempatnya layaknya patung.
“Lo yakin nggak bakal kangen gue? Kalau lo tanya gue, gue sih bakal kangen lo. Pikir-pikir lagi ya kalau mau pergi” lanjut Sunghoon sambil tersenyum, menatap lekat Jake.
Melihat itu, Jake segera tersentak di tempatnya, wajahnya memerah.
“Sinting kali ya!” serunya, sebelum berlari masuk ke dalam rumah.
Keesokkan harinya, Jake yang sedang tidur di kasurnya menggerang kesal. Kemarin dia tak tidur, tak habis pikir dengan kelakuan Sunghoon.
Dia pikir dia siapa? Dari kecil selalu membuat kesal, selalu membuat jengkel. Tiada hari tanpa gangguan dari Sunghoon.
Tapi di satu sisi Jake berpikir, apa yang akan terjadi jika hari-hari ke depannya dia tak lagi bertemu Sunghoon?
Tak mendengar godaannya, kejahilannnya.
Bagaimana jika dia berjalan ke belakang rumah, tak ada yang akan menyambutnya. Tak ada suara rendah itu, tak ada senyuman menjengkelkan itu.
Tak ada Sunghoon sendiri yang berdiri, bersandar di pagar, terkekeh kearahnya sambil menyisir rambutnya ke belakang, sok ganteng.
“Nggak, nggak. Lo udah gila Jake,” gumam Jake frutasi.
Jake benar-benar sudah gila. Hatinya sakit memikirkan hari-hari tanpa Sunghoon. Dia berkeringat saat tahu betapa dirinya tak bisa jauh dari sosok pemuda pucat itu.
Jake benar-benar sudah tak sehat.
Sadar, dirinya lalu berlari keluar kamarnya, Jake dihadang kedua orangtuanya.
“Kenapa Jake? Muka kamu kok gitu? Sayang, muka kamu pucat.” ucap nyonya Sim khawatir melihat kondisi Jake.
“Jake?” tuan Sim menahan tubuh Jake yang sempoyongan hampir terjatuh.
“Ma, Pa... Jake nggak mau ke Aussie,” ucap Jake lalu tersenyum lebar, ini keputusannya.
Kedua orangtuanya hanya mampu terdiam mendengar hal tersebut.
“Jake mau sendiri disini?” tanya nyonya Sim pelan-pelan.
Jake menggelengkan kepalanya.
“Jake nggak sendiri, ada Sunghoon.”
***
Brak!
“Astaga!” Sunghoon terkejut bukan main, dirinya yang baru saja bangun sambil melamun melompat dari kasurnya sendiri saat mendengar suara pintu yang terbuka dengan kasar.
“Mama, iya iyaaa ini Sunghoon bangun. Jangan bikin kaget do- eh?”
Sunghoon kicep di tempat. Disana, di depan pintunya ada si kerdil yang menatapnya dengan pandangan memelas, keliatan akan menangis dalam seperkian detik.
“Jake? Kenapa?” panik Sunghoon, mengibas selimutnya.
Sumpah. Sejak kecil Sunghoon tak pernah melihat Jake menangis walaupun sudah dibuat jengkel stengah mati.
“HUAAAA SUNGHOON” berlari, Jake segera melompat ke kasur Sunghoon, menggapai tangannya erat sambil menangis.
Sunghoon kalap.
“Jake, shhh... Lo kenapa? Sini, ceritain ke gue semua. Shhh” Sunghoon menarik Jake dalam pelukannya, menepuk pundak kecil Jake.
Menangis keras, Jake menumpahkan segalanya.
Hingga 15 menit berlalu, saat dirasa tangisan Jake mereda, Sunghoon lalu melepaskan pelukan keduanya.
Tangannya terangkat, mengusap bekas-bekas air mata di pipi tembem Jake.
“Lo kenapa hm? Kenapa belum berangkat, bukannya lo harusnya udah di bandara sekarang?” tanya Sunghoon.
Jake menggelengkan kepalanya pelan, menunduk.
“Mereka yang pergi, gue tinggal.” cicitnya.
“Loh, kenapa?”
Jake mengadah, menatap Sunghoon dengan puppy eyesnya. Tembakan tepat di hati Sunghoon tentunya, jika biasanya melihat kelucuan Jake lewat tatapan garangnya, kini Sunghoon malah semakin gemas dibuatnya hanya dengan tatapan itu.
“G-gue nggak bisa. Nggak rela buat pergi,” Jake meremas pelan tangan Sunghoon.
“Kenapa?” tanya Sunghoon lagi.
Menghembuskan nafasnya, Jake menipiskan bibirnya. “Kalau hati gue menetap disini, ngapain gue jauh-jauh kesana”
Sunghoon membeku, untuk waktu yang lama. Membiarkan keheningan merebak, tenggelam bersama.
“Jake?”
“Hm?”
Sunghoon memegang erat kedua tangan Jake.
“Jangan pergi ya, tetap disini aja. Deket gue,” gumamnya.
Pipi Jake bersemu, mengangguk pelan. Menghela nafasnya, Sunghoon menarik Jake untuk berbaring bersama, membiarkan tangan kanannya jadi bantal untuk Jake.
Menutup mata, keduanya lalu menikmati pagi hari yang sunyi. Moment langka, karena biasanya sering ledekan.
Hingga suara Sunghoon terdengar.
“Jake, kepala lo berat juga ya...”
“Sunghoonnnn” rengek Jake memukul perut datar Sunghoon.
Sunghoon mengaduh sebelum akhirnya terkekeh.
“Canda sayang, candaaa”
(Inspired by the song backyard boy)