CerealBunny

-Payung

Sunoo menghembuskan nafasnya, menatap rintik hujan yang lebat dari pangkalan ojek tua dekat sekolahnya. Mana sepi lagi, Sunoo kan biar begini masih ada rasa takut terdampar sendiri di tempat terpencil.

Dingin lagi! Gemeteran seluruh badan Sunoo. Seharusnya tadi Sunoo bawa payung, tapi malah dia cuek bebek.

Mama! Sunoo harus pulang cepat karena sudah janjian akan main ps dengan sepupunya Jake. Hadeh, bisa-bisa sepupunya nggak mau main lagi dengan dia jika dia terlambat sekali lagi.

“Hadehh, gini aja deh! Dalam 10 menit kalau sampe ada yang datang terus kasih tumpangan payung, kalau dia masih muda kayak Sunoo, bakal gue jadiin pacar. Kalau dia udah tua, Sunoo bakal- eh?”

Sunoo tersentak di tempat, menatap tak percaya saat ada siluet mendatanginya. Ini ucapannya belum selesai loh, tapi udah dikabulin aja.

Mendekat, sosok itu berhenti di depan Sunoo. Membawa payung hitam di tangannya, lalu mengangkat sedikit payung tersebut yang hanya memperlihatkan hidungnya.

“Mau tumpangan?” tanya pemuda itu.

Sunoo mengerjap, dirinya sedikit terkejut saat menatap kebawah melihat pemuda itu ternyata masih anak SMP. Tapi kok lebih tinggi sih? Sunoo merasa kecil banget.

“Eh? Dek? Gapapa kan aku numpang?” tanya Sunoo ragu-ragu.

Pemuda tersebut mengangguk, dan dengan berani berjalan satu langkah lebih dekat dengan Sunoo. Menunjukkan wajahnya yang tertutupi.

“Tapi ada syaratnya”

Sunoo membulatkan matanya, ini modelan ganteng begini dibilang anak SMP?!

“Syaratnya apa dek?”

“Jangan panggil gue adek, nama gue Ni-ki.”

Sunoo spontan mengangguk ragu.

“Yaudah, sekarang gue mau nanya. Itu yang lo bilang tadi bener kan?”

“Ha? Gimana?”

Ni-ki tersenyum miring.

“Itu yang lo bilang kalau ada yang kasih tumpangan lo bakal jadiin pacar.”

Sunoo cengo. Ini anak SMP kan?! Songong juga.

“I-iya” Tapi kenapa Sunoo malah malu, mukanya memerah.

Tersenyum, Ni-ki lalu menarik Sunoo mendekat kearahnya. Memayungi keduanya. Tangan Ni-ki terangkat, merangkulnya berusaha menghantarkan kehangatan kepadanya.

“Mulai sekarang kita pacaran.” ucap yang lebih muda, telak.

Sunoo bisa apa? Ya diam. Pasrah. Walaupun dia sih gapapa kalau pacaran ama Ni-ki.

-Hadiah Terbaik

Jake melempar asal handphonenya, mendengus kesal karena sejak pagi menunggu ucapan anniversary dari Sunghooon namun tak ada satu pun pesan yang ada.

“Tau ah, mending main bareng Layla.” gumamnya sambil berdiri dari kasurnya.

Tok tok

“Dek, ada Sunghoon di luar”

Suara ibunya Jake terdengar dari luar kamar Jake, membuat pemuda tersebut malah terdiam di tempat. Tak berniat untuk membuka pintu, Jake lalu kembali bersuara.

“Nggak mau ketemu dia Ma, bilang aja Jake lagi keluar” seru Jake sebelum kembali berbaring di kasurnya.

“Udah aku denger loh...”

Jake tersentak di tempatnya, membulatkan matanya saat melihat sosok tinggi pacarnya sedang berdiri di depan pintu, bersandar sambil menatapnya.

“Ngapain disini? Kirain sibuk.” sinis Jake, mengambil handphonenya di genggamannya.

Berjalan mendekat, Sunghoon lalu duduk di pinggir kasur. Meraih rambut Jake, membelainya sayang karena tahu si pacar sedang marah.

“Kamu marah kenapa?”

Jake berdecak, melirik Sunghoon lalu menepis tangannya. “Pikir aja sendiri sana”

Menahan senyumnya, Sunghoon lalu membaringkan badannya bersama dengan Jake. Memeluknya dari belakang.

“Nggak usah peluk-peluk, nanti Mama liat. Kamu mau dilarang main kesini?”

Bergerak kesana kemari, Jake lalu pasrah saat Sunghoon makin erat memeluknya.

“Ayo keluar bentar, aku mau nunjukkin sesuatu sama kamu.” gumam Sunghoon, dengan tangan kanannya yang mengusap belakang Jake, membuat Jake nyaman.

Tak tega, Jake lalu mengangguk. “Cepetan, udah mau malam soalnya.”

Sunghoon lalu bangkit, menarik Jake keluar dari rumahnya menuju teras rumah Jake.

“Ngapain kita di depan rumah?” tanya Jake, menatap sekelilingnya heran.

Tak menjawab, Sunghoon lalu berjalan menuntun Jake ke sisi rumah besarnya tersebut.

Jake mengerutkan dahinya saat melihat ada sesuatu yang bercahaya dari pohon tua yang sering ia habiskan untuk bermain dengan Sunghoon.

“Itu apa?” tunjuk Jake penasaran.

“Kalau mau tahu harus lari” ucap Sunghoon, kini menarik Jake untuk berlari kearah pohon besar tersebut.

Semakin keduanya mendekat, semakin Jake dapat melihat sesuatu yang tertera disana. Sebuah lampion berukuran besar sedang menunggu mereka disana.

Ada tulisan indah yang tertulis disana.

Nafas Jake tercekat, matanya tak berkedip lama. Ternyata Sunghoon ingat.

“Happy anniversary love” bisik Sunghoon memeluk Jake dari belakang.

“Kamu ingat?”

Mengecup pipi kesayangannya, Sunghoon terkekeh. “Masa aku lupa, gila kali aku kalau sampai lupa.”

Jake hampir dibuat menangis karena lampion tersebut begitu indah, bertulisan “Happy anniversary” disana. Dan di sebelahnya, ada sebuah kotak besar yang menunggu Jake.

“Buka gih, buat kamu.”

Berjalan mendekat, Jake langsung menutup mulutnya, begitu terkejut dengan hadiah dari Sunghoon. Sepasang sepatu yang sangat ingin dia beli, dan sebuah toples kenangan.

Duduk bersebelahan, senyuman Sunghoon tak kunjung lepas dari wajahnya saat melihat reaksi Jake.

“Kamu kok bisa bikin aku nambah sayang gini?” tanya Jake, terharu.

Sunghoon tertawa pelan. “Harusnya aku yang ngomong gitu... Kamu itu yang bikin buat aku nambah sayang sama kamu.”

Tak sadar, setetes air mata jatuh. Jake begitu tersentuh, dan tentunya bisa merasakan besarnya cinta Sunghoon untuknya.

Sunghoon beralih memeluk Jake, menghirup ceruk leher Jake, mencium bau vanila kesukaannya.

“Maaf ya aku nggak ngasih apa-apa...” ucap Jake merasa bersalah.

“Nggak usah, biar aku aja. Bagiku kamu adalah hadiah terbaik dalam hidupku.”

Tersenyum, Jake mengeratkan pelukan keduanya. Berusaha menghantarkan hangat dan nyaman tersebut untuk Sunghoon.

-Cita-cita

“Tebak, cita-cita gue sekarang apa? “

Sunghoon menghela nafasnya, menatap Jake yang kini sumringah menatapnya dengan tatapan berbinar.

Padahal, dia baru saja menghabiskan roti bakarnya, masih mencerna makanan.

Keduanya sedang menghabiskan waktu bersama, saat jam istirahat di taman sekolah. Namun kali ini sepertinya Jake punya penyampaian penting untuk disampaikan kepada sababat sejatinya, Sunghoon.

“Apa sekarang? Jadi babu? ” tebak Sunghoon asal, lantas dihadiahi pukulan di bahunya.

“Ih seriusss” rengek Jake kesal.

Memutar kedua bola matanya, Sunghoon lalu berdiri dari duduknya. Mensejajarkan wajahnya dengan tinggi badan Jake.

“Bulan lalu lo bilang mau jadi pemain bola, sekarang ubah lagi? “

Jake tersenyum, mengangguk bak anak kecil yang lucu.

“Bentar, lo masih ingat kan gue pernah bilang cita-cita gue sejak kecil apa? “

“Ha? “

Sunghoon bingung. Panik sendiri dia. Setahunya Jake punya banyak cita-cita, dari kecil tiap bulan cita-citanya berubah.

Pernah sekali pas ditanya di depan teman sekelas apa cita-citanya.

Jake jawab pengen jadi badut. Katanya, supaya semua orang bisa bahagia.

Satu kelas tertawa, Jake pun bangga.

Sunghoon justru yang malu banget!

Parah punya teman seperti Jake. Tapi ya begitu, karena keluguan sahabatnya, Sunghoon tak pernah meninggalkan Jake sendiri.

Ada banyak buaya katanya, bahaya.

“Lo sadar nggak Jake, cita-cita lo tiap bulan berubah? “

Jake mengangguk. Iya, dia emang tahu. Sunghoon justru mengerutkan dahinya.

“Terus? Maksud lo ngomong gini buat apa coba? “

“Tapi ada kok satu cita-cita gue yang terwujud waktu masih kecil. Dan sekarang gara-gara itu gue sadar gue punya cita-cita baru sekarang. ” ucap Jake bersemangat.

Begitu menggemaskan di mata Park Sunghoon tersebut.

Tersenyum miring, Sunghoon yang penasaran pun membuka mulutnya. “Gue penasaran, coba bilang... “

“Gue pernah bilang waktu kecil, cita-cita gue mau jadi sahabat lo waktu pertama kali kenalan. ” ujarnya, bangga.

Membulatkan matanya, Sunghoon seketika teringat dengan peristiwa lucu itu. Membuatnya tersenyum. “Ohh iya gue ingat. Terus, gara-gara itu lo punya cita-cita baru lagi? “

Jake kembali tersenyum sambil mengangguk menggemaskan.

“Gue pengen menikah sama lo”

Sunghoon terdiam lama, mengerjap lalu tertawa. Lama. Membuat Jake malah cemberut karena merasa diabaikan.

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu? ” serunya tak terima.

Sunghoon meredakan tawanya lalu menepuk rambut Jake dengan perlahan.

“Nyet, emang kita bakal nikah nanti. “

Jake spontan terkejut mendengarnya. “Ha? Sejak kapan? Siapa yang bilang?! Kok gue nggak tahu?”

Terkekeh pelan, Sunghoon lalu menarik Jake untuk duduk kembali bersamanya. Berhadap-hadapan.

“Lo lupa? ” tanya Sunghoon mengusap telapak tangan Jake tak lupa menampilkam senyuman mematikannya.

Duh, Jake jadi gugup melihatnya.

”... Lupa apa?” cicit Jake.

Menarik tangan Jake, Sunghoon lalu mengecupnya.

“Itu cita-cita gue juga. Buat menikah sama lo. “

Jake speechless dibuatnya, sebelum salah tingkah.

“Ihhhhhhhh udah jago ngerayu ya! ” teriaknya, menjauhkan diri dari Sunghoon, mencoba menutup pipinya yang bersemu.

“Ini serius nyet! “

“Nggak ah! Mau jadi babu aja kalau gitu” seru Jake menarik diri.

“Nggak bakal, lo bakal menikah sama gue. Titik! “

“Y-yaudah gue juga.”

-Backyard Boys

“Hei kerdil”

Jake mendengus, menatap nyalang si pemuda yang sering dia cap kekurangan darah putih, pucat banget soalnya. Mana tinggi terus kurus lagi, kurang makan kali.

“Natapnya nyatai dong” Sunghoon terkekeh, menatap Jake dari pagar sebelah.

Jake yang sedang mengambil tong sampah diam-diam mengutuk Sunghoon yang tersenyum jahil kearahnya.

“Mau apa lo?” desak Jake, dengan intonasi tak ramah sama sekali.

Tangan Sunghoon ditaruh di atas pagar, bersandar nyaman.

“Besok lo mau ke Aussie kan? Nitip oleh-oleh ya?”

“Cih, kagak. Gue nggak bakal balik lagi disini.” tegasnya.

Sunghoon spontan mengangkat kedua alisnya, mengangguk kecil.

“Nggak seru dong”

Jake mengerjap, apa katanya?

“Maksud lo?”

“Ya nggak seru kalau lo nggak ada lagi, siapa lagi sih yang bisa gue ganggu? Dari kecil kan gue kerjaannya ngerjain lo mulu, lo nggak kasian ama gue? Nggak punya temen lagi,”

Jake malah terdiam di tempatnya layaknya patung.

“Lo yakin nggak bakal kangen gue? Kalau lo tanya gue, gue sih bakal kangen lo. Pikir-pikir lagi ya kalau mau pergi” lanjut Sunghoon sambil tersenyum, menatap lekat Jake.

Melihat itu, Jake segera tersentak di tempatnya, wajahnya memerah.

“Sinting kali ya!” serunya, sebelum berlari masuk ke dalam rumah.

Keesokkan harinya, Jake yang sedang tidur di kasurnya menggerang kesal. Kemarin dia tak tidur, tak habis pikir dengan kelakuan Sunghoon.

Dia pikir dia siapa? Dari kecil selalu membuat kesal, selalu membuat jengkel. Tiada hari tanpa gangguan dari Sunghoon.

Tapi di satu sisi Jake berpikir, apa yang akan terjadi jika hari-hari ke depannya dia tak lagi bertemu Sunghoon?

Tak mendengar godaannya, kejahilannnya.

Bagaimana jika dia berjalan ke belakang rumah, tak ada yang akan menyambutnya. Tak ada suara rendah itu, tak ada senyuman menjengkelkan itu.

Tak ada Sunghoon sendiri yang berdiri, bersandar di pagar, terkekeh kearahnya sambil menyisir rambutnya ke belakang, sok ganteng.

“Nggak, nggak. Lo udah gila Jake,” gumam Jake frutasi.

Jake benar-benar sudah gila. Hatinya sakit memikirkan hari-hari tanpa Sunghoon. Dia berkeringat saat tahu betapa dirinya tak bisa jauh dari sosok pemuda pucat itu.

Jake benar-benar sudah tak sehat.

Sadar, dirinya lalu berlari keluar kamarnya, Jake dihadang kedua orangtuanya.

“Kenapa Jake? Muka kamu kok gitu? Sayang, muka kamu pucat.” ucap nyonya Sim khawatir melihat kondisi Jake.

“Jake?” tuan Sim menahan tubuh Jake yang sempoyongan hampir terjatuh.

“Ma, Pa... Jake nggak mau ke Aussie,” ucap Jake lalu tersenyum lebar, ini keputusannya.

Kedua orangtuanya hanya mampu terdiam mendengar hal tersebut.

“Jake mau sendiri disini?” tanya nyonya Sim pelan-pelan.

Jake menggelengkan kepalanya.

“Jake nggak sendiri, ada Sunghoon.”

***

Brak!

“Astaga!” Sunghoon terkejut bukan main, dirinya yang baru saja bangun sambil melamun melompat dari kasurnya sendiri saat mendengar suara pintu yang terbuka dengan kasar.

“Mama, iya iyaaa ini Sunghoon bangun. Jangan bikin kaget do- eh?”

Sunghoon kicep di tempat. Disana, di depan pintunya ada si kerdil yang menatapnya dengan pandangan memelas, keliatan akan menangis dalam seperkian detik.

“Jake? Kenapa?” panik Sunghoon, mengibas selimutnya.

Sumpah. Sejak kecil Sunghoon tak pernah melihat Jake menangis walaupun sudah dibuat jengkel stengah mati.

“HUAAAA SUNGHOON” berlari, Jake segera melompat ke kasur Sunghoon, menggapai tangannya erat sambil menangis.

Sunghoon kalap.

“Jake, shhh... Lo kenapa? Sini, ceritain ke gue semua. Shhh” Sunghoon menarik Jake dalam pelukannya, menepuk pundak kecil Jake.

Menangis keras, Jake menumpahkan segalanya.

Hingga 15 menit berlalu, saat dirasa tangisan Jake mereda, Sunghoon lalu melepaskan pelukan keduanya.

Tangannya terangkat, mengusap bekas-bekas air mata di pipi tembem Jake.

“Lo kenapa hm? Kenapa belum berangkat, bukannya lo harusnya udah di bandara sekarang?” tanya Sunghoon.

Jake menggelengkan kepalanya pelan, menunduk.

“Mereka yang pergi, gue tinggal.” cicitnya.

“Loh, kenapa?”

Jake mengadah, menatap Sunghoon dengan puppy eyesnya. Tembakan tepat di hati Sunghoon tentunya, jika biasanya melihat kelucuan Jake lewat tatapan garangnya, kini Sunghoon malah semakin gemas dibuatnya hanya dengan tatapan itu.

“G-gue nggak bisa. Nggak rela buat pergi,” Jake meremas pelan tangan Sunghoon.

“Kenapa?” tanya Sunghoon lagi.

Menghembuskan nafasnya, Jake menipiskan bibirnya. “Kalau hati gue menetap disini, ngapain gue jauh-jauh kesana”

Sunghoon membeku, untuk waktu yang lama. Membiarkan keheningan merebak, tenggelam bersama.

“Jake?”

“Hm?”

Sunghoon memegang erat kedua tangan Jake.

“Jangan pergi ya, tetap disini aja. Deket gue,” gumamnya.

Pipi Jake bersemu, mengangguk pelan. Menghela nafasnya, Sunghoon menarik Jake untuk berbaring bersama, membiarkan tangan kanannya jadi bantal untuk Jake.

Menutup mata, keduanya lalu menikmati pagi hari yang sunyi. Moment langka, karena biasanya sering ledekan.

Hingga suara Sunghoon terdengar.

“Jake, kepala lo berat juga ya...”

“Sunghoonnnn” rengek Jake memukul perut datar Sunghoon.

Sunghoon mengaduh sebelum akhirnya terkekeh.

“Canda sayang, candaaa”

(Inspired by the song backyard boy)

-Edelweiss

“Besok kita masih bisa main kesini lagi kan, Sunghoon?” Jake tersenyum lebar, melemparkan tatapannya kearah Sunghoon yang sedang tidur di atas tikar.

Hari ini kedua pemuda tersebut menanjaki bukit dan kini sedang tiduran beralaskan dengan tikar yang dibawa mereka, menikmati senja.

Membuka matanya, Sunghoon menyeringai. “Emang kamu mau capek-capek naik ke atas bukit lagi?”

Jake bungkam. “Tapi pemandangannya bagus” cicitnya.

Terkekeh, Sunghoon lalu perlahan bangkit. “Tadi aja kamu ngeluh nggak kuat. Besok kamu mau aku gendong lagi hm?”

“Hmm, nggak jadi deh. Kasian kamu, nanti encok.”

Sunghoon spontan tertawa mendengar hal tersebut. Mengusap kepala Jake, saling berhadap-hadapan.

“Kamu nggak berat kok,”

“Halah, boong.” Jake mendengus, menatap beberapa bunga-bunga yang berada di sekitar mereka.

“Yaudah kalau kamu nggak mau balik lagi,”

Jake spontan memalingkan wajahnya, memelas.

Sunghoon tertawa, meraih rambut Jake lalu mengusapnya penuh kasih sayang. “Kenapa harus besok? Kenapa nggak bulan depan atau tahun depan?”

Tangan Sunghoon hangat dan nyaman, membuat Jake tanpa sadar menutup matanya.

Hening.

“Aku nggak yakin bisa balik lagi bulan depan atau tahun depan...” lirih Jake pelan, masih menutup matanya.

Nafas Sunghoon tercekat, matanya spontan berkaca-kaca. Sahabatnya, cintanya, belahan jiwanya sudah memberikan jawaban yang jelas baginya.

Mencoba tegar, Sunghoon kini membawa Jake ke dalam pelukannya. Berusaha sekuat mungkin untuk menghantarkan kehangatan yang tiada tara bagi Jake. Seolah-olah jika dilepas Jake akan menghilang selamanya.

Jake bergumam, dengan rakus mencium bau badan menenangkan milik Sunghoon, mencoba mengingat perasaan ini dalam kepalanya.

“Udah keluar ya hasilnya?”

Jake mengangguk.

“Sejak kapan?”

”... Bulan lalu, maaf”

Suara helaan nafas Sunghoon terdengar, mencoba untuk menelan pil kekecewaan.

“Aku benar-benar minta maaf, baru bilang sekarang.”

Namun ucapan itu tak lagi dihiraukan, percuma. Semuanya sudah menjadi kesia-siaan. Sunghoon beralih menggapai pipi pucat Jake, mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Menghujani dengan kecupan kecil, namun berakhir dengan kecupan di dahinya. Lama.

Karena dirinya tahu, ini mungkin akan menjadi ciuman-ciuman terakhirnya. Jake di sisi lain memejamkan matanya, merasakan betapa besar cinta Sunghoon baginya.

“Kemarin yang ngirim bunga edelweiss itu kamu?”

Jake mengangguk pelan menjawab pertanyaan Sunghoon.

“Kenapa milih bunga edelweiss?”

Jake mengadah, menatap wajah Sunghoon lekat. Mengingat setiap inci dari wajah tampannya.

“Aku harap kita abadi. Bukan dalam wujud hidup atau raga kita, tapi cinta kita. Aku mau cinta kita abadi.” Jake tersenyum tipis, menelan rasa pahit yang menyebar di kerongkongannya. Perlahan meneteskan air mata.

Sunghoon mengigit bibirnya kencang, mengusap air mata Jake, lalu kembali memeluknya.

Dirinya sudah berusaha untuk kuat, namun nihil. Perlahan tetesan air mata jatuh, hingga kini berubah menjadi isakan tertahan.

“Makasih, bunganya cantik.”

Jake bergumam, tersenyum tipis.

“Aku cinta kamu” bisik Sunghoon.

Jake menghela nafasnya, kembali menutup matanya.

“Aku juga cinta kamu.” gumamnya, untuk terakhir kalinya.

-Istirahat

Jungwon memberenggut, menenggelamkan kepalanya di antara lipatan kedua tangannya tepat sesampainya di mejanya.

Tepar habis olahraga.

“Won... Ikut gue ke kantin yuk” teman sebangkunya, Sunoo memanggilnya sambil mengetuk ujung meja.

“Lapar...” gumamnya tanpa sadar.

Sunoo menipiskan bibirnya. “Ini kan kita mau ke kantin makan bareng”

Jungwon menggelengkan kepalanya lemah, merasa lelah karena pelajaran olahraga yang menguras tenaganya.

“Mau gue panggil kak Jay?” tanya Sunoo. Jungwon malah diam, tak menjawab sama sekali.

Menghela nafasnya, Sunoo lalu meninggalkan Jungwon yang memang sudah tak ada tenaga.

“Gue duluan ya Won, Ni-ki dah nungguin soalnya. Nanti kalau ketemu kak Jay, gue panggil deh.” ucapnya, sebelum benar-benar keluar dari kelas.

Setelah 10 menit, Jungwon yang masih terkulai lemas mendengar suara ketukan di mejanya tanpa sadar membuat Jungwon mendongak kecil.

“Hai... ” sapa seorang pemuda di depannya dengan senyuman manisnya.

Jungwon spontan mengerucutkan bibirnya, perlahan menegakkan badannya untuk duduk.

“Kak Jay... ” gumamnya pelan.

Jay tersenyum, dengan perlahan memindahkan kantong putih belanjaan ke atas meja.

“Lapar kan? abis olahraga ” tanya Jay masih tersenyum, menyodorkan kantung belanjaan tersebut ke hadapan Jungwon.

Jungwon membelalak, matanya berbinar saat pemuda itu mengeluarkan beberapa cemilan kesukaannya di atas meja.

“Makasih ya kak... ” senyuman Jungwon merekah, memperlihatkan lesung pipitnya yang indah dan menggemaskan. Jay terkekeh pelan, mengacak pucuk rambut Jungwon.

“Makan gih, sebelum bel. “

Jungwon mengangguk semangat, tangannya lalu terulur memakan cemilan. Tatapannya tak lepas dari makanannya, sedangkan tatapan Jay tak lepas dari Jungwon.

Bagi Jay, menatap Jungwon makan adalah hiburan tersendiri baginya. Rasanya Jay langsung kenyang hanya dengan melihat pemuda itu makan dengan gembira. Pipinya yang gembil penuh, rasanya akan tumpah dalam seperkian detik.

Jay seribu kali menahan dirinya untuk tidak mencium pipi tersebut. Terlalu menggemaskan!

“Mmm, kak mau? ” tanya Jungwon menyadari tatapan Jay dan akhirnya menyodorkan roti coklat yang dia tahu Jay pun suka.

Jay tersenyum miring. “Asal disuapin”

Melotot kecil, Jungwon memundurkan badannya. “Cih” decihnya berusaha menyembunyikan pipinya yang merona.

Jay mati-matian menahan tawanya namun cepat-cepat menguasai diri dengan berdeham kecil.

“Jadi gini, kelakuan pacar sendiri minta disuapin nggak mau? Padahal aku udah susah-susah beliin makanan buat kamu”

Pipi Jungwon kian merona saat melihat wajah kecewa buat-buatan milik Jay.

“Iya iyaaa, nihhh” sodornya tepat ke depan mulut Jay, sebelum akhirnya Jay memakannya sambil menahan senyumannya.

Menarik kembali tubuhnya, Jungwon mendelik saat Jay tersenyum lebar kearahnya. Menikmati rona merah di pipi Jungwon, dirinya lalu menopangkan dagunya.

“Pacar aku manis banget sih... ” godanya dengan lembut mengusap bibir Jungwon.

Jungwon tak mampu berkata-kata, malah membeku di tempat. Sedangkan di depannya Jay malah tertawa geli melihat reaksinya.

“KAK JAYYYYY INI MASIH DI SEKOLAH! “